TESIS
BUDI HARTO BATUBARA
TESIS
Oleh:
PEMBIMBING I :
PEMBIMBING II :
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini,
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang
Ilmu anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan yang saya cintai dan banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini jauh dari
sempurna dan masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian
bahasanya. Meskipun demikian, keinginan dan harapan saya agar kiranya tulisan
ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam
penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang
“PERBANDINGAN OSMOLARITAS PLASMA SETELAH PEMBERIAN
MANITOL 20% 3 CC/KG BB DENGAN NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK 3 CC/KG BB PADA PASIEN CEDERA OTAK TRAUMATIK
RINGAN-SEDANG “
Dengan berakhirnya penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula
dari lubuk hati saya yang terdalam dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan
saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi –
tingginya kepada yang terhormat : Dr. dr. Nazaruddin Umar, Sp.An, KNA dan
dr. Chairul M. Mursin Sp.An, KAO atas kesediaannya sebagai pembimbing
penelitian saya ini, DR. dr. Taufik Ashar, MKM sebagai pembimbing statistik,
walaupun ditengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh
perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang
sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dengan berakhirnya masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan, maka pada kesempatan yang berbahagia ini
perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
M. Ked (An) Sp.An, saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang paling
dalam atas segala ilmu, ketrampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang
ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin
menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta
pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang
kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari. Kiranya Tuhan YME
memberkati guru-guru saya tercinta.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak
Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan, Ibu
Direktur RS Haji Medan yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan
serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat
menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya
haturkan terima kasih.
Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada kedua orang tua
tercinta, ayahanda : (Alm) J. Batubara dan ibunda : R. Tambunan saya sampaikan
rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang
setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan
kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya, semenjak saya
masih dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberikan asuhan, bimbingan,
pendidikan serta suri tauladan yang baik sehingga saya dapat menjadi pribadi
yang dewasa, berakhlak, memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi
tantangan dalam perjalanan kehidupan ini dan menjadi anak yang berbakti kepada
orang tua dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan
doa kepada Tuhan yang Maha Esa ampunilah dosa kedua orang tua saya serta
sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil.
Terimakasih juga saya ucapkan kepada abang, kakak dan adik saya atas doa dan
dukungan yang tidak henti-henti selama saya menjalani pendidikan ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian
Anestesiologi dan Terapi Intensif khususnya dr. M. Teguh Prihadi, dr. Chitra I
Artha, dr. Mummya Camary,dr. Abraham D. Siregar, dr. Poppy, dr. Oktavienni,
dr. Andrias, dr. Angga, dan dr. Taor L. Yang telah bersama sama baik duka
maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat
dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi
ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkahi kita semua.
Kepada seluruh teman-teman, rekan-rekan dan kerabat, handai taulan,
keluarga besar, pasien-pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materiil
kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam
saya ucapkan banyak terima kasih.
Kepada paramedis dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan, RSUP
Pirngadi Medan dan RS Kodam II Bukit Barisan Medan yang telah banyak
membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini.
Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang
tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa
pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.
Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerja
sama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat
berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Tuhan.
DAFTAR ISI
Hal
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------- i
ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------- v
ABSTRACT --------------------------------------------------------------------------- vi
DAFTAR ISI -------------------------------------------------------------------------- vii
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------- x
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------- xi
DAFTAR LAMPIRAN ------------------------------------------------------------- xii
DAFTAR SINGKATAN ----------------------------------------------------------- xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ------------------------------------------------------- 1
1.1 Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan Masalah --------------------------------------------------- 7
1.3 Hipotesis -------------------------------------------------------------- 7
1.4 Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 7
1.4.1 Tujuan Umum ----------------------------------------------- 7
1.4.2 Tujuan Khusus ---------------------------------------------- 8
1.5 Manfaat Penelitian -------------------------------------------------- 8
1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Akademik ---------------------- 8
1.5.2 Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat -------- 8
1.5.3 Manfaat Dalam Bidang Penelitian ----------------------- 8
DAFTAR GAMBAR
No Judul Hal
Gambar 2.1 Autoregulasi ADO 10
Autoregulasi efektif pada TAR (MAP) antara 50-150
Gambar 2.2 11
mmHg
Gambar 2.3 Cedera Sekunder dan Konsekuensi di Tingkat Seluler 15
Gambar 2.4 Gambar EDH 20
Tindakan pilihan untuk EDH pada pasien dengan
Gambar 2.5 21
GCS > 8
Gambar 2.6 SDH 21
Tindakan pilihan pada pasien SDH akut dengan GCS >
Gambar 2.7 22
8
Gambar 2.8 Gambar ICH 23
Gambar 2.9 Diagram resusitasi pada penanganan cedera kepala 24
Gambar 2.10 Gambar Algoritme difficult Airway 31
Gambar 2.11 Struktur manitol 37
Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik pada
Gambar 4.1 57
Kelompok A
Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik pada
Gambar 4.2 58
Kelompok B
Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik pada
Gambar 4.3 59
Kelompok A
Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik pada
Gambar 4.4 60
Kelompok B
Perbedaan Volume Urin pada Kelompok A dan
Gambar 4.5 61
Kelompok B
Perbedaan Osmolaritas Plasma pada Kelompok A dan
Gambar 4.6 61
Kelompok B
‘
DAFTAR TABEL
No Judul Hal.
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Hal.
DAFTAR SINGKATAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
elektrolit yang diinduksi oleh cedera primer maupun cedera sekunder. Edema itu
sendiri akan menyebabkan peningkatan TIK yang akan memperberat keadaan
pasien (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al,
2013; Saleh SC, 2013).
Pemberian cairan osmotik bertujuan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan cara mengurangi edema pada otak. Cairan osmotik ini akan
mempengaruhi osmolaritas tubuh, dimana cairan yang sering digunakan adalah
manitol (1100 mOsm), hipertonik salin sediaan 3-29,2% (1026-10000 mOsm) dan
yang terbaru adalah natrium laktat (1020 mOsm) (White H et al, 2006).
Manitol saat ini merupakan diuretika osmotika yang banyak digunakan
sebagai obat pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial. Manitol
menurunkan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan cairan dari
intraselular ke intravaskular, yaitu dengan cara menaikkan gradien osmotik antara
otak dan darah, akan tetapi efek samping dari manitol akan menyebabkan diuresis
cairan yang berlebihan sehingga terjadi gangguan cairan dan elektrolit, hal ini
akan menimbulkan hipovolemia dan hipotensi yang dapat menganggu
hemodinamik sehingga menurunkan perfusi otak yang akan memperburuk cedera
otak traumatik itu sendiri. Efek samping lain dari manitol adalah terjadinya
rebound fenomena yaitu peningkatan tekanan intrakranial pada penggunaan
manitol yang lama dikarenakan akumulasi manitol di jaringan otak sehingga
tekanan osmotik lebih tinggi di jaringan yang akan menarik cairan dari pembuluh
darah ke jaringan otak yang akan menyebabkan edema yang lebih berat
(Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013;
Saleh SC, 2013).
Sharma dkk (2011) melakukan penelitian pada 30 pasien trauma otak
sedang-berat yaitu 10 pasien dengan GCS < 8 dan 20 pasien GCS 9-12. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efek dari pemberian manitol sebagai terapi
osmotik dengan cara pemberian manitol 20% 100 cc /8 jam selama 5-7 hari
kemudian diperiksa osmolalitas setiap 12 jam, hasil penelitian mendapatkan
60 kali data Osmolalitas dan 60 kali pemeriksaan kadar natrium, didapatkan ada
33% (20 data) dimana Osmolalitas >320 mOsm/KgH2O dan 67% (40 data)
osmolalitas <320 mOsm/Kg H2O dan kadar natrium > 145 mEq/L 10% (6 data)
dan kadar natrium <145 90% (54 data). Dari penelitian ini didapatkan pasien yang
selamat adalah 24 orang dimana rerata osmolalitas nya adalah 328, 75 mOsm/Kg
H2O (289-420) dan rerata kadar natrium setelah pemberian manitol adalah 142,
58 mEq(136-155) , kelompok pasien ini diberikan manitol antara 1-4 hari dengan
rerata 2,16 hari, sedangkan pada 6 pasien meninggal memiliki rerata osmolalitas
365,0 mOsm/KgH2O, rerata kadar natrium pada kelompok ini 146 mEq(144-149)
lama pemberian manitol adalah 1-5 hari (rerata 3,33). Pada penelitian ini
disimpulkan bahwa pemberian manitol 20% 100ml/8 jam bisa menyebabkan
kadar osmolalitas >320 mOsm bahkan terjadi pada hari pertama pemberian
manitol. Kadar natrium >145 mEq/L hanya 10% sampel (6 data) walaupun
keadaan hiperosmolar terjadi 33% (20 data) hal ini kemungkinan dikompensasi
oleh peningkatan hormone antidiuretik sehingga tidak semua pasien yang
hiperosmolar menjadi hipernatremia (Sharma RM et al, 2011).
Wakai A dkk pada tahun 2008, melakukan penelitian metaanalisis
terhadap beberapa penelitian yang menguji efektifitas dari manitol terhadap
penanganan edema otak karena cedera otak traumatik (GCS < 11)yaitu manitol
20% 5 ml/kg BB dibandingkan dengan placebo yaitu NaCl 0,9% 5 ml/kg BB
(Syre 1996), manitol 20% 1g/kg BB dengan pentobarbital 10 mg/kg BB
dilanjutkan dengan dosis 0,3-04 mg/kg BB dosis kontiniu (Schwartz 1984)
manitol dengan cairan salin hipertonik 7,5% (penelitian Vialet 2003) dan juga
membandingkan efektifitas pemberian manitol dengan panduan klinis dan
panduan tekanan intrakranial (Smith 1986). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa
manitol lebih baik dalam penanganan peningkatan TIK dibandingkan dengan
pentobarbital pada pasien cedera otak traumatik dimana angka mortalitas lebih
tinggi pada kelompok pentobarbital, akan tetapi pentobarbital bisa menjadi
alternatif pasien yang tidak respon pada terapi manitol. Pada penelitian yang
membandingkan efek manitol dengan hipertonik salin 7,5% (Vialet) tidak
didapatkan perbedaan bermakna efek pemberian dari manitol dan hipertonik salin
terhadap angka mortalitas pasien cedera otak traumatik, efek terapi pada kedua
kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna. Pada penelitian yang
dimana penilaian relaksasinya oleh bedah saraf yaitu dengan skor relaks=1,
puas=2, sedikit bengkak=3 dan bengkak=4, didapatkan kelompok HTS
memberikan relaksasi otak yang lebih baik dengan nilai kelompok HTS relaks
sebanyak 28 pasien, puas sebanyak 20 pasien, sedikit bengkak sebanyak 5 pasien
dan bengkak 3 pasien sedangkan pada kelompok M diketahui penilaian relaksasi
otak untuk nilai relaks sebanyak 17 pasien, puas sebanyak 21 pasien, sedikit
bengkak 11 pasien dan bengkak sebanyak 9 pasien. Pada kelompok M, 20 pasien
diantaranya membutuhkan dosis tambahan manitol sedangkan pada kelompok
HTS 8 pasien diantaranya membutuhkan dosis tambahan NaCl 3%. Pada menit
ke-15 pasien kelompok HTS mengalami penurunan kalium sebaliknya pada
kelompok manitol mengalami peningkatan kalium (p=0,002). Produksi urin
setelah 6 jam adalah 4,38 ± 0,72 liter pada kelompok HTS, dan pada kelompok M
5,50 ± 0,75 liter (p=0,000) (Malik ZA et al, 2014).
Rozet dkk pada tahun 2007, membandingkan penggunaan NaCl 3% dan
manitol 20% 5 cc/kgBB pada 40 pasien tumor otak, pada penelitian dinilai
relaksasi otak antar kedua kelompok didapatkan tidak ada perbedaan bermakna,
tetapi pada kelompok manitol terdapat produksi urin lebih banyak dibanding
dengan kelompok NaCl 3% (p<0,03). Hal ini perlu diperhatikan hemodinamik
pada kelompok manitol karena diuresis berlebihan dapat menyebabkan
hipovolemia yang bisa mempengaruhi perfusi ke otak (Rozet I et al, 2007).
Harutjunyan L dkk tahun 2005, membandingkan NaCl 7,5% dalam HES
200/0,5 dengan manitol 15% pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial, pada penelitian ini didapatkan NaCl 7,5% lebih efektif menurunkan
tekanan intrakranial (p < 0,01) dan hemodinamik yang lebih stabil walaupun
secara statistik tidak signifikan (Harujutnyan L et al, 2005).
Natrium laktat hipertonik merupakan larutan hipertonik yang berisi
natrium laktat, kalium klorida, dan kalsium klorida dalam konsentrasi fisiologis.
Dimana prinsip penurunan tekanan intrakranial ini akan membentuk gradient
osmotik antara sawar darah otak yang impermeable terhadap natrium akan tetapi
tidak terhadap laktat. Efek osmotik cairan ini diakibatkan oleh kadar natrium
hipertonik yang dikandungnya (Saleh SC, 2013; Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Bisri T, 2012; Hanna & Ahmad MR, 2014; Ichai C et al, 2014).
Pada penelitian Hanna dan Ahmad RM pada tahun 2014, membandingkan
42 pasien cedera otak traumatik sedang ASA I-III yang menjalani kraniotomi
dimana pasien ini terbagi dua kelompok yaitu kelompok M (n=21) mendapat
manitol 20% 2,5 cc/kgBB dosis dan kelompok HSL mendapat infus cairan
natrium laktat 2,5cc/KgBB, parameter yang dibandingkan pada penelitian ini
adalah CVP, MAP, KGD, diuresis, relaksasi parenkim otak (penilaian oleh
operator bedah). Didapatkan perbandingan CVP lebih tinggi pada kelompok HSL
dibandingkan dengan kelompok M setelah menit ke 30 (p<0,05). Pada
perbandingan MAP didapatkan lebih tinggi kelompok HSL pada menit ke-60
dibandingkan dengan kelompok M (p=0,002). Perubahan KGD pada kelompok M
didapati menurun setelah menit ke-60, sedangkan kelompok HSL meningkat
(p=0,001), volume diuresis pada kelompok M didapati lebih tinggi dibandingkan
pada kelompok HSL (p=0,001). Sedangkan relaksasi otak tidak didapatkan
perbedaan secara bermakna (p=0,988) (Hanna & Ahmad MR, 2014).
Pada penelitian Icai Carole, dkk pada tahun 2008, membandingkan
34 pasien cedera otak traumatik berat dengan peninggian tekanan intrakranial
yang tidak dilakukan operasi kraniotomi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok MAN yang diberi infus manitol 1,5 cc/kg BB dan kelompok LAC
diberikan natrium laktat hipertonik 1,5 cc/kg BB, osmolaritas awal kelompok
MAN adalah 298.8 (11.4) dan kelompok LAC adalah 298.6 (7.3) pada penelitian
ini didapatkan osmolaritas kedua kelompok setelah perlakuan tidak berbeda
(kelompok MAN 101,0 % dari baseline dan kelompok LAC 100,2 baseline
(p=0,04)). MAP tidak berbeda pada kedua kelompok (kelompok MAN 100,1 dan
kelompok LAC 100,0; p=0,96). CPP pada kedua kelompok tidak terdapat
perbedaan secara bermakna (kelompok MAN 108,2 dan kelompok LAC 109,9
(p<0,51)) (Ichai C et al, 2014).
Arifin MZ dan Risdianto A pada tahun 2012, membandingkan efektifitas
natrium laktat hipertonik dengan manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial
penderita cedera otak traumatik berat, pada penelitian ini didapatkan efektifitas
kedua terapi osmotik tidak berbeda secara bermakna (p>0,05), serta kadar
elektrolit pada kedua kelompok perlakuan juga tidak terdapat perbedaan secara
bermakna (Arifin MZ & Risdianto A, 2012).
Dari beberapa penelitian di atas mengenai efektifitas manitol dalam hal
menurunkan TIK, efek osmolaritas, rebound phenomen dan juga diuresis
berlebihan yang bisa mengganggu hemodinamik masih menjadi permasalahan
dalam pemilihan terapi osmotik pada cedera kepala, hipertonik salin dan natrium
laktat hipertonik bisa menjadi pilihan terapi hiperosmolar selain manitol, dimana
dapat juga mengurangi edema yang terjadi sama seperti manitol tetapi tidak
memiliki efek diuresis berlebihan, hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai perbandingan osmolaritas plasma setelah
pemberian manitol 20% 3 cc/kg BB dengan natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB
pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.
1.3 Hipotesis
Ada perbedaan kenaikan osmolaritas plasma yang diakibatkan pemberian
manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB pada
pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Neurofisiologi
Berat otak yang hanya 2% dari berat badan, pada keadaan normal
mendapat pasokan darah 15-20% curah jantung. Aliran darah otak (cerebral blood
flow/CBF) pada orang dewasa dalam keadaan istirahat 45-50ml/100g jaringan
otak/menit. Untuk berfungsinya otak secara normal diperlukan aliran darah
memadai guna menjamin pasokan oksigen dan glukosa sebagai substrat energi
yang digunakan untuk metabolisme selular, dan untuk membuang hasil metabolit
yang tidak diperlukan.
Aliran darah ditentukan oleh kekentalan darah, tekanan perfusi otak
(cerebral perfusion pressure/CPP) dan diameter pembuluh darah. Otak mendapat
pasokan darah berasal dari arteri karotis dan arteri basilaris. Anastomosis dari
kedua pasangan arteri tersebut membentuk lingkaran Willis. Aliran darah vena
terdiri dari vena-vena interna dan eksterna yang bermuara ke sinus venosus. Sinus
venosus merupakan saluran yang dilapisi endotel sebagai lanjutan dari lapisan
endotel vena tapi terletak di lipatan duramater. Sinus tidak mempunyai katup dan
dindingnya tidak memiliki jaringan otot, sinus-sinus bermuara ke vena jugularis
interna dan berlanjut ke sinus sigmoid di foramen jugularis (Newfield P & Cottrell
JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).
Gambar 2.1 Autoregulasi ADO pada rentang perfusi 50-150 mmHg, aliran
darah dipertahankan 50 ml/100g/menit. Terdapat hubungan linear
antara PaCO2 dan ADO (pada nilai PaCO2 dan ADO antara 20-80
mmHg). Hipoksemia meningkatkan ADO dan hiperoksia
menurunkan ADO. Apabila tekanan arteri tetap, maka akan
peningkatan TK akan menurunkan ADO.
2.1.2 Autoregulasi
Autoregulasi otak menggambarkan kemampuan intrinsik dari sirkulasi
otak untuk mempertahankan aliran darah yang konstan dalam menghadapi
perubahan tekanan perfusi. Dilatasi arteri terjadi sebagai respon penurunan
perfusi, sebaliknya konstriksi terjadi sebagai respon terhadap peningkatan perfusi.
Pada kondisi normal, autoregulasi efektif pada rentang 50-150 mmHg
(gambar 2.2). Berbagai patologi intrakranial (trauma, tumor) akan mengganggu
fungsi autoregulasi. Pada pasien dengan hipertensi sistemik kronik, batas
autoregulasi akan bergeser ke kanan.
Gambar 2.2 Autoregulasi efektif pada TAR (MAP) antara 50-150 mmHg
Jika TPO tidak memadai tetapi autoregulasi masih utuh, maka perfusi
jaringan akan menurun bila batas bawah autoregulasi dilewati (< 50 mmHg).
Iskemi akan tibul bila ADO dibawah 20 ml/100g/menit kecuali kalau TPO dapat
dikembalikan segera dengan menaikkan TAR atau menurunkan TIK, atau dengan
mengurangi kebutuhan otak terhadap O2 (misalnya dengan hipotermia).
Mekanisme autoregulasi secara pasti belum jelas, diperkirakan ada tiga
hipotesis yaitu mekanisme miogenik, endotelial, dan neurogenik. Hipotesis
mekanisme yang paling banyak diterima adalah mekanisme miogenik. Hipotesis
ini memperkirakan bahwa tonus basal dari otot polos pembuluh darah dipengaruhi
oleh perubahan tekanan transmural. Keadaan ini menghasilkan konstriksi arteriol
prakapiler untuk meningkatkan tekanan intravaskuler dan dilatasi untuk
menurunkan tekanan intravaskuler. Hipotesis endothelial menjelaskan bahwa sel
endotel arteri otak mungkin berperan sebagai reseptor mekanik. Endotelium
melepaskan substansi vasoaktif (misalnya tromboksan, nitrikoksida, dan
endotelin-1). Diperkirakan bahwa perubahan tonus vasomotor dihasilkan dari
perubahan pelepasan substansi yang menyebabkan relaksasi atau kontraksi. Teori
metabolik menjelaskan bahwa autoregulasi ditentukan oleh pelepasan substansi
vasoaktif yang mengatur tahanan pembuluh darah otak untuk mempertahankan
agar ADO tetap. Diperkirakan bahwa determinan primer ADO regional adalah
aktivitas local metabolisme otak, yaitu hubungan antara metabolisme dan aliran.
Beberapa determinan ini antara lain adenosin, kalium, prostaglandin, dan NO
(Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013;
Saleh SC, 2013).
Tekanan CSS lebih besar daripada tekanan didalam sinus venosus, bila
hubungan antara foramen dengan ventrikel atau vili tersumbat maka akan
mengakibatkan hidrosefalus (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G
Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).
Secondary brain
injury Insult
Hypotension
(hypovolemia, myocardial,
depression) Intracranial Hypertension
Hypoxemia (hematoma, cerebral edema,
(hypoxia, anemia) cerebrovascular obstruction,
Hypercarbia hydrocephalus)
(Hypoventilation, pneumothorax) Seizures
Hypocarbia Vasospasm
(Hyperventilation) Infection
Hyperthermia
(hypermetabolism, stress,
response, Insufficient sedation)
Hyperglycemia
Hypoglycemia
(parenteral nutrition)
Hyponatremia
(hypotonic fluids)
Consequences at the
cellular level
oleh kerusakan tengkorak, bukan karena kerusakan otak langsung. Cedera otak
traumatik primer mengawali suatu proses inflamatori, pembentukan edema, yang
menghasilkan peningkatan TIK lebih lanjut akan menurunkan tekanan perfusi
otak.
Cedera otak sekunder merupakan kelanjutan dari cedera otak primer
yang yang akan menyebakan kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak sehingga
memperburuk keadaan pasien. Dua faktor utama sebagai penyebab dari cedera
otak sekunder adalah hipotensi (sistolik <90 mmHg) dan hipoksemia (PaO2 < 60
mmHg). Cedera otak sekunder berlangsung terus dalam waktu menit, jam, hari
bahkan minggu setelah cedera otak primer.
Pasca trauma otak, terjadi perubahan aliran darah otak (ADO) yang jelas
akan menyebabkan cedera otak. Pada kondisi cedera otak, mekanisme protektif
berupa autoregulasi akan hilang. Penurunan pH darah arteri yang disebabkan
peningkatan PaCO2 akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan tahanan
pembuluh darah otak dan peningkatan ADO (Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).
Vasospasme otak
Vasospasme adalah penurunan kemampuan respon dari pembuluh darah
arteri pada perubahan PCO2 dimana tidak bisa vasokontriksi atau vasodilatasi
karena sudah terjadi gangguan aoturegulasi otak. Terjadi pada lebih dari sepertiga
pasien COT, yang menandakan kerusakan berat pada otak, vasospasme pada COT
terjadi pada hari ke 2-15 dan hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang mengalami
vasospasme (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012;
G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).
Gambaran Klinis
Penilaian kesadaran pada COT
Penilaian kesadaran pada cedera otak traumatik dilakukan dengan skala
koma Glasgow (GCS – Glasgow coma scale) yaitu penilaian terhadap reaksi
mata, respon verbal, dan respon motorik (Olivecrona M, 2008; Newfield P &
Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013l Saleh SC, 2013).
darah dibawahnya. Pada pasien dengan fraktur basis kranii harus dihindari
intubasi nasal, karena resiko masuknya pipa endotrakeal pada rongga cranium.
Bila intubasi oral tidak mungkin dilakukan (pada trauma maksilofasial yang
hebat) maka harus dilakukan trakeostomi (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri
T, 2012; Saleh SC, 2013).
Gambar 2.5 Tindakan pilihan untuk EDH pada pasien dengan GCS > 8
Gambar 2.7 Tindakan pilihan pada pasien SDH akut dengan GCS > 8
Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC,
2013).
Herniation? ±Hyperventilation
Deterioration? ±Mannitol (1 g/kg)
Yes
Resolution?
CT SCAN
No
Surgical Yes
Lesion ?
No Operating Theater
Intensive Care
Unit
Treat Intracranial
Monitor ICP
hypertension
Gambar 2.9 Diagram resusitasi pada penanganan cedera kepala. (hal 38 Prof.
Tatang)
laserasi pada scalp. Kejadian hipotensi (sistolik <90 mmhg) kira- kira terjadi 35%
pada pasien cederakepala berat.
Hipoksia disebabkan karena cedera sistemik (pneumotoraks,
Hematotoraks) atau akibat obstruksi jalan nafas karena koma atau trauma. Maka
intubasi dan pemberian cairan harus dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih
dalam mengelola pasien ditempat kejadian.
Hipoksemia sering dijumpai pada pasien yang ditransport ke rumah sakit, Miller
1978 melaporkan 30% pasien dengan cedera kepala berat PaO2 < 65 mmHg.
nafas tetap bebas, obstruksi jalan nafas merupakan penyebab kematian 15% kasus
cedera otak traumatik, hipoksia akan diperberat dengan adanya obstruksi jalan
nafas karena aspirasi, adanya pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru,
neurogenik pulmonary edema.
Syok didefenisikan bila tekanan sistolik <90 mmHg. Penurunan tekanan
darah pada keadaan tekanan intrakranial yang tinggi akan mengakibatkan
penurunan oksigenasi ke otak (CPP= MAP-ICP), normal CPP 80-90 mmHg, bila
CPP turun di bawah 40 mmHg akan terjadi iskemia otak.
Cedera primer terjadi pada saat trauma, yaitu kerusakan langsung yang
diakibatkan oleh trauma pada struktur di dalam cranium seperti arteri, vena,
substansia alba dan subtansia grisea. Cedera sekunder terjadi sesaat setelah cedera
primer. Faktor yang menyokong terjadinya cedera sekunder adalah hipoksia,
asidosis, hiperkapnia, peningkatan TIK dengan kemungkinan herniasi.
Tanda dari kenaikan intrakranial adalah seperti papil edema, pupil
anisokor, mual, muntah, sakit kepala, tinnitus dan gangguan penglihatan
(Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).
Pengelolaan dini
Tindakan yang dilakukan diutamakan pada hal- hal yang mengancam jiwa,
penanganan jalan nafas dan resusitasi cairan untuk stabilisasi harus dilakukan.
Setelah itu baru dilakukan pemerikasaan diagnostik seperti radiologis dan
CT-scan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum operasi seperti Hb,
hematokrit, kimia darah, gas darah (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Olivecrona
M, 2008; Sakellaridis N et al, 2011; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).
Penanganan Hipotensi
Hipotensi dapat ditangani dengan pemberian cairan kristaloid atau darah,
hindari pemberian glukosa karena akan menyebakan hiponatremia dan
hipoosmolalitas dan akan memperberat edema serebri yang timbul.
Hipertensi
Bila ada hipertensi pada cedera otak traumatik maka dipikirkan dulu
adanya suatu trias Cushing, penanganan utama adalah penurunan TIK. Akan
tetapi bila bukan karena peningkatan TIK maka hipertensi harus ditangani karena
akan memperberat edema yang terjadi. Peningkatan tekanan darah yang hebat bisa
diberikan anti hipertensi dan yang merupakan pilihan adalah adrenergic blocker
agent (Helmy A et al, 2007; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; Haddad S &
Yassen M, 2012; Saleh SC, 2013; Ichai C et al, 2014).
Penanganan Hipoksia
Pada pasien cedera otak traumatik berat harus dilakukan intubasi untuk
mempertahankan jalan nafas bebas sehingga bisa dilakukan kontrol ventilasi dan
oksigenasi, intubasi pada jam pertama dapat menurunkan angka mortalitas dari
38% menjadi 22%.
Walaupun tindakan intubasi dapat meningkatkan tekanan intrakranial, efek
ini lebih minimal jika dibandingkan dengan efek hipoksia yang terjadi apabila
tidak dilakukan intubasi. Intubasi pada pasien cedera kepala berat diperlukan
untuk menjaga jalan nafas bebas, cegah aspirasi, cegah hipoventilasi, kontrol
pernafasan dan juga pengendalian kadar PaCO2, dan juga pada saat diagnostik
pasien lebih terkendali (sedasi ataupun paralitik pada saat diagnostik dengan jalan
nafas terjaga). Pasien dengan GCS <8 harus dilakukan intubasi untuk menjaga
jalan nafas tetap bebas (Helmy A et al, 2007; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012;
Haddad S & Yassen M, 2012; Saleh SC, 2013; Ichai C et al, 2014).
Kriteria intubasi
- GCS < 8
- Pernafasan irregular
- Frekuensi nafas <10 atau >40 x/ menit
- Volume tidal < 3,5 ml/kg BB
- Vital capacity < 15 ml/kg BB
- PaO2 < 70 mmHg
- PaCO2 > 50 mmHg
(dikutip dari Sperry RJ et al. Manual of Neuroanasthesia. Philadelpia ;
BcDecker, 1989)
intubasi, pilihan obat yang digunakan adalah obat induksi dan relaksan dengan
onset cepat. Pilihan obat induksi yang digunakan adalah thiopental, propofol dan
etomidat, ketiganya dapat menumpulkan peningkatan TIK dan menurunkan
CMRO2, akan tetapi efek depresi kardiovaskuler thiopental dan propofol yang
bisa menyebabkan hipotensi harus diperhatikan sehingga pasien harus diresusitasi
terlebih dahulu sebelum melakukan induksi. Relaksan yang bisa digunakan adalah
suksinilkolin yang mempunyai masa kerja yang cepat, akan tetapi suksinilkolin
dapat menyebabkan peningkatan TIK. Rocuronium memiliki onset yang cepat
mendekati suksinilkolin bisa digunakan sebagai relaksan pada tehnik RSII.
Fraktur cervikal terjadi 10% pada pasien cedera otak traumatik dan 20%
pada pasien cedera otak traumatik berat sehingga pada saat intubasi harus
dilakukan dengan pergerakan leher seminimal mungkin sehingga tidak
memperberat trauma yang terjadi. Apabila tidak bisa diintubasi atau ventilasi
(difficult airway) maka prinsip manajemen jalan nafas adalah sesuai algoritme
difficult Airway oleh American Society of Anesthesiology (ASA) (Newfield P &
Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).
12. TIK
Peningkatan TIK >15 mmHg berhubungan dengan meningkatnya angka
mortalitas pada COT, tujuan penurunan TIK adalah dibawah 20 mmHg
dengan memperkirakan untung rugi dan efek samping yang mungkin
timbul akibat terapi yang diberikan. Pemasangan alat monitoring TIK
sesuai dengan indikasi yaitu COT berat, ada kelainan pada CT-scan,
pasien usia diatas 40 tahun dan tekanan darah sistolik dibawah <90 mmHg
dan pasien yang tidak dapat dilakukan penilaian neurologis pada waktu
lama.
13. Resusitasi hemoglobin
Target Hb < 9 mmHg selama 7 hari pertama setelah trauma akan
meningkatkan angka mortalitas, sehingga sangat penting untuk
mempertahankan Hb sehingga delivery oxygen terjaga dan mencegah
iskemia serebral yang semakin berat.
14. Analgesik dan Sedasi
Analgesi dan sedasi pada pasien COT mempunyai keuntungan
menurunkan TIK, kontrol tekanan darah, mencegah kenaikan suhu dan
fasilitasi dalam ventilasi mekanik. Agen opiod seperti fentanyl dan
profofol mempunyai keuntungan pada pasien COT, akan tetapi harus
diperhatikan efek samping dan juga pada penggunaan dosis yang sesuai.
15. Relaksan otot
Berguna untuk mengendalikan peninggian TIK yang berat dengan
mengurangi laju metabolisme otak. Profilaksis paralisis berhubungan
dengan pneumonia dan semakin lama rawatan di ICU seharusnya
digunakan apabila tidak respon terhadap terapi sebelumnya.
16. Koma Barbiturat
Digunakan pada peninggian TIK yang tidak respon dengan pengobatan
maksimal baik farmakologi maupun pembedahan, apabila digunakan pada
pasien COT maka monitoring ketat seperti monitoring invasive harus
dilakukan sehingga efek samping yang timbul bisa segera diketahui dan
cepat diatasi.
2.3.1 Manitol
Farmakologi
Manitol adalah polialkohol nonmetabolik C-6 dengan berat molekul 182,
dan merupakan agen diuretik tertua serta paling banyak digunakan sebagai
osmotik.
Farmakokinetik
Manitol harus diberikan secara parenteral karena pemberian secara oral
tidak diserap. Manitol didistribusikan hampir seluruhnya dalam cairan
ekstraseluler, dan hanya sedikit yang masuk ke dalam sel. Sebagai hasilnya, hanya
7% hingga 10% yang dimetabolisme, mungkin di hati, sedangkan sisanya secara
bebas disaring oleh glomerulus dan diekskresikan utuh dalam urin. Sekitar 7%
diserap kembali oleh tubulus ginjal. Dengan fungsi ginjal normal, setelah dosis
tunggal manitol intravena, half life manitol dalam sirkulasi plasma adalah sekitar
15 menit. Dari dosis yang diberikan, 90% ditemukan dalam urin setelah 24 jam.
Namun, pada insufisiensi ginjal yang berat maka tingkat ekskresi manitol sangat
berkurang sehingga manitol dalam tubuh dapat meningkatkan tonisitas
ekstraselular menyebabkan pergeseran air keluar dari sel, memperbanyak cairan
ekstraselular dan menyebabkan terjadinya hiponatremia serta osmolalitas serum
yang meningkat. Oleh karena itu, manitol harus digunakan dengan hati-hati pada
kondisi insufisiensi ginjal (Kalita J et al, 2003; Shawkat H et al, 2012).
Farmakodinamik
Efek manitol dalam menurunkan edema otak dan TIK adalah dengan
meningkatkan osmolalitas plasma, sehingga terjadi perbedaan osmotik antara
kompartemen intravaskular dengan parenkim otak yang akan menyebabkan
Dosis
Manitol biasanya diberikan dalam larutan 20% dalam dosis bolus,
dibandingkan sebagai infus kontinyu. Tekanan intrakranial akan menurun dalam
5-10 menit. Efek maksimum terjadi dalam waktu sekitar 60 menit dan total efek
dapat berlangsung 3-4 jam. Pemberian bolus meminimalkan hemokonsentrasi dan
memperpanjang efek. Bolus 0,25-0,5 g/kg (diberikan selama 10-20 menit) dapat
digunakan dan diulang tergantung pada respon. Dosis 0,25 g/kg tampaknya
seefektif dosis 1 g/kg dalam mengurangi TIK tetapi tidak memiliki lama efek
yang sama.
Apabila osmolaritas plasma meningkat 10 mOsm/L maka akan dapat
menarik air dari parenkim otak 100-150 ml agar efektif osmolaritas plasma
dipertahankan antara 300-315 mOsm/L, dibawah 300 mOsm/L tidak efektif dan
apabila diatas 315 mOsm/L akan mengakibatkan gangguan ginjal dan ganggauan
pada SSP.
Hasil penelitian pada binatang didapatkan dosis manitol dengan kecepatan
2ml/kg didapatkan pemberian dosis 1 g/kg akan meningkatkan osmolaritas 40
mOsm/L, dosis 0,75 g/kg meningkatkan osmolaritas plasma 32 mOsm/L dan dosis
0,5 g/kg meningkatkan osmolaritas plasma 21 mOsm/L (Wani AA et al, 2008;
Shawat H et al, 2012; Saleh SC, 2013).
fungsi fisiologis lainnya. Salin hipertonik juga bisa digunakan sebagai resusitasi
pada pasien trauma kepala dengan multitrauma, perdarahan, hemodinamik tidak
stabil dengan volume kecil 2,5 -5 ml/ kg BB karena sifat osmolaritasnya akan
menarik cairan dari interstisial, termasuk mengurangi edema yang terjadi pada
otak dan akan meningkatkan volume plasma sehingga akan meningkatkan
hemodinamik (Kyes J. and Johnson JA, 2011). Kerugian dari NaCl hipertonik
adalah adanya anion clorida yaitu non anion gap metabolik asidosis, konsentrasi
Na> 160 mEq/L akan memperburuk outcome pasien dan belum diketahui dosis
optimalnya (telah digunakan NaCl 3%, 5%, 7.5%, dan 23%) (Kalita J et al, 2003;
Yildizdaz D et al, 2006; Shawkat H et al, 2012; Saleh SC, 2013).
Ichai C et al, 2014; Mustafa I & Leverve X, 2002). Seperti salin hipertonik cairan
Na laktat hipertonik dapat digunakan sebagai cairan resusitasi dan dapat
meningkatkan cardiac output, menurunkan resistensi pembuluh darah pulmonal
dan sistemik, meningkatkan oxygen delivery, dan menjadi substrat bagi jantung,
otak, dan ginjal (Mustafa I & Leverve X, 2002).
Penggunaan natrium laktat hipertonik pada pasien cedera kepala ringan
dengan dosis 1.5 mL/kg yang diberikan dalam waktu 20 menit, mampu
memperbaiki defisit fungsi kognitif lebih baik secara signifikan dibandingkan
dengan NaCl 3% (p<0.001) pada 24 jam dan 30 hari setelah pembedahan pada
nilai orientasi, registrasi, perhatian, mengingat dan bahasa.
Pemberian laktat dalam natrium laktat hipertonik sebesar 1.5 cc/kgBB
selama 15 menit, menyebabkan kenaikan skor Mini Mental State Examination
(MMSE) sekitar 4-6 setelah 24 jam pascabedah dibandingkan nilai MMSE
prabedah, dan mengalami kenaikan nilai MMSE sekitar 6-9 setelah 30 hari
pascabedah dibandingkan nilai MMSE prabedah.
Natrium Laktat Hipertonik telah diberikan pada pasien cedera kepala berat
dengan peningkatan ICP dengan dosis 1.5 mL/kg dan hasilnya adalah NLH efektif
dalam terapi peningkatan ICP setelah cedera kepala dan efeknya lebih kuat dan
lama dibandingkan dengan mannitol, juga Glasgow Outcome Score (GOS) lebih
baik daripada mannitol (Olivecrona M, 2008; Saleh SC, 2013).
CEGAH
PENINGKATAN TIK
MANITOL 20 % 3 CC/KG BB
PERUBAHAN
OSMOLARITAS
NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK
3 CC/KGBB
= VARIABEL TERGANTUNG
= VARIABEL BEBAS
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
n1 = n2 =
ALUR PENELITIAN
Populasi
Inklusi Eksklusi
Sampel
Randomisasi
Kelompok A Kelompok B
Tabulasi data
BAB 4
HASIL PENELITIAN
53
Tabel 4.2 menampilkan hasil pemeriksaan GCS dan kimia darah antara
lain kadar natrium, kalium, glukosa darah sewaktu, ureum dan kreatinin. Dengan
menggunakan uji Mann whitney dan uji T Indenpendent menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan rerata parameter GCS dan kimia darah yang signifikan
antara dua kelompok subyek (p>0,05).
Kelompok A Kelompok B
GCS
(n=15) (n=15)
8 1 (6,7) 4 (26,7)
9 6 (40,0) 3 (20,0)
10 - 1 (6,7)
11 2 (13,3) 1 (6,7)
12 1 (6,7) -
13 - 2 (13,3)
14 3 (20,0) 2 (13,3)
15 2 (13,3) 2 (13,3)
Kelompok A Kelompok B
Klinis dan Kimia Darah p
(n=15) (n=15)
Natrium, rerata (SB), mEq 139,20 (2,31) 138,33 (4,10) 0,481b
Kalium, rerata (SB), m Eq 3,59 (0,52) 3,68 (0,48) 0,615b
Glukosa, rerata (SB), mg/dl 157,36 (36,68) 142,61 (33,63) 0,261b
Ureum, rerata (SB), mg/dl 29,23 (15,14) 30,69 (12,12) 0,693a
Kreatinin, rerata (SB), mg/dl 0,92 (0,52) 0,93 (0,47) 0,329a
a b
Mann Whitney, T Independent
Kelompok A Kelompok B
Hemodinamik p
(n=15) (n=15)
Tekanan Darah Sitolik, rerata
(SB), mmHg
Menit ke 0 133,33 (30,39) 126,13 (25,04) 0,540a
Menit ke 15 129 (20,35) 129,53 (23,37) 0,691a
Menit ke 30 132,2 (23,96) 124,2 (17,58) 0,375a
Menit ke 45 131,6 (21,21) 126,13 (20,81) 0,353a
Menit ke 60 133,07 (19,23) 126,73 (24,68) 0,227a
Tekanan Darah Diastolik,
rerata (SB), mmHg
Menit ke 0 80,53 (12,25) 75,53 (13,12) 0,266a
Menit ke 15 82,20 (10,81) 76,73 (11,45) 0,190b
Menit ke 30 79,93 (11,84) 75,13 (10,15) 0,243b
Menit ke 45 81,53 (12,8) 78,07 (10,77) 0,811a
Menit ke 60 78,47 (14,03) 74,67 (10,6) 0,858a
Frekuensi Nadi, rerata (SB),
x/menit
Menit ke 0 89,33 (17,92) 87,87 (15,21) 0,811b
Menit ke 15 90,13 (18,97) 86 (9,89) 0,463b
Menit ke 30 90,87 (17,85) 85,27 (11,57) 0,317b
Menit ke 45 85,27 (15,06) 83,67 (12,36) 0,753b
Menit ke 60 84,87 (17,65) 81,67 (12,03) 0,566b
Frekuensi Nafas, rerata (SB),
x/menit
Menit ke 0 23,6 (9,17) 18,93 (3,92) 0,109a
Menit ke 15 23,4 (9,32) 18,93 (4,2) 0,109a
Menit ke 30 22,13 (8,09) 18,93 (3,56) 0,457a
Menit ke 45 20,2 (6,49) 18,93 (4,2) 0,847a
Menit ke 60 19,53 (4,52) 18,8 (4,26) 0,531a
a
Mann Whitney, bT Independent
Hasil pengamatan pada tekanan darah sistolik pada kelompok subyek yang
menerima manitol 20% 3 cc/kgBB (kelompok A) menunjukkan rerata tertinggi
terjadi pada menit ke 0 yaitu dengan rerata 133,33 mmHg. Pada menit ke 15
tekanan darah sistolik turun sampai ke angka 129 mmHg dan berikutnya naik
kembali pada menit ke 60 dengan rerata 133,07 mmHg.
Rerata tekanan darah sistolik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan sejak
pengamatan menit ke 0 sampai menit ke 60 setelah dianalisis dengan uji
Friedman.
134
133.33
133 133.07
Tekanan darah Sistolik, mmHg
132 132.2
131.6
131
130
129 129
128
127
126
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60
Hasil pengamatan pada tekanan darah sistolik pada kelompok subyek yang
menerima Natrium Laktat Hipertonik 3cc/ KG BB (kelompok B) menunjukkan
rerata pada menit ke 0 adalah 126,13 mmHg dan meningkat pada menit ke 15
menjadi 129,53. Pada menit ke 30 rerata tek darah diastolik turun menjadi 124,2
mmHg. Rerata tekanan darah sistolik tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan sejak pengamatan menit ke 0 sampai menit ke 60 setelah dianalisis
dengan uji Friedman.
130
129.53
129
Tekanan Darah Sitolik, mmHg
128
127
126.73
126 126.13 126.13
125
124 124.2
123
122
121
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60
82 82.2
Tekanan Darah Diastolik, mmHg
81.53
81
80.53
80 79.93
79
78.47
78
77
76
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60
79
77
76.73
76
75.53
75 75.13
74.67
74
73
72
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60
Kelompok A Kelompok B
P
(n=15) (n=15)
Volume Urin, rerata (SB), ml 818 (236,68) 469 (228) <0,001a
Osmolaritas, rerata (SB), mOsm/L
Sebelum Intervensi 296,32 (7,83) 292,58 (7,1) 0,130b
Sesudah Intervensi 305,31 (6,89) 297,52 (7,36) 0,006a
a
T Independent, b Mann Whitney
900
818
800
700
600
Volume Urin, ml
500 469
400
300
200
100
0
Kelompok A Kelompok B
305.31
305
Osmolaritas, mOsm/L
300
297.52
296.32 Sebelum Intervensi
295 Sesudah Intervensi
292.58
290
285
Kelompok A Kelompok B
Kelompok A Kelompok B
p P
(n=15) (n=15)
Osmolaritas, rerata
(SB), mOsm/L
Sebelum Intervensi 296,32 (7,83) 0,001a 292,58 (7,1) <0,001b
Sesudah Intervensi 305,31 (6,89) 297,52 (7,36)
a b
Wilcoxon, T Dependent
Kelompok A Kelompok B
P
(n=15) (n=15)
Selisih Osmolaritas sebelum- 8,99 (7,16) 4,94 (3,82) 0,063a
sesudah rerata (SB), mOsm/Kg
a
T Independent
BAB 5
PEMBAHASAN
63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
perhatian karena kemungkinan akan menaikkan osmolaritas plasma yang makin tinggi
dan juga kemungkinan rebound phenomen yaitu edema otak karena penggunaan manitol
yang kronis.
Pada kelompok pasien yang diberikan natrium laktat 3 cc/kg BB target
osmolaritas belum tercapai akan tetapi bila dibandingkan efek kenaikan osmolaritas
kedua kelompok tidak didapati perbedaan bermakna (p>0,05), dosis yang lebih tinggi
dan penggunaan lebih dari satu kali natrium laktat hipertonik dapat diberikan untuk
mencapai target osmolaritas yang diharapkan. Natrium laktat hipertonik sangat
bermanfaat pada kasus perdarahan dengan multitrauma termasuk trauma kepala, karena
dapat digunakan dengan volume yang kecil untuk meningkatkan hemodinamik dan juga
mengurangi edema otak yang terjadi (Kyes J, Johnson JA, 2011). Dari segi harga manitol
masih lebih murah dibandingkan natrium laktat hipertonik sehingga manitol masih lebih
sering digunakan sebagai terapi hiperosmolar.
Sesuai dengan Guideline Traumatic Brain Injury (TBI) Foundation
prinsip penanganan cedera otak traumatik adalah mempertahankan oksigenasi dan
perfusi ke otak sehingga tidak memperberat cedera yang terjadi dimana terapi
osmotik adalah salah satu modalitas penanganannya. Terapi osmotik ini tidak
bisa berdiri sendiri dalam penanganan cedera otak traumatik, penanganan dini dan
menyeluruh seperti jalan nafas, pernafasan dan status hemodinamik serta tindakan
operasi untuk dekompresi sampai stabilisasi di ICU apabila diperlukan.
Efek terapi dari cairan hiperosmolar ini paling baik diketahui apabila ada
monitoring TIK sehingga pemberian cairan osmotik ini dapat diberikan secara
tepat untuk mencapai target terapi yang lebih baik dan meminimalisasi efek
samping yang terjadi.
Dari pembahasan di atas didapatkan bahwa penelitian dengan hipotesa
dimana tidak ada perbedaan bermakna kenaikan osmolaritas plasma yang
diakibatkan pemberian manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan natrium laktat
hipertonik 3 cc/kg BB pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
1. Berdasarkan penelitian, manitol 20% 3 cc/Kg BB dapat menaikkan
osmolaritas plasma sesuai dengan target osmolaritas yang diharapkan yaitu
300 – 315 mOsm/Kg dan Natrium laktat hipertonik 3 cc/Kg BB hanya dapat
menaikkan osmolaritas dibawah 300 mOsm/Kg, berarti manitol masih lebih
efektif dibandingkan natrium laktat hipertonik dalam hal target osmolaritas
plasma pasien cedera otak traumatik.
2. Perbedaan kenaikan osmolaritas pada kedua kelompok perlakuan tidak
berbeda bermakna secara statistik (p>0,05) tetapi nilai akhir osmolaritas
kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
3. Dari penelitian ini didapatkan tidak ada perubahan hemodinamik yang
bermakna (p>0,05) pada kedua kelompok setelah perlakuan walaupun
dijumpai volume urine pada kelompok manitol lebih banyak dibandingkan
kelompok natrium laktat hipertonik.
4. Terapi osmotik adalah salah satu modalitas penanganan cedera kepala
traumatik tetapi tidak dapat berdiri sendiri. Penanganan secara menyeluruh
seperti penanganan jalan nafas, pernafasan, hemodinamik, stabilisasi
metabolik, elevasi kepala, tindakan dekompresi dan tindakan perawatan
lanjutan di ICU apabila diperlukan harus dilakukan untuk prognosis pasien
yang lebih baik.
6.2 SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam hal pemberian terapi osmotik
dihubungkan dengan penilaian TIK langsung dengan cairan hiperosmolar
dengan pengamatan yang lebih lama.
2. Perlu diperhatikan pemberian berulang manitol mengenai efek osmolaritas
yang ditimbulkan untuk prognosis lebih baik.
66
DAFTAR PUSTAKA
67
Helmy A, Vizcaychipi M., Gupta A. K.. Traumatic brain injury : intensive care
management. British Journal Anaesthesia. 2007:99:32-42.
Ichai C, Guy A, Orban JC, Berthier F, Rami L, Long CS, Grimaud D, Levere X.
Sodium Lactate vs. Mannitol in the Treatment of Intracranial
Hypertensive Episodes in Severe Traumatic Brain-Injured Patients.
Critical Care. 2014;18;163-75.
Kalita J, Ranjan P, Misra U K. Current status of osmotherapy in intracerebral
hemorrhage. Neurol India. 2003;51:104-9.
Kyes J, Johnson JA. Hypertonic Saline Solutions in Shock Resuscitation.
Conpendium : Continuing Education for Veterinarians. 2011;E1-7.
Malik ZA, Mir SA., Nagas IA., Sofi KP, Wani AA. A Prospective, Randomized,
Double Blind Study to Compare the Effects of Equiosmolar Solutions of
3% Hypertonic Saline and 20% Mannitol on Reduction of Brain-Bulk
During Elective Craniotomy for Supratentorial Brain Tumor Resection.
Anesthesia Essays and Researches. 2014;8(3);388-92.
Mortazavi MM, Romeo Andrew K., Deep Aman, Griessenauer Christoph J.,
Shoja Mohammadali M., Tubbs Shane, Fisher Winfield,. Hypertonic
saline for treating raised intracranial pressure: literature review with
meta-analysis. Journal Neurosurgery. 2012;116:210-21.
Mustafa I, Leverve X. Metabolic and hemodynamic effects of hypertonic
solutions: sodium-lactate versus sodium chloride infusion in
postoperative patients. Shock. 2002;18(4):306-10.
Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia : Anesthetic
Management of Head Trauma. Lippincott Williams & Wilkins. 2007;
p91-109.
Olivecrona M. On Severe Traumatic Brain Injury, Aspects of an Intra Cranial
Pressure-Targeted Therapy Based on The Lund Concept. University
Medical Dissertations. Swedia. 2008.;10-22
Peng Y, Liu Xiaoyuan, Wang Aidong, Han Ruquan. The effect of mannitol on
intraoperative brain relaxation in patients undergoing supratentorial
tumor surgery : study protocol for a randomized controlled trial.
Biomed Central. 2014;15:165- 71.
Rozet I, Tontisirin Nuj, Muangman Saipin, Vavilala Monica S., Souter Michael
J., Lee Lorri A., Kincaid M. Sean, Britz Gavin W., Lam Arthur M..
Effect of equiosmolar solutions of mannitol versus hypertonic saline on
intraoperative brain relaxation and electrolyte balance. The American
society of anesthesiologists Inc. 2007;107:697-704.
Sakellaridis N, Pavlou Elias, Karatzas Stylianos, Chroni Despina, Vlachos
Konstantinos, Chatzopoulos Konstantinos, Dimopoulou Eleni, Kelesis
Christos, Karaouli Vasiliki. Comparison of mannitol and hypertonic
salie in the treatment of severe brain injuries. Journal Neurosurgery.
2011;114:545-8.
Saleh, SC. Sinopsis Neuroanestesia Klinik : Anstesi untuk Trauma Kepala.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. 2013; p145-59.
Scozzafava J, Hussain Muhammad Shazam, John Seby. Medical and Surgical
Management of Intracranial Hypertension. Available from
http://www.intechopen.com/books/advances-in-thetreatment-of-
ischemic-stroke/medical-and-surgical-management-of-intracranial-
hypertension. 2012;215-27.
Sharma RM, Setlur R, Swamy MN. Evaluation of mannitol as an
osmotherapeutic agent in traumatic brain injuries by measuring serum
osmolality. Medical Journal Armed Force India. 2011:67:230-3.
Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol : a review of its
clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-5.
Wakai A, IG Roberts, G Schierhout. Mannitol for acute traumatic brain injury
(review). The Cochrane Collaboration. 2008;1-9.
Wani AA, Ramzan Altaf U, Nizami Furqan, Malik Nayil K M, Kirmani A R,
Bhatt AR, Singh Sarabjeet. Controversy in use of mannitol in head
injury. Indian Journal of Neurotauma. 2008;5:11-3.
White H, Cook David, Venkatesh Bala. The use of hypertonic saline for
treating intracranial hypertension after traumatic brain injury.
Anesthesia Analgesia. 2006;102:1836-46.
Wisniewsk P, Semon G, Liu Xi, Dhaliwal P. Severe Traumatic Brain Injury
Management. webmaster@surgicalcriticalcare.net. 2014;1-14.
Yildizdas D, S Altunbasak, U Celik, O Herguner. Hypertonic Saline Treatment
in Children with cerebral edema. Indian Pediatrics Journal.
2006;43:771-9.
Lampiran 1
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Riwayat Pendidikan
1988 – 1994 : SD Negeri 173547 Tambunan
1994 -1997 : SMP Negeri 3 Tambunan
1997 - 2000 : SMA Negeri 2 Balige
2000 - 2006 : Fakultas Kedokteran USU Medan
2011 - Sekarang : PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU Medan
Riwayat Pekerjaan
2007 – 2008 : Dokter PTT pusat Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi
Papua Barat
2008-2009 : Dokter PTT Pusat Kabupaten Paniai, Provinsi Papua
2009- Sekarang : PNS RSUD Hadrianus Sinaga Pangururan Samosir
Lampiran 2
TAHUN
TAHUN 2015
2016
Tahapan Penelitian
JUN-
SEP OKT NOV DES JAN
AUG
Bimbingan proposal
Seminar proposal
Perbaikan proposal
Komisi etika penelitian
Pengumpulan data
Pengolahan & Analisa data
Bimbingan penyusunan
laporan akhir Penelitian
Seminar akhir penelitian
Perbaikan laporan akhir
penelitian
Lampiran 3
Bapak/Ibu/Saudara/i Yth.
Saya, dr. Budi Harto Batubara saat ini sedang menjalani program
pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif Fakultas
Kedokteran USU dan akan melaksanakan penelitian sebagai syarat ujian
akhir. Adapun penelitian saya berjudul :
Lampiran 4
Nama : ...........................................................................
Umur : …………….Tahun
Hubungan keluarga : ...........................................................................
Nama Pasien : ...........................................................................
Umur : …………….Tahun
No. Rekam Medis : ............................................................................
Pekerjaan : ...........................................................................
Pendidikan : ...........................................................................
Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila
diperlukan.
Saksi,
(_________________)
Kelompok : _____________
Lampiran 5
LEMBAR OBSERVASI SUBJEK PENELITIAN
Identitas Pasien :
Nama : __________________________________________________
Jenis Kelamin : L / P
Pekerjaan : __________________________________________________
Alamat : __________________________________________________
Suku/Agama : __________________________________________________
Diagnosa : __________________________________________________
__________________________________________________
Awal RR _________x/menit
GCS : __________________________________________________
15
30
45
60
Lampiran 6
TABEL ANGKA RANDOM
Nomor Sekuens
00 -04 AAABBB
05-09 AABABB
10-14 AABBAB
15-19 AABBBA
20-24 ABAABB
25-29 ABABAB
30-34 ABABBA
35-39 ABBAAB
40-44 ABBABA
45-49 ABBBAA
50-54 BAAABB
55-59 BAABAB
60-64 BAABBB
65-69 BABAAB
70-74 BABABA
75-79 BABBAA
80-84 BBAABA
85-89 BBAABA
90-94 BBABAA
95-99 BBBAAA
Dengan mata tertutup diberikan tanda dengan pinsil pada table random,
didapatkan angka terdekat adalah 25, setelah itu dipilih 5 angka kesamping (kanan
didapatkan angka 25, 63, 65, 78, 41. Angka 5 diperoleh dari besar sampel dibagi
jumlah blok ( 30/6 = 5)
perlakuan adalah :