Anda di halaman 1dari 101

PERBANDINGAN OSMOLARITAS PLASMA SETELAH PEMBERIAN

MANITOL 20% 3 CC/KG BB DENGAN NATRIUM LAKTAT


HIPERTONIK 3 CC/KG BB PADA PASIEN CEDERA OTAK
TRAUMATIK RINGAN-SEDANG

TESIS
BUDI HARTO BATUBARA

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERBANDINGAN OSMOLARITAS PLASMA SETELAH PEMBERIAN
MANITOL 20% 3 CC/KG BB DENGAN NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK 3 CC/KG BB PADA PASIEN CEDERA OTAK
TRAUMATIK RINGAN-SEDANG

TESIS

Oleh:

Budi Harto Batubara


NIM : 117114004

PEMBIMBING I :

Dr. dr. Nazaruddin Umar, Sp. An, KNA

PEMBIMBING II :

dr. Chairul M. Mursin, Sp. An, KAO

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik Anestesiologi dan


Terapi Intensif / M.Ked (An) pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini,
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang
Ilmu anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan yang saya cintai dan banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini jauh dari
sempurna dan masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian
bahasanya. Meskipun demikian, keinginan dan harapan saya agar kiranya tulisan
ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam
penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang
“PERBANDINGAN OSMOLARITAS PLASMA SETELAH PEMBERIAN
MANITOL 20% 3 CC/KG BB DENGAN NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK 3 CC/KG BB PADA PASIEN CEDERA OTAK TRAUMATIK
RINGAN-SEDANG “
Dengan berakhirnya penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula
dari lubuk hati saya yang terdalam dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan
saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi –
tingginya kepada yang terhormat : Dr. dr. Nazaruddin Umar, Sp.An, KNA dan
dr. Chairul M. Mursin Sp.An, KAO atas kesediaannya sebagai pembimbing
penelitian saya ini, DR. dr. Taufik Ashar, MKM sebagai pembimbing statistik,
walaupun ditengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh
perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang
sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dengan berakhirnya masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan, maka pada kesempatan yang berbahagia ini
perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ii

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, (Plt. Rektor)


Prof. Subhilhar, Ph.D, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (KGEH) atas kesempatan yang telah
diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis
(PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan.
Yang terhormat Kepala Departemen / SMF Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Achsanuddin Hanafie,
Sp.An. KIC. KAO dan dr. Hasanul Arifin, Sp.An, KAP, KIC sebagai Ketua
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, DR. dr. Nazaruddin Umar,
Sp.An, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
dan dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An. KAKV sebagai Sekretaris Program Studi
Anestesiologi dan Terapi Intensif, terima kasih saya persembahkan oleh karena
telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam
mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
hingga selesai.
Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution,
Sp.An. KIC; dr. Chairul M. Mursin, Sp.An, KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie,
Sp.An. KIC. KAO; dr. Hasanul Arifin Sp.An, KAP. KIC; DR. dr. Nazaruddin
Umar, Sp.An. KNA; dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An. KAKV; dr. Asmin Lubis,
DAF, Sp.An. KAP. KMN; dr. Ade Veronica HY, Sp.An. KIC; dr. Yutu Solihat,
Sp.An. KAKV; dr. Soejat Harto, Sp.An. KAP; (Alm) dr. Nadi Zaini Bakri Sp.An;
(Alm) dr. Muhammad AR, Sp.An KNA; dr Syamsul Bahri Siregar, Sp.An;
dr. Tumbur, Sp.An; dr. Walman Sihotang, Sp.An; LetKol (CKM) dr. Nugroho
Kunto Subagio, Sp.An; DR. dr. Dadik W. Wijaya, Sp.An; dr. M. Ihsan, Sp.An.
KMN; dr Qodri F. Tanjung, Sp.An. KAKV; dr. Guido M. Solihin, Sp.An. KAKV;
dr. Rommy F Nadeak, Sp.An, dr. Rr. Shinta Irina, Sp.An, dr. Andriamuri P. Lubis
M.Ked (An) Sp.An; dr. Mayor Laut (K) Eko Wahyudi Sp.An; dr. Raka Jati P.
M. Ked (An) Sp.An, dr. Bastian Lubis M.Ked (An) Sp.An dr. Wulan Fadine
M.Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafis Hasbi M.Ked (An) Sp.An dan dr. Tasrif Hamdi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


iii

M. Ked (An) Sp.An, saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang paling
dalam atas segala ilmu, ketrampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang
ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin
menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta
pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang
kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari. Kiranya Tuhan YME
memberkati guru-guru saya tercinta.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak
Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan, Ibu
Direktur RS Haji Medan yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan
serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat
menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya
haturkan terima kasih.
Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada kedua orang tua
tercinta, ayahanda : (Alm) J. Batubara dan ibunda : R. Tambunan saya sampaikan
rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang
setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan
kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya, semenjak saya
masih dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberikan asuhan, bimbingan,
pendidikan serta suri tauladan yang baik sehingga saya dapat menjadi pribadi
yang dewasa, berakhlak, memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi
tantangan dalam perjalanan kehidupan ini dan menjadi anak yang berbakti kepada
orang tua dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan
doa kepada Tuhan yang Maha Esa ampunilah dosa kedua orang tua saya serta
sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil.
Terimakasih juga saya ucapkan kepada abang, kakak dan adik saya atas doa dan
dukungan yang tidak henti-henti selama saya menjalani pendidikan ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian
Anestesiologi dan Terapi Intensif khususnya dr. M. Teguh Prihadi, dr. Chitra I
Artha, dr. Mummya Camary,dr. Abraham D. Siregar, dr. Poppy, dr. Oktavienni,
dr. Andrias, dr. Angga, dan dr. Taor L. Yang telah bersama sama baik duka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


iv

maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat
dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi
ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkahi kita semua.
Kepada seluruh teman-teman, rekan-rekan dan kerabat, handai taulan,
keluarga besar, pasien-pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materiil
kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam
saya ucapkan banyak terima kasih.
Kepada paramedis dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan, RSUP
Pirngadi Medan dan RS Kodam II Bukit Barisan Medan yang telah banyak
membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini.
Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang
tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa
pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.
Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerja
sama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat
berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Tuhan.

Medan, Januari 2016


Penulis

( dr. Budi Harto Batubara )

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vii

DAFTAR ISI

Hal
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------- i
ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------- v
ABSTRACT --------------------------------------------------------------------------- vi
DAFTAR ISI -------------------------------------------------------------------------- vii
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------- x
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------- xi
DAFTAR LAMPIRAN ------------------------------------------------------------- xii
DAFTAR SINGKATAN ----------------------------------------------------------- xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ------------------------------------------------------- 1
1.1 Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan Masalah --------------------------------------------------- 7
1.3 Hipotesis -------------------------------------------------------------- 7
1.4 Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 7
1.4.1 Tujuan Umum ----------------------------------------------- 7
1.4.2 Tujuan Khusus ---------------------------------------------- 8
1.5 Manfaat Penelitian -------------------------------------------------- 8
1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Akademik ---------------------- 8
1.5.2 Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat -------- 8
1.5.3 Manfaat Dalam Bidang Penelitian ----------------------- 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------ 9


2.1 Neurofisiologi -------------------------------------------------------- 9
2.1.1 Pengaturan Aliran Darah Otak (CPP) dan Faktor
Yang Mempengaruhinya ---------------------------------- 9
2.1.2 Autoregulasi ------------------------------------------------- 11
2.1.3 Sawar Darah Otak ------------------------------------------ 12
2.1.4 Cairan Serebro Spinal -------------------------------------- 13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


viii

2.2 Cedera Otak Traumatik --------------------------------------------- 14


2.2.1 Patofisiologi Cedera Otak Traumatik ------------------- 15
2.2.2 Aliran Darah otak pada cedera otak traumatik --------- 16
2.2.3 Kerusakan Anatomis --------------------------------------- 19
2.2.4 Penanganan Perioperatif pasien Cedera otak
Traumatik ---------------------------------------------------- 23
2.3 Cairan Hiperosmoler sebagai terapi edema serebri ------------- 36
2.3.1 Manitol ------------------------------------------------------- 37
2.3.2 Larutan Garam Hipertonik -------------------------------- 40
2.3.3 Natrium Laktat Hipertonik -------------------------------- 41
2.4 Kerangka Teori ------------------------------------------------------ 43
2.5 Kerangka Konsep --------------------------------------------------- 44

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ------------------------------------- 45


3.1 Desain Penelitian ---------------------------------------------------- 45
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ------------------------------------- 45
3.2.1 Tempat ------------------------------------------------------- 45
3.2.2 Waktu Penelitian ------------------------------------------- 45
3.3 Populasi dan Sampel ------------------------------------------------ 45
3.3.1 Populasi ------------------------------------------------------ 45
3.3.2 Sampel ------------------------------------------------------- 45
3.4 Perkiraan Besar Sampel -------------------------------------------- 46
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi -------------------------------------- 46
3.5.1 Kriteria Inklusi ---------------------------------------------- 46
3.5.2 Kritreria Eksklusi ------------------------------------------- 47
3.5.3 Kriteria Drop Out ------------------------------------------- 47
3.6 Informed Consent --------------------------------------------------- 47
3.7 Cara Kerja ------------------------------------------------------------ 47
3.8 Alat dan bahan ------------------------------------------------------- 49
3.8.1 Alat yang digunakan --------------------------------------- 49
3.8.2 Bahan yang digunakan ------------------------------------- 49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ix

3.9 Identifikasi Variabel ------------------------------------------------ 49


3.9.1 Variabel Bebas ---------------------------------------------- 49
3.9.2 Variabel Tergantung --------------------------------------- 49
3.10 Definisi Operasional ------------------------------------------------ 50
3.11 Masalah Etika -------------------------------------------------------- 50
3.12 Analisis Data --------------------------------------------------------- 51
BAB 4 HASIL PENELITIAN -------------------------------------------------- 53
4.1 Karakteristik Demografi Subyek ---------------------------------- 53
4.2 Hasil Pemeriksaan Klinis dan Kimia Darah --------------------- 54
4.3 Parameter Hemodinamik antara Kelompok A dan B ---------- 55
4.4 Perubahan Osmolaritas pada Kelompok A dan B --------------- 61
BAB 5 PEMBAHASAN --------------------------------------------------------- 63
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ---------------------------------------- 66
6.1 Kesimpulan ----------------------------------------------------------- 66
6.2 Saran ------------------------------------------------------------------ 66
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------- 67
LAMPIRAN -------------------------------------------------------------------------- 71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


x

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal
Gambar 2.1 Autoregulasi ADO 10
Autoregulasi efektif pada TAR (MAP) antara 50-150
Gambar 2.2 11
mmHg
Gambar 2.3 Cedera Sekunder dan Konsekuensi di Tingkat Seluler 15
Gambar 2.4 Gambar EDH 20
Tindakan pilihan untuk EDH pada pasien dengan
Gambar 2.5 21
GCS > 8
Gambar 2.6 SDH 21
Tindakan pilihan pada pasien SDH akut dengan GCS >
Gambar 2.7 22
8
Gambar 2.8 Gambar ICH 23
Gambar 2.9 Diagram resusitasi pada penanganan cedera kepala 24
Gambar 2.10 Gambar Algoritme difficult Airway 31
Gambar 2.11 Struktur manitol 37
Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik pada
Gambar 4.1 57
Kelompok A
Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik pada
Gambar 4.2 58
Kelompok B
Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik pada
Gambar 4.3 59
Kelompok A
Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik pada
Gambar 4.4 60
Kelompok B
Perbedaan Volume Urin pada Kelompok A dan
Gambar 4.5 61
Kelompok B
Perbedaan Osmolaritas Plasma pada Kelompok A dan
Gambar 4.6 61
Kelompok B

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xi

DAFTAR TABEL

No Judul Hal.

Tabel 2.1 Penyebab Cedera Sekunder 14

Tabel 2.2 Glasgow coma scale 19

Tabel 2.3 Hubungan hipoksia, hipovolemia dengan mortalitas pada pasien 25


cedera kepala

Tabel 2.4 Kadar Natrium dan Osmolalitas Berbagai Cairan Hiperosmolar 37

Tabel 2.5 Efek Samping Manitol 40

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi 53

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Klinis 55

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kimia Darah 55

Tabel 4.4 Perbedaan Parameter Hemodinamik antara Kelompok A dan B 56

Tabel 4.5 Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik antara Kelompok A 57


dan B

Tabel 4.6 Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik antara Kelompok A 58


dan B

Tabel 4.7 Perbedaan Volume Urin dan Osmolaritas Darah antara 60


Kelompok A dan B

Tabel 4.8 Perbedaan Osmolaritas Darah pada Kelompok A dan B antara 62


Sebelum Sesudah Intervensi

Tabel 4.9 Efek Perubahan Osmolaritas pada Kelompok A dan B 62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xii

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal.

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti 71

Lampiran 2 Jadwal Tahapan Pelaksanaan Penelitian 72

Lampiran 3 Lembar Penjelasan Mengenai Penelitian 73

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan 76

Lampiran 5 Lembar Observasi Subjek Penelitian 78

Lampiran 6 Tabel Angka Random 79

Lampiran 7 Lembar Persetujuan Komite Etik FK USU 81

Lampiran 8 Master Data 82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xiii

DAFTAR SINGKATAN

Å : angstrom = 10–10 meter (m) = 0.1 nanometer (nm)

ADH : Anti Diuretic Hormone

ADO : Aliran Darah Otak

ARDS : Adult Respiratory Distress Syndrome

ASA : American Society Of Anesthesiologist

ATLS : Advanced Trauma Life Support

ATP : Adenosin Triphosfate

BBB : Blood Brain Barier

CBF : Cerebral Blood Flow

COT : Cedera Otak Traumatik

CPP : Cerebral Perfusion Pressure

CSS : Cairan Serebro Spinal

CVP : Central Venous Pressure

CVR : Cerebrovascular Resistance

DAI : Diffuse Axonal Injury

DVT : Deep Vein Trombosis

EDH : Epidural Hematom

GCS : Glasgow Coma Scale

GOS : Glasgow Outcome Score

HES : Hydro Ethyl Starch

HSL : Hypertonic Laktat

HTS : Hypertonic Saline

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


xiv

ICH : Intracerebral Hemorrhage

ICP : Intracranial Pressure

KGD : Kadar Gula Darah

LMWH : Low Molecular Weight Heparin

MAP : Mean Arterial Pressure

MMSE : Mini Mental State Examination

PbrO2 : Pressure Brain Oxygen

PTS : Post Traumatic Seizure

RSII : Rapid Sequence Induction Intubation

SDH : Subdural Hemorrage

SDO : Sawar Darah Otak

SJO2 : Saturation Jugular Oxygen

SSP : Sistem Saraf Pusat

TAR : Tekanan Arteri Rerata

TBI : Traumatic Brain Injury

TIK : Tekanan Intrakranial

TPO : Tekanan Perfusi Otak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Latar Belakang dan Tujuan : Cedera otak traumatik merupakan masalah di


dalam dan luar negeri yang mengakibatkan angka kematian dan kecacatan yang
tinggi. Tujuan pengelolaan cedera otak traumatik adalah memperbaiki oksigenasi
dan perfusi jaringan otak, mencegah peningkatan TIK sehingga akan mencegah
cedera otak sekunder. Terapi osmotik salah satu cara penanganan pada cedera
kepala traumatik untuk menurunkan TIK dengan cara mengatasi edema yang
terjadi. Pada penelitian ini ditujukan untuk membandingkan osmolaritas plasma
setelah pemberian Manitol 20 % dengan Natrium Laktat hipertonik pada pasien
cedera otak ringan sedang.
Metode: Setelah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian bidang
kesehatan FK USU dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan dilakukan
penelitian pada 30 sampel penelitian pasien cedera otak traumatik ringan sedang
yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Setelah randomisasi sampel dibagi
menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu kelompok A diberikan Manitol 20 % 3 cc/
Kg BB dan kelompok B diberikan Natrium Laktat hipertonik 3 cc/ Kg BB.
Dilakukan penilaian osmolaritas sebelum perlakuan dan 60 menit setelah
perlakuan dengan cara pengambilan darah kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
Hasil : Didapatkan efek perubahan osmolaritas plasma setelah perlakuan tidak
bermakna secara statistik (p>0,05) walaupun osmotik akhir setelah perlakuan pada
kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05). Volume urin lebih banyak pada
kelompok manitol dan bermakna secara statistik (p<0,05) akan tetapi tidak ada
perubahan hemodinamik yang bermakna.
Kesimpulan : Dari hasil penelitian didapatkan perubahan osmolaritas setelah
perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik
(p>0,05), perubahan osmolaritas setelah terapi osmotik tidak melebihi
315 mOsm/ kg.
Kata Kunci : Osmolaritas, Manitol 20 %, Natrium Laktat Hipertonik, Cedera
Otak traumatik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRACT

Background and Objective: Traumatic brain injury is an abroad and domestic


problem that causes high mortality and disability. The purpose of the management
of traumatic brain injury is to improve oxygenation and perfusion of brain injury,
to prevent the increase of intracranial pressure, that in turn prevent secondary
brain injury. Osmotic therapy is one in many other ways to manage the traumatic
head injury to decrease intracranial pressure by alleviating the brain edema. This
study compared between the mean plasma osmolarity after the administration of
Mannitol 20% and the mean plasma osmolarity after the administration of
hypertonic natrium lactate in patients with mild and moderate trauma brain injury.
Methods : After obtaining the approval from the health research ethical
committee of Medical Faculty of Universitas Sumatera Utara and Haji Adam
Malik Medan Hospital, a study was performed to 30 subjects that endured mild
and moderate brain injury that is qualified for inclusion and exclusion. After
randomizing the samples, the samples are divided into two treatment groups i.e.
Group A given with Mannitol 20% 3 cc/kg body weight and Group B given with
hypertonic natrium lactate 3 cc/kg body weight. The measurement of osmolarity
was done before administration of either of Mannitol of hypertonic natrium lactate
and at minute 60 after the administration by drawing the blood and checking the
blood afterwards.
Result : Plasma osmolarity change before and after the treatment was not
statistically sifgnificant (p> 0,05) for each group treatment eventhough plasma
osmolarity after the treatment between two group was statistically significant.
Urin output was more in quantity in the mannitol group and statistically
significant (p>0,05), nevertheless there was no significant hemodynamic change.
Conclusion : This study came up with the result of there was no statistical
difference in the osmolarity change after the treatment (p>0,05). Osmolarity
change after the osmotic therapy did not exceed 315 mOsm/kg.
Keywords : Osmolarity, mannitol 20%, hypertonic natrium lactate, traumatic
brain injury

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera otak traumatik merupakan masalah di dalam dan di luar negeri
yang dapat menyebabkan kematian, kecacatan dan cacat mental, terutama terjadi
pada usia muda yaitu para pengendara motor yang tidak menggunakan helm atau
sabuk pengaman. Di Amerika terdapat kejadian cedera otak traumatik lebih dari
1500 kasus per tahun dimana 10% diantaranya menyebabkan kematian dan 20%
menyebabkan kecacatan. Di Indonesia, data pasti belum diketahui akan tetapi
cedera otak traumatik merupakan salah satu penyebab utama kematian karena
kecelakaan (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).
Cedera otak traumatik akut akan menyebabkan pengaruh langsung (cedera
primer) dan tidak langsung (cedera sekunder) pada sistem saraf pusat (SSP). Efek
langsung adalah kontusio serebral, perdarahan intraserebral dan cedera akson
yang dapat menimbulkan kematian jaringan atau sel neuron. Efek tidak langsung
adalah efek yang menimbulkan kematian sel melalui proses biokimia yang
dimulai dengan adanya trauma atau iskemia (Bisri T, 2012). Cedera otak primer
akan mengawali suatu proses inflamatori, pembentukan edema yang
menghasilkan peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang lebih lanjut akan
menurunkan tekanan perfusi otak (TPO). Cedera otak sekunder merupakan
kelanjutan dari efek fisiologis yang berkembang setelah terjadinya cedera otak
primer yang akan memperberat prognosis pasien (Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).
Tujuan utama dari pengelolaan anestesi untuk cedera otak traumatik
adalah memperbaiki perfusi dan oksigenasi otak, mencegah peningkatan TIK,
mencegah cedera otak sekunder (hipoksemia, hiperkarbia, hipokarbia,
hiperglikemi ataupun hipoglikemi), dan analgesia yang adekuat (Bisri T, 2012;
Saleh SC, 2013).
Setelah cedera otak traumatik seringkali disertai dengan edema yang
berkaitan dengan kerusakan struktur atau gangguan keseimbangan air dan

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

elektrolit yang diinduksi oleh cedera primer maupun cedera sekunder. Edema itu
sendiri akan menyebabkan peningkatan TIK yang akan memperberat keadaan
pasien (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al,
2013; Saleh SC, 2013).
Pemberian cairan osmotik bertujuan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dengan cara mengurangi edema pada otak. Cairan osmotik ini akan
mempengaruhi osmolaritas tubuh, dimana cairan yang sering digunakan adalah
manitol (1100 mOsm), hipertonik salin sediaan 3-29,2% (1026-10000 mOsm) dan
yang terbaru adalah natrium laktat (1020 mOsm) (White H et al, 2006).
Manitol saat ini merupakan diuretika osmotika yang banyak digunakan
sebagai obat pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial. Manitol
menurunkan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan cairan dari
intraselular ke intravaskular, yaitu dengan cara menaikkan gradien osmotik antara
otak dan darah, akan tetapi efek samping dari manitol akan menyebabkan diuresis
cairan yang berlebihan sehingga terjadi gangguan cairan dan elektrolit, hal ini
akan menimbulkan hipovolemia dan hipotensi yang dapat menganggu
hemodinamik sehingga menurunkan perfusi otak yang akan memperburuk cedera
otak traumatik itu sendiri. Efek samping lain dari manitol adalah terjadinya
rebound fenomena yaitu peningkatan tekanan intrakranial pada penggunaan
manitol yang lama dikarenakan akumulasi manitol di jaringan otak sehingga
tekanan osmotik lebih tinggi di jaringan yang akan menarik cairan dari pembuluh
darah ke jaringan otak yang akan menyebabkan edema yang lebih berat
(Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013;
Saleh SC, 2013).
Sharma dkk (2011) melakukan penelitian pada 30 pasien trauma otak
sedang-berat yaitu 10 pasien dengan GCS < 8 dan 20 pasien GCS 9-12. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efek dari pemberian manitol sebagai terapi
osmotik dengan cara pemberian manitol 20% 100 cc /8 jam selama 5-7 hari
kemudian diperiksa osmolalitas setiap 12 jam, hasil penelitian mendapatkan
60 kali data Osmolalitas dan 60 kali pemeriksaan kadar natrium, didapatkan ada
33% (20 data) dimana Osmolalitas >320 mOsm/KgH2O dan 67% (40 data)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

osmolalitas <320 mOsm/Kg H2O dan kadar natrium > 145 mEq/L 10% (6 data)
dan kadar natrium <145 90% (54 data). Dari penelitian ini didapatkan pasien yang
selamat adalah 24 orang dimana rerata osmolalitas nya adalah 328, 75 mOsm/Kg
H2O (289-420) dan rerata kadar natrium setelah pemberian manitol adalah 142,
58 mEq(136-155) , kelompok pasien ini diberikan manitol antara 1-4 hari dengan
rerata 2,16 hari, sedangkan pada 6 pasien meninggal memiliki rerata osmolalitas
365,0 mOsm/KgH2O, rerata kadar natrium pada kelompok ini 146 mEq(144-149)
lama pemberian manitol adalah 1-5 hari (rerata 3,33). Pada penelitian ini
disimpulkan bahwa pemberian manitol 20% 100ml/8 jam bisa menyebabkan
kadar osmolalitas >320 mOsm bahkan terjadi pada hari pertama pemberian
manitol. Kadar natrium >145 mEq/L hanya 10% sampel (6 data) walaupun
keadaan hiperosmolar terjadi 33% (20 data) hal ini kemungkinan dikompensasi
oleh peningkatan hormone antidiuretik sehingga tidak semua pasien yang
hiperosmolar menjadi hipernatremia (Sharma RM et al, 2011).
Wakai A dkk pada tahun 2008, melakukan penelitian metaanalisis
terhadap beberapa penelitian yang menguji efektifitas dari manitol terhadap
penanganan edema otak karena cedera otak traumatik (GCS < 11)yaitu manitol
20% 5 ml/kg BB dibandingkan dengan placebo yaitu NaCl 0,9% 5 ml/kg BB
(Syre 1996), manitol 20% 1g/kg BB dengan pentobarbital 10 mg/kg BB
dilanjutkan dengan dosis 0,3-04 mg/kg BB dosis kontiniu (Schwartz 1984)
manitol dengan cairan salin hipertonik 7,5% (penelitian Vialet 2003) dan juga
membandingkan efektifitas pemberian manitol dengan panduan klinis dan
panduan tekanan intrakranial (Smith 1986). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa
manitol lebih baik dalam penanganan peningkatan TIK dibandingkan dengan
pentobarbital pada pasien cedera otak traumatik dimana angka mortalitas lebih
tinggi pada kelompok pentobarbital, akan tetapi pentobarbital bisa menjadi
alternatif pasien yang tidak respon pada terapi manitol. Pada penelitian yang
membandingkan efek manitol dengan hipertonik salin 7,5% (Vialet) tidak
didapatkan perbedaan bermakna efek pemberian dari manitol dan hipertonik salin
terhadap angka mortalitas pasien cedera otak traumatik, efek terapi pada kedua
kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna. Pada penelitian yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

membandingkan pemberian manitol berdasarkan klinis dan neurologis tidak


didapatkan perbedaan bermakna keuntungan klinis pada kedua kelompok
perlakuan. Dari meta analisis ini, Wakai dkk menyimpulkan belum ada bukti
penelitian yang merekomendasikan manitol sebagai terapi osmotik yang utama
pada pasien cedera otak traumatik (Wakai A et al, 2008).
Pada penelitian Francony G. dkk membandingkan efektifitas manitol 20%
dengan salin hipertonik NaCl 7,45% pada 20 pasien peningkatan tekanan
intrakranial (pasien trauma dan pasien stroke) dibagi dalam kelompok manitol
dan kelompok salin hipertonik. Pada penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan
bermakna secara statistik dalam hal penurunan tekanan intrakranial pada kedua
kelompok (p>0.05) akan tetapi pada manitol didapatkan diuresis yang lebih
banyak dibandingkan dengan salin hipertonik(p<0.05), dari penelitian ini kedua
agen osmotik memiliki efektifitas yang tidak berbeda bermakna dalam hal
penurunan TIK akan tetapi diuresis yang signifikan pada kelompok manitol
dibandingkan salin hipertonik perlu menjadi perhatian dalam hal mempertahankan
stabilitas hemodinamik terutama pasien dengan resusitasi yang kurang baik
(Francony G et al, 2008).
Larutan garam hipertonik (HTS-hypertonic saline) mulai digunakan
sebagai agen osmotik sebagai alternatif dari manitol agar terjadi penurunan
tekanan intrakranial tetapi tidak menyebabkan diuresis osmotik (Saleh SC, 2013).
efek hipernatremia akan berefek buruk pada miokardium, ginjal dan fungsi
fisiologis lainnya. Kerugian dari NaCl hipertonik adalah non anion gap metabolik
asidosis, konsentrasi Na>160 mEq/L akan memperburuk outcome pasien dan
belum diketahui dosis optimalnya (telah digunakan NaCl 3%; 5%; 7.5%; dan
23%) (; Newfield P & Cottrell JE, 2007; Mortazavi MM et al, 2012; Sakellaridis
N et al, 2011, Saleh SC, 2013; Peng Y et al, 2014).
Pada penelitian Malik, ZA dkk pada tahun 2014, pada 114 pasien
ASA II-III yang akan menjalani kraniotomi karena tumor otak supratentorial
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok M (n=58) mendapatkan manitol
5ml/KgBB dan kelompok HTS (n=56) mendapatkan NaCl 3% 5ml/KgBB. Pada
penelitian ini dibandingkan tingkat relaksasi otak diantara kedua kelompok,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

dimana penilaian relaksasinya oleh bedah saraf yaitu dengan skor relaks=1,
puas=2, sedikit bengkak=3 dan bengkak=4, didapatkan kelompok HTS
memberikan relaksasi otak yang lebih baik dengan nilai kelompok HTS relaks
sebanyak 28 pasien, puas sebanyak 20 pasien, sedikit bengkak sebanyak 5 pasien
dan bengkak 3 pasien sedangkan pada kelompok M diketahui penilaian relaksasi
otak untuk nilai relaks sebanyak 17 pasien, puas sebanyak 21 pasien, sedikit
bengkak 11 pasien dan bengkak sebanyak 9 pasien. Pada kelompok M, 20 pasien
diantaranya membutuhkan dosis tambahan manitol sedangkan pada kelompok
HTS 8 pasien diantaranya membutuhkan dosis tambahan NaCl 3%. Pada menit
ke-15 pasien kelompok HTS mengalami penurunan kalium sebaliknya pada
kelompok manitol mengalami peningkatan kalium (p=0,002). Produksi urin
setelah 6 jam adalah 4,38 ± 0,72 liter pada kelompok HTS, dan pada kelompok M
5,50 ± 0,75 liter (p=0,000) (Malik ZA et al, 2014).
Rozet dkk pada tahun 2007, membandingkan penggunaan NaCl 3% dan
manitol 20% 5 cc/kgBB pada 40 pasien tumor otak, pada penelitian dinilai
relaksasi otak antar kedua kelompok didapatkan tidak ada perbedaan bermakna,
tetapi pada kelompok manitol terdapat produksi urin lebih banyak dibanding
dengan kelompok NaCl 3% (p<0,03). Hal ini perlu diperhatikan hemodinamik
pada kelompok manitol karena diuresis berlebihan dapat menyebabkan
hipovolemia yang bisa mempengaruhi perfusi ke otak (Rozet I et al, 2007).
Harutjunyan L dkk tahun 2005, membandingkan NaCl 7,5% dalam HES
200/0,5 dengan manitol 15% pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial, pada penelitian ini didapatkan NaCl 7,5% lebih efektif menurunkan
tekanan intrakranial (p < 0,01) dan hemodinamik yang lebih stabil walaupun
secara statistik tidak signifikan (Harujutnyan L et al, 2005).
Natrium laktat hipertonik merupakan larutan hipertonik yang berisi
natrium laktat, kalium klorida, dan kalsium klorida dalam konsentrasi fisiologis.
Dimana prinsip penurunan tekanan intrakranial ini akan membentuk gradient
osmotik antara sawar darah otak yang impermeable terhadap natrium akan tetapi
tidak terhadap laktat. Efek osmotik cairan ini diakibatkan oleh kadar natrium

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

hipertonik yang dikandungnya (Saleh SC, 2013; Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Bisri T, 2012; Hanna & Ahmad MR, 2014; Ichai C et al, 2014).
Pada penelitian Hanna dan Ahmad RM pada tahun 2014, membandingkan
42 pasien cedera otak traumatik sedang ASA I-III yang menjalani kraniotomi
dimana pasien ini terbagi dua kelompok yaitu kelompok M (n=21) mendapat
manitol 20% 2,5 cc/kgBB dosis dan kelompok HSL mendapat infus cairan
natrium laktat 2,5cc/KgBB, parameter yang dibandingkan pada penelitian ini
adalah CVP, MAP, KGD, diuresis, relaksasi parenkim otak (penilaian oleh
operator bedah). Didapatkan perbandingan CVP lebih tinggi pada kelompok HSL
dibandingkan dengan kelompok M setelah menit ke 30 (p<0,05). Pada
perbandingan MAP didapatkan lebih tinggi kelompok HSL pada menit ke-60
dibandingkan dengan kelompok M (p=0,002). Perubahan KGD pada kelompok M
didapati menurun setelah menit ke-60, sedangkan kelompok HSL meningkat
(p=0,001), volume diuresis pada kelompok M didapati lebih tinggi dibandingkan
pada kelompok HSL (p=0,001). Sedangkan relaksasi otak tidak didapatkan
perbedaan secara bermakna (p=0,988) (Hanna & Ahmad MR, 2014).
Pada penelitian Icai Carole, dkk pada tahun 2008, membandingkan
34 pasien cedera otak traumatik berat dengan peninggian tekanan intrakranial
yang tidak dilakukan operasi kraniotomi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok MAN yang diberi infus manitol 1,5 cc/kg BB dan kelompok LAC
diberikan natrium laktat hipertonik 1,5 cc/kg BB, osmolaritas awal kelompok
MAN adalah 298.8 (11.4) dan kelompok LAC adalah 298.6 (7.3) pada penelitian
ini didapatkan osmolaritas kedua kelompok setelah perlakuan tidak berbeda
(kelompok MAN 101,0 % dari baseline dan kelompok LAC 100,2 baseline
(p=0,04)). MAP tidak berbeda pada kedua kelompok (kelompok MAN 100,1 dan
kelompok LAC 100,0; p=0,96). CPP pada kedua kelompok tidak terdapat
perbedaan secara bermakna (kelompok MAN 108,2 dan kelompok LAC 109,9
(p<0,51)) (Ichai C et al, 2014).
Arifin MZ dan Risdianto A pada tahun 2012, membandingkan efektifitas
natrium laktat hipertonik dengan manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial
penderita cedera otak traumatik berat, pada penelitian ini didapatkan efektifitas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

kedua terapi osmotik tidak berbeda secara bermakna (p>0,05), serta kadar
elektrolit pada kedua kelompok perlakuan juga tidak terdapat perbedaan secara
bermakna (Arifin MZ & Risdianto A, 2012).
Dari beberapa penelitian di atas mengenai efektifitas manitol dalam hal
menurunkan TIK, efek osmolaritas, rebound phenomen dan juga diuresis
berlebihan yang bisa mengganggu hemodinamik masih menjadi permasalahan
dalam pemilihan terapi osmotik pada cedera kepala, hipertonik salin dan natrium
laktat hipertonik bisa menjadi pilihan terapi hiperosmolar selain manitol, dimana
dapat juga mengurangi edema yang terjadi sama seperti manitol tetapi tidak
memiliki efek diuresis berlebihan, hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai perbandingan osmolaritas plasma setelah
pemberian manitol 20% 3 cc/kg BB dengan natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB
pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ada perbedaan kenaikan osmolaritas plasma yang diakibatkan
pemberian manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan natrium laktat hipertonik
3 cc/kg BB pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.

1.3 Hipotesis
Ada perbedaan kenaikan osmolaritas plasma yang diakibatkan pemberian
manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB pada
pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan kenaikan osmolaritas plasma setelah pemberian
manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan dengan natrium laktat hipertonik
3 cc/kg BB pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui kenaikan osmolaritas plasma pasien cedera otak
traumatik ringan-sedang setelah pemberian cairan manitol 20%
3 cc/kg BB
2. Untuk mengetahui kenaikan osmolaritas plasma pasien cedera otak
traumatik ringan-sedang setelah pemberian cairan natrium laktat
hipertonik 3 cc/kg BB

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Akademik
1. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan
acuan untuk pemilihan cairan untuk terapi osmotik pasien cedera
otak traumatik.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan terutama ilmu anestesi.

1.5.2 Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat


1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai pemilihan cairan terapi osmotik pada pasien cedera otak
traumatik.
2. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat meminimalkan biaya
operasional bagi pasien cedera otak traumatik terutama dalam
perawatan pasca operasi kraniotomi.

1.5.3 Manfaat Dalam Bidang Penelitian


Sebagai data untuk penelitian lanjutan terhadap pemilihan terapi
osmotik lain pada pasien-pasien cedera otak traumatik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Neurofisiologi
Berat otak yang hanya 2% dari berat badan, pada keadaan normal
mendapat pasokan darah 15-20% curah jantung. Aliran darah otak (cerebral blood
flow/CBF) pada orang dewasa dalam keadaan istirahat 45-50ml/100g jaringan
otak/menit. Untuk berfungsinya otak secara normal diperlukan aliran darah
memadai guna menjamin pasokan oksigen dan glukosa sebagai substrat energi
yang digunakan untuk metabolisme selular, dan untuk membuang hasil metabolit
yang tidak diperlukan.
Aliran darah ditentukan oleh kekentalan darah, tekanan perfusi otak
(cerebral perfusion pressure/CPP) dan diameter pembuluh darah. Otak mendapat
pasokan darah berasal dari arteri karotis dan arteri basilaris. Anastomosis dari
kedua pasangan arteri tersebut membentuk lingkaran Willis. Aliran darah vena
terdiri dari vena-vena interna dan eksterna yang bermuara ke sinus venosus. Sinus
venosus merupakan saluran yang dilapisi endotel sebagai lanjutan dari lapisan
endotel vena tapi terletak di lipatan duramater. Sinus tidak mempunyai katup dan
dindingnya tidak memiliki jaringan otot, sinus-sinus bermuara ke vena jugularis
interna dan berlanjut ke sinus sigmoid di foramen jugularis (Newfield P & Cottrell
JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).

2.1.1 Pengaturan Aliran Darah Otak (CPP) dan Faktor Yang


Mempengaruhinya
Terdapat dua mekanisme kendali terhadap aliran darah otak, yaitu
mengubah diameter pembuluh darah dalam menghadapi perubahan tekanan
perfusi, dan metabolisme otak yang menyesuaikan aliran untuk mendapatkan
kebutuhan metabolik.
Dua faktor utama penentu aliran darah ke otak adalah tekanan perfusi otak
dan tahanan vaskular otak (cerebrovascular resistance/CVR). Pada keadaan
tekanan intrakranial meningkat (TIK=ICP/intracranial pressure) maka tekanan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

perfusi otak (TPO/CPP) didefenisikan sebagai perbedaan antara tekanan arteri


rerata (TAR=Mean Arterial Pressure/MAP) dengan TIK (TPO=TAR–TIK). Pada
keadaan normal TPO menimbulkan respon autoregulasi yang akan
mempertahankan aliran darah otak dalam batas normal.
Pembuluh darah otak sangat peka terhadap kenaikan PaCO2 yang akan
menyebabkan peningkatan aliran darah otak (ADO), sebaliknya penurunan PaCO2
akan menurunkan ADO. Efek CO2 bergantung pada perubahan PH yang berkaitan
dengan meningkatnya PCO2 cairan serebrospinal (CSS). Ternyata PH faktor
penentu diameter pembuluh darah yang tidak bergantung pada PCO2. Pada nilai
PaCO2 antara 20-80 mmHg ADO berubah 2-4% untuk setiap perubahan 1mmHg
PaCO2. Secara umum apabila PaCO2 meningkat dari 40 menjadi 80 mmHg maka
ADO akan meningkat dua kali, sedangkan bila PaCO2 turun dari 40 menjadi
20 mmHg maka ADO akan menurun setengahnya (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Autoregulasi ADO pada rentang perfusi 50-150 mmHg, aliran
darah dipertahankan 50 ml/100g/menit. Terdapat hubungan linear
antara PaCO2 dan ADO (pada nilai PaCO2 dan ADO antara 20-80
mmHg). Hipoksemia meningkatkan ADO dan hiperoksia
menurunkan ADO. Apabila tekanan arteri tetap, maka akan
peningkatan TK akan menurunkan ADO.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

Dilatasi pembuluh darah otak hanya terjadi pada kondisi hipoksia,


sedangkan vasokonstriksi akibat hiperoksia masih kontroversi. Hipoksemia
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya dilatasi arteriol sebagai akibat
hipoksia jaringan yang disertai asidosis laktat, meskipun mekanisme aslinya
belum diketahui. ADO mulai meningkat pada PaO2 50 mmHg, dan pada
30 mmHg ADO akan meningkat dua kali. Tonus pembuluh darah otak juga diatur
oleh serabut saraf perivaskuler (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G
Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).

2.1.2 Autoregulasi
Autoregulasi otak menggambarkan kemampuan intrinsik dari sirkulasi
otak untuk mempertahankan aliran darah yang konstan dalam menghadapi
perubahan tekanan perfusi. Dilatasi arteri terjadi sebagai respon penurunan
perfusi, sebaliknya konstriksi terjadi sebagai respon terhadap peningkatan perfusi.
Pada kondisi normal, autoregulasi efektif pada rentang 50-150 mmHg
(gambar 2.2). Berbagai patologi intrakranial (trauma, tumor) akan mengganggu
fungsi autoregulasi. Pada pasien dengan hipertensi sistemik kronik, batas
autoregulasi akan bergeser ke kanan.

Gambar 2.2 Autoregulasi efektif pada TAR (MAP) antara 50-150 mmHg
Jika TPO tidak memadai tetapi autoregulasi masih utuh, maka perfusi
jaringan akan menurun bila batas bawah autoregulasi dilewati (< 50 mmHg).
Iskemi akan tibul bila ADO dibawah 20 ml/100g/menit kecuali kalau TPO dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

dikembalikan segera dengan menaikkan TAR atau menurunkan TIK, atau dengan
mengurangi kebutuhan otak terhadap O2 (misalnya dengan hipotermia).
Mekanisme autoregulasi secara pasti belum jelas, diperkirakan ada tiga
hipotesis yaitu mekanisme miogenik, endotelial, dan neurogenik. Hipotesis
mekanisme yang paling banyak diterima adalah mekanisme miogenik. Hipotesis
ini memperkirakan bahwa tonus basal dari otot polos pembuluh darah dipengaruhi
oleh perubahan tekanan transmural. Keadaan ini menghasilkan konstriksi arteriol
prakapiler untuk meningkatkan tekanan intravaskuler dan dilatasi untuk
menurunkan tekanan intravaskuler. Hipotesis endothelial menjelaskan bahwa sel
endotel arteri otak mungkin berperan sebagai reseptor mekanik. Endotelium
melepaskan substansi vasoaktif (misalnya tromboksan, nitrikoksida, dan
endotelin-1). Diperkirakan bahwa perubahan tonus vasomotor dihasilkan dari
perubahan pelepasan substansi yang menyebabkan relaksasi atau kontraksi. Teori
metabolik menjelaskan bahwa autoregulasi ditentukan oleh pelepasan substansi
vasoaktif yang mengatur tahanan pembuluh darah otak untuk mempertahankan
agar ADO tetap. Diperkirakan bahwa determinan primer ADO regional adalah
aktivitas local metabolisme otak, yaitu hubungan antara metabolisme dan aliran.
Beberapa determinan ini antara lain adenosin, kalium, prostaglandin, dan NO
(Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013;
Saleh SC, 2013).

2.1.3 Sawar darah otak


Sawar darah otak (SDO – BBB = blood brain barrier) adalah suatu
kompleks filter metabolik, fisik, dan transpor atau suatu barier yang mengontrol
masuknya kandungan bahan kimiawi dari darah ke otak. Barier ini
mempertahankan lingkungan fisikokimiawi yang optimal dan stabil untuk
bekerjanya sistem saraf pusat. Sawar darah-otak merupakan suatu membrane yang
tidak permeable, yang secara histologis terdiri dari dua elemen. Elemen yang
pertama berupa endotelium sel kapiler otak yang saling berhubungan erat
sehingga dapat menahan pergerakan molekul yang mempunyai diameter 20 Å
atau lebih. Elemen kedua berupa astrosit yang masuk melingkari endothelial sel

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

tersebut. Bentuk karakteristik tersebut terdapat diseluruh pembuluh darah otak


kecuali pada pleksus koroid. Hubungan antara masing-masing endothelial sel ini
diperkirakan dapat mencegah lewatnya molekul yang lebih besar dan menyiapkan
dasar mikroanatomi bagi fenomena fisisologik yang berkaitan dengan SDO.
Sawar darah otak dapat rusak sebagai akibat dari berbagai keadaan
patologik misalnya trauma, tumor, iskemia, hipertensi akut. Setiap keadaan yang
menyebabkan kerusakan SDO memungkinkan air, elektrolit, dan molekul besar
yang bersifat hidrofilik masuk kejaringan perivaskuler otak sehingga
menyebabkan terbentuknya vasogenik edema. Kebocoran yang menyebabkan
edema otak ini langsung berpengaruh terhadap TPO (Newfield P & Cottrell JE,
2007; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013; G Edward Morgan et al, 2013).

2.1.4 Cairan Serebro Spinal


Sel-sel otak sangat peka terhadap perubahan lingkungannya, sehingga
sedikit perubahan pada kadar ion ekstraseluler sudah dapat menyebabkan
perubahan aktivitas neuron. Oleh karena itu komposisi cairan yang meliputi otak
diatur secara ketat. Perbedaan komposisi antara darah dan CSS dipertahankan oleh
blood-cereprospinal fluid barrier (sawar darah-CSS). Volume total cairan
serebrospinal diperkirakan 100-150 ml., dihasilkan oleh pleksus choroid dengan
kecepatan 0,3-0,4 ml/ menit. Setiap hari terjadi pergantian total seluruh volume
CSS 3-4 kali. Sawar darah–CSS memungkinkan aliran air, gas, komponen yang
larut dalam lemak secara bebas. Untuk aliran glukosa, asam amino, dan ion
diperlukan proses transportasi aktif atau diperantarai oleh pengangkut (Carrier-
mediated). Cairan serebrospinal terutama dihasilkan oleh transport natrium,
klorida,dan bikarbonat dengan pergerakan osmotik air.
Cairan serebrospinal mengalir dari ventrikel lateral melalui foramina
intreventikuler (Monro), kedalam ventrikel III, melalui aquaduktus Sylvii, ke
ventrikel IV, melalui foramen Magendie di median dan foramen Luschka di
lateral ke dalam cisterna magna kemudian CSS akan memasuki rongga
subarahnoid, bersirkulasi mengelilingi otak dan korda spinalis sebelum diabsorbsi
kedalam sistem vena otak oleh vili yang ada di selaput arahnoid hemisfer otak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

Tekanan CSS lebih besar daripada tekanan didalam sinus venosus, bila
hubungan antara foramen dengan ventrikel atau vili tersumbat maka akan
mengakibatkan hidrosefalus (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G
Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).

2.2 Cedera otak traumatik


Cedera otak traumatik merupakan masalah besar kesehatan masyarakat
dan menjadi penyebab kematian dan kecacatan diseluruh dunia. Angka kejadian di
Indonesia belum diketahui dengan pasti, tetapi dengan banyaknya angka
kecelakaan lalu lintas kemungkinan angka cedera otak cukup tinggi.
Penanganan cedera otak yang tepat akan memperbaiki angka kematian dan
kecacatan termasuk penanganan terhadap cedera langsung (cedera primer)
maupun cedera sekunder (White H et al, 2006; Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; Haddad S & Yaseen MA, 2012; Saleh SC,
2013).
Tabel 2.1. Penyebab Cedera Sekunder
Sistemik Intrakranial
Hipotensi Epidural hematom
Hipertensi Subdural hematom
Hipoksemia Intraserebral hematom
Hiperkarbia Peningkatan TIK
Anemia Edema serebral
Hipoglikemi Infark intrakranial
Hiponatremi Hiperemia
Hipertermi Epilepsi post trauma
Sepsis
Koagulopati

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Secondary brain
injury Insult

Systemic Insult Intracranial Insult

 Hypotension
(hypovolemia, myocardial,
depression)  Intracranial Hypertension
 Hypoxemia (hematoma, cerebral edema,
(hypoxia, anemia) cerebrovascular obstruction,
 Hypercarbia hydrocephalus)
(Hypoventilation, pneumothorax)  Seizures
 Hypocarbia  Vasospasm
(Hyperventilation)  Infection
 Hyperthermia
(hypermetabolism, stress,
response, Insufficient sedation)
 Hyperglycemia
 Hypoglycemia
(parenteral nutrition)
 Hyponatremia
(hypotonic fluids)

Consequences at the
cellular level

 Ischemia, excitotoxicity, energy failure


 Cerebral swelling
 Inflammation
 Neuronal death cascades

Gambar 2.3 Cedera Sekunder dan Konsekuensi di Tingkat Seluler

2.2.1 Patofisiologi cedera otak traumatik


Cedera otak traumatik akut akan menyebabkan pengaruh langsung
(cedera primer) dan tidak langsung (cedera sekunder) pada SSP. Cedera otak
primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh trauma awal, melibatkan
kekuatan mekanik terhadap jaringan otak dan tengkorak, akibat dari proses
akselerasi, deselerasi dan rotasi. Hal tersebut akan menyebabkan fraktur tulang
tengkorak, kontusio otak, perluasan hematoma intrakranial, atau cedera akson
difus (diffuse axonal injury–DAI). Hanya hematoma epidural (EDH) disebabkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

oleh kerusakan tengkorak, bukan karena kerusakan otak langsung. Cedera otak
traumatik primer mengawali suatu proses inflamatori, pembentukan edema, yang
menghasilkan peningkatan TIK lebih lanjut akan menurunkan tekanan perfusi
otak.
Cedera otak sekunder merupakan kelanjutan dari cedera otak primer
yang yang akan menyebakan kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak sehingga
memperburuk keadaan pasien. Dua faktor utama sebagai penyebab dari cedera
otak sekunder adalah hipotensi (sistolik <90 mmHg) dan hipoksemia (PaO2 < 60
mmHg). Cedera otak sekunder berlangsung terus dalam waktu menit, jam, hari
bahkan minggu setelah cedera otak primer.
Pasca trauma otak, terjadi perubahan aliran darah otak (ADO) yang jelas
akan menyebabkan cedera otak. Pada kondisi cedera otak, mekanisme protektif
berupa autoregulasi akan hilang. Penurunan pH darah arteri yang disebabkan
peningkatan PaCO2 akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan tahanan
pembuluh darah otak dan peningkatan ADO (Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).

2.2.2 Aliran Darah otak pada cedera otak traumatik


Cedera otak traumatik seringkali diikuti oleh penurunan ADO sampai
setengah dari nilai normal dan berlangsung dalam waktu 24 jam pertama, keadaan
ini akan meningkatkan iskemia otak regional. Cedera otak traumatik akan
menyebabkan ketidaksesuaian antara aliran darah dengan metabolisme dimana
aliran darah lebih sedikit dibandingkan kebutuhan oksigen sehingga akan
meningkatkan iskemia otak. Pada beberapa pasien terjadi peningkatan aliran darah
yang berlebihan (luxury perfusion) karena hilangnya autoregulasi. Keadaan
patologi ini memperberat keadaan pasien dimana ketidaksesuaian antara
kebutuhan metabolisme akibat vasoparalisis dengan peningkatan volume darah
akan mengakibatkan peningkatan TIK (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T,
2012; Saleh SC, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

Autoregulasi dan dan reaktivitas CO2


Setelah terjadi cedera otak traumatik, pada kebanyakan pasien akan terjadi
gangguan autoregulasi, gangguan ini bisa timbul segera setelah trauma ataupun
dapat berlangsung sepanjang waktu dan bersifat sementara atau menetap baik
pada kerusakan ringan sedang maupun berat. Dalam hal autoregulasi
vasokontriksi akan lebih dominan dibandingkan dengan vasodilatasi dengan
tujuan untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Pada pasien dengan COT
berat reaktivitas terhadap CO2 sangat terganggu dimana peningkatan CO2 yang
tinggi tidak akan menyebabkan respon vasokontriksi pada pembuluh darah otak
sehingga tidak akan bisa mempertahankan perfusi yang adekuat yang akan
memperberat kerusakan otak itu sendiri (Newfield P & Cottrell JE, 2007;
Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC,
2013).

Vasospasme otak
Vasospasme adalah penurunan kemampuan respon dari pembuluh darah
arteri pada perubahan PCO2 dimana tidak bisa vasokontriksi atau vasodilatasi
karena sudah terjadi gangguan aoturegulasi otak. Terjadi pada lebih dari sepertiga
pasien COT, yang menandakan kerusakan berat pada otak, vasospasme pada COT
terjadi pada hari ke 2-15 dan hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang mengalami
vasospasme (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012;
G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).

Disfungsi metabolik otak


Metabolisme otak menurun setelah COT, derajat beratnya kegagalan
metabolisme berkaitan dengan beratnya cedera primer, prognosis pasien akan
buruk pada pasien dengan gangguan metabolisme yang berat, disfungsi metabolik
ini terjadi karena disfungsi dari mitokondria yang terjadi karena cedera primer
yang tidak segera ditangani sehingga menyebabkan cedera sekunder seperti
gangguan ventilasi dan oksigenasi pada pasien yang mengalami hipoventilasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

dimana akan menyebabkan metabolisme anaerob sehingga produksi ATP


menurun (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).
Pembentukan Edema Otak
Setelah COT seringkali disertai dengan pembentukan edema yang
berkaitan dengan kerusakan struktur atau gangguan kesetimbangan air dan
elektrolit yang diinduksi oleh cedera primer maupun cedera sekunder.
Terdapat dua macam edema yang terjadi pada cedera otak traumatik yaitu edema
vasogenik (interstisial) dan edema sitotoksik (intraseluler), edema yang terjadi
akan memperberat cedera otak sekunder kondisi paling buruk terjadi pada 24-48
jam paska trauma. Edema vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanik atau
kerusakan fungsi endotel dari sawar darah otak, keadaan ini akan menimbulkan
penumpukan air sehingga volume interstisial otak akan meningkat yang akan
meningkatkan TIK.
Edema sitotoksik adalah penumpukan cairan di intraseluler (neuron, glia,
astrosit) sebagai akibat perubahan osmolalitas sel dengan hasil akhir berupa
kegagalan sela dalam mengatur perbedaan ion. Hal ini kan menyebabkan
kegagalan produksi ATP dan kematian sel. Pada area otak yang mengalami
iskemik gangguan pada sawar darah otak apabila terjadi pengembalian darah juga
dapat mengakibatkan edema sitotoksik. Sel glia dan neuron paling mudah untuk
terjadinya suatu edema sitotoksik. Apabila edema sitotoksik meluas dapat
menyebabkan peningkatan TIK, gangguan aliran darah otak dan iskemia (White H
et al, 2006; Helmy A et al, 2007; Newfield P & Cottrell JE, 2007; Olivecrona M,
2008; Arifin MZ & Risdianto A, 2012; Bisri T, 2012; Haddad S & Yaseen M,
2012; Scozzafava J et al, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).

Gambaran Klinis
Penilaian kesadaran pada COT
Penilaian kesadaran pada cedera otak traumatik dilakukan dengan skala
koma Glasgow (GCS – Glasgow coma scale) yaitu penilaian terhadap reaksi
mata, respon verbal, dan respon motorik (Olivecrona M, 2008; Newfield P &
Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013l Saleh SC, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

Tabel 2.2. Glasgow coma scale


GAMBARAN NILAI
Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap perintah 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal terbaik
Orientasi baik, bicara jelas 5
Disorientasi 4
Kata –kata tidak sesuai 3
Suara yang tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
Respon Motorik terbaik
Mengikuti perintah verbal 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi atau menjauh 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Cedera otak traumatik (COT) ringan GCS 13-15, COT sedang 9-12, COT
berat < 8.

2.2.3 Kerusakan Anatomis


Kerusakan Tengkorak dan kulit kepala
Kerusakan pada tengkorak mempunyai arti klinis yang penting seperti
fraktur terbuka atau fraktur impresi tulang tengkorak, fragmen tulang tengkorak
yang masuk atau benda asing harus tetap dibiarkan sampai dikamar operasi,
karena benda tersebut bisa menjadi tampon apabila terjadi robekan pembuluh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

darah dibawahnya. Pada pasien dengan fraktur basis kranii harus dihindari
intubasi nasal, karena resiko masuknya pipa endotrakeal pada rongga cranium.
Bila intubasi oral tidak mungkin dilakukan (pada trauma maksilofasial yang
hebat) maka harus dilakukan trakeostomi (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri
T, 2012; Saleh SC, 2013).

Lesi massa Intrakranial


Perdarahan Epidural (EDH)
Terjadinya hematoma epidural sebagai akibat kerusakan dari tengkorak
bukan otak (gambar 2.4). Fraktur tulang tengkorak dapat merobek pembuluh
darah meningen yang mengakibatkan timbulnya hematom. Karena biasanya
perdarahan berasal dari arteri, maka keadaan neurologi dapat memburuk dengan
cepat sebelum dilakukan CT-scan. Tindakan segera berupa burr hole untuk
menyelamatkan jiwa dapat dilakukan, patensi jalan nafas harus tetap
dipertahankan dan segera dilakukan tindakan evakuasi hematom tersebut. Hasil
pembedahan EDH tergantung pada kecepatan timbulnya simtom, bila gejala
timbul sangat cepat maka mortalitas dapat mencapai 60%, sedangkan bila timbul
lambat mortaltas kurang dari 10%. EDH akut merupakan kedaruratan yang
sebenarnya dalam bidang bedah saraf (Helmy A et al, 2007; Newfield P &
Cottrell JE, 2007 Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013)

Gambar 2.4 Gambar EDH


Indikasi Pembedahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Pasien yang tidak mengalami koma (GCS> 9) dengan volume EDH


kurang dari 30 ml, ketebalan kurang dari 15 mm dengan pergeseran garis tengah
lukang kurang dari 5 mm biasanya dapat dilakukan penanganan tanpa
pembedahan (gambar 2.4) (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; Saleh
SC, 2013).

Gambar 2.5 Tindakan pilihan untuk EDH pada pasien dengan GCS > 8

Perdarahan Subdural (SDH – subdural hemorrhage)


Perdarahan subdural terbentuk sebagai hasil dari trauma akselerasi-
deselerasi terhadap otak yang mengakibatkan regangan dan kerusakan vena
parasagital. SDH akut manifest dalam 72 jam setelah trauma, pada gambaran
ct-scan merupakan lesi difus pada lengkungan otak (gambar 2.6). Didapatkan
pada 13% trauma kepala dan diperkirakan 30 % dalam keadaan koma. Timbulnya
gejala lebih lambat daripada EDH, tetapi mortalitas lebih tinggi karena adanya
kerusakan otak. Diperkirakan mortalitas SDH akut 50%. SDH subakut terjadi
antara 3-15 hari setelah trauma dengan gejala utama berkaitan dengan
peningkatan TIK.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Gambar 2.6 SDH


SDH kronik terjadi setelah 20 hari paska trauma, dapat timbul pada orang tua
yang mengalami trauma ringan, bahkan didapatkan pada 25-50% pasien tanpa
riwayat trauma kepala. Gejala bervariasi mulai dari sakit kepala sampai pada
kenaikan TIK, tanda fokal dari adanya lesi neurologik, demensia, perubahan
kebiasaan, amnesia, gangguan berjalan (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T,
2012; Saleh SC, 2013).

Gambar 2.7 Tindakan pilihan pada pasien SDH akut dengan GCS > 8

Perdarahan Intraserebral (ICH – intracerebral hemorrhage)


Angka kejadian lebih kecil dari EDH dan SDH. Pada umumnya gejala
timbul beberapa waktu setelah trauma dan 80% terjadi setelah 48 jam paska
trauma, oleh karena itu setiap pasien dengan kasus trauma kepala harus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

dimonitoring ketat untuk mendeteksi gangguan neurologis atau memburuknya


kondisi neurologis, jika perlu dilakukan CT-scan berulang.
Lesi massa di parenkim terjadi sampai 10% dari semua pasien COT dan
13-15% pada COT berat (gambar 2.8). Pada umumnya lesi parenkim yang kecil
tidak memerlukan pembedahan, tetapi pada lesi yang besar akan menyebabkan
efek penekanan massa yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder, dan pasien
beresiko untuk terjadinya kondisi neurologik yang memburuk dan resiko herniasi
dan kematian (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).

Gambar 2.8 Gambar ICH

2.2.4 Penanganan Perioperatif pasien Cedera otak Traumatik


Penanganan dini cedera kepala harus dimulai ditempat kejadian, selama
transportasi sampai unit gawat darurat serta terapi defenitif berupa tindakan
operasi dikamar bedah. Penanganan dilakukan dengan standar protokol terapi
manajemen trauma sesuai ATLS (advanced trauma life support).
Tujuan dari pengelolaan dini adalah pemberian oksigen yang adekuat,
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak, menghindari
cedera otak sekunder, identifikasi lesi massa yang perlu untuk tindakan
pembedahan segera (Helmy A et al, 2007; Newfield P & Cottrell JE, 2007;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC,
2013).

SEVERE HEAD ATLS Endotracheal Intubation


INJURY Trauma Fluid Resuscitation
GCS 8 or Less Evaluation Ventilation
(PaCO2 35 mmHg
Emergency Diagnostic of Oxygennation
Therapeutic Procedures as Sedation
± pharmacologic paralysis
Indicated
(short acting)

Herniation? ±Hyperventilation
Deterioration? ±Mannitol (1 g/kg)

Yes
Resolution?
CT SCAN

No

Surgical Yes
Lesion ?

No Operating Theater

Intensive Care
Unit

Treat Intracranial
Monitor ICP
hypertension

Gambar 2.9 Diagram resusitasi pada penanganan cedera kepala. (hal 38 Prof.
Tatang)

Penanganan Pra rumah sakit


Pasien cedera kepala berat 50% akan mengalami hipotensi dan hipoksia.
Hipotensi pada cedera kepala hampir selalu disebabkan oleh cedera sistemik
daripada karena perdarahan otak sendiri atau akibat hilangnya tonus vaskuler,
kecuali pada anak <4 tahun hipotensi bisa terjadi karena perdarahan akibat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

laserasi pada scalp. Kejadian hipotensi (sistolik <90 mmhg) kira- kira terjadi 35%
pada pasien cederakepala berat.
Hipoksia disebabkan karena cedera sistemik (pneumotoraks,
Hematotoraks) atau akibat obstruksi jalan nafas karena koma atau trauma. Maka
intubasi dan pemberian cairan harus dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih
dalam mengelola pasien ditempat kejadian.
Hipoksemia sering dijumpai pada pasien yang ditransport ke rumah sakit, Miller
1978 melaporkan 30% pasien dengan cedera kepala berat PaO2 < 65 mmHg.

Tabel 2.3. Hubungan hipoksia, hipovolemia dengan mortalitas pada pasien


cedera kepala
Cedera kepala dengan Mortalitas
Hipoksia 56 %
Hipovolemia 64 %
Hipoksia + Hipovolemia 76 %
Tanpa hipoksia dan hipovolemia 27 %

Dari tabel diatas didapatkan bahwa penurunan angka kematian dapat


dilakukan jika hipoksia dan hipovolemia dapat dihindari. Pengendalian jalan nafas
dalam usaha mencegah hipoksia juga berfungsi mencegah hiperkarbia karena
volume darah intrakranial sangat sensitip terhadap PaCO2.
Pengendalian jalan nafas dan ventilasi dapat dicapai melalui intubasi
endotrakeal, krikotirotomi, atau trakeostomi. Cedar tulang leher terjadi pada 10%
cedera kepala berat, maka harus hati-hati dalam manipulasi jalan nafas, pada saat
membebaskan jalan nafas tanpa alat (jaw trust, hindari head tilt) atau dengan alat
(intubasi atau krikotirotomi). Prinsip airway with cervical spine control harus
dilaksanakan. Intubasi dilakukan dengan tehnik RSII (rapid sequence induction
intubation) yaitu intubasi dengan dengan induksi cepat dan penggunaan agen
pelumpuh otot onset cepat seperti succinylcholin atau rocoronium dengan tujuan
mencegah aspirasi pada saat intubasi.
Pada cedera medulla spinalis cervical atau thorakal bisa menyebakan
hipotensi dan bradikardia tetapi pada pasien hipovolemia terjadi hipotensi dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

takikardia. Pemberian cairan kristaloid NaCl atau RL dapat dilakukan sebagai


resusitasi cairan, hindari pemberian dekstrose karena akan memperberat
kerusakan otak pada periode iskemia. Setelah pasien norvolemia maka diberikan
cairan rumatan sesuai kebutuhan pasien untuk mencegah overload cairan yang
bisa berakibat edema paru dan juga akan memperberat edema serebri pasien
cedera otak.
Setelah pasien dalam keadaan stabil baru dilakukan penilaian GCS sebagai
assessment keadaan neurologi pasien. Transportasi pasien harus dilakukan dengan
imobilisasi kolumna spinalis, 10% cedera otak traumatik juga mengalami cedera
medulla spinalis(Helmy A et al, 2007; Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T,
2012; Saleh SC, 2013).

Penanganan di unit Gawat darurat


Dua masalah utama pada cedera kepala adalah hipoksia dan hipovolemia
(syok). Komplikasi-komplikasi ini akan memperburuk prognosis pasien dan akan
menyebabkan perubahan patofisisologi yang terjadi :
- perubahan CBF
- Hilangnya autoregulasi
- Depresi metabolisme
- Takikardia
- Kelainan EKG
- Kerusakan miokardium
- Gangguan oksigenasi otak
- Hipoksemia
- Hipertensi serebral
- Peningkatan tekanan intrakranial
- Edema serebri
- Asidosis
- Edema paru
Hipoksia didefenisikan jika PaO2, 60 mmHg, pada pasien cedera otak
traumatik dengan penurunan kesadaran akan kesulitan mempertahankan jalan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

nafas tetap bebas, obstruksi jalan nafas merupakan penyebab kematian 15% kasus
cedera otak traumatik, hipoksia akan diperberat dengan adanya obstruksi jalan
nafas karena aspirasi, adanya pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru,
neurogenik pulmonary edema.
Syok didefenisikan bila tekanan sistolik <90 mmHg. Penurunan tekanan
darah pada keadaan tekanan intrakranial yang tinggi akan mengakibatkan
penurunan oksigenasi ke otak (CPP= MAP-ICP), normal CPP 80-90 mmHg, bila
CPP turun di bawah 40 mmHg akan terjadi iskemia otak.
Cedera primer terjadi pada saat trauma, yaitu kerusakan langsung yang
diakibatkan oleh trauma pada struktur di dalam cranium seperti arteri, vena,
substansia alba dan subtansia grisea. Cedera sekunder terjadi sesaat setelah cedera
primer. Faktor yang menyokong terjadinya cedera sekunder adalah hipoksia,
asidosis, hiperkapnia, peningkatan TIK dengan kemungkinan herniasi.
Tanda dari kenaikan intrakranial adalah seperti papil edema, pupil
anisokor, mual, muntah, sakit kepala, tinnitus dan gangguan penglihatan
(Newfield P & Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).

Pengelolaan dini
Tindakan yang dilakukan diutamakan pada hal- hal yang mengancam jiwa,
penanganan jalan nafas dan resusitasi cairan untuk stabilisasi harus dilakukan.
Setelah itu baru dilakukan pemerikasaan diagnostik seperti radiologis dan
CT-scan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum operasi seperti Hb,
hematokrit, kimia darah, gas darah (Newfield P & Cottrell JE, 2007; Olivecrona
M, 2008; Sakellaridis N et al, 2011; Bisri T, 2012; Saleh SC, 2013).

Penanganan Hipotensi
Hipotensi dapat ditangani dengan pemberian cairan kristaloid atau darah,
hindari pemberian glukosa karena akan menyebakan hiponatremia dan
hipoosmolalitas dan akan memperberat edema serebri yang timbul.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

Tujuan pemberian cairan adalah untuk mempertahankan tekanan darah


sistemik sehingga dapat mempertahankan perfusi ke otak (CPP = MAP-ICP),
target pemberian cairan adalah normovolemia, isoosmoler dan normoglikemia.
Posisi pasien tidak boleh diposisikan tradelenburg dengan tujuan
meningkatkan venos return karena akan meningkatkan TIK dan juga menghambat
aliran darah vena jugular. Posisi head up 30-40% dan posisi leher netral
dianjurkan untuk pasien cedera otak traumatik yang bermanfaat untuk
menurunkan TIK (Helmy A et al, 2007; ; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012;
Haddad S & Yassen M, 2012; Saleh SC, 2013; Ichai C et al, 2014).

Hipertensi
Bila ada hipertensi pada cedera otak traumatik maka dipikirkan dulu
adanya suatu trias Cushing, penanganan utama adalah penurunan TIK. Akan
tetapi bila bukan karena peningkatan TIK maka hipertensi harus ditangani karena
akan memperberat edema yang terjadi. Peningkatan tekanan darah yang hebat bisa
diberikan anti hipertensi dan yang merupakan pilihan adalah adrenergic blocker
agent (Helmy A et al, 2007; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; Haddad S &
Yassen M, 2012; Saleh SC, 2013; Ichai C et al, 2014).

Penanganan Hipoksia
Pada pasien cedera otak traumatik berat harus dilakukan intubasi untuk
mempertahankan jalan nafas bebas sehingga bisa dilakukan kontrol ventilasi dan
oksigenasi, intubasi pada jam pertama dapat menurunkan angka mortalitas dari
38% menjadi 22%.
Walaupun tindakan intubasi dapat meningkatkan tekanan intrakranial, efek
ini lebih minimal jika dibandingkan dengan efek hipoksia yang terjadi apabila
tidak dilakukan intubasi. Intubasi pada pasien cedera kepala berat diperlukan
untuk menjaga jalan nafas bebas, cegah aspirasi, cegah hipoventilasi, kontrol
pernafasan dan juga pengendalian kadar PaCO2, dan juga pada saat diagnostik
pasien lebih terkendali (sedasi ataupun paralitik pada saat diagnostik dengan jalan
nafas terjaga). Pasien dengan GCS <8 harus dilakukan intubasi untuk menjaga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

jalan nafas tetap bebas (Helmy A et al, 2007; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012;
Haddad S & Yassen M, 2012; Saleh SC, 2013; Ichai C et al, 2014).

Kriteria intubasi
- GCS < 8
- Pernafasan irregular
- Frekuensi nafas <10 atau >40 x/ menit
- Volume tidal < 3,5 ml/kg BB
- Vital capacity < 15 ml/kg BB
- PaO2 < 70 mmHg
- PaCO2 > 50 mmHg
(dikutip dari Sperry RJ et al. Manual of Neuroanasthesia. Philadelpia ;
BcDecker, 1989)

Tehnik intubasi pada pasien Cedera kepala


Intubasi pasien dengan cedera kepala merupakan suatu tantangan karena
pasien dengan cedera kepala kemungkinan besar bersamaan dengan trauma
lainnya(multiple trauma) seperti trauma medulla spinalis, maksilofasial injury,
dan multipel fraktur yang bisa menimbulkan perdarahan massif.
Tujuan intubasi pada pasien trauma kepala adalah menjaga jalan nafas
tetap bebas sehingga oksigenasi tetap terjaga serta mencegah hiperkarbia. Intubasi
ini sendiri bisa menimbulkan peningkatan TIK, pada pasien dengan cedera otak
traumatik berat (GCS <8) mutlak dilakukan.
Setiap obstruksi jalan nafas pada umumnya disebabkan oleh jatuhnya
pangkal lidah kebelakang tetapi bisa juga oleh karena cairan atau darah dan juga
trauma orofaring. Tripel manuver airway dan pemasangan oropharingeal airway
(mayo) dapat dilakukan sementara sampai dilakukan intubasi untuk manajemen
jalan nafas defenitif.
Pasien cedera otak traumatik adalah pasien emergency dimana tehnik
intubasi yang dilakukan adalah tehnik intubasi dan induksi cepat (RSII – rapid
Sequence Induction Intubation) dengan tujuan mencegah aspirasi pada saat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

intubasi, pilihan obat yang digunakan adalah obat induksi dan relaksan dengan
onset cepat. Pilihan obat induksi yang digunakan adalah thiopental, propofol dan
etomidat, ketiganya dapat menumpulkan peningkatan TIK dan menurunkan
CMRO2, akan tetapi efek depresi kardiovaskuler thiopental dan propofol yang
bisa menyebabkan hipotensi harus diperhatikan sehingga pasien harus diresusitasi
terlebih dahulu sebelum melakukan induksi. Relaksan yang bisa digunakan adalah
suksinilkolin yang mempunyai masa kerja yang cepat, akan tetapi suksinilkolin
dapat menyebabkan peningkatan TIK. Rocuronium memiliki onset yang cepat
mendekati suksinilkolin bisa digunakan sebagai relaksan pada tehnik RSII.
Fraktur cervikal terjadi 10% pada pasien cedera otak traumatik dan 20%
pada pasien cedera otak traumatik berat sehingga pada saat intubasi harus
dilakukan dengan pergerakan leher seminimal mungkin sehingga tidak
memperberat trauma yang terjadi. Apabila tidak bisa diintubasi atau ventilasi
(difficult airway) maka prinsip manajemen jalan nafas adalah sesuai algoritme
difficult Airway oleh American Society of Anesthesiology (ASA) (Newfield P &
Cottrell JE, 2007; Bisri T, 2012; G Edward Morgan et al, 2013; Saleh SC, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Gambar 2.10 Gambar Algoritme difficult Airway

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Panduan Pengelolaan Cedera Otak Traumatik Berat Brain Foundation


Guideline 2012 (Wisniewsk P et al, 2014)
1. Hipotensi
Hipotensi meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Hipotensi
ssitolik akan meningkatkan terjadinya iskemia otak dan cedera otak
sekunder. MAP dipertahankan diatas 80 mmHg dengan pemberian cairan
isotonik yang tepat dan CPP dipertahankan >60 mmHg untuk
mempertahankan perfusi otak.
Apabila MAP tidak dapat dipertahankan diatas 80 mmHg dengan
pemberian cairan saja maka norefinefrin dosis rendah dapat diberikan
2. Cerebral Perfusion Pressure (CPP)
Brain Trauma Foundation merekomendasikan CPP diantara 50-70 mmHg
dengan target optimal 60 mmHg. Pengukuran aliran darah otak,
oksigenasi serebral / saturasi vena jugular (SJO2) dan PbO2 >15 mmHg
dipertimbangkan untuk dipasang apabila tersedia. CPP >70 mmHg
sebaiknya dihindari dimana hal ini akan meningkat resiko resusitasi yang
berlebihan yang dapat mengakibatkan acute respiratory distress syndrome
(ARDS), CPP < 50 mmHg akan menyebabkan hipoksia serebral dan
cedera otak sekunder.
3. Elevasi dari kepala
Elevasi kepala (posisi Head –up) 300 dapat menurunkan tekanan
intrakranial tanpa mempengaruhi aliran darah otak ataupun CPP. Elevasi
kepala lebih dari 300 belum bisa dibuktikan apakah mempunyai
keuntungan klinis pada pasien cedera kepala.
4. Normotermia
Peningkatan suhu atau demam dapat memperburuk keadaan pasien cedera
kepala dimana suhu diatas 370 dapat merusak parenkim otak. Peningkatan
suhu akan menyebabkan pelepasan proinflamatori sitokin dan netrofil
yang akan meningkatkan respon simpatis, komsumsi energi istirahat,
komsumsi oksigen, denyut nadi dan ventilasi satu menit. Pada cedera
kepala 70% terjadi demam dimana 50% karena infeksi dan sisanya adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

karena gangguan sentral yaitu gangguan pada termoregulatory center yaitu


pada hipotalamus dan pons bagian tengah dimana akan menyebabkan
hipotermia yang berat, koagulopati, aritmia, dan penurunan daya tahan
tubuh.
Demam ini juga dihubungkan dengan rendahnya GCS, adanya DAI,
edema serebral, hipotensi, hipoglikemia, dan leukositosis.
5. Terapi hipotermia
Terapi hipotermia telah di demonstrasikan untuk memperbaiki kondisi
neurologis pasien cedera kepala akan tetapi data yang mendukung sangat
sedikit, beberapa penelitian menunjukkan tidak ada bukti yang kuat dalam
penggunaan tehnik hipotermi dapat memperbaiki outcome pasien.
Terapi hipotermia mungkin bisa digunakan pada pasien cedera otak
traumatik berat dan peningkatan TIK yang berat akan tetapi harus dalam
pengawasan ahli bedah saraf dan dokter ahli ICU.
6. Manajemen menggigil
Menggigil dapat menyebabkan pasien tidak nyaman, peningkatan suhu
tubuh, peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen, peningkatan
tekanan intarokular dan intrakranial. Pencegahan bisa dengan obat-obatan
(meperidin, morpin fentanyl, profofol, magnesium, benzodiazepine dan
relaksan). Pemberian anti menggigil yang sudah diketahui ataupun sudah
sering digunakan untuk menghindari toksisitas obat yang terjadi.
7. Target Suhu tertentu
Mengatur suhu tertentu dengan alat pemanas yang bisa diatur secara tepat
suhu yang diinginkan. Penggunaan alat ini memiliki sensor suhu apabila
terlalu tinggi terlalu rendah maka alat akan mempertahankan suhu sesuai
yang diatur.
8. Profilaksis Kejang
Penggunaan Profilaksis levetiracetam atau fenitoin sebagai Post Traumatik
seizure (PTS) tidak dianjurkan pada pasien cedera traumatik ringan
sedang. Diindikasikan pada cedera otak traumatik berat terutama sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

antikonvulsan untuk menurunkan PTS dini (dalam 7 hari setelah cedera),


tetapi PTS dini tidak dihubungkan dengan lebih buruknya outcome.
9. Kortikosteroid
Steroid tidak dianjurkan dan tidak terbukti memperbaiki prognosis dan
outcome atau menurunkan TIK, bahkan dilarang penggunaannya di
institusi tertentu, ada beberapa bukti bahwa metilprednisolon tidak dapat
menurunkan angka mortalitas pada pasien dengan cedera otak traumatik.
10. Hiperventilasi
Hiperventilasi menurunkan TIK dengan cara vasokontriksi serebral dan
menurunkan aliran darah serebral. Hiperventilasi serebral tidak terbukti
memperbaiki kondisi klinis pasien. Target PCO2 35-40 mmHg sangat
penting dicapai terutama pada resusitasi awal setelah trauma, hindari
hiperventilasi pada 24 jam pertama karena aliran darah pada saat itu sangat
berkurang. Target PCO2 30-34 pada kondisi peningkatan TIK yang
refrakter.
11. Terapi hiperosmolar
Manitol dan salin hipertonik digunakan sebagai terapi hiperosmolar,
dimana keduanya efektif dalam menurunkan edema otak yang terjadi dan
peningkatan TIK. Manitol dosis 0,25-1 g/kg BB setiap 6 jam sesuai
kebutuhan, efek samping hipovolum, hipernatremia, dan perburukan
pasien. Penggunaan manitol harus dimonitoring dan dihindarkan pada
pasien dengan herniasi transtentorial.
Salin hipertonik menurunkan edema otak dan menurunkan TIK secara
simultan dan mempertahankan CPP dengan menaikkan MAP. Sedian salin
hipertonik 3%, 7.5%, 23.4% telah diteliti pada cedera kepala berat. Salin
hipertonik 3% bolus setiap 2 jam dengan monitoring TIK. Pasien COT
dengan hipotensi dapat diterapi 250 cc saline hipertonik 7.5% atau 30 cc
NaCl 23.4% pada resusitasi awal untuk menaikkan MAP menurunkan
TIK, dan menghindari pemberian kristaloid yang berlebihan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

12. TIK
Peningkatan TIK >15 mmHg berhubungan dengan meningkatnya angka
mortalitas pada COT, tujuan penurunan TIK adalah dibawah 20 mmHg
dengan memperkirakan untung rugi dan efek samping yang mungkin
timbul akibat terapi yang diberikan. Pemasangan alat monitoring TIK
sesuai dengan indikasi yaitu COT berat, ada kelainan pada CT-scan,
pasien usia diatas 40 tahun dan tekanan darah sistolik dibawah <90 mmHg
dan pasien yang tidak dapat dilakukan penilaian neurologis pada waktu
lama.
13. Resusitasi hemoglobin
Target Hb < 9 mmHg selama 7 hari pertama setelah trauma akan
meningkatkan angka mortalitas, sehingga sangat penting untuk
mempertahankan Hb sehingga delivery oxygen terjaga dan mencegah
iskemia serebral yang semakin berat.
14. Analgesik dan Sedasi
Analgesi dan sedasi pada pasien COT mempunyai keuntungan
menurunkan TIK, kontrol tekanan darah, mencegah kenaikan suhu dan
fasilitasi dalam ventilasi mekanik. Agen opiod seperti fentanyl dan
profofol mempunyai keuntungan pada pasien COT, akan tetapi harus
diperhatikan efek samping dan juga pada penggunaan dosis yang sesuai.
15. Relaksan otot
Berguna untuk mengendalikan peninggian TIK yang berat dengan
mengurangi laju metabolisme otak. Profilaksis paralisis berhubungan
dengan pneumonia dan semakin lama rawatan di ICU seharusnya
digunakan apabila tidak respon terhadap terapi sebelumnya.
16. Koma Barbiturat
Digunakan pada peninggian TIK yang tidak respon dengan pengobatan
maksimal baik farmakologi maupun pembedahan, apabila digunakan pada
pasien COT maka monitoring ketat seperti monitoring invasive harus
dilakukan sehingga efek samping yang timbul bisa segera diketahui dan
cepat diatasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

17. Pencegahan Infeksi


Nasokomial infeksi sangat mungkin terjadi, infeksi melalui kateter, jalur
intra vena, kateter vena sentral, dan juga VAP pada pasien dengan
ventilasi mekanis. Tindakan asepsis pada saat pemasangan alat, ekstubasi
dini dan trakeostomi dapat mencegah VAP. Penggantian kateter berkala
dan antibiotik profilaksis tidak terbukti mengurangi angka kejadian
infeksi.
18. Manajemen di ICU
Manajemen perawatan kritis di ICU harus dilakukan, penggunaan H2-
bloker untuk stress ulcer, deep vein thrombosis diberikan profilaksis
heparin 5000 IU subkutan setiap 8 jam apabila perdarahan intrakranial
telah teratasi.
Nutrisi enteral segera harus dilakukan untuk menghindari malnutrisi
protein, pasien sudah menerima kalori dan protein penuh setelah 7 hari
paska trauma. Memar dan dekubitus dihindari dengan penggunaan tempat
tidur anti dekubitus.

2.3 Cairan Hiperosmolar sebagai terapi edema serebri


Terapi hiperosmolar digunakan untuk pasien dengan edema serebri dan
hipertensi intrakranial Larutan ini digunakan karena sifat osmolaritasnya dapat
menurunkan TIK dengan mengurangi edema otak yang terjadi melalui penarikan
cairan dari parenkim otak ke pembuluh darah.
Cairan hiperosmolar yang sering digunakan adalah manitol, hipertonik
salin, natrium laktak hipertonik (Helmy A et al, 2007; Newfield P & Cottrell JE,
2007; ; Olivecrona M, 2008; Bisri T, 2012; Shawkat H et al, 2012; Saleh SC,
2013; Ichai C et al, 2014).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

Tabel 2.4. Kadar Natrium dan Osmolalitas Berbagai Cairan Hiperosmolar


a
Sodium concentration Osmolality
(mmol/L) (mOsm/kg)
0.9% saline 154 308
Lactated Ringer’s solution 130 275
20% mannitol - 1098
1,7% saline 291 582
3% saline 513 1026
7.5% saline 1283 2506
10% saline 1712 3424
23.4% saline 4004 8008
29.2% saline 5000 10.000
*The osmolality of a solution is the number osmoles of solute per kilogram
solvent. Osmolality can be measured by determining a change in the solution’s
colligative properties or calculated as the sum of the concentration of the solutes
present in the solution (White H et al, 2006).

2.3.1 Manitol
Farmakologi
Manitol adalah polialkohol nonmetabolik C-6 dengan berat molekul 182,
dan merupakan agen diuretik tertua serta paling banyak digunakan sebagai
osmotik.

Gambar 2.11 Struktur manitol


Dikutip dari : Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol : a
review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

Manitol memiliki struktur kimia 1,2,3,4,5,6-hexanehexol (C6H8 (OH)6)


dan merupakan poliol (alkohol gula) yang banyak digunakan dalam industri
makanan dan farmasi. Manitol adalah zat alami yang ditemukan dalam ganggang
laut, jamur segar, dan dalam eksudat dari pohon. Serta merupakan isomer dari
sorbitol, yang biasanya disintesis oleh hidrogenasi glukosa. Manitol juga tersedia
secara komersial dalam berbagai bubuk kristal putih dan bentuk granular, yang
semuanya larut dalam air. Infus manitol bersifat asam (pH 6.3) dan dapat
mengkristal jika disimpan pada suhu kamar, tetapi dapat dibuat larut lagi dengan
pemanasan (Shawkat H et al, 2012).

Farmakokinetik
Manitol harus diberikan secara parenteral karena pemberian secara oral
tidak diserap. Manitol didistribusikan hampir seluruhnya dalam cairan
ekstraseluler, dan hanya sedikit yang masuk ke dalam sel. Sebagai hasilnya, hanya
7% hingga 10% yang dimetabolisme, mungkin di hati, sedangkan sisanya secara
bebas disaring oleh glomerulus dan diekskresikan utuh dalam urin. Sekitar 7%
diserap kembali oleh tubulus ginjal. Dengan fungsi ginjal normal, setelah dosis
tunggal manitol intravena, half life manitol dalam sirkulasi plasma adalah sekitar
15 menit. Dari dosis yang diberikan, 90% ditemukan dalam urin setelah 24 jam.
Namun, pada insufisiensi ginjal yang berat maka tingkat ekskresi manitol sangat
berkurang sehingga manitol dalam tubuh dapat meningkatkan tonisitas
ekstraselular menyebabkan pergeseran air keluar dari sel, memperbanyak cairan
ekstraselular dan menyebabkan terjadinya hiponatremia serta osmolalitas serum
yang meningkat. Oleh karena itu, manitol harus digunakan dengan hati-hati pada
kondisi insufisiensi ginjal (Kalita J et al, 2003; Shawkat H et al, 2012).

Farmakodinamik
Efek manitol dalam menurunkan edema otak dan TIK adalah dengan
meningkatkan osmolalitas plasma, sehingga terjadi perbedaan osmotik antara
kompartemen intravaskular dengan parenkim otak yang akan menyebabkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

penarikan cairan dari parenkim otak ke intravaskuler sehingga akan mengurangi


edem otak yang terjadi.
Efek diuretik osmotik manitol dengan cara bekerja pada tubulus proksimal
dan pars desendens lengkung Henle. Melalui efek osmotik, diuretik juga
menghambat efek ADH pada collecting tubule. Manitol mencegah penyerapan
normal air dengan kekuatan osmotik, sehingga volume urin meningkat.
Peningkatan laju aliran urin mengurangi waktu kontak antara cairan dan epitel
+
tubular, sehingga mengurangi Na serta reabsorpsi air (Shawkat H et al, 2012).

Dosis
Manitol biasanya diberikan dalam larutan 20% dalam dosis bolus,
dibandingkan sebagai infus kontinyu. Tekanan intrakranial akan menurun dalam
5-10 menit. Efek maksimum terjadi dalam waktu sekitar 60 menit dan total efek
dapat berlangsung 3-4 jam. Pemberian bolus meminimalkan hemokonsentrasi dan
memperpanjang efek. Bolus 0,25-0,5 g/kg (diberikan selama 10-20 menit) dapat
digunakan dan diulang tergantung pada respon. Dosis 0,25 g/kg tampaknya
seefektif dosis 1 g/kg dalam mengurangi TIK tetapi tidak memiliki lama efek
yang sama.
Apabila osmolaritas plasma meningkat 10 mOsm/L maka akan dapat
menarik air dari parenkim otak 100-150 ml agar efektif osmolaritas plasma
dipertahankan antara 300-315 mOsm/L, dibawah 300 mOsm/L tidak efektif dan
apabila diatas 315 mOsm/L akan mengakibatkan gangguan ginjal dan ganggauan
pada SSP.
Hasil penelitian pada binatang didapatkan dosis manitol dengan kecepatan
2ml/kg didapatkan pemberian dosis 1 g/kg akan meningkatkan osmolaritas 40
mOsm/L, dosis 0,75 g/kg meningkatkan osmolaritas plasma 32 mOsm/L dan dosis
0,5 g/kg meningkatkan osmolaritas plasma 21 mOsm/L (Wani AA et al, 2008;
Shawat H et al, 2012; Saleh SC, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

Tabel 2.5. Efek Samping Manitol


Efek Samping Manitol
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Asidosis metabolik
Gagal jantung
Kongesti paru
Hipovolemia
Hipotensi
Tromboplebitis
Nekrosis kulit pada lokasi ekstravasasi
Reaksi alergi, termasuk anafilaksis
Peningkatan rebound TIK
Dikutip dari : Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol :
a review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.

2.3.2 Larutan Garam Hipertonik


Larutan garam hipertonik pertama kali diperkenalkan oleh Weed and
Mckibben pada tahun 1919, dimana efek larutan garam hipertonik (HTS-
hipertonik saline) terhadap SSP mirip dengan manitol akan tetapi tidak
menyebabkan diuresis osmotik. NaCl 3% adalah larutan yang memilki
osmolaritas 1026 mOsm/L dengan kandungan natrium 513 mEq/L dan klorida
513 mEq/L, larutan HTS mempunyai berbagai sediaan mulai dari konsentrasi
3-23%. Koefisien refleksi/selektifitas terhadap sawar darah otak lebih tinggi
dibandingkan dengan manitol, dimana koefisien refleksi salin hipertonik 1.0 dan
manitol 0.9 sehingga potensi osmotiknya kemungkinan akan lebih efektif
dibandingkan dengan manitol (White H et al, 2006). Pemberian HTS akan
menghasilkan perbedaan tekanan osmotik antara kompartemen intravaskuler
dengan interstisial sehingga akan menarik cairan dari parenkim otak ke
intravaskuler sehingga akan mengurangi edema yang terjadi dan akan
menurunkan TIK. NaCl juga memilki efek proteksi sawar darah otak dan memilki
efek antiflamasi pada cedera otak (Gemma M et al, 1997; White H et al, 2006).
Karena selektifitas dari sawar darah otak lebih besar terhadap NaCl
dibandingkan manitol maka potensial lebih efektif dibandingkan dengan manitol,
akan tetapi efek hipernatremia akan berefek buruk pada miokardium, ginjal dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

fungsi fisiologis lainnya. Salin hipertonik juga bisa digunakan sebagai resusitasi
pada pasien trauma kepala dengan multitrauma, perdarahan, hemodinamik tidak
stabil dengan volume kecil 2,5 -5 ml/ kg BB karena sifat osmolaritasnya akan
menarik cairan dari interstisial, termasuk mengurangi edema yang terjadi pada
otak dan akan meningkatkan volume plasma sehingga akan meningkatkan
hemodinamik (Kyes J. and Johnson JA, 2011). Kerugian dari NaCl hipertonik
adalah adanya anion clorida yaitu non anion gap metabolik asidosis, konsentrasi
Na> 160 mEq/L akan memperburuk outcome pasien dan belum diketahui dosis
optimalnya (telah digunakan NaCl 3%, 5%, 7.5%, dan 23%) (Kalita J et al, 2003;
Yildizdaz D et al, 2006; Shawkat H et al, 2012; Saleh SC, 2013).

2.3.3 Natrium Laktat hipertonik


Natrium laktat hipertonik adalah larutan dengan kadar garam seimbang
yang mempunyai osmolaritas 1020 mOsm/L, pH ± 7.0, berisi natrium laktat,
kalium klorida, dan kalsium klorida dalam konsentrasi fisiologis dengan
kandungan natrium 504 mEq/L dan laktat 504 mEq/L (Hanna & Ahmad MR,
2014). Laktat diketahui sebagai metabolit intraseluler yang berguna pada proses
glikolisis dan posforilasi oksidatif yang bisa diproduksi dan digunakan otak pada
keadaan patologis seperti trauma. Larutan natrium laktat hipertonik telah
digunakan sebagai cairan postoperative sejak tahun 2002 dan saat ini telah banyak
digunakan untuk meningkatkan makro dan mikro sirkulasi pada beberapa jenis
syok (Mustafa I & Leverve X, 2002).
Na laktat hipertonik mampu menurunkan tekanan intrakranial dan
meningkatkan cerebral blood flow serta mampu meningkatkan fungsi kognitif
post cedera otak traumatik (Bisri T, 2012; Ichai C et al, 2014). Pada kasus cedera
otak, terutama cedera otak sedang dan berat, akan terjadi perubahan dinamika
pada metabolisme otak, terjadinya penurunan laju metabolisme, dan adanya krisis
energi (Newfield P & Cottrell JE, 2007). Na laktat hipertonik sangat bermanfaat
karena memperbaiki fungsi neuronal; laktat sendiri merupakan substrat yang
mudah dimetabolisme menjadi sumber energi setelah terjadi trauma guna
memenuhi kebutuhan energi otak dalam menjaga homeostasis ion (Bisri T, 2012;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

Ichai C et al, 2014; Mustafa I & Leverve X, 2002). Seperti salin hipertonik cairan
Na laktat hipertonik dapat digunakan sebagai cairan resusitasi dan dapat
meningkatkan cardiac output, menurunkan resistensi pembuluh darah pulmonal
dan sistemik, meningkatkan oxygen delivery, dan menjadi substrat bagi jantung,
otak, dan ginjal (Mustafa I & Leverve X, 2002).
Penggunaan natrium laktat hipertonik pada pasien cedera kepala ringan
dengan dosis 1.5 mL/kg yang diberikan dalam waktu 20 menit, mampu
memperbaiki defisit fungsi kognitif lebih baik secara signifikan dibandingkan
dengan NaCl 3% (p<0.001) pada 24 jam dan 30 hari setelah pembedahan pada
nilai orientasi, registrasi, perhatian, mengingat dan bahasa.
Pemberian laktat dalam natrium laktat hipertonik sebesar 1.5 cc/kgBB
selama 15 menit, menyebabkan kenaikan skor Mini Mental State Examination
(MMSE) sekitar 4-6 setelah 24 jam pascabedah dibandingkan nilai MMSE
prabedah, dan mengalami kenaikan nilai MMSE sekitar 6-9 setelah 30 hari
pascabedah dibandingkan nilai MMSE prabedah.
Natrium Laktat Hipertonik telah diberikan pada pasien cedera kepala berat
dengan peningkatan ICP dengan dosis 1.5 mL/kg dan hasilnya adalah NLH efektif
dalam terapi peningkatan ICP setelah cedera kepala dan efeknya lebih kuat dan
lama dibandingkan dengan mannitol, juga Glasgow Outcome Score (GOS) lebih
baik daripada mannitol (Olivecrona M, 2008; Saleh SC, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

2.4 Kerangka Teori

CEDERA OTAK TRAUMATIK

CEDERA OTAK PRIMER

CEGAH

CEDERA OTAK SEKUNDER

PENINGKATAN TIK

MANITOL NATRIUM LAKTAT

GRADIEN OSMOTIK GRADIEN OSMOTIK

CEGAH EDEMA OTAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

2.5 Kerangka Konsep

MANITOL 20 % 3 CC/KG BB

PERUBAHAN
OSMOLARITAS

NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK
3 CC/KGBB

= VARIABEL TERGANTUNG

= VARIABEL BEBAS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar
ganda untuk menilai perbandingan efek perubahan kenaikan osmolaritas plasma
dan efek samping pemberian manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan dengan
natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB pada pasien cedera otak traumatik ringan
sedang.

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP. H. Adam Malik Medan
dan rumah sakit jejaring.
3.2.2 Waktu Penelitian
Dilakukan mulai bulan September 2015 sampai sampel terpenuhi.

3.3 Populasi Dan Sampel


3.3.1 Populasi
Seluruh pasien cedera otak traumatik ringan-sedang yang datang ke
UGD.
3.3.2 Sampel
Diambil dari pasien cedera otak traumatik ringan-sedang yang
datang ke UGD dan telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara
random menjadi 2 kelompok : kelompok A akan mendapatkan
manitol 20% 3cc/kgBB dan kelompok B mendapat Natrium laktat
hipertonik 3 cc/kg BB.

45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46

Sampel Dan Cara Pemilihan (Randomisasi) Sampel


Diambil dari pasien cedera otak traumatik ringan sedang yang datang ke
UGD.
a. Kelompok A akan diberikan manitol 20% 3cc/kg BB sedangkan
kelompok B diberikam natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB.
b. Randomisasi blok dilakukan oleh relawan dengan memakai tabel
angka random dengan menjatuhkan pena ke kertas tabel random,
ujung pena merupakan angka mulai urutan.
c. Kedua kelompok dibagi menjadi kelompok A dan B yang sesuai
randomisasi.

3.4 Perkiraan Besar Sampel


Perkiraan besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis dua arah
terhadap rata-rata dua populasi pada dua kelompok independen yaitu:

n1 = n2 =

Zα : Tingkat kemaknaan 1,96 (ditetapkan)


Zβ : Tingkat kekuatan 0,84 (ditetapkan)
SD : Simpangan baku
X1-X2 : Perbandingan klinis yang ditetapkan = 7,0
Berdasarkan rumus tersebut diperoleh SD = 9,35 dengan jumlah sampel
n1 = n2 = 14. Dengan mempertimbangkan kriteria putus uji 5-10% maka n1=15;
n2=15, sehingga keseluruhan sampel berjumlah 30 orang.

3.5 Kriteria Inklusi Dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi
a. Keluarga menyetujui pasien diikutsertakan dalam penelitian.
b. Usia 18-60 tahun.
c. Cedera otak traumatik ringan-sedang (GCS > 8)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

3.5.2 Kriteria Eksklusi


a. Keluarga menolak pasien diikutsertakan dalam penelitian.
b. Pasien dengan perdarahan yang massif.
c. Pasien riwayat DM.
d. Pasien gangguan ginjal.
e. Hipernatremia.
f. Kontraindikasi cairan manitol/ natrium laktat hipertonik.
g. Pasien alergi dengan obat yang akan dilakukan penelitian.

3.5.3 Kriteria Drop Out


a. Pasien dengan perdarahan massif.
b. Pasien shock.

3.6 Informed Consent


Setelah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian bidang kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan, keluarga pasien mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang
akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaanya dalam lembar
informed consent.

3.7 Cara Kerja


1. Setelah informed consent dilakukan kepada keluarga, pasien cedera
otak ringan sedang akan masuk menjadi sampel apabila memenuhi
kriteria inklusi eksklusi.
2. Pasien cedera otak traumatik ringan-sedang yang masuk ke UGD
dilakukan alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan dilakukan resusitasi,
kemudian diperiksa laboratorium darah rutin, kimia darah (KGD,
Elektrolit, Ureum/Creatinin), elektrokardiogram, foto torax, dan bila
ternyata masuk dalam kriteria inklusi maka keluarga pasien diberikan
penjelasan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

3. Keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian


serta diminta untuk menandatangani surat persetujuan keikutsertaan
dalam penelitian.
4. Sampel dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan randomisasi yang
telah ditentukan sebelumnya. Randomisasi dilakukan memakai teknik
randomisasi blok oleh relawan, dengan cara menjatuhkan pena ke
kertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan untuk
memulai penelitian. Kelompok A akan mendapat manitol 20% 3 cc/kg
BB selama 10 menit, sedangkan kelompok B akan mendapat Natrium
Laktat Hipertonik 3 cc/kg BB selama 10 menit. Cairan disiapkan atas
bantuan relawan yang melakukan randomisasi (peneliti tidak
mengetahui komposisi obat yang diberikan). Setelah melakukan
randomisasi dan menyiapkan obat, relawan I memberikan obat kepada
relawan II untuk diberikan pada hari pelaksanaan penelitian.
a. Semua pasien cedera otak ringan-sedang yang masuk ke UGD akan
diresusitasi sesuai dengan ATLS, setelah pasien stabil maka pasien
yang masuk kriteria inklusi akan diberikan cairan manitol atau
natrium laktat hipertonik dengan cara random.
b. Cairan disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi pada
saat akan dilakukan penelitian.
c. Setelah resusitasi dicatat hemodinamik (TD, HR, RR dan Volume
urin) dan dilakukan pemeriksaan osmolaritas plasma pasien,
kemudian pasien diberikan cairan manitol 20% 3cc/kg BB atau
natrium laktat hipertonik 3cc/kg BB secara bolus selama 10 menit.
Setiap 15 menit akan dilakukan pemeriksaan hemodinamik (TD,
HR, RR) dan volume urin setelah 1 jam.
d. Pemeriksaan osmolaritas paska pemberian manitol atau natrium
laktat hipertonik dilakukan setelah 60 menit pemberian terapi
cairan hiperosmolar (manitol 20% atau natrium laktat hipertonik).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

3.8 Alat Dan Bahan


3.8.1 Alat yang Digunakan
a. Alat monitor, EKG, tekanan darah non invasif otomatis
(Dash/GE)
b. Abbocath 18G (Terumo ®)
c. Syringe 3 ml (Terumo ®)
d. Infuse Set (Terumo ® )
e. Syringe 5 ml (Terumo ®)
f. Pencatat waktu (Stopwatch)
g. Alat tulis dan formulir penelitian

3.8.2 Bahan yang Digunakan


a. Manitol 20%
b. Natrium Laktat Hipertonik 3% (Totilac ®)
c. Nacl 0,9%
d. R Sol
e. Efedrin
f. Sulfas Atropin
g. Epinefrin
h. Fenitoin/Diazepam.

3.9 Identifikasi Variabel


3.9.1 Variabel Bebas
a. Manitol 20% 3cc/kg bb
b. Natrium Laktat hipertonik 3cc/kg bb

3.9.2 Variabel Tergantung


Efek perubahan Osmolaritas plasma pasien cedera otak traumatik
ringan-sedang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

3.10 Definisi Operasional


1. Manitol adalah cairan hiperosmolar yang memiliki struktur kimia
1,2,3,4,5,6-hexanehexol (C6H8(OH)6) dan merupakan poliol (alkohol
gula) memiliki osmolaritas 1098 mOsm/L
2. Natrium laktat hipertonik adalah larutan dengan kadar garam
seimbang yang mempunyai osmolaritas 1020 mOsm/L, pH ± 7.0,
berisi natrium laktat hipertonik, kalium klorida, dan kalsium klorida
dalam konsentrasi fisiologis dengan kandungan natrium 504 mEq/L
dan laktat 504 mEq/L.
3. Osmolaritas adalah konsentrasi suatu larutan (dalam 1 liter) ditinjau
dari jumlah partikelnya, dinyatakan dengan satuan osmol/L.
Osmolaritas (osmol/L) = molar x jumlah partikel yang terdisosiasi.
4. ASA II adalah pasien yang akan menjalani operasi ditemukan
kelainan sistemik ringan selain yang akan dioperasi.
5. Efek samping obat adalah efek negatif yang muncul selama
penggunaan obat, seperti : hipotensi, mual dan muntah, toksisitas obat
(kejang dan henti jantung).
6. Berat badan pasien dihitung dengan PBW ( predictive Body Weight)
dengan rumus Laki -laki 50 + 2,3x (PB-60 inci)x atau 50 + 0,91x
(PB -152,4 cm), pada wanita  45,5 + 2,3(PB-60 inci) atau 45,5 +
0,91 x (PB-152,4 cm)

3.11 Masalah Etika


a. Keluarga pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan,
manfaat, serta resiko dari hal yang akan terkait dengan penelitian.
Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena cairan ini
sudah lama digunakan dan banyak diteliti sebagai terapi osmotik pada
pasien cedera otak traumatik. Pada penelitian ini dosis obat yang
digunakan adalah dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis
obat yang sama sudah sering dilakukan pada pusat-pusat pendidikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Kemudian pasien diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek


penelitian.
b. Bila timbul kegawatdaruratan pada saat pemberian cairan akan
ditangani sesuai dengan alat dan obat- obat emergensi, maka diberikan
bantuan napas dengan Bag Valve Mask (BVM) dengan Tidal Volume
8 ml/kgbb.

3.12 Analisis Data


a. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, kemudian data tersebut
diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan
diolah. Data dikumpulkan ke dalam master tabel dengan menggunakan
software Microsoft Office Excel 2007 dan dianalisa statistik dengan
SPSS 17.
b. Kenaikan osmolaritas merupakan data numerik dan akan ditampilkan
dalam nilai rata-rata ± SD (Standar Deviasi). Uji kenormalan data
numerik digunakan uji Shapiro Wilk, jika data berdistribusi normal
digunakan uji T-Independent, dan jika data tidak berdistribusi normal
diuji dengan Mann Whitney.
c. Untuk membandingkan perbedaan respon hemodinamik antara kedua
kelompok perlakukan digunakan analisa uji t (t-test). Sedangkan untuk
membandingkan perubahan respon hemodinamik dalam masing-masing
kelompok digunakan analisa uji t berpasangan (t-pair test).
d. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05, dianggap bermakna
secara signifikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

ALUR PENELITIAN

Populasi

Inklusi Eksklusi

Sampel

Randomisasi

Periksa Hemodinamik (TD, HR,


Vol. Urine), hitung osmolaritas.

Kelompok A Kelompok B

Inf. Manitol 20% 3cc/kg BB selama Inf. Na-Laktat Hipertonik 3 cc/kg BB


10 menit selama 10 menit

Periksa Hemodinamik (TD, HR, RR Periksa Hemodinamik (TD, HR, RR


/15 menit, Vol Urine dan Osmolaritas /15 menit, Vol Urine dan Osmolaritas
setelah 1 jam) setelah 1 jam)

Tabulasi data

Analisa Data Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Demografi Subyek

Penelitian ini melibatkan 30 orang pasien cedera otak traumatik ringan-


sedang yang datang ke UGD, yang terbagi dalam dua kelompok dengan jumlah
yang sama yaitu kelompok A 15 orang yang mendapat manitol 20% 3cc/kgBB
dan kelompok B 15 orang yang mendapat Natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB.
Pasien dengan jenis kelamin dominan di dua kelompok sebanyak 66,7%
dikelompok A dan 80% di kelompok B.
Rerata umur di kelompok A adalah 36,40 tahun dan kelompok B adalah
32,93 tahun. Rerata panjang badan dan PBW di kelompok A berturut-turut adalah
161,4 cm dan 56,96 kg sedangkan di kelompok B adalah 163,13 cm dan 58,87 kg.
Di kelompok A kebanyakan subyek bekerja sebagai IRT dan wiraswasta
maing-masing sebanyak 5 orang (33,3%) dan pada kelompok B kebanyakan
bekerja sebagai wiraswasta dengan jumlah 5 orang (33,3%). Pendidikan dominan
di dua kelompok subyek adalah SMA masing-masing sebanyak 8 orang (53,3%)
di kelompok A dan 9 orang (60%) di kelompok B. Suku terbanyak di dua
kelompok adalah Jawa.

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi

Karakteristik Kelompok A Kelompok B p


Demografi (n=15) (n=15)
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 10 (66,7) 12 (80)
Perempuan 5 (33,3) 3 (20)
Umur, rerata (SB), 36,40 (13,74) 32,93 (15,50) 0.371a
tahun
Panjang badan, rerata 161,4 (4,24) 163,13 (5,30) 0.331b
(SB), cm
PBW, rerata (SB), kg 56,69 (5,55) 58,87 (6,27) 0.332b
a b
Mann Whitney, T Independent

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

Karakteristik Demografi Kelompok A (n=15) Kelompok B (n=15)


Pekerjaan
IRT 5 (33,3) 2 (13,3)
Karyawan 1 (6,7) 0
Mahasiswa 1 (6,7) 3 (20)
Pelajar 1 (6,7) 1 (6,7)
Petani 1 (6,7) 3 (20)
Supir 1 (6,7) 1 (6,7)
Wiraswasta 5 (33,3) 5 (33,3)
Pendidikan
SD 1 (6,7) 3 (20)
SMP 4 (26,7) 2 (13,3)
SMA 8 (53,3) 9 (60)
Diploma 1 (6,7) 1 (6,7)
Sarjana 1 (6,7) 0
Suku, n (%)
Aceh 0 1 (6,7)
Batak 5 (33,3) 3 (20)
Jawa 8 (53,3) 7 (46,7)
Karo 2 (13,3) 2 (13,3)
Melayu 0 1 (6,7)
Phakphak 0 1 (6,7)

4.2 Hasil Pemeriksaan Klinis dan Kimia Darah

Tabel 4.2 menampilkan hasil pemeriksaan GCS dan kimia darah antara
lain kadar natrium, kalium, glukosa darah sewaktu, ureum dan kreatinin. Dengan
menggunakan uji Mann whitney dan uji T Indenpendent menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan rerata parameter GCS dan kimia darah yang signifikan
antara dua kelompok subyek (p>0,05).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Klinis

Kelompok A Kelompok B
GCS
(n=15) (n=15)
8 1 (6,7) 4 (26,7)
9 6 (40,0) 3 (20,0)
10 - 1 (6,7)
11 2 (13,3) 1 (6,7)
12 1 (6,7) -
13 - 2 (13,3)
14 3 (20,0) 2 (13,3)
15 2 (13,3) 2 (13,3)

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Kimia Darah

Kelompok A Kelompok B
Klinis dan Kimia Darah p
(n=15) (n=15)
Natrium, rerata (SB), mEq 139,20 (2,31) 138,33 (4,10) 0,481b
Kalium, rerata (SB), m Eq 3,59 (0,52) 3,68 (0,48) 0,615b
Glukosa, rerata (SB), mg/dl 157,36 (36,68) 142,61 (33,63) 0,261b
Ureum, rerata (SB), mg/dl 29,23 (15,14) 30,69 (12,12) 0,693a
Kreatinin, rerata (SB), mg/dl 0,92 (0,52) 0,93 (0,47) 0,329a
a b
Mann Whitney, T Independent

4.3 Parameter Hemodinamik antara Kelompok A dan B

Tabel 4.4 berikut menampilkan hasil pemeriksaan parameter hemodinamik


sejak menit ke 0 sampai menit ke 60 pasca intervensi di dua kelompok studi.
Secara keseluruhan terlihat bahwa tidak ditemukan perbedaan rerata yang
signifikan untuk parameter tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,
frekuensi nadi dan frekuensi nafas antara dua kelompok (p>0,05).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

Tabel 4.4 Perbedaan Parameter Hemodinamik antara Kelompok A dan B

Kelompok A Kelompok B
Hemodinamik p
(n=15) (n=15)
Tekanan Darah Sitolik, rerata
(SB), mmHg
Menit ke 0 133,33 (30,39) 126,13 (25,04) 0,540a
Menit ke 15 129 (20,35) 129,53 (23,37) 0,691a
Menit ke 30 132,2 (23,96) 124,2 (17,58) 0,375a
Menit ke 45 131,6 (21,21) 126,13 (20,81) 0,353a
Menit ke 60 133,07 (19,23) 126,73 (24,68) 0,227a
Tekanan Darah Diastolik,
rerata (SB), mmHg
Menit ke 0 80,53 (12,25) 75,53 (13,12) 0,266a
Menit ke 15 82,20 (10,81) 76,73 (11,45) 0,190b
Menit ke 30 79,93 (11,84) 75,13 (10,15) 0,243b
Menit ke 45 81,53 (12,8) 78,07 (10,77) 0,811a
Menit ke 60 78,47 (14,03) 74,67 (10,6) 0,858a
Frekuensi Nadi, rerata (SB),
x/menit
Menit ke 0 89,33 (17,92) 87,87 (15,21) 0,811b
Menit ke 15 90,13 (18,97) 86 (9,89) 0,463b
Menit ke 30 90,87 (17,85) 85,27 (11,57) 0,317b
Menit ke 45 85,27 (15,06) 83,67 (12,36) 0,753b
Menit ke 60 84,87 (17,65) 81,67 (12,03) 0,566b
Frekuensi Nafas, rerata (SB),
x/menit
Menit ke 0 23,6 (9,17) 18,93 (3,92) 0,109a
Menit ke 15 23,4 (9,32) 18,93 (4,2) 0,109a
Menit ke 30 22,13 (8,09) 18,93 (3,56) 0,457a
Menit ke 45 20,2 (6,49) 18,93 (4,2) 0,847a
Menit ke 60 19,53 (4,52) 18,8 (4,26) 0,531a
a
Mann Whitney, bT Independent

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

Tabel 4.5 Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik antara Kelompok A


dan B

Tekanan Darah Sitolik, Kelompok A Kelompok B


p* p*
rerata (SB), mmHg (n=15) (n=15)
Menit ke 0 133,33 (30,39) 0,943 126,13 (25,04) 0,601
Menit ke 15 129 (20,35) 129,53 (23,37)
Menit ke 30 132,2 (23,96) 124,2 (17,58)
Menit ke 45 131,6 (21,21) 126,13 (20,81)
Menit ke 60 133,07 (19,23) 126,73 (24,68)
*Friedman

Hasil pengamatan pada tekanan darah sistolik pada kelompok subyek yang
menerima manitol 20% 3 cc/kgBB (kelompok A) menunjukkan rerata tertinggi
terjadi pada menit ke 0 yaitu dengan rerata 133,33 mmHg. Pada menit ke 15
tekanan darah sistolik turun sampai ke angka 129 mmHg dan berikutnya naik
kembali pada menit ke 60 dengan rerata 133,07 mmHg.
Rerata tekanan darah sistolik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan sejak
pengamatan menit ke 0 sampai menit ke 60 setelah dianalisis dengan uji
Friedman.

134
133.33
133 133.07
Tekanan darah Sistolik, mmHg

132 132.2
131.6
131

130

129 129

128

127

126
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60

Gambar 4.1 Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik pada Kelompok A

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

Hasil pengamatan pada tekanan darah sistolik pada kelompok subyek yang
menerima Natrium Laktat Hipertonik 3cc/ KG BB (kelompok B) menunjukkan
rerata pada menit ke 0 adalah 126,13 mmHg dan meningkat pada menit ke 15
menjadi 129,53. Pada menit ke 30 rerata tek darah diastolik turun menjadi 124,2
mmHg. Rerata tekanan darah sistolik tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan sejak pengamatan menit ke 0 sampai menit ke 60 setelah dianalisis
dengan uji Friedman.

130
129.53
129
Tekanan Darah Sitolik, mmHg

128

127
126.73
126 126.13 126.13

125

124 124.2

123

122

121
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60

Gambar 4.2 Perubahan Rerata Tekanan Darah Sistolik pada Kelompok B

Tabel 4.6 Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik antara Kelompok A


dan B

Tekanan Darah Diastolik, Kelompok A p* Kelompok B p*


rerata (SB), mmHg (n=15) (n=15)
Menit ke 0 80,53 (12,25) 0,425 75,53 (13,12) 0,394
Menit ke 15 82,20 (10,81) 76,73 (11,45)
Menit ke 30 79,93 (11,84) 75,13 (10,15)
Menit ke 45 81,53 (12,8) 78,07 (10,77)
Menit ke 60 78,47 (14,03) 74,67 (10,6)
*Friedman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

Rerata tekanan darah diastolik mengalami fluktuasi pada kelompok A,


pada menit ke 0 rerata tekanan darah diastolik menunjukkan 80,53 mmHg.
Selanjutnya pada menit ke 15 meningkat menjadi 82,2 mmHg. Pada menit ke 30
rerata tek darah diastolik turun menjadi 79,93 mmHg, meningkat kembali pada
menit ke 45 dengan rerata 81,53 mHg. Tekanan darah diastolik menunjukkan nilai
terendah pada menit ke 60 yaitu dengan rerata 78,47 mmHg. Dengan
menggunakan uji Friedman, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan rerata tekanan darah diastolik selama pengamatan 60 menit setelah
pemberian manitol 20% 3 cc/kgBB.
83

82 82.2
Tekanan Darah Diastolik, mmHg

81.53
81
80.53
80 79.93

79
78.47
78

77

76
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60

Gambar 4.3 Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik pada Kelompok A

Rerata tekanan darah diastolik juga mengalami fluktuasi pada kelompok


B, pada menit ke 0 rerata tekanan darah diastolik menunjukkan 75,53 mmHg.
Selanjutnya pada menit ke 15 meningkat menjadi 76,73 mmHg. Pada menit ke 30
rerata tek darah diastolik turun menjadi 75,13 mmHg, meningkat kembali pada
menit ke 45 dengan rerata 78,08 mHg. Tekanan darah diastolik menunjukkan nilai
terendah pada menit ke 60 yaitu dengan rerata 74,67 mmHg. Dengan
menggunakan uji Friedman, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan rerata tekanan darah diastolik selama pengamatan 60 menit setelah
pemberian Natrium Laktat Hipertonik 3cc/kg BB.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

79

Tekanan Darah Diastolik, mmHg 78 78.07

77
76.73
76
75.53
75 75.13
74.67
74

73

72
Menit ke 0 Menit ke 15 Menit ke 30 Menit ke 45 Menit ke 60

Gambar 4.4 Perubahan Rerata Tekanan Darah Diastolik pada Kelompok B

Tabel 4.7 Perbedaan Volume Urin dan Osmolaritas Darah antara


Kelompok A dan B

Kelompok A Kelompok B
P
(n=15) (n=15)
Volume Urin, rerata (SB), ml 818 (236,68) 469 (228) <0,001a
Osmolaritas, rerata (SB), mOsm/L
Sebelum Intervensi 296,32 (7,83) 292,58 (7,1) 0,130b
Sesudah Intervensi 305,31 (6,89) 297,52 (7,36) 0,006a
a
T Independent, b Mann Whitney

Rerata volume urin pada kelompok A jauh lebih tinggi dibandingkan


subyek di kelompok B yaitu 818 ml berbanding 469 ml. Hasil analisis
menggunakan uji T Independent membuktikan bahwa terdapat perbedaan rerata
volume urin yang signifikan antara dua kelompok studi (p<0,001).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

900
818
800

700

600
Volume Urin, ml

500 469

400

300

200

100

0
Kelompok A Kelompok B

Gambar 4.5 Perbedaan Volume Urin pada Kelompok A dan Kelompok B

4.4 Perubahan Osmolaritas pada Kelompok A dan B


Osmolaritas plasma pada kelompok A lebih tinggi pada subyek di
kelompok A dengan rerata 305,31 mOsm/L setelah diintervensi, sedangkan pada
kelompok B dengan rerata 297,52 mOsm/L. Dengan uji T Independent diketahui
terdapat perbedaan osmolaritas plasma yang signifikan antara dua kelompok
subyek (p=0,006).
310

305.31
305
Osmolaritas, mOsm/L

300
297.52
296.32 Sebelum Intervensi
295 Sesudah Intervensi
292.58

290

285
Kelompok A Kelompok B

Gambar 4.6 Perbedaan Osmolaritas Plasma pada Kelompok A dan


Kelompok B

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Tabel 4.8 Perbedaan Osmolaritas Darah pada Kelompok A dan B antara


Sebelum sesudah Intervensi

Kelompok A Kelompok B
p P
(n=15) (n=15)
Osmolaritas, rerata
(SB), mOsm/L
Sebelum Intervensi 296,32 (7,83) 0,001a 292,58 (7,1) <0,001b
Sesudah Intervensi 305,31 (6,89) 297,52 (7,36)
a b
Wilcoxon, T Dependent

Hasil penelitian membuktikan bahwa kedua kelompok perlakuan


menunjukkan peningkatan osmolaritas yang signifikan. Pada kelompok A rerata
osmolaritas meningkat dari 296,32 mOsm/L sebelum intervensi menjadi 305,31
mOsm/L setelah pemberian manitol (p=0,001). Dan pada kelompok subyek yang
menerima laktat hipertonik rerata osmolaritas plasma juga meningkat dari 292,58
mOsm/L menjadi 297,52 mOsm/L (p<0,001).

Tabel 4.9 Efek Perubahan Osmolaritas pada Kelompok A dan B

Kelompok A Kelompok B
P
(n=15) (n=15)
Selisih Osmolaritas sebelum- 8,99 (7,16) 4,94 (3,82) 0,063a
sesudah rerata (SB), mOsm/Kg

a
T Independent

Rerata selisih osmolaritas sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok


A lebih tinggi dibandingkan pada kelompok B yaitu 8,99 mOsm/Kg dibandingkan
4,94 mOsm/Kg. Hasil analisis menggunakan uji T Independent membuktikan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna rerata selisih osmolaritas sebelum-
sesudah antara dua kelompok studi (p=0,063).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

BAB 5
PEMBAHASAN

Penelitian ini membandingkan efek perubahan osmolaritas plasma akibat


pemberian terapi osmotik yaitu manitol 20% 3 cc/kg BB (Kelompok A) dan
natrium laktat hipertonik (Kelompok B) pada 30 pasien cedera otak ringan-sedang
yang datang ke UGD.
Pada data demografi didapatkan pasien didominasi jenis kelamin laki-laki
66,7% pada kelompok A dan 80% pada kelompok B. Rerata umur, panjang badan
dan PBW pada kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) secara
statistik sehingga kedua kelompok layak untuk dibandingkan. Karakteristik
pekerjaan bervariasi dari ibu rumah tangga, karyawan, pelajar, petani, supir dan
wiraswasta. Karakteristik pendidikan dari SD sampai Sarjana dimana didominasi
oleh SMA sebanyak 53,3% pada kelompok A dan 60% pada kelompok B.
Keseluruhan pasien adalah penderita cedera kepala ringan-sedang, pada
pemeriksaan GCS awal didapatkan mayoritas pasien GCS 9 (40,0%) pada
kelompok A dan GCS 8 (26,7%). Data pemeriksaan laboratorium awal pada
kedua kelompok (natrium, kalium, glukosa ureum dan kreatinin) tidak ada
perbedaan bermakna (p>0,05), tidak dijumpai gangguan elektrolit, kadar glukosa
yang tidak normal dan tidak dijumpai gangguan ginjal.
Perubahan hemodinamik pada kedua kelompok manitol 20 % 3 cc / kg BB
dan natrium laktat hipertonik 3 cc/ Kg BB yaitu tekanan darah sistolik, diastolik,
nadi dan frekuensi nafas selama 60 menit pemantauan tidak didapatkan perbedaan
bermakna(p>0,05). Hal ini menunjukkan baik manitol dan natrium laktat
hipertonik tidak menyebabkan mempengaruhi hemodamik sistemik sehingga
diharapkan tekanan perfusi otak (TPO) dapat dipertahankan untuk menjaga
oksigenasi otak akan tetap terjaga.
Pemberian terapi osmotik pada cedera kepala diharapkan akan
meningkatkan osmolaritas plasma sehingga akan menarik cairan dari interstisial
parenkim otak kedalam pembuluh darah dan akan mengurangi edema yang terjadi,
dengan berkurangnya edema maka tekanan intrakranial (TIK) akan menurun.

63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64

Rerata osmolaritas pada kedua kelompok sebelum perlakuan tidak berbeda


bermakna secara statistik (p>0,05) yaitu pada kelompok A (manitol 20 % 3 cc)
adalah 296,32 mOsm/Kg dan pada kelompok B (Natrium Laktat hipertonik 3 cc/
Kg BB) adalah 292,58 mOsm/Kg.
Osmolaritas setelah perlakuan pada kedua kelompok berbeda bermakna
(p<0,05) dimana rerata osmolaritas setelah perlakuan pada kelompok A lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok B dimana kelompok A adalah 305,31
mOsm/ Kg dan pada kelompok B adalah 297,52 mOsm/ Kg hal ini sesuai dengan
penelitian Ichai carole dkk dimana manitol akan menaikkan osmolaritas lebih
tinggi dibandingkan natrium laktat hipertonik akan tetapi tidak sesuai dengan
penelitian Sharma RM dkk dimana pemberian manitol akan menaikkan
osmolaritas plasma diatas 320 mOsm/kg.
Efek kenaikan osmolaritas setelah perlakuan tidak berbeda bermakna pada
kedua kelompok (p>0,05) hal ini sesuai dengan penelitian penelitian Ichai carole
dkk dimana efek kenaikan osmolaritas kedua kelompok tidak bermakna secara
statistik. Walaupun kenaikan osmolaritas plasma natrium laktat hipertonik tidak
mencapai 300 mOsm/Kg bukan berarti tidak bisa digunakan sebagai terapi
osmotik,
Volume urin setelah perlakuan pada kelompok A lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok B dan berbeda signifikan secara statistik
(p<0,05), hal ini sesuai dengan penelitian – penelitian sebelumnya akan tetapi
tidak dijumpai perbedaan hemodinamik pada kedua kelompok. Tidak ada
penurunan tekanan darah yang signifikan pada kelompok A yang akan
menggangu tekanan perfusi otak dimana hal ini yang dikhawatirkan karena
produksi urin yang keluar akan mengurangi volume plasma dan apabila terus
berlanjut dapat mengakibatkan hipovolemia sehingga mengganggu hemodinamik.
Target osmolaritas pada cedera otak traumatik adalah 300 – 315 mOsm /
kg dimana apabila kurang dari 300 mOsm/Kg kurang efektif dan apabila lebih
dari 315 mOsm/Kg akan menyebakan kerusakan ginjal dan SSP (Shawkat H et al,
2012). Pada penelitian ini pemberian manitol 20 % 3 cc/Kg sekali pemberian sudah
mencapai target yang diharapkan sehingga pemberian manitol berulang harus menjadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

perhatian karena kemungkinan akan menaikkan osmolaritas plasma yang makin tinggi
dan juga kemungkinan rebound phenomen yaitu edema otak karena penggunaan manitol
yang kronis.
Pada kelompok pasien yang diberikan natrium laktat 3 cc/kg BB target
osmolaritas belum tercapai akan tetapi bila dibandingkan efek kenaikan osmolaritas
kedua kelompok tidak didapati perbedaan bermakna (p>0,05), dosis yang lebih tinggi
dan penggunaan lebih dari satu kali natrium laktat hipertonik dapat diberikan untuk
mencapai target osmolaritas yang diharapkan. Natrium laktat hipertonik sangat
bermanfaat pada kasus perdarahan dengan multitrauma termasuk trauma kepala, karena
dapat digunakan dengan volume yang kecil untuk meningkatkan hemodinamik dan juga
mengurangi edema otak yang terjadi (Kyes J, Johnson JA, 2011). Dari segi harga manitol
masih lebih murah dibandingkan natrium laktat hipertonik sehingga manitol masih lebih
sering digunakan sebagai terapi hiperosmolar.
Sesuai dengan Guideline Traumatic Brain Injury (TBI) Foundation
prinsip penanganan cedera otak traumatik adalah mempertahankan oksigenasi dan
perfusi ke otak sehingga tidak memperberat cedera yang terjadi dimana terapi
osmotik adalah salah satu modalitas penanganannya. Terapi osmotik ini tidak
bisa berdiri sendiri dalam penanganan cedera otak traumatik, penanganan dini dan
menyeluruh seperti jalan nafas, pernafasan dan status hemodinamik serta tindakan
operasi untuk dekompresi sampai stabilisasi di ICU apabila diperlukan.
Efek terapi dari cairan hiperosmolar ini paling baik diketahui apabila ada
monitoring TIK sehingga pemberian cairan osmotik ini dapat diberikan secara
tepat untuk mencapai target terapi yang lebih baik dan meminimalisasi efek
samping yang terjadi.
Dari pembahasan di atas didapatkan bahwa penelitian dengan hipotesa
dimana tidak ada perbedaan bermakna kenaikan osmolaritas plasma yang
diakibatkan pemberian manitol 20% 3 cc/kg BB dibandingkan natrium laktat
hipertonik 3 cc/kg BB pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN
1. Berdasarkan penelitian, manitol 20% 3 cc/Kg BB dapat menaikkan
osmolaritas plasma sesuai dengan target osmolaritas yang diharapkan yaitu
300 – 315 mOsm/Kg dan Natrium laktat hipertonik 3 cc/Kg BB hanya dapat
menaikkan osmolaritas dibawah 300 mOsm/Kg, berarti manitol masih lebih
efektif dibandingkan natrium laktat hipertonik dalam hal target osmolaritas
plasma pasien cedera otak traumatik.
2. Perbedaan kenaikan osmolaritas pada kedua kelompok perlakuan tidak
berbeda bermakna secara statistik (p>0,05) tetapi nilai akhir osmolaritas
kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
3. Dari penelitian ini didapatkan tidak ada perubahan hemodinamik yang
bermakna (p>0,05) pada kedua kelompok setelah perlakuan walaupun
dijumpai volume urine pada kelompok manitol lebih banyak dibandingkan
kelompok natrium laktat hipertonik.
4. Terapi osmotik adalah salah satu modalitas penanganan cedera kepala
traumatik tetapi tidak dapat berdiri sendiri. Penanganan secara menyeluruh
seperti penanganan jalan nafas, pernafasan, hemodinamik, stabilisasi
metabolik, elevasi kepala, tindakan dekompresi dan tindakan perawatan
lanjutan di ICU apabila diperlukan harus dilakukan untuk prognosis pasien
yang lebih baik.

6.2 SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam hal pemberian terapi osmotik
dihubungkan dengan penilaian TIK langsung dengan cairan hiperosmolar
dengan pengamatan yang lebih lama.
2. Perlu diperhatikan pemberian berulang manitol mengenai efek osmolaritas
yang ditimbulkan untuk prognosis lebih baik.

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

DAFTAR PUSTAKA

Arifin MZ, Risdianto A. Perbandingan Efektivitas Natrium Laktat dengan


Manitol untuk menurunkan Tekanan Intrakranial Penderita Cedera
Kepala Berat. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Majalah
Kedokteran Bandung (MKB). 2012; 44(1): p26-31.
Bisri, T. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care Cedera Otak Traumatik.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung. 2012;1- 59.
Francony G, Fauvage Bertrand, Dominique Falcon, Canet Charles, Dilou Henri,
Lavagne Pierre, Jacquot Claude, Payen Jean-Francois. Equimolar doses
of mannitol and hypertonic saline in the treatment of increased
intracranical pressure. Critical Care Medicine. 2008;36:795-800.
G. Edward Morgan, Jr., Butterworth JF., Mackey DC., WasnickJD. Clinical
Anesthesiology : Neurophysiology & Anesthesia. 5th Edition.2013;
575-80.
G. Edward Morgan, Jr., Butterworth JF., Mackey DC., WasnickJD. Clinical
Anesthesiology : Airway Management. 5th Edition.2013;329.
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Calvi MR, Cipriani A.,
Garancini MP. 7.5% Hypertonic Saline versus 20% Mannitol during
elective neurosurgical supratentorial procedures. Journal of
Neurosurgical Anesthesiology. 1997;9:329-34.
Haddad Samir and Yaseen M Arabi. Critical care management of severe
traumatic brain injury in adults. Scandinavian Journal of trauma,
resuscitation and emergency medicine. 2012;20:1-15.
Hanna, Ahmad MR. Effect of Equiosmolar Solutions of Hypertonic Sodium
Lactate versus Mannitol in Craniectomy Patients with Moderate
Traumatic Brain Injury. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Med J Indonesia. 2014;23;30-5.
Harutjunyan L, Holz C., Rieger A., Menzel M., Grond S., Soukup J. Efficiency
of 7.2% hypertonic saline hydroxyethyl starch 200/0.5 versus mannitol
15% in the treatment of increased intracranial pressure in

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

neurosurgical patients – a randomized clinical trial. Critical Care.


2005;9:530-40.

Helmy A, Vizcaychipi M., Gupta A. K.. Traumatic brain injury : intensive care
management. British Journal Anaesthesia. 2007:99:32-42.
Ichai C, Guy A, Orban JC, Berthier F, Rami L, Long CS, Grimaud D, Levere X.
Sodium Lactate vs. Mannitol in the Treatment of Intracranial
Hypertensive Episodes in Severe Traumatic Brain-Injured Patients.
Critical Care. 2014;18;163-75.
Kalita J, Ranjan P, Misra U K. Current status of osmotherapy in intracerebral
hemorrhage. Neurol India. 2003;51:104-9.
Kyes J, Johnson JA. Hypertonic Saline Solutions in Shock Resuscitation.
Conpendium : Continuing Education for Veterinarians. 2011;E1-7.
Malik ZA, Mir SA., Nagas IA., Sofi KP, Wani AA. A Prospective, Randomized,
Double Blind Study to Compare the Effects of Equiosmolar Solutions of
3% Hypertonic Saline and 20% Mannitol on Reduction of Brain-Bulk
During Elective Craniotomy for Supratentorial Brain Tumor Resection.
Anesthesia Essays and Researches. 2014;8(3);388-92.
Mortazavi MM, Romeo Andrew K., Deep Aman, Griessenauer Christoph J.,
Shoja Mohammadali M., Tubbs Shane, Fisher Winfield,. Hypertonic
saline for treating raised intracranial pressure: literature review with
meta-analysis. Journal Neurosurgery. 2012;116:210-21.
Mustafa I, Leverve X. Metabolic and hemodynamic effects of hypertonic
solutions: sodium-lactate versus sodium chloride infusion in
postoperative patients. Shock. 2002;18(4):306-10.
Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia : Anesthetic
Management of Head Trauma. Lippincott Williams & Wilkins. 2007;
p91-109.
Olivecrona M. On Severe Traumatic Brain Injury, Aspects of an Intra Cranial
Pressure-Targeted Therapy Based on The Lund Concept. University
Medical Dissertations. Swedia. 2008.;10-22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

Peng Y, Liu Xiaoyuan, Wang Aidong, Han Ruquan. The effect of mannitol on
intraoperative brain relaxation in patients undergoing supratentorial
tumor surgery : study protocol for a randomized controlled trial.
Biomed Central. 2014;15:165- 71.
Rozet I, Tontisirin Nuj, Muangman Saipin, Vavilala Monica S., Souter Michael
J., Lee Lorri A., Kincaid M. Sean, Britz Gavin W., Lam Arthur M..
Effect of equiosmolar solutions of mannitol versus hypertonic saline on
intraoperative brain relaxation and electrolyte balance. The American
society of anesthesiologists Inc. 2007;107:697-704.
Sakellaridis N, Pavlou Elias, Karatzas Stylianos, Chroni Despina, Vlachos
Konstantinos, Chatzopoulos Konstantinos, Dimopoulou Eleni, Kelesis
Christos, Karaouli Vasiliki. Comparison of mannitol and hypertonic
salie in the treatment of severe brain injuries. Journal Neurosurgery.
2011;114:545-8.
Saleh, SC. Sinopsis Neuroanestesia Klinik : Anstesi untuk Trauma Kepala.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. 2013; p145-59.
Scozzafava J, Hussain Muhammad Shazam, John Seby. Medical and Surgical
Management of Intracranial Hypertension. Available from
http://www.intechopen.com/books/advances-in-thetreatment-of-
ischemic-stroke/medical-and-surgical-management-of-intracranial-
hypertension. 2012;215-27.
Sharma RM, Setlur R, Swamy MN. Evaluation of mannitol as an
osmotherapeutic agent in traumatic brain injuries by measuring serum
osmolality. Medical Journal Armed Force India. 2011:67:230-3.
Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol : a review of its
clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-5.
Wakai A, IG Roberts, G Schierhout. Mannitol for acute traumatic brain injury
(review). The Cochrane Collaboration. 2008;1-9.
Wani AA, Ramzan Altaf U, Nizami Furqan, Malik Nayil K M, Kirmani A R,
Bhatt AR, Singh Sarabjeet. Controversy in use of mannitol in head
injury. Indian Journal of Neurotauma. 2008;5:11-3.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

White H, Cook David, Venkatesh Bala. The use of hypertonic saline for
treating intracranial hypertension after traumatic brain injury.
Anesthesia Analgesia. 2006;102:1836-46.
Wisniewsk P, Semon G, Liu Xi, Dhaliwal P. Severe Traumatic Brain Injury
Management. webmaster@surgicalcriticalcare.net. 2014;1-14.
Yildizdas D, S Altunbasak, U Celik, O Herguner. Hypertonic Saline Treatment
in Children with cerebral edema. Indian Pediatrics Journal.
2006;43:771-9.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

Lampiran 1
RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : dr. Budi Harto Batubara


NIM : 117114004
Tempat / Lahir : Tambunan / 25 Maret 1982
Pekerjaan : Dokter umum
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jln. Vanilli XIII no. 22 Simalingkar Medan
Nama Ayah : (Alm) Jumala Batubara
Nama Ibu : Rengsi Tambunan
Status : Belum Menikah

Riwayat Pendidikan
1988 – 1994 : SD Negeri 173547 Tambunan
1994 -1997 : SMP Negeri 3 Tambunan
1997 - 2000 : SMA Negeri 2 Balige
2000 - 2006 : Fakultas Kedokteran USU Medan
2011 - Sekarang : PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU Medan

Riwayat Pekerjaan
2007 – 2008 : Dokter PTT pusat Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi
Papua Barat
2008-2009 : Dokter PTT Pusat Kabupaten Paniai, Provinsi Papua
2009- Sekarang : PNS RSUD Hadrianus Sinaga Pangururan Samosir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

Lampiran 2

JADWAL TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN

No. Tahapan Penelitian Rencana


1. Bimbingan proposal Juni 2015 - Agustus 2015
2. Seminar proposal September 2015
3. Perbaikan proposal September 2015
4. Komisi etika penelitian Oktober 2015
5. Pengumpulan data Oktober 2015 – tercapai jumlah
sampel
6. Pengolahan & analisa data November – Desember 2015
7. Bimbingan penyusunan laporan akhir Desember 2015 – Januari 2016
8. Seminar akhir penelitian Januari 2016
9. Perbaikan laporan akhir penelitian Januari 2016

TAHUN
TAHUN 2015
2016
Tahapan Penelitian
JUN-
SEP OKT NOV DES JAN
AUG
Bimbingan proposal
Seminar proposal
Perbaikan proposal
Komisi etika penelitian
Pengumpulan data
Pengolahan & Analisa data
Bimbingan penyusunan
laporan akhir Penelitian
Seminar akhir penelitian
Perbaikan laporan akhir
penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

Bapak/Ibu/Saudara/i Yth.

Saya, dr. Budi Harto Batubara saat ini sedang menjalani program
pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif Fakultas
Kedokteran USU dan akan melaksanakan penelitian sebagai syarat ujian
akhir. Adapun penelitian saya berjudul :

“PERBANDINGAN OSMOLARITAS PLASMA SETELAH PEMBERIAN


MANITOL 20% 3 CC/KGBB DENGAN NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK 3 CC/KGBB PADA PASIEN CEDERA OTAK
TRAUMATIK RINGAN-SEDANG “

Penelitian ini berhubungan dengan tindakan pemberian cairan pada


pasien yang mengalami cedera kepala dimana salah satu manajemen pada
pasien cedera kepala adalah pemberian cairan yang bertujuan
mengurangi pembengkakan otak (edema otak) sehingga tekanan
intrakranial akan menurun. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan terapi cairan mana yang paling baik dalam hal
mempertahankan osmolaritas tubuh pada pasien-pasien yang mengalami
cedera otak traumatik sehingga lebih baik dalam hal mengurangi bengkak
(edema) otak

Pada penelitian ini, saya hendak membandingkan terapi cairan


hiperosmoler yang berbeda yang mempengaruhi osmolaritas tubuh pada
pasien-pasien dengan cedera otak traumatik apakah pemberian Manitol
20% 3 cc/kg BB atau natrium laktat hipertonik 3 cc/kg BB lebih efektif
dalam mempengaruhi osmolaritas tubuh sehingga akan mengurangi
pembengkakan (edema) otak yang terjadi karena cedera kepala ringan
sedang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

Keluarga Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian akan diambil sebagai


subjek/pelaku penelitian ini, berdasarkan kriteria yang sudah disepakati
sebelumnya. Seluruh biaya yang berhubungan dengan penelitian ini akan
ditanggung oleh peneliti. Bila anda setuju untuk diikut sertakan dalam
penelitian ini, maka saya sangat mengharapkan kerja sama yang baik dan
berkenan untuk menandatangani surat persetujuan ini. Namun apabila
anda tidak bersedia kami akan tetap memberikan pelayanan sebagaimana
mestinya.

Untuk lebih jelasnya, pada saat turut serta sebagai sukarelawan


pada penelitian ini, keluarga Bapak/Ibu/Saudara/i akan menjalani
prosedur penelitian sebagai berikut:

1. Setelah pasien datang ke UGD akan dilakukan resusitasi sesuai


ATLS, pembebasan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2. Di UGD akan dilakukan, pemasangan infus (jalur intra vena) dan
pasien akan diresusitasi sesuai derajat perdarahan yang terjadi dan
dilakukan pengukuran hemodinamik (tekanan darah, nadi, volume
urine) dan dilakukan pengambilan darah (osmolaritas Tubuh)
3. Setelah resusitasi pasien diacak dan dibagi kedalam kelompok I
akan mendapat perlakuan dengan pemberian Manitol 20 % 3cc/kg
BB dan kelompok II Natrium Laktat Hipertonik 3 cc/ kg BB
4. Selanjutnya 1 jam setelah pemberian cairan hiperosmolar akan
dilakukan kembali pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah,
nadi, dan volume urine) kemudian dilakukan pengambilan darah
kembali untuk pemeriksaan osmolaritas plasma.
5. Setelah itu pasien akan ditindaklanjuti kemudian apakah akan
dilakukan pembedahan atau tidak sesuai dengan keadaan klinis
pasien.

Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang


berbahaya bagi Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian. Akan tetapi, apabila

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung,


yang disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan selama penelitian ini,
maka Bapak/Ibu/Saudara/i dapat menghubungi dr. Budi Harto
Batubara (Hp. 081361388950) untuk mendapatkan pertolongan dan
konsultasi. Selain dari itu, penelitian ini juga diawasi konsultan-
konsultan di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, sehingga bila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan peneliti dapat berkonsultasi dalam
hal penanganan kejadian tersebut.

Kerja sama Bapak/Ibu/Saudara/i sangat diharapkan dalam


penelitian ini (± 1 hari). Bila masih ada hal-hal yang belum jelas
menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan pada peneliti,
dr. Budi Harto Batubara

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,


diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah terpilih pada penelitian ini,
dapat mengisi lembaran persetujuan turut serta dalam penelitian yang
telah dijelaskan sebelumnya.

Medan, ………………… 2015


Peneliti

(dr. Budi Harto Batubara)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

Lampiran 4

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ...........................................................................
Umur : …………….Tahun
Hubungan keluarga : ...........................................................................
Nama Pasien : ...........................................................................
Umur : …………….Tahun
No. Rekam Medis : ............................................................................
Pekerjaan : ...........................................................................
Pendidikan : ...........................................................................

Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta


memahami tentang tujuan, manfaat, dan resiko yang mungkin timbul
dalam penelitian berjudul :

“PERBANDINGAN OSMOLARITAS PLASMA SETELAH PEMBERIAN


MANITOL 20% 3 CC/KGBB DENGAN NATRIUM LAKTAT
HIPERTONIK 3 CC/KGBB PADA PASIEN CEDERA OTAK
TRAUMATIK RINGAN-SEDANG”

Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini


sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, dengan
ini menyatakan ikut serta dalam penelitian dan bersedia berperan serta
dengan mematuhi semua ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati
dalam penjelasan mengenai penelitian tersebut di atas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila
diperlukan.

Medan, ……………………. 2015


Mengetahui, Yang Menyatakan,
Penanggung Jawab Penelitian Keluarga Peserta Uji Klinik

(dr. Budi Harto Batubara) (_________________)

Saksi,

(_________________)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78
No. Urut : _____________

Kelompok : _____________

Lampiran 5
LEMBAR OBSERVASI SUBJEK PENELITIAN

Identitas Pasien :
Nama : __________________________________________________

Umur : ________ Tahun No. RM : ______________________

Jenis Kelamin : L / P

Pekerjaan : __________________________________________________

Alamat : __________________________________________________

Suku/Agama : __________________________________________________

BB/TB : ________ Kg/_______ cm

Diagnosa : __________________________________________________

__________________________________________________

Tanda Vital : TD _________mmHg ; Nadi ________x/menit

Awal RR _________x/menit

LAB : Natrium :________meq/l Kalium : _______meq/L

KGD : _______mg/dl Ureum/Kreatinin : _________

GCS : __________________________________________________

Variabel-variabel yang diukur

TD Vol. Urine Osmolaritas


Menit Nadi RR
(mmHg) (ml) (mOsm/l)

15

30

45

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

Lampiran 6
TABEL ANGKA RANDOM

Cara randomisasi blok


Kelompok Manitol 20 % :A
Kelompok Natrium Laktat Hipertonik :B

Besar blok = 6, maka jumlah kemungkinan kombinasi 6!/ 3! X 3! = 20

Nomor Sekuens
00 -04 AAABBB
05-09 AABABB
10-14 AABBAB
15-19 AABBBA
20-24 ABAABB
25-29 ABABAB
30-34 ABABBA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

35-39 ABBAAB
40-44 ABBABA
45-49 ABBBAA
50-54 BAAABB
55-59 BAABAB
60-64 BAABBB
65-69 BABAAB
70-74 BABABA
75-79 BABBAA
80-84 BBAABA
85-89 BBAABA
90-94 BBABAA
95-99 BBBAAA

Dengan mata tertutup diberikan tanda dengan pinsil pada table random,
didapatkan angka terdekat adalah 25, setelah itu dipilih 5 angka kesamping (kanan
didapatkan angka 25, 63, 65, 78, 41. Angka 5 diperoleh dari besar sampel dibagi
jumlah blok ( 30/6 = 5)

Sekuens angka yang terpilih adalah


25 ABABAB
63  BAABBA
65  BABAAB
78  BABBAA
41  ABBABA

perlakuan adalah :

No sekuens Subjek No. Sekuens Subjek


1 A 16 A
2 B 17 A
3 A 18 B
4 B 19 B
5 A 20 A
6 B 21 B
7 B 22 B
8 A 23 A
9 A 24 A
10 B 25 A
11 B 26 B
12 A 27 B
13 B 28 A
14 A 29 B
15 B 30 A

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAB
Umur
NO Nama Seks Pekerjaan Pendidikan Suku Agama PB (cm) PBW (kg) MR Diagnosa GCS
(Thn) Natrium
(meq/l)
1 Marianna P 33 IRT SMA Batak Kristen 158 50.60 65.83.99 Head Injury GCS 9 (E2V2M5) 9 139
2 Sri Wahyuni P 37 IRT SMP Jawa Islam 155 47.87 65.81.78 HI GCS 8 + SDH (L) FTP + Contasio (R) TP 8 136
3 Ricky Barus L 20 Supir SMP Karo Kristen 162 58.74 65.84.67 HI GCS 9 + Burst Lobe o/t Parietal (L) 9 138
4 M. Agus Subiantoro L 40 Wiraswasta SMA Jawa Islam 168 64.20 65.85.55 HI GCS 8 + Diffus Axonal 8 143
5 Ratna Simanjuntak P 54 IRT SMP Batak Kristen 160 52.42 65.82.57 HI + ICH o/t Frontal 14 142
6 Lia Gultom P 18 Pelajar SMA Kristen 155 47.87 65.86.68 HI GCS 13 + EDH o/t Frontal (F4M5V4) 13 136
7 Hj. Aisyah P 60 IRT SMA Jawa Islam 158 50.60 97.93.60 HI GCS 14 + mild contussio Serebri 14 140
8 Parulian Hutabarat L 23 Wiraswasta Diploma Batak Kristen 160 56.92 65.91.66 HI GCS 11 + ICH o/t FTP ® 11 141
9 Jostro Togatorop L 46 Petani SMP Batak Kristen 165 61.47 65.88.35 HI GCS 14 + ICH o/t parietal 15 137
10 Juliono Siswanto L 23 Mahasiswa SMA Jawa Islam 170 66.02 65.94.16 HI GCS 9 + SDH o/t Temporo Parietal ® 9 138
11 Tambun Sidauruk L 22 Mahasiswa SMA Batak Kristen 163 59.65 65.97.97 HI GCS 15 + Lacerated wound o/t frontal 15 138
12 Mismawati P 45 IRT SMA Jawa Islam 150 43.32 65.93.92 HI GCS 9 + SDH (L) FTP + Burst Lobe (L) + EDH (R) P 9 139
13 Syamsul Bahri L 22 Wiraswasta SMP Melayu Islam 170 66.02 65.97.40 HI GCS 11 + SDH o/t pariteal 11 135
14 Budi Setiawan L 24 Wiraswasta SMP Jawa Islam 165 61.47 65.96.20 HI GCS 11 + SDH o/t Occpital ® 11 138
15 Pertama Ginting L 59 Petani SMA Karo Kristen 170 66.02 65.96.70 HI GCS 8 + ICH o/t FTP (L) 8 142
Lacerated wound o/t face + multiple excoriated o/t
16 Jaya Kusuma L 18 Pelajar SMA Jawa Islam 165 61.47 98.04.50 14 137
face Head Injury GCS 14
17 Sumiati P 53 IRT SMA Jawa Islam 160 52.42 93.07.13 HI GCS 12 + SDH FTP (L) 12 145
18 Asseh Sugara L 59 Supir SMA Jawa Islam 168 64.20 66.03.07 ICH o/t frontal + HI GCS 14 14 128
19 Dian Syahputra L 24 Mahasiswa SMA Phakpak Islam 165 61.47 65.65.22 HI GCS 8 + Burst Lobe o/t FTP(L) 8 140
20 Pairin L 36 Karyawan SMA Jawa Islam 160 56.92 65.76.41 Head Injury GCS 8 + ICH o/t frontal (L) 8 138
21 Jamin Ginting L 38 Petani SD Karo Kristen 160 56.92 66.02.29 HI GCS 15 + contussio (L) Frontal 15 141
22 Riki Rusadi L 20 Petani SMA Aceh Islam 160 56.92 66.04.40 HI GCS 10 + ICH o/t parietal ® 10 145
23 Deni Siputra L 22 Mahasiswa SMA Karo Kristen 165 61.47 35.10.49 HI GCS 15 + Contasio (L) Frontal 15 139
24 Christian Lbn Gaol L 27 Wiraswasta SMA Batak Kristen 163 59.65 65.99.80 HI GCS 9 + SDH (L) FTP 9 141
25 Hummatul Choiriyah P 60 IRT SMA Jawa Islam 160 52.42 97.93.88 HI GCS 14 + SDH o/t Parietal (L) 14 136
26 Junaidi L 22 Wiraswasta Diploma Jawa Islam 160 56.92 66.05.77 HI GCS 9 + ICH o/t parietal (L) 9 140
27 Doni Prasotio Siagian L 18 Wiraswasta SD Batak Kristen 160 56.92 66.04.84 HI GCS 9 (E2M4V3) + SDH Parietal (R ) 9 135
28 Makrus L 45 Wiraswasta Sarjana Jawa Islam 168 64.20 66.05.03 Head Injury GCS 9 + ICH o/t parietal ® 9 140
29 Susanto L 33 Wiraswasta SD Jawa Islam 165 61.47 66.04.57 HI GCS 13 + EDH o/t Parietal ® 13 138
30 Arman L 40 Wiraswasta SD Jawa Islam 160 56.92 66.04.81 HI GCS ( (E2M4V3) + EDH o/t FTP (L) 9 138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Urine Osmolaritas Kelom
LAB TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR
(ml/jam) (mOsm/l) pok
Kalium KGD Ure Kreati Penelit
0 15 30 45 60 0 15 30 45 60 0 15 30 45 60 60 Sebelum Sesudah
(meq/l) (mg/dl) um nin ian
3.2 102.0 30.0 0.5 110/78 118/83 108/74 124/78 126/72 72 76 82 84 86 18 16 16 16 16 900 289.53 292.27 A
3.7 142.0 19.8 0.62 182/70 170/67 130/66 160/71 179/70 88 88 87 92 87 24 24 23 20 20 300 295.65 298.06 B
3.7 140.0 24.0 0.8 110/70 120/70 120/70 120/70 120/70 78 74 74 74 70 16 16 16 16 16 600 295.18 296.98 A
2.8 217.0 28.0 1.05 110/70 120/80 120/70 120/80 120/80 73 79 63 54 54 22 20 20 24 24 900 280.90 290.14 B
3.2 164.0 30.1 0.72 200/100 100/100 180/100 180/100 170/100 84 84 84 84 80 18 18 18 18 18 1400 302.59 307.74 A
4.6 114.2 21.8 0.92 110/60 110/60 100/50 100/50 90/50 72 72 70 70 64 16 16 14 14 14 500 289.28 291.18 B
4.0 160.0 40.0 0.5 140/90 150/90 140/80 150/80 140/80 108 100 96 90 90 20 20 20 20 20 375 299.76 300.76 B
4.8 120.7 10.4 0.65 130/80 130/70 130/80 130/80 130/70 86 100 100 90 70 44 45 40 35 25 800 299.13 300.04 A
4.4 90.4 57.5 2.1 110/70 120/80 130/90 150/100 150/100 88 88 86 80 82 18 18 18 15 16 600 300.60 306.29 A
4.1 165.9 36.9 0.78 100/60 110/60 120/70 110/70 120/80 88 82 80 72 76 16 18 18 16 16 750 298.72 299.57 B
3.0 120.0 30.0 0.35 100/60 110/70 110/80 110/80 110/80 86 88 88 88 85 18 16 16 16 18 700 290.08 294.44 B
3.5 169.9 14.9 0.5 100/70 110/80 120/80 110/70 120/70 88 80 84 80 72 16 18 16 16 20 500 296.93 307.91 A
4.1 156.8 21.5 0.78 110/70 100/70 110/80 110/80 100/70 100 90 100 100 100 24 30 25 30 30 600 286.32 290.23 B
4.1 165.9 26.9 0.78 100/70 117/80 100/70 110/80 120/70 112 115 120 89 100 20 18 18 20 18 780 293.44 301.65 A
3.2 196.2 29.4 1.43 160/100 170/100 160/90 160/100 160/100 118 100 105 100 98 20 20 24 16 16 400 298.72 307.70 B
3.2 135.0 60.0 0.6 120/80 120/80 120/70 120/70 120/70 80 84 84 84 84 20 22 22 20 20 1200 273.92 297.91 A
3.1 164.0 20.0 0.61 150/90 150/90 140/90 140/80 140/90 114 112 112 108 112 20 20 20 20 20 780 308.65 313.75 A
3.5 116.0 57.2 2.35 150/83 148/79 153/81 152/80 152/80 70 78 76 76 77 16 16 18 18 18 550 278.99 289.59 B
3.4 113.4 29.2 0.8 140/100 140/90 130/90 130/90 130/80 99 101 90 88 88 28 24 24 24 24 750 295.45 297.97 B
3.1 190.0 29.8 1.45 180/90 170/90 150/90 130/100 130/100 112 120 115 110 115 36 36 32 16 16 730 297.73 304.97 A
4.0 127.1 19.9 0.86 100/70 110/70 110/80 120/80 110/70 100 92 88 97 88 16 16 16 18 16 210 295.45 300.38 B
3.7 99.8 39.9 0.93 110/70 115/70 120/80 110/70 120/70 64 68 72 84 72 16 16 16 16 16 250 294.30 305.90 B
3.4 184.0 22.2 0.78 130/90 120/80 120/70 120/80 120/70 88 72 80 72 84 20 20 16 16 16 800 298.73 313.44 A
3.7 164.5 20.3 0.72 130/60 130/60 120/60 120/60 120/60 112 105 102 100 108 40 40 38 35 32 600 293.43 301.93 A
3.9 220.0 50.0 2.05 110/70 120/80 120/70 110/70 120/70 70 76 76 70 70 24 22 22 24 24 1000 297.94 308.71 A
3.8 159.8 50.2 1.14 130/80 130/85 110/70 110/80 110/70 80 80 82 80 84 16 16 16 18 16 200 304.86 313.35 B
3.3 142.0 23.0 0.68 110/70 110/80 110/70 110/80 110/70 80 84 88 82 80 16 16 18 18 18 300 287.92 288.33 B
3.0 210.0 14.3 0.71 160/100 140/100 140/90 140/90 130/70 102 110 108 100 88 28 26 24 20 20 750 295.05 308.93 A
4.0 109.0 13.6 0.82 140/80 150/80 140/70 140/80 150/70 92 88 94 82 82 16 16 16 16 16 250 292.33 295.16 B
3.5 140.0 28.0 0.86 160/90 170/90 185/95 170/95 180/95 54 56 56 54 52 16 16 16 16 16 830 295.45 317.19 A

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai