Nama : chaeril
NIM : 2014301117
A. KONSEP FRAKTUR
1. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak
mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau
pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien (
Black dan Hawks, 2014).
2. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan
otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi
retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun.
Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak
sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal
sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi:
a. Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b. Fraktur patologik Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma
minor mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
Klasifikasi fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi
cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas
cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka,
yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014)
1) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
2) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang 11
3) Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
2. Jenis anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube
atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
3. Teknik Anestesi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui
alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakea Tube (ETT) dan
Laringeal Mask Airway (LMA).
4. Intubasi Trakhea (ETT)
a. Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,
2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi
umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.
b. Ukuran ETT
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk
yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah
kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon
(cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-
anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada
orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit
adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter
internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm
(Latief, 2007). Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.
Pada anakanak dipakai rumus (Latief, 2007): diameter (mm) = 4 +
Umur/4 = tube diameter (mm)
Rumus lain: (umur + 2)/2 Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 =
panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm
lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
c. Indikasi Intubasi Trakhea
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007):
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-
lain.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief, 2007).
4) Kotraindikasi ETT Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang
diperkirakan akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi,
antara lain:
a) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c) Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d) Benda asing
e) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher
f) Obesitas
g) Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h) Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.
d. Pemasangan Intubasi Endotrakheal
Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut (Latief,
2007):
1) Cuci tangan
2) Memakai sarung tangan steril
3) Periksa balon pipa/ cuff ETT
4) Pasang macintosh blade yang sesuai
5) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
6) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
7) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
8) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
9) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
10) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
11) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
12) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
13) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
14) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
15) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
16) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
17) Lakukan fiksasi ETT dengan plester 1
18) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
19) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
20) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan
Induksi
Recofol dengan pengenceran 10mg/ml
Ketamin dengan pengenceran 10 mg/ml
Relaxan
Atracurium 10 mg/ml
Maintenance
Isoflurane
Sevoflurane
7. Resiko Komplikasi Anestesi
Saat intubasi
Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di
laring.
Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra
okuler, laringospasme.
Pasca anestesi
a. Pernapasan
Gangguan pernapasan dapat menyebabkan kematian karena hipoksia
sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab
yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anastesi
(penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang
menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih beratmenyebabkan apnea.
b. Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup
diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam
sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
c. Regurgitasi danMuntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.
Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
d. Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga
karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi
ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen,
pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain itu dapat
juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu mekanisme
fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk
respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga
berkeringat.
e. Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh kerja
anestesi yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena penderita
syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi
lambat dikeluarkan dari dalam darah.
C. Web of Caution (WOC)
trauma tidak langsung
Hantaman tekanan pada tulang
Osteoporosis
Jatuh Osteomielitis
Kecelakaan tidak mampu meredam energi yang besar keganasan
3. Rencana Intervensi
Pra anestesi
a. Ansietas
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
pasien tidak cemas
2) Kriteria hasil
a) Pasien mengatakan siap menjalani prosedur operasi
b) Pasien mengatakan mengerti tentang prosedur yang akan dijalani
c) TD,N,RR dalam batas normal
d) Pasien tampak tenang
3) Rencana Intervensi
a) Observasi TTV
b) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
c) KIE pasien tentang penyakit dan prosedur yang akan dijalani
d) Kolaborasi pemberian midazolam
b. Nyeri
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
nyeri dapat berkurang
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mengatakan nyeri berkurang
b) TTV dalam batas normal
c) Pasien tampak rileks
d) Skala nyeri VAS 1-3
3) Rencana intervensi
a) Observasi TTV
b) Ukur skala nyeri
c) Ajarkan teknik distraksi dan relaksai
d) Kolaborasi pemberian analgetik
Intra anestesi
b. PK disfungsi respirasi
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi disfungsi respirasi
2) Kriteria hasil :
a) Saturasi oksigen dalam batas normal
b) Tidak terjadi sianosis
3) Rencana Intervensi
a) Observasi TTV
b) Periksa kelengkapkapan dan kesiapan alat dan mesin anestesi
c) Pantau tanda-tanda hipoxia
d) Kolaborasi pemasangan ventilator mekanik
c. PK Hipotensi
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
hipotensi dapat teratasi
2) Kriteria hasil :
a) Tekanan darah dan heart rate dalam batas normal
b) Akral hangat
c) Crt <2 detik
d) Balance cairan 0
3) Rencana Intervensi
a) Observasi TTV
b) Kolaborasi pemberian cairan
c) Kolaborasi pemberian vasopressor
d) Monitoring balance cairan
Pasca anestesi
a. Hipotermi
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan hipotermi
dapat teratasi
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Pasien tidak menggigil
c) Akral pasien hangat
3) Rencana intervensi
a) Ukur suhu badan pasien
b) Atur suhu ruangan yang optimal
c) Beri selimut hangat
d) Kolaborasi pemberian obat anti shivering
4. Evaluasi
Evaluasi secara sistimatis dan berkesinambungan untuk melihat keefektifan dari
asuhan kepenaataan anastesi yang sudah diberikan sesuai dengan perubahan
perkembangan kondisi pasien.
Kriteria
a. Penilaian dilakukan segera setelah selesai melaksanakan asuhan
kepenaataan anastesi sesuai kondisi pasien
b. Hasil evaluasi segera dicatat dan didokumentasikan pada catatan medik
pasien
c. Evaluasi dilakukan sesuai dengan standar
d. Hasil evaluasi ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi pasien
5. Daftar pustaka
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta
DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2014), Keperawatan Medikal bedah, Ed. I,
Yogyakarta: Rapha publishing