Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR HUMERUS DILAKUKAN TINDAKAN ORIF

DENGAN ANESTESI GENERAL INTUBASI

Nama : chaeril

NIM : 2014301117

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN (ITEKES) BALI


PROGRAM STUDI ALIH JENJANG DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
TAHUN AJARAN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP FRAKTUR
1. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak
mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau
pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien (
Black dan Hawks, 2014).
2. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan
otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi
retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun.
Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak
sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal
sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi:
a. Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b. Fraktur patologik Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma
minor mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
Klasifikasi fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi
cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas
cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka,
yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014)
1) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
2) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang 11
3) Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:

1) Fraktur tertutup Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak


disertai dengan luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga
bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian luar.
2) Fraktur terbuka Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah
tulang dengan adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian
tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya
pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol
keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka
membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan
pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit
lainnya.
3) Fraktur kompleksitas Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu
pada bagian ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada
sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara
lain:
1) Fraktur transversal Fraktur transversal adalah frktur yang garis
patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini ,
segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi
kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan
biasanya dikontrol dengan bidai gips.
2) Fraktur kuminutif Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan
jaringan yang terdiri dari dua fragmen tulang.
3) Fraktur oblik Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya
membuat sudut terhadap tulang.
4) Fraktur segmental Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan
pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari
suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.
5) Fraktur impaksi Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika
dua tulang menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
6) Fraktur spiral Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur
ini menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung
cepat sembuh dengan imobilisasi.

3. Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014)


Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. 8 Tanda dan gejala terjadinya fraktur
antara lain:
1) Deformitas Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan
deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat,
lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
2) Pembengkakan Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi
cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3) Memar Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
4) Spasme otot Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk
mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5) Nyeri Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing
klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal
ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera
pada struktur sekitarnya.
6) Ketegangan Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang
terjadi.
7) Kehilangan fungsi Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan
fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
8) Gerakan abnormal dan krepitasi Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari
bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur.
9) Perubahan neurovaskular Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf
perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa
kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
10) Syok Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
c. Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem,
seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkepingkeping. Saat
terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot
dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan
mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun 10 bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat
bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot
sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat
berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum
dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering
terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan
lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),
hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum.
Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon
peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri,
kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga
merupakan tahap penyembuhan tulang.
4. Pemeriksan Diagnostik
Menurut Istianah (2017) pemeeriksaan diagnostik antara lain:
1) Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2) Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur
lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun
pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai
respon terhadap peradangan
5. Penatalaksaan fraktur
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang.
Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi,
misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur
klavikula pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya
dilakukan pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah
reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya
dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat adalah reposisi dengan
traksi secara terus-menerus selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah
tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa
reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa
reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara
operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna
yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang
terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat
dkk, 2010).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1) Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pengobatan.
2) Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau
mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup
gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.
Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal
untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi
solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan
plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang
patah dapat tersambung kembali.
3) Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen
dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan.
Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan
reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur
4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi
tiga kategori yaitu :
a) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien
mempertahankan rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya
pelekatan atau kontraktur jaringan lunak serta mencegah strain
berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
b) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan
yang sehat, katrol atau tongkat
c) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan
memperkuat otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan
jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan atau
dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan ekstremitas
atas.

B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
2. Jenis anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube
atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
3. Teknik Anestesi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui
alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakea Tube (ETT) dan
Laringeal Mask Airway (LMA).
4. Intubasi Trakhea (ETT)
a. Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,
2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi
umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.
b. Ukuran ETT
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk
yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah
kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon
(cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-
anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada
orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit
adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter
internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm
(Latief, 2007). Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.
Pada anakanak dipakai rumus (Latief, 2007): diameter (mm) = 4 +
Umur/4 = tube diameter (mm)
Rumus lain: (umur + 2)/2 Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 =
panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm
lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
c. Indikasi Intubasi Trakhea
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007):
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-
lain.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief, 2007).
4) Kotraindikasi ETT Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang
diperkirakan akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi,
antara lain:
a) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c) Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d) Benda asing
e) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher
f) Obesitas
g) Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h) Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.
d. Pemasangan Intubasi Endotrakheal
Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut (Latief,
2007):
1) Cuci tangan
2) Memakai sarung tangan steril
3) Periksa balon pipa/ cuff ETT
4) Pasang macintosh blade yang sesuai
5) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
6) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
7) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
8) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
9) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
10) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
11) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
12) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
13) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
14) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
15) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
16) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
17) Lakukan fiksasi ETT dengan plester 1
18) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
19) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
20) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan

5. Persiapan Alat Anestesi


Persiapan Alat (STATICS):
a. Scope : Laringoscope, Stetoscope
b. Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
c. Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
d. Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
e. Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
f. Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
g. Suction : Penghisap lendir siap pakai.
h. Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi yang
siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
i. Sarung tangan steril
j. Xylocain jelly/ Spray 10%
k. Gunting plester
l. Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
m. Bantal kecil setinggi 12 cm
6. Persiapan Obat Anestesi
Premedikasi :
 Ondansetron
 Midazolam dengan pengenceran 1 mg/ml
 Fentanyl dengan pengenceran 10 mcg/ml

Induksi
 Recofol dengan pengenceran 10mg/ml
 Ketamin dengan pengenceran 10 mg/ml

Relaxan
 Atracurium 10 mg/ml
Maintenance
 Isoflurane
 Sevoflurane
7. Resiko Komplikasi Anestesi
Saat intubasi
 Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di
laring.
 Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
 Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra
okuler, laringospasme.
Pasca anestesi
a. Pernapasan
Gangguan pernapasan dapat menyebabkan kematian karena hipoksia
sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab
yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anastesi
(penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang
menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan
hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih beratmenyebabkan apnea.
b. Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup
diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam
sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.
c. Regurgitasi danMuntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.
Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
d. Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga
karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi
ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen,
pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons eferen, selain itu dapat
juga menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu mekanisme
fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk
respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga
berkeringat.
e. Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh kerja
anestesi yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena penderita
syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi
lambat dikeluarkan dari dalam darah.
C. Web of Caution (WOC)
trauma tidak langsung
Hantaman tekanan pada tulang
Osteoporosis
Jatuh Osteomielitis
Kecelakaan tidak mampu meredam energi yang besar keganasan

FRAKTUR Kondisi patologis


Pergeseran fragmen tulang
Merusak jaringan sekitar prosedur pembedahan

Tindakan Kurang terpapar Prosedur


Pelepasan Trauma arteri/vena
invasif informasi prosedur
mediator nyeri anestesi
(bradikinin, pembedahan
prostatglandin, perdarahan
bradikinin,sero
SAB
General
tonin) perdarahan ansietas anestesi
Tidak terkontrol
Penurunan
Ditangkap reseptor
Kehilangan motorik Kesadaran
nyeri perifer
cairan menurun
Kehilangan volume
Impuls ke otak cairan berlebih
Resiko syok Kelemahan
hipovolemik anggota gerak apnoe
Persepsi nyeri
Resiko syok
hipovolemik Suhu rendah Proses
Nyeri akut kamar operasi pemindahan intubasi
pasien di
brankar
hipotermi Disfungsi Resiko
respirasi cidera
Resiko anestesi
menggigil cidera
D. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
a. Data subjektif
1) Pasien mengatakan nyeri pada daerah trauma
2) Pasien mengatakan takut dioperasi
3) Pasien mengatakan belum pernah menjalani prosedur operasi
4) Pasien mengatakan kedinginan
5) Pasien mengatakan mual dan pusing
b. Data objektif
1) Pasien tampak gelisah
2) Tampak deformitas pada daerah trauma
3) Pasien sering bertanya tentang penyakitnya
4) Skala nyeri : 5 (VAS)
5) TD, N, RR meningkat
6) SB dibawah normal
7) Tekanan daran dibawah normal
8) Aldrete skore : 5
9) Pasien tampak lemas dan pucat
10) Pasien tampak menggigil
11) Akral pasien dingin
12) Crt <2 detik

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi
a. Ansietas
b. Nyeri akut
Intra anestesi
a. Resiko cidera anestesi
b. PK disfungsi Respirasi
c. PK Hipotensi
Pasca anestesi
a. Hipotermi
b. Resiko Jatuh

3. Rencana Intervensi
Pra anestesi
a. Ansietas
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
pasien tidak cemas
2) Kriteria hasil
a) Pasien mengatakan siap menjalani prosedur operasi
b) Pasien mengatakan mengerti tentang prosedur yang akan dijalani
c) TD,N,RR dalam batas normal
d) Pasien tampak tenang
3) Rencana Intervensi
a) Observasi TTV
b) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
c) KIE pasien tentang penyakit dan prosedur yang akan dijalani
d) Kolaborasi pemberian midazolam
b. Nyeri
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
nyeri dapat berkurang
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mengatakan nyeri berkurang
b) TTV dalam batas normal
c) Pasien tampak rileks
d) Skala nyeri VAS 1-3
3) Rencana intervensi
a) Observasi TTV
b) Ukur skala nyeri
c) Ajarkan teknik distraksi dan relaksai
d) Kolaborasi pemberian analgetik

Intra anestesi

a. Resiko cidera anestesi


1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi cidera anestesi
2) Kriteria Hasil :
a) Tidak terjadi trauma pada saat tindakan anestesi
b) Pasien mengatakan tidak nyeri pada daerah leher
c) TTV dalam batas normal
3) Rencana intervensi
a) Lepaskan aksesoris pasien
b) Identifikasi kemungkinan penyulit tindakan anestesi
c) Kaji status fisik pasien
d) Tentukan kriteria mallampati
e) Kolaborasi penetapan teknik anestesi
f) Lakukan informed consent
g) Periksa kesiapan alat-alat anestesi

b. PK disfungsi respirasi
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi disfungsi respirasi
2) Kriteria hasil :
a) Saturasi oksigen dalam batas normal
b) Tidak terjadi sianosis
3) Rencana Intervensi
a) Observasi TTV
b) Periksa kelengkapkapan dan kesiapan alat dan mesin anestesi
c) Pantau tanda-tanda hipoxia
d) Kolaborasi pemasangan ventilator mekanik

c. PK Hipotensi
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
hipotensi dapat teratasi
2) Kriteria hasil :
a) Tekanan darah dan heart rate dalam batas normal
b) Akral hangat
c) Crt <2 detik
d) Balance cairan 0
3) Rencana Intervensi
a) Observasi TTV
b) Kolaborasi pemberian cairan
c) Kolaborasi pemberian vasopressor
d) Monitoring balance cairan

Pasca anestesi

a. Hipotermi
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan hipotermi
dapat teratasi
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Pasien tidak menggigil
c) Akral pasien hangat
3) Rencana intervensi
a) Ukur suhu badan pasien
b) Atur suhu ruangan yang optimal
c) Beri selimut hangat
d) Kolaborasi pemberian obat anti shivering

b. Resiko cidera jatuh


1) Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan pasien
resiko jatuh berkurang
2) Kriteria hasil
a) TTV dalam batas normal
b) Pasien mengatakan tidak pusing
c) Pasien mengatakan tidak lemas
d) Pasien dapat menggerakkan semua ekstermitas
3) Rencana intervensi
a) Observasi TTV
b) Pasang pengaman tempat tidur
c) Atur ketinggian tempat tidur ke rendah
d) Lakukan penilaian aldrete skore

4. Evaluasi
Evaluasi secara sistimatis dan berkesinambungan untuk melihat keefektifan dari
asuhan kepenaataan anastesi yang sudah diberikan sesuai dengan perubahan
perkembangan kondisi pasien.
Kriteria
a. Penilaian dilakukan segera setelah selesai melaksanakan asuhan
kepenaataan anastesi sesuai kondisi pasien
b. Hasil evaluasi segera dicatat dan didokumentasikan pada catatan medik
pasien
c. Evaluasi dilakukan sesuai dengan standar
d. Hasil evaluasi ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi pasien
5. Daftar pustaka

sjamsuhidajat & de jong. 2010. buku ajar ilmu bedah.jakarta egc

istiana,2017. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sitem muskuloskeletal.

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta

Wiarto, G. (2017). Nyeri Tulang dan Sendi

Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi.


Yogyakarta

DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2014), Keperawatan Medikal bedah, Ed. I,
Yogyakarta: Rapha publishing

IKATAN PENATA ANESTESI INDONESIA. ’’Panduan Asuhan Kepenataan Anestesi’’

Anda mungkin juga menyukai