Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

CLOSE FRACTURE FEMUR

I. Konsep Penyakit
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smeltzer, 2001)

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) fraktur
femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau
trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan
sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis
bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa
fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan kontinuitas
tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak
langsung disertai dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

B. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan
kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
b. Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon
tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.

1
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.

C. Tanda Dan Gejala


a. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
c. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
f. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
h. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

D. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh
karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment.
(Brunner & Suddarth, 2002)

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan
transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera
atau tindakan pembedahan.

F. Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,
dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka
dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat
trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-
30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak
dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya
yang sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu
setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan
pireksia.
c. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot,
saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta
otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom
kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar
kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh
trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,
os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
e. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-
sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada
pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse)
sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot
(Suratum, dkk, 2008).

G. Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia.
Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :
a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi
karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan
kuat pasien mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan
bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini
tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli
dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada
posisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan
dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap
stabil.
e. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.
f. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post
operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi


semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri
dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).
Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan : pembersihan luka, exici,
hecting situasi, antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
a. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotika.
d. Debridement dan irigasi sempurna.
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka.
g. Rehabilitasi.
h. Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita
dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang
serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya
patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat yang sering kali
tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi organ. Untuk life
saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and circulation.
i. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut
terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6
jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium
kontaminsi (golden periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah
menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patuah tulang
terbuka harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar
sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun
ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer
menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah
mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.

j. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.
k. Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal
yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah
banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
l. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan
stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada
derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada
derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi
dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan
fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera
dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
b. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
c. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
d. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open
reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak
sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa
tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),
sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;
baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
e. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF
untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu
dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
f. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
g. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
H. woc
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Fraktur Femur
A. Pengkajian
2.1.1 Pemeriksaan fisik: data fokus
2.1.1.1 Primery survey
a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya
sumbatan atau obstruksi,
b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola
napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping
hidung,dan suara napas vesikuler,
c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan
darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena
perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi,
capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
d. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil
anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak
pada medulla spinalis.
e. Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka
laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut
semakin menegang.
2.1.1.2 Secondary survey
a. Fokus Asesment
1. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata,
telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap
cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi,
terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
2. Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot
leher bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis:
Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging,
emfisema kulit
3. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-
otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang
dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail
chest dengan gerakan dada para doksikal, suara paru hilang
atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola
napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan
otot-otot asesoris).
4. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin
tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada
abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya
penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi
dullness.
5. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri
tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak,
nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah
pubik
6. Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra dan
luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah,
denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik.Temuan yang
dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya
denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik
dan motorik.
7. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):
terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen pencedera fisik (trauma, prosedur operasi)
2. Resiko perdarahan, berhubungan dengan Tindakan pembedahan, trauma
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan integritas struktur tulang, Nyeri, Kurang terpapar informasi
tentang aktivitas fisik

C. Perencanaan
Diagnosa Keperawatan : D.0077 Nyeri Akut
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan

Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Managemen nyeri & penggunaan analgetik
Agen pencedera fisik (trauma, keperawatan selama.......x 24 jam Observasi
prosedur operasi) nyeri menurun, dengan kriteria  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
hasil : kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Keluhan nyeri menurun  Identifikasi respon nyeri non verbal
 Meringis menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
 Sikap protektif menurun nyeri
 Gelisah menurun  Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Kesulitan tidur menurun  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Frekuensi nadi membaik  Monitor keberhasilan terapi komplementer dan
 Dewasa : 60-100x/mnt efektifitas analgesik yang sudah diberikan
 Anak : 80-150x/mnt  Monitor efek samping
 Bayi : 120-150x/mnt  penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri (misal TENS, hipnosis, akupresure,
terapi musik, terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain, relaksasi, distraksi)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik

Diagnosa Keperawatan : D.0012 Resiko Perdarahan


Diagnosa Tujuan dan kriteria
Intervensi
Keperawatan hasil
Resiko perdarahan, berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen perdarahan
dengan Tindakan pembedahan keperawatan ......x 24 jam, Observasi:
Trauma perdarahan tidak terjadi, yang  Identifikasi penyebab perdarahan
ditandai dengan:  Periksa adanya darah pada muntah, sputum, feses,
urine, pengeluaran NGT, dan drainase luka, jika
 Membran mukosa perlu
lembap meningkat  Periksa ukuran dan karakteristik hematoma, jika ada
 Kelembapan kulit  Monitor terjadinya perdarahan (sifat dan jumlah)
meningkat  Monitor nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum
 Kognitif meningkat dan setelah kehilangan darah
 Hemoptisis menurun  Monitor tekanan darah dan parameter hemodinamik
 Hematemesis menurun (tekanan vena sentral dan tekanan baji kapiler atau
 Hematuria menurun arteri pulmonal), jika ada
 Perdarahan anus  Monitor intake dan output cairan
menurun  Monitor koagulasi darah (prothrombin time (PT),
 Distensi abdomen partial tromboplastin time (PTT), fibrinogen,
menurun degradasi fibrin, dan jumlah trombosit), jika ada
 Perdarahan vagina  Monitor deliveri oksigen jaringan (misal, PaO2,
menurun SaO2, hemoglobin dan curah jantung)
 Perdarahan pasca  Monitor tanda dan gejala perdarahan masif
operasi menurun Terapeutik:
 Hemoglobin membaik
 Istirahatkan area yang mengalami perdarahan
 Hematokrit membaik
 Berikan kompres dingin, jika perlu
 Tekanan darah
 Lakukan penekanan atau balut tekan, jika perlu
membaik
 Tinggikan ekstremitas yang mengalami perdarahan
 Frekuensi nadi
 Pertahankan akses IV
membaik
Edukasi:
 Suhu tubuh membaik
 Jelaskan tanda-tanda perdarahan
 Anjurkan melapor jika menemukan tanda-tanda
perdarahan
 Anjurkan membatasi aktivitas
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian cairan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian tranfusi darah, jika perlu
Diagnosa Keperawatan : D.0054 Gangguan Mobilitas Fisik
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan

Gangguan mobilitas fisik berhubungan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Ambulasi dan Dukungan Mobilisasi
dengan Kerusakan integritas struktur keperawatan selama ....... x 24 Observasi
tulang, Nyeri, Kurang terpapar informasi jam mobilitas fisik meningkat,  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
tentang aktivitas fisik dengan kriteria hasil :  Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
 Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
 Pergerakan ekstremitas memulai ambulasi
meningkat  Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
 Kekuatan otot meningkat Terapeutik
 Rentang gerak (ROM)
meningkat  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
 Fasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika perlu
 Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis.
Berjalan dan tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan fisioterapi

D. IMPLEMENTASI

Dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana perawatan dengan modifikasi sesuai


dengan kondisi pasien dan kondisi ruangan dan asuhan perawatan yang telah dilakukan
di tulis pada lembar catata perawatan sesuai dengan tanggal, jam, serta tanda tangan,
nama yang melakukan.

E. EVALUASI

a) Nyeri berkurang
b) Menunjukkan tingkat mobilisasi optimal
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah. Edisi


8 vol.3. EGC. Jakarta Doenges,dkk,(2005).

Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan


pendokumentasian perawatan pasien. EGC: Jakarta

Mansjoer, dkk., (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media


Aesculapius: Jakarta
Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. EGC : Jakarta.

Sjamsuhidajat R., (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC:
Jakarta
Smeltzer& Bare, (2003).

Buku ajar keperawatan medical bedah. Volume 3. Edisi 8. EGC:


Jakarta

Anda mungkin juga menyukai