Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN POST

CRANIOTOMY DI HCU RSUD Dr.MOEWARDI

KOTA SURAKARTA

Disusun oleh:

IMA ISTIFROTIN

20010

1
AKADEMI KEPERAWATAN YAPPI SRAGEN

Tahun 2023

LAPORAN PENDAHULUAN

FRACTURE FEMUR

I. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai

dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan

pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan

luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang

besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smeltzer, 2015)

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur

(Mansjoer, 2014). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2014) fraktur

femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau

trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan

sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis

bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak

(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa

fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan kontinuitas

tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak

langsung disertai dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

I.1 Etiologi

I.1.1 Fraktur akibat peristiwa trauma

Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang

dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan

kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan

lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.

I.1.2 Akibat kelelahan atau tekanan

Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain

akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon

tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.

I.1.3 Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak

(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.

I.2 Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak

terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur

terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh

karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di


sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan

lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul

hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi

menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast

terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin

direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk

tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang

berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan

darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak

terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,

oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf

maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment.

(Brunner & Suddarth, 2015)

I.3 Tanda Dan Gejala

I.3.1 Nyeri

Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau

kerusakan jaringan sekitarnya.

I.3.2 Bengkak

Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah

fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.

I.3.3 Memar

Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.

I.3.4 Spasme otot

Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.

I.3.5 Gangguan fungsi

Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.

I.3.6 Mobilisasi abnormal

Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya

tidak terjadi pergerakan.

I.3.7 Krepitasi

Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.

I.3.8 Deformitas

Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan

pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan

menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

1.7 Pathway

I.4 Komplikasi

Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam

setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen

jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

I.4.1 Syok

Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan

darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke

jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,

dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka

dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat

trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis.

I.4.2 Emboli lemak

Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera

remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-

30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam

darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau

karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan

memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak

dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit

membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil

yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya

yang sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu

setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan

pireksia.

I.4.3 Sindrom Kompertemen


Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan

tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam

kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra

kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan

tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi

jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot,

saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta

otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom

kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,

disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar

kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh

trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

I.4.4 Nekrosis avaskular tulang

Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia

tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini

sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,

os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2016).

I.4.5 Atropi Otot

Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran

normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-

sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada

pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse)

sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot

(Suratum, dkk, 2015).


I.5 Pemeriksaan Penunjang

I.5.1 Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma

I.5.2 Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan

untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

I.5.3 Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

I.5.4 Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau

menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna

pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.

I.5.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

I.5.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi

multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan

transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera

atau tindakan pembedahan.

I.6 Penatalaksanaan

Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia.

Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :

I.6.1 Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi

karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan

kuat pasien mengalami fraktur.

I.6.2 Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan

bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.

I.6.3 Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini

tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli

dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada

posisi semula.
I.6.4 Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan

dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap

stabil.

I.6.5 Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.

I.6.6 Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post

operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi

semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan

patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2016)

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :

1.7.1 Fraktur Terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri

dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period).

Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan : pembersihan luka, exici,

hecting situasi, antibiotik.

Ada bebearapa prinsipnya yaitu :

1.7.1.1 Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang

membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.

1.7.1.2 Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang

memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,

menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan

perdarahan besar dengan klem.

1.7.1.3 Pemberian antibiotika.

1.7.1.4 Debridement dan irigasi sempurna.

1.7.1.5 Stabilisasi.

1.7.1.6 Penutup luka.


1.7.1.7 Rehabilitasi.

1.7.1.8 Life saving

Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai

penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat

lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk

terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat

yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi

organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and

circulation.

1.7.1.9 Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.

Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang

tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui

bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi

masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah

waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu

penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum

golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah

tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas

penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas

ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,

penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.

1.7.1.10 Pemberian antibiotika

Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat

bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian

antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai

pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas

untuk kuman gram positif maupun negatif.


1.7.1.11 Debridemen dan irigasi

Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah

patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal

yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan

cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah

banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.

1.7.1.12 Stabilisasi.

Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan

stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada

derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada

derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi

dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan

fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera

dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.

1.7.2 Seluruh Fraktur

1.7.2.1 Rekognisis/Pengenalan

Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan

tindakan selanjutnya.

1.7.2.2 Reduksi/Manipulasi/Reposisi

1.7.2.3 Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi

fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang

pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.

1.7.2.4 OREF

Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu

dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open

reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh


stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah

memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak

sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan

pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk

mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah

lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan

bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa

tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),

sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;

baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada

kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).

1.7.2.5 ORIF

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan

internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF

untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu

dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra

Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang

dengan tipe fraktur tranvers.

1.7.2.6 Retensi/Immobilisasi

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga

kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau

dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna

atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,

bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan

sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

1.7.2.7 Rehabilitasi

Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala

upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.

Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.

Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,

perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu

segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.


II.1 Pengkajian

2.1.1 Pemeriksaan fisik: data fokus

2.1.1.1 Primery survey

a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya

sumbatan atau obstruksi,

b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola

napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping

hidung,dan suara napas vesikuler,

c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan

darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh karena

perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi,

capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.

d. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil

anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak

pada medulla spinalis.

e. Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra, luka

laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen, perut

semakin menegang.

2.1.1.2 Secondary survey

a. Fokus Asesment

1. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata,

telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis:

Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap

cahaya ?

Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi,

terbuka/tertutup)?

Robekan/laserasi pada kulit kepala?


Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?

Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?

Battle sign dan racoon eyes?

2. Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot

leher bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis:

Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau tugging,

emfisema kulit

3. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-

otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang

dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail

chest dengan gerakan dada para doksikal, suara paru hilang

atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola

napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan

otot-otot asesoris).

4. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin

tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada

abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya

penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi

dullness.

5. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri

tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak,

nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah

pubik

6. Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra dan

luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah,

denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik.Temuan yang

dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya


denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik

dan motorik.

7. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,

pernafasan dan tekanan darah.

Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):

terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

II.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

Diagnosa 1 : Nyeri akut

II.2.1 Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang

muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau

digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International

Association for the study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari

intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau

diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.

II.2.2 Batasan karakteristik

II.2.2.1Perubahan selera makan

II.2.2.2Perubahan tekanan darah

II.2.2.3Perubahan frekuensi jantung

II.2.2.4Perubahan frekuensi pernapasan

II.2.2.5Laporan isyarat

II.2.2.6Diaforesis

II.2.2.7Perilaku distraksi (mis. Berjalan mondar-mandir mencari orang

lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)

II.2.2.8Mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek, menangis)

II.2.2.9Masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau,

gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis)

II.2.2.10 Sikap melindungi area nyeri


II.2.2.11 Fokus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri, hambatan

proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan

lingkungan)

II.2.2.12 Indikasi nyeri yang dapat diamati

II.2.2.13 Perubahan posisi untuk menghindari nyeri

II.2.2.14 Sikap tubuh melindungi

II.2.2.15 Dilatasi pupil

II.2.2.16 Melaporkan nyeri secara verbal

II.2.2.17 Gangguan tidur

II.2.3 Faktor yang berhubungan

Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik

2.2.1 Definisi : keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah pada

tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan tingkatnya) :

Tingkat 0 : mandiri total

Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu

Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,

pengawasan, atau pengajaran

Tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat

bantu

Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas

2.2.2 Batasan karaktersitik

Objektif

2.2.2.1 Penurunan waktu reaksi

2.2.2.2 Kesulitan membolak balik tubuh

2.2.2.3 Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan

(misalnya peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain,


perilaku mengendalikan, berfokus pada kondisi sebelum sakit atau

ketunadayaan aktivitas)

2.2.2.4 Dispnea saat beraktivitas

2.2.2.5 Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan

kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan, langkah

kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan

mengayun ke samping)

2.2.2.6 Pergerakan menyentak

2.2.2.7 Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik

halus

2.2.2.8 Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar

2.2.2.9 Keterbatasan rentang pergerakan sendi

2.2.2.10 Tremor yang diinduksi oleh pergerakan

2.2.2.11 Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas

kehidupan sehari-hari)

2.2.2.12 Melambatnya pergerakan

2.2.2.13 Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi

2.2.3 Faktor yang berhubungan

2.2.3.1 Intoleransi aktivitas

2.2.3.2 Perubahan metabolism selular

2.2.3.3 Ansietas

2.2.3.4 Indeks masa tubuh di atas perentil ke 75 sesuai usia

2.2.3.5 Gangguan kognitif

2.2.3.6 Konstraktur

2.2.3.7 Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia

2.2.3.8 Fisik tidak bugar

2.2.3.9 Penurunan ketahanan tubuh

2.2.3.10 Penurunan kendali otot


2.2.3.11 Penurunan massa otot

2.2.3.12 Malnutrisi

2.2.3.13 Gangguan muskuloskeletal

2.2.3.14 Gangguan neuromuskular, nyeri

2.2.3.15 Agens obat

2.2.3.16 Penurunan kekuatan otot

2.2.3.17 Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik

2.2.3.18 Keadaan mood depresif

2.2.3.19 Keterlambatan perkembangan

2.2.3.20 Ketidaknyamanan

2.2.3.21 Disuse, kaku sendi

2.2.3.22 Kurang dukungan lingkungan (misal fisik atau sosial)

2.2.3.23 Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler

2.2.3.24 Kerusakan integritas struktur tulang

2.2.3.25 Program pembatasan gerak

2.2.3.26 Keengganan memulai pergerakan

2.2.3.27 Gaya hidup monoton

2.2.3.28 Gangguan sensori perseptual

3.1 Intervensi

No
Tujuan & Kriteria
. Intervensi Rasional
Hasil
Dx

1. Setelah dilakukan 1. Pemberian analgesik 1. Menggunakan agen-agen

asuhan keperawatan farmakologi untuk

selama … x 24 jam mengurangi atau

diharapkan pasien 2. Manajemen medikasi menghilangkan nyeri

tidak mengalami nyeri 2. Memfasilitasi


dengan kriteria hasil : penggunaan obat resep

1. Memperlihatkan atau obat bebas secara

teknik relaksasi 3. Manajemen nyeri aman dan efektif

secara individual 3. Meringankan atau

yang efektif untuk mengurangi nyeri sampai

mencapai keamanan pada tingkat kenyamanan

2. Mempertahankan 4. Manajemen sedasi yang dapat diterima oleh

tingkat nyeri pada pasien

__ atau kurang 4. Memberikan sedative,

3. Melaporkan nyeri memantau respon pasien,

pada penyedia dan memberikan

layanan kesehatan dukungan fisiologis yang

4. Tidak mengalami dibutuhkan selama

gangguan dalam prosedur diagnostic atau

frekuensi terapeutik

pernapasan,

frekuensi jantung

atau tekanan darah

2. Setelah dilakukan Exercice therapy :

asuhan keperawatan ambulation 1. Mencegah terjadinya

selama … x 24 jam 1. Monitoring vital sign penurunan kondisi atau

diharapkan pasien sebelum/sesudah cedera pada pasien saat

tidak mengalami latihan dan lihat dilakukan tindakan.

hambatan mobilitas respon pasien saat 2. Meningkatkan mobilitas

fisik dengan kriteria latihan pasien sesuai kondisi

hasil : 2. Konsultasikan dengan pasien

1. Klien meningkat terapi fisik tentang

dalam aktivitas fisik rencana ambulasi


2. Mengerti tujuan sesuai dengan

dari peningkatan kebutuhan. 3. Membantu meningkatkan

mobilitas 3. Bantu pasien untuk kekuatan dan ketahanan

3. Memverbalisasikan menggunakan tongkat otot.

perasaan dalam saat berjalan dan cegah

meningkatkan terhadap cedera

kekuatan dan 4. Ajarkan pasien atau 4. Mampu melakukan

kemampuan tenaga kesehatan lain tindakan secara mandiri

berpindah tentang teknik dan termotivasi untuk

4. Memperagakan ambulasi meningkatkan mobilitas

kemampuan alat 5. Kaji kemampuan 5. Mengetahui sejauh mana

5. Bantu untuk pasien dalam peningkatan mobilisasi.

mobilisasi (walker) mobilisasi 6. Agar pasien mampu

6. Latih pasien dalam melakukan aktivitas

pemenuhan kebutuhan secara mandiri.

ADLs secara mandiri

sesuai kemampuan 7. Meningkatkan motivasi

7. Dampingi dan bantu pasien dalam melakukan

pasien saat mobilisasi aktivitas sehari-hari

dan bantu pemenuhan

kebutuhan ADLs 8. Mampu melakukan

pasien aktivitas secara mandiri

8. Berikan alat bantu jika guna meningkatkan

pasien memerlukan mobilitas

9. Meningkatkan

9. Ajarkan pasien kesejahteraan fisologis

bagaimana merubah dam psikologis

posisi dan berikan


bantuan jika

diperlukan

III. Daftar Pustaka

Ahern, N. R & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan

Edisi 9 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

M a n s j o e r , A . ( 2 0 0 0 ) . Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.

Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2.

Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta:

EGC.

Anda mungkin juga menyukai