Anda di halaman 1dari 22

1

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
I.1 KONSEP DASAR MALUNION SUPRAKONDILER HUMERUS
I.1.1 DEFINISI
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Brunner and Suddarth, 2002).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Sylvia A. Price, 2006)
Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring. Fraktur
suprakondiler humerus adalah fraktur 1/3 distal humerus tepat proksimal troklea
dan capitulum humeri.
1.1.2

ETIOLOGI
Etiologi patah tulang menurut Barbara C. Long adalah:
1.1.2.1 Fraktur akibat peristiwa trauma
Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada
tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan
lunak disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka
dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan
kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma, antara lain:
1) Trauma langsung
Bila fraktur terjadi ditempat dimana bagian tersebut terdapat ruda
paksa,

misalnya:

benturan

atau

pukulan

pada

tulang

yang

mengakibatkan fraktur.
2) Trauma tidak langsung
Misalnya pasien jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi, dapat
terjadi fraktur pada pergelangan tangan, suprakondiskuler, klavikula.

3) Trauma ringan
Dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh.Selain
itu fraktur juga disebabkan olehkarena metastase dari tumor, infeksi,
osteoporosis, atau karena tarikan spontan otot yang kuat.
1.1.2.2 Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan

Tulang jika bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut
tidak mampu mengabsobsi energi atau kekuatan yang menimpanya.
1.1.2.3 Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses
pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang
1.1.3

bermetastase atau ostepororsis.


PATOFISIOLOGI
Barbara C. Long menguraikan bahwa ketika tulang patah, periosteum dan

pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya
(otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan
pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan
yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera
yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang
mengakibatkan syok neurogenik. Sedangkan kerusakan pada system persarafan,
akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralysis yang
menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada
daerah yang cidera. Kerusakan pada kulit dan jaringan lainnya dapat timbul oleh
karena trauma atau mecuatnya fragmen tulang yang patah. Apabila kulit robek an
luka memiliki hubungan dengan tulang yang patah maka dapat mengakibatkan
kontaminasi sehingga resiko infeksi akan sangat besar.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. (Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
(Carpenito, 1995).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Black, 1993).

1.1.4

MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Corwin: 2009) juga menyebutkan dan menjelaskan bahwa

manifestasi klinis dari fraktur adalah sebagai berikut :


1) Nyeri, biasanya patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak. Spasme
otot dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan nyeri aktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.
2) Posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami mungkin tampak jelas.
3) Pembengkakan di sekitar tempat fraktur akan menyertai proses inflamasi.
4) Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan
saraf. Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian
nonfraktur. Hilangnya denyut nadi di sebelah distal dapat menandakan
sindrom kompartemen.
5) Krepitus (suara gemeretak) dapat terdengar saat tulang digerakkan karena
ujung ujung patahan tulang bergeser satu sama lain.
Manifestasi klinik atau gambaran klinis pada fraktur humerus adalah:
1) Nyeri
Nyeri continue/ terus-menerus dan meningkat karena adanya spasme otot dan
kerusakan sekunder sampai fragmen tulang tidak bisa digerakkan.
2) Deformitas atau kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang dan patah
tulang itu sendiri yang diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak
luka.
3) Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur
karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang
tersebut saling berdekatan.
4) Bengkak / memar
Terjadi memar pada bagian atas lengan yang disebabkan karena hematoma
pada jaringan lunak.
5) Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas
yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah
lokasi fraktur humerus.
6) Denyut nadi a. Radialis yang berkurang (pulsellessness)
7) Pucat (pallor)
8) Rasa semutan (paresthesia).
1.1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Charlene 2001, Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada


fraktur yaitu:
1) Rontgen (Sinar X)
Hal yang harus dibaca pada x-ray yaitu:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
2) Arthography: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
3) Mylofraphy: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma
4) Magnetik Resonance Imaging (MRI): menggambarkan semua kerusakan
akibat fraktur.
5) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
6) Biopsi: pemeriksaan mikroorganisme kultur yang lebih diindikasikan bila
terjadi infeksi.
1.1.6 Komplikasi
Menurut Sylvia and Price 2006, komplikasi yang biasanya ditemukan antara
lain

1.1.6.1 Komplikasi Awal


1) Kerusakan Arteri:
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
3) Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hipertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmans Ischemia.

6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
1.1.6.2 Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya


tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
1.1.7

Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksanaan pasien dengan fraktur suprakondiler humerus yaitu sebagai

berikut:
1. Reposisi, mengembalikan allgment dapat dicapai dengan manipulasi tertutup
atau operasi terbuka.
2. Mobilisasi, mempertahankan posisi dengan
- Fiksasi eksterna (gips dan traksi)

Fiksasi interna (orif), dengan lempeng logam (plate) dan nail yang
melintang pada cavum medularis tulang.

3. Rehabilitasi mengembalikan fungsi normal bagian yang cidera


1.1.7.1 Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak.
1.1.7.2 Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun
prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur

sesegera

mungkin

untuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilaugan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan


kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.

Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk


menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup.

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan

dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling


berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,
biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi
dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan
untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus
telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.
1) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan
fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai
jaringan

lunak

sekitar

dalam

masa

penyembuhan

fraktur. Penanganan

pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi


risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi

berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama
penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara
sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik,
proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan
lain dalam melakukan gerakan).
Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and
external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau
debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada
anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng pertumbuhan, fraktur
dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang
disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan
malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa
pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian
dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu
monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame),
dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang
rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat
dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan
pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas
flap dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah
terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari
segi estetik. Penanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk
mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang
dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.
Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan
nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up
ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia
sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk
pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris
setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil

10

atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan,


6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain
itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin
2) ORIF (Open Reduction And Internal Fixation)
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi
pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi
fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal
fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang
panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal
fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi
dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup
misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang
membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya.
1.1.7.3 Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
1.1.7.4 Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.

Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk
analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan
atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup

11

sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.


Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan
dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas
dan beban berat badan.
1.2
1.2.1

KONSEP MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan kilen (Iyer
et al (1996), dari buku Nursalam, 2001).
1.2.1.1 Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Pada umumnya umur rentan pada penderita fraktur terjadi pada usia anak
sampai dengan usia remaja sekitar 17 ke atas. Dan menurut data yang
tertera penderita sebagian besar berjenis kelamin laki-laki.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri dan
imobilisasi. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang

12

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,


yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan
bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko
terjadinya

osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes

menghambat proses penyembuhan tulang.


e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya

13

untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola


nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga,

pengkajian

dilaksanakan

pada

lamanya

tidur,

suasana

lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat


tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakkuatan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
(8) Pola Sensori dan Kognitif

14

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian


distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
2) Pemeriksaan Fisik
1) B1(Breathing)
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada ada tidaknya sesak
nafas, sura tambahan, pernafasan cuping.
2) B2 (Blood)
Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah akibat
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun, konfusi
dan gelisah). Klien fraktur mengalami denyut nadi meningakat terjadi respon
nyeri dan kecemasan, ada tidaknya hipertensi, tachikardi perfusi jaringan dan
perdarahan akiobat trauma. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon
terhadap nyeri/ ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah); takikardia (respon
stress atau hipovolemia); penurunan atau tak ada nadi pada bagian distal yang
cedera; pengisian kapiler lambat; pucat pada bagian yang terkena;
pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi yang cedera
3) B3 (Brain)
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/ kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri
akibat kerusakan saraf; spasme/ kram otot (setelah imobilisasi).
4) B4 (Bladder)
Pantau pengeluaran urin, apakah terjadi retensi urin. Retensi dapat
disebabkan oleh posisi berkemih tidak alamiah, pembesaran prostat, dan adanya
infeksi saluran kemih.
5) B5 (Bowel)
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti nafsu makan tetap, peristaltik
usus, mual, muntah, kembung.
6) B6 (Bone)
Terdapat fraktur, nyeri gerak, kekakuan sendi, bagaimana tinus ototnya ada
tidaknya atropi dan keterbatasan gerak, adanya karepitus, gangguan
1.2.2

mobilitas.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

15

1) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,


edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan
muskuloskletal
4) Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan,
prosedur

invasif

dan

jalur

penusukan,

luka/kerusakan

kulit,

insisi

pembedahan.
5) Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
adekuatan oksigenisasi.
6) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis pembedahan,
ancaman kehilangan organ dan fungsi tubuh setelag pembedahan.
7) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional dan kurangnya informasi
8) Gangguan pemenuhan eliminasi uri (Retensi Urin) berhubungan dengan
Penurunan aktivitas dan menurunnya kontrol kemampuan miksi.
9) Gangguan pemenuhan eliminasi Alvi (Konstipasi) berhubungan dengan
10)

peristaltik usus menurun


Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah

11)

interpretasi informasi.
Resiko tinggi terhadap penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan

menurunya suplai oksegen ke otot dan jaringan.


1.2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa I: Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan.
Tujuan: rasa nyaman (nyeri) dapat dapat teratasi
Kriteria Hasil:
-

Rasa nyeri hilang


Menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam aktivitas
Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
TTV dalam batas normal.

Intervensi
Rasional
1. Lakukan pendekatan pada klien 1. Hubungan yang baik membuat klien
dan keluarga.
dan keluarga kooperatif
2. Kaji tingkat intensitas dan 2. Tingkat
intensitas
nyeri
dan
frekwensi nyeri.
frekwensi menunjukkan skala nyeri.
3. Jelaskan pada klien penyebab 3. Memberikan
penjelasan
akan
nyeri.
menambah pengetahuan klien akan

16

4. Observasi tanda-tanda vital.


5. Ajarkan
penggunaan
teknik
manajemen nyeri (relaksasi dan
distraksi).
6. Pertahankan imobilisasi
bagian yang patah.

pada

7. Lakukan kolaborasi dengan tim


medis
dalam
pemberian
analgesik.

nyeri.
4. Untuk mengetahui perkembangan
klien.
5. Mengalihkan perhatian terhadap
nyeri,
meningkatkan
kontrol
terhadap nyeri yang mungkin
berlangsung lama.
6. Mengurangi keluhan nyeri dan
mencegah perubahan tentang atau
perlakuan jaringan oleh tulang.
7. Merupakan
tindakan
dependen
perawat, dimana analgesic berfungsi
untuk memblok stimulasi nyeri.

Diagnosa II: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan


status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi.
Tujuan: Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria Hasil:
-

Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus


Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi

Intervensi
Rasional
1. Kaji kulit dan identifikasi pada 1. Mengetahui
sejauh
mana
tahap perkembangan luka.
perkembangan luka mempermudah
dalam meltindakan yang tepat.
2. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, 2. Mengidentifikasi tingkat keparahan
serta jumlah dan tipe cairan luka.
akan mempermudah intervensi
3. Pantau peningkatan suhu tubuh.
3. Suhu tubuh yang meningkat dapat
diidentifikasi
sebagai
adanya
proses peradangan.
4. Berikan perawatan luka dengan
4. Tehnik
aseptik
membantu
tehnik aseptik. Balut luka dengan
mempercepat penyembuhan luka
kassa kering dan steril, gunakan
dan mencegah terjadinya infeksi.
plester kertas.
5. Anjurkan pasien dan keluarga 5. Untuk mencegah terjadi infeksi
untuk
menjaga
kebersihan
lingkungan
6. Anjurkan
pasien
untuk 6. Makanan yang mengandung tinggi
memperhatikan makanan untuk
protein
dapat
membantu
lebih
banyak
mengkonsumsi
mempercepat penyembuhan luka
makanan tinggi protein.
7. Antibiotik
berguna
untuk
7. Kolaborasi pemberian antibiotic.
memetikan
mikroorganisme

17

pathogen pada daerah yang terjadi


infeksi

Diagnosa

III:

Hambatan

mobilitas

fisik

berhubungan

dengan

nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal.


Tujuan: Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
Kriteria hasil:
-

Penampilan yang seimbang


Melakukan pergerakan dan pemindahan
Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan darinorang lain untuk bantuan, pengawasan, dan
pengajaran
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
- 4 = ketergantungan tidak berpartisipasi dalam aktivitas.

1.
2.
3.
4.
5.

Intervensi
Kaji kebutuhan akan pelayanan1.
kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
2.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam
melakukan aktivitas.
Ajarkan dan pantau dalam hal
pengguanaan alat bantu.
3.
Ajarkan dan dukung pasien dalam
latihan ROM aktif dan pasif.
4.
Kolaborasi dalam hal ahli terapi fisik.
5.

Rasional
Mengidentifikasi
masalah,
memudahkan intervensi.
Mempengaruhi penilaian terhadap
kemampuan aktivitas apakah
karena ketidakmampuan ataukah
ketidakmauan.
Menilai
batasan
kemempuan
aktivitas optimal.
Mempertahankan/keningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot.
Sebagai
suatu
sumber
untuk
mengembangkan
perencanaan
dan
mempertahankan/
meningkatkan mobilitas pasien.

Diagnosa IV: Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon
inflamasi tertekan, prosedur invasif.

18

Tujuan: Infeksi tidak terjaadi/ terkontrol


Kriteria Hasil:
1.
2.
3.

4.

5.

Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.


Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi
Intervensi
Pantau tanda-tanda vital.
Lakukan perawatan luka dengan
tehnik aseptic.
Lakukan perawatan terhadap prosedur
invasif seperti infus, kateter, drainase
luka, dll.
Jika ditemukan tanda-tanda infeksi
kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit
Kolaborasi untuk pemberian antibiotic

Diagnosa

V:

Intoleran

aktivitas

Rasional
1. Mengidentifikasi
tanda-tanda
peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.
2. Mengendalikan
penyebaran
mikroorganisme pathogen.
3. Untuk
mengurangi
resiko
infeksi nasokomial.
4. Penurunan Hb dan peningkatan
leukosit dari normal bisa terjadi
akibat terjadinya proses infeksi.
5. Antibiotik
mencegah
perkembangan mikroorganisme
pathogen
berhubungan
dengan
dispnea,

kelemahan/keletihan, ketidak adekuatan oksigenisasi.


Tujuan: Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria Hasil:
-

Prilaku merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri


Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa

dibantu
Koordinasi otot,tulang dan anggota gerak lainya baik
Intervensi
Rasional
1. Rencanakan periode istirahat yang 1. Mengurangi aktivitas yang tidak
cukup.
diperlukan,
dan
energi
terkumpul dapat digunakan
untuk
aktivitas
seperlunya
secara optimal.
2. Berikan latihan aktivitas secara
2. Tahapan-tahapan yang diberikan
bertahap.
membantu proses aktivitas secar
perlahan dapat menghemat
tenaga namun tujuan yang tepat,
mbilisasi dini.
3. Bantu pasien dalam memenuhi
3.
Mengurangi pemakaian energi
kebutuhan sesuai kebutuhan.
sampai kekuatan pasien pulih
4. Setelah latihan dan aktivitas kaji
kembali.

19

respon pasien.

4. Menjaga kemungkinan adanya


respon abnormal dari tubuh
sebagai akibat dari latihan

Diagnosa VI: Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan

berhubungan

dengan

keterbatasan

kognitif,

kurang

terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.


Tujuan: Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan
proses pengobatan.
Kriteria Hasil:
-

Pasien kooperatif saat dilakukan tindakan


Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan
Ikut serta dalam regimen perawatan
Intervensi
Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan 1. Mengetahui
seberapa
jauh
keluarga tentang penyakitnya.
penglaman dan pengetahuan
2. Berika penjelasan pada klien tentang
klien dan keluarga tentang
penyakitnya dan kondisinya sekarang.
penyakitnya.
3. Anjurkan klien dan keluarga untuk 2. Dengan mengetahui penyakit
memperhatikan diet makananya
dan kondisinya sekarang, klien
4. Minta klien dan keluarga mengulangi
dan keluarganya akan merasa
kembali
tentang
materi
yang
tenang dan mengurangi cemas.
dilakukan.
3. Diet dan pola makan yang tepat
membantu proses penyembuhan.
4. Mengetahui
seberapa
jauh
pemahaman klien dan keluarga
serta menilai keberhasilan dari
tindakan yang dilakukan

Diagnosa VIII: Resiko tinggi terhadap penurunan perfusi jaringan berhubungan


dengan menurunya suplai oksegen ke otot dan jaringan.
Tujuan: perfusi jaringan kembali adekuat
Kriteria Hasil:
-

Mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara


individual (mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi
perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang)
Intervensi

Rasional

20

1.

Evaluasi frekuensi pernafasan dan 1.


Kecepatan
dan
upaya
kedalaman. Contoh adanya dispnea,
mungkin meningkat karena
penggunaan
otot
bantu
nafas,
nyeri, takut, demam, penurunan
pelebaran nasal.
volume sirkulasi, hipoksia atau
diatensi gaster.
2.
Inspeksi kulit dan membran 2.
Sianosis bibir, kuku, atau
mukosa untuk adanya sianosis.
daun
telinga
menunjukkan
kondisi
hipoksia
atau
komplikasi paru
3.
Tinggikan daerah fraktur letakkan 3.
Merangsang
fungsi
pada posisi lebih tinggi dari kepala
pernafasan/ekspansi
paru.
atau beri penyangga.
Efektif pada pencegahan dan
perbaikan kongesti paru.
4.
Berikan tambahan oksigen dengan 4.
Meningkatkan pengiriman
kanul atau masker, sesuai indikasi
oksigen
ke
paru
untuk
kebutuhan sirkulasi khususnya
pada adanya gangguan ventilasi
1.2.4

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan tindakan kepewaratan pada klien fraktur femur dilakukan

sesuai dengan perencanaan keperawatan yang telah ditentukan, dengan tujuan


unutk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
1.2.5

EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi yang diharapkan pada pasien adalah :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.


Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Infeksi tidak terjadi / terkontrol
Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.

21

DAFTAR PUSTAKA
Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. (et,al) Editor
bahasa Indonesia :Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson. 1994. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit
edsi 4. Jakarta: EGC
Drug Information Handbook 17th ed. (2008),Lexi-Comp Inc. Ohio. 2. Martindale:
The Complete Drug Reference 24th ed. 2005, Pharmaceutical Press great

22

Britain. 3. http://www.drugs.com/pro/html.4. ISO Indonesia vol.43 2008.


PT.ISFI penerbitan, Jakarta. 5. A to Z Drug Fact, 2003. Ovid.

Anda mungkin juga menyukai