Disusun Oleh :
1.6 Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih,
dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari
fraktur femur yaitu:
1. Syok
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun.
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam
lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ
lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam
sampai satu minggu setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardi dan pireksia.
3. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan
oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di
dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang
hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara
anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling
sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan
tungkai atas.
5. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel
parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum,
dkk, 2018).
1.7 Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta
usia. Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :
1) Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang
terjadi karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang
menjadi alasan kuat pasien mengalami fraktur.
2) Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan
bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
3) Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini
tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para
ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang
pada posisi semula.
4) Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau
papan dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar
posisi tetap stabil.
5) Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar
perlukaan.
6) Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post
operasi.
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong, 2017)
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
1) Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan : pembersihan luka,
exici, hecting situasi, antibiotik. Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
a) Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c) Pemberian antibiotika.
d) Debridement dan irigasi sempurna.
e) Stabilisasi.
f) Penutup luka.
g) Rehabilitasi.
h) Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita
dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius.
Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang
diperlukan suatu gaya yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya
berakibat total, tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip
dasar yaitu : airway, breath and circulation.
i) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut
terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6
jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium
kontaminsi (golden periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah
menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patuah tulang terbuka
harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir
penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi
prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan
prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
j) Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi
tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang
tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar.
Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram
positif maupun negatif.
k) Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah
terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati.
Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik
dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
l) Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi
fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah
tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat
dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer. Untuk
derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus
sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi
penderita.
2) Seluruh Fraktur
a) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
c) Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis.
d) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara
reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur
sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik
untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai,
yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan
sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam
melakukan gerakan).
f) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers.
g) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
h) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler.
1.8 Konsep Asuhan Keperawatan
1) Diagnosa
- Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
- Gangguan mobilittas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang
1. jelaskan
penyebab nyeri
2. jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
4. anjurkan teknik
untuk meredakan
nyeri
1. Kolaborasi
pemberian
analgetik
1. Fasilitasi ambulasi
dengan alat bantu
2. Fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik
3. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien
1. Implementasi
b. Diagnosis keperawatan
2. Evaluasi keperawatan
b. Diagnosis keperawatan
c. Evaluasi keperawatan
PATHWAY
Etiologi