Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351373190

Tinjauan Teoritis Tentang Halusinasi Pendengaran

Presentation · May 2021


DOI: 10.13140/RG.2.2.17861.58082

CITATIONS READS

0 431

1 author:

Fandro Armando Tasijawa


Universitas Kristen Indonesia Maluku
13 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Innovation for nursing student learning View project

Recovery from ‘schizophrenia’: Perspectives of mental health nurses in the Eastern island of Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Fandro Armando Tasijawa on 07 May 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Tinjauan Teoritis Tentang Halusinasi Pendengaran
Oleh : Fandro A. Tasijawa

Saya akan meninjau literatur terkait halusinasi pendengaran dari tahun 2008 sampai 2019.
Literatur tentang defenisi, gejala, jenis, dampak dan fenomena, treatment farmakologis akan
dibahas pada tulisan ini. Pada tulisan selanjutnya saya akan membahas terkait treatment non-
farmakologis.

1. Defenisi Halusinasi
Blom & Sommer (2010) mengungkapkan bahwa sejak diperkenalkan oleh Wernicke tahun
1990, halusinasi telah beragam dalam pendefinisiannya sebagai: (1) keadaan mental yang
ditandai dengan halusinasi terus-menerus, (2) kondisi abnormal yang ditandai dengan
halusinasi, (3) gangguan kejiwaan yang melibatkan halusinasi, (4) keadaan halusinasi
sementara yang disertai dengan sensorium yang jelas terkait sifatnya, dan (5) keadaan
delusi yang dipicu oleh halusinasi. Fraser (2014) juga mengungkapkan hal yang sama
terkait defenisi halusinasi. Halusinasi menurut Fraser (2014) yaitu pengalaman persepsi
yang terjadi tanpa adanya rangsangan sensorik eksternal. Fraser (2014) mengungkapkan
bahwa halusinasi yang paling sering ditemukan yaitu visual atau pendengaran
dibandingkan halusinasi lainnya seperti penciuman, gustatory, taktil dan visceral.
Dipertegas oleh Suryani (2015) dan Suryani, Welch, & Cox (2013) bahwa halusinasi
pendengaran juga menjadi bentuk dari halusinasi yang sering ditemukan pada klien
skizofrenia.

Auditory hallucinations atau halusinasi pendengaran juga dikenal sebagai halusinasi


akustik, halusinasi aural, hallucinations of hearing and voice (Blom, 2015). Halusinasi
pendengaran didefenisikan sebagai pengalaman suara yang dialami oleh individu dalam
keadaan sadar tanpa adanya stimulus yang sesuai dari dunia eksternal (Association, 2013;
Blom, 2015). Jadi secara konseptual, halusinasi pendengaran sebagai suatu persepsi,
maksudnya adalah persepsi pendengaran yang dialami selama keadaan sadar. Dengan
demikian halusinasi pendengaran dalam dibedakan dari persepsi pendengaran yang
dialami selama keadaan mimpi, persepsi pendengaran yang dialami saat tertidur atau
bangun (hypnagogia), auditory imagery (suara yang dibayangkan atau diingat), dan
auditory pareidolia (ilusi pendengaran atau suara-suara aktual yang disalah pahami atau
disalah tafsirkan) (Blom, 2015).
2. Etiologi Halusinasi Pendengaran
Penyebab skizofrenia merupakan multifaktor. Artinya banyak faktor yang dapat menjadi
penyebab seseorang mengalami skizofrenia. Salah satu gejala yang muncul dari
skizofrenia yaitu halusinasi pendengaran. Larøi et al., (2012) mengungkapkan bahwa
banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami halusinasi pendengaran
seperti gangguan depresi unipolar, gangguan bipolar, demensia, gangguan disosiatif,
gangguan kepribadian borderline, dan gangguan kejiwaan lainnya. Selain itu, gangguan
psikotik karena penyalahgunaan alkohol, delirium, delirium tremens, penggunaan ganja
atau zat terlarang lainnya, efek samping antidepresan, antikolinergik, berkabung, isolasi
sosial, dan kurang tidur dapat menyebabkan halusinasi pendengaran (Larøi et al., 2012).

I. E. C. Sommer, Koops, & Blom (2012) juga mengungkapkan bahwa penyebab halusinasi
pendengaran karena penyakit somatik sistemik seperti neurosifilis, infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), tirotoksisitas, penyakit Cushing, tumor otak, sindrom
neurologis paraneoplastik, ensefalitis limbik, penyakit prion, hyperhomocysteinuria,
22q11.1 deletion syndrome, sarkoidosis, dan malformasi arteriovenosa intraserebral (I. E.
C. Sommer et al., 2012). Fraser (2014) mengungkapkan penyebab umum dari halusinasi
pendengaran dapat dirangkum dalam gambar 1 di bawah ini.

Halusinasi pendengaran umumnya dikaitkan dengan gangguan kejiwaan seperti


skizofrenia, depresi psikotik, mania, dan gangguan stres pascatrauma. Halusinasi
pendengaran dalam skizofrenia biasanya terdiri dari suara, kata-kata, atau kalimat dan
biasanya tidak menyenangkan atau menuduh. Suara yang didengar oleh klien mungkin
tidak asing atau juga asing, tetapi sering mengkritisi, meremehkan, dan dapat pula
mengeluarkan suatu perintah (Fraser, 2014).

3. Jenis Halusinasi Pendengaran


Jenis halusinasi pendengaran telah menghasilkan banyak tipe dan subtipe (Blom, 2015)
berdasarkan gambar 2 dibawah ini.
Pada gambar terlihat banyak jenis halusinasi pendengaran, namun kelompok akan membahas
pada beberapa artikel yang menjadi trend pada artikel yaitu internal hallucination, external
hallucination, non-verbal auditory hallucination, verbal auditory hallucination, dan musical
hallucination.
a. Internal & external hallucination
Dalam sebuah penelitian oleh McCarthy-Jones et al. (2012) terhadap 199 klien
skizofrenia yang mengalami halusinasi pendengaran, ditemukan 47% mengalami
halusinasi internal, 38% halusinasi eksternal, dan 15% merupakan gabungan keduanya.
Hal yang sama ditunjukkan pada penelitian Slotema et al. (2012) terhadap 148 klien
dengan diagnosis gangguan psikotik dan gangguan kepribadian bahwa lebih dari 50%
dilaporkan mengalami halusinasi pendengaran internal.

b. Verbal auditory hallucination


Verbal auditory hallucinations juga dikenal sebagai auditory verbal hallucinations,
voice hallucinations, phonemes, hallucinated speech, dan voice. Beberapa jenis khusus
halusinasi pendenagran verbal seperi halusinasi perintah, halusinasi fungsional (yang
dipicu oleh pergeseran perhatian ke arah stimulus aktual seperti air mengalir,
Gedankenlautwerden (suara halusinasi dari pikiran sendiri), gema membaca (suatu
kondisi di mana pembacaan suatu kata atau kalimat akan disertai dengan gema
halusinasi konten linguistik yang sama), dan halusinasi verbal psikomotorik (seperti
adanya aktivitas motorik halus di dalam laring atau pita suara) (Blom, 2015; McCarthy-
Jones et al., 2012; I. E. Sommer, Selten, Diederen, & Blom, 2010). Di antara individu
psikotik yang mengalami halusinasi pendengaran, halusinasi perintah telah dilaporkan
oleh 67% dari pasien (McCarthy-Jones et al., 2012).

c. Non-verbal auditory hallucination


Halusinasi pendengaran non-verbal juga dikenal sebagai acoasms, acousmata, non-
verbal hallucinations, dan non-vocal auditory hallucinations. Pada halusinasi
pendengaran non-verbal karakteristiknya terdiri dari suara mulai dari berdetak,
mengklik, atau gonggongan anjing, dengungan mesin pesawat terbang atau simfoni
klasik (Blom, 2015).
Pada penelitian McCarthy-Jones et al. (2012) halusinasi pendengaran non-verbal
dilaporkan pada 32% kasus. Pada penelitian ini ditemukan 46% terkait halusinasi
musik, 43% ringing, 29% suara binatang, 27% suara klik, 24% humming, 10% suara
air, dan 56% suara lainnya. Pada penelitian ini beberapa responden mengalami lebih
dari satu jenis halusinasi pendengaran non-verbal.

d. Musical hallucination
Halusinasi musik terdiri dari songs, tune, melodi, harmonik, ritme, dan / atau nada yang
dirasakan tanpa adanya musik yang sebenarnya. Individu yang mengalami fenomena
tersebut pada awalnya cenderung percaya bahwa ada musik atau radio yang diputar di
dekatnya, dan mereka sering berkeliling menanyakan apakah seseorang dapat
mengecilkan volumenya (Niranjan, Rastogi, & Razdan, 2017). Setelah fase awal yang
mengejutkan dan tidak percaya, kebanyakan orang menerima dalam beberapa hari
bahwa musik berasal dari pikiran/otak/kepala mereka. Tetapi karena takut dianggap
“gila”, kebanyakan dari mereka menyimpan pengalaman itu (Blom, 2015; Fraser, 2014;
Sacks & Blom, 2012).
Berbagai jenis halusinasi musik dapat dilihat pada gambar 3 yang memberikan
gambaran umum tentang fenomena terkait halusinasi pendengaran musik dan jenis-
jenisnya (Sacks & Blom, 2012).
4. Dampak Halusinasi Pendengaran pada kehidupan seseorang
Dampak halusinasi pendengaran sering menyebabkan gejala depresi dan kecemasan
(Chiang, Beckstead, Lo, & Yang, 2018). Sebuah studi oleh Karpov et al. (2016) di
Amerika menunjukkan bahwa klien yang mengalami gejala halusinasi pendengaran 76%
dari 1460 responden dan 44,4% memiliki gejala depresi pada klien skizofrenia kronis.
Chiang et al., (2018) juga menunjukkan >30% klien dengan halusinasi pendengaran
mengalami depresi. Kedua studi ini mengungkapkan bahwa pada klien dengan gejala
positif, ada korelasi antara gejala depresi dan upaya bunuh diri. Sehingga perlu
memperhatikan munculnya gejala depresi pada klien halusinasi pendengaran, agar dapat
membantu mereka untuk mencegah bunuh diri.

5. Fenomena Halusinasi Pendengaran


Studi kualitatif oleh Suryani et al. (2013) terhadap 13 responden diidentifikasi empat tema
yaitu merasa seperti robot dari pada manusia, suaranya kontradiksi-membuat
kebingungan, hubungan yang berantakan dan terjadi kekacauan dalam keluarga, serta
kehadiran halusinasi sebagai bagian yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Pada tema
pertama responden menyatakan ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan suara-
suara yang memerintahkan mereka, sehingga mereka harus mengikuti instruksi/perintah
suara tersebut. Instruksi atau perintah seperti mendaki gunung atau memakan tinja dan
meminum air seni. Keadaan ini membuat klien merasa hidup bukan sebagai manusia lagi
dan merasa seperti terisolasi karena perilaku mereka benar-benar berbeda dengan orang
lain (Suryani et al., 2013).

Tema kedua pada penelitian menunjukkan keraguan dan kebingungan terhadap perintah
suara yang didengar. Keraguan dan kebingunan muncul karena perintah pertama berkata
lain, selanjutnya perintah itu kontradiktif dengan perintah pertama. Kontradiktif perintah
seperti berdoa dan melarang berdoa, makan dan membuang makanan. Pada tema ketiga
masih berhubungan dengan tema sebelumnya karena hidup dalam keraguan, kebingungan,
maupun ketidakpastian akan semakin parah jika hubungan dalam keluarga menjadi
berantakan dan kacau (Suryani et al., 2013).

Tema ketiga menyoroti kekacauan keluarga karena penyakit mental dan halusinasi,
sehingga orang yang seharusnya mendukung mereka meninggalkan mereka. Masalah di
internal keluarga dan relasi dengan tetangga maupun teman membuat responden merasa
rendah diri dan malu. Pada tema keempat menjadi salah satu strategi efektif untuk
menjalani kehidupan yang normal. Strategi pada responden yaitu mengabaikan dan tidak
menanggapi suara tersebut, sehingga mereka sudah terbiasa (Suryani et al., 2013). Hal ini
sejalan dengan Ma, Beckstead, Lo, & Yang (2016) yang meneliti 189 klien skizofrenia.
Penelitian ini mengungkapkan interaksi sosial bermanfaat pada follow-up 3 bulan.
Kegiatan positif dengan berinteraksi dengan orang lain dan memahami bahwa interaksi
dengan suara halusinasi adalah sesuatu yang tidak realistis, sehingga mengabaikan suara
tersebut (Ma et al., 2016).

6. Treatment farmakologis
Metode pengobatan farmakologis untuk halusinasi pendengaran adalah melalui
pengobatan antipsikotik. Obat antipsikotik ini dibedakan menjadi dua golongan yaitu
antipsikotik jenis tipikal dan atipikal (I. E. Sommer, Begemann, Temmerman, & Leucht,
2011). Antipsikotik tipikal efektif digunakan untuk mengatasi gejala positif skizofrenia
seperti waham, halusinasi, gangguan berpikir, namun tidak memberikan efek yang baik
untuk perubahan gejala negatif (Blom, 2015). Klien yang mendapatkan obat ini,
halusinasinya sering tidak muncul lagi namun masalah seperti perilaku menarik diri atau
ketidakmauan untuk melakukan aktivitas tidak ada perbaikan (Blom, 2015). Antipsikotik
atipikal merupakan generasi baru dimana kelebihannya tidak hanya mengatasi gejala
positif tetapi efektif menurunkan gejala negatif skizofrenia seperti menarik diri, hilangnya
motivasi dan kemauan, dan anhedonia (Videbeck & Videbeck, 2013). Penelitian RCT oleh
Kahn et al., (2008) terhadap 498 orang dengan first-episode schizophrenia dan
schizophreniform disorder menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam efektifitas/kemanjuran antara lima agen antipsikotik (haloperidol, olanzapine,
ziprasidone, quetiapine dan amisulpride) untuk mengurangi frekuensi atau keparahan
halusinasi.

Paling penting dalam terapi farmakologis yaitu efek samping obat tersebut. Blom (2015)
mengungkapkan bahwa efek samping agen antipsikotik terbagi menjadi dua kelompok
yaitu (1) secara dominan menginduksi penambahan berat badan, sindrom metabolik dan
sedasi (quetiapine, olanzapine dan clozapine), (2) gejala ekstrapiramidal seperti akathisia,
dystonia, dan parkinsonisme (haloperidol dan ziprasidone). Kelima agen antipsikotik ini
dari penelusuran kelompok ditemukan sudah beredar dan dipakai di Indonesia. Karena
keterbatasan dalam mereview kelima agen antipsikotik tersebut, maka kelompok akan
membahas salah satu agen antipsikotik tersebut yaitu clozapine. Hal ini karena menurut
Taylor, D. M., Barnes, T. R., & Young (2018) Clozapine dianggap sebagai gold standar
treatment untuk populasi dengan Treatment-resistant schizophrenia (TRS).

Skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan (TRS) sering dikaitkan dengan


penyalahgunaan narkoba, ide bunuh diri, kualitas hidup yang rendah, dan tingkat rawat
inap yang lebih tinggi (Elkis & Buckley, 2016). Sehingga Kennedy, Altar, Taylor, Degtiar,
& Hornberger (2014) dalam reviewnya mengungkapkan bahwa biaya perawatan kesehatan
adalah 3 hingga 11 kali lebih tinggi pada pasien TRS dibandingkan dengan klien lain yang
tidak resisten.

Sudah di jelaskan diatas bahwa efek samping clozapine yaitu risiko sedasi dan sindrom
metabolik. Namun, kelemahan signifikan dari penggunaan clozapine yaitu risiko
terjadinya leukositopenia dan agranulositosis (dalam kasus penyakit menular dapat
menyebabkan komplikasi yang tidak perlu dan bahkan fatal), dan penyakit jantung
(perikarditis, miokarditis dan kardiomiopati) (I. E. Sommer et al., 2011). Oleh karena itu,
Layland, Liew, & Prior (2009) mengungkapkan bahwa pengobatan dengan bantuan
clozapine hanya dianggap aman ketika sudah dilakukan tes darah selama perawatan dan
monitoring untuk tanda-tanda penyakit jantung oleh clozapine, terutama selama 15 hari
pertama setelah pengobatan dilakukan. Namun, I. E. C. Sommer & Blom (2012)
mengungkapkan bahwa terapi farmakologis dengan terapi clozapine belum didukung oleh
banyak bukti yang meyakinkan dari literatur. Hal ini didukung oleh Siskind, McCartney,
Goldschlager, & Kisely (2016) dalam systematic review dan meta-analisis bahwa 40-60%
dari pasien TRS masih tidak menanggapi obat clozapine dan banyak efek samping
merugikan daripada efficacy nya.

DAFTAR PUSTAKA
Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM-5®).
American Psychiatric Pub.
Blom, J. D. (2015). Chapter 24 - Auditory hallucinations. In M. J. Aminoff, F. Boller, & D.
F. B. T.-H. of C. N. Swaab (Eds.), The Human Auditory System (Vol. 129, pp. 433–455).
Elsevier. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-444-62630-1.00024-X
Blom, J. D., & Sommer, I. E. C. (2010). Auditory Hallucinations: Nomenclature and
Classification. Cognitive and Behavioral Neurology, 23(1). Retrieved from
https://journals.lww.com/cogbehavneurol/Fulltext/2010/03000/Auditory_Hallucinations__No
menclature_and.11.aspx
Chiang, Y.-H., Beckstead, J. W., Lo, S.-C., & Yang, C.-Y. (2018). Association of auditory
hallucination and anxiety symptoms with depressive symptoms in patients with
schizophrenia: A three-month follow-up. Archives of Psychiatric Nursing, 32(4), 585–590.
Elkis, H., & Buckley, P. F. (2016). Treatment-Resistant Schizophrenia. Psychiatric Clinics of
North America, 39(2), 239–265. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.psc.2016.01.006
Fraser, J. A. (2014). Hallucinations, Visual and Auditory. In M. J. Aminoff & R. B. B. T.-E.
of the N. S. (Second E. Daroff (Eds.) (pp. 500–501). Oxford: Academic Press.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-12-385157-4.00135-4
Kahn, R. S., Fleischhacker, W. W., Boter, H., Davidson, M., Vergouwe, Y., Keet, I. P. M., …
Grobbee, D. E. (2008). Effectiveness of antipsychotic drugs in first-episode schizophrenia
and schizophreniform disorder: an open randomised clinical trial. The Lancet, 371(9618),
1085–1097. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0140-6736(08)60486-9
Karpov, B., Joffe, G., Aaltonen, K., Suvisaari, J., Baryshnikov, I., Näätänen, P., …
Suominen, K. (2016). Anxiety symptoms in a major mood and schizophrenia spectrum
disorders. European Psychiatry, 37, 1–7.
Kennedy, J. L., Altar, C. A., Taylor, D. L., Degtiar, I., & Hornberger, J. C. (2014). The social
and economic burden of treatment-resistant schizophrenia: a systematic literature review.
International Clinical Psychopharmacology, 29(2). Retrieved from
https://journals.lww.com/intclinpsychopharm/Fulltext/2014/03000/The_social_and_economic
_burden_of.1.aspx
Larøi, F., Sommer, I. E., Blom, J. D., Fernyhough, C., ffytche, D. H., Hugdahl, K., …
Waters, F. (2012). The Characteristic Features of Auditory Verbal Hallucinations in Clinical
and Nonclinical Groups: State-of-the-Art Overview and Future Directions. Schizophrenia
Bulletin, 38(4), 724–733. https://doi.org/10.1093/schbul/sbs061
Layland, J. J., Liew, D., & Prior, D. L. (2009). Clozapine‐induced cardiotoxicity: a clinical
update. Medical Journal of Australia, 190(4), 190–192.
Ma, Y.-C., Beckstead, J. W., Lo, S.-C., & Yang, C.-Y. (2016). Auditory hallucinatory beliefs
in patients with schizophrenia: Association of auditory hallucinations with social interactions,
characteristics and emotional behaviors over 3 months. Archives of Psychiatric Nursing,
30(3), 363–369.
McCarthy-Jones, S., Trauer, T., Mackinnon, A., Sims, E., Thomas, N., & Copolov, D. L.
(2012). A New Phenomenological Survey of Auditory Hallucinations: Evidence for Subtypes
and Implications for Theory and Practice. Schizophrenia Bulletin, 40(1), 231–235.
https://doi.org/10.1093/schbul/sbs156
Niranjan, V., Rastogi, P., & Razdan, R. G. (2017). “Musical Ear Syndrome”–Musical
hallucinations in a patient with severe hearing loss–A report. Asian Journal of Psychiatry, 29,
101–102. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ajp.2017.05.006
Sacks, O. W., & Blom, J. D. (2012). Musical Hallucinations BT - Hallucinations: Research
and Practice. In J. D. Blom & I. E. C. Sommer (Eds.) (pp. 133–142). New York, NY:
Springer New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-0959-5_11
Siskind, D., McCartney, L., Goldschlager, R., & Kisely, S. (2016). Clozapine v. first- and
second-generation antipsychotics in treatment-refractory schizophrenia: systematic review
and meta-analysis. British Journal of Psychiatry, 209(5), 385–392. https://doi.org/DOI:
10.1192/bjp.bp.115.177261
Slotema, C. W., Daalman, K., Blom, J. D., Diederen, K. M., Hoek, H. W., & Sommer, I. E.
C. (2012). Auditory verbal hallucinations in patients with borderline personality disorder are
similar to those in schizophrenia. Psychological Medicine, 42(9), 1873–1878.
https://doi.org/DOI: 10.1017/S0033291712000165
Sommer, I. E., Begemann, M. J. H., Temmerman, A., & Leucht, S. (2011). Pharmacological
augmentation strategies for schizophrenia patients with insufficient response to clozapine: a
quantitative literature review. Schizophrenia Bulletin, 38(5), 1003–1011.
Sommer, I. E. C., & Blom, J. D. (2012). Classical somatic treatments: Pharmacotherapy and
ECT. In Hallucinations (pp. 331–347). Springer.
Sommer, I. E. C., Koops, S., & Blom, J. D. (2012). Comparison of auditory hallucinations
across different disorders and syndromes. Neuropsychiatry, 2(1), 57.
Sommer, I. E., Selten, J.-P., Diederen, K. M., & Blom, J. D. (2010). Dissecting auditory
verbal hallucinations into two components: audibility (Gedankenlautwerden) and alienation
(thought insertion). Psychopathology, 43(2), 137–140.
Suryani, S. (2015). A Critical Review of Symptom Management of Auditory Hallucinations
in Patient with Schizophrenia. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 3(3).
Suryani, S., Welch, A., & Cox, L. (2013). The phenomena of auditory hallucination as
described by Indonesian people living with Schizophrenia. Archives of Psychiatric Nursing,
27(6), 312–318.
Taylor, D. M., Barnes, T. R., & Young, A. H. (2018). The Maudsley Prescribing Guidelines
in Psychiatry. John Wiley & Sons, Ltd.
Videbeck, S., & Videbeck, S. (2013). Psychiatric-mental health nursing. Lippincott Williams
& Wilkins.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai