Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI MUSIK KLASIK DAN MUROTTAL

QUR’AN TERHADAP PENURUNAN HALUSINASI PADA PASIEN HALUSINASI


PENDENGARAN

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan
persepsi sensori, serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, dan penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Pasien
gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas. Salah satu manifestasi
yang muncul adalah halusinasi yang membuat pasien tidak tidak dapat menjalankan
pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari. (Yusuf, PK, & Nihayatii, 2015).Halusinasi terbagi
dalam 5 jenis, yaitu halusinasi penglihatan, halusinasi penghidu, halusinasi pengecapan,
halusinasi perabaan, dan halusinasi pendengaran. Halusinasi pendengaran adalah halusinasi
yang paling sering dialami oleh penderita gangguan mental, misalnya mendengar suara
melengking, mendesir, bising, dan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Individu merasa
suara itu tertuju padanya, sehingga penderita sering terlihat bertengkar atau berbicara dengan
suara yang didengarnya (Try Wijayanto & Agustina, 2017)
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menunjukan bahwa
prevalensi gangguan jiwa di Indonesia 7.0% dan tertinggi di provinsiBali dengan presentase
11.0%. Sedangkan yang terendah di provinsi Kepulauan Riau dengan jumlah presentase 3.0
%. Sedangkan di Jawa Tengah jumlah prevalensi gangguan jiwa sebesar 9.0%. Gangguan
jiwa berat sering juga disebut dengan skizofrenia (Kementerian Kesehatan/KEMENKES,
2018). Di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, pasien dengan diagnosis medis skizofrenia,
sebanyak 70% pasien gangguan jiwa mengalami halusinasi pendengaran, 20% mengalami
halusinasi penglihatan dan 10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan.
Berdasarkan data tersebut diketahui jenis halusinasi yang paling banyak diderita oleh pasien
dengan skizofren adalah halusinasi pendengaran (Nuraeni dkk, 2009).
Gangguan halusinasi dapat diatasi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Salah
satu terapi non farmakologi yang efektif adalah mendengarkan musik. Studi mengenai
kesehatan jiwa, menunjukkan bahwa adanya terapi musik sangat efektif dalam meredakan
kegelisahan dan stres, membantu mendorong perasaan rileks serta meredakan depresi
individu (Amelia & Trisyani, 2018). Musik dibagi atas 2 jenis yaitu musik “acid” (asam) dan
“alkaline” (basa). Musik yang menghasilkan acid adalah musik hard rock dan rapp yang
membuat seseorang menjadi marah, bingung, mudah terkejut dan tidak fokus. Musik yang
menghasilkan alkaline adalah musik klasik yang lembut, musik instrumental, musik meditatif
dan musik yang dapat membuat rileks dan tenang seperti musik klasik (Mucci & Mucci,
2002). Musik klasik mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan dan presepsi spasial. Pada
gelombang otak, gelombang alfa mencirikan perasaan ketenangan dan kesadaran yang
gelombangnya mulai 8 hingga 13 hertz. Semakin lambat gelombang otak, semakin santai,
puas, dan damailah perasaan kita, jika seseorang melamun atau merasa dirinya berada dalam
suasana hati yang emosional atau tidak terfokus, musik klasik dapat membantu memperkuat
kesadaran dan meningkatkan organisasi metal seseorang jika didengarkan selama sepuluh
hingga lima belas menit (Campbell, 2001).
Terapi musik klasik efektif dalam menurunkan tingkat halusinasi pada pasien halusinasi
pendengaran hal ini telah dibukikan seperti yang telah dilakukan Rafina Damayanti, Jumaini,
Sri Utami tahun 2014 dengan judul Efektifitas Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan
Tingkat Halusinasi Pada Pasien Halusinasi Dengar Di Rsj Tampan Provinsi Riau, bahwa
adanya penurunan tingkat halusinasi pada kelompok eksperimen yang telah diberikan terapi
musik klasik. Hal ini membuktikan terapi musik klasik dapat menurunkan halusinasi pada
pasien halusinasi pendengaran.
Terapi modalitas merupakan salah satu terapi non farmakologi pada pasien halusinasi.
Salah satu terapi modalitas adalah terapi psikoreligius seperti terapi murrotal Al-Qur’an, riset
mengatakan bahwa terapi psikoreligius mampu mencegah dan melindungi kejiwaan,
meningkatkan proses adaptasi, mengurangi kejiwaan, dan kesembuhan (Yosep dan Sutini,
2016). Murotal terapi dapat memberikan stimulasi baik terhadap otak, ketika seseorang
mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dapat memberikan respon rileks, tenang dan rasa
nyaman (Ishaq, A. M. 2022). 
Hasil penelitian yang dilakukan Fitriani, R., Indriyani, P., & Sudiarto, S. (2020). Dengan
judul Pengaruh Terapi Murrotal Al-Qur’an Terhadap Skor Halusinasi Pada Pasien Dengan
Halusinasi Pendengaran diperoleh bahwa terjadi penurunan terhadap pengaruh murrotal Al-
Qur’an sesudah dan sebelum dilakukan terapi. Sehingga terapi murrotal Al-Qur’an efektif
pada penurunan skor halusinasi.
Terapi musik klasik dan terapi murrotal Al-Qur’an dapat menurunkan halusinasi pada
pasien halusinasi pendengaran, tetapi apakah terapi musik klasik itu lebih cepat menurunkan
halusinasi dibandingkan terapi murrotal Al-Qur’an belum diketahui. Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam pembuatan proposal
tentang “Perbandingan Efektivitas Terapi Musik Klasik dan Murottal Qur’an Terhadap
Penurunan Halusinasi Pada Pasien Halusinasi Pendengaran”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Perbandingan Efektivitas Terapi Musik Klasik dan Murottal Qur’an Terhadap
Penurunan Halusinasi Pada Pasien Halusinasi Pendengaran
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Perbandingan Efektivitas Terapi Musik Klasik dan Murottal Qur’an
Terhadap Penurunan Halusinasi Pada Pasien Halusinasi Pendengaran
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengidentidikasi kejadian halusinasi pendengaran
Mengidentidikasi

1.4 Manfaat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Halusinasi
2.1.1 Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori
persepsi : merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghidu ( Direja, 2011). Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi
semua sistem penginderaan ( Dalami,2014). Halusinasi hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata
(Kusumawati, 2012).
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien yang salah melalui
panca indra terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. sedangkan
halusinasi pendengaran adalah kondisi di mana pasien mendengar suara, terutama suara-suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu
2.1.2 Tanda dan Gejala
Tanda Dan Gejala Menurut Yuanita (2019). Tanda dan gejala Halusinasi terdiri dari :
a. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindar diri dari orang lain
b. Tersenyum sendiri, tertawa sendiri
c. Duduk terpukau (berkhayal)
d. Bicara sendiri
e. Memandang satu arah, menggerakan bibir tanpa suara, penggerakan mata yang cepat,
dan respon verbal yang lambat
f. Menyerang, sulit berhubungan dengan orang lain
g. Tiba-tiba marah,curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
takut
h. Gelisah, ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel,
i. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah
2.1.3 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani,2020):
a. Faktor perkembangan Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak 8 mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
c. Biologis Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogen neurokimia.Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
d. Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e. Sosial Budaya Meliputi klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal
dancomforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat
untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dakam dunia nyata
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya
rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak
6 komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi
pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima
dimensi (Oktiviani, 2020) yaitu :
a. Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
c. Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan,
namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting,
klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien
asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dakam
dunia nyata.
e. Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual
untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
2.1.4 Fase-fase Halusinasi
Fase-fase Halusinasi Halusinasi terbagi atas beberapa fase (Oktiviani, 2020):
a. Fase Pertama / Sleep disorder
Pada fase ini Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karna
berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati
kekasih, masalah dikampus, drop out, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi
sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur
berlangsung trus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap
lamunanlamunan awal tersebut sebagai pemecah masalah
b. Fase Kedua / Comforting
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian,
perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya
kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia kontrol
bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman
dengan halusinasinya
c. Fase Ketiga / Condemning
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai
merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara
dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain, dengan
intensitas waktu yang lama.
d. Fase Keempat / Controlling Severe Level of Anxiety
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat
merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan
psikotik.
e. Fase ke lima / Conquering Panic Level of Anxiety
Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan datangnya suara-
suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian
bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
2.1.5 Halusinasi Pendengaran
Menurut Yosep dalam Prabowo, 2014, Halusinasi pendengaran (audotorik) merupakan
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara orang. Biasanya
mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang paling sering dialami oleh penderita gangguan
mental, misalnya mendengar suara melengking, mendesir, bising, dan dalam bentuk kata-kata
atau kalimat.
Karakteristik Halusinasi Pendengaran yaitu saat individu mendengar suara – suara / kebisingan,
paling sering suara kata yang paling jelas, berbicara dengan klien bahkan sampai kepercakapan
lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar jelas dimana klien
mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang – kadang dapat
membahayakan.

2.2 Konsep Terapi Non Farmakologi


2.2.1 Terapi Musik
1. Definisi Musik
Musik dapat diartikan sebagai nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga
mengandung irama, lagu, dan keharmonisan, terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat
menghasilkan bunyibunyi tersebut (Eisar Gabela, 2014).
Terapi musik adalah suatu terapi yang menggunakan metode alunan melodi, ritme, dan
harmonisasi suara dengan tepat. Terapi ini diterima oleh organ pendengaran kita yang kemudian
disalurkan ke bagian tengah otak yang disebut sistem limbik yang mengatur emosi (Cervellin G,
2011).
Musik merupakan salah satu elemen yang tidak bisa dilepaskan dalam keseharian. Rangkaian
nada alunan musik mampu meningkatkan mood dan memengaruhi kondisi psikologis seseorang.
musik juga bisa sebagai sarana relaksasi maupun terapi, membantu memperbaiki kondisi depresi,
pasien diharapkan mau berobat. Kemauan melawan penyakit akan memperbaiki kualitas hidup
pasien, yang menentukan kesembuhannya (Chi GC, 2011).

2. Manfaat Musik
Musik berperan sebagai salah satu teknik relaksasi untuk memperbaiki, memelihara,
mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi. Selanjutnya Kemper dan Danhauer
menjelaskan mengenai manfaat musik. Musik selain dapat meningkatkan kesehatan seseorang
juga dapat meringankan dari rasa sakit, perasaan‐perasaan dan pikiran yang kurang
menyenangkan serta membantu untuk mengurangi rasa cemas (Dewi M, 2009). Musik dapat
digunakan dalam lingkup klinis, pendidikan, dan sosial bagi klien atau pasien yang
membutuhkan pengobatan, pendidikan atau intervensi pada aspek sosial dan psikologis (Wang
CF, 2014).
2. Musik Klasik
Menurut Utomo dalam (E. Yuhana, 2010) musik klasik adalah jenis musik yang menggunakan
tangga nada diatonis, yakni sebuah tangga nada yang menggunakan aturan dasar teori
perbandingan serta music klasik telah mengenal harmoni yaitu hubungan nada-nada dibunyikan
serempak dalam akord-akord serta menciptakan struktur musik yang tidak hanya berdasar pada
pola-pola ritme dan melodi.
Ada dua jenis musik, yaitu musik "acid" (asam) dan musik "alkaline" (basa). Musik penghasil
acid adalah musik hard rock yang dapat membuat orang marah, bingung, kaget, dan penuh
perhatian contohnya musik hard rock dan rapp. Musik Alkaline adalah musik klasik yang
lembut, yang dapat membuat orang rileks dan tenang seperti halnya musik klasik.
Musik Klasik Mozart dapat meningkatkan konsentrasi, daya ingat, dan rasa ruang. Dalam
gelombang otak, gelombang alfa mewakili perasaan tenang dan kesadaran, dan rentang
gelombangnya adalah 8 hingga 13 Hertz. Semakin lambat gelombang otak, semakin rileks, puas
dan damai yang dirasakan, namun jika seseorang melamun atau merasa dalam keadaan gelisah
atau kurang perhatian secara emosional, maka teknik musik klasik dapat membantu
meningkatkan kesadaran dan meningkatkan kesejahteraan organisasi Psikologis seseorang
dengan 15 menit (Damayanti, Jumaini, & Utami, 2014).

3. Pengaruh Musik Klasik


Musik memiliki komponen yaitu nada dan irama yang dapat memberi pengaruh psikologis dan
fisiologis pada tubuh. Saat rangsangan suara menggetarkan gendang telinga yang kemudian akan
diteruskan ke susunan saraf pusat tepatnya pada sistem limbic. Sistem limbic memiliki fungsi
sebagai neurofisiologi yang berhubungan dengan emosi, perasaan dan sesnsasi. Tepatnya
berkaitan dengan emosi yang kuat seperti kesedihan, nyeri dan kegembiraan serta kenangan yang
mendalam bagi seseorang (Yu-Ming Lai, 1999).
Terapi Musik memiliki efek terhadap gelombang alfa. Dengan sampainya stimulus dari musik
akan membentuk gelombang alfa yang sempurna dan merangsang pelepasan neurotransmiter
yaitu serotonin. Selanjutnya serotonin akan dirubah menjadi hormon melatonin yang
memberikan efek relaksasi dan perubahan mood sehingga dapat menurunkan depresi yang
dirasakan oleh pasien (Purbowinoto & Kartinah, 2011). Sejalan dengan Music Mood and
Movement therapy, sesampainya stimulus suara (musik) di sistem limbic, musik akan
memanggil memori ataupun kenangan yang mendalam bagi pasien sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan mood pada pasien. Maka pemilihan musik yang tepat pada pasien dapat
menjadikan efek terapeutik terhadap penurunan depresi pada pasien (Chan, et al., 2011)
Secara umum beberapa musik klasik dianggap memiliki dampak psikofisik yang menimbulkan
kesan rileks, santai, cenderung membuat detak nadi bersifat konstan, memberi dampak
menenangkan, dan menurunkan stress.

2.2.2. Terapi Murottal


1. Definisi Murottal
Murottal adalah rekaman suara Al-qur’an yang dilagukan oleh seorang qori (pembaca Al-
qur’an) (Siswantinah, 2011). Murottal juga dapat diartikan sebagai lantunan ayat-ayat
suci Al-qur’an yang dilagukan oleh seorang qori (pembaca Al-qur’an), direkam dan
diperdengarkan dengan tempi yang lambat serta harmonis (Purna, 2006). Lantunan ayat-
ayat Al-qr’an secara fisik mengandung unsur-unsur manusia yang meruoakan instrumen
penyembuhan dan alat yang paling mudah dijangkau. Suara dapat menurunkan hormon-
hormon stress, mengaktifkan hormon endofrin alami, meningkatkan perasaan rileks,
memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta
memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan aktivitas gelombang otak
(Heru, 2008).
2. Manfaat Terapi Murottal
Lantunan murottal merupakan adaptasi insturmen suara manusia. Suara dapat
menurunkan hormon-hormon endofrin alami, meningkat perasaan rileks, mengalihkan
perhatian, rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga
menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi,
dan aktivitas gelombang otak (Heru, 2008).

3. Indikasi Terapi Murottal


Terapi murottal diberikan kepada klien yang mengalami kesehatan jiwa berupa
halusinasi pendengaran, klien yang mengalami kecemasan, nyeri, kesedihan,
dan digunakan untuk berbagai macam penyakit serta meningkatkan kesehatan jiwa
(Hidayat, 2013)
4. Mekanisme Terapi Murottal Al-Qur’an Dalam Menurunkan Halusinasi
Terapi dengan alunan bacaan Al-Qur’an dapat dijadikan alternatif terapi baru
sebagai terapi relaksasi bahkan lebih baik dibandingkan dengan terapi audio
lainnya karena stimulan Al-Qur’an dapat memunculkan gelombang delta sebesar
63,11% (Abdurrachman & Andhika, 2008) dalam (Zainuddin & Hashari, 2019).
Ketika klien di dengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an gelombang suara yang
masuk menciptakan sekelompok frekuensi yang mencapai telinga kemudian
bergerak ke sel-sel otak dan mempengaruhinya melalui medan-medan
elektromagnetik, frekuensi ini yang dihasilkan dalam sel-sel ini akan merespon
medan-medan tersebut dan memodifikasi getaran-getarannya. Perubahan pada
getaran inilah yang mampu membuat otak menjadi rileks dan tenang sehingga dapat
mengurangi halusinasi (Zainuddin & Hashari, 2019)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

HALUSINASI Faktor Penyebab


Halusinasi Pendengaran

HALUSINASI Tanda gejala halusinasi


PENDENGARAN Penderangaran

Implementasi terapi musik


klasik dan terapi murottal

Penurunan Tanda dan


Gejala Halusinasi
Pendengaran EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
Aldridge, D. (2008). Melody in musik therapy: a therapeutic narrative analysis. London: Jessica
Kingsley Publisher.
Campbell, D. (2001). Efek mozart memanfaatkan kekuatan musik untuk mempertajam pikiran,
meningkatkan Kreativitas, dan menyehatkan Tubuh(Hermaya, Penerjemah.). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
ucci, K., & Mucci, R. (2002). The healing sound of musik: manfaat musik untuk kesembuhan,
kesehatan, dan kebahagiaan hidup(Prakoso, Penerjemah.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. bandung: PT Revika Aditama.
Ishaq, A. M. (2022). Penerapan Terapi Murottal Al-Qur’an Dalam Menangani Gangguan
Halusinasi Pendengaran Pada Klien Nn. V 44 Tahun (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Malang).
Nuraeni dkk. (2009). Hubungan aplikasi caring dengan asuhan keperawatan klien dengan
halusinasi dengar di RSJ Soeharto Heerdjan.

Anda mungkin juga menyukai