Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR EKSTREMITAS

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang
patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan
lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupiur tendo, kerusakan saraf,
dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya
yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Brunner & Suddarth,
2012).

B. ETIOLOGI
a Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
b Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
(Parahita dan Kurniyanta, 2013)
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.)
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan
justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan
patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada
gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien
mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut (Brunner & Suddarth,
2012).
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpenito, Lynda Juall, 2009).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.

E. PATHWAY

(Nurarif, 2013)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan ronsen: Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur; juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemqkonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respons stres normal setelah trauma.
e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multipel, atau cedera hati

G. KOMPLIKASI
a. Komplikasi Awal
Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi,
tromboemboli, (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian-beberapa minggu
setelah cedera; dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
1. Syok.
Syok hipevolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra.
Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur dan pelvis.
Penanganan meliputi mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang
diderita pasien, memasang pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari
cedera lebih lanjut.
2. Sindrom Emboli Lemak.
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multipel, atau cedera remuk,
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada, dewasa muda (20 sampai 30 tahun)
pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin
yang dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal, dan organ lain. Awitan
gejalanya, yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu
setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam.
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia. Gangguan
serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari
agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai
respons terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
Respons pernapasan meliputi takipnea, dispnea, krepitasi, mengi, sputum putih
kental banyak, dan takikardia.
Gas darah menunjukkan PO2 dibawah 60 mm Hg, dengan alkalosis respiratori lebih
dulu dan kemudian asidosis respiratori. Sinar-x dada menunjukkan infiltrat klias
"badai salju." Maka terjadi sindrom distres pernapasan dewasa dan gagal jantung.
3. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan
karena (1) penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus
otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau (2) peningkatan isi
kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (mis. iskemia. cedera remuk, penyuntikan bahan penghancur [toksik]
jaringan). Kompartemen lengan bawah atau tungkai paling sering terkena.
Kontraktur Volkaman merupakan contoh dari komplikasi ini.
Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan, yang tak dapat
dikontrol dengan opioid. Palpasi pada otot, bila memungkinkan, akan terasa
pembengkakan dan keras.
Pencegahan dan Penatalaksanaan. Sindrom kompartemen dapat dicegah dengan
mengontrol edema, yang dapat dicapai dengan meninggikan ekstremitas yang
cedera setinggi jantung dan memberikan kompres es setelah cedera sesuai resep.
Bila telah terjadi sindroma kompartemen, balutan yang ketat harus dilonggarkan.
Fasiotomi (eksisi bedah membran fibrus yang menutupi dan membagi otot)
mungkin diperlukan bila upaya konservatif tak dapat mengembalikan perfusi
jaringan dan mengurangi nyeri dalam 1 jam.
4. Komplikasi Awal Lainnya: Tromboemboli, infeksi (semua fraktur terbuka
dianggap mengalami kontaminasi), dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID)
merupakan kemungkinan komplikasi akibat fraktur. KID meliputi sekelompok
kelainan perdarahan dengan berbagai penyebab, termasuk trauma masif.
Manifestasi KID meliputi ekimosis, perdarahan yang tak terduga setelah
pembedahan, dan perdarahan dari membran mukosa, tempat tusukan jarum infus,
saluran gastrointestinal dan kemih.

b. Komplikasi Lambat
1. Penyatuan Terlambat atau Tidak Ada Penyatuan.
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan
normal untuk jenis, dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin
berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang.
Pada akhirnya fraktur menyembuh.
Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahau
tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap pada tempat
fraktur. Faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada
tempat fraktur; imerposisi jaringan di antara ujung-ujung tulang; imobilisasi dan
manipulasi yang tidak memadai, yang menghentikan pembentukan kalus; jarak
yang terlalu jauh antara fragmen tulang (gap tulang); kontak tulang yang terbatas;
dan gangguan asupan darah yang mengakibatkan nekrosis avaskuler.
2. Nekrosis Avaskuler Tulang.
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Dapat
terjadi setelah fraktur (khususnya pada kolum femoris), dislokasi, terapi
kortikosteroid dosis-tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit,
dan penyakit lain. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti
dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak. Sinar-x
menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps struktural. Penanganan umumnya
terdiri atas usaha mengembalikan vitalitas tulang dengan graft tulang, penggantian
prostesis atau artrodesis (penyatuan sendi).
3. Reaksi terhadap Alat Fiksasi Interna.
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun
pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala.
Nyeri dar penurunan fungsi merupakan indikator ulama telah terjadinya masalah.
Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tak
memadai); kegagalan material (alat yang cacat atau rusak); berkaratnya alat,
menyebabkan inflamasi lokal; respons alergi terhadap campuran logam yang
dipergunakan; dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi (stres yang
dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut, mengakibatkan
osteoporosis disuse) ( Brunner & Suddarth, 2012).

H. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera
sebelum pasien dipindahkan bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan
dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga
diatas dan di bawah tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi.
Gerakan frgmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari
gerakan fragmnen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting
untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan dengan
membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi
ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang
cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut
erdih atau steril untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan
sekali-kali melakukan reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.
b. Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
a. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup, fraksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode yang dipilih tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip
yang mendasari sama. Sebelu reduksi dan imobilisasi fraktur pasien harus
dipersiapkan: ijin melakukan prosedur, analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan
anestasi.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya
dengan manipulasi dan trksi manual.
b. Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi yang
disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
c. Reduksi terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya.
d. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi dan
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi
kontinyu, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
e. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu segera
bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan
ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan
setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai
dengan batasan terapeutik.

c. Perawatan Pasien Fraktur tertutup


Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahan untuk kembali kepada aktifitas biasa
sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan
mobilitas memerlukan waktu berbulan-bulan. Pasien diajari mengontrol
pembengkaa dan nyeri, mereka diorong untuk aktif dalam batas imoblisasi fraktur .
pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat-obatan, pemantauan
kemungkinan potensial masalah, sdan perlunya supervisi perawatan kesehatan.

d. Perawatan Pasien Fraktur Terbuka


Pada fraktur terbuka (yang berhubungan luka terbuka memanjang sampai ke
permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat resiko infeksi-osteomielitis,
gas gangren, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah untuk meminimalkan
kemungkina infeksi luka , jaringan lunak da tulang untuk mempercepat
penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien dibawa ke ruang operasi, dilakukan
usapan luka, pengangkatan fragmen tulang mati atau mungkin graft tulang (Brunner
& Suddarth, 2012).

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)
1. A : Airway, dengan kontrol servikal
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus
di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafasharus memproteksi
tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan
gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan
airway definitif
2. B : Breathing
Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin ventilasi
yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding
dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m
lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag
3. C : Circulation
Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini adalah
volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi
permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka.
Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit
darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan.

4. D : Disability
Menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap
keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal .

5. E : Exposure
Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara menggunting,
guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa
pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
J. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
4. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

• Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
• Cape au lait spot (birth mark).
• Fistulae.
• Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
• Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
• Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
• Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu
dicatat adalah:
• Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill
time Normal > 3 detik
• Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
• Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.

c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)


Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum
dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut b.d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
b. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah ke jaringan
c. Kerusakan integritas kulit b.d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
d. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
e. Resiko syok hipovelemik b.d kehilangan volume darah akibat trauma
(Nurarif, 2013)

L. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas,
tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan
relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, gips, bebat Mengurangi nyeri dan mencegah
dan atau traksi malformasi.

2. Tinggikan posisi ekstremitas yang


Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
mengurangi edema/nyeri.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak


Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk


Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan
menurunakan area tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi)
kelelahan otot.

5. Ajarkan penggunaan teknik


Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
manajemen nyeri (latihan napas
meningkatkan kontrol terhadap nyeri
dalam, imajinasi visual, aktivitas
yang mungkin berlangsung lama.
dipersional)

Menurunkan edema dan mengurangi rasa


6. Lakukan kompres dingin selama fase
nyeri.
akut (24-48 jam pertama) sesuai
keperluan.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme
7. Kolaborasi pemberian analgetik penghambatan rangsang nyeri baik secara
sesuai indikasi. sentral maupun perifer.
T
u Menilai perkembangan masalah klien.
Evaluasi keluhan nyeri (skala,
j
petunjuk verbal dan non verval,
u
perubahan tanda-tanda vital)
a
n
:

K
l
b. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah ke
jaringan
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik
dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa
bergerak secara aktif
INTERVENSI RASION
KEPERAWATAN AL

1. Dorong klien untuk secara Meningkatkan sirkulasi darah dan


rutin melakukan latihan mencegah kekakuan sendi.
menggerakkan jari/sendi distal
cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi Mencegah stasis vena dan


akibat tekanan bebat/spalk sebagai petunjuk perlunya
yang terlalu ketat. penyesuaian keketatan
bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan


3. Pertahankan letak tinggi menurunkan edema kecuali pada
ekstremitas yang cedera adanya keadaan hambatan aliran
kecuali ada kontraindikasi arteri yang
adanya sindroma menyebabkan
kompartemen. penurunan perfusi.
Mungkin diberikan sebagai upaya
4. Berikan obat antikoagulan profilaktik untuk menurunkan
(warfarin) bila diperlukan. trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan
5. Pantau kualitas nadi perifer, masalah klien dan perlunya
aliran kapiler, warna kulit dan intervensi sesuai keadaan klien.
kehangatan kulit distal
cedera, bandingkan dengan
sisi yang normal.
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas
pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat
mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan
melakukan aktivitas
INTERVENSI RASION
KEPERAWATAN AL

1. Pertahankan pelaksanaan Memfokuskan perhatian,


aktivitas rekreasi terapeutik meningkatakan rasa kontrol
(radio, koran, kunjungan diri/harga diri, membantu
teman/keluarga) sesuai menurunkan isolasi sosial.
keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak Meningkatkan sirkulasi darah


pasif aktif pada ekstremitas muskuloskeletal, mempertahankan
yang sakit maupun yang sehat tonus otot, mempertahakan
sesuai keadaan klien. gerak sendi, mencegah
kontraktur/atrofi dan mencegah
reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.

3. Berikan papan penyangga


Mempertahankan posis
kaki, gulungan
fungsional ekstremitas.
trokanter/tangan sesuai
indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan


Meningkatkan kemandirian klien
diri (kebersihan/eliminasi)
sesuai keadaan klien. dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien.
5. Ubah posisi secara periodik
sesuai keadaan klien. Menurunkan insiden komplikasi
kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)

Mempertahankan hidrasi
adekuat, men-cegah komplikasi
6. Dorong/pertahankan asupan urinarius dan konstipasi.
cairan 2000-3000 ml/hari.

7. Berikan diet TKTP. Kalori dan protein yang cukup


diperlukan untuk
proses
penyembuhan dan
mem-
pertahankan fungsi fisiologis
tubuh.

8. Kolaborasi pelaksanaan Kerjasama dengan fisioterapis


fisioterapi sesuai indikasi. perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.

9. Evaluasi kemampuan Menilai perkembangan masalah


mobilisasi klien dan program klien.
imobilisasi.
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan
perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi,
mencapai penyembuhan luka sesuai
waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI RASION
KEPERAWATAN AL

1. Pertahankan tempat tidur Menurunkan risiko


yang nyaman dan aman kerusakan/abrasi kulit yang lebih
(kering, bersih, alat tenun luas.
kencang, bantalan bawah
siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah Meningkatkan sirkulasi perifer dan


22

penonjolan tulang dan area meningkatkan kelemasan kulit


distal bebat/gips. dan otot terhadap tekanan yang
relatif konstan pada imobilisasi.

3. Lindungi kulit dan gips pada Mencegah gangguan integritas


daerah perianal kulit dan jaringan akibat
kontaminasi fekal.

4. Observasi keadaan kulit, Menilai perkembangan masalah


penekanan gips/bebat klien.
terhadap kulit, insersi
pen/traksi.
(Nurarif, 2013)
M. DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. (2012). Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8
vol.3. EGC. Jakarta
American College of Surgeons Comittee on Trauma. (2008). Advanced
Trauma Life Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual.
8th ed. Chicago, IL : American College of Surgeons
Carpenito, L J. (2009). Diagnosis Keperawatan Aplikasi pada Praktik
Klinis. Jakarta : EGC
Parahita , Putu Sukma, dan Kurniyanta, Putu. (2013). Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan Pada Cedera Fraktur Ekstrimitas. Universitas
Udayana
Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan.
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA. Yogyakarta : Media
Action Publishing

Anda mungkin juga menyukai