Anda di halaman 1dari 23

ASKEP TB PARU

1 Pengertian TB Paru

TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

2 Etiologi

Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman ini


berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa
tahun.

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang
dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman
TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular.

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis :

1. Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan

secara genetik.

2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian

dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.

3. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.

4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat,

kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.

5. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang
nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik)

6. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan

memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.

7. Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih

mudah.

8. Nutrisi ; status nutrisi kurang

9. Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.

10.Tidak mematuhi aturan pengobatan.

3 Patofisiologi

Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah
droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari
atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke
udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung
dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka
orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara
disebut dengan air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan
mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi
implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan
fokus ini disebut fokus primer atau lesi primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada
jaringan limfe regional, yang bersama dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer.
Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes
tuberkulin atau tes Mantoux.

Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai
jalan, yaitu:

1) Percabangan bronkhus

Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi
laring), maupun ke saluran pencernaan.

2) Sistem saluran limfe

Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung


mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan
tuberkulosis milier.
Aliran darah

Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkut material
yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui
aliran darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.

Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan
bakteri tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur.
Ketika suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang
melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat
aktif kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi
ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer
juga dapat diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru),
bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi
pasca-primer terutama berada di daerah apeks paru.

Infeksi Primer

Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi
spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan
membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks
primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa
bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu
yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi
primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati


Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap
menular (WHO 1996).

Pengaruh Infeksi HIV

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular
Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

4 Klasifikasi TB Paru

Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :

1. 1. Berdasarkan organ yang terinvasi


1. a. TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB
Paru dibagi menjadi 2, yaitu :
1. TB Paru BTA Positif

Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
(Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai
pemeriksaan radiologi paru menunjukan gambaran TB aktif.

2. TB Paru BTA Negatif

Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan pemeriksaan radiologi
dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi
positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni kerusakan
luas dianggap berat.

1. b. TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :

a) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal

b) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang,


TB saluran kencing dan alat kelamin.
1. Berdasarkan tipe penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
penderita :

1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
2. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan BTA positif.
3. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali berobat.

PERBEDAAN TB ANAK DAN DEWASA

1. TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks
dan infra klavikuler
2. Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran
kelenjar limfe regional
3. Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis
4. Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang

5 Manifestasi Klinis

Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3, diantaranya:

1. Gejala respiratorik, meliputi:

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah
ada kerusakan jaringan.

b.Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-
bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak
terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.

c.Sesak nafas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang
menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.

d. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik meliputi:

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip
demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa
bebas serangan makin pendek.

b. Gejala sistemik lain :

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan
akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia.

1. 3. Gejala Tuberkulosis ekstra Paru

Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa. Meningitsis


tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.

Gejala klinis Hemoptoe :

Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara

membedakan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif

2. Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif

3. Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu
orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang “suspek
tuberkulosis” atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya.

6 Pemeriksaan Diagnostik

6.1 Pemeriksaan sputum (S-P-S)

Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan tersebut akan
ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi
terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga
dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk
mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal
ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak
+ 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan
obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa
juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar
mungkin. Bila sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman bant dapat dkcmukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar,
sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman
BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum Hasil
pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000
kuman/ml sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan
diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan
waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.

Rekomendasi WHO skala IUATLD :

1. Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative


2. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3. Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+

6.2 Pemeriksaan tuberculin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan
sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam "Screening
TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari
90%.

Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif
100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%.
Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji
tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun
sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke
dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

6.3 Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan
pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus
mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus.
Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya
bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang
jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih
jelas dengan pemberian kontras.

Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini
bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat
antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang
lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada
penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit
akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.

6.4 Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang


ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal,
kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler,
bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks,
penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan
pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk
mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan
Rontgen thoraks biasa.

6.5 Radiologis TB Paru Milier

TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier
subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh
invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang
berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan
rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat
terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat
sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus
atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada
saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan
masing-masing berupa garis-garis tajam.

6.6 Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi
bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan yang lainnya
harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan
kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang
percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.
Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang sensitif
adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan
peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.

7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :

7.1 Pencegahan Tuberkulosis Paru

 Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis,
dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax
diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi.
Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
 Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi
tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni
rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
o Vaksinasi BCG
o Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu
pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan
bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin
positif karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja
di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan
penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes
tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan
steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
o Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia – PPTI).

7.2 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :

1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat


2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap
bakteri tahan asam.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu

1. 1. Fase intensif (2-3 bulan) :

Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya
dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang
biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis.
Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint
Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan
yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15
mg/kgBB.

1. 2. Fase lanjutan (4-7 bulan).

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang.
Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko
terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British
Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis
paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.

Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang
terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-
kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).

Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai
dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam
program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:

1. 1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat
seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral,
spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi
kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan
minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4
bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan
).

1. 2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :

1. Penderita kambuh
2. Penderita gagal terapi
3. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
4. 3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )

Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di
luar paru selain yang disebut dalam kategori I.

4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
keberhasilan rendah sekali.

Obat-obatan anti tuberkulostatik

1. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah.
Seperti rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan,
kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati
perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti
diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini
perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek
samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.

2. Rifampisin : merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.


Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada
kontra indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi
gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi
biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi
gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit hati. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati
sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid,
fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan
berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.

3. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang
aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau
tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena
penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis.
Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.

4. Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi.


Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang
tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15
mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada
pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30
mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang
sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan
penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau
bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila
hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini
sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-
anak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa
melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum
pengobatan.

5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus


resistensi. Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat
badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk
pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan
diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk anak
diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan
yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh
dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang
disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang
tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid
generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan
protionamid.

Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis

Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB (mg/kgBB)
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15

Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50

Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15

Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

Kombinasi dosis combination ( fixed dose combination )

1. Dosis tiap hari :


o RHZE : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (400 mg) + E (75 mg)
o RHZ : R (150 mg) + H (75 mg) + Z (450 mg)
o RH : R (300 mg) + H (150 mg)

R (150 mg) + H (75 mg)

 EH : H (150 mg) + E (400 mg)


 RHZ : R (150 mg) + H (150 mg) + Z (500 mg)
 RH : R (150 mg) + H (150 mg)
1. Dosis 3X/ minggu :

2.7 Komplikasi

Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi,
diantaranya :

1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.


2. Komplikasi lanjut :

 Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis)


 Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.

2.8 WOC (Web of Caution)

DOWNLOAD : WOC ASKEP TB PARU

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :

3.1.1 Identitas

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. 1. Keluhan utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Keluhan respiratoris, meliputi:


- Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah

- Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak,
berupa garis, atau bercak-bercak darah

- Sesak napas

- Nyeri dada

Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang
dikeluarkan:

- Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.

- Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.

- Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.

2) Keluhan sistematis, meliputi:

- Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan
semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin
pendek

- Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan
malaise.

2. Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi
pengkajian.

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah
sesak napas berkurang apabila beristirahat?

Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah
rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam
mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?

Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?

Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?

Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah
timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang
dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama
kali timbul (onset).

1. 3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes
mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang
relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai
di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam
enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan
proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan
karena meminum OAT.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit
ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.

5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat
ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual
yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat
sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.

6. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per system
dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2
dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital


Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan
menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang
kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau
koma.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti
hipertensi.

B1 (Breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi

Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-
posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti
adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat
bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa
komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian,
jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot
bantu napas.

Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya
didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi
sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai
adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.

Palpasi

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat
dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB
paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.

Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di
dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring
arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan,
teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus.

Perkusi

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan
atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi
seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai
banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi
paru ke sisi yang sehat.

Auskultasi

Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica
disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.

B2 (Blood)

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.

Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.

Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura
masif mendorong ke sisi sehat.

Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.

B3 (Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
fifampisin.

B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak
teratur.

3.2. DIAGNOSA

Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :

1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah,
upaya batuk buruk, dapat ditandai dengan:

- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.

Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.-

Dispnoe.-

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan penurunandengan permukaan efektif,


atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema
bronchial.
2. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan
primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan /
penekanan proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari
pemajanan patogen.
3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
4. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus
diminum.
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema tracheal / faringeal dapat ditandai dengan:

- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.

- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.

- Dispnoe.

 Rencana jangka pendek :

- Membersihkan nafas pasien.

- Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

 Rencana jangka panjang : Menunjukan perilaku untuk memperbaiki /


mempertahankan bersihan jalan nafas.

Rencana keperawatan

1.
1. Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien untuk latihan nafas
dalam.
2. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai dengan keperluan.
3. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum dan adanya hemoptisis.
4. Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman
serta penggunaan otot aksesori.

Rasionalisasi

1.
1. Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi meksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.

1. Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ; efek infeksi dan atau
tidak adekuat hydrasi ) sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh
kerusakan ( kapitasi ) paru atau luka bronkial, dan dapat memerlukan evaluasi /
intervensi lanjut.

1.
1. Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak
mampu mengeluarkan sekret.
2. Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi,
menunjukan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan
nafas yang dapat menimbulkan pengguanaan otot aksesori pernafasan dan
peningkatan kerja pernafasan.

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif,


atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema
bronchial.

 Rencana jangka pendek : Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan


adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
 Rencana jangka panjang : Bebas dari gejala distres pernafasan.

Rencana tindakan.

1. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai
dengan keperluan.
2. Tunjukan / dorong bernafas bibir selama ekhalasi, khususnya untuk pasien dengan
fibrosis atau kerusakan parenkhim.
3. Kaji diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi nafas, peningkatan
upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada & kelemahan.
4. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan / atau perubahan pada
warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.

Rasionalisasi.

1. Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat


menurunkan beratnya gejala.
2. Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps / penyempitan jalan
nafas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan /
menurunkan nafas pendek.
3. TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneomonia
sampai inflamasi difus luas, necrosis, effusi pleural dan fibrosis luas, efek pernafasan
dapat dari ringan sampai diespnoe berat sampai diestres pernafasan.
4. Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital
dan jaringan.

3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan


primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis penurunan pertahanan / penekanan proses
imflamasi, malnutrisi,sekret, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.

 Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan


resiko penyebaran infeksi.
 Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
Rencana tindakan.


1. Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tissue &
menghindari meludah di tempat umum serta tehnik mencuci tangan yang
tepat.
2. Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi infeksi melalui bronchus
untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan
potensial penyebaran melalui droplet udara selama batuk, bersin,
meludah,bicara, dll.
3. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, anggota, sahabat
karib / teman.

Rasionalisasi.

1. Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi dapat membantu


menurunkan rasa terisolir pasien & membuang stigma sosial sehubungan dengan
penyakit menular.
2. Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi program pengobatan
untuk mencegah pengaktifan berulang / komplikasi. pemahaman begaiman penyakit
disebarkan & kesadaran kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat
mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain.
3. Orang – orang yang terpajan ini perlu program therapy obat untuk mencegah
penyebaran infeksi.

4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan


peningkatan suhu tubuh (hypertermi).

 Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk menurunkan suhu


tubuh.
 Tujuan jangka panjang : Meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan
kenyamanan.

Rencana tindakan :

1. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus


2. Monitoring perubahan suhu tubuh
3. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses
peradangan (inflamasi)
4. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga
metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar

Rasionalisasi :
1. Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh.
Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
2. Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan
kemajuan dari pasien.
3. Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)
4. Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem
imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.

5. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus
diminum

 Tujuan jangka pendek : memperbaiki gejala, mengurangi resiko infeksi.


 Tujuan jangka panjang : terapi regimen obat

Rencana tindakan :


1. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian kombinasi obat.
2. Kaji dari efek penggunaan regimen terapi.
3. Berikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang ketidakteraturan
berobat akan menyebabkan resistensi.

Rasionalisasi :

1. Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi berbagai obat (obat


antituberkulosis/ OAT) yang diberikan selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan
sembuh.
2. Efek dari penggunaan regimen terapi dapat menyebabkan berbagai komplikasi.
3. Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan dengan fase TB paru.
Sehingga ketidakteraturan akan menyebabkan resiko resistensi.

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.

http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html diakses pada


tanggal 16 November 2010

http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru diakses pada tanggal 16


November 2010

Anda mungkin juga menyukai