Rangkuman tugas
Disusun oleh:
Ketri Diokta Lara
1.Azas
Menurut WHO (1991) adalah to Add life to the Years that Have Been Added to life, dengan
prinsip kemerdekaan (independence), partisipasi (participation), perawatan (care),
pemenuhan diri (self fulfillment), dan kehormatan (dignity).
Azas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI adalah Add life to the Years, Add Health to
Life, and Add Years to Life, yaitu meningkatkan mutu kehidupan lanjut usia, meningkatkan
kesehatan, dan memperpanjang usia.
2.Pendekatan
Menurut World Health Organization (1982), pendekatan yang digunakan adalag sebagai
berikut :
3.Jenis
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lim upaya kesehatan, yaitu
Promotif, prevention, diagnosa dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan, serta pemulihan.
Promotif
Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan
klien, tenaga profesional dan masyarakat terhadap praktek kesehatan yang positif menjadi
norma-norma sosial.Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia sebagai berikut :
Mengurangi cedera
Meningkatkan keamanan di tempat kerja
Prinsip
Pada tahun 2000 jumlah lansia diproyeksikan sebesar 7,28% dan pada tahun 2002
menjadi sebesar 11,34% (BPS,1992). Data Biro Sensus Amerika Serikat
memperkirakan Indonesia akan mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar di
seluruh dunia pada tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414% (Kinsella dan
Taeuber,1993).
Menurut Dinas Kependudukan Amerika Serikat (1999), jumlah populasi lansia
berusia 60 tahun atau lebih diperkirakan hamper mencapai 600 juta orang dan
diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050, saat itu lansia akan melebihi
jumlah populasi anak (0-14 tahun). Proyeksi penduduk oleh Biro Pusat Statistik
menggambarkan bahwa antara tahun 2050-2010 jumlah lansia akan sama dengan
jumlah anak balita yaitu sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk.
Kesejahteraan penduduk usia lanjut karena kondisi fisik dan/atau mentalnya tidak
memungkinkan lagi untuk berperan dalam pembangunan, maka lansia perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat (GBHN, 1993).
a. Permasalahan Umum
1) Makin besar jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan.
2) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia
lanjut kurang diperhatikan,dihargai dan dihormati.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industry.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut
usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan
lansia.
b. Permasalahan Khusus
1) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik
fisik,mental maupun sosial.
2) Berkurangnya integrasi sosial usila.
3) Rendahnya produktifitas kerja lansia.
4) Banyaknya lansia yang miskin,terlantar dan cacat.
5) Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat
individualistic.
6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu
kesehatan fisik lansia.
1. Fenomena Bio-psico-sosio-spiritual dan Penyakit Lansia
a. Penurunan fisik
b. Perubahan mental
c. Perubahan-perubahan Psikososial
Gerontologi merupakan studi ilmiah tentang efek penuaan dan penyakit yang berhubungan
dengan penuaan pada manusia, meliputi aspek biologis, fisiologis, psikososial, dan aspek
rohani dari penuaan. Penuaan merupakan proses yang normal, dengan perubahan fisik dan
tingkah laku yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai tahap
perkembangan kronologis tertentu. (Stanley, 2007).
Geriatri merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari keadaan-keadaan
fisiologis dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan orang-orang lanjut usia dengan
fokus pada penuaan dini dan tatalaksana penyakit terkait usia lanjut.
Kamis,19 Maret 2020
Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan
kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia
lanjut , yang disebutnya sebagai a series of I’s. Mulai dari immobility (imobilisasi), instability
(instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan
intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan
pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga
immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh).
Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh penyakit kronik degeratif yang
kerap dialami para lanjut usia, yaitu:
b. Osteoporosis
c. Hipertensi
d. Diabetes Mellitus
e. Dimensia
f. Kanker
Terdapat beberapa tugas perkembangan keluarga dengan lansia menurut Friedman, Bowden,
dan Jones (2003) ialah:
Mempertahankan sebuah peraturan dalam kehidupan yang memuaskan. Tujuan dari
menerapkan peraturan yang sesuai untuk menjadikan kehidupan lebih bermanfaat bagi dirinya
dan anggota keluarga lainnya. Pasalnya, pada teori perkembangan dari Erikson di usia lanjut,
seseorang berada pada tahap integritas versus keputusasaan (Berman, Synder, dan Frandsen,
2012). Peraturan yang diterapkan menjadi sangat penting bagi lansia untuk meningkatkan rasa
integritas bagi kehidupan yang memuaskannya.Menyesuaikan diri dengan keadaan bahwa
pendapatan untuk kehidupan menjadi berkurang. Seorang lanjut usia akan mengalami masa
pensiun sehingga menyebabkan penurunan pendapatan bagi dirinya. Kondisi ini dapat
disesuaikan dengan kebutuhan hidup yang bersifat penting bagi kehidupan seorang lansia.
Seperti contoh, pendapatan atau tabungan yang dimiliki digunakan untuk menunjang
kesehatan, memenuhi kebutuhan nutrisi yang sesuai, serta kebutuhan akan rohani.Menjaga
hubungan pernikahan. Tujuan dari menjaga hubungan pernikahan untuk mempertahankan
kesejahteraan hidup dengan pasangannya. Berdasarkan teori Robert Peck pada tahun 1968,
salah satu tugas perkembangan lansia ialah mempertahankan kesejahteraan hidup agar dapat
merasakan kebahagiaan serta kepuasan hidup (Berman, Synder, dan Frandsen, 2012)
Menyesuaikan diri akan kehilangan pasangannya. Berdasarkan teori tugas perkembangan dari
Robert Peck dalam Berman, Synder, dan Frandsen (2012), yaitu transendensi ego.
Transendensi ego merupakan penerimaan terhadap kehilangan dari orang yang dicintainya atau
kematian pasangannya.Mempertahankan silsilah keluarga atau ikatan keluarga dari setiap
generasi. Tujuan dari mempertahankan ikatan di dalam keluarga untuk meningkatkan
hubungan yang akrab di antara anggota keluarga. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan
hidup bagi seorang lanjut usia ketika sedang berkumpul bersama keluarga.Mempertahankan
eksistensi di usia lanjut. Perubahan masa transisi yang terjadi pada seorang lansia membuatnya
tetap mempertahankan keberadaannya di dalam keluarga. Tujuannya untuk meningkatkan
integritas diri yang baik.Tugas-tugas perkembangan keluarga dengan lanjut usia memiliki
peran penting bagi seorang lanjut usia dalam membantu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Dengan kemampuan yang dimiliki seorang lanjut usia, peran anggota keluarga lain
untuk mempertahankan integrits diri yang baik bagi setiap individu lanjut usia.
Keperawatan Gerontik adalah Praktek perawatan yang berkaitan dengan penyakit pada proses
menua (KOZIER, 1987). Menurut Lueckerotte (2000) keperawatan gerontik adalah ilmu yang
mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan
status fungsional, perencanaan, implementasi serta evaluasi.
1 Guide Persons of all ages toward a healthy aging process (Membimbing orang pada segala
usia untuk mencapai masa tua yang sehat).
3. Respect the tight of older adults and ensure other do the same ( Menghormati hak orang
dewasa yang lebih tua dan memastikan yang lain melakukan hal yang sama).
4. Overse and promote the quality of service delivery (Memantau dan mendorong kualitas
pelayanan).
5. Notice and reduce risks to health and well being ( Memerhatikan serta mengurangi risiko
terhadap kesehatan dan kesejahteraan).
6. Teach and support caregives (Mendidik dan mendorong pemberi pelayanan kesehatan).
9. Offer optimism, encourgement and hope (Memberikan semangat, dukungan dan harapan).
11. Implement restorative and rehabilititative measures (Melakukan perawatan restoratif dan
rehabilitatif).
13. Asses, plan, implement and evaluate care in an individualized, holistic maner ( Mengkaji,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi perawatan individu dan perawatan secara
menyeluruh).
14. Link services with needs (Memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan).
15. Nurtuere futue gerontological nurses for advancement of the speciality (Membangun
masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli dibidangnya).
16. Understand the unique physical, emotical, social, spritual aspect of each other (Saling
memahami keunikan pada aspek fisik, emosi, sosial dan spritual).
17. Recognize and encourge the appropriate management of ethical concern (Mengenal dan
mendukung manajemen etika yang sesuai dengan tempatnya bekerja).
18. Support and comfort through the dying process (Memberikan dukungan dan kenyamanan
dalam menghapi proses kematian).
19. Educate to promote self care and optimal independence (Mengajarkan untuk
meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan yang optimal).
A. PENGERTIAN TERAPI
Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek, terstruktur, berorientasi, terhadap
masalah saat ini, dan bersifat terapi individu. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika
digabung dengan pendekatan perilaku. Kemudian terapi ini disatukan dan di kenal dengan
terapi perilaku kognitif. Terapi ini memerlukan individu sebagai agen yang berfikir aktif dan
berinteraksi dengan dunianya.
Tugas perawat adalah secara aktif dan langsung membantu klien mempertimbangkan
kembali stressor dan mengidentifikasi pola pemikiran atau keyakinan yang tidak akurat untuk
mengatasi masalah klien dari perspektif kognitif.
B. TUJUAN TERAPI
1. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menentang keakuratan
kognisi negative klien.
2. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap realitas
3. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu klien mengubah cara
berfikir atau mengembangkan pola pikir yang rasional
4. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang
maladaptive, pikiran yang mengganggu secara otomatis, serta proses pikiran tidak
logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada ikiran individu yang menentukan sifat
fungsionalnya (Videbeck, 2008)
5. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan dengan mengubah
cara berfikir maladaptive dan otomatis. Klien harus menyadari kesalahan cara
berfikirnya. Kemudian klien harus belajar cara merespon kesalahan tersebut
dengan cara yang lebih adaptif. Dengan presfektif kognitif, klien dilatih untuk
mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative. Cara
lain adalah dengan membantu klien mengidentifikasi kondisi negative, mencarikan
alternative, membuat skema, yang sudah ada menjadi fleksibel, dan mencari
kognisi perilaku yang baru dan lebih adaptif
6. Membantu menargetkan proses berfikir serta perilaku yang menyebabkan dan
mempertahankan panic dan kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan klien,
restrukturisasi kognitif, pernafasan relaksasi terkendali, umpan balik biologi,
mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing
7. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan
obsessive kompulsif dan selanjutnya mencegah responnya. Misalnya dengan cara
pelimpahan atau pencegahan respon, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi
distorsi kognitif melalui psikoedukasi
8. Membantu individu mempelajari respon relaksasi, membentuk hierarki situasi
fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap
mempertahankan respon relaksasi misalnya dengan cara desensitisasi sistematis.
Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah presepsi klien terhadap situasi
yang ditakutinya
9. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang berhasil bertahan
hidup dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara restrukturisasi kognitif
10. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system keyakinan yang
salah
11. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik untuk
meningkatkan aktifitas sosialnya
12. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal
C. INDIKASI TERAPI
Terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi psikiatri yang lazim, terutama:
1. Depresi (ringan sampai sedang)
2. Gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan
3. Individu yang mengalami stress emosional
4. Gangguan obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder) yang sering terjadi
pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan antidepresan
jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering
terjadi
5. Gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik)
6. Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder)
7. Gangguan makan
8. Gangguan mood
9. Gangguan psikoseksual
10. Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya
2 Terapi Aktivitas
Aktifitas sehari-hari yang harus dilakukan oleh lansia ada lima macam diantaranya
makan, mandi, berpakaian, mobilitas dan toieting (Brunner & Suddart, 2001). Untuk
memenuhi kebutuhan lansia diperlukan pengetahuan atau kognitif dan sikap yang dapat
mempengaruhi perilaku lansia dalam kemandirian pemenuhan kebutuhan ADL. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang,
semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik kemampuannya terutama
kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan ADL. Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek sehingga orang bisa
menerima, merespon, menghargai, bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ADL.
Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya perilaku perlu faktor
lain antara yaitu fasilitas atau sarana dan prasarana. Perilaku merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku itu terbentuk di dalam diri
seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) dan
faktor dari dalam diri seseorang yang bersangkutan (faktor internal). Oleh karena itu perilaku
manusia sangat bersifat kompleks yang saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk
perilaku pemenuhan kebutuhan ADL pada lansia. Setiap insan manusia merupakan makhluk
hidup yang unik yang tidak bisa sama atau ditiru satu sama lain, akan tetapi mempunyai satu
persamaan pada berbagai kebutuhan yang berdasarkan pada hirarki Maslow.
Pada saat ini lansia kurang sekali mendapatkan perhatian serius ditengah keluarga dan
masyarakat terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari/ ADL. Hal ini
disebabkan karena lansia mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga dan kemampuan
untuk merawat diri. sedangkan keluarga tidak mampu untuk membantu lansia. Maka rumah
jompo atau panti sosial dapat menjadi pilihan mereka.
Panti sosial atau panti werdha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lanjut
usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para
penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti (Darmodjo & Martono, 1999). Sedangkan
menurut Jhon (2008), panti werdha adalah tempat dimana berkumpulnya orang – orang lansia
yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala
keperluannya. Tempat ini ada yang dikelola oleh pemerintah dan ada yang dikelola oleh
swasta. Dirumah jompo para lansia akan menemukan banyak teman sehingga diantara
mereka saling membantu, saling memberikan dukungan dan juga saling memberikan
perhatian khususnya dalam pemenuhan kebutuhan ADL.
B. Manfaat
Manfaat Mempertahankan Activity Of Daily Living (ADL) Pada Lansia dapat
dirasakan secara fisiologis, psikologis dan sosial.
1. Manfaat fisiologis
a. Dampak langsung dapat membantu:
1) Mengatur kadar gula darah
2) Merangsang adrenalin dan noradrenalin
3) Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur
b. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan:
1) Daya tahan aerobik/kardiovaskuler
2) Kekuatan otot rangka
3) Kelenturan
4) Keseimbangan dan koordinasi gerak sehingga dapat mencegah terjadinya
kecelakaan (jatuh)
5) Kelincahan gerak
2. Manfaat psikologis
a. Dampak langsung dapat membantu:
1) Memberi perasaan santai
2) Mengurangi ketegangan dan kecemasan
3) Meningkatkan perasaan senang
b. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan:
1) Kesegaran jasmani dan rohani secara utuh
2) Kesehatan jiwa
3) Fungsi kognitif
4) Penampilan dan fungsi motoric
5) Keterampilan
3. Manfaat sosial
a. Dampak langsung dapat membantu:
1) Pemberdayaan usia lanjut
2) Peningkatan intregitas sosial dan kultur
b. Dampak jangka panjang meningkatkan:
1) Keterpaduan
2) Hubungan kesetiakawanan social
3) Jaringan kerja sama sosial budaya
4) Pertahanan peranan dan pembentukan peran baru
5) Kegiatan antargenerasi
4.Senam Lansia
1. PENGERTIAN
Menurut Hidayat (2002) senam didefinisikan sebagai suatu latihan tubuh yang dipilih
dan dikonstruk dengan sengaja, dilakukan secara sadar dan terencana, disusun secara
sistematis dengan tujuan meningkatkan kesegaran jasmani, mengembangkan keterampilan,
dan menanamkan nilai-nilai mental spiritual. Penelitian lain dikemukakan oleh Werner
(2000) yang menyebutkan bahwa senam adalah bentuk latihan tubuh pada lantai dan pada
alat yang dirancang untuk melungkatkan daya tahan, kekuatan, kelentukan, kelincahan,
koordinasi serta kontrol tubuh.
Lansia atau usia tua adalah periode dimana organisme telah mancapai kemasakan dalam
ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu (Ahmadi,
2009).
Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang
diterapkan pada lansia. Aktifitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan
tetap segar karena melatih tulang tetap kuat, memdorong jantung bekerja optimal dan
membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh.
6. KONTRAINDIKASI
- Klien dengan fraktur ekstremitas bawah atau bawah
- Klien dengan bedrest total
a) Definisi
Multipel sklerosis yang dulu disebut juga sklerosis diseminasi adalah penyakit
degeneratif, bersifat kronis dan progresif yang merusak myelin pada sususan saraf pusat
(Hickey, 2008)
Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif
dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis.
Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin yaklni adanya material lunak dan protein
disekitar serabut-serabut saraf otak. Myelin adah Substansi putih yang menutupi serabut saraf
yang berperan dalam konduksi saraf normal (konduksi salutatory).
MS merupakan salah satu gangguan neurologik dimana onset terjadinya multipel
sklerosis rata-rata terjadi di usia 20 dan 40 tahun. Multipel sklerosis umumnya terjadi pada
usia dewasa muda dan sekitar 20% mengalami onset awal di usia 40 dan 50 tahun. Penyakit
ini lebih sering terjadi wanita dari pada pria. sklerosis multipel berasal dari banyaknya
daerah jaringan parut (sklerosis) yang mewakili berbagai bercak demielinasi dalam sistem
saraf. Pertanda neurologis yang mungkin dan gejala dari sklerosis multipel sangat beragam
sehingga penyakit ini tidak terdiagnosis ketika gejala pertamanya muncul.
b) Etiologi
Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui secara pasti. Namun, para
ilmuwan memperkirakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya multipel
sklerosis. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan
virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991).
Kerusakan myelin pada MS mungkin terjadi akibat respon abnormal dari sistem
kekebalan tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari serangan organisme berbahaya
(bakteri dan virus).
- Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang / infeksi virus)
- Genetik
- Kelainan pada unsur pokok lipid mielin
- Racun yang beredar dalam CSS
- Infeksi virus pada SSP
Ada beberapa Faktor-faktor pemicu dan yang dapat memperburuk (eksaserbasi ) multipel
sklerosis yaitu :
- Kehamilan
- Infeksi yang disertai demam
- Stress emosional
- Cedera
c) Klasifikasi
Menurut Basic Neurologi (Mc. Graw Hill,2000),ada beberapa kategori sklerosis multipel
berdasarkan progresivitasnya adalah :
1. Relapsing Remitting sklerosis multipel
Ini adalah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan atau dua
puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat yang kemudian diikuti dengan
kesembuhan semu.Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat
penderita terlihat pulih.Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan
tingkat kepulihan sebelum terkena serangan.sebenarnya kondisinya adalah sedikit demi
sedikit semakin memburuk.jika sebelum terkena serangan hebat pertama penderita memiliki
kemampuan motorik dan sensorik, Hampir 70% penderita sklerosis multipel pada awalnya
mengalami kondisi ini, setelah beberapa kali mengalami serangan hebat, jenis sklerosis
multipel ini akan berubah menjadi Secondary Progressiv sklerosis multipel
2. Primary Progresssiv MS
Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk ada saat – saat penderita tidak
mengalami penurunan kondisi, namun jenis sklerosis multipel ini tidak mengenal istilah
kesembuhan semu. Tingkat progresivitanya beragam pada tingakatan yang paling parah,
penderita sklerosis multipel jenis ini biasa berakhir dengan kematian.
3. Secondary Progressiv sklerosis multipel
Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting sklerosis multipel. Pada jenis ini
kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv sklerosis
multipel.
4. Benign sklerosis multipel
Sekitar 20% penderita sklerosis multipel jinak ini. Pada jenis sklerosis multipel ini
penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada siapapun.
Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat sehingga para penderita
sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita sklerosis multipel.
d) Patofisiologi
Neuron atau sel saraf memiliki sebuah badan sel. Terdapat dua macam serabut saraf yang
keluar dari badan sel yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke
badan sel saraf sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan
yang lain. Akson ditutupi oleh lapisan lemak yang disebut lapisan myelin. Myelin merupakan
kumpulan sel Schwan yang berfungsi melindungi akson dan memberikan nutrisi. Sel Schwan
adalah sel glia yang membentuk selubung lemak. Myelin menfasilitasi dalam konduksi saraf.
Pada kasus multipel sklerosis pemicu terjadinya kerusakan myelin belum diketahui secara
pasti. Namun suatu teori menyatakan bahwa adanya serangan reaksi autoimun yang
disebabkan oleh infeksi virus dan toksin lingkungan serta dipengaruhi oleh faktor genetik
individu. Respon imun memicu kerusakan selaput myelin yang menyelimuti saraf pusat.
Proses yang disebut demyelinasi ini disertai dengan edema dan inflamasi. Adanya inflamasi
kronis dan terbentuknya jaringan parut menyebabkan konduksi impuls saraf menjadi
terganggu atau menjadi lambat. Antibodi myelin protein spesifik ditemukan di serum dan
cairan serebrospinal pada pasien yang menderita multipel sklerosis. Sel T limfosit merusak
myelin juga dilibatkan dalam proses autoimun untuk merusak myelin dan terjadi inflamasi.
Remyelinasi sel saraf dapat terjadi tapi prosesnya lambat dan dapat terjadi perbaikan
sehingga gejala yang terjadi dapat berkurang.
e) Manifestasi Klinis
Sindrom klinis pada MS secara klasik ditemukan adanya gangguan yang bersifat relaps
dan remisi yang mengenai traktus-traktus sistem saraf dengan onset pada usia muda , dengan
variasi gambaran klinis yang ditemukan sering beragam, variasi ini termasuk dalam hal onset
usia,manifestasi awal, frekuensi, berat ringannya penyakit dan gejala sisa relaps, tingkat
progresifitas dan banyaknya gejala neurology yang timbul.
Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau luasnya daerah system saraf
yang rusak (MS plak). Secara umum seorang dokter mencurigai suatu kasus MS bila
ditemukan gejala :
- Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan lebih dari 24 jam
dan berlangsung lebih dari 1 bulan, atau
- Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode paling sedikit 6
bulan
Multiple sclerosis memiliki kondisi yang sangat variabel dan gejala-gejalanya
bergantung pada area sistem syaraf pusat yang terserang. Tidak ada pola khusus pada MS dan
setiap penderita MS memiliki kekhasan gejalanya sendiri-sendiri, yang bentuknya dari waktu
ke waktu bervariasi dan tingkat keparahan serta jangka waktunya pun dapat berubah, dan
semua variasi dan perubahan itu dapat terjadi bahkan pada penderita yang sama. Gejala-
gejala umum tersebut adalah:
1. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada MS (21-
55%) dan berkembang/timbul hampir pada semua pasien MS. Biasanya pasien sering datang
dengan keluhan rasa baal atau kesemutan dimulai pada satu kaki yang merambat keatas
(ascending) pada satu sisi kemudian kesisi yang lain (kontra sisi).
- Penglihatan kabur
- Penglihatan membayang (diplopia)
- Neuritis optikal
- Pergerakan mata yang tak terkontrol
- kebutaan (sangat jarang terjadi)
- Hipestesi (baal), parestesi (kesemutan), disestesi (rasa terbakar). Hipestesi merupakan
gejala yang tersering muncul. Gangguan ini dapat timbul disemua daerah distribusi,
satu atau lebih dari satu anggota gerak,wajah atau badan (trunkal).
2. Gangguan Motorik
Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus MS dan lebih dari 60% kasus MS
mempunyai gejala motorik.Gangguan motorik terjadi akibat terlibatnya traktus piramidalis
yang menyebabkan kelemahan,spastisitas, gangguan gerakan tangkas, dan hiperfleksi.
Gangguan ini dapat timbul akut atau kronik progresif dengan kelemahan satu atau lebih
anggota gerak, kelemahan otot wajah, kekakuan tungkai yang dapat menyebabkan gangguan
dalam berjalan dan keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan atau panas biasanya
menyebabkan gejala memburuk.
- hilang keseimbangan tubuh
- Gemetar (tremor)
- ketidakstabilan kemampuan berjalan (ataksia)
- kekakuan anggota tubuh
- gangguan koordinasi
- perasaan lemah: pada kasus tertentu hal ini dapat mempengaruhi kaki dan
kemampuan berjalan
- kekakuan otot yang dapat mempengaruhi mobilitas dan cara berjalan
f) Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS : Untuk mengungkapkan adanya ikatan
oligoklonal ( beberapa pita imunoglobulin G [ IgG ] ), yang menunjukkan
abnormalitas immunoglobulin.
2. Pemeriksaan potensial bangkitan : dilakukan untuk memebantu memastikan luasnya
proses penyakit dan dan memantau perubahan penyakit.
3. CT scan : dapat menunjukkan atrofi serabral
4. MRI untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan
penyakit dan efek pengobatan.
5. Pemeriksaan urodinamik untuk mengetahui disfungsi kandung kemih
6. Pengujian neuropsikologik dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif.
( Mutaqin Arif, Asuhan keperawatan klien dangan gangguan system persyarafan,( 2008 )
hal 216 )
g) Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan farmakoterapi
1. Terapi obat untuk fase akut :
- Kortikosteroid dan ACTH : Digunakan sebagai agens anti-inflamasi yang dapat
meningkatkan konduksi saraf. Pemberian awal dapat dimulai dari Metilprednisolon 0.5-1
g IV selama 3 -7 hari dan dosisnya diturunkan 60mg perhari selama 3 hari berturut-turut
sampai 10 mg per hari. Dosis oral dapat diberikan sama dengan IV kecuali penurunan
dosis 60 mg selama 5-7 hari.
2. Terapi obat untuk menurunkan jumlah kekambuhan
- Beta interferon ( betaseron ) : Digunakan dalam perjalanan relapsing-remittting, dan
juga menurunkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi. Interferon tidak
dapat diberikan dengan dosis tunggal tetapi harus di kombinasikan dengan 3 jenis
obat yaitu alfa, beta dan gamma interferon. Alfa dan beta diproduksi dari sel yang
terinfeksi virus. Beta interferon menurunkan frekuensi kambuhnya MS. Rute
pemberian obat melalui subkutan dan lebih baik lagi pemberian melalui intratekal
atau IM. Dosis pada orang dewasa 3-9 juta unit SC 3x/minggu selama 6 bulan. Obat
lain yang dapat menurunkan frekuensi kambuhnya MS adalah : copolymer 1 dan
azathioprine.
3. Baklofen : sebagai agens antispasmodic merupakan pengobatan yang dipilih untuk
spastisitas. Klien dengan spastisitas beret dan kontraktur memerlukan blok saraf dan
intervensi pembedahan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
4. Imunosupresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan kondisi penyakit
5. Terapi obat lain : cycloscospamid, total limpoid irradiation ( TLI).
B. Terapi suportif
Terapi suportif diberikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mempertahankan
kondisi pasien agar tetap stabil. Fisioterapi dan terapi okupasi diberikan untuk
mempertahankan tonus dan kekuatan otot serta ditambah dengan obat untuk relaksasi otot
untuk mengurangi ketidaknyamanan dan nyeri karna spastik.
C. Blok saraf dan pembedahan : Dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan kontraktur
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
h) Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi pada multiple skleriosis adalah :
1. Disfungsi pernafasan
2. Infeksi kandung kemih, system pernafasan dan sepsis
3. Komplikasi dari imobilitas
i) Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Pada umunya terjadi pada orang-orang yang hidup di daerah utara dengan
temperatus tinggi, terutama pada dewasa muda (20-40th).
b. Keluhan Utama
Muncul keluhan lemah pada anggota badan bahkan mengalami spastisitas /
kekejangan dan kaku otot, kerusakan penglihatan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya klien pernah mengalami pengakit autoimun
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umunya terjadi demilinasi ireguler pada susunan saraf pusat perier yang
mengakibatkan erbagai derajat penurunan motorik, sensorik, dan juga kognitif
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan di antara keluarga yang pernah
menderita penyakit tersebut, yaitu kira-kira 6-8 kali lebih sering pada keluarga
dekat.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pada pola persepsi dan konsep
diri, didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,mudah marah
dan tidak kooperatif.perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit
mutiple sclerosis adalah adanya gangguan afek, berupa euforia. Keluhan lain
yang melibatkan gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya ingat dan
dimensia.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Klien dengan mutiple sclerosis umumnya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi,
hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan berhubungan dengan
bercak lesi di medula spinalis.
2. B1 (Breathing)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami gangguan
pada sistem pernapasan.pada beberapa klien yang telah lama menderita
mutiple sclerosis dengan tampak dari tirah baring lama, mengalami
gangguan fungsi pernapasan. Pemeriksaan fisik yang didapat mencakup
hal-hal sebagai berikut:
a. Inspeksi umum : didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan
untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, dan
penggunaan otot bantu napas.
b. Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri
c. Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru
d. Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti napas stridor,ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas
3. B2 (Blood)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami gangguan
pada sistem kardiovaskuler.akibat dari tirah baring lama dan inaktivitas
biasanya klien mengalami hipotensi postural.
4. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pengkajian fokus atau lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Inspeksi umum didapatkan
berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.
5. B4 (Bladder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortokospinalis menimbulkan
gangguan pengaturan spingtersehingga timbul keraguan, frekuensi dan
urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang
spatis.selalin itu juga timbul retensi dan inkontinensia.
6. B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
7. B6 (Bone)
Pada keadaan pasien mutiple sclerosisbiasanya didapatkan adanya
kesuliatan untuk beraktivitas karena kelemahan spastik anggota
gerak.kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara
asimetris pada keempat anggota gerak.merasa lelah dan berat pada satu
tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret
maju, dan pengontrolan yang kurang sekali. Klien dapat mengeluh
tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan terutama apabila ia
sedang berada di tempat tidur.keadaan spatis yang lebih berat disertai
dengan spasme otot yang nyeri.
2. Diagnosa
Hambatan mobilitas fisik berhubungan demngan kelemahan, paresis, dan
spastisitas
Resiko cedera berhubungan dengan kerusakan sensori dan penglihatan, dampak
tirah baring lama dan kelemahan spastic
Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan kelumpuhan saraf
perkemihan
Intervensi :
1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan, kaji
secara teratur fungsi motorik
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
2. Modifikasi peningkatan mobilitas fisik
Rasional : relaksasi dan koordinasi latihan otot meningkatkan efisiensi otot pada klien
multipel sklerosis.
3. Anjurkan teknik aktifitas dan teknik istirahat
Rasional : klien dianjurkan untuk melakukan aktifitas melelahkan dalam waktu
singkat, karena lamanya latihan yang melelahkan ekstremitas dapat menyebabkan
paresis, kebas, atau tidak ada koordinasi.
4. Ajarkan teknik latihan jalan
Rasional : Latihan berjalan meningkatkan gaya berjalan, karena umumnya pada
keadaan tersebut kaki dan telapak kaki kehilangan sensasi positif.
5. Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional : menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan.
6. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak
sakit
Rasional : Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta
memperbaiki funsi jantung dan pernapasan
7. Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit.
Rasional : otot volunteer akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih
untuk digerakan.
8. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi
Rasional : untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuannya
9. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
Rasional : peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ektremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapi
Kriteria hasil :
1. Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan trauma
2. Decubitus tidak terjadi
3. Kontraktur sendi tidak terjadi
4. Klien tidak jatuh dari tempat tidur
Intervensi :
1. Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi
Rasional : meminimalkan rangsangan nyeri akibat gesekkan antara fragmen tulang
dengan jaringan lunak disekitarnya
2. Berikan kacamata yang sesuai dengan klien
Rasional : tameng mata atau kacamata penutup dapat digunakan untuk memblok
implus penglihatan pada satu mata bila klien mengalami diplopia atau penglihatan
ganda
3. Minimalkan efek imobilitas.
Rasional : oleh karena aktifitas fisik dan imobilisasi sering terjadi pada multipel
sklerosis, maka komlikasi yang di hubungkan dengan imobilisasi mencakup
dekubitus dan langka untuk mencegahnya
4. Modifikasi pencegahan cedera
Rasional : pencegahan cedera dilakukan pada klien multipel sklerosis jika disfungsi
motorik menyebabkan masalah dalam tidak ada koordinasi dan adanya kekakuan
atau jika ataksia ada, klien resiko jatuh.
5. Modifikasi lingkungan
Rasional : untuk mengatasi ketidak mampuan, klien di anjurkan untuk dengan kaki
kosong pada ruang yang luas untuk menyediakan dasar yang luas dan untuk
meningkatkan kemampuan berjalan dengan stabil
6. Ajarkan teknik berjalan
Rasional : jika kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh, klien di anjurkan untuk
melihat kaki sambil berjalan
7. Berikan terapi okupasi
Rasional : terapi okupasi merupakan sumber yang membantu individu dalam
memberi anjuran dan menjamin bantuan untuk maningkatkan kemandirian
8. Meminimalkan resiko decubitus
Rasional : oleh karena hilangnya sensori dapat menyebabkan bertambahnya
kehilangan gerakkan motoric. Decubitus terus diatasi untuk inegritas kulit.
Penggunaan kursi roda meningkatkan resiko.
9. Inspeksi kulit dibagian distal setiap hari (pantau kulit dan membran mukosa
terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet-lecet)
Rasional : deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi resiko tinggi
kerusakan integritas kulit kemungkinan komplikasi imobilisasi
10. Minimalkan spastisitas dan kontraktur
Rasional : spastisitas otot biasa terjadi dan terjadi pada tahap lanjut, yang terlihat
dalam bentuk addukor yang berat pada pinggul, dengan spasme fleksor pada
pinggul dan lutut.
11. Ajarkan teknik latihan
Rasional : latihan setiap hari untuk menguatkan otot diberikan untuk meminimalkan
kontraktur sendi. Perhatian khusus diberikan pada otot-otot paha, otot
gatroknemeus, adductor, biseps dan pergelangan tangan, serta fleksor jari-jari
12. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki
Rasional : telapak kaki dalam posisi 90 derajad dapat mencegah footdrop
13. Evaluasi tanda/gejala perluasan cedera jaringan (peradangan lokal / sistemik,
sperti peningkatan nyeri, edema dan demam)
Rasional : menilai perkembangan masalah klien
c. Perubahan pola eliminasi urin yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf
perkemihan
Tujuan :
Dalam waktu 2 x 24 jam eliminasi urin terpenuhi
Kriteria hasil :
1. Pemenuhan eliminasi urin dapat dilaksanakan dengan atau tidak mengguanakan
keteter
2. Produksi 50 cc/jam
3. Keluhan eliminasi urin tidak ada
Intervensi :
1. Kaji pola berkemih dan catat urin setiap 6 jam
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Tingkatkan kontrol berkemih dengan cara berikan dukungan pada klien tentang
pemenuhan eliminasi urin, lakukan jadwal berkemih, ukur jumlah urin tiap 2 jam
Rasional : jadwal berkemih diatur awalnya setiap 1 sampai 2 jam dengan
perpanjangan interfal waktu bertahap. Klien diinstruksikan untuk mengukur
jumlah air yang di minum setiap 2 jam dan mencoba untuk berkemih 30 menit
setelah minum.
3. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih
Rasional : menialai perubahan akibat dari inkontinensial urin
4. Anjurkan klien untuk minum 2000 cc/hari
Rasional : mempertahankan funsi ginjal