Anda di halaman 1dari 36

TUGAS GERONTIK

Rangkuman tugas

Dosen Pengampu Mata Ajar:


Ns. Zahlimar.Z, S.Kep., M.Kep

Disusun oleh:
Ketri Diokta Lara

AKADEMI KEPERAWATAN SETIH SETIO MUARA BUNGO


TAHUN 2020
Kamis,05 Maret 2020
A.Perubahan Fisiologis Pada Penuaan
Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis dan fungsional yang
sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti), memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan
bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30
tahun (Martono, 2004). Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan
kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi (2000), pada lansia
terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya
ingat 61%, serta kelenturan tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang muncul
pada lansia dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh.
Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses penuaan antara lain:
1 Sistem panca-indera
Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan terdapat kesenggangan untuk
bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indera yang
dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan
kesatuan integrasi dari persepsi sensoris.
.2 Sistem muskuloskeletal
a. Otot
Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunnya kemampuan
aktivitas. Penurunan kemampuan aktivitas akan menyebabkan kelemahan serta atrofi dan
mengakibatkan kesuliatan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu aktivitas rutin
pada individu tersebut. Perubahan pada otot inilah yang menjadi fokus dalam penurunan
keseimbangan berkaitan dengan kondisi lansia.
b. Tulang
Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta
perlambatan remodeling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan
usia dua puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang lebih dipercepat pada
wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini
sebagai disebabkan oleh faktor usia dan disuse (Wilk, 2009).
c. Perubahan postur
Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan usia. Hal itu dapat dihubungkan
dengan keseimbangan dan resiko jatuh. Gangguan keseimbangan lansia disebakan oleh
degenerasi progresif mekanoreseptor sendi intervertebra. Degenerasi karena peradangan atau
trauma pada vertebra dapat menggangu afferent feedback ke saraf pusat yang berguna untuk
stabilitas postural. Banyak perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti spondilosis
servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang berusia 55 tahun keatas. Hal itu
berpengaruh terhadap penurunan stabilitas dan fleksibilitas pada postur (Pudjiastuti, 2003).
3 Sistem persarafan
a. Saraf pusat
Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan berat otak sebesar 10%. Berat
otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20
tahun, berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari
berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun.
Otak mengandung 100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan
impuls listrik dari susunan saraf pusat.
b. Saraf perifer
Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan (saraf motorik) dan sensasi
(saraf sensoris). Jaringan saraf ini berhubungan dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui
batang otak dan pada beberapa tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju berbagai bagian
tubuh. Saraf perifer membentuk komunikasi antara otak dan organ, pembuluh darah, otot dan
kulit. Perintah otak akan dihantarkan oleh saraf motor, dan informasi dihantar kembali ke
otak oleh saraf sensori.
B.Tingkat perawatan pada lansia
1. Pendekatan Fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang
dialami pasien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat
kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau
ditekan progresivitasnya.
Perawatan fisik secara umum bagi pasien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni :
- Pasien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa
bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masih mampu melakukan sendiri.
- Pasien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami
kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan pasien lanjut usia ini
terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk
mempertahankan kesehatannya. kebersihan perorangan (personal hygiene) sangat penting
dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila
kebersihan kurang diperhatikan.
2. Pendekatan Psikis
Perawat harus mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada
pasien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala
sesuatu yang asing dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknnya memiliki kesabaran
dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan. Perawat harus selalu memegang prinsip “Triple S”, yaitu sabar,
simpatik, dan service.
3. Pendekatan Sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam
pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien
lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Perawat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para lajut usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi,
misalnya jalan pagi, menonton film, atau hiburan-hiburan lain.
4. Pendekatan Spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan
Tuhan atau agama yang di anutnya, terutama bila pasien lanjut usia dalam keadaan sakit atau
mendekati kematian.
C.Tren dan Issue pelayanan kesehatan lansia

1.Azas

Menurut WHO (1991) adalah to Add life to the Years that Have Been Added to life, dengan
prinsip kemerdekaan (independence), partisipasi (participation), perawatan (care),
pemenuhan diri (self fulfillment), dan kehormatan (dignity).

Azas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI adalah Add life to the Years, Add Health to
Life, and Add Years to Life, yaitu meningkatkan mutu kehidupan lanjut usia, meningkatkan
kesehatan, dan memperpanjang usia.

2.Pendekatan

Menurut World Health Organization (1982), pendekatan yang digunakan adalag sebagai
berikut :

 Menikmati hasil pembangunan (sharing the benefits of social development)


 Masing-masing lansia mempunyai keunikan (individuality of aging persons)
 Lansia diusahakan mandiri dalam berbagai hal (nondependence)
 Lansia turut memilih kebijakan (choice)
 Memberikan perawatan di rumah (home care)
 Pelayanan harus dicapai dengan mudah (accessibility)
 Mendorong ikatan akrab antar kelompok/ antar generasi (engaging the aging)
 Transportasi dan utilitas bangunan yang sesuai dengan lansia (mobility)
 Para lansia dapat terus berguna dalam menghasilkan karya (productivity)
 Lansia beserta keluarga aktif memelihara kesehatan lansia (self help care and family
care)

3.Jenis

Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lim upaya kesehatan, yaitu

Promotif, prevention, diagnosa dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan, serta pemulihan.

 Promotif
Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan
klien, tenaga profesional dan masyarakat terhadap praktek kesehatan yang positif menjadi
norma-norma sosial.Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia sebagai berikut :

 Mengurangi cedera
 Meningkatkan keamanan di tempat kerja

Meningkatkan perlindungan  dari kualitas udara yang buruk

 Menibgkatkan keamanan, penanganan makanan dan obat-obatan


 Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut
 Preventif
o Mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier. Contoh pencegahan
primer : program imunisasi, konseling, dukungan nutrisi, exercise, keamanan di dalam
dan sekitar rumah, menejemen stres, menggunakan medikasi yang tepat.
o Melakukakn pencegahan sekuder meliputi pemeriksaan terhadap penderita
tanpa gejala. Jenis pelayanan pencegahan sekunder: kontrol hipertensi, deteksi dan
pengobatan kanker, skrining : pemeriksaan rektal, mamogram, papsmear, gigi, mulut.
o Melakukan pencegahan tersier dilakukan sesudah gejala penyakit dan cacat.
Jenis pelayanan mencegah berkembangnya gejala dengan memfasilisasi rehabilitasi,
medukung usaha untuk mempertahankan kemampuan anggota badan yang masih
bnerfungsi
 Rehabilitatif

Prinsip

 Pertahankan lingkungan aman


 Pertahankan kenyamanan, istirahat, aktifitas dan mobilitas
 Pertahankan kecukupan gizi
 Pertahankan fungsi pernafasan
 Pertahankan aliran darah
 Pertahankan kulit
 Pertahankan fungsi pencernaan
 Pertahankan fungsi saluran perkemihaan
 Meningkatkan fungsi psikososial
 Pertahankan komunikasi
 Mendorong pelaksanaan tugas

D.Demografi lanjut usia di Indonesia

Pada tahun 2000 jumlah lansia diproyeksikan sebesar 7,28% dan pada tahun 2002
menjadi sebesar 11,34% (BPS,1992). Data Biro Sensus Amerika Serikat
memperkirakan Indonesia akan mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar di
seluruh dunia pada tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414% (Kinsella dan
Taeuber,1993).
Menurut Dinas Kependudukan Amerika Serikat (1999), jumlah populasi lansia
berusia 60 tahun atau lebih diperkirakan hamper mencapai 600 juta orang dan
diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050, saat itu lansia akan melebihi
jumlah populasi anak (0-14 tahun). Proyeksi penduduk oleh Biro Pusat Statistik
menggambarkan bahwa antara tahun 2050-2010 jumlah lansia akan sama dengan
jumlah anak balita yaitu sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif terhadap


kesejahteraan yang terlihat dari Angka Harapan Hidup (AHH) yaitu :
AHH di Indonesia tahun 2000 : 67,5 tahun
Sebagaimana dilaporkan oleh Expert Committae on Health of the Erderly:
Di Indonesia akan diperkirakan beranjak dari peringkat ke sepuluh pada tahun 1980
ke peringkat enam pada tahun 2020, di atas Brazil yang menduduki peringkat ke
sebelas tahun 1980.
Pada tahun 1990 jumlah penduduk yang berusia 60 tahun kurang lebih 10 juta jiwa/
5.5% dari total populasi penduduk.
Pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 3x,menjadi kurang lebih 29 juta jiwa/11,4%
dari total populasi penduduk (lembaga Demografi FE-UI-1993).
Dari hasil tersebut diatas terdapat hasil yang mengejutkan yaitu:
1. 62,3% lansia di Indonesia masih berpenghasilan dari pekerjaannya sendiri.
2. 59,4% dari lansia masih berperan sebagai kepela keluarga.
3. 53% lansia masih menanggung bebean kehidupan keluarga.
4. Hanya 27,5% lansia mendapat penghasilan dari anak atau menantu.

Kesejahteraan penduduk usia lanjut karena kondisi fisik dan/atau mentalnya tidak
memungkinkan lagi untuk berperan dalam pembangunan, maka lansia perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat (GBHN, 1993).

Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh instansi pemerintah diantaranya pelayanan


kesehatan, sosial, ketenagakerjaan dan lainnya telah dikerjakan pada berbagai
tingkatan, yaitu tingkat individu lansia, kelompok lansia, keluarga, Panti Sosial
Tresna Wreda (PSTW), Sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar (primer), tingkat
pertama (sekunder), tingkat lanjutan, (tersier) untuk mengatasi permasalahan yang
terjadi pada lansia.
E.Permasalahan

a. Permasalahan Umum
1) Makin besar jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan.
2) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia
lanjut kurang diperhatikan,dihargai dan dihormati.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industry.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut
usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan
lansia.
b. Permasalahan Khusus
1) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik
fisik,mental maupun sosial.
2) Berkurangnya integrasi sosial usila.
3) Rendahnya produktifitas kerja lansia.
4) Banyaknya lansia yang miskin,terlantar dan cacat.
5) Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat
individualistic.
6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu
kesehatan fisik lansia.
1. Fenomena Bio-psico-sosio-spiritual dan Penyakit Lansia
a. Penurunan fisik
b. Perubahan mental
c. Perubahan-perubahan Psikososial

F.Pengertian gerontologi dan geriatri

Gerontologi merupakan studi ilmiah tentang efek penuaan dan penyakit yang berhubungan
dengan penuaan pada manusia, meliputi aspek biologis, fisiologis, psikososial, dan aspek
rohani dari penuaan. Penuaan merupakan proses yang normal, dengan perubahan fisik dan
tingkah laku yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai tahap
perkembangan kronologis tertentu. (Stanley, 2007).

Geriatri merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari keadaan-keadaan
fisiologis dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan orang-orang lanjut usia dengan
fokus pada penuaan dini dan tatalaksana penyakit terkait usia lanjut. 
Kamis,19 Maret 2020

1.Masalah Penyakit pada lansia

Penyakit yang sering terjadi pada lansia

Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan
kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia
lanjut , yang disebutnya sebagai a series of I’s. Mulai dari immobility (imobilisasi), instability
(instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan
intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan
pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga
immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh).

Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh penyakit kronik degeratif yang
kerap dialami para lanjut usia, yaitu:

a. Osteo Artritis (OA)

b. Osteoporosis

c. Hipertensi

d. Diabetes Mellitus

e. Dimensia

f. Kanker

2.Tugas perkembangan keluarga dengan lansia

Terdapat beberapa tugas perkembangan keluarga dengan lansia menurut Friedman, Bowden,
dan Jones (2003) ialah:
Mempertahankan sebuah peraturan dalam kehidupan yang memuaskan. Tujuan dari
menerapkan peraturan yang sesuai untuk menjadikan kehidupan lebih bermanfaat bagi dirinya
dan anggota keluarga lainnya. Pasalnya, pada teori perkembangan dari Erikson di usia lanjut,
seseorang berada pada tahap integritas versus keputusasaan (Berman, Synder, dan Frandsen,
2012). Peraturan yang diterapkan menjadi sangat penting bagi lansia untuk meningkatkan rasa
integritas bagi kehidupan yang memuaskannya.Menyesuaikan diri dengan keadaan bahwa
pendapatan untuk kehidupan menjadi berkurang. Seorang lanjut usia akan mengalami masa
pensiun sehingga menyebabkan penurunan pendapatan bagi dirinya. Kondisi ini dapat
disesuaikan dengan kebutuhan hidup yang bersifat penting bagi kehidupan seorang lansia.
Seperti contoh, pendapatan atau tabungan yang dimiliki digunakan untuk menunjang
kesehatan, memenuhi kebutuhan nutrisi yang sesuai, serta kebutuhan akan rohani.Menjaga
hubungan pernikahan. Tujuan dari menjaga hubungan pernikahan untuk mempertahankan
kesejahteraan hidup dengan pasangannya. Berdasarkan teori Robert Peck pada tahun 1968,
salah satu tugas perkembangan lansia ialah mempertahankan kesejahteraan hidup agar dapat
merasakan kebahagiaan serta kepuasan hidup (Berman, Synder, dan Frandsen, 2012)
Menyesuaikan diri akan kehilangan pasangannya. Berdasarkan teori tugas perkembangan dari
Robert Peck dalam Berman, Synder, dan Frandsen (2012), yaitu transendensi ego.
Transendensi ego merupakan penerimaan terhadap kehilangan dari orang yang dicintainya atau
kematian pasangannya.Mempertahankan silsilah keluarga atau ikatan keluarga dari setiap
generasi. Tujuan dari mempertahankan ikatan di dalam keluarga untuk meningkatkan
hubungan yang akrab di antara anggota keluarga. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan
hidup bagi seorang lanjut usia ketika sedang berkumpul bersama keluarga.Mempertahankan
eksistensi di usia lanjut. Perubahan masa transisi yang terjadi pada seorang lansia membuatnya
tetap mempertahankan keberadaannya di dalam keluarga. Tujuannya untuk meningkatkan
integritas diri yang baik.Tugas-tugas perkembangan keluarga dengan lanjut usia memiliki
peran penting bagi seorang lanjut usia dalam membantu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Dengan kemampuan yang dimiliki seorang lanjut usia, peran anggota keluarga lain
untuk mempertahankan integrits diri yang baik bagi setiap individu lanjut usia.

3.Pengertian Keperawatan Gerontik

Keperawatan Gerontik adalah Praktek perawatan yang berkaitan dengan penyakit pada proses
menua (KOZIER, 1987). Menurut Lueckerotte (2000) keperawatan gerontik adalah ilmu yang
mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan
status fungsional, perencanaan, implementasi serta evaluasi.

a. Fungsi Perawat Gerontik

Menurut Eliopoulous tahun 2005, fungsi perawat gerontologi adalah:

1 Guide Persons of all ages toward a healthy aging process (Membimbing orang pada segala
usia untuk mencapai masa tua yang sehat).

2. Eliminate ageism (Menghilangkan perasaan takut tua).

3. Respect the tight of older adults and ensure other do the same ( Menghormati hak orang
dewasa yang lebih tua dan memastikan yang lain melakukan hal yang sama).

4. Overse and promote the quality of service delivery (Memantau dan mendorong kualitas
pelayanan).
5. Notice and reduce risks to health and well being ( Memerhatikan serta mengurangi risiko
terhadap kesehatan dan kesejahteraan).

6. Teach and support caregives (Mendidik dan mendorong pemberi pelayanan kesehatan).

7. Open channels for continued growth ( Membuka kesempatan untuk pertumbuhan


selanjutnya).

8. Listern and support (Mendengarkan dan memberi dukungan).

9. Offer optimism, encourgement and hope (Memberikan semangat, dukungan dan harapan).

10. Generate, support, use and participate in research (Menghasilkan, mendukung,


menggunakan, dan berpatisipasi dalam penelitian).

11. Implement restorative and rehabilititative measures (Melakukan perawatan restoratif dan
rehabilitatif).

12. Coordinate and managed care (Mengoordinasi dan mengatur perawatan).

13. Asses, plan, implement and evaluate care in an individualized, holistic maner ( Mengkaji,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi perawatan individu dan perawatan secara
menyeluruh).

14. Link services with needs (Memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan).

15. Nurtuere futue gerontological nurses for advancement of the speciality (Membangun
masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli dibidangnya).

16. Understand the unique physical, emotical, social, spritual aspect of each other (Saling
memahami keunikan pada aspek fisik, emosi, sosial dan spritual).

17. Recognize and encourge the appropriate management of ethical concern (Mengenal dan
mendukung manajemen etika yang sesuai dengan tempatnya bekerja).

18. Support and comfort through the dying process (Memberikan dukungan dan kenyamanan
dalam menghapi proses kematian).

19. Educate to promote self care and optimal independence (Mengajarkan untuk
meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan yang optimal).

b. Lingkup Keperawatan Gerontik

Lingkup asuhan keperawatan gerontik adalah pencegahan ketidakmampuan sebagai akibat


proses penuaan, perawatan untuk pemenuhan kebutuhan lansia dan pemulihan untuk mengatas
keterbatasan lansia. Sifat nya adalah independen (mandiri), interdependen (kolaborasi),
humanistik dan holistik.
Rabu,01 April 2020

1.Terapi kognitif pada lansia

A. PENGERTIAN TERAPI
Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek, terstruktur, berorientasi, terhadap
masalah saat ini, dan bersifat terapi individu. Terapi kognitif akan lebih bermanfaat jika
digabung dengan pendekatan perilaku. Kemudian terapi ini disatukan dan di kenal dengan
terapi perilaku kognitif. Terapi ini memerlukan individu sebagai agen yang berfikir aktif dan
berinteraksi dengan dunianya.
Tugas perawat adalah secara aktif dan langsung membantu klien mempertimbangkan
kembali stressor dan mengidentifikasi pola pemikiran atau keyakinan yang tidak akurat untuk
mengatasi masalah klien dari perspektif kognitif.

B. TUJUAN TERAPI
1. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menentang keakuratan
kognisi negative klien.
2. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap realitas
3. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu klien mengubah cara
berfikir atau mengembangkan pola pikir yang rasional
4. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang
maladaptive, pikiran yang mengganggu secara otomatis, serta proses pikiran tidak
logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada ikiran individu yang menentukan sifat
fungsionalnya (Videbeck, 2008)
5. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan dengan mengubah
cara berfikir maladaptive dan otomatis. Klien harus menyadari kesalahan cara
berfikirnya. Kemudian klien harus belajar cara merespon kesalahan tersebut
dengan cara yang lebih adaptif. Dengan presfektif kognitif, klien dilatih untuk
mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative. Cara
lain adalah dengan membantu klien mengidentifikasi kondisi negative, mencarikan
alternative, membuat skema, yang sudah ada menjadi fleksibel, dan mencari
kognisi perilaku yang baru dan lebih adaptif
6. Membantu menargetkan proses berfikir serta perilaku yang menyebabkan dan
mempertahankan panic dan kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan klien,
restrukturisasi kognitif, pernafasan relaksasi terkendali, umpan balik biologi,
mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing
7. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan
obsessive kompulsif dan selanjutnya mencegah responnya. Misalnya dengan cara
pelimpahan atau pencegahan respon, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi
distorsi kognitif melalui psikoedukasi
8. Membantu individu mempelajari respon relaksasi, membentuk hierarki situasi
fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap
mempertahankan respon relaksasi misalnya dengan cara desensitisasi sistematis.
Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah presepsi klien terhadap situasi
yang ditakutinya
9. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang berhasil bertahan
hidup dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara restrukturisasi kognitif
10. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system keyakinan yang
salah
11. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik untuk
meningkatkan aktifitas sosialnya
12. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal
C. INDIKASI TERAPI
Terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi psikiatri yang lazim, terutama:
1. Depresi (ringan sampai sedang)
2. Gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan
3. Individu yang mengalami stress emosional
4. Gangguan obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder) yang sering terjadi
pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan antidepresan
jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi terisolasi sering
terjadi
5. Gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik)
6. Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder)
7. Gangguan makan
8. Gangguan mood
9. Gangguan psikoseksual
10. Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya

D. TEKNIK PELAKSANAAN TERAPI


1. Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan keyakinan
yang menyebabkannnya khawatir
2. Mengguanakan teknik pertanyaan Socratic yaitu meminta klien untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan menegaskan pikiran negative yang
merendahkan dirinya. Dengan demikian klien mulai melihat bahwa asumsi tersebut
tidak logis dan tidak rasional
3. Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realistis mengenai diri sendiri, nilai diri
dan dunia. Dengan demikian klien membentuk nilai dan keyakinan baru dan
distress emosional menjadi hilang.
Terapi kognitif dipraktekkan diluar sesi terapi dan menjadi modal utama dalam mengubah
gejala. Terapi berlangsung lebih kurang 12-16 sesi yang terdiri atas 3 fase:
1. Fase awal (sesi 1-4)
a. Membentuk hubungan terapeutik dengan klien
b. Mengajarkan klien tentang bentuk kognitif yang salah serta pengaruhnya terhadap
emosi dan fisik
c. Menentukan tujuan terapi
d. Mengajarkan klien untuk mengevaluasi pikiran-pikiran yang otomatis

2. Fase pertengahan (sesi 5-12)


a. Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah
b. Membantu klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien diminta mempraktekkan
keterampilan berespon terhadap hal-hal yang menimbulkan depresi dan
memodifikasinya.

3. Fase akhir (sesi 13-16)


a. Menyiapkan klien untuk terminasi dan memprediksi situasi beresiko tinggi yang
relevan untuk terjadinya kekambuhan.
b. Mengonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri

Strategi pendekatan terapi kognitif, antara lain:


a. Menghilangkan pikiran otomatis
b. Menguji pikiran otomatis
c. Mengidentifikasi asumsi maladaktif
d. Menguji validitas asumsi maladaktif

2 Terapi Aktivitas

A.  Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok


Kelompok merupakan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain
saling ketergantungan dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Sundeen, 1998)
Aktivitas kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai relasi atau hubungan
satu dengan yang lain saling terkait dan dapat bersama-sama mengikuti norma yang
sama.
Therapy Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan kegiatan yang diberikan kelompok
klien dengan maksud memberi therapy bagi anggotanya. Dimana berkesempatan
untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan respon social. Therapy
Aktivitas Kelompok Sosialisasi adalah upaya memfasilitasi sejumlah klien dalam
membina hubungan sosial yang bertujuan untuk menolong klien dalam berhubungan
dengan orang lain seperti kegiatan mengajukan pertanyaan, berdiskusi, bercerita
tentang diri sendiri pada kelompok, menyapa teman dalam kelompok. Terapi
Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya untuk
mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain,
lingkungan/ tempat, dan waktu.
B.  Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Tujuan dari terapi aktivitas kelompok :
      Mengembangkan stimulasi persepsi
      Mengembangkan stimulasi sensoris
      Mengembangkan orientasi realitas
      Mengembangkan sosialisasi
C.  Prinsip-prinsip memilih peserta terapi aktivitas kelompok
Prinsip memilih pasien untuk terapi aktifitas kelompok adalah homogenitas, yang
dijabarkan antara lain:
  Gejala sama
Misal terapi aktifitas kelompok khusus untuk pasien depresi, khusus untuk pasien
halusinasi dan lain sebagainya. Setiap terapi aktifitas kelompok memiliki tujuan
spesifik bagi anggotanya, bisa untuk sosialisasi, kerjasama ataupun mengungkapkan
isi halusinasi. Setiap tujuan spesifik tersebut akan dapat dicapai bila pasien memiliki
masalah atau gejala yang sama, sehingga mereka dapat bekerjasama atau berbagi
dalam proses terapi.
 Kategori sama
Dalam artian pasien memiliki nilai skor hampir sama dari hasil kategorisasi. Pasien yang
dapat diikutkan dalam terapi aktifitas kelompok adalah pasien akut skor rendah sampai pasien
tahap promotion. Bila dalam satu terapi pasien memiliki skor yang hampir sama maka tujuan
terapi akan lebih mudah tercapai.
 Jenis kelamin sama
Pengalaman terapi aktifitas kelompok yang dilakukan pada pasien dengan gejala sama,
biasanya laki-laki akan lebih mendominasi dari pada perempuan. Maka lebih baik dibedakan.
  Kelompok umur hampir sama
Tingkat perkembangan yang sama akan memudahkan interaksi antar pasien.
  Jumlah efektif 7-10 orang per-kelompok terapi
Terlalu banyak peserta maka tujuan terapi akan sulit tercapai karena akan terlalu ramai dan
kurang perhatian terapis pada pasien. Bila terlalu sedikitpun, terapi akan terasa sepi interaksi
dan tujuanya sulit tercapai.
D.  Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok Bagi Lansia
 Agar anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan di hargai eksistensinya oleh
anggota kelompok yang lain
 Membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain serta merubah perilaku
yang destrkutif dan maladaptive
 Sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan saling mambantu satu sama lain unutk
menemukan cara menyelesaikan masalah
E.  Jenis-jenis Terapi Aktivitas Kelompok pada Lansia
1.   Stimulasi Sensori (Musik) Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi
para pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya. Kualitas
dari musik yang memiliki andil terhadap fungsi-fungsi dalam pengungkapan perhatian
terletak pada struktur dan urutan matematis yang dimiliki, yang mampu menuju pada
ketidakberesan dalam kehidupan seseorang. Peran sertanya nampak dalam suatu pengalaman
musikal, seperti menyanyi, dapat menghasilkan integrasi pribadi yang mempersatukan tubuh,
pikiran, dan roh.
  Musik memberikan pengalaman di dalam struktur
  Musik memberikan pengalaman dalam mengorganisasi diri
  Musik merupakan kesempatan untuk pertemuan kelompok di mana individu telah
mengesampingkan kepentingannya demi kepentingan kelompok.
2.  Stimulasi Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami.
Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini
maka diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi
adaptif.Aktifitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan : seperti baca
majalah, menonton acara televisi ; stimulus dari pengalaman masa lalu yang menghasilkan
proses persepsi klien yang mal adaptif atau destruktif, misalnya kemarahan dan kebencian
3.Orientasi Realitas
Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien, yaitu diri sendiri, orang lain
yang ada disekeliling klien atau orang yang dekat dengan klien, dan lingkungan yang pernah
mempunyai hubungan dengan klien. Demikian pula dengan orientasi waktu saat ini, waktu
yang lalu, dan rencana ke depan. Aktifitas dapat berupa : orientasi orang, waktu, tempat,
benda yang ada disekitar dan semua kondisi nyata.
4.Sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien.
Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal (satu dan satu).

3.ADL PADA LANSIA


A.Pengertian

Aktifitas sehari-hari yang harus dilakukan oleh lansia ada lima macam diantaranya
makan, mandi, berpakaian, mobilitas dan toieting (Brunner & Suddart, 2001). Untuk
memenuhi kebutuhan lansia diperlukan pengetahuan atau kognitif dan sikap yang dapat
mempengaruhi perilaku lansia dalam kemandirian pemenuhan kebutuhan ADL. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang,
semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik kemampuannya terutama
kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan ADL. Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek sehingga orang bisa
menerima, merespon, menghargai, bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ADL.
Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya perilaku perlu faktor
lain antara yaitu fasilitas atau sarana dan prasarana. Perilaku merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku itu terbentuk di dalam diri
seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) dan
faktor dari dalam diri seseorang yang bersangkutan (faktor internal). Oleh karena itu perilaku
manusia sangat bersifat kompleks yang saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk
perilaku pemenuhan kebutuhan ADL pada lansia. Setiap insan manusia merupakan makhluk
hidup yang unik yang tidak bisa sama atau ditiru satu sama lain, akan tetapi mempunyai satu
persamaan pada berbagai kebutuhan yang berdasarkan pada hirarki Maslow.
Pada saat ini lansia kurang sekali mendapatkan perhatian serius ditengah keluarga dan
masyarakat terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari/ ADL. Hal ini
disebabkan karena lansia mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga dan kemampuan
untuk merawat diri. sedangkan keluarga tidak mampu untuk membantu lansia. Maka rumah
jompo atau panti sosial dapat menjadi pilihan mereka.
Panti sosial atau panti werdha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lanjut
usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para
penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti (Darmodjo & Martono, 1999). Sedangkan
menurut Jhon (2008), panti werdha adalah tempat dimana berkumpulnya orang – orang lansia
yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala
keperluannya. Tempat ini ada yang dikelola oleh pemerintah dan ada yang dikelola oleh
swasta. Dirumah jompo para lansia akan menemukan banyak teman sehingga diantara
mereka saling membantu, saling memberikan dukungan dan juga saling memberikan
perhatian khususnya dalam pemenuhan kebutuhan ADL.
B. Manfaat
Manfaat Mempertahankan Activity Of Daily Living (ADL) Pada Lansia dapat
dirasakan secara fisiologis, psikologis dan sosial.
1. Manfaat fisiologis
a.   Dampak langsung dapat membantu:
1)      Mengatur kadar gula darah
2)      Merangsang adrenalin dan noradrenalin
3)      Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur
b.     Dampak jangka panjang dapat meningkatkan:
1)      Daya tahan aerobik/kardiovaskuler
2)      Kekuatan otot rangka
3)      Kelenturan
4)      Keseimbangan dan koordinasi gerak sehingga dapat mencegah terjadinya
kecelakaan (jatuh)
5)      Kelincahan gerak
2.   Manfaat psikologis
a.    Dampak langsung dapat membantu:
1)     Memberi perasaan santai
2)     Mengurangi ketegangan dan kecemasan
3)     Meningkatkan perasaan senang
b.     Dampak jangka panjang dapat meningkatkan:
1)      Kesegaran jasmani dan rohani secara utuh
2)      Kesehatan jiwa
3)      Fungsi kognitif
4)      Penampilan dan fungsi motoric
5)      Keterampilan
3.    Manfaat sosial
a.       Dampak langsung dapat membantu:
1)      Pemberdayaan usia lanjut
2)      Peningkatan intregitas sosial dan kultur
b.      Dampak jangka panjang meningkatkan:
1)      Keterpaduan
2)      Hubungan kesetiakawanan social
3)      Jaringan kerja sama sosial budaya
4)      Pertahanan peranan dan pembentukan peran baru
5)      Kegiatan antargenerasi

4.Senam Lansia
1.  PENGERTIAN
Menurut Hidayat (2002) senam didefinisikan sebagai suatu latihan tubuh yang dipilih
dan dikonstruk dengan sengaja, dilakukan secara sadar dan terencana, disusun secara
sistematis dengan tujuan meningkatkan kesegaran jasmani, mengembangkan keterampilan,
dan menanamkan nilai-nilai mental spiritual. Penelitian lain dikemukakan oleh Werner
(2000) yang menyebutkan bahwa senam adalah bentuk latihan tubuh pada lantai dan pada
alat yang dirancang untuk melungkatkan daya tahan, kekuatan, kelentukan, kelincahan,
koordinasi serta kontrol tubuh.
Lansia atau usia tua adalah periode dimana organisme telah mancapai kemasakan dalam
ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu (Ahmadi,
2009).
Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang
diterapkan pada lansia. Aktifitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan
tetap segar karena melatih tulang tetap kuat, memdorong jantung bekerja optimal dan
membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh.

2.    JENIS SENAM LANSIA


Jenis-jenis senam lansia yang biasa diterapkan, meliputi :
1) Senam kebugaran lansia
2) Senam otak
3)  Senam osteoporosis
4) Senam hipertensi
5)  Senam diabetes mellitus
6)  Olahraga rekreatif/jalan santai.

3.   MANFAAT OLAHRAGA BAGI LANSIA


Semua senam dan aktifitas olahraga ringan tersebut sangat bermanfaat untuk
menghambat proses degeneratif/penuaan. Senam ini sangat dianjurkan untuk mereka yang
memasuki usia pralansia (45 thn) dan usia lansia (65 thn ke atas).
Senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh
juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur.
Tingkat kebugaran dievaluasi dengan mengawasi kecepatan denyup jantung waktu istirahath
yaitu kecepatan denyut nadi sewaktu istirahat. Jadi supaya lebih bugar, kncepatan denyut
jantung sewaktu istirahat harus menurun (Poweell, 2000)
Dengan mengikuti senam lansia efek minimalya adalah lansia merasa berbahagia, senantiasa
bergembira, bisa tidur lebih nyenyak, pikiran tetap segar.
Manfaat dari olahraga bagi lanjut usia menurut Nugroho (1999; 157) antara :
a)  Memperlancar proses degenerasi karena perubahan usia
b) Mempermudah untuk menyesuaikan kesehatan jasmani dalam kehidupan (Adaptasi)
c)   Funsi melindungi, yaitu memperbaiki tenaga cadangan dalam fungsinya terhadap
bertambahnya tuntutan, misalnya sakit. Sebagai rehabilitas pada lanjut usia terjadi penurunan
masa otot serta kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, toleransi latihan, kapasitas
aerobic dan terjadinya peningkatan lemak tubuh. Dengan melakukan olahraga seperti senam
lansia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan fungsional tersebut. Bahkan dari
berbagai penelitian menunjukkan bahwa latihan/ olahraga seperti senam lansia dapat
mengeliminasi berbagai resiko penyakit seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit arteri
koroner dan kecelakaan (Darmojo 1999; 81).

4.      TUJUAN SENAM LANSIA DENGAN HIPERTENSI


 Melebarkan pembuluh darah
 Tahanan pembuluh darah menurun
 Berkurangnya hormon yg memacu peningkatan tekanan darah
 Menurunkan lemak / kolesterol yang tinggi.

5.      INDIKASI SENAM LANSIA


Indikasi dilakukan senam lansia dengan hipertensi adalah klien yang menderita
hipertensi

6.      KONTRAINDIKASI
-          Klien dengan fraktur ekstremitas bawah atau bawah
-          Klien dengan bedrest total

7.      PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA


Permasalahan yang biasanya terjadi yang merupakan hambatan dalam melakukan
senam lansia adalai rasa bosan. Perasaan ini wajar saja dan muncul mungkin dikarenakan
tidak adanya variasi senam. Untuk itu macam atau jenis senam yang dilakukan sebaiknya
selalu bervariasi/berganti-ganti. Misalnya pada minggu pertama melakukan senam kebugaran
dan minggu selanjutnya jenis senam osteoporosis dan seterusnya dilakukan secara bergiliran.
Musik juga mempengaruhi, sehingga peserta senam lansia menyukai musik tertentu yang
memungkin tumbuh semangat para lansia ketika melakukan senam lansia.

8.    LANGKAH-LANGKAH SENAM LANSIA


a.  Tarik nafas, angkat tangan ke atas, hembuskan pelan-pelan dari mulut tangan
turunkan.Lakukan sebanyak 2x
b.  Ayunkan kaki kanan kedepan sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
c.  Ayunkan kaki kiri kedepan sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
d.  Ayunkan kaki kanan kedepan sebanyak 2x kemudian kaki kiri sebanyak 2x
e.   Jalan ditempat sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
f.    Letakkan tangan diperut tangan kanan ayunkan kesamping kanan dan kanan
ayunkan ke kanan. Lakukan secara bersamaan 8 kali. Lakukan 2x
g.   Letakkan tangan kanan diperut tangan kiri ayunkan ke samping kiri dan kaki
kiri ayunkan ke kiri. Lakukan secara bersamaan sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
h.   Letakkan tangan diperut ayunkan kedua tangan kesamping dan kedua kaki
kesamping sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
i.    Jalan ditempat sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
j.    Letakkan tangan di perut ayunkan ke atas bersamaan dengan kaki ayunkan
kesampingsebanyak 8 kali. Lakukan 2x
k.   Jalan di tempat sebanyak 8 kali. Lakukan 2x
l.   Pada hitungan satu, ujung jari kaki menyentuh tanah pada hitungan ke dua
tumit menyentuh tanah, lakukan pada kaki kiri dan kanan sebanyak 8 kali.
lakukan 2x
m. Tarik nafas, angkat tangan ke atas, hembuskan pelan-pelan dari mulut tangan
turunkan. Lakukan sebanyak 3x.
Jumat,03 April 2020

Asuhan keperawatan pada kelompok khusus gerontik dengan skelerosis multipel

a) Definisi
Multipel sklerosis yang dulu disebut juga sklerosis diseminasi adalah penyakit
degeneratif, bersifat kronis dan progresif yang   merusak myelin pada sususan saraf pusat
(Hickey, 2008)
Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif
dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis.
Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin yaklni adanya material lunak dan protein
disekitar serabut-serabut saraf otak. Myelin adah Substansi putih yang menutupi serabut saraf
yang berperan dalam konduksi saraf normal (konduksi salutatory).
MS merupakan salah satu gangguan neurologik dimana onset terjadinya multipel
sklerosis rata-rata terjadi di usia 20 dan 40 tahun. Multipel sklerosis umumnya terjadi pada
usia dewasa muda dan sekitar 20% mengalami  onset awal di usia 40 dan 50 tahun. Penyakit
ini lebih sering terjadi  wanita dari pada pria. sklerosis multipel berasal dari banyaknya
daerah jaringan parut (sklerosis) yang mewakili berbagai bercak demielinasi dalam sistem
saraf. Pertanda neurologis yang mungkin dan gejala dari sklerosis multipel sangat beragam
sehingga penyakit ini tidak terdiagnosis ketika gejala pertamanya muncul.

b) Etiologi
Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui secara pasti. Namun, para
ilmuwan memperkirakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya multipel
sklerosis. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan
virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991).
Kerusakan myelin pada MS mungkin terjadi akibat respon abnormal dari sistem
kekebalan tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari serangan organisme berbahaya
(bakteri dan virus).
- Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang / infeksi virus)
- Genetik
- Kelainan pada unsur pokok lipid mielin
- Racun yang beredar dalam CSS
- Infeksi virus pada SSP
Ada beberapa Faktor-faktor pemicu dan yang dapat memperburuk (eksaserbasi ) multipel
sklerosis  yaitu :
- Kehamilan
- Infeksi yang disertai demam
- Stress emosional
- Cedera

c) Klasifikasi
Menurut Basic Neurologi (Mc. Graw Hill,2000),ada beberapa kategori sklerosis multipel
berdasarkan progresivitasnya adalah :
1. Relapsing Remitting sklerosis multipel
Ini adalah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan atau dua
puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat yang kemudian diikuti dengan
kesembuhan semu.Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat
penderita terlihat pulih.Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan
tingkat kepulihan sebelum terkena serangan.sebenarnya kondisinya adalah sedikit demi
sedikit semakin memburuk.jika sebelum terkena serangan hebat pertama penderita memiliki
kemampuan motorik dan sensorik, Hampir 70% penderita sklerosis multipel  pada awalnya
mengalami kondisi ini, setelah beberapa kali mengalami serangan hebat, jenis sklerosis
multipel  ini akan berubah menjadi Secondary Progressiv sklerosis multipel
2. Primary Progresssiv MS
Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk ada saat – saat  penderita tidak 
mengalami penurunan kondisi, namun jenis sklerosis multipel  ini tidak mengenal istilah
kesembuhan semu. Tingkat progresivitanya beragam pada tingakatan yang paling parah,
penderita sklerosis multipel jenis ini biasa berakhir dengan kematian.
3. Secondary Progressiv sklerosis multipel
Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting sklerosis multipel. Pada jenis ini
kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv sklerosis
multipel.
4. Benign sklerosis multipel
Sekitar 20% penderita sklerosis multipel jinak ini. Pada jenis sklerosis multipel ini
penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada siapapun.
Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat sehingga para penderita
sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita sklerosis multipel.

d) Patofisiologi
Neuron atau sel saraf memiliki sebuah badan sel.  Terdapat dua macam serabut saraf yang
keluar dari badan sel yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke
badan sel saraf sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan
yang lain. Akson ditutupi oleh lapisan lemak yang disebut lapisan myelin. Myelin merupakan
kumpulan sel Schwan yang berfungsi melindungi akson dan memberikan nutrisi. Sel Schwan
adalah sel glia yang membentuk selubung lemak. Myelin menfasilitasi dalam konduksi saraf.
Pada kasus multipel sklerosis pemicu terjadinya kerusakan myelin belum diketahui secara
pasti. Namun suatu teori menyatakan bahwa adanya serangan reaksi autoimun yang
disebabkan oleh infeksi virus dan toksin lingkungan serta dipengaruhi oleh faktor genetik
individu. Respon imun memicu kerusakan selaput myelin yang menyelimuti saraf pusat.
Proses yang disebut demyelinasi ini disertai dengan edema dan inflamasi. Adanya inflamasi
kronis dan terbentuknya jaringan parut menyebabkan konduksi impuls saraf menjadi
terganggu atau menjadi lambat. Antibodi myelin protein spesifik ditemukan di serum dan
cairan serebrospinal pada pasien yang menderita multipel sklerosis. Sel T limfosit merusak
myelin juga dilibatkan dalam proses autoimun untuk merusak myelin dan terjadi inflamasi.
Remyelinasi sel saraf dapat terjadi tapi prosesnya lambat dan dapat terjadi perbaikan
sehingga gejala yang terjadi dapat berkurang.

e) Manifestasi Klinis
Sindrom klinis pada MS secara klasik ditemukan adanya gangguan yang bersifat relaps
dan remisi yang mengenai traktus-traktus sistem saraf dengan onset pada usia muda , dengan
variasi gambaran klinis yang ditemukan sering beragam, variasi ini termasuk dalam hal onset
usia,manifestasi awal, frekuensi, berat ringannya penyakit dan gejala sisa relaps, tingkat
progresifitas dan banyaknya gejala neurology yang timbul.
Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau luasnya daerah system saraf
yang rusak (MS plak). Secara umum seorang dokter mencurigai suatu kasus MS bila
ditemukan gejala :
- Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan lebih dari 24 jam
dan berlangsung lebih dari 1 bulan, atau
- Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode paling sedikit 6
bulan
Multiple sclerosis memiliki kondisi yang sangat variabel dan gejala-gejalanya
bergantung pada area sistem syaraf pusat yang terserang. Tidak ada pola khusus pada MS dan
setiap penderita MS memiliki kekhasan gejalanya sendiri-sendiri, yang bentuknya dari waktu
ke waktu bervariasi dan tingkat keparahan serta jangka waktunya pun dapat berubah, dan
semua variasi dan perubahan itu dapat terjadi bahkan pada penderita yang sama. Gejala-
gejala umum tersebut adalah:
1. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada MS (21-
55%) dan berkembang/timbul hampir pada semua pasien MS. Biasanya pasien sering datang
dengan keluhan rasa baal atau kesemutan dimulai pada satu kaki yang merambat keatas
(ascending) pada satu sisi kemudian kesisi yang lain (kontra sisi).
- Penglihatan kabur
- Penglihatan membayang (diplopia)
- Neuritis optikal
- Pergerakan mata yang tak terkontrol
- kebutaan (sangat jarang terjadi)
- Hipestesi (baal), parestesi (kesemutan), disestesi (rasa terbakar). Hipestesi merupakan
gejala yang tersering muncul. Gangguan ini dapat timbul disemua daerah distribusi,
satu atau lebih dari satu anggota gerak,wajah atau badan (trunkal).
2. Gangguan Motorik
Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus MS dan lebih dari 60% kasus MS
mempunyai gejala motorik.Gangguan motorik terjadi akibat terlibatnya traktus piramidalis
yang menyebabkan kelemahan,spastisitas, gangguan gerakan tangkas, dan hiperfleksi.
Gangguan ini dapat timbul akut atau kronik progresif dengan kelemahan satu atau lebih
anggota gerak, kelemahan otot wajah, kekakuan tungkai yang dapat menyebabkan gangguan
dalam berjalan dan keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan atau panas biasanya
menyebabkan gejala memburuk.
- hilang keseimbangan tubuh
- Gemetar (tremor)
- ketidakstabilan kemampuan berjalan (ataksia)
- kekakuan anggota tubuh
- gangguan koordinasi
- perasaan lemah: pada kasus tertentu hal ini dapat mempengaruhi kaki dan
kemampuan berjalan
- kekakuan otot yang dapat mempengaruhi mobilitas dan cara berjalan

3. Gangguan indra perasa


- perasaan geli di beberapa bagian tubuh
- perasaan seperti di tusuk-tusuk jarum
- kebas (paraesthesia)
- perasaan seperti terbakar
o nyeri dapat menyertai penyakit MS, contohnya, nyeri di wajah (seperti trigeminal
neuralgia), dan nyeri otot
4. Gangguan kemampuan berbicara
- perlambatan cara berbicara
- berbicara seperti menggumam
- perubahan ritme berbicara
- sulit menelan (dysphagia)
5. Gangguan berkemih dan BAB
Gangguan berkemih merupakan salah satu gejala MS yang sering ditemukan.Pada saat
awal terjadi “urgency dan frekuensi” kemudian terjadi inkontinensia urin. Konstipasi lebih
sering ditemukan (39-53%) dibandingkan inkontinensia alvi. Hal diatas merupakan masalah
yang serius bagi penderita MS karena dapat menyebabkan infeksi pada saluran kemih.
- Gangguan kandung kemih meliputi: sering buang air kecil, tidak dapat buang air kecil
secara tuntas atau tidak bisa menahan air kecil.
- Gangguan usus meliputi: konstipasi/sembelit, dan kadang-kadang diare.
6. Gangguan Seksual
Gangguan seksual terjadi pada lebih dari 70% pasien MS. Disfungsi seksual merupakan
gabungan dari berbagai masalah yang timbul baik masalah motorik dan sensorik maupun
masalah psikologis penderita.
- impoten
- Berkurangnya kemampuan seksual
- kehilangan gairah
7. Gangguan Kognitif dan Emosi
Masalah kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi,gangguan memori, dan gangguan
mental terdapat pada 40-70 % pasien MS. Banyak penderita MS meninggalkan pekerjaannya
akibat masalah diatas. Pada ± 10% kasus, disfungsi mental berat dan demensia dapat tejadi.
Gangguan ini mungkin berhubungan dengan depresi yang dilaporkan ditemukan pada 25-
50% kasus MS.
Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa depresi pada MS bukan karena masalah
psikologi,umur atau lamanya menderita penyakit tetapi dipengaruhi oleh jumlah lesi yang
ditemukan pada gambaran MRI (Swirsky-Sacchetti T et al 1992). Atrofi otak, pembesaran
ventrikel dan menipisnya korpus kalosum juga penyebab gejala gangguan kognitif diatas.
8. Gangguan Nervus Cranialis
- Gangguan Penciuman : Gangguan penciuman sering ditemukan terjadi pada kasus MS.
- Gangguan Penglihatan :
Neuritis Optika (ON) adalah gangguan penglihatan yang paling sering terjadi 14-23%
kasus dan 50% ,biasanya muncul secara akut atau subakut dan unilateral dengan diikuti rasa
nyeri pada mata terutama dengan adanya gerakan bola mata. Neuritis Optika bilateral sangat
jarang terjadi, bila ditemukan biasanya asimetris dan lebih berat pada satu mata. Neuritis
optika bilateral biasanya terjadi pada anak dan ras Asia.
- Gangguan Gerakan Bola Mata
Gangguan gerakan bola mata sering terjadi pada pasien MS biasanya berhubungan
dengan gangguan saraf penggerak bola mata, Nervus cranial VI,III dan jarang pada nervus
VI. Nistagmus adalah gejala yang paling sering muncul (Dell’Osso,Daroff,Troost,1990)
berupa “jelly like nystagmus”berupa gerakan cepat dengan amplitudo kecil, pendular.
Internuklear ophtalmoplegia (INO) juga sering ditemukan, dan bila ditemukan bilateral
biasanya didapatkan juga adanya nistagmus vertical dan upward gaze.
- Gangguan Nervus Kranial lain.
Gangguan sensasi pada wajah ,subjektif maupun objektif sering ditemukan.
Ditemukannya trigeminal neuralgia pada dewasa muda mungkin merupakan gejala awal dari
MS. Hemifasial spasme,paresis wajah tanpa adanya gangguan pengecap dapat
ditemukan.Vertigo dilaporkan merupakan gejala yang ditemukan pada 30-50% kasus MS dan
biasanya berhubungan dengan kelainan nervus kranialis, biasanya ditemukan hipo atau
hiperakusis. Bisa juga terjadi gangguan pendengaran dan biasanya unilateral. Gangguan yang
berhubungan dengan Nervus Kranial IX,X dan XII biasanya terjadi disfagia.dan biasanya
merupakan gejala akhir yang muncul.

f) Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS : Untuk mengungkapkan adanya ikatan
oligoklonal ( beberapa pita imunoglobulin G [ IgG ] ), yang menunjukkan
abnormalitas immunoglobulin.
2. Pemeriksaan potensial bangkitan : dilakukan untuk memebantu memastikan luasnya
proses penyakit dan dan memantau perubahan penyakit.
3. CT scan : dapat menunjukkan atrofi serabral
4. MRI untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan
penyakit dan efek pengobatan.
5. Pemeriksaan urodinamik untuk mengetahui disfungsi kandung kemih
6. Pengujian neuropsikologik dapat  diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif.
( Mutaqin Arif, Asuhan keperawatan klien dangan gangguan system persyarafan,( 2008 )
hal 216 )

g) Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan atau penatalaksanaan multiple sklerosis adalah menghilangkan


gejala dan membantu fungsi klien.

A. Penatalaksanaan farmakoterapi
1. Terapi obat untuk fase akut :
- Kortikosteroid dan ACTH : Digunakan sebagai agens anti-inflamasi yang dapat
meningkatkan konduksi saraf. Pemberian awal dapat dimulai dari Metilprednisolon 0.5-1
g IV selama 3 -7 hari dan dosisnya diturunkan 60mg perhari selama 3 hari berturut-turut
sampai 10 mg per hari. Dosis oral dapat diberikan sama dengan IV kecuali penurunan
dosis 60 mg selama 5-7 hari.
2. Terapi obat untuk menurunkan jumlah kekambuhan
- Beta interferon ( betaseron ) : Digunakan dalam perjalanan relapsing-remittting, dan
juga menurunkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi. Interferon tidak
dapat diberikan dengan dosis tunggal tetapi harus di kombinasikan dengan 3 jenis
obat yaitu alfa, beta dan gamma interferon. Alfa dan beta diproduksi dari sel yang
terinfeksi virus. Beta interferon menurunkan frekuensi kambuhnya MS. Rute
pemberian obat melalui subkutan dan lebih baik lagi pemberian melalui intratekal
atau IM. Dosis pada orang dewasa 3-9 juta unit SC 3x/minggu selama 6 bulan.  Obat
lain yang dapat menurunkan frekuensi kambuhnya MS adalah : copolymer 1 dan
azathioprine.
3. Baklofen : sebagai agens antispasmodic merupakan pengobatan yang dipilih untuk
spastisitas. Klien dengan spastisitas beret dan kontraktur memerlukan blok saraf dan
intervensi pembedahan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
4. Imunosupresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan kondisi penyakit
5. Terapi obat lain : cycloscospamid, total limpoid irradiation ( TLI).
B. Terapi suportif
Terapi suportif diberikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mempertahankan
kondisi pasien agar tetap stabil. Fisioterapi dan terapi okupasi diberikan untuk
mempertahankan tonus dan kekuatan otot serta ditambah dengan obat untuk relaksasi otot
untuk mengurangi ketidaknyamanan dan nyeri karna spastik.
C. Blok saraf dan pembedahan : Dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan kontraktur
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut

h) Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi pada multiple skleriosis adalah :
1. Disfungsi pernafasan
2.  Infeksi kandung kemih, system pernafasan dan sepsis
3.  Komplikasi dari imobilitas

i) Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Pada umunya terjadi pada orang-orang yang hidup di daerah utara dengan
temperatus tinggi, terutama pada dewasa muda (20-40th).
b. Keluhan Utama
Muncul keluhan lemah pada anggota badan bahkan mengalami spastisitas /
kekejangan dan kaku otot, kerusakan penglihatan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya klien pernah mengalami pengakit autoimun
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umunya terjadi demilinasi ireguler pada susunan saraf pusat perier yang
mengakibatkan erbagai derajat penurunan motorik, sensorik, dan juga kognitif
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan di antara keluarga yang pernah
menderita penyakit tersebut, yaitu kira-kira 6-8 kali lebih sering pada keluarga
dekat.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pada pola persepsi dan konsep
diri, didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,mudah marah
dan tidak kooperatif.perubahan yang terpenting pada klien dengan penyakit
mutiple sclerosis adalah adanya gangguan afek, berupa euforia. Keluhan lain
yang melibatkan gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya ingat dan
dimensia.
g. Pemeriksaan Fisik
1.       Keadaan umum
Klien dengan mutiple sclerosis umumnya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi,
hipotensi, dan penurunan frekuensi pernapasan berhubungan dengan
bercak lesi di medula spinalis.
2.       B1 (Breathing)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami gangguan
pada sistem pernapasan.pada beberapa klien yang telah lama menderita
mutiple sclerosis dengan tampak dari tirah baring lama, mengalami
gangguan fungsi pernapasan. Pemeriksaan fisik yang didapat mencakup
hal-hal sebagai berikut:
a.       Inspeksi umum : didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan
untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, dan
penggunaan otot bantu napas.
b.      Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri
c.       Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru
d.      Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti napas stridor,ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas
3.       B2 (Blood)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami gangguan
pada sistem kardiovaskuler.akibat dari tirah baring lama dan inaktivitas
biasanya klien mengalami hipotensi postural.
4.       B3 (Brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pengkajian fokus atau lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Inspeksi umum didapatkan
berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.
5.       B4 (Bladder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortokospinalis menimbulkan
gangguan pengaturan spingtersehingga timbul keraguan, frekuensi dan
urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang
spatis.selalin itu juga timbul retensi dan inkontinensia.
6.       B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif.
Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
7.       B6 (Bone)
Pada keadaan pasien mutiple sclerosisbiasanya didapatkan adanya
kesuliatan untuk beraktivitas karena kelemahan spastik anggota
gerak.kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara
asimetris pada keempat anggota gerak.merasa lelah dan berat pada satu
tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret
maju, dan pengontrolan yang kurang sekali. Klien dapat mengeluh
tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan terutama apabila ia
sedang berada di tempat tidur.keadaan spatis yang lebih berat disertai
dengan spasme otot yang nyeri.

2. Diagnosa
 Hambatan mobilitas fisik berhubungan demngan kelemahan, paresis, dan
spastisitas
 Resiko cedera berhubungan dengan kerusakan sensori dan penglihatan, dampak
tirah baring lama dan kelemahan spastic
 Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan  kelumpuhan saraf
perkemihan

3. Intervensi dan Rasional


a.    Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan
spastisitas
Tujuan :
Dalam waktu 3 x 24 jam klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan
kemampuannya
Kriteria hasil :
1.      Klien dapat  ikut serta dalam program latihan
2.      Tidak terjadi kontraktor sendi
3.      Bertambahnya kekuatan otot
4.      Klien menunjukkan tindakkan untuk meningkatkan mobilitas

Intervensi :
1.      Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan, kaji
secara teratur fungsi motorik
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
2.      Modifikasi peningkatan mobilitas fisik
Rasional : relaksasi dan koordinasi latihan otot meningkatkan efisiensi otot pada klien
multipel sklerosis.
3.      Anjurkan teknik aktifitas dan teknik istirahat
Rasional : klien dianjurkan untuk melakukan aktifitas melelahkan dalam waktu
singkat, karena lamanya latihan yang melelahkan ekstremitas dapat menyebabkan
paresis, kebas, atau tidak ada koordinasi.
4.      Ajarkan teknik latihan jalan
Rasional : Latihan berjalan meningkatkan gaya berjalan, karena umumnya pada
keadaan tersebut kaki dan telapak kaki kehilangan sensasi positif.
5.      Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional : menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan.
6.      Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak
sakit
Rasional : Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta
memperbaiki funsi jantung dan pernapasan
7.      Lakukan gerak pasif pada ekstermitas yang sakit.
Rasional : otot volunteer akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih
untuk digerakan.
8.      Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi
Rasional : untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuannya
9.      Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
Rasional : peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ektremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapi

b. Resiko cedera berhubungan dengan kerusakan sensori dan penglihatan, dampak


tirah baring lama dan kelemahan spastis
Tujuan :
Dalam waktu 3x 24 jam resiko trauma tidak terjadi

Kriteria hasil :
1.      Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan trauma
2.      Decubitus tidak terjadi
3.      Kontraktur sendi tidak terjadi
4.      Klien tidak jatuh dari tempat tidur

Intervensi :
1.      Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi
Rasional : meminimalkan rangsangan nyeri akibat gesekkan antara fragmen tulang
dengan jaringan lunak disekitarnya
2.      Berikan kacamata yang sesuai dengan klien
Rasional : tameng mata atau kacamata penutup dapat digunakan untuk memblok
implus penglihatan pada satu mata bila klien mengalami diplopia atau penglihatan
ganda
3.      Minimalkan efek imobilitas.
Rasional : oleh karena aktifitas fisik dan imobilisasi sering terjadi pada multipel
sklerosis, maka komlikasi yang di hubungkan dengan imobilisasi mencakup
dekubitus dan langka untuk mencegahnya
4.      Modifikasi pencegahan cedera
Rasional : pencegahan cedera dilakukan pada klien multipel sklerosis jika disfungsi
motorik menyebabkan masalah dalam tidak ada koordinasi dan adanya kekakuan
atau jika ataksia ada, klien resiko jatuh.
5.      Modifikasi lingkungan
Rasional : untuk mengatasi ketidak mampuan, klien di anjurkan untuk dengan kaki
kosong pada ruang yang luas untuk menyediakan dasar yang luas dan untuk
meningkatkan kemampuan berjalan dengan stabil
6.      Ajarkan teknik berjalan
Rasional : jika kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh, klien di anjurkan untuk
melihat kaki sambil berjalan
7.      Berikan terapi okupasi
Rasional : terapi okupasi merupakan sumber yang membantu individu dalam
memberi anjuran dan menjamin bantuan untuk maningkatkan kemandirian
8.      Meminimalkan resiko decubitus
Rasional : oleh karena hilangnya sensori dapat menyebabkan bertambahnya
kehilangan gerakkan motoric. Decubitus terus diatasi untuk inegritas kulit.
Penggunaan kursi roda meningkatkan resiko.
9.      Inspeksi kulit dibagian distal setiap hari (pantau kulit dan membran mukosa
terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet-lecet)
Rasional : deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi resiko tinggi
kerusakan integritas kulit kemungkinan komplikasi imobilisasi
10.  Minimalkan spastisitas dan kontraktur
Rasional : spastisitas otot biasa terjadi dan terjadi pada tahap lanjut, yang terlihat
dalam bentuk addukor yang berat pada  pinggul, dengan spasme fleksor pada
pinggul dan lutut.
11.  Ajarkan teknik latihan
Rasional : latihan setiap hari untuk menguatkan otot diberikan untuk meminimalkan
kontraktur sendi. Perhatian khusus diberikan pada otot-otot paha, otot
gatroknemeus, adductor, biseps dan pergelangan tangan, serta fleksor jari-jari
12.  Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki
Rasional : telapak kaki dalam posisi 90 derajad dapat mencegah footdrop
13.  Evaluasi tanda/gejala perluasan cedera jaringan (peradangan lokal / sistemik,
sperti peningkatan nyeri, edema dan demam)
Rasional : menilai perkembangan masalah klien
c.   Perubahan pola eliminasi urin yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf
perkemihan
Tujuan :
Dalam waktu 2 x 24 jam eliminasi urin terpenuhi

Kriteria hasil :
1.      Pemenuhan eliminasi urin dapat dilaksanakan dengan atau tidak mengguanakan
keteter
2.      Produksi 50 cc/jam
3.      Keluhan eliminasi urin tidak ada

Intervensi :
1.      Kaji pola berkemih dan catat urin setiap 6 jam
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2.      Tingkatkan kontrol berkemih dengan cara berikan dukungan pada klien tentang
pemenuhan eliminasi urin, lakukan jadwal berkemih, ukur jumlah urin tiap 2 jam
Rasional : jadwal berkemih diatur awalnya setiap 1 sampai 2 jam dengan
perpanjangan interfal waktu bertahap. Klien diinstruksikan untuk mengukur
jumlah air yang di minum setiap 2 jam dan mencoba untuk berkemih 30 menit
setelah minum.
3.      Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih
Rasional : menialai perubahan akibat dari inkontinensial urin
4.      Anjurkan klien untuk minum 2000 cc/hari
Rasional : mempertahankan funsi ginjal

Anda mungkin juga menyukai