Anda di halaman 1dari 32

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.

F DENGAN
DIAGNOSA MEDIS CRUSH INJURY DI RUANGAN KLINIK BEDAH
PLASTIK RUMAH SAKIT LABUANG BAJI

DI SUSUN

OLEH

NAMA : HUSNUL KHATIMAH

NIM : 7119201724

PROGRAM STUDI : PROFESI NERS

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

………………………. ………………………

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA


MAKASSAR TAHUN AJARAN
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau

bagian lain dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau

gangguan saraf di area tubuhyang terkena. Biasanya area tubuh yang

terkena adalah ekstremitas bawah (74%), ekstremitas atas (10%), dan

badan (9%). Crush syndrome merupakan lokalisasi crush injury dengan

manifestasi sistemik. Efek sistemik disebabkan oleh trauma rhabdomyolysis

(Pemecahan otot) dan pelepasan komponen sel otot yang berbahaya dan

elektrolit kesistem peredaran darah. Crush syndrome dapat menyebabkan

cedera jaringan lokal, disfungsi organ, dan kelainan metabolik, termasuk

asidosis, hiperkalemia, dan hypocalcemia.

Crush Injury didefinisikan sebagai luka yang hancur pada ekstremitas

atau anggota badan lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang

serius meliputi kulit dan jaringan lunak dibawa kulit kerusakan pembuluh

darah persarafan tendon, ascia , bone joint (lokasi penghubung anatara

tulang ) kerusakan tulang serta komponen didalam tulang. Crush injury

lebih sering mengenai anggota gerak dibanding anggota tubuh yang lain.

Pada pengalaman sebelumnya, saat gempa bumi yang menimbulkan

kerusakan yang parah menunjukkan bahwa insiden crush syndrome adalah

sebesar 2-15% dengan sekitar 50% dari angka tersebut berkembang

menjadi gagal ginjal akut dan lebih dari 50% yang perlu dilakukan tindakan
fasiotomi. Dari mereka dengan gagal ginjal, 50% harus dilaksanakan

dialisis

B. Anatomi dan Fisiologi

Gerak pada manusia merupakan gerak aktif, artinya organ pada

manusia dapat bergeser atau berpindah tempat, gerak merupakan reaksi

untuk menanggapi rangsang baik mendekat atau menjauhi sumber

rangsang atau bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gerak aktif

dapat terjadi karena organ dilengkapi dengan otot dan tulang. Tulang

merupakan alat gerak pasif artinya tulang dapat bergerak jika dibantu

dengan otot, tulang pada manusia saling bersambungan terangkai

membentuk system rangka.

Sistem rangka manusia terdiri dari skleton aksia dan skeleton

appendikular. Tulang yang merupakan alat gerak pasif pada manusia

sebenarnya tersusun beruas-ras, ruas tulang ini saling terangkai dan


berkaitan membentuk system rangka. Salah satunya ekstremitas caudalis

atau tulang anggota bawah.

Tulang ekstrimitas kaudalis (bawah) biasanya segala sesuatu

yang berada dibawah ligamen inguinal, termasuk paha, tempurung lutut,

tulang kering, betis, tumit, pergelangan kaki, dan telapak kaki. Bagian-

bagian tulang ekstremitas kaudalis :

a. Tulang paha (Femur)

b. Tulang tempurung lutut (patella)

c. Tulang kering (tibia)

d. Tulang betis (Fibula)

e. Tulang tumit (calcaneus)

f. Tulang pergelangan kaki (tarsal)

g. Tulang telapak kaki (meta tarsal)

Ekstremitas superior dapat dianggap sebagai

pengungkit bersendi banyak yang dapat bergerak bebas

pada tubuh melalui articulation humeri. Pada ujung distal

ekstremitas superior terdapat organ yang penting, yaitu tangan.


Banyak fungsi penting dari tangan bergantung pada fungsi

pollex yang seperti penjepit, yang memungkinkan

seseorang mencengkeram benda diantara pollex dan index.

Ekstremitas superior dapat di bagi menjadi bahu (hubungan

antara tubuh dan lengan atas), lengan atas, siku, lengan

bawah, regio carvalis, dan tangan. Ekstremitas superior dapat

dianggap sebagai pengungkit bersendi banyak yang dapat

bergerak bebas pada tubuh melalui articulation humeri. Pada

ujung distal ekstremitas superior terdapat organ yang penting,

yaitu tangan. Banyak fungsi penting dari tangan bergantung

pada fungsi pollex yang seperti penjepit, yang

memungkinkan seseorang mencengkeram benda diantara

pollex dan index. Ekstremitas superior dapat di bagi menjadi

bahu (hubungan antara tubuh dan lengan atas), lengan atas,

siku, lengan bawah, regio carvalis, dan tangan. Ekstremitas

superior dapat dianggap sebagai pengungkit bersendi

banyak yang dapat bergerak bebas pada tubuh melalui

articulation humeri. Pada ujung distal ekstremitas superior

terdapat organ yang penting, yaitu tangan. Banyak fungsi penting

dari tangan bergantung pada fungsi pollex yang seperti

penjepit, yang memungkinkan seseorang mencengkeram

benda diantara pollex dan index. Ekstremitas superior dapat di


bagi menjadi bahu (hubungan antara tubuh dan lengan atas),

lengan atas, siku, lengan bawah, regio carvalis, dan tangan.

Sedangkan untuk ekstremitas atas terdiri dari beberapa bagian yaitu:

a. Gelang bahu (Cingulo)

1. Os. Scapula

2. Os. Clavikula

b. Bagian yang bebas

(Ekstremitas)

3. Os. Humerus

4. Os. Radius

5. Os. Ulna

6. Os. Carpal

7. Os. Metacarpal

8. Os. Phalanges

C. Etiologi

Penyebab utama dari crush injury  adalah banyak faktor antara lain:

tertindih oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada

industri, kecelakaan kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius.

D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala jelas berbeda tergantung dari keparahan crush

injury . Pada trauma yang ringan dapat ditandai dengan adanya luka robek,
nyeri terlokasir dan ringan. Namun pada trauma crush injury  yang berat

dapat terlihat kerusakan hebat dibawa kulit lokasi lesi dan sering dijumpai

kerusakan hebat terhadap kulit, jaringan lunak, fascia, saraf, pembuluhh

darah, tulang serta tendon dan organ lainnya. Beberapa tanda yang

mungkin dan sering timbul yaitu klinis pada kulit mungkin hampir sama

dengan trauma bukan crush injury , bengkak daerah trauma, paralisis ( jika

mengenai vertebra), parestesi, nyeri, pulsasi ujung distal dari lokasi trauma

mungkin ada atau tidak ada mioglobinuri yang mana warna urine menjadi

merah gelap atau coklat.

E. Patofisiologi/ patologi

Mekanisme Cedera Sel Otot

Patofisiologi crush injury dimulai dengan cedera otot dan kematian

sel otot. Pada awalnya, ada tiga mekanisme yang bertanggung jawab atas

kematian sel otot2:

1. Immediate Cell Disruption : Kekuatan lokal yang menghancurkan sel

menyebabkanImmediate Cell Disruption (lisis). Walaupun memiliki efek

immediate, mungkin inilah mekanisme yang paling tidak penting

dibandingkan dengan kedua mekanisme yang lain.

2. Direct pressure on muscle cell : Tekanan langsung dari crush injury

menyebabkan sel otot menjadi iskemik. Sel-sel kemudian beralih ke

metabolisme anaerobik, menghasilkan sejumlah besar asam laktat.


Iskemia berkepanjangan kemudian menyebabkan selmembran bocor.

Proses ini terjadi selama satu jam pertama setelah crush injury.

3. Vascular compromise : Kekuatan crush injury menekan pembuluh

darah utama mengakibatkan hilangnya suplai darah ke jaringan otot.

Biasanya, otot bisa bertahan sekitar 4 jam tanpa aliran darah (warm

ischemia time) sebelum kematian sel terjadi. Setelah waktu ini, sel-sel

mulai mati sebagai akibat dari kompromais vaskular.

Pelepasan Substansi Dari Otot yang Cedera

Mekanisme yang tercantum di atas menyebabkan jaringan otot yang

terluka untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah substansi yang

dapat menjadi racun dalam sirkulasi. Mekanisme tekanan padacrush injury

sebenarnya berfungsi sebagai mekanisme perlindungan, mencegah racun

mencapai sirkulasi pusat.

Konsekuensi Reperfusi

Kebocoran membran sel dan kapiler menyebabkan cairan

intravaskuler terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini menyebabkan

hipovolemia yang signifikan dan akhirnya hipovolemik shock. Kehilangan

kalsium ke dalam jaringan yang cedera juga berkontribusi untuk

hypocalcemia.

Sindrom Komparteme

Kelompok otot yang dikelilingi oleh lapisan keras dari fasia jaringan

membentuk kompartemen jaringan. Ketika jaringan otot dalam

kompartemen membengkak, tekanan dalam kompartemen juga meningkat.


Hal ini menyebabkan iskemia yang memburuknya dan selanjutnya terjadi

kerusakanotot. Selain itu, pembuluh darah atau saraf yang berjalan melalui

kompartemen juga akan cedera.

Penilaian

Pasien dengan crush injury memiliki sedikit tanda dan gejala. Kita

harus waspada mungkin terlalu terlambat untuk hasil optimal pengobatan

jika intervensi kita tertunda karena menunggu tanda-tanda dan gejala crush

injury muncul. Crush syndrome harus diantisipasi. Crush syndrome harus

dicurigai pada pasien dengan pola cedera tertentu. Kebanyakan pasien

dengancrush syndrome memiliki area cedera tubuh yang luas

sepertiekstremitas bawah dan/atau panggul.Crush syndrome dapat

berkembang setelah 1 jam dalam situasi yang parah, tetapi biasanya

membutuhkan 4 sampai 6 jam untuk proses-prosesnya.

F. Manifestasi klinis

1. Nyeri

2. Kehilangan fungsi

3. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak

4. Perubahan warna dan memar

5. Krepitasi

6. Hematuria

7. Syok

8. Perdarahan
G. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk

memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung.

b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria atau

mikroskopik.

2. Pemeriksaan radiologis

a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan

radiologis dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.

b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan

eksterna bila keadaan umum memungkinkan.

c. Pemeriksaan urologis

d. CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul

dan derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT

scan juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait

dengan fraktur acetabular.

e. MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila

dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu

penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu

itu dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan

MRI.

f. Ultrasonografi sebagai bagian dari the Focused Assessment with

Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya


divisualisasikan untuk menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic.

Namun, studi terbaru menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas

yang lebih rendah untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada

pasien dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa,

meskipun nilai prediksi positif mencatat hemoperitoneum sebagai

bagian dari pemeriksaan FAST yang baik, keputusan terapeutik

menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas.

g. Cystography Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan

hematuria dan urethra utuh

H. Kemungkinan komplikasi

1. Hypotensi

2. Crush Syndrome

3. Renal Failure

4. Compartmen Syndrome

5. Cardiac Arres

I. Penatalaksanaan

Pada crush injury perlu adanya penanganan yang segera karena

lebih dari 6-8 jam setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik

akan menyebabkan kondisi pasien semakin memburuk dan terjadi banyak

komplikasi lain yang dapat memperberat kondisi pasien dan penanganan

selanjutnya menjadi semakain sulit. Penanganan pada crush injury dapat


dimulai dari tempat kejadian yaitu dengan prinsip primary surface ( ABC)

terutama mempertahankan atau mengurangi perdarahan dengan cara

bebat tekan sementara dilarikan ke rumah sakit.

Penanganan di Rumah Sakit harus diawali dengan prinsip ATLS.

Pemberian O2 guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama

organ-organ vital. kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan

awal harus diarahkan untuk mengoreksi takikardia atau hipotension

dengan memperluas volume cairan tubuh dengan cepat dengan

menggunakan cairan NaCl (isotonic) atau ringer laktat diguyur dan

kemudian dilanjutkan perlahan kurang lebih 1-1,5 l/jam.

Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran

terapi akhir-akhir ini berupa pemberian cairan intravena dan manitol untuk

mempertahankan diuresis minimal 300-400 ml/jam, dalam hal ini penting

dipasang  volley cateter  guna menghitung balance  cairan masuk dan

cairan keluar. Volume agresif ini dapat mencegah kematian yang cepat

dan dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat memperbaiki

perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.

Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome.

Ini akan mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang

sering timbul dan juga sebagai salah satu langkah pertama dalam

mengobati hiperkalemia.Hal ini juga akan meningkatkan pH urin, sehingga

menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap di ginjal. Masukkan

natrium bikarbonat intravena sampai pH urine mencapai 6,5 untuk


mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal. Disarankan bahwa

500-1000 mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.

Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk

memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam

biasanya diberikan:

1. Insulin dan glukosa

2. Kalsium - intravena untuk disritmia

3. Beta 2- agonists – albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll

4. Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayekalate).

5. Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut

Pemberian &anitol intravena memiliki tindakan yang menguntungkan

beberapa korban crush syndrome  guna melindungi ginjal dari efek

rhabdomyolisis, peningkatan volume cairan ekstraselular dan

meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu, intravena manitol selama

menit berhasil mengobati sindrom kompartemen, dengan menghilangkan

gejala dan mengurangi bengkak (edema).

Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram 7 /kg atau ditambahkan

ke cairan intravena pada pasien sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum

adalah 200 gr/kg, dosis yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi

ginjal. Manitol boleh diberikan hanya setelah aliran urin baik yang dikoreksi

dengan cairan IV lain sebelumnya.

Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup dengan dressing

sterile dengan kain kasa. Lokasi cedera diangkat lebih tinggi dari posisi
jantung akan membantu untuk membatasi edema dan mempertahankan

perfusi. Antibiotik intravena sering digunakan guna mencegahinfeksi, obat-

obatan untuk mengontrol rasa sakit (analgetik) dapat diberikan yang

sesuai. Torniket yang kontroversial perlu jika perdarahan aktif.  

Amputasi di lapangan atau tempat kejadian digunakan hanya sebagai

upaya terakhir. Ini mungkin sesuai strategi penyelamatan untuk pasien

yang hidupnya berada dalam bahaya langsung dan yang tidak dapat

melepaskan diri dengan cara lain. <ni merupakan bidang yang sulit dengan

prosedur yang sangat meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan pada

pasien. Amputasi dirumah sakit harus dilakukan oleh dokter ahli yang

berkompeten berdasarkan keahlian.

Pada amputasi bawah lutut dapat dilakukan jika ada kerusakan yang

sulit untuk dipertahan lagi dan kerusakan fungsi komponen yang terdapat

pada daerah bawah lutut (under of knee) yang melibatkan kerusakan kulit,

soft tissue, otot, vaskularisasi, persarafan, tendon, fascia  serta tulang.

Sehingga amputasi pada daerah bawah lutut dapat dilakukan dengan cara

mempertahankan otot dan komponen lainnya serta kondilus tulang paha,

namun pada kasus crush injury  (regio cruris) yang kerusakannya

mencapai tulang patella, dapat dilakukan tindakan amputasi daerah diatas

lutut (amputation above the knee). Pastikan tindakan ini membantu pasien

untuk berlatih seketika setelah amputasi, supaya dapat memperkuat otot:

adductor  sisa, mencegah prosthesis gerakkan keluar ketika ia berjalan,

dan otot extensors, sebab kedua fungsi otot ini akan melebarkan pinggul
pasien dan prosthesi, yang mana untuk membentuk lututnya dan juga

harus belajar untuk menyeimbangkan pinggulnya sebagai ganti otot yang

diamputasi. Tujuan operasi amputasi bawah lutut adalah untuk

menghasilkan sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas

dari jaringan parut yang sensitif dengan tulang yang cukup baik ditutupi

oleh otot dan jaringan subkutan yang sesuai dengan panjangnya.

Ujung puntung sebaiknya dilapisi oleh jaringan kulit, subkutan, fasia

dan otot yang sehat dan tidak melekat. Dalam hal ini sangat penting

pengetahuan yang lebih mengenai anatomi dan fisiologi pada lokasi

amputasi dan dilakukan petugas medik.

  Adapun indikasi yang sangat penting diketahui yaitu:

1. Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan

yang mengancam jiwa (perdarahan dan infeksi). 0angat mengancam

nyawa bila dibiarkan, misalnya pada crush injury, sepsis yang berat,

dan adanya tumor ganas.


2. Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas

secara maksimal), seperti pada kelainan kongenital dan keganasan.

Anggota gerak tidak berfungsi sama sekali, sensibilitas anggota gerak

hilang sama sekali, adanya nyeri yang hebat, malformasi hebat atau

ostemielitis yang disertai dengan kerusakan tulang hebat. Serta

kematian jaringan baik akibat diabetes melitus (DM), penyakit vaskuler,

setelah suatu trauma, dapat di indikasikan amputasi


J. Clinical Pathway

Trauma langsung:
Jatuh, hantaman, kecelakaan, dll

Tekanan pada tulang

Terbatas dalam menghadapi


energi atau tekanan

Fraktur

Prosedur
pembedahan Pergeseran fragmen tulang

Merusak jaringan
Pre op Resiko infeksi sekitar
Nyeri akut
HB menurun
Menembus kulit
Kurangnya
Resiko
pengetahuan Hambatan mobilitas
pendarahan
fisik
luka Gangguan
Defisiensi integritas kulit
pengetahuan
Syok
hipovolemik Resiko infeksi

ansietas

Post op

Syok Mual
hipovolemik
Efek samping anastesi
Resiko infeksi
Penurunan curah Resiko
jantung ketidakefektifan
perfusi ginjal Konfusi
akut

Penurunan
kesadaran
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

I. Identitas Pasien

Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama,

umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku

bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan

pasien.

II. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Keluhan penderita yang utama adalah nyeri area panggul.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Bagaimana serangan itu timbul, lokasi, kualitas dan factor

yang mempengaruhi atau memperberat keluhan sehingga dibawa

ke rumah sakit.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Adalah riwayat atau pengalaman masa lalu tentang

kesehatan atau penyakit yang pernah di alami..

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan

atau keperawatan yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga,

apakah ada yang menderita penyakit yang seperti dialami pasien.


III. Pengkajian Keperawatan

Pola fungsional Gordon:

1) Pola persepsi kesehatan menggambarkan akan pentingnya

pengetahuan tentang kesehatan.

2) Pola nutrisi dan metabolik menggambarkan akan konsepsi relatif

kebutuhan meltabolik dan asupan gizi. Pola konsumsi makanan

dan cairan, keadaan pertumbuhan, rambut, kuku, kulit dan

membran mukosa.

3) Pola eliminasi : menggambarkan pola ekresi

4) Pola aktivitas dan mobilisasi : menggambarkan aktivitas

pengisian waktu sehari hari.

5) Pola tidur dan istirahat : menggambarkan pola istirahat dan tidur.

6) Pola persepsi dan konsep diri : kemampuan menggambarkan diri

sendiri, kemampuan dan peran.

7) Pola mekanisme koping : pada pasien hemangioma mengalami

ketakutan akan penyakit yang di derita dan tindakan yang akan

dilakukan.

8) Pola keyakinan dan kepercayaan : menggambarkan dalam diri

melakukan ibadah, agama yang dianut.


Pemeriksaan fisik

Keadaan umum pasien hemangioma tingkat kesadaran

composmentis, tidak menunjukkan tandatanda yang berbahaya.

1) Kepala : rambut hitam, tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi

dikepala.

2) Mata : Mata simetris, pupil isokor, reaksi pupil terhadap cahaya

baik, konjungtiva merah muda, sklera putih, pengelihatan baik.

3) Hidung : Simetris, tidak ada secret dalam hidung, tidak ada lesi,

fungsi penciuman baik

4) Mulut : mukosa pucat, tidak ada stomatitis,gigi lengkap, tidak ada

karies gigi.

5) Telinga : Daun telinga kanan dan kiri simetris, tidak ada serumen

dalam telinga, tidak ada nyeri tekan, tidak ada luka, fungsi

pendengaran baik.

6) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada

gangguan menelan.

7) Dada

Paru-paru:

Inspeksi : tidak menggunakan otot bantu nafas

Palpasi : pengembangan paru sama, tidak ada nyeri tekan

Perkusi : sonor

Auskultasi: tidak ada suara tambahan, vesikuler

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : pekak

Auskultasi: s1 s2 teratur, tunggal

8) Abdomen Inspeksi : datar tidak terlihat masa

Auskultasi : peristaltik usus normal 20x/menit

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan

Perkusi :tympani

9) Ekstremitas Ekstremitas atas : terpasang infus, tidak terjadi

gangguan fungsi gerak pada ekstremitas atas.

Ekstremitas bawah : daerah panggul ada bengkak/lika, kaki tidak

dapat digerakkan,

10)Genetalia: penyebaran dan pertumbuhan rambut pubis, inspeksi

bentuk, ukuran, kelainan pada penis/labia, kebersihan, keadaan

uretra, nyeri tekan, elastisitas, termasuk area inguinal.

Anus: area perianal, lesi, benjolan, pelebaran vena, kebersihan,

colok dubur (dinding rectum, kelenjar prostat pada laki-laki).

11)Kulit dan kuku:

Kulit: Warna kulit, tektur kulit, elastisitas/turgor, akral, kebersihan,

kelembaban, tekstur, kelainan kulit, lesi, derajat edema, nyeri

tekan, termasuk inspeksi distribusi pertumbuhan rambut.

Inspeksi adanya hemangioma, ukur berapa panjang/lebar

hemangioma.
Intoleransi aktivitas

Kuku: Warna kuku, bentuk, elastisitas, lesi, tanda radang,

kebersihan, panjang/pendeknya, CRT.

12)Keadaan lokal

Pengkajian terfokus pada kondisi local. Ukur berapa panjang dan

lebar hemangioma.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan resiko prosedur bedah, luka pada

area cidera.

4. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan

keterbatasan/deformitas.
C. Intervensi Keperawatan

Masalah NOC NIC

Keperawatan
Nyeri Akut Nyeri akut pada pasien dapat teratasi Manajemen nyeri

selama dilakukan tindakan keperawatan 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif

dengan kriteria hasil: meliputi lokasi, karakteristik, durasi

1. Mampu mengontrol nyeri (tahu frekuensi, kualitas dan faktor pencetus.

penyebab nyeri, mampu menggunakan 2. Observasi adanya reaksi nonverbal dan

tehnik nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan.

mengurangi nyeri, mencari bantuan) 3. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 4. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti

dengan menggunakan manajemen nyeri penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan

3. Mampu mengenali nyeri (skala, dirasakan, dan antisipasi dari

intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) ketidaknyamanan akibat prosedur.

4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 5. Kontrol lingkungan yang dapat


Resiko infeksi

berkurang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan dan kebisingan

6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(farmakologi, non farmakologi dan inter

personal).

7. Berikan individu penurun nyeri yang

optimal dengan peresepan analgesik.

8.  Ajarkan tentang teknik non farmakologi

(seperti relaksasi, hypnosis, akrupessure

dll)

9. Kolaborasikan dengan dokter jika ada

keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil

10. Monitor penerimaan pasien tentang

manajemen nyeri.

Resiko Infeksi Pasien terbebas dari resiko infeksi selama Kontrol infeksi :
(Post Op) dilakukan tindakan keperawatan, dengan 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah

kriteria hasil: digunakan untuk setiap pasien.

1. Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Isolasi orang yang terkena penyakit

infeksi menular.

2. Mendeskripsikan proses penularan 3. Batasi jumlah pengunjung.

penyakit, faktor yang mempengaruhi 4. Ajarkan cara cuci tangan.

penularan serta penatalaksanaannya 5. Anjurkan pasien mengenai teknik cuci

3. Menunjukkan kemampuan untuk tangan dengan benar.

mencegah timbulnya infeksi 6. Gunakan sabun antimikroba untuk

4. Jumlah leukosit dalam batas normal (N: mencuci tangan yang sesuai.

5,0-14,5 mm3) 7. Cusi tangan sebelum dan sesudah

5. Suhu: 36,5-37,50 C kegiatan perawatan pasien.

8. Pakai sarung tangan sebagaimana

dianjurkan oleh kebijakan pencegahan

universal.
9. Pakai sarung tangan steril dengan tepat.

10. Pastikan penangan aseptik dari semua

saluran IV.

11. Pastikan perawatan luka yang tepat

12. Verikan terapi antibiotik yang sesuai

13. Anjurkan pasien untuk meminum antibiotik

yang sesuai.

14. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai

tanda dan gejala infeksi dan kapan harus

melaporkannya kepada petugas

kesehatan.

15. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai

bagaimana cara menghindari infeksi

Kerusakan Integritas  Tissue Integrity : skin and mucous Pressure Management

Kulit  Membranes 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan


 Hemodyalis akses pakaian yang longgar

Kriteria Hasil : 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih

1. Integritas kulit yang baik bisa di dan kering

pertahankan (sensasi, elastisitas, 3. Monitor kulit akan adanya kemerahan

temperature, hidrasi, pigmentasi) 4. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

2. Tidak ada luka/lesi pada kulit 5. Monitor status nutrisi pasien

3. Perfusi jaringan baik 6. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area

4. Menunjukkan pemahaman dalam insisi

proses perbaikan kulit dan mencegah 7. Bersihkan area sekitar jahitan

terjadinya cedera berulang 8. Ganti balutan pada interval waktu yang

5. Mampu melindungi kulit dan sesuai

mempertahankan kelembaban kulit

dan perawatan alami


Hambatan Mobilitas  Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation

Fisik  Mobility Level 1. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang

 Self care : ADLs rencana ambulasi sesuai dengan


Kriteria Hasil : kebutuhan

1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

2. Mengerti tujuan dari peningkatan 3. Latih pasien dalam pemenuhan

mobilitas kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai

3. Memverbalisasikan perasaan dalam kemampuan

meningkatkan kekuatan dan 4. Ajarkan pasien bagaimana merubah

kemampuan berpindah posisi dan berikan bantuan jika

4. Bantu untuk mobilisasi diperlukan


D. Implementasi

Asmadi (2008), menjelaskan bahwa, implementasi adalah tahap

ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam

bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap

implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan

untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu,

kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan

observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan,

kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi.

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir

yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan (Carpenito, 2009). Ada 3 jenis evaluasi keperawatan

mengenai berhasil/tidaknya suatu tindakan, antara lain:

1. Teratasi: apabila perilaku pasien sesuai dengan pernyataan tujuan dan

waktu yang sebelumnya sudah ditetapkan.

2. Teratasi sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak memenuhi

semua kriteria dan tujuan serta waktu yang telah ditetapkan.

3. Belum taratasi: pasien belum menunjukkan perilaku yang dituliskan

dalam tujuan, kriteria hasil dan waktu yang telah ditentukan.


DAFTAR PUSTAKA

Baughman. D. C. dan J. C. Hackley. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku

dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC. https://books.google.co.id/books

[Diakses pada 28 April 2018]

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta: EGC

Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., dan C. M. Wagner. 2016.

Nursing Interventions Classification (NIC). Philadelphia: Elsevier.

Carpenito,L.J.2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Dialihbahasakan oleh

Asih,Y. Edisi ke-10.Jakarta:EGC.

Herdman, T. H. & Kamitsuru S. 2015. Nanda International: Diagnosis

Keperawatan. Jakarta: EGC

Moohead, S. M. J., M. L. Maas., dan E. Swanson. 2016. Nursing Outcomes

Classification (NOC). Philadelphia: Elsevier

Mubarak, W. I. 2015. Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur Tetap dalam

Praktik Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,

dan Praktik. Jakarta: EGC


Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas

%20.2013.pdf [Diakses pada 4 Mei 2018]

Syafuddin. 1997. Anatomi fisiologi untuk siswa perawat edisi 2 – Jakarta : EGC

Syafuddin. 2006. Anatomi fisiologi untuk mahasiswa perawat edisi 3 – Jakarta :

EGC

Widia, Lidia. 2015. Anatomi, Fisiologi, dan Siklus Kehidupan Manusia.

Yogyakarta :Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai