Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH SISTEM IMUN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA HIPERSENSITIVITASS STEVEN JONSHON

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : VII

TINGKAT : II.B

SEMESTER : IV

MARIANA (C1814201084)

MEYLINDA PAEMBONAN (C1814201086)

MICHELE LIKLIK WATIL (C1814201087)

NIKEN (C1814201088)

PAETRICK PIETER SIMSON DE FRETES (C1814201090)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini disusun untuk mengetahui asuhan
keperawatan pada system imun menyangkut penyakit hipersensitivitas Steven-Jonhson

Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini, khususnya pada dosen pembimbing, yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
karya tulis ini dengan baik.

Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritikan dan saran agar
penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak
terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca.

Makassar, 26 April 2020

Kelompok VII

i
DAFTAR ISI

SAMPUL ...................................................................................................................

KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................. 1


1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................. 2
1.3 TUJUAN ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 3

21. LANDASAN TEORI KEPERAWATAN ..................................................... 3

A. DEFINISI ................................................................................................ 3
B. ETIOLOGI .............................................................................................. 3
C. KLASIFIKASI ........................................................................................ 4
D. PATOFISIOLOGI ................................................................................... 5
E. MANIFESTASI KLINIK ........................................................................ 6
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ........................................................... 8
G. PENATALAKSANAAN ........................................................................ 8
H. KOMPLIKASI ........................................................................................ 12

2.1.1 PENGKAJIAN ........................................................................................... 13

2.1.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN ............................................................... 14

2.1.3 INTERVENSI KEPERAWATAN ............................................................. 17

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal


necrolysis (TEN) atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan
kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis.
Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan
selaput lendir.

Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan
gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih.

Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin,
2012).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom steven johnson
yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh
dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon
dari pengobatan, infeksi, dan terkadang keganasan.

Terdapat tiga derajat klasifikasi yang diajukan menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%

2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%

i
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana landasan teorti pada gangguan hipersensitivitas Steven-Jonhson ?
2. Bagaimana konsep dasar keperawatan pada gangguan hiprsensitivitas Steven-Jonhson
secara teori ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana landasan teorti pada gangguan hipersensitivitas Steven-
Jonhson
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar keperawatan pada gangguan
hiprsensitivitas Steven-Jonhson secara teori

i
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori Keperawatan

A. DEFENISI

Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal


necrolysis (TEN) atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan
kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis.
Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan
selaput lendir.

Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan
gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih.

B. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifaktorial. Ada yang


beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut
eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain:

1. Infeksi
a. Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi
saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu,
Lympho Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smalpox virus.
Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan
Sindroma Stevens-Johnson.

i
b. Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia,
Psitacosis, Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid Fever.
c. Jamur
Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema
Multiforme Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan sebagai Sindroma
Stevens-Johnson.
d. Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

2. Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara
lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin,
chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan.
3. Penyakit-penyakit Kolagen Vaskuler.
4. Pasca Vaksinasi: BCG, Smalpox dan Poliomyelits.
5. Penyakit-penyakit Keganasan: Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma,
dan polisitemia.
6. Kehamilan dan Menstruasi.
7. Neoplasma
8. Radioterapi

C. KLASIFIKASI
1. Sindrom Steven Johnson
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis
yaitu sebanyak <10 %.
2. Sindron Steven Johnson dan TEN
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis
yaitu sebanyak <10-30%.
3. TEN

i
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached dermis
yaitu sebanyak >30%.

D. PATOFISIOLOGI
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi mikro
presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan

Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam


jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan
atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan
mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel,
serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak


kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau
sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa
hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik
sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa
faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang

i
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak
dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal
diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson


Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam, mata
menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya, gejala-gejala ini
mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi awal keterlibatan kulit adalah
wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan dan kaki.
Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa mata
terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan dalam beberapa kasus sistem pernapasan
dan pencernaan juga dipengaruhi.

Keterlibatan okular akibat timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat


berkisar dari akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, dan okular

i
debit, ke membrane konjungtiva atau pseduomembrane pembentukan atau erosi
kornea, dan, pada kasus yang berat, untuk cicatrizing lesi, symblepharon, forniks
foreshortening, dan ulserasi kornea
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
1. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,
antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan
bula. Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau
targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target
pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki
2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak
dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.
Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut
menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.

Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda
Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan
seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar
kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-
30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN).
Serta jika lebih dari 30% area tubuh, makadisebutToxic Epidermal Necrolysis
(TEN).

2. Kelainan pada mukosa


Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan,
pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.

Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan
mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang
dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak
kehitaman terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada
mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga
i
menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada
saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.
3. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak
mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek
epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan
sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula
terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Laboratorium
Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi

Histopatologi

Infiltrasi sel ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superficial


Edema dan extravasasi sel darah merah di dermis papilar.
Degenerasi hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang dianeksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

Imunologi

Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial dan pada pembulih
darah yang mengalami kerusakan
Terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri
atau dalam kombinasi

G. PENATALAKSANAAN
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang harus
dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim pada
intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk menjaga

i
keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan
pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang luas.

1. Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka
bakar. Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka,
manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen
suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.
a. Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.
Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab
terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan
apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau
SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila
obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih
dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat
penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih
tinggi.

b. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi


SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan
erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit.
Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap
harinya. Jumlah infusbiasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan
yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih
disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral sering
melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang perlu dijaga
adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C -
32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan
epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman
pasien.

c. Antibiotic
i
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara
lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin
dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada
kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang
dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.

d. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif
tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah
halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem
berkenaan dengan sitokin peradangan. Pengobatan topikal diberikan untuk
mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi.
Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin
sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio
antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk
mengurangi pertumbuhan bakteri.

e. Perawatan Mata dan Mulut


Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah
fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien penyakit
ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata, inflamasi
episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang menyerupai
pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak mata
dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep mata.
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan
topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat
mengurangi sakit waktu menelan.

f. Perawatan vulvovaginal
i
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus
dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan
ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi
labial serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik
serviks / endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan
memberikan kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien
dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid
topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis
vagina.

2. Penatalaksanaan Spesifik
a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-
40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena
pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi).

b. Immunoglobulin Intravena (IVIG)


IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang
diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian
IVIG pada awal (24-72 jam setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan
reseptor berikatan, walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien
dengan defisiensi Ig A akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan
pemeriksaan tingkat IgA sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat
menyebabkan keterlambatan pengobatan.

c. Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan
dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan
SSJ/NET. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan
siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang
cepat dan angka mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid
i
dan kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang
menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah
dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang
signifikan. Durasi pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya
hingga pasien mengalami reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan
ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan
tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di kebanyakan sentra.

d. Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb
TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu
epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan
dalam sejumlah kecil pasien.

e. Plasmafaresis atau Hemodialisis


Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah
mendorong perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan
seperti sitokin. Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya
dalam penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak
adanya dasar dan adanya resiko yang dihubungkan dengan pemasangan kateter
intravaskular, penatalaksanaan ini tidak direkomendasikan.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat
menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah
,gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock .Pada mata
dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi.
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Kehilangan cairan dan darah
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi - Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
i
Pulmonari – pneumonia, bronchopneumoni
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis

2.1.1 PENGKAJIAN
Identitas Pasien
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, alamat, dan nomor register.
 Riwayat Kesehatan
1.  Keluhan Utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
2.  Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven
Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala,
batuk, pilek, dan sakit tenggorokan
3.   Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat
penyakit yang sebelumnya dialami klien
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
5.  Riwayat Psikososial
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial.

Pola Fungsional Gordon


1. Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat konsumsi obat-obatan
tertentu.
2. Pola nutrisi – metabolic
Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu makan, sariawan
pada mulut, dan kesulitan menelan.
3. Pola eliminasi
Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin, konstipasi,
membutuhkan bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau perawat.
i
4.  Pola aktivitas – latihan
Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas, sehingga sulit
untuk beraktifitas.
5. Pola istirahat – tidur
Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan istirahat karena
nyeri yang dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.
6. Pola kognitif – persepsi
Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada penglihatannya, serta rasa
nyeri dan panas di kulitnya
7. Pola persepsi diri - konsep diri
Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa malu dengan keadaan
tersebut, dan mengalami gangguan pada citra dirinya.
8. Pola peran - hubungan
: Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?
b. Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
c. Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat sekitarnya?
9. Pola reproduksi dan seksualitas
: Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah status reproduksi klien?
b. Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
10. Pola koping dan toleransi stress
: Pada pola ini kita mengkaji:
a. Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?
b. Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya?
c. Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
11. Pola nilai dan kepercayaan
: Pada pola ini kita mengakaji:
a. Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien
b. Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?

2.1.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

i
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens farmaseutikal ditandai
dengan adanya lesi pada kulit, mukosa, dan mata
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
(gangguan integritas kulit)
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis ditandai dengan kulit yang
terkelupas dan adanya lesi
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan ditandai dengan demam, sakit tenggorokan, dan adanya
gangguan pada mukosa
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi kebutuhan cairan

i
DAFTAR PUSTAKA

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/download/7019/pdf

https://ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/download/1632/899

i
2.1.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
N DIAGNOSA NOC NIC
O
1. Kerusakan integritas kulit Integritas Jaaringan : Kulit & Membran Pengecekan kulit
berhubungan dengan agens Mukosa 1. Monitor warna dan suhu kilt
farmaseutikal ditandai 1. Integritas kulit dipertahankan pada 2. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
dengan adanya lesi pada skala 2 ditingkatkan ke skala 4 3. Monitor infeksi, terutama dari daerah edema
kulit, mukosa, dan mata 2. Lesi pada ulit di pertahankan pada 4. Dokumntasikan perubahan membran mukosa
skala 2 ditingkatkan ke skala 4 5. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah
3. Lesi pada mukosa membran kerusakan lebih lanjut
dipertahankan pada skala 2 di 6. Ajarkan anggota keluarga/pemberi asuhan
tingkatkan ke skala 4 mengenai tanda-tanda keruskan kulit dengan
tepat.

Perawatan luka
1. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase,
warna ukuran dan bau
2. Berikan rawatan insisi pada luka yang
diperlukan
3. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
4. Resposisi pasien setidakya 2 jam dengan tepat

i
5. Dorong cairan yang sesuia
6. Anjurksn pasien dan eluarga untuk mengenal
tanda dan gejala infeksi
7. BeriUnit TENS
2. Resiko infeksi berhubungan Keparahan Infeksi Pengecekan kulit
dengan pertahanan tubuh 1. Kemerahan dipertahankan pada skala 1. Monitor warna dan suhu kilt
primer tidak adekuat 2 di tingkatkan ke skala 4 2. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
(gangguan integritas kulit) 2. Demam dipertahankan pada skala 2 di 3. Monitor infeksi, terutama dari daerah edema
tingkatkan ke skala 4 4. Dokumntasikan perubahan membran mukosa
3. Nyeri dipertahankan pada skala 2 di 5. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah
tingkatkan ke skala 4 kerusakan lebih lanjut
4. Malaise dipertahankan pada skala 2 di 6. Ajarkan anggota keluarga/pemberi asuhan
tingkatkan ke skala 4 mengenai tanda-tanda keruskan kulit dengan
tepat.
Status Imunitas
1. Suhu tubuh dipertahankan pada skala Perawatan luka
2 di tingkatkan ke skala 4 1. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase,
2. Integritas kulit dipertahankan pada warna ukuran dan bau
skala 2 di tingkatkan ke skala 4 2. Berikan rawatan insisi pada luka yang
3. Integritas mukosa dipertahankan pada diperlukan
skala 2 di tingkatkan ke skala 4 3. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
4. Imunitas saat ini dipertahankan pada 4. Resposisi pasien setidakya 2 jam dengan tepat

i
skala 2 di tingkatkan ke skala 4 5. Dorong cairan yang sesuia
6. Anjurksn pasien dan eluarga untuk mengenal
tanda dan gejala infeksi
7. BeriUnit TENS

Perlindungan infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Batasi jumlah pengunjung, yang sesuai
4. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
5. Anjurkan asupan cairan, dengan tepat
6. Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana cara
menghindari infeksi
7. Lapor dugaan infeksi pada personil pengendali
infeksi

3. Nyeri akut berhubungan Nyeri : Efek yang menganggu Manajamen nyeri


dengan agens cedera 1. Ketidaknyamanan dipertahankan 1. Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat
biologis ditandai dengan pada skala 2 ditingkatkan ke skala 4 menurunkan atau memperberat nyeri
kulit yang terkelupas dan 2. Gangguan alam perasaan 2. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat
dipertahankan pada skala 2 mempengaruhi respon pasien terhadap

i
adanya lesi ditingkatkan ke skala 4 ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan,
3. Gangguan dalam rutinitas pencahayaan, suara bising).
dipertahankan pada skala 2 3. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
ditingkatkan ke skala 4 menangani nyeri dengan tepat
Tingkat Kecemasan 4. Ajarkan psrinsip-prinsio manajemen nyeri
1. Distress dipertahankan pada skala 2 5. Berikan individu penurun nyeri yang optimal
ditingkatkan ke skala 4 dengan peresepan analgesik.
2. Gangguan tidur dipertahankan pada
skala 2 ditingkatkan ke skala 4
4. Ketidakseimbangan nutrisi: Status Nutrisi : Asupan Makanan & Terapi menelan
kurang dari kebutuhan Cairan 1. Monitor hidrasi tubuh (misalnya, intake
tubuh berhubungan dengan 1. Asupan makanan secara oral output, turgor kulit, membran mukosa)
ketidakmampuan makan dipertahankan pada skala 2 2. Bantu pasien untuk duduk tegak (sebisa
ditandai dengan demam, ditingkatkan ke skala 4 mungkin mendekati 90 derajat) untuk
sakit tenggorokan, dan 2. Asupan cairan secara oral makan/latihan makan
adanya gangguan pada dipertahankan pada skala 2 3. Sediakan/gunakan alat bantu sesuai kebutuhan
mukosa ditingkatkan ke skala 4 4. Jelaskan rasionalisasi latihan menelan ini pada
pasien/keluarga
Status Menelan 5. Konsultasikan dengan terapis atau dokter
1. Kemampuan mengunyah untuk meningkatkan konsistensi makanan
dipertahankan pada skala 2 pasien secara bertahap
ditingkatkan ke skala 4

i
2. Tidak nyaman dengan menelan Manajemen nutrisi
dipertahankan pada skala 2 1. Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
ditingkatkan ke skala 4 makanan yag dimiliki pasien
2. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan
perawwatan mulut sebelum makan
3. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan
makanan tertentu berdasarkan perkembanagan
atau usia
4. Berikan arahan bila diperlukan
5. Berikan obat-obatan sebelum makan
(misalnya, penghilang rasa sakit, antiemetik),
jika diperlukan
5. Resiko kekurangan volume Keseimbanagn Cairan Monior cairan
cairan berhubungan dengan 1. Keseimbangan intake dan output 1. Monitor membran mukosa, turgor kulit dan
faktor yang mempengaruhi dalam 24 jam dipertahankan pada respon haus
kebutuhan cairan skala 2 ditingkatkan ke skala 4 2. Berikan cairan dengan tepat
2. Turgor kulit dipertahankan pada skala 3. Konsultasikan ke dokter jika pengeluaran urin
2 ditingkatkan ke skala 4 kurang dari 0.5 ml/kg/jam atau asupan cairan
3. Berat badan stabil dipertahankan pada orang dewasa kurangdari 2000 dalam 24 jam
skala 2 ditingkatkan ke skala 4 4. Berikan agen farmakologis untuk
meningkatkan pengeluaran urin.
Integritas Jaringan : Kulit & Membran

i
Mukosa Pencegahan syok
1. Integritas kulit dipertahankan pada 1. Monitor terhadap adanya tanda awal reaksi
skala 2 ditingkatkan ke skala 4 alergi
2. Lesi pada ulit di pertahankan pada 2. Posisikan pasien dalam posisi supine, dengan
skala 2 ditingkatkan ke skala 4 posisi kaki ditinggikan (volume,vasogenik)
3. Lesi pada mukosa membran atau supine dengan kepala dan bahu
dipertahankan pada skala 2 di ditinggikan (kardiogenik) sesuai kebutuhan
tingkatkan ke skala 4 3. Anjurkan pasien dan keluarga mengenai
tanda/gejala syok yang mengancam jiwa
4. Anjurkan pasien dan keluarga mengenai faktor
pemicu syok
5. Berikan cairan melalui IV dan atau oral, sesuai
kebutuhan

Anda mungkin juga menyukai