Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN DI RUANG ICU


RSUD TUGUREJO SEMARANG

DISUSUN OLEH :
AYUNINGTYAS BUDI RAHAYU
SK. 313. 011

PRAKTEK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
TAHUN AKADEMIK 2013 2014
LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA BERAT

1. Pengertian Cedera Kepala Berat


Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
Cedera kepala adalah gangguan traumatik dari fungsi otak, tanpa atau
diikuti terputusnya kontinuitas otak dan dapat mengakibatkan kematian dan
kecacatan pada manusia (http://ppni-klaten.com)
Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena
hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak (B.Batticaca, 2008).
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan
pasien mengalami gangguan kesadaran, sehingga memiliki nilai GCS 8
(Brunner & Suddarth, 2001).

2. Etiologi Cedera Kepala Berat


a. Kecelakaan lalu lintas
b. Trauma benda tajam
c. Trauma benda tumpul
d. Kejatuhan benda berat
e. Kecelakaan industri (http://ppni-klaten.com)

Menurut Ginsberg (2007), cedera kepala disebabkan oleh:


a. Kecelakaan lalu lintas/industri
b. Jatuh
c. Benturan benda tajam/ tumpul
d. Trauma pada saat kelahiran
e. Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
f. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
g. Trauma tembak dan pecahan bom

3. Patofisiologi Cedera Kepala Berat


Trauma pada kepala bisa disebabkan oleh benda tumpul maupun benda
tajam. Cedera yang disebabkan benda tajam biasanya merusak daerah
setempat atau lokal dan cedera yang disebabkan oleh benda tumpul
memberikan kekuatan dan menyebar ke area sekitar cedera sehingga
kerusakan yang disebabkan benda tumpul lebih luas. Berat ringannya cedera
tergantung pada lokasi benturan, penyerta cedera, kekuatan benturan dan
rotasi saat cedera (http://ppni-klaten.com)
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan
kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil
yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang
meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak
sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya (Brunner & Suddarth, 2002)

4. Pathway Cedera Kepala Berat


Lampiran.

5. Tanda dan Gejala Cedera Kepala Berat


a. Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%)
b. Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg)
c. Gangguan kesadaran
d. Abnormalitas pupil
e. Defisit neurologic
f. Hemiparase
g. Kejang
h. Perubahan tanda-tanda vital
i. Mual dan muntah
j. Vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan
pendengaran.
k. GCS < 8 (Mansjoer Arif ,dkk ,2000).
Tanda gejala menurut jenis pendarahannya
a. Epidural Hematoma
Gejala-gejala yang terjadi : Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri
kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam
cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
b. Subdural Hematoma
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk,
menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil Perdarahan
intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri; kapiler; vena.
c. Perdarahan Subarachnoid
Tanda dan gejala : Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,
dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk (Hudak & Gallo, 2001).

6. Pemeriksaan Penunjang Cedera Kepala Berat


a. CT Scan (dengan atau tanpa kontras)
b. Mengidentifikasi adanya perdarahan, menentukan ukuran vertikel, pergeseran
jaringan otak
c. MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontras
d. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme otak.
e. Echoencephalograpi : melihat keberadaan dan berkembangnya gelombang
patologis.
f. Fungsi lumbal/listernograpi : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid.
g. X-ray : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang, pergeseran struktur dari
garis tengah, adanya frakmen tulang.
h. Cek elektrolit darah : untuk mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK.
i. Analisa Gas Darah : untuk mendeteksi jumlah ventilasi dan oksigenisasi
j. EEG : untuk melihat aktifitas dan hantaran listrik di otak
k. Pneumoenchephalografi dengan memasukkan udara ke dalam ruangan otak
apakah ada penyempitan.
l. Darah lengkap untuk mengetahui kekuatan hemoglobin dalam mengikat O2
(Mansjoer Arif ,dkk ,2000).

7. Pengkajian Primer
Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang
mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda
vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon penderita
terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin
dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul
bila keadaan penderita mengijinkan. Metode pengkajian dalam primary survey
ini yaitu: cepat, ermat, dan tepat yang dilakukan dengan melihat (look),
mendengar (listen), dan merasakan (feel).
a. Airway dan Kontrol Servikal
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen
untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look, listen, dan
feel. Look atau melihat yaitu perawat melihat ada tidaknya obstruksi jalan
napas, berupa agitasi: (hipoksemia), penurunan kesadaran (hipercarbia),
pergerakan dada dan perut pada saat bernapas (see saw-rocking respiration),
kebiruan pada area kulit perifer pada kuku dan bibir (sianosis), adanya
sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk melihat ada tidaknya
darah. Tahapan kedua yaitu listen atau mendengar, yang didengar yaitu
bunyi napas. Ada dua jenis suara napas yaitu suara napas tambahan obstuksi
parsial, antara lain: snoring, gurgling, crowing/stidor, dan suara
parau(laring) dan yang kedua yaitu suara napas hilang berupa obstruksi total
dan henti napas. Terakhir yaitu Feel, pada tahap ini perawat merasakan
aliran udara yang keluar dari lubang hidung pasien.
b. Breathing dan Ventilasi
Pada tahap look (melihat), yang dilakukan yaitu: melihat apakah
pasien bernapas, pengembangan dada apakah napasnya kuat atau tidak,
keteraturannya, dan frekuensinya. Pada tahap listen( mendengar) yang
didengar yaitu ada tidaknya vesikuler, dan suara tambahan napas. Tahap
terakir yaitu feel, merasakan pengembangan dada saat bernapas, lakukan
perkusi, dan pengkajian suara paru dan jantung dengan menggunakan
stetoskop.
c. Sirkulasi dan Kontrol Perdarahan
Pengkajian circulation, yaitu hubungan fungsi jantung, peredaran
darah untuk memastikan apakah jantung bekerja atau tidak. Pada tahap look
atau melihat, yang dilakukan yaitu mengamati nadi saat diraba, berdenyut
selama berapa kali per menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas,
ada tidaknya keringat dingin pada tubuh pasien, menghitung kapilery
reptile, dan waktunya, ada tidaknya akral dingin. Pada tahap feel, yang
dirasakan yaitu gerakan nadi saat dikaji (nadi radialis, brakialis, dan carotis),
Lakukan RJP bila apek cordi tidak berdenyut. Pada tahapan listen, yang
didengar yaitu bunyi aliran darah pada saat dilakukan pengukuran tekanan
darah.
d. Disability
Yang dikaji pada tahapan ini yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), dan
kedaan pupil dengan menggunakan penlight. Pupil normal yaitu isokor,
mengecil: miosis, melebar: dilatasi. Dilakukan pemeriksaan neurologi
singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai
perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan
pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan
cidera intra kranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang.
Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan
tersebut dapat dianggap berasal dari cidera intra kranial.
e. Exposure
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,
penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki
sebagai bagian dari mencari cidera.
f. Dilasi Lambung
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya
pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung
yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi
saraf fagus yang berlabihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi
sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko
respirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi
fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selamh atau pipa
kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot
untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah
baik, masih mungkin terjadi aspirasi.
g. Pemasangan kateter urin
Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urine.
Darah pada uretra atau prostad pada letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak
tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan
keteter uretra sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh
(Hudak & Gallo, 2001).

8. Pengkajian Sekunder
a. Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan
membranatimpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma
tumpul abdomen
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar
dan cedera yang lain
g. Anamnesa

1) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat


kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
2) Pemeriksaan fisik
a) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, atelektasis)
b) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c) Sistem saraf :
(1) Kesadaran GCS.
(2) Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
(3) Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat
kejang.
d) Sistem pencernaan
(1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
(2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
(3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga (Doenges, 2000).

9. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas

b. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
c. Kerusakan pertukaran gas b.d berkurangnya aliran oksigen dalam tubuh
d. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan
kesadaran
e. Kurangnya volume cairan b.d kurangnya intake cairan
f. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakranial.
g. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. (NANDA, 2012).

10. Intervensi Keperawatan


a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam, diharapkan
dapat mempertahankan potensi jalan nafas, dengan kriteria hasil:
1) Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/ jelas
2) Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
Misalnya: batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
3) Bersihan jalan nafas efektif suara nafas vesikuler,frekwensi pernafasan
normal (30-60 x/menit pada bayi, 15-30 x pada anak, 16 24 x pada
orang dewasa), tidak sesak dan tidak sianosis, batuk spontan
Rencana tindakan :
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi,
ronchi
R: mengetahui adakah bunyi nafas patologi pada klien
2) Kaji frekuensi pernafasan
R: untuk mengetahui pernafasan klien
3) Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
R: Mempermudah klien bernafas
4) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak.
R: Mengeluarkan secret, Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu
harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
5) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.
R: Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan
kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
b. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam diharapkan
masalah pola nafas teratasi dengan kriteria hasil :
1) Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal
dan paru jelas/ bersih
2) Pernafasan spontan, suara nafas vesikuler, frekuensi pernafasan normal
(30-60 x/menit pada bayi, 15-30 x pada anak, dan 16-14 x pada dewasa)
Rencana tindakan :
1) Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu
nafas
R : untuk mengetahui perkembangan KU pasien
2) Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
R : mengetahui status jalan nafas
3) Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara
berkala
R: mempermudah klien bernafas
4) Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
R : Untuk mengefektifkan jalan nafas
5) Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi
tambahan(ronchi, wheezing)
R: mengetahui pernapasan klien
6) Kolaborasi : berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai
dengan indikasi
R: untuk mengetahui kadar O2 dalam tubuh
c. Kerusakan pertukaran gas b.d berkurangnya aliran oksigen dalam tubuh
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam, diharapkan
masalah gangguan pertukaran gas dapat berkurang atau teratasi dengan
kriteria hasil :
1) Saturasi oksigen > 90%
2) Tidak terjadi sianosis
3) Gas darah dalam batas normal
Rencana tindakan :
1) Monitor TTV klien
Rasional : untuk mengetahui nadi, suhu, pernapasan dan tekanan darah
2) Monitor saturasi oksigen
Rasional : untuk mengetahui kadar oksigen dalam tubuh
3) Monitor tanda tanda terjadinya hipoksia
Rasional : untuk mengetahui adanya gejala hipoksia
4) Monitor AGD
Rasional : untuk menegtahui kadar oksigen dan karbon dioksida dalam
darah
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh
d. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan
kesadaran
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan masalah nutrisi berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil:
1) Tidak terjadi penurunan BB klien
2) Intake dan output makanan seimbang
Intervensi :
1) Pasang NGT sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan
memberikan makanan
R : Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien
2) Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah
terjadinya aspirasi
R: mempermudah nutrisi masuk
3) Catat makanan yang masuk
R: Untuk mengetahui input
4) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan
kondisi pasien
R: untuk menentukan gizi sesuai indikasi pasien
e. Kurang volume cairan b.d kurangnya intake cairan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam diharapkan
masalah kekurangan volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:
1) Turgor kulit elastic
2) Intake dan output cairan seimbang
3) Membrane mukosa lembab
Intervensi:
1) Pantau input dan output klien
R: untuk mengetahui status cairan pasien
2) Monitor turgor kulit klien
R : untuk mengetahui turgor kulit klien
3) Lakukan penghitungan balance cairan
R: untuk mengetahui keseimbangan cairan
4) Kolaborasi pemberian terapi cairan sesuai advis
R: untuk memenuhi kebutuhan cairan klien
f. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam diharapkan
masalah teratasi dengan kriteria hasil :
1) mempertahankan tingkat kesadaran,
2) mempertahankan fungsi kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
1) Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
R: mengetahui faktor penyebab penurunan kesadaran
2) Monitor status neurologis
R: untuk mengetahui status neurologi klien
3) Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
R: untuk mengetahui KU pasien
4) Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi
R: untuk mencegah peningkatan TIK
5) Kolaborasi pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan
cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi
R: memenuhi kebutuhan O2 klien
g. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam,
diharapkan masalah nyeri klien berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil:
1) Skala nyeri klien berkurang ( 4-6, dari skala nyeri 10 )
2) Nadi klien normal ( 60 90 x/m )
3) Klien dapat mendemonstrasikan teknik manajemen nyeri
Rencana tindakan :
1) Monitor TTV klien
Rasional : untuk mengetahui TTV klien
2) Monitor skala nyeri klien
Rasional : untuk mengetahui skala nyeri klien
3) Berikan klien posisi yang nyaman
Rasional : agar klien merasa nyaman
4) Ajarkan klien teknik manajemen nyeri
Rasional : untuk mengurangi nyeri klien, agar rasa nyeri klien
teralihkan.
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
Rasional : untuk mengatasi nyeri klien (NANDA, 2012)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Mdikal Bedah, edisi 8.
Jakarta : EGC
Doenges E. Marlynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Gallo & Hudak. 2001. Keperawatan Kritis, edisi VI. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
NANDA. 2012. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi.
Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika
http://ppni-klaten.com

Anda mungkin juga menyukai