Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

Oleh:

Meta Ilma Nur Amalia, S. Ked


71 2022 013

Pembimbing:
dr. Halimah, Sp. A

DEPATEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERITAS MUHAMMDIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
Demam Tifoid

Oleh:
Meta Ilma Nur Amalia, S.Ked

712022013

Telah dilaksanakan pada bulan November 2023 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, November 2023


Pembimbing

dr. Halimah, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Demam
Tifoid” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada :
1. dr. Halimah, Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Palembang BARI Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan
masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini
2. Rekan-rekan dokter muda dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah
SWT. Aamiin.

Palembang, November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................ii
KATA PENGANTAR.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................5
1.1 Latar Belakang................................................................................................6
1.2 Maksud dan Tujuan.........................................................................................6
1.3 Manfaat............................................................................................................6
BAB II LAPORAN KASUS.........................................................................................7
2.1 Identitas Pasien................................................................................................7
2.2 Anamnesis (Alloanamnesis 2 November 2023)..............................................7
2.3 Pemeriksaan Fisik (Objektif / O).................................................................11
2.4 Pemeriksaan Penunjang (2 November 2023)................................................15
2.5 Resume..........................................................................................................16
2.6 Daftar Masalah..............................................................................................17
2.7 Diagnosis Banding........................................................................................17
2.8 Diagnosis Kerja.............................................................................................17
2.9 Tatalaksana...................................................................................................17
2.10 Prognosis.......................................................................................................18
2.11 Follow up......................................................................................................19
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................22
3.1 Demam Tifoid...............................................................................................22
3.1.1 Definisi...................................................................................................22
3.1.2 Epidemiologi..........................................................................................22
3.1.3 Etiologi...................................................................................................23
3.1.4 Gejala Klinis...........................................................................................23
3.1.5 Patofisiologi...........................................................................................24
3.1.6 Cara Diagnosis.......................................................................................25
3.1.7 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................26

iii
3.1.8 Tatalaksana............................................................................................29
3.1.9 Prognosis...............................................................................................33
3.1.10 Komplikasi.............................................................................................33
BAB IV ANALISA KASUS.......................................................................................36
BAB V KESIMPULAN..............................................................................................38
5.1 Kesimpulan.........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................39

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid masih merupakan penyakit yang sering terjadi di negara
berkembang. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman ”Salmonella typhii” yang menular melalui kotoran (fecal oral) sangat
berkaitan dengan hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan.1
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), terdapat 11-21 juta
kasus dan 128.000-161.000 kematian terkait tifoid yang terjadi setiap tahun di
seluruh dunia. Di Indonesia penyakit ini bersifat endemic dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Di rumah sakit besar di Indonesia, kasus
tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6 - 5
%.2,3
Kelompok usia yang rentan mendertia demam tifoid adalah anak pada
kelompok usia 5 tahun ke atas menjadi prevalensi tertinggi akibat anak usia
sekolah memiliki risiko tinggi konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Anak akan terpapar dengan berbagai jenis makanan di pinggir
jalan, sehingga menjadikan mereka lebih mudah terinfeksi bakteri basil tifoid.
Makanan atau jajanan yang kurang bersih dapat mengandung kuman Salmonella
Typhii dan masuk ke tubuh anak jika kuman tersebut termakan.2
Gejala klinis demam tifoid yang pasti dijumpai adalah demam. Gejala demam
meningkat perlahan ketika menjelang sore hingga malam hari dan akan turun
ketika siang hari. Demam akan semakin tinggi (39 – 40 derajat Celsius) dan
menetap pada minggu kedua. Masa inkubasi demam tifoid sekitar 7 sampai 14
hari (dengan rentang 3 sampai 60 hari). Demam kemudian disertai dengan
menggigil, sakit kepala, arthalgia, anoreksia, nausea mual, mialgia, konstipasi,
rasa tidak nyaman pada perut yang tidak spesifik, dan batuk. 4,5

5
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik akan ditemukan demam tinggi, bradikardi
relatif, lidah kotor (typhoid tongue), mukosa mulut kering, hepatomegali, nyeri
perut, splenomegali, kadang-kadang terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru.4,5
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi dan menghindari kematian. Pilihan utama
antibiotik tergantung pola kerentanan kuman S.typhi dan S.paratyphi di area
tertentu. Terapi first-line original adalah kloramfenikol, ampisilin, dan
trimethropim-sulfametoksazol.6
Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2019 bahwa Demam Tifoid termasuk ke
dalam kompetensi 4 yaitu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas. Maka dari itu, diharapkan dokter muda dapat memahami
mengenai kasus Demam Tifoid. 6

1.2 Maksud dan Tujuan


Tujuan dari laporan kasus ini yaitu:
Diharapkan bagi semua dokter muda dapat memahami kasus Demam Tifoid.

1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang kasus Demam Tifoid.
1.3.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien dengan
Demam Tifoid.

6
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Bianca Aqilla Pandawa


Umur / Tanggal Lahir : 13 Tahun 2 bulan / 24 Januari 2010
Jenis kelamin : Perempuan
Berat badan lahir : 3300 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. Pandawa
Nama Ibu : Ny. Rukiah
Alamat : Jl. Jaya Indah No. 150 Plaju,
Palembang
Bangsa : Indonesia
MRS : 2 November 2023

2.2 Anamnesis (Alloanamnesis 2 November 2023 )


Keluhan Utama: Demam
Keluhan Tambahan: Batuk, Pilek, Mual, Keringat Dingin.
Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Palembang Bari dan dirawat
diruangan perawatan anak RSUD Palembang Bari dengan keluhan demam sejak ± 5
Hari SMRS. Demam dirasakan secara perlahan-lahan dan terus-menerus namun
keluhan berkurang sejak ± 3 hari SMRS. Demam menurun ketika pagi hari setelah
diberi minum obat penurun demam, namun pada sore hari hingga ke malam hari
meningkat. Keluhan demam tidak disertai kejang.

7
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien mengeluh mual ± 4 Hari SMRS. Pasien
mengeluh batuk dan pilek ± 3 hari SMRS. Pasien juga mengalami keringat dingin ±
2 Hari SMRS, keluhan keringat dingin tidak disertai menggigil. Pasien mengalami
BAB cair sejak ± 1 Hari SMRS, BAB cair tidak disertai darah dan lendir dengan
frekuensi BAB sebanyak 1 kali. Pasien terlihat lemas. BAK normal.
Gusi berdarah (-), mimisan (-), nyeri sendi (-), sesak nafas (-), nyeri menelan
(-). Disekitar lingkungan rumah tidak ada yang mengalami hal serupa. Ibu pasien
mengatakan bahwa pasien memiliki riwayat berpergian keluar kota yaitu “Study
Tour” Pasien pernah mengalami hal serupa ada. Riwayat penyakit keluarga tidak
ada.

Riwayat Persalinan
Masa Kehamilan : Aterm
Partus : Spontan (pervaginam)
Tempat : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 24 Januri 2010
BB : 3300 gram
PB : 49 cm
Lingkar Kepala : Ibu pasien lupa

Riwayat Makanan
ASI : Lahir sampai 2 tahun
Susu botol : 3 sampai 5 tahun
Bubur Nasi : 6 bulan
Nasi tim/ lembek : 1 tahun
Nasi biasa : 1,5 tahun
Daging : 4x/minggu
Tempe : 2x/minggu
Tahu : 2x/minggu
Sayuran : 4x/minggu
8
Buah : 4x/minggu
Lain- lain :-
Kesan : Baik
Kualitas : Secara kualitas dan kuantitas cukup

9
Riwayat Imunisasi

IMUNISASI DASAR ULANGAN


Umur Umur Umur Umur
BCG Lahir -
DPT 1 2 Bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan -
HEPATITIS B 2 bulan HEPATITIS B 2 bulan HEPATITIS B 3 bulan -
1 2 3
Hib 1 1 bulan Hib 2 3 bulan Hib 3 4 bulan -
POLIO 1 1 bulan POLIO 2 2 bulan POLIO 3 3 bulan -
CAMPAK 9 bulan POLIO 4 4 bulan -

Kesan : Imunisasi dasar lengkap namun Imunisasi


booster tidak dilakukan

Riwayat Keluarga
Ibu Ayah
Perkawinan : Kawin pertama kali Kawin pertama kali
Umur : 41 Tahun 44 Tahun
Pendidikan : D3 S1
Penyakit yang pernah diderita: Tidak ada Tidak ada

Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 1,5 Tahun
Berbalik : 7 bulan
Tengkurap : 7 bulan
Merangkak : 7 bulan
Duduk : 9 bulan

10
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 10 tahun
Berbicara : 1 tahun
Kesan : Perkembangan dalam batas normal

Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol : Ada
Ngompol : Ada
Sering Mimpi : Ada
Aktivitas : Aktif
Membangkang : Ada
Ketakutan : Ada
Kesan : Perkembangan mental baik

Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Pasien pernah mengalami Demam Tifoid Sebelumnya.

2.3 Pemeriksaan Fisik (Objektif / O)


A. Pemeriksaan Fisik Umum (2 November 2023)

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
BB : 55 Kg
PB atau TB : 165 cm
Status gizi : Baik
- BB/U :119,56% (Berat badan baik)
- TB (PB)/U : 105,09% (Baik)
- BB/TB (PB) : 96,49 (Normal)
Edema ( - ), sianosis (- ), dispnea (- ), anemia (- ), ikterus (- ), dismorfik (- )

11
Suhu : 36,5 OC
Respirasi : 20 x/menit,
Tipe Pernafasan : thorakal abdominal
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 77 x/ menit, Isi/kualitas : cukup
Regularitas : reguler
Kulit : Akral hangat, CRT < 2 detik

Kepala : Normocephali, simetris


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+), refleks cahaya (+/+), palpebra edema (-/-)
Hidung : Dismorfik (-), NCH (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (+)
Gigi : Lengkap (+), gusi berdarah (-), karies (-)
Lidah : Atrofi papil lidah (-), tifoid toungue (+)
Telinga : Dismorfik (-), cairan (-)
Faring : hiperemis (-), edema (-)
Tonsil : T1/T1, tenang

Leher
Inspeksi : tidak ada massa, tidak ada pembesaran KGB, tidak hiperemis

Palpasi : tidak ada massa, tidak ada pembesaran KGB, tidak ada nyeri
tekan
Paru
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, retraksi (-/-)
Palpasi : tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru


Auskultasi : Vesikuler normal (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-), tipe pernafasan

thorako abdominal

12
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, Batas jantung normal.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas, massa (-), warna sama dengan sekitar, hiperemis (-),
trauma (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Palpasi : Tidak ada nyeri tekan (-),
pembesaran hepar (-),
pembesaran lien (-)
Perkusi : Timpani (+), shifting dullnes (-), undulasi (-)

Ekstremitas
Inspeksi
Bentuk : Normal
Deformitas : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Trofi : Eutrofi
Pergerakan : Aktif
Tremor : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Akral : Hangat
Lain- lain : CRT < 2 detik

13
Inguinal
Kelenjar Getah Bening : Tidak membesar

Genitalia
Perempuan
Labia mayora : Dalam batas normal
Labia minora : Dalam batas normal
Vagina : Dalam batas normal
Gluteal : Dalam batas normal
Status Pubertas : Sudah pubertas

Status Neurologis
Fungsi Lengan Tungkai
Motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus Tidak ada Tidak ada
Reflex Normal Normal Normal Normal
Fisiologis
Reflex - - - -
Patologis

Gejala rangsang meningeal : tidak ada


Fungsi sensorik : dalam batas normal (baik)
Nervi craniales : dalam batas normal (baik)
Reflex primitif : sudah menghilang

14
2.4 Pemeriksaan Penunjang (02 November 2023)

Pemeriksaan Hasil Rujukan Interpretasi

Hematologi

Hemoglobin 12,79 g/dL 12 - 14 g/dl Normal

Eritrosit 4,68 juta/uL 4.0-5.0 juta/ul Normal

Leukosit 7,3 ribu/uL 5-10.103/ul Meningkat

Trombosit 319 ribu/mm3 150-400.103/ul Normal

Hematokrit 40 % 35-47% Normal

Hitung Jenis Leukosit

Basofil 0% 0-1 % Normal

Eosinofil 2% 1-3 % Normal

Batang 3% 2-6 % Normal

Segmen 45% 50-70 % Menurun

Limfosit 42% 20-40 % Meningkat

Monosit 8% 2-8 % Normal

Serologi

Widal Paratyphi:

S. Thphi O +1/320 Negatif

S. Paratyphi A O +1/160 Negatif

S. Paratyphi B O +1/160 Negatif

S. Paratyphi C O +1/160 Negatif

S. Typhi H +1/320 Negatif

15
2.5 Resume
- Demam tinggi perlahan-lahan dan terus menerus sejak ± 5 Hari SMRS.
- Batuk dan Pilek
- Mual
- Keringat dingin
- Pemeriksaan Fisik : Tifoid Toungue (+), Mukosa mulut kering (+)
- Pemeriksaan Laboratorium : Limfosit 42% , S. Typhi : +1/320

KU : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Temperatur : 36,5
RR : 20 x/menit
Nadi : 77 x/menit
Lidah : Lidah Tifoid (+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

A: Demam Tifoid

16
P:

 IVFD D5 1/2 NS gtt 20x/menit


 Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
 Paracetamol 3x500 mg
 Epexol Syr 3x1 cth

2.6 Daftar Masalah


 Demam
 Batuk
 Pilek
 Mual
 Keringat Dingin
2.7 Diagnosis Banding
1. Demam Tifoid
2. DBD
3. Malaria
2.8 Diagnosis Kerja
Demam Tifoid
2.9 Tatalaksana (Planning/P)
a. Pemeriksaan Anjuran
Gall Culture (Kultur Bakteri)
b. Terapi (Suportif – Simptomatis-Causatif)
 Non Farmakologis
- Tirah Baring
- Diet lunak rendah serat
- Beri Kompres air hangat jika demam
- Menganjurkan banyak cairan
- Personal hygiene

17
 Farmakologis
- IVFD D5 1/2 NS gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
- Paracetamol 3x500 mg
- Epexol Syr 3x1 cth
c. Diet
Diet Lunak (Rendah Serat)
d. Monitoring
- Observasi Tanda – Tanda Vital
- Observasi Keadaan Spesifik
- Pantau kemungkinan adanya perdarahan spontan
e. Edukasi
- Menjelaskan kepada orang tua pasien tentang gejala dan
penyebab penyakit anak kepada orang tua.

- Menjelaskan pencegahan terhadap demam tifoid, yaitu :


- Menjaga hand hygiene dengan mencuci tangan sebelum dan setelah
makan

- Hindari jajan sembarang

- Mengonsumsi makan dan minuman yang matang dan terjamin


kebersihannya

- Melakukan Vaksin Tifoid

2.10 Prognosis
a. Qua ad vitam : Dubia ad bonam
b. Qua ad functionam : Dubia ad bonam
c. Qua ad sanationam : Dubia ad bonam

18
2.11 Follow up
Tanggal Pemeriksaan Terapi

03/11/2023 1. Batuk P:

- IVFD D5 ½ NS gtt
20x/m
S : Ibu pasien mengatakan bahwa - Inj. Ceftriaxone
keringat dingin masih ada semalam 1x2gr
namun pada pagi hari sudah hangat
kembali. Batuk masih ada.

O: KU : Tampak Baik
Kesadaran : Compos mentis
T: 36,5 OC
Nadi : 70 x/menit
RR : 21 x/menit
SpO2 : 95 %
KS:
Kepala :
Normocephali, SI (-/-), KA (-/-)
Lidah : Typhoid Tongue (+)
Mulut : Mukosa mulut
kering (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Datar, lemas, BU

(+) Normal
Ekstremitas :
Akral : Hangat
Lain-Lain : CRT < 2 detik
A : Demam Tifoid

04/11/2023 1. Batuk P:

- IVFD D5 ½ NS gtt
20x/menit
S : Ibu pasien mengatakan bahwa - Inj. Ceftriaxone
hanya keluhan batuk saja yang masih 1x2gr
ada.

19
O: KU : Tampak Baik
Kesadaran : Compos mentis

20
T: 36,6 OC
Nadi : 77 x/menit
RR : 21 x/menit
SpO2 : 99 %
KS:
Kepala :
Normocephali, SI (-/-), KA (-/)
Lidah : Typhoid Tongue (-)
,
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Datar, lemas, BU

(+) Normal
Ekstremitas :
Akral : Hangat
Lain-Lain : CRT < 2 detik

A : Demam Tifoid

21
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Demam Tifoid


3.1.1 Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut sistem


pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii atau
Salmonella paratyphii. Demam tifoid merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas dan morbiditas di daerah yang padat
penduduk dan tidak higienis. Salmonella dapat menyebar melalui
lalat, jari, kotoran, dan fomites. Demam secara khas dengan pola
bertahap (yaitu, naik dan turun secara bergantian) diikuti oleh sakit
kepala dan sakit perut. Ini adalah penyakit multisistemik prospektif
yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di
negara berkembang.7

3.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), terdapat
11-21 juta kasus dan 128.000-161.000 kematian terkait tifoid yang
terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Di Indonesia penyakit ini
bersifat endemic dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Di
rumah sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata
kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6 - 5

%.2,3

22
3.1.3 Etiologi
Demam tifoid adalah infeksi saluran pencernaan yang
disebabkan oleh Salmonella typhii. Salmonella typhi merupakan
bakteri enterik gram negatif berbentuk basil, berflagela, tidak
berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang
biak, bersifat patogen pada manusia. Salmonella ditularkan melalui
rute fekal-oral melalui air yang terkontaminasi, makanan yang
kurang matang, makanan dan minuman yang terkontaminasi,
fomites dari pasien yang terinfeksi, dan lebih sering terjadi di
daerah dengan kepadatan penduduk dan sanitasi yang buruk. 8

3.1.4 Gejala Klinis


Pada anak, periode demam tifoid antara 5-40 hari. Dengan
rata-rata natara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat
bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat.
Salmonella typhii (S. typhi) merupakan kuman pathogen penyebab
demam tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan
gambaran demam yang berlangsung lama, adanya bacteremia
disertai inflamasi yang dapat merusak usus dan organ-organ hati.
Gejala umum yang terjadi pada penyakit tifoid adalah Demam naik
secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua (39-40C). Demam
terutama sore/malam hari, lidah kotor, mukosa mulut kering, sakit
kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, bradikardi
relatif, konstipasi atau diare. Rose spot berupa lesi makulopapular
dengan diameter sekitar 2-4 mm dilaporkan pada 5%-30% kasus,
tetapi jarang ditemukan pada ras Asia. Demam merupakan keluhan
dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid.8,9

23
3.1.5 Patofisiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri
basil gram negatif ananerob fakultatif. Bakteri Salmonella akan
masuk kedalam tubuh melalui oral bersama dengan makanan atau

minuman yang terkontaminasi. Sebagian bakteri akan dimusnahkan


dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian bakteri Salmonella
yang lolos akan segera menuju ke usus halus tepatnya di ileum dan
jejunum untuk berkembang biak. Bila sistem imun humoral
mukosa (IgA) tidak lagi baik dalam merespon, maka bakteri akan
menginvasi kedalam sel epitel usus halus (terutama sel M) dan ke
lamina propia. Di lamina propia bakteri akan difagositosis oleh
makrofag. Bakteri yang lolos dapat berkembang biak didalam
makrofag dan masuk ke sirkulasi darah (bakterimia I). Bakterimia I
dianggap sebagai masa inkubasi yang dapat terjadi selama 7-14
hari Bakteri Salmonella juga dapat menginvasi bagian usus yang
bernama plak payer. Setelah menginvasi plak payer, bakteri dapat
melakukan translokasi ke dalam folikel limfoid intestin dan aliran
limfe mesenterika dan beberapa bakteri melewati sistem
retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga
melewati organ hati dan limpa. Di hati dan limpa, bakteri
meninggalkan makrofag yang selanjutnya berkembang biak di
sinusoid hati. Setelah dari hati, bakteri akan masuk ke sirkulasi
darah untuk kedua kalinya (bakterimia II). 4

24
Saat bakteremia II, makrofag mengalami hiperaktivasi dan
saat makrofag memfagositosis bakteri, maka terjadi pelepasan
mediator inflamasi salah satunya adalah sitokin. Pelepasan sitokin
ini yang menyebabkan munculnya demam, malaise, myalgia, sakit
kepala, dan gejala toksemia. Plak payer dapat mengalami
hyperplasia pada minggu pertama dan dapat terus berlanjut hingga
terjadi nekrosis di minggu kedua. Lama kelamaan dapat timbul
ulserasi yang pada akhirnya dapat terbentuk ulkus diminggu ketiga.
Terbentuknya ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan dan
perforasi. Hal ini merupakan salah satu komplikasi yang cukup
berbahaya dari demam tifoid.4

3.1.6 Cara Diagnosis

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, 5


1. Demam lebih dari 7 hari, timbul insidious, naik secara bertahap
tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama,
minggu kedua demam terus menerus tinggi, lisis pada minggu
ketiga (step-ladder temperature chart).

2. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, nyeri kepala

3. Gangguan GIT: anoreksia, nyeri perut, kembung, diare atau


konstipasi, muntah

4. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,


kejang dan icterus

5. Hygiene personal dan sanitasi


kurang .

25
Pemeriksaan Fisik5
1. Rhagaden

2. Lidah tifoid

3. Rose spot

4. Bradikardi relative

5. Meteorisme

6. Hepatomegaly

7. Kesadaran dapat menurun, dari apatis, delirium hingga koma

8. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

3.1.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Terdapat sejumlah pemeriksan laboratorium yang
dilakukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid.
Pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi: pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan serologis, kultur dengan cara isolasi kuman,
dan pemeriksaan molekuler, seperti Polimerase Chain Reaction
(PCR). Uji serologis digunakan untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen S. tiphy maupun antigen itu sendiri.

26
Pemeriksaan serologi berdasarkan deteksi antibodi telah
digunakan sebagai alaternatif kultur darah untuk diagnosis
demam tifoid. Tes serologi yang paling banyak digunakan adalah
uji widal yang mendeteksi antibodi aglutinasi terhadap antigen O
dan H dari Salmonella typhi. 10
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan
kultur Salmonella. Sampai sekarang, kultur masih merupakan
menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik demam tifoid.
Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi
lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta
memiliki sensitivitas dan spesifitas lebih baik dari antara lain
adalah pemeriksaan serologi IgM/IgG Salmonella.10

b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien demam tifoid, dapat ditemukan berbagai gambaran
dari pemeriksaan darah tepi. Gambaran tersebut, misalnya:
anemia. Gambaran leukosit dengan jumlah yang dapat normal,
menurun atau meningkat. Dapat ditemukan gambaran
trombositopenia. Hitung jenis biasanya normal atau begeser ke
kiri. Mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif.
Laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitifitas dan
spesifisitas untuk menentukan diagnosis demam tifoid. Demam
tifoid dapat ditandai dengan leukopenia dan limfositosis. 10

27
c. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Uji widal ini memiliki sensitivitas dan
sensitivitasrendah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat
aglutinasi dalam serum penderita aglunitin yang dideteksi yaitu
aglutinin O, aglutinin H dan aglutinin Vi. Namun interpretasinya
hanya dari aglutinin O dan H saja. Pemeriksaan widal sebaiknya
mulai dilakukan pada minggu pertama demam. Hal ini
dikarenakan aglutinin baru meningkat pada minggu pertama dan
akan semakin tinggi hingga minggu keempat. 10
Pembentukan aglutinin dimulai dari aglutinin O dan diikuti
dengan aglutinin H. Pada penderita demam tifoid yang telah
bebas demam, aglutinin O akan tetap ditemukan hingga 4-6
bulan sedangkan aglutinin H 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji
widal tidak dapat dijadikan acuan kesembuhan pasien demam
tifoid. Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis
demam tifoid di Indonesia belum didapatkan kesepakatan, tetapi
beberapa peneliti menyebutkan bahwa uji widal memiliki
kriteria interpretatif apabila didapatkan titer O 1/320. Titer O
1/320 jika positif maka sudah menandakan pasien tersebut
demam tifoid. 10

d. Uji Typhidot
Uji typhidot dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran bakteri Salmonella typhi.
Uji ini dapat dilakukan dengan hasil positif 2-3 hari pasca
terinfeksi dengan sensitivitas 98%, spesifisitas sebesar 76,6%.
Uji ini hampir sama dengan uji tubex. 10

28
e. Pemeriksaan Kultur
Kultur Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai
penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal
minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia.
Hasil kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada
minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur
tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel
biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu
pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.10

3.1.8 Tatalaksana

Terapi antibiotik adalah pengobatan utama karena pada


dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhii berhubungan
dengan keadaan bakterimia.

Terapi antibiotik: Pemberian segera terapi antibiotik yang relevan


melindungi dari komplikasi demam tifoid yang parah. Terapi obat
awal pilihan tergantung pada kerentanan strain. Anti mikroba
(antibiotika) yang dikemukakan dalam tabel di bawah adalah yang
telah dikenal sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta
merupakan pilihan dan dipilih dari hasil uji kepekaan.3

29
Kelebihan dan
Antibiotika Dosis
keuntungan

Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr) - Merupakan obat yang


Kloramfenikol
selama 14 hari sering digunakan dan
telah lama dikenal
Anak: 50-100 mg/Kg
efektif untuk tifoid
EB/hr Max 2 gr selama 10-
- Murah dan dapat diberi
14 hr Dibagi 4 dosis
peroral dan sensitivitas
mash tinggi
- Pemberian PO/IV

- Tidak diberikan bila


lekosit « 2000/mm3

Dewasa (2-4) gr/hr Selama - Cepat menurunkan


Sefriakson
3-5 hari suhu, lama pembenan
pendek dan dapat dosis
Anak: 80 mg/kg BB/hr
tunggal seta cukup
Dosis tunggal selama 5
aman untux anak.
hari

30
- Pemberian IV

Dewasa: (3-4) gr/hr selama - Aman untuk pendenta


Ampisilin &
14 hari hamil
Amoksisilin
- Sering dikombinasi
Anak: 100 mo/Kg BB/hr
dengan khloramfenikol
Selama 10 hari
pada pasien kritis
- Tidak mahal

- Pemberian PO/IV

Dewasa: 2 x (160-800) - Tidak mahal


TMP – SMX
Selama 2 minggu
(Kotrimoksasol) - Pemberian peroral

Anak: TMIP 6-10


mg/KgBB/hr atau SMX30-
50 mg/Kg/hr Selama 10
hari
- Siprofloksasin : - Pefloksasin dan
Quinolone
fleroksasin lebih cepat
2 x 500 mg 1 minggu
menurunkan suhu
- Efektif mencegah relaps
- Ofloksasin:
dan karier
2 x (200-400) 1 - Pemberian peroral
minggu
- Anak : tidak dianjurkan
karena efek samping
- Pefloksasin :
pada pertumbuhan
1 x 400 selama 1 tulang
minggu

- Fleroksasin :

31
1 x 400 selama 1
minggu
Anak: 15-20 mg/KgBB/hr - Aman untuk anak
Cefixime
dibagi 2 dosis selama 10 - Efektif
hari
- Pemberian peroral

Dewasa: 4 x500mg - Dapat untuk anak dan


Tiamfenikol
dewasa
Anak :50 mg/kgbb/hari
Selama (5-7) hari bebas - Dilaporkan cukup

panas sensitif pada beberapa


daerah.

Vaksinasi Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal terdapat tiga macam vaksin untuk penyakit


demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman
hidup dan komponen Vi dari Salmonella Typhii. Vaksin yang
berisi kuman Salmonella Typhi, S. Paratyphi A, S. Paratyhpi B
yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan
dengan cara pemberian suntikan secara subkutan; namun ini hanya
memberikan daya kekebalan yang terbatas. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella Typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) yang
diberikan secara per oral tiga kali dengan interval pemberian
selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a
diberikan pada anak berusia diatas 2 tahun. Pada penelitian
dilapangan didapatkan hasil efikasi proteksi yang berbanding
terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin komponen Vi
dari Salmonella Typhi diberikan secara suntikan intramuskular
9
memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

32
Pencegahan melalui sanitasi : Data epidemiologi mengungkapkan
bahwa tifus lebih banyak terjadi di negara berpenghasilan rendah
dan menengah, di daerah dengan air minum yang buruk, dan
sanitasi yang buruk. Air minum yang aman, sanitasi, dan
penghindaran kepadatan penduduk berkontribusi besar pada
pengurangan jumlah kasus.7

3.1.9 Prognosis
Demam tifoid merupakan salah satu penyebab utama mortalitas
dan morbiditas di daerah yang padat penduduk dan tidak higienis.di
seluruh dunia, namun masalah ini paling menonjol di negara-
negara Asia Selatan dan Afrika. Tingkat kematian saat ini secara
keseluruhan telah berkurang menjadi kurang dari 1% karena
kemajuan dalam modalitas pengobatan. Diagnosis dan pengobatan
dini menghindari komplikasi. Pemberian antibiotik empiris yang
tepat pada pasien demam tifoid sangat penting, karena dapat
mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian. 1

3.1.10 Komplikasi

Karena tempat utama invasi Salmonella adalah saluran


gastrointestinal (GI), komplikasi usus tidak mengherankan. Iritasi
gastrointestinal menyebabkan diare, dan hipertrofi tambalan
pembayar menyebabkan obstruksi lumen dan konstipasi. Dalam
kasus yang parah, nekrosis patch Payer menyebabkan ulserasi dan
perdarahan. Sequelae ulserasi akhirnya perforasi ileum
terminal. Diare biasanya tidak berdarah dan encer. Namun, tinja
berair dalam jumlah besar, tinja berdarah, dan gejala disentri dapat
terjadi. Suhu dapat turun secara salah pada tingkat normal atau
subnormal karena perdarahan usus.7
33
Sementara penyemaian dapat terjadi di hampir setiap sistem
organ, jarang terlihat komplikasi di luar saluran GI. Penyebaran
bakteri yang luas menyebabkan kegagalan multiorgan akibat
septikemia. Hepatitis dan ensefalopati dapat terjadi pada 5% sampai
7% pasien. Infeksi intraabdominal menyebabkan abses hati dan
limpa. Pneumonia lebih jarang terjadi. Komplikasi paru lainnya
termasuk abses paru, empiema, dan pembentukan fistula
bronkopleural, meskipun sebagian besar kasus terjadi pada pasien
dengan kanker paru, penggunaan glukokortikoid, dan penyakit paru
struktural lainnya.7

Ensefalopati tifoid dapat terjadi pada 17% pasien dengan


mortalitas setinggi 55%. Sementara sakit kepala sering dilaporkan,
gejala neurologis lainnya, termasuk ketidakteraturan tidur,
psikosis akut, mielitis, meningitis, kekakuan otot, dan defisit
neurologis fokal. Miokarditis dan nefritis adalah konsekuensi dari
fenomena toksik. Infeksi tulang dan sendi lebih sering terjadi pada
anak-anak dengan anemia sel sabit, hemoglobinopati, dan penyakit
tulang yang sudah ada sebelumnya dan paling sering menyerang
tulang panjang, terutama tulang paha, tibia, dan humerus.
Keterlibatan sendi pada pasien ini menyebabkan artritis septik.
Pasien dengan antigen HLA- B27 memiliki kemungkinan artritis
reaktif yang lebih tinggi. Organ yang sebelumnya rusak, seperti
infark dan aneurisma aorta, adalah tempat paling sering terjadinya
abses metastatik.

Komplikasi meningkat dengan durasi penyakit yang


berkepanjangan sebelum rawat inap, durasi rawat inap yang lama,
34
teknik terapi antibiotik, dan kompromi kekebalan pada pasien
lemah dengan penyakit kronis seperti kanker, TB, dan HIV. Hampir
3% dari pasien yang tidak dirawat dengan baik menjadi karier
kronis. Pasien yang tidak diobati secara memadai untuk tifus terus
mengeluarkan bakteri dan dianggap sebagai pembawa kronis.7

35
BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang, AN bernama BAP dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Palembang


Bari dan dirawat diruangan perawatan anak RSUD Palembang Bari dengan keluhan
demam sejak ± 5 Hari SMRS. Demam dirasakan secara perlahan-lahan dan terus-
menerus namun keluhan berkurang sejak ± 3 hari SMRS. Demam menurun ketika
pagi hari setelah diberi minum obat penurun demam, namun pada sore hari hingga
ke malam hari meningkat. Keluhan lain adanya batuk berdahak dan pilek, mual,
keringat dingin tanpa disertai menggigil. Pasien juga mengalami diare dengan
frekuensi 1 kali tanpa disertai lendir dan darah. Pada pemeriksaan fisik tidak
didapatkan perdarahan spontan (mimisan dan gusi berdarah) Pasien memiliki
riwayat berpergian keluar kota yaitu ”Study Tour”. Hasil pemeriksaan fisik yang
didapatkan berupa thypoid tongue, mukosa mulut kering. Pasien terlihat lemah.

Pasien didiagnosis dengan demam tifoid, hal ini sesuai dengan teori bahwa
gejala Demam bersifat remiten progresif dan pada minggu kedua demam menetap
tinggi (39-40°C). Pada pemeriksaan fisik ditemukan Lidah kotor, mukosa mulut
kering namun tidak ada nyeri abdomen hepatomegali dan splenomegali. Pada
pasien ini ditemukan batuk berdahak dan pilek, keringat dingin, mual, dan diare.
Yang sesuai dengan teori.8

Demam yang dialami pasien dapat menyingkirkan DD (Diagnosis Banding)


DBD (Demam Berdarah Dengue) dengan gejala demam muncul mendadak tinggi
dan terus menerus. Adanya perdarahan spontan (Mimisan dan Gusi Berdarah).
Keluhan berkeringat dan mengiggil (-) dan riwayat berpergian ke daerah endemis
malaria untuk menyingkirkan diagnosis banding malaria. Malaria ialah penyakit
infeksi akut hingga kronik yang memiliki gejala klinis ialah demam, lemah,
nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut,
myalgia, atralgia, dan diare.

36
Pemeriksaan gold standard pada demam tifoid adalah kultur darah.
Sensitivitas tertinggi kultur darah terlihat pada minggu pertama infeksi yang
kemudian akan menurun dengan memberatnya kesakitan. Sensitivitas kultur
dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik, sampling yang inadekuat, media kultur,
lama inkubasi, dan variasi bakteremia pada pasien. Akan tetapi, pemeriksaan
kultur darah membutuhkan waktu 4-7 hari untuk isolasi dan identifikasi
organisme sehingga pemeriksaan menyulitkan penegakan diagnosis pasien
khususnya di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Pemeriksaan Widal dilakukan
karena hasilnya dapat diketahui dalam waktu yang cepat. Pada pasien, didapatkan
hasil kenaikan titer bermakna sehingga diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.2

Tatalaksana pada pasien ini diberikan IVFD D5 ½ NS gtt 20x/menit, Injeksi


ceftriaxone 1 x 2 gr, Paracetamol 3x500 mg dan Epexol Syr 3x1 cth. Terapi
antibiotik: Pemberian segera terapi antibiotik yang relevan melindungi dari
komplikasi demam tifoid yang parah. Terapi obat awal pilihan tergantung pada
kerentanan strain. Pemilihan obat dapat diberikan kloramfenikol, amoksilin,
kotrimoksazol, seftriaxon dan cefixime. Alasan pasien diberikan ceftriaxone
dibandingkan kloramfenikol yang merupakan lini pertama, ialah, Perbedaan yang
mendasar pada kedua antibiotik ini adalah lama demam turun lebih cepat sehingga
lama terapi lebih singkat, efek samping lebih ringan, dan angka kekambuhan yang
lebih rendah pada penggunaan seftriakson dibandingkan kloramfenikol.7

37
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Seorang An. BAP, perempuan, usia 13 tahun 2 bulan dibawa ke IGD


RSUD Palembang BARI oleh orang tuanya dengan keluhan demam sejak
± 5 Hari SMRS. Demam dirasakan secara perlahan-lahan dan terus-
menerus namun keluhan berkurang sejak ± 3 hari SMRS yang dimana
demam menurun ketika pagi hari setelah diberi minum obat penurun
demam, namun pada sore hari hingga ke malam hari meningkat. Keluhan
lain adanya batuk berdahak dan pilek, mual, berkeringat dingin, diare
dengan frekuensi satu kali, terlihat lemas. Hasil pemeriksaan fisik yang
didapatkan berupa thypoid tounge dan mukosa mulut kering, dengan hasil
labor yang menunjukan, Limfosit 42% dan S. Typhi O : +1/320.
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis demam tifoid.
3. Terapi farmakologi yaitu diberikan IVFD D5 ½ NS gtt 20x/menit, Injeksi
ceftriaxone 1 x 2 gr, PCT 3x500 mg cth dan Epexol Syr 3x1 Cth.
4. Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam. Diagnosis dan
penatalaksanaan dini dapat memperbaiki keadaan pasien dan mencegah
komplikasi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidabutar, S., Satari, H.I., 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada
Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson. Sari Pediatri. 11, 434–9
2. Sari, A. N.dkk.2020. Penatalaksanaan Holistik pada Pasien Anak dengan
Demam Tifoid Melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga. Medulla. Vol. 10.
3. Depkes, (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
4. Levani, Y., & Prastya, A. D. (2020). Demam Tifoid : Manifestasi Klinis,
Pilihan Terapi Dan Pandangan Dalam Islam (Vol. 3, Issue 1). Hal. 10-16
5. Iriani, Yulia. Demam Tifoid BAB 5: Panduan Praktik klinik. Departemen
Kesehatan Anak RSUP Dr. Moehammad Hoesin Palembang.2022.Hlm.18-22
6. Konsil Kedokteran Indonesia. 2019. Standar Pendidikan Profesi Dokter
Jakarta: konsil kedokteran Indonesia.
7. Bhandari J, Thada PK, DeVos E. Typhoid Fever. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Nov- . Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557513

8. Ardiaria, M. (2019). Epidemologi, Manifetasi Klinis, dan Penatalaksanaan


Demam Tifoid. Journal of Nutrition an d Health, 7(2), 32-38.

9. Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 338-345

10. Muzalina, C. 2019. Pemeriksaan Laboratorium untuk Penunjang Diagnostik


Demam Tifoid. Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh. Vol.1(3).

39

Anda mungkin juga menyukai