Anda di halaman 1dari 15

Hubungan Faktor Prediktor Terhadap Kejadian Remisi pada Sindrom Nefrotik

Pasien Anak di RS Muhammadiyah


Palembang pada Tahun 2017-2021

Meta Ilma Nur Amalia1, Liza Chairani2, Yesi Astri3


1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
2
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
3
Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

ABSTRAK
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang ditandai dengan
proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema. Sindrom nefrotik biasanya terlihat diantara anak-anak
berusia 3-4 tahun dan dibawah usia 14 tahun yang datang dengan onset mendadak edema.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor prediktor terhadap kejadian remisi pada
sindrom nefrotik pasien anak di rumah sakit Muhammadiyah Palembang. Metode penelitian yang
digunakan yaitu observasional analitik dengan desain cross sectional. Teknik sampel yang dipilih
adalah total sampling dengan total 36 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan lulus
kriteria eksklusi. Alat ukur prediktor SN didapatkan melalui rekam medis dan tingkat kepatuhan
meminum obat diukur melalui kuesioner MMAS-8. Berdasarkan penelitian dari total 36 responden
tersebut, diketahui responden sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (52,8%), berusia di atas usia
5 tahun (75 %), mengalami SN remisi dengan hasil proteinuria negatif (94,4%), memiliki status gizi
normal (77.8 %), tidak memiliki riwayat sindrom nefrotik sebelumnya dan merupakan kasus baru
(80.6 %), serta patuh dalam meminum obat (80.6 %). Berdasarkan hasil uji statistik fisher exact
didapatkan P-value pada tingkat kepatuhan (0.033), status gizi (0.044), dan riwayat SN sebelumnya
(0.033) terhadap kejadian remisi sindrom nefrotik sehingga nilai P kurang dari nilai kemaknaan α
(0,05), maka disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat, status gizi dan
riwayat SN sebelumnya dengan kejadian remisi pada sindrom nefrotik pasien anak di rumah sakit
Muhammadiyah Palembang.

Kata Kunci: Sindrom nefrotik, remisi, faktor prediktor.

ABSTRACT
Nephrotic Syndrome (SN) is a syndrome or a collection of symptoms characterized by proteinuria,
hypoalbuminemia, and edema. Nephrotic syndrome is usually seen among children aged between 3-
4 year old and below 14 year old who present with sudden onset of edema. This study aims to
determine the relationship between predictor factors and the incidence of remission in nephrotic
syndrome in pediatric patients at Muhammadiyah Palembang Hospital. The research method used
is analytic observational with cross sectional design. The sample technique chosen was total
sampling with a total of 36 respondents who met the inclusion criteria and passed the exclusion
criteria. Measuring predictors of SN were obtained through medical records and the level of
adherence to nephrotic syndrome medication was measured through the MMAS-8 questionnaire.
Based on the research from a total of 36 respondents, it was known that the majority of respondents
were male (52.8%), aged over 5 years (75%), had SN Remission with negative proteinuria results
(94.4%), had normal nutritional status (77.8%), had no previous history of nephrotic syndrome and
was a new case (80.6%), and was compliant in taking medication (80.6%). Based on the results of
the Fisher's exact statistical test, the P-value was obtained at the level of adherence (0.033),
nutritional status (0.044), and history of previous SN (0.033) for the incidence of Nephrotic

1
Syndrome Remission so that the P value is less than the significance value α (0.05), so it was
concluded that there was a relationship between the level of adherence to taking medication,
nutritional status and history of previous Neprothic Syndrome with the incidence of remission in
nephrotic syndrome in pediatric patients at Muhammadiyah Palembang Hospital.

Keywords: Nephrotic syndrome, remission, predictor factors.

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria massif (≥ 40
mg/m2/jam), hipoalbuminemia (≤ 3,0 g/dL), hiperkolesterolemia (> 250mg/dL) dan edema 1.
Diketahui insiden penyakit ini terjadi sekitar 2-3 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak yang
berusia kurang dari 16 tahun dan terbanyak dialami pada usia 3-4 tahun dengan perbandingan laki-
laki dan perempuan 2:1. 2
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical practice guideline
(2012), prevalensi terjadi sindrom nefrotik di dunia didapatkan 1–3 anak dari 100.000 anak dibawah
16 tahun. Prevalensi penderita sindrom nefrotik yang terjadi di Sumatera Selatan periode tahun
2016-2018 berjumlah 8 kasus setiap 1000 orang anak dibawah 14 tahun.3
Sesuai dengan International Study on Kidney Disease (ISKD), kortikosteroid merupakan
pilihan pertama untuk terapi sindrom nefrotik. Kortikosteroid digunakan dosis penuh selama 4
minggu pertama, setelah mengalami remisi dilanjutkan dengan 4 minggu.2
Kortikosteroid merupakan pilihan pertama terapi sindrom nefrotik. Arbeitgemeinshaft für
Pediatrische Nephrology (APN) Jerman melaporkan bahwa dengan pemberian prednison dosis
penuh selama 6 minggu dilanjutkan dengan dosis alternating selama 6 minggu dapat
memperpanjang remisi dibandingkan dengan dosis standar 8 minggu.1
Remisi merupakan suatu keadaan dimana kadar protein di urin menjadi negatif. Lamanya
pemberian steroid hingga pasien dinyatakan resisten steroid cukup beragam. Tercapainya remisi
merupakan target pengobatan pasien SN dan menjadi indikator penting dalam menentukan
prognosis sindrom nefrotik. 4
Kepatuhan merupakan salah satu faktor prediktor kesembuhan penting dalam pengobatan,
terlebih lagi pada terapi jangka panjang untuk penyakit kronis, kepatuhan dalam menggunakan obat
berperan sangat penting demi keberhasilan terapi. Kepatuhan didefinisikan oleh WHO sebagai
"sejauh mana perilaku seseorang minum obat, mengikuti diet, atau menjalankan perubahan gaya
hidup, sesuai dengan rekomendasi yang disepakati dari penyedia layanan kesehatan”.4

2
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan
antara faktor prediktor dan kejadian remisi sindrom nefrotik pada pasien anak yang berobat di RS
Muhammadiyah Palembang

BAHAN DAN METODE


Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan metode Cross Sectional
penelitian ini dilakukan di RS Muhammadiyah Palembang pada bulan Desember 2021- Januari
2022. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang berobat di RS Muhammadiyah Palembang.
Dengan populasi terjangkau semua pasien anak yang terdiagnosis sindrom nefrotik di RS
Muhammadiyah Palembang. Tek pengambilan sampel menggunakan total sampling dari tahun
2017-2021 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu terdiagnosa sindrom nefrotik dan data rekam
medik yang lengkap dengan kriteria eklusi pasien yang resisten terhadap steroid, dan tidak
menyetuji informed consent. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data pasien dari
rekam medis RS Muhammadiyah Palembang.
Data yang telah didapat akan analisis terlebih dahulu untuk mendapatkan distribusi data lalu
hasilnya dalam bentuk narasi dan tabel dapat dipakai ke dalam analisis bivariat. serta analisis
bivariat untuk mengetahui pengaruh antara variabel dependen dan varibel independent. Uji statistik
yang digunakan adalah Chi-square apabila tidak ada sel dengan nilai expected <5 atau <20% dari
sel memiliki nilai expected <5 jika menggunakan tabel 2x2. Apabila terdapat sel dengan nilai
expected <5, maka digunakan uji Fisher Exact. Pada Chi-square bila nilai p<0,05 maka terdapat
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Bila nilai p>0,05 maka tidak
terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan total 131 responden, terdapat 36 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan
lolos kriteria eklusi, 95 responden tidak memenuhi kriteria dikarenakan tidak menyetujui informed
consent dan pasien yang resisten terhadap pemberian steroid. Pada penelitian ini didapatkan
karakteristik responden sebagai berikut.

A. Jenis Kelamin

3
Berdasarkan tabel 1 diketahui dari total 36 responden, didapatkan Sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki (52,8%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Adliah, Z (2019) di RSUD Palembang Bari pada 55 responden. Didapatkan jumlah responden
penderita sindrom nefrotik yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 36 orang (65,5%)
sedangkan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (34,5%).5

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase


Perempuan 17 47,2
Laki-laki 19 52,8
Total 36 100

Belum bisa dipastikan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi hal tersebut, tetapi
peneliti meyakini bahwa adanya efek proteksi ginjal dari esterogen. Esterogen memiliki efek
vasoprotektif termasuk vasodilatasi, penghambatan remodeling pembuluh darah patologis dan
menginduksi pertumbuhan sel endotel untuk mencegah kehilangan endotel mikrovaskular dan
kerusakan hipoksia. Estrogen memiliki efek renoprotektan yang dapat melindungi ginjal dari
sklerosis dan fibrosis.6

B. Usia
Berdasarkan tabel 2 diketahui dari total 36 responden, Sebagian besar responden berusia di
atas usia 5 tahun (75 %). Hal ini Berbeda dengan penelitian Mayang, L (2019) yang dilakukan
pada 87 responden. Didapatkan usia responden dengan rentang 0-5 tahun sebanyak 9 orang
(10%), usia 6-11 tahun sebanyak 32 orang (37%), usia 12-25 tahun sebanyak 32 orang (37%),
usia 26-45 tahun sebanyak 8 orang (9%), usia 46-65 tahun sebanyak 6 orang (7%).7

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase


<5 tahun 9 25
>5 tahun 27 75
Total 36 100

Penyebabnya hingga kini belum diketahui dengan pasti, tetapi dari beberapa penelitian
diketahui bahwa berhubungan dengan kelainan pada klon sel T dapat menyebabkan disfungsi

4
sel podosit glomerulus. Penelitian kelainan genetik pada anak sindrom nefrotik menunjukkan
mutasi pada gen yang mengkode protein podosit. Diduga bahwa sindrom nefrotik terjadi
karena gangguan imunitas selular melalui pembentukan klon sel T abnormal yang
menghasilkan mediator kimia (limfokin) sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran
basalis dan menyebabkan proteinuria. Klon sel T abnormal diduga terdapat pada kelenjar timus
yang akan mengalami ablasi saat usia pubertas. 8

C. Kejadian Sindrom Nefrotik Remisi


Berdasarkan tabel 3 dari total 36 responden, didapatkan Sebagian besar responden
mengalami SN Remisi dengan hasil proteinuria negatif (94,4%). Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian menurut Christian Ade (2011). Didapatkan bahwa jenis sindrom nefrotik dibagi
menjadi dua yaitu relaps sering serta masih terjadi remisi dan resisten steroid. Sindrom nefrotik
relaps sering dan masih terjadi remisi berjumlah 10 orang (40%) dan sindrom nefrotik resisten
steroid 15 orang (60%).9

Tabel 3. Distribusi frekuensi berdasarkan Sindroma Nefrotik Remisi

Sindrom Frekuensi Persentase


Nefrotik
SN Remisi 34 94,4
SN Tidak 2 5,6
Remisi
Total 36 100

Pada SN terjadi proteinuria glomerular dan pada kelainan nonminimal atau resisten
steroid terjadi gangguan pada tubulus, sehingga akan terjadi proteinuria tubular. Proteinuria
pada penderita SN akan mengakibatkan perubahan profil protein plasma yang tergantung pada
jenis protein yang keluar dari urin Imunoglobulin merupakan salah satu protein yang ikut
bocor. Diketahui ada perubahan karakteristik yang diduga menjadi faktor prognostik remisi
seperti kadar imunoglobulin plasma pada penderita sindrom nefrotik kelainan minimal, kadar
IgG dan IgA biasanya rendah, serta IgM meningkat.10

D. Status Gizi

5
Berdasarkan tabel 4 dari total 36 responden, didapatkan sebagian besar responden
memiliki status gizi normal (77.8 %). Hal ini sejalan dengan penelitian Veronika, R (2019)
bahwa pada status gizi dengan sindrom nefrotik yang relaps pada anak di beberapa rumah sakit
di wilayah Asia dan Afrika periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2019, didapatkan hasil
penelitian dengan jumlah status gizi berisiko sebanyak 255 sampel, diantaranya 194 sampel
(62%) pada kelompok kasus dan 61 sampel (38%) pada kelompok kontrol. Sedangkan status
gizi tidak berisiko sebanyak 220 sampel, diantaranya 121 sampel (38%) pada kelompok kasus
dan 99 sampel (62%) pada kelompok kontrol.11

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan Status Gizi

Usia Responden Frekuensi Persentase


Obesitas 2 5.6%
Gizi Lebih 4 11.1%
Gizi Normal 28 77.8%
Gizi Kurang 1 2.8%
Gizi Buruk 1 2.8%
Total 36 100%

Sesuai dengan teori diketahui adanya kondisi kekurangan nutrisi akan meningkatkan
risiko terjadinya penyakit infeksi. Kekurangan gizi dapat mengakibatkan gangguan imunitas
sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi
immunoglobulin dan produksi sitokin. Proteinuria dan gizi buruk memiliki efek yang sinergis.
Malnutrisi energi dan protein dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus, aliran darah ke ginjal,
ekskresi sodium dan asam. Penurunan laju filtrasi glomerulus terjadi karena adanya
peningkatan resistensi arteriole ginjal yang mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah
ke glomerulus. 12

E. Riwayat SN
Berdasarkan tabel 5 dari total 36 responden, didapatkan sebagian besar responden tidak
memiliki riwayat sindrom nefrotik sebelumnya dan merupakan kasus baru (80.6 %). Hal ini
sejalan dengan penelitian Veronika, R (2019) bahwa pada riwayat sindrom nefrotik yang relaps
pada anak di beberapa rumah sakit di wilayah Asia dan Afrika periode tahun 2001 sampai
dengan tahun 2019, didapatkan bahwa sebanyak 255 sampel, diantaranya 194 sampel (62%)
pada kelompok kasus baru dan 61 sampel (38%) adalah kasus berulang.11

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan Riwayat SN

6
Riwayat SN Frekuensi Persentase
Ada Riwayat 7 19.4
SN
Tidak ada 29 80.6
Riwayat SN
Total 36 100

Diketahui bahwa kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik mengalami remisi hampir
80%, yang didefinisikan sebagai proteinuria massif yang menetap selama 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu. Terapi steroid efektif untuk mengatasi relaps. Pasien yang sensitif steroid
berisiko rendah mengalami gagal ginjal kronik. 1
Pada sindrom nefrotik yang mengalami
proteinuria ≥ 2+ tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka
didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps. 2

F. Tingkat Kepatuhan Minum Obat.


Berdasarkan tabel 6 Diketahui dari total 36 responden, sebagian besar responden patuh
dalam meminum obat (80.6 %), hal ini sejalan dengan penelitian Adliah, Z (2019) bahwa,
terapi kortikosteroid oral terbanyak pada anak penderita sindrom nefrotik adalah terapi inisial
yaitu 31 orang (56,4%) sedangkan terapi relaps pada anak penderita sindrom nefrotik sebanyak
12 orang (21,8%) dan terapi relaps sering pada anak penderita sindrom nefrotik sebanyak 12
orang (21,8%).5

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Penderita Berdasarkan Tingkat Kepatuhan Minum Obat

Tingkat Frekuensi Persentase


Kepatuhan
Minum Obat
Patuh minum 29 80.6
obat
Tidak Patuh 7 19,4
minum obat
Total 36 100

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Tingkat Ketidapatuhan minum obat

Kategori Jumlah Responden

7
Tidak Patuh
Minum Obat
Lupa dalam meminum obat 2

Berhenti minum obat karena merasa sehat 4

Merasa terganggu dengan kewajiban meminum 4


obat

Frekuensi kesulitan dalam meminum obat


a. Beberapa kali
b. Kadang kala 1
4
c. Sering 2

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa responden yang sering lupa meminum obat ada 2
orang, pasien yang berhenti minum obat karena merasa sehat ada 4 orang, pasien yang merasa
terganggu dengan kewajiban meminum obat ada 4 orang. Dengan frekuensi kesulitan minum
obat beberapa kali ada 1 orang, kadang kala ada 4 orang dan sering ada 2 orang di rumah sakit
Muhammadiyah Palembang. Semua pasien sindrom nefrotik awalnya diberikan prednison
dengan dosis 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) selama 4
minggu. Bila terjadi remisi, 4 minggu kedua dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari atau 40 mg/m2
LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating dose. Relaps diobati dengan prednison 2
mg/kgBB/hari dan kemudian diturunkan selama 8 minggu kedepan. Pasien dependen steroid
dan resisten steroid juga menerima obat imunosupresif lainnya, termasuk levamol,
siklofosfamid, mikofenolat mofetil dan siklosporin. 13

G. Hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kejadian Remisi Sindroma Nefrotik
Pada Pasien Anak.
Berdasarkan hasil uji hubungan kepatuhan minum obat dengan kejadian remisi sindroma
nefrotik menggunakan uji Fisher Exact didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0,033 yang
berarti terdapat hubungan antara faktor prediktor kepatuhan minum obat dengan kejadian
remisi pada sindrom nefrotik pasien anak di RS Muhammadiyah Palembang.

Tabel 8. Hubungan kepatuhan minum obat dengan kejadian remisi sindroma nefrotik

8
Sindrom nefrotik

Kepatuhan Tidak Remisi Jumlah Fisher


Minum Obat Remisi Exact
N % N % N %
Tidak Patuh 2 28,6 5 71,4 7 100
Minum Obat
0,033
Patuh Minum 0 0 29 100 29 100
Obat
Total 2 5,6 34 94,4 36 100

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dimana sindrom nefrotik dibagi menjadi dua
kategori, yaitu kategori membaik atau remisi dan tidak membaik atau tidak remisi. Sedangkan
untuk tingkat kepatuhan dibagi menjadi kategori patuh dan tidak patuh. Penelitian juga
mendapatkan bahwa responden merasa kesulitan meminum obat dikarenakan jumlah yang obat
yang harus dimakan banyak, anak yang rewel meminum obat serta rasa obat yang cuku pahit.
Melalui penelitian tersebut didapatkan adanya hubungan sejalan antara kejadian remisi yang
diderita pada pasien sindrom nefrotik terhadap kepatuhan dalam meminum obat, yaitu pada
pasien sindrom nefrotik yang mengalami remisi akan memiliki kepatuhan yang tinggi dan pada
pasien sindrom nefrotik yang tidak mengalami remisi akan cenderung tidak patuh dalam
meminum obat.
Hal ini dijelaskan dengan teori yang dikemukakan Yosep (2011) bahwa kepatuhan minum
obat adalah suatu perilaku dalam menyelesaikan menelan obat sesuai dengan jadwal dan dosis
obat yang telah dianjurkan sesuai kategori yang ditentukan, tuntas jika pengobatan tepat waktu,
dan tidak tuntas jika tidak tepat waktu. 14
Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan
seseorang untuk meminum obat, yaitu antara lain usia, pekerjaan, waktu luang, pengawasan,
jenis obat, dosis obat, dan penyuluhan dari petugas 15 kesehatan. Pengetahuan dan sikap
menjadi faktor kepatuhan seseorang dalam minum obat. Untuk mencapai kesembuhan
diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap penderita sindrom nefrotik sehingga
kepatuhan minum obat bisa menjadi faktor prediktor kesembuhan.15

H. Hubungan Jenis Kelamin dengan kejadian Remisi Sindroma Nefrotik Pada Pasien Anak.

9
Berdasarkan hasil uji hubungan jenis kelamian dengan kejadian remisi sindroma nefrotik
menggunakan uji Fisher Exact didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 1,000, yang berarti
tidak terdapat hubungan antara faktor prediktor jenis kelamin dengan kejadian remisi pada
sindrom nefrotik pasien anak di RS Muhammadiyah Palembang. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Robin,dkk (2016) yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, dikatakan bahwa hubungan antara variabel
tersebut terlihat dengan kejadian SNSS ataupun SNRS, tetapi setelah diuji secara statistik
dengan analisis regresi logistik sederhana ternyata tidak ada variabel yang memperlihatkan
hasil. Untuk variabel jenis kelamin didapatkan nilai p=0,064.16

Tabel 9. Hubungan Jenis Kelamin dengan kejadian remisi sindroma nefrotik

Sindrom nefrotik

Tidak Remisi Jumlah


Fisher
Jenis Kelamin Remisi
Exact
N % N % N %

Laki Laki 1 5,3 18 94,7 19 100


1.000
Perempuan 1 5,9 16 94,1 17 100
Total 2 5,6 34 94,4 36 100

Hingga kini belum bisa dipastikan faktor apa saja perbedaan jenis kelamin yang dapat
mempengaruhi kejadian remisi SN, tetapi peneliti meyakini bahwa adanya efek proteksi ginjal
dari esterogen. Esterogen memiliki efek vasoprotektif termasuk vasodilatasi, penghambatan
remodeling pembuluh darah patologis dan menginduksi pertumbuhan sel endotel untuk
mencegah kehilangan endotel mikrovaskular dan kerusakan hipoksia. Estrogen memiliki efek
renoprotektan yang dapat melindungi ginjal dari sklerosis dan fibrosis.6

I. Hubungan Jenis Kelamin dengan kejadian Remisi Sindroma Nefrotik Pada Pasien Anak.

10
Didapatkan dari variabel hasil uji hubungan usia anak dengan kejadian remisi sindroma
nefrotik menggunakan uji fisher exact dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0,557 yang berarti
tidak terdapat hubungan antara faktor prediktor usia anak dengan kejadian remisi pada sindrom
nefrotik pasien anak di RS Muhammadiyah Palembang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Robin,dkk (2016) yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado. Bahwa Hubungan antara variabel tersebut terlihat dengan kejadian
SNSS ataupun SNRS, tetapi setelah diuji secara statistik dengan analisis regresi logistik
sederhana ternyata tidak ada variabel yang memperlihatkan hasil. Untuk variabel jenis usia
didapatkan nilai p=0,064.16

Tabel 10. Hubungan usia dengan kejadian remisi sindroma nefrotik

Sindrom nefrotik

Tidak Remisi Jumlah


Fisher
Usia Remisi
Exact
N % N % N %

<5 tahun 0 0 9 100 9 100


0,557
>5 tahun 2 7,4 25 92,6 27 100
Total 2 5,6 34 94,4 36 100

Pada penelitian didapatkan 2 anak mengalami remisi dengan usia diatas 5 tahun, hal ini
masih belum diketahui sebabnya. Karena bertentangan dengan teori bahwa umumnya anak usia
sekolah (diatas 5 tahun) dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia
pra sekolah (dibawah 5 tahun) sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Sehingga pada anak yang
sudah bertoleransi baik dengan predinosin, terjadi penekanan fungsi sel-T. Kortikosteroid juga
bertindak langsung untuk menstabilkan sitoskeleton podosit, hal tersebut memungkinkan
terjadinya remisi pada sindrom nefrotik. 12

J. Hubungan Status Gizi dengan kejadian Remisi Sindroma Nefrotik Pada Pasien Anak.

11
Didapatkan dari variabel hasil uji hubungan status gizi anak dengan kejadian remisi
sindroma nefrotik menggunakan uji fisher exact dengan nilai signifikansi sebesar 0,044.
Sehingga terdapat hubungan antara faktor prediktor status gizi dengan kejadian remisi pada
sindrom nefrotik pasien anak di RS Muhammadiyah Palembang. Hal ini sejalan dengan
penelitian Veronika, R (2019) bahwa pada status gizi dengan sindrom nefrotik yang relaps pada
anak di beberapa rumah sakit di wilayah Asia dan Afrika periode tahun 2001 sampai dengan
tahun 2019, Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p (0,000) < 0,05 yang berarti bahwa hipotesis
alternatif diterima dan hipotesis nol ditolak, maka ada hubungan antara status gizi dengan
kejadian sindrom nefrotik yang relaps pada anak. 11

Tabel 11. Hubungan status gizi dengan kejadian remisi sindroma nefrotik

Sindrom nefrotik

Tidak Remisi Jumlah


Fisher
Status Gizi Remisi
Exact
N % N % N %

Gizi Normal 0 0 28 100 27 100


0,044
Gizi Abnormal 2 25 6 75 9 100
Total 2 5,6 34 94,4 36 100

Adanya kondisi kekurangan nutrisi akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi.
Kekurangan gizi dapat mengakibatkan gangguan imunitas sel (cell-mediated immunity), fungsi
fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi immunoglobulin dan produksi sitokin. Proteinuria
dan gizi buruk memiliki efek yang sinergis. Malnutrisi energi dan protein dapat menurunkan
laju filtrasi glomerulus, aliran darah ke ginjal, ekskresi sodium dan asam. Penurunan laju
filtrasi glomerulus terjadi karena adanya peningkatan resistensi arteriole ginjal yang
mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah ke glomerulus. 12

K. Hubungan Riwayat SN dengan kejadian Remisi Sindroma Nefrotik Pada Pasien Anak.

12
Didapatkan variabel hasil uji hubungan Riwayat SN anak dengan kejadian remisi sindroma
nefrotik dengan nilai signifikansi sebesar 0,003. Sehingga terdapat hubungan antara faktor
prediktor Riwayat SN sebelumnya dengan kejadian remisi pada sindrom nefrotik pasien anak di
RS Muhammadiyah Palembang. Pada hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Purnami NMA (2013) dengan nilai p=0.009. Didapatkan perbedaan yang
bermakna antara riwayat penyakit infeksi dan sindrom nefrotik sebelumnya dengan sindrom
nefrotik yang relaps pada anak. Penyebab Sindrom Nefrotik 90% merupakan idiopatik. 17

Tabel 11. Hubungan Riwayat SN dengan kejadian remisi sindroma nefrotik

Sindrom nefrotik

Tidak Remisi Jumlah


Riwayat SN
Remisi Fisher
Sebelumnya
N % N % N %

Tidak SN 0 0 29 100 29 100


0,033
Pernah SN 2 28,6 5 71,4 7 100
Total 2 5,6 34 94,4 36 100

Pada penelitian ini didapatkan 2 responden yang pernah mengalami SN sebelumnya, 2


responden tersebut dalam setahun mengalami sudah 2 kali relaps dan pada saat kambuh
terakhir, responden tidak mengalami remisi saat diberikan pengobatan. Sindrom Nefrotik
idiopatik merupakan penyakit kronik yang sering relaps. Frekuensi relaps sangat bervariasi.
Dalam setahun, ada yang relaps ≤ 3 kali (infrekuen relaps) dan ≥ 4 kali (frekuen relaps).
International study of kidney disease in children (ISKDC) melaporkan bahwa kejadian relaps
sekitar 60%, akan tetapi data terakhir menunjukkan peningkatan hingga 76-90%.2
Komplikasi Sindrom nefrotik antara lain hipovolemia, renjatan, gangguan ginjal akut,
infeksi, gangguan elektrolit, gangguan endokrin, malnutrisi, dan pertumbuhan lambat. Infeksi
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kejadian relaps pada sindrom nefrotik. Infeksi
dapat mengakibatkan adanya pelepasan sitokin. Dengan adanya pelepasan sitokin yang
berlebihan akibat infeksi menyebabkan muatan pada membran glomerulus dapat hilang
sehingga molekul berukuran besar dapat keluar bersama urin salah satunya ialah protein.
Diketahui Infeksi pada pasien sindrom nefrotik paling banyak disebabkan Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus influenza. Hal ini dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik

13
akibat hilangnya komplemen C3b, opsonins seperti faktor properdin B dan imunoglobulin
dalam urin. 18

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 36 responden yang dilakukan di RS Muhammadiyah
Palembang Tahun 2017-2021 disimpulkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-
laki (52,8%), berusia di atas usia 5 tahun (75 %), mengalami SN Remisi dengan hasil proteinuria
negatif (94,4%), memiliki status gizi normal (77.8 %), selanjutnya sebagian besar responden patuh
dalam meminum obat (80.6 %) serta faktor prediktor kesembuhan yang signifikan di RS
Muhammadiyah Palembang adalah kepatuhan dalam meminum obat, status gizi, dan riwayat
penyakit sindrom nefrotik sebelumnya. Sehingga yang menjadi faktor prediktor kesembuhan di RS
Muhammadiyah Palembang adalah kepatuhan minum obat, status gizi dan riwayat penyakit
sindrom nefrotik sebelumnya

Saran
Saran dalam penelitian ini adalah untuk petugas kesehatan diharapkan meningkatkan
promosi atau pendidikan kesehatan mengenai sindrom nefrotik dan pentingnya kepatuhan dalam
meminum obat secara teratur serta untuk selalu menjaga status gizi anak. Sehingga pengetahuan
mengenai penyakit tersebut lebih meningkat di masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan
kesadaran akan pentingnya kepatuhan meminum obat. Selanjutnya untuk masyarakat pentingnya
kepatuhan meminum obat karena dikhawatirkan munculnya komplikasi dari penyakit tersebut.
Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian untuk menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat baik dari kaitannya dengan sosial ekonomi dan sistem
pelayanan kesehatan. Serta diharapkan agar penelitian selanjutnya dapat meneliti pengaruh
pertumbuhan terhadap pemberian terapi pada anak sindrom nefrotik. Kekurangan pada penelitian
ini adalah sedikitnya jumlah sampel yang didapatkan dan yang memenuhi syarat inklusi serta
eklusi.

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Nelson, W.E., dkk. 2014. Ilmu kesehatan anak Nelson. Teriemahan Oleh: A. Samik Wahab.
EGC, Jakarta, Indonesia.
2. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak (edisi ke-2). Badan Penerbit
IDAI. 2012. Jakarta, Indonesia.
3. Dinas Kesehatan (Dinkes). 2019. Prevalensi sindrom nefrotik periode 2016-2018. Sumatera
Selatan, Indonesia.
4. Lachaine, J., Yen, L., Beauchemin, C., &amp; Hodgkins, P. 2013. Medication adherence and
persistence in the treatment of Canadian ulcerative colitis patients:analyses with the RAMQ
database. BMC Gastroenterology. 13, 23. doi:10.1186/1471-230X-13-23
5. Adliah, Z. 2019. Pengaruh Pemberian Terapi Kortikosteroid oral terhadap pertumbuhan pasien
anak dengan penderita sindrom nefrotik di RSUD Palembang Bari. Palembang: FK Universitas
Muhammadiyah Palembang.
6. Kang, D. H., E.S. Yu, K. I. Yoon, and R. Johnson. 2004. The Impact of Gender on Progression
of Renal Disease Potential Role of Estrogen-Mediated Vascular Endothelial.. 164(2): 679-88
7. Mayang, L. 2019. Studi Penggunaan Obat Golongan Kortikosteroid Pada Pasien Sindrom
Nefrotik. Universitas Muhammadiyah Malang.
8. Umboh, Adrian. 2013. Hubungan Aspek Klinis dan Laboratorium pada Sindrom Nefrotik
Sensitif Steroid dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Sari Pediatri. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi /Rumah Sakit Prof. Dr. R.D. Kandou,
Manado.
9. Christian, Ade. 2011. Hubungan usia, lama pemberian kortikosteroid dan lama derita penyakit
SN Resisten Steroid dan Relaps Sering. FK UNDIP, Semarang.
10. Husein, A, dkk. 2015. Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri,
Vol. 17, No. 2, Agustus 2015
11. Veronika. R . 2021. Hal hal yang ada hubungan dengan sindrom nefrotik yang relaps pada anak
di beberapa rumah sakit di wilayah asia dan afrika periode tahun 2001 sampai dengan tahun
2019 (systematic review). Makassar: FK Universitas bosowa.
12. Nutzenadel W. 2011. Failure to thrive in childhood. Dtsch Arztebl In: 108 (36) 642-9.
13. Ehsan, Valavi., et al. 2018. Effect Of Prednisolone On Linear Growth In Children With
Nephrotic Syndrome. Journal De Pediatria, University Of Medicine Science, Iran.
14. Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung : Refika
15. Saril, L. N. 2016. Kepatuhan Pengobatan Pasien. Psikodimensia ISSN 141-6073 Vol 14/2, 83-
95.
16. Robin S. Mamesah, dkk. 2016. Hubungan aspek klinis dan laboratorik dengan tipe sindrom
nefrotik pada anak. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
17. Purnami NMA, et al. 2013. Faktor Risiko Kekambuhan Pasien Sindrom Nefrotik, 1 Januari
2011-31 Desember 2012. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Bali, Indonesia
18. Uwaezuoke SN. Steroid-Sensitive Nephrotic Syndrome in Children: Triggers of Relapse and
Evolving Hypothesis on Pathogenesis. Ital J Pediatr. 2015

15

Anda mungkin juga menyukai