Anda di halaman 1dari 40

SMF/Lab.

Obstetri dan Ginekologi Laporan Kasus


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

RETENSIO PLASENTA

Disusun Oleh:

Claudya Rhenta H.
1710029035

Pembimbing:
Dr. dr. Novia Fransiska Ngo, M.Kes, Sp.OG

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada


SMF/Lab. Obstetri dan Ginekologi
Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Mulawarman
2018
LEMBAR PENGESAHAN

RETENSIO PLASENTA

Laporan Kasus

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


pada SMF/Lab. Obstetri dan Ginekologi

Disusun oleh:
Claudya Rhenta Hutapea
NIM: 1710029035

Dipresentasikan pada Juni 2018

Pembimbing

Dr. dr. Novia Fransiska Ngo, M.Kes, Sp.OG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmatNya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Laporan Kasus tentang “Retensio
Plasenta”. Makalah ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Novia Fransiska Ngo, M. Kes, Sp.
OG. selaku dosen pembimbing Laporan Kasus yang telah memberikan bimbingan kepada
penyusun dalam penyelesaian makalah ini. Penyusun menyadari terdapat ketidak sempurnaan
dalam makalah ini, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Juni 2018

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator pelayanan kesehatan
disuatu negara (Educator, 2012). AKI di Indonesia sendiri masih sangat tinggi. Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005, angka kematian ibu
saat melahirkan adalah sebanyak 303.000 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih
jauh dua kali lipat lebih tinggi dari target Millenium Development Goals(MDGs) 2015 yakni
102 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Depkes RI, AKI di Indonesia (2002) adalah 650 ibu
tiap 100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum (Cunningham , et al., 2005 ; Sastrawinata , Martaadisoebrata, & Wirakusumah, 2004).
Secara global penyebab langsung kematian ibu adalah hipertensi dalam kehamilan,
perdarahan, infeksi, partus lama/macet dan abortus. Sedangkan di Indonesia penyebab
kematian ibu terbanyak tetap didominasi oleh tiga penyebab utama atau trias klasik yaitu
perdarahan, hipertensi dalam kehamilan dan infeksi (Triana, Damayanti, Afni & Yanti,
2015).Dikatakan bahwa perdarahan postpartum menyebabkan kematian empat kali lebih besar
dibandingkan dengan perdarahan antepartum. Kematian maternal yang lebih tinggi pada
perdarahan postpartum dikarenakan kejadiannya yang mendadak dan sering terlambat dirujuk
sehingga sering terjadi kematian dalam perjalanan pengiriman pasien (Manuaba, 2013)
Perdarahan postpartum primer / dini (early postpartum hemorrhage) yaitu perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri (50-60 %), retensio
plasenta (16-17 %), sisa plasenta (23-24 %), laserasi jalan lahir (4-5 %), dan kelainan darah
(0,5 – 0,8 %) (Sastrawinata , Martaadisoebrata, & Wirakusumah, 2004).
Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar. Uterus teraba keras dengan fundus
uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2 kali sebelumnya. Beberapa saat
kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran ari (plasenta). Kala ini berlangsung mulai dari
bayi lahir sampai plasenta keluar lengkap dan biasanya akan lahir spontan. Jika plasenta tidak
lahir setelah 30 sampai 60 menit setelah bayi lahir, disebut retensio plasenta (retained
placenta). Retensio plasenta kemungkinan terjadi karena plasenta terperangkap oleh cervix
yang menutup sebagian atau karena plasenta masih melekat pada dinding uterus, baik plasenta
adhesive atau plasenta akreta. Pengawasan pada kala pelepasan dan pengeluaran plasenta (kala
III) cukup penting. Jika terlambat ditangani, retensio plasenta dapat menyebabkan infeksi berat

4
atau perdarahan yang mengancam nyawa ibu (Rohani , Sasmita, & Marisah, Asuhan
Kebidanan pada Masa Persalinan, 2011).

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Mengetahui tentang Retensio Plasenta dan perbandingan antara teori dengan kasus nyata
Retensio Plasenta.

1.2.2 Tujuan Khusus


1) Mengetahui teori tentang Retensio Plasenta
2) Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata Retensio Plasenta yang terjadi
di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Ilmiah


Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama bidang
Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang Retensio Plasenta.

1.3.2 Manfaat Bagi Penulis


Laporan ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi penulis dan pembaca
mengenai Retensio Plasenta.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis dilakukan di VK RSUD AWS Samarinda pada tanggal 11 Mei 2018,


diperoleh data sebagai berikut:

2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny. I
Umur : 26 tahun
Alamat : Jl. Makroman
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMA
MRS : 10 Mei 2018

Identitas Suami Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 37 tahun
Alamat : Jl. Makroman
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : S1

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Ari-ari belum lahir sejak 30 menit setelah bayi lahir
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien merupakan rujukan dari Klinik Pratiwi
dengan riwayat hipertensi dalam kehamilan. Pasien
datang dengan keluhan perut kencang-kencang serta
keluar air-air dari jalan lahir sejak 4 jam SMRS.
Saat ini pasien mengaku sedang hamil anak ketujuh.
Keluhan lain seperti pandangan kabur, mual dan
muntah disangkal oleh pasien. Pada pukul 15.27

6
WITA bayi lahir spontan di VK RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda, kemudian dilakukan
manajaemen aktif kala III. 30 menit setelah bayi
lahir, ari-ari masih belum lahir. Perdarahan aktif (+)
berwarna merah segar mengalir dari jalan lahir.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi (-), diabetes melitus (-), alergi (-
)
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat hipertensi (+), diabetes melitus (+), alergi
(-)

Riwayat Menstruasi :
- Menarche usia 10 tahun
- Siklus haid 28 hari
- Lama haid 3-4 hari, dalam sehari mengganti pembalut 3-4 kali

Riwayat Perkawinan :
Perkawinan yang kedua, menikah pertama kali pada usia 15 tahun, lama menikah
dengan suami sekarang 1 tahun.

Riwayat ANC :
Pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan setiap bulan di BPM

Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas


Penolong Keadaan
Tahun Tempat Umur Jenis
No Persalinan/ BB Anak
Partus Partus kehamilan Persalinan
Penyulit Sekarang
1. 2006 RS Aterm Spontan Bidan 3000 gr Hidup
2. 2010 RS Aterm Spontan Bidan 3100 gr Hidup
2700gr/
3. 2012 RS Aterm SC Dokter Hidup
2300 gr
4. 2014 Klinik Aterm Spontan Bidan 3100gr Hidup
5. 2015 RS Aterm Spontan Bidan 2700gr Hidup
6. 2018 Hamil ini

7
Kontrasepsi:
Pasien memiliki riwayat menggunakan kontrasepsi jenis pil KB. Pasien menggunakan
kontrasepsi ini selama 2 tahun.

2.3 Pemeriksaan Fisik:


1. Berat badan 78kg, tinggi badan 158 cm.
2. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
3. Kesadaran : Komposmentis, GCS: E4V5M6
4. Tanda vital:
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 96x/menit, kuat angkat, reguler
Frekuensi napas : 30x/menit, reguler
Suhu : 36,6°C
5. Status generalis:
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+),ikterik (-/-)
Telinga/hidung/tenggorokan : Tidak ditemukan kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
 Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru : Bentuk dada simetris, suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-
), wheezing (-/-)
Abdomen :Nyeri tekan (+) perut bagian bawah, pembesaran hepar
(-), pembesaran limpa (-), perkusi timpani seluruh
lapangan abdomen
Ekstremitas : Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
Bawah: akral hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (-/-
)
6. Status Obstetri :
Inspeksi

8
 Abdomen : Linea nigra (+), striae gravidarum (-), jaringan parut
bekas operas (+)

 Vulva : Tampak tali pusat di depan vulva, perdarahan (+)


Palpasi : Kontraksi uterus (+), konsistensi uterus teraba kenyal,
TFU 1 jari diatas pusat, nyeri tekan abdomen bagian
bawah
7. Pemeriksaan VT : V/V tidak ada kelainan, portio tebal lunak, pembukaan
3 cm, teraba bagian plasenta, perdarahan (+) aktif.

2.4 Pemeriksaan Penunjang:


Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Jenis Pemeriksaan
06 Mei 2017 Pemeriksaan Darah Lengkap
Hb 8,8 gr/dl
Hct 29,4 %
Leu 9.230 /mm3
PLT 346.000 /mm3
BT 3’
CT 10’
Pemeriksaan Kimia Darah
Glukosa Sewaktu 88 mg/dl
Ureum 20,0 mg/dl
Creatinin 0,5 mg/dl
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium 136 mmol/L
Kalium 4,1 mmol/L
Chloride 102 mmol/L
Pemeriksaan Urinalisa
Berat jenis 1.010
Warna kuning
Ph 7,0

9
Protein negatif
Glukosa negatif

2.5 Diagnosis
P7A0 Post Partum Spontan + Retensio Plasenta

2.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 500 ml guyur
- Drip oxytocin 2 ampul dalam RL 500 cc 28 tpm
- Observasi tanda-tanda vital
- Pro Manual Plasenta

2.7 Follow Up

Rencana tindakan dan


Tanggal Follow up
Penatalaksanaan
S: Ibu mengatakan ingin mengejan P: Pimpin Persalinan
O: KU: sedang, Kesadaran: CM
TD: 140/90 mmHg, N:93x/mnt
11/05/ RR: 22x/mnt, Temp: 36,0ºC
2018
15.00 HIS: 3x10’40-45”
WITA DJJ: 144x/menit
VT: Pembukaan lengkap
A: G6P6A0 Gravid 39-40 minggu +
Persalinan Kala II
O: Bayi lahir spontan, jenis kelamin P: Melakukan Manajemen Aktif
laki-laki Kala III
BBL: 3.570gr, PB: 49 cm
15.27
A/S: 8/9
Cacat (-), Anus (+)

P:
15.28
- Injeksi oxytocin 10 U

10
- Peregangan tali pusat terkendali

O:Plasenta belum lahir P:

- Injeksi oxytocin 10 U yang


15.43 kedua

- Peregangan tali pusat terkendali

S:
Pasien mengeluhkan mules dan - Pasang infuse double line:
plasenta belum lahir  IVFD RL 500 ml 60 tpm
O:  Drip oxytocin 2 amp
KU: Sakit sedang dalam 500 ml RL 28 tpm
Kesadaran: CM - Melakukan manual plasenta
TD: 110/80 mmHg RR: 30x/menit - Observasi TTV dan
HR: 110 x/ menit T: 36,9 C perdarahan
Perdarahan  400 cc ( 1 underpad)
Status Lokalis
Inspeksi:
 Abdomen: Linea nigra (+),
striae gravidarum (-), jaringan
15.58
parut bekas operas (+)
 Vulva: tampak tali pusat di
depan vulva. Perdarahan tidak
aktif
Palpasi: Kontraksi uterus (+),
konsistensi uterus teraba kenyal,
TFU 1 jari diatas pusat, nyeri tekan
abdomen bagian bawah
VT: V/V tidak ada kelainan, portio
tebal lunak, pembukaan 3 cm, teraba
bagian plasenta, perdarahan (+) aktif
mengalir
Perdarahan  400 cc ( 1 underpad)

11
A: P7A0 Post Partum Spontan +
Retensio Plasenta

O: Plasenta lahir spontan lengkap Terapi dokter Sp. OG


Perdarahan (+) 100 cc

- Infuse RL 500 ml drip


oxytocin 2 amp 28 tpm,
evaluasi sampai dengan 1 kolf
- Gastrul 2 tab per rectal
- Inj. Ceftriaxone 1 gram
16.10 (ekstra) selanjutnya ganti per
oral:
- Cefadroxyl 2x50 mg
- Asam Mefenamat 3x500 mg
- Tablet tambah darah 1x1 tab
- Observasi TTV dan
perdaraham
- Cek darah lengkap

S: Pasien mengeluhkan lemas dan Terapi dokter Sp. OG


nyeri perut
- Tranfusi PRC 1 kolf
O: KU sedang, Kesadaran: CM
- Tablet tambah darah 2x1
TD: 120/70mmHg, N:128x/mnt
tab PO
RR: 24x/mnt, Temp: 36,5ºC
- Cek Hb ulang setelah
TFU: 1 jari dibawah pusat
selesai transfuse darah
A: P7A0 Post Partum Spontan +
18.15
Retensio Plasenta + Anemia
-Perdarahan (+) tidak aktif
Hasil Lab baru:
Hb 7,4 gr/dl
L 15.900
Ht 25%
Tr 289.000

12
S: ibu mengatakan kepala masih Terapi dokter Sp. OG
terasa pusing
- Observasi KU dan TTV
O: KU sedang, CM
- Tranfusi PRC 2 kolf
TD: 120/80 mmHg, N:84x/mnt
- Infuse RL 500 ml drip
RR: 21x/mnt, Temp: 36,7ºC
oxytocin 2amp 28 tpm
TFU: 1 jari dibawah pusat
bila habis ganti dengan
12/05/ A: P7A0 Post Partum Spontan +
2018 RL 500 ml
Retensio Plasenta + Anemia
07.00 - Observasi tanda-tanda
-Perdarahan (+) tidak aktif
WITA ruptur uteri
Hasil lab 12/05/2018:
- Cek Hb ulang setelah
Hb 5,8 gr/dl
selesai transfusi darah
L 10.800
Ht 20%
Tr 224.000

S: - Terapi dokter Sp. OG


O: KU baik, CM
- Tidak perlu transfusi lagi
TD: 130/90 mmHg, N:80x/mnt
- CefradoxIl 2x500 mg
RR: 25x/mnt, Temp: 36,2ºC
- Asam Mefenamat 3x500
TFU: 1 jari dibawah pusat
13/05/20 mg
A: P7A0 Post Partum Spontan +
18 - Tablet tambah darah 2x1
09.00 Retensio Plasenta + Anemia
WITA tab
Hasil Lab 13/05/2018:
- Boleh rawat nifas
Hb 7,3 gr/dl
L 10.100
Ht 22%
Tr 212.000
S: - P:
14/05/20
O: KU baik, CM - Pasien boleh pulang,
18
11.00 TD: 130/80 mmHg, N:78x/mnt terapi pulang:
WITA
RR: 21x/mnt, Temp: 36,5ºC  Cefadroxil 2x500 mg

13
TFU: 1 jari dibawah pusat  Asam Mefenamat 3x500
A: P7A0 Post Partum Spontan + mg
Retensio Plasenta  Tablet tambah darah 2x1
tab

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir atau tertahannya plasenta
dalam kurun waktu 30 menit setelah bayi lahir (Sofian, 2013).

3.2 Epidemiologi Retensio Plasenta

Di banyak negara berkembang, retensio plasenta merupakan penyebab yang siginifikan


dari kematian maternal dan angka kesakitan. Kasus ini merupakan penyulit pada 2% dari semua
kelahiran hidup dan angka kematian hampir mencapai 10% pada daerah pedesaan. Pada studi
observasional yang dilakukan di salah satu negara Asia yaitu India, dimana kebanyakan
persalinan dilakukan secara tradisional di rumah, didapatkan 2 orang meninggal (9%) dari 22
ibu yang mengalami retensio plasenta lebih dari 60 menit. Perdarahan adalah penyebab
tersering yang terjadi (Weeks, 2001). Pada studi lainnya didapatkan bahwa insiden retensio
plasenta berkisar antara 1-2% dari kelahiran hidup. Pada studi resebut retensio plasenta lebih
sering muncul pada pasien usia muda dengan multiparitas (Memon, Talpur, & Korejo, 2011).
Dari penelitian yang dilakukan RSUD kota bandung pada tahun 2011, didapatkan 301
kasus perdarahan postpartum dari 3429 persalinan. Penyebab terbanyak kejadian ini adalah
retensio plasenta dengan jumlah kasus 155 atau sebesar 51,5%. Hasil yang sama didapatkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Sofyan dan Wawang yang mendapatkan kejadian retensio
plasenta lebih banyak pada paritas > 4 sebesar 25.5% (Mu'minatunissa, Santosa, & Sumarni,
2011).

3.3 Etiologi Retensio Plasenta

Etiologi retensio plasenta adalah sebagai berikut:


1. Fungsional
a. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar
karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan
penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata
(Rohani , Sasmita, & Marisah, Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan, 2011).

15
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta
membranasea, plasenta anularis dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil) (Hanifah,
2007). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab ini disebut plasenta adhesiva.
Plasenta adhesiva adalah terjadinya implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme pelepasan secara fisiologis (Rohani ,
Sasmita, & Marisah, Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan, 2011).
2. Kelainan Plasenta
Plasenta belum lepas dari dinding rahim karena melekat erat pada tempat implantasi
plasenta yang dibagi menjadi menjadi 5 jenis yaitu (Manuaba, 2013):
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta karena
hilangnya atau tipisnya sebagian atau seluruh jaringan ikat nitabush sehingga
menyulitkan lepasnya plasenta saat terjadi kontraksi dan retraksi otot uterus.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta pada lapisan desidua basalis
karena hilangnya lapisan jaringan ikat longgar nitabush sehingga plasenta sebagian
mencapai lapisan desidua basalis. Plasenta akreta dapat terjadi tanpa perdarahan
karena sulitnya plasenta lepas. Penatalaksanaan dengan teknik plasenta manual
sering tidak lengkap sehingga perlu dilakukan kuretase.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki
otot uterus sehingga tidak mungkin plasenta lepas sendiri. Pada kasus plasenta inkreta
perlu dilakukan plasenta manual tetapi tindakan ini saja belum cukup sehingga perlu
diikuti oleh tindakan kuretase dan bila diperlukan dapat dilakukan histerektomi.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan
otot dan sampai lapisan peritoneum kavum abdominalis. Pada plasenta perkreta
terjadi retensio plasenta tanpa diikuti oleh perdarahan. Tindakan plasenta manual
sukar dilakukan pada kasus ini dan bila dipaksakan dapat terjadi perdarahan yang
sulit untuk dihentikan atau dapat terjadi perforasi.
e. Plasenta inkarserata adalah plasenta yang telah lepas dari tempat implantasinya tetapi
tertahan oleh karena kontraksi SBR.

16
Gambar 3.1 Jenis Plasenta

3. Kesalahan manajamen aktif kala III: (JNPK-KR, 2008):


a. Manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik
b. Pemberian uterotonika tidak tepat pada waktunya dapat menyebabkan serviks
kontraksi dan menahan plasenta.
c. Pemberian anastesi yang dapat melemahkan kontraksi uterus.
4. Kelainan lain (JNPK-KR, 2008):
a. Kandung kemih atau rektum akan memenuhi ruang panggul sehingga dapat
menghalangi terjadinya kontraksi uterus.
b. Terlalu cepat separasi plasenta (terlalu kuat mendorong tali pusat)

3.4 Faktor Risiko Retensio Plasenta

3.4.1 Usia Ibu


Usia Ibu mempengaruhi risiko kehamilan. Usia yang aman bagi ibu adalah usia produktif
yaitu usia 20-35 tahun. Ibu dengan usia < 20 atau > 35 tahun memiliki risiko tinggi komplikasi
dalam kehamilan (Benson & Pernoll, 2008). Ibu yang melahirkan anak pada usia dibawah 20
tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum yang
salah satu penyebabnya adalah retensio plasenta. Pada usia dibawah 20 tahun, fungsi

17
reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna dimana rahim dan panggul
belum mencapai ukuran dewasa sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduski wanita
sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan
untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
Perdarahan pasca persalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang
melahirkan pada pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan
postpartum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. (Rahmawati, 2011).

3.4.2 Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi atau bayi mampu
bertahan hidup. Titik ini dicapai pada usia kehamilan 20 minggu atau berat janin 500 gram.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan
hidup. Sedangkan multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami dua kehamilan atau
lebih dengan janin mampu mencapai titik mampu bertahan hidup (Varney, Kriebs, & Gegor,
2008). Ibu bersalin dengan paritas tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami
retensio plasenta dibandingkan ibu hamil dengan paritas rendah. Semakin tinggi paritas
berisiko semakin besar mengalami retensio plasenta. Hal ini karena pada setiap kehamilan,
jaringan fibrosa menggantikan serat otot di dalam uterus sehingga pada kehamilan selanjutnya
dapat menurunkan kontraktilitas dan pembuluh darah menjadi lebih sulit dikompresi sehingga
menyebabkan perlengketan ditempat implantasi plasenta (Fraser & Cooper, 2009).

3.4.3 Kehamilan Ganda


Ibu yang termasuk dalam kategori tinggi terjadinya perdarahan adalah ibu yang
melahirkan bayi lebih dari satu karena pengaruh dari kehamilan ganda. Setelah bayi lahir dapat
terjadi retensio plasenta baik sebagian atau seluruh plasenta yang dapat menyebabkan
perdarahan. Plasenta yang masih tertahan dalam rahim akan menggangu kontraksi dan retraksi
sehingga menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka dan menimbulkan perdarahan
postpartum. Penyebab hal ini adalah peregangan uterus yang terlalu berlebihan karena
kehamilan ganda yang juga dapat mengakibatkan gangguan pada his. Pada ibu yang memiliki
kehamilan ganda juga dapat mengalami terjadinya anemia karena pemenuhan kebutuhan
nutrisi lebih meningkat di bandingkan dengan ibu yang memiliki janin tunggal. Anemia pada
ibu hamil dapat mempengaruhi kontraksi uterus sehingga kontraksi uterus melemah yang dapat
memicu terjadinya retensio plasenta dan perdarahan, sedangkan pada ibu yang memiliki janin

18
lebih dari satu cenderung memiliki daya kontraksi yang jelek karena peregangan uterus yang
berlebihan (Oxorn & Forte, 2010).

3.4.4 Riwayat Seksio Sesarea


Seksio sesarea adalah tindakan pembedahan dengan membuka dinding perut dan
dinding rahim yang bertujuan melahirkan (Syafrudin, Karningsih, & Mardiana, 2011). Riwayat
persalinan secara seksio sesarea pada persalinan sebelumnya memiliki risiko terjadinya
retensio plasenta pada persalinan berikutnya. Hal ini disebabkan oleh karena bekas luka pada
dinding rahim akibat pelahiran secara seksio sesarea menyebabkan terjadinya hipoksia lokal
pada dinding rahim yang diikuti dengan keruskan dari sel-sel desidua dan invasi dari trofoblas
yang abnormal. Teori lain adalah kegagalan kontraksi di daerah retroplasenta sebagai akibat
dari adanya bekas luka pada dinding rahim. Kegagalan kontraksi ini akan menyebabkan
kegagalan pelepasan plasenta dari tempat impantasi plasenta (Belachew, et al., 2013).

3.5 Plasentasi

Pada hari keempat setelah fertilisasi hasil konsepsi mencapai stadium blastula disebut
blastokista (blastocyst), suatu bentuk yang dibagian luarnya adalah trofoblas dan di bagian
dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell ini berkembang menjadi janin dan
trofoblas akan berkembang menjadi plasenta. Nidasi (implantasi) diatur oleh suatu proses yang
kompleks antara trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan
invasif yang kuat, disisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan menyekresikan
faktor aktif lokal yaitu cytokines dan protease (Prawirohardjo, 2010).
Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis yakni
(Prawirohardjo, 2010):
1. Ekstravili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel invasif yang
menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri spiralis (trofoblas
endovaskuler) miometrium.
2. Vili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel sinsisiotrofoblas
multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta janin.
Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas menghasilkan hCG
yang akan mengubah sitotrofoblas menyekresikan hormon yang noninvasif. Trofoblas yang
semakin dekat dengan endometrium menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan
membuat trofoblas berdiferensiasi dalam sel jangkar yang menghasilkan protein perekat
plasenta yaitu trophouteronectin (Prawirohardjo, 2010).

19
Endometrium atau sel desidua dimana terjadi nidasi menjadi pucat dan besar disebut
reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis oleh sel trofoblas. Reaksi
desidua ini agaknya merupakan proses untuk menghambat invasi, tetapi berfungsi sebagai
pasokan makanan. Namun, ada juga sel-sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh
trofoblas dan sel ini akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch.
Ketika proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini
(Prawirohardjo, 2010).

Gambar 3.2 Anatomi uterus dan plasentasi

Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan berlangsung sampai
12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis
plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah
melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8
minggu (6 minggu setelah nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah
desidua basalis yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus
intertrofoblastik yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang
dihancurkan. Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di
mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili korialis ini akan
bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta (Prawirohardjo, 2010).
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3 cm, berat 500-
600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada kehamilan kira-kira 16
minggu; dimana ruang amnion telah mengisi seluruh rongga rahim. Letak plasenta yang normal
umumnya pada corpus uteri bagian depan atau belakang agak kearah fundus uteri. Plasenta
normal menanamkan diri sampai ke batas atas lapisan otot rahim (Sastrawinata ,
Martaadisoebrata, & Wirakusumah, 2004).

20
Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu (Prawirohardjo, 2010):
1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan vili. Vili dari
uri yang matang terdiri atas:
 Vili korialis
 Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler berasal dari arteri
spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistole, darah dipompa dengan tekanan 70-
80 mmHg kedalam ruang interviler sampai lempeng korionik (chorionic plate) pangkal
dari kotiledon-kotiledon. Darah tersebut membanjiri vili korialis dan kembali perlahan
ke vena di desidua dengan tekanan 8 mmHg.
 Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah lapisan amnion
ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali pusat akan berinsersi pada uri
bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang terbentuk dari
beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis pada uri yang matang disebut
lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi utero-plasental berjalan keruang-ruang intervili
melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin. Panjangnya rata-rata
50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan
1 vena umbilikalis serta jelly wharton.

21
Gambar 3.3 Struktur plasenta

3.6 Patofisiologi Retensio Plasenta

Penyebab terjadinya retensio plasenta sampai saat ini tidak selalu jelas, tetapi tampaknya
cukup sering disebabkan oleh karena kegagalan rahim berkontraksi sehingga pemisahan
plasenta dari dinding rahim gagal terjadi. Patofisiologi retensio plasenta juga bisa berarti
plasenta telah terpisah tetapi tetap tertinggal didalam rahim oleh karena adanya ketegangan tali
pusat atau ostium uteri yang tertutup (Jevuska, 2013).
Penyebab pasti terjadinya kegagalan kontraksi ini sampai sekarang masih belum
diketahui, tetapi terdapat pengecualian pada kasus fibroid uterus dimana dengan kontraksi

22
uterus sumber distensi uterus tidak dapat dihilangkan sehingga kontraksi uterus yang tidak
adekuat muncul (Aiken, Mehasseb, & Konje, 2012).
Uterus tidak harus mengalami distensi sepanjang kala III hingga menyebabkan
munculnya kontraksi yang tidak adekuat, distensi yang terjadi pada kehamilan ganda dan
polihidramnion juga mempengaruhi kemampuan rahim untuk berkontraksi secara efisien
setelah kelahiran bayi dan dengan demikian keduanya juga dapat menjadi faktor resiko
terjadinya perdarahan postpartum akibat faktor lain yaitu atonia uteri (Aiken, Mehasseb, &
Konje, 2012).
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, baik karena
penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang sedikit (tipis) atau tidak ada
sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau
total, sehingga tidak terdapat garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua.
Akibatnya, satu atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke
miometrium. Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester pertama, yang
mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul pada saat implantasi dan bukan
setelah masa gestasional (Benson & Pernoll, 2008).
Pengalaman klinis juga menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengasumsikan bahwa
perdarahan postpartum lebih umum terjadi pada implantasi segmen bawah rahim murni terjadi
karena otot segmen bawah rahim tidak memadai untuk berkontraksi. Segmen bawah rahim
terlihat lebih tipis dari lapisan normal pada kasus plasenta akreta dan plasenta previa. Sifat
kontraktil otot segmen bawah rahim, yang sudah lebih kecil dari segmen atas, selanjutnya
diturunkan oleh kehadiran plasenta. Hal ini berarti bahwa implantasi sendiri memiliki efek
buruk pada miometrium segmen bawah. Selain itu, ada bukti yang bersifat anekdot yang
menunjukkan bahwa invasi trofoblas lebih cenderung pada daerah jaringan desidua yang
sedikit (tipis), termasuk implantasi pada bekas luka dan kehamilan ektopik. Hal ini menujukkan
bahwa trofoblas akan lebih mudah menginvasi ke segmen bawah rahim dengan lapisan desidua
yang abnormal, dan meningkatkan kemungkinan plasenta akreta untuk berkembang (Aiken,
Mehasseb, & Konje, 2012).
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah akan tetapi
masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang tertutup (Jevuska, 2013).
Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III persalinan dan manipulasi yang
berlebihan (Memon, Talpur, & Korejo, 2011) Pemijatan dan penekanan secara terus-menerus
terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan

23
plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran darah meningkat
(Cunningham , et al., 2005).

3.7 Diagnosis Retensio Plasenta

3.7.1 Gejala Klinis


Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat kehamilan ganda
dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara
spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan (Prabowo , 2012)

Tabel 3.1 Diagnosis Banding Retensio Plasenta


(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
Gejala dan Tanda Gejala dan Tanda Lain Diagnosa Kerja
- Uterus tidak  Syok Atonia uteri
berkontraksi dan  Bekuan darah pada
lembek serviks atau posisi
- Perdarahan segera telentang akan
setelah anak lahir menghambat aliran darah
keluar
- Darah segar mengalir Pucat Robekan jalan lahir
segera setelah bayi  Lemah
lahir  Menggigil
- Uterus berkontraksi
dan keras
- Plasenta lengkap

- Plasenta belum lahir  Tali pusat putus akibat Retensio plasenta


setelah 30 menit traksi berlebihan
- Perdarahan segera  Inversio uteri akibat
- Uterus berkontraksi tarikan
dan keras  Perdarahan lanjutan

- Plasenta atau sebagian Uterus berkontraksi Tertinggalnya sebagian
selaput tidak lengkap tetapi tinggi fundus tidak plasenta atau ketuban
- Perdarahan segera berkurang

- Uterus tidak teraba  Neurogenik syok Inversio uteri


- Lumen vagina terisi  Pucat dan limbung
massa
- Tampak tali pusat
(bila plasenta belum
lahir)

24
- Sub-involusi uterus  Anemia Endometritis atau sisa
- Nyeri tekan perut  Demam fragmen plasenta
bawah dan pada (terinfeksi atau tidak)
uterus Perdarahan postpartum
- Perdarahan sekunder
- Lokhia mukopurulen
dan berbau

Tabel 3.2 Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya


(Rohani , Sasmita, & Marisah, Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan, 2011).

Gejala Akreta parsial Inkarserata Akreta


Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah Sepusat
pusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang- banyak Sedang Sedikit/ tidak ada
Tali pusat Terjulur Terjulur Tidak terjulur
sebagian
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Pelepasan Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya
plasenta
Syok Sering Jarang Jarang sekali,
kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat pada
tali pusat

3.7.2 Pemeriksaan pervaginam


Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus (Prabowo , 2012). Pada
pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian plasenta yang tidak ada atau
tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam pelepasan plasenta atau
ditemukan sisa plasenta (Benson & Pernoll, 2008).

3.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah (Manuaba, 2013):

25
1. Hitung darah lengkap : untuk menentukan menentukan kadar hemoglobin,
trombosit serta jumlah leukosit. Pada tanda yang disertai dengan infeksi biasanya
jumlah leukosit meningkat.
2. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan menghitung Protombin Time (PT)
dan Activated Partial Trombositin Time (APPT) atau yang sederhana dengan
Coloting Time (CT). Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirikan perdarahan
oleh karena faktor lain.

3.8 Penatalaksanaan Retensio Plasenta

Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan
perdarahan. Bila terjadi banyak perdarahan atau bila pada persalinan-persalinan yang lalu ada
riwayat perdarahan postpartum, maka tak boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung
dikeluarkan dengan tangan. Juga kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu
nierbekken, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus
tonika, meskipun kala III belum lewat setengah jam (Karkata, 2014). Plasenta mungkin pula
tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus
dikosongkan (Sofian, 2013).
Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah:
A. Coba 1 – 2 kali dengan perasat Crede
Perasat Crede bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan ekspresi.
Syaratnya yaitu uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria kosong (Sofian, 2013).
Pelaksanaan perasat Crede (Hanifah, 2007):
1. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari
terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang. Bila ibu gemuk hal ini tidak dapat dilaksanakan dan
sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah uterus dengan rangsangan
tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. Gerakan jari-jari
seperti memeras jeruk. Perasat Crede tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak
dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversio
uteri.
2. Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta manual.

B. Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)

26
Manual plasenta adalah tindakan invasif dan kadang memerlukan anestesia. Manual
plasenta harus dilakukan sesuai indikasi dan oleh operator berpengalaman. Indikasi manual
plasenta meliputi: retensio plasenta dan perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat
dihentikan dengan uterotonika dan masase, suspek ruptur uterus, dan retensi sisa plasenta
(Benson & Pernoll, 2008).

Gambar 3.4 Manual plasenta


Pelaksanaan manual plasenta (Benson & Pernoll, 2008):
1. Instruksikan asisten untuk memberikan sedatif dan analgetik melalui infus.
2. Lakukan kateterisasi kandung kemih. Pastikan kateter masuk ke dalam kandung kemih
dengan benar. Kemudian cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
3. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat sejajar lantai.
4. Secara obstetrik masukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah) ke dalam vagina
dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
5. Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher,
kemudian tangan lain penolong memegang fundus uteri.
6. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan ke dalam kavum uteri sehingga
mencapai tempat implantasi plasenta.
7. Buka tangan obstetrik menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkal jari
telunjuk).
8. Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
 Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila bagian depan,
pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat dengan punggung tangan menghadap
ke atas.

27
 Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya
dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan
punggung tangan menghadap ke dinding dalam uterus.
 Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan pada
dinding kavum uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
9. Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial
sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
10. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk
memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
11. Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat plasenta
dikeluarkan.
12. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali puast sambil tangan
dalam menarik plasenta ke luar (hindari percikan darah).
13. Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
14. Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah
plasenta lahir. Perhatikan kontraksi uterus dan perdarahan yang keluar.

Komplikasi plasenta manual diantaranya (Manuaba, 2013):


1. Perforasi, karena tipisnya tempat implantasi plasenta.
2. Meningkatnya kejadian infeksi asenden.
3. Tidak berhasil karena perlekatan plasenta, dapat menimbulkan perdarahan yang sulit
dihentikan.
Dapat dikatakan bahwa plasenta manual pada retensio yang tidak menimbulkan
perdarahan harus berhati-hati karena kemungkinan perlekatan sangat erat, sehingga tidak
menimbulkan perdarahan (Manuaba, 2013).
C. Kuretase
Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan manual plasenta dan
kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak mungkin jaringan yang tersisa. Kuretase
mungkin diperlukan jika perdarahan berlanjut atau pengeluaran manual tidak lengkap (Weeks,
2001).
D. Tindakan bedah
Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung diagnosis perlengketan
plasenta, histerektomi umumnya di rencanakan terutama pada pasien yang tidak berharap untuk

28
mempertahankan kehamilan. Jika plasenta akreta ditemukan setelah melahirkan bayi, plasenta
sesegera mungkin dikeluarkan untuk mengosongkan cavum uteri. Walaupun dalam banyak
kasus pengeluaran plasenta akan menimbulkan perdarahan massif yang akan berakhir dengan
histerektomi (Aiken, Mehasseb, & Konje, 2012). Pada kasus plasenta akreta kompleta,
tindakan terbaik ialah histerektomi. Jika perlengketan tidak terdiagnosis sebelum melahirkan
dan perdarahan postpartum terjadi saat manual plasenta, beberapa tindakan dapat menjadi
pilihan, tergantung keinginan pasien dan keadaan serviks. Jika tidak ada kemungkinan untuk
meneruskan persalinan atau hemodinamik tidak stabil, histerektomi harus dilakukan. Disisi
lain, beberapa usaha dapat dilakukan untuk mempertahankan uterus dengan tindakan bedah
(ligasi arteri hipogastrika) atau secara radiologik (teknik embolisasi dari arteri uterina) (Gondo
, 2010). Kayem menjelaskan dalam sebuah kasus terjadi resorpsi spontan dari plasenta setelah
6 bulan embolisasi arteri uterina. (Weeks, 2001).

Gambar 3.5 Ligasi arteri hipogastrika

Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui daerah invasi ketika
sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya ligasi fisiologis miometrium yang biasanya
akan membendung aliran darah. Jika kasus ini ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis
dapat dicapai melalui jahitan pada miometrium, atau melalui ligasi arteri uterina maupun arteri
iliaka interna. Namun, histerektomi pun biasanya diperlukan (Weeks, 2001).

29
E. Pemberian obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika

Tabel 3.3 Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L IM atau IV Oral atau rektal
pemberian larutan garam fisiologis (lambat) : 0,2 mg 400 μg dapat
dengan tetesan cepat diulang sampai
IM : 10 IU 1200 μg
Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 μg 2-4 jam
larutan garam fisiologis setelah 15 menit setelah dosis awal
dengan 40 tetes/menit
Dosis Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5 Total 1200 μg
maksimal larutan dengan oksitosin dosis atau 3 dosis
perhari
kontraindikasi Pemberian IV secara Preeklampsia, Nyeri kontraksi,
cepat atau bolus vitium cordis, asma
hipertensi

30
Tabel 3.4 Penatalaksanaan Retensio Plasenta
(Manuaba, 2013)

Retensio plasenta

Penanganan umum :
 Infus transfusi darah
 Pertimbangkan untuk rujuk
RSU C

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit


300 – 400 cc - Anemia dan syok
- Perlengketan
plasenta

Plasenta manual
- Indikasi
 Perdarahan 400 cc
 Pascaoperasi vaginal
 Pascanarkose
 Habitual HPP
- Teknik
 Telusuri tali pusat
 Dengan ulner tangan
 Masase intrauterin
 Uterotonika IM-IV

Plasenta rest : Plasenta melekat :


Berhasil baik : - Kuretase tumpul  Akreta
Observasi : - Utero-vaginal  Inkreta
- Keadaan umum tampon  Perkreta
- Perdarahan - Masase  Adesiva
- Obat profilaksis :
 Vitamin
 Fe preprat
 Antibiotika
Histerektomi
 Uterotonika Perdarahan terus :
Pertimbangan :
- Tampon bedah
- Keadaan
- Atonia uteri
umum
- Umur
penderita 31
- Paritas
penderita
3.9 Pencegahan

Pencegahan risiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat proses separasi
dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera setelah bayi lahir (untuk
mencegah retensio plasenta dapat disuntikkan 0,2 mg methergin i.v. atau 10 IU oksitosin i.m.
waktu bahu bayi lahir ) dan melakukan penegangan tali pusat terkendali. Usaha ini disebut juga
penatalaksanaan aktif kala III (Hanifah, 2007):
Manajemen aktif kala III yaitu (Prawirohardjo, 2010):
1. Menyuntikkan oksitosin
- Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.
- Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
- Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10 unit
IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis). Jika oksitosin
tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan stimulasi puting susu atau
menganjurkan ibu untuk menyusukan dengan segera.
- Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi tonik uterus
yang dapat menghambat ekspulsi plasenta.
2. Melakukan peregangan tali pusat terkendali;
- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva.
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di atas
simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus pada saat
melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat,
tegangkan tali pusat dengan satu tangan yang lain menekan uterus ke arah dorso-
kranial. Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio uteri.
- Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali (sekitar 2
atau 3 menit berselang) untuk mengulangi penegangan tali pusat terkendali.
- Saat mulai kontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan
dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke atas
yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
- Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta terdorong
keluar melalui introitus vagina.
- Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali pusat
ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk diletakkan dalam
wadah secara lembut, lalu lahirkan selaput ketuban secara perlahan.

32
Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan 10 IU oksitosin IM dosis
kedua. Kosongkan kandung kemih jika teraba penuh.
3. Masase fundus uteri segera setelah lahir
- Letakkan telapak tangan pada fundus uteri, anjurkan ibu untuk menarik napas
dalam dan perlahan serta rileks.
- Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada fundus
uteri supaya uterus berkontraksi.

3.10 Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya
serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting (Rohani,
Sasmita, & Marisah, 2011).

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. I usia 26 tahun dengan keluhan utama ari-ari bayi belum lahir 30 menit sejak
bayi lahir pada pukul 15.27. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka didapatkan diagnosis P7 A0Post partus spontan + Retensio plasenta.
Diagnosis retensio plasenta didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
Diagnosis retensio plasenta yang tepat sangat penting untuk menentukan penanganan
selanjutnya. Oleh karena itu, usaha untuk menegakkan diagnosis retensio plasenta harus
dilakukan dengan cepat dan tepat.

4.1 Anamnesis
Berdasarkan teori dikatakan bahwa, retensio plasenta adalah tertahannya atau belum
lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Pada kasus ini,
berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yaitu pasien mengeluhkan ari-ari bayi belum lahir
sejak 30 menit setelah melahirkan bayi. Pasien mengatakan banyak darah merah segar keluar
setelah melahirkan.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta antara lain, grandemultipara,
kehamilan ganda, plasenta previa, dan bekas operasi pada uterus (seksio saesaria). Pada kasus
ini ditemukan bahwa pasien pernah melahirkan anak kembar.
Kesimpulan dari pasien ini, anamnesis untuk keluhan dan faktor predisposisi sesuai
teori.

4.2 Gejala dan Tanda


Berdasarkan teori, gejala klinis pada retensio plasenta antara lain plasenta belum lahir
setelah 30 menit, perdarahan segera, dan kontraksi uterus baik. Adapun manifestasi klinis lain
yang dapat timbul namun jarang adalah tali pusat yang terputus akibat traksi berlebihan,
inversio uteri akibat tarikan dan perdarahan lanjutan. Pada kasus ini, didapatkan gejala klinis
pada pasien antara lain plasenta yang belum lahir 30 menit etelah lahirnya bayi, perdarahan
segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus masih ada tetapi uterus teraba lembek dan tali pusat
masih tersambung.

34
Kesimpulan dari pasien ini, gejala klinis yang ditemukan pada pasien sesuai dengan
gejala klinis retensio plasenta.

4.3 Pemeriksaan Fisik


Berdasarkan teori, dugaan penyebab retensio plasenta dapat digolongkan menjadi 2
yaitu kelainan fungsional yaitu his yang kurang adekuat atau plasenta sukar terlepas karena
tempatnya, bentuknya, dan ukurannya serta kelianan bentuk plasenta yaitu plasenta belum
lepas dari dinding rahim karena melekat erat pada tempat implantasi plasenta. Temuan
pemeriksaan fisik pada plasenta separasi/akreta parsial antara lain konsistensi uterus kenyal,
tinggi fundus sepusat, bentuk uterus diskoid, perdarahan sedang sampai banyak, tali pusat
terjulur sebagian, ostium uteri terbuka, dan gejala syok sering ditemukan.
Pada kasus ini, pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak anemis dengan Hb 2 jam post
partum 7,4 mg/dl, tekanan darah 120/70mmHg, nadi 128x/menit, pernafasan 24x/menit dan
temperatur axilla 36,5ºC serta pasien tampak lemah.
Dari pemeriksaan status lokalis pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan sebagai
berikut:
 Abdomen: linea nigra (+), striae gravidarum (-), jaringan parut bekas operasi (+)
 Vulva: tampak tali pusat di depan vulva. Perdarahan aktif (+)
Palpasi: Kontraksi uterus (+), konsistensi uterus teraba lembek, TFU teraba 1 jari di atas pusat,
nyeri tekan abdomen bagian bawah.
VT: V/V tidak ada kelainan, portio tebal lunak, pembukaan 3 cm, teraba bagian plasenta,
perdarahan (+) aktif.
Berdasarkan temuan dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien, dapat disimpulkan bahwa
dugaan penyebab retensio plasenta pada pasien ini kemungkinan besar akibat plasenta
inkarserata.

4.4 Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan teori, pada retensio plasenta biasanya dilakukan pemeriksaan hitung darah
lengkap untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya
trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit
biasanya meningkat. Selain itu, menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung
protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana

35
dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan
perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan dari hasil pemeriksaan
tersebut kadar Hb yang menurun hingga 5,4 g/dl dan segera dilakukan tindakan transfuse darah
sebanyak 3 kolf.

4.5 Penatalaksanaan
Berdasarkan teori, penatalaksanaan retensio plasenta disesuaikan dengan diagnosis
kerja yang telah ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, temuan pemeriksaan fisik
dan penunjang. Melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan, maka dapat ditentukan
diagnosis kerja apakah termasuk retensio plasenta separasi/akreta parsial, plasenta inkarserata
ataukah plasenta akreta. Setelah menentukan diagnosis kerja, kemudian melakukan
penatalaksanaan sesuai dengan dugaan penyebab retensio plasenta.
Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan sesuai dengan diagnosis kerja antara
lain:
1. Manual plasenta
2. Kuretase
3. Tindakan bedah
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah dilakukan tindakan manual
plasenta. Dapat disimpulkan bahwa penatalaksaan yang dilakukan pada pasien ini sesuai
dengan teori.

36
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir atau tertahannya
plasenta dalam kurun waktu 30 menit setelah bayi lahir.
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. I yang berusia 26 tahun dengan keluhan
utama ari-ari bayi belum lahir sejak 30 menit setelah bayi lahir. Setelah melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan diagnosis P7A0 Post partus
spontan + Retensio plasenta. Pada pasien ini dilakukan tindakan manual plasenta. Setelah
dilakukan tindakan tersebut plasenta lahir lengkap. Secara umum penegakkan diagnosis
maupun penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat dan sesuai dengan teori.

5.2 Saran
Sebaiknya dokter umum memahami tentang gejala-gejala HAP dalam hal ini adalah HAP
yang disebabkan retensio plasenta. Penanganan awal harus segera dilakukan secara adekuat
dan jika bertugas di fasilitas kesehatan primer sesegera mungkin merujuk ke fasilitas kesehatan
yang memiliki fasilitas yang dapat menangani kasus ini.

37
DAFTAR PUSTAKA

Aiken, C., Mehasseb, M., & Konje, J. (2012). Placental Abnormalities. In C. B-Lynch, A
Textbook of Pospartum Hemorrhage A Comprehensive Textbook of Postpartum
Hemorrhage (pp. 8:66-68, 10:90-91, 24:203-207, 31:296-297). Singapore: Sapiens
Publishing.
Benson , R., & Pernoll, M. (2008). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. New York: EGC.
Cunningham , F., Gant, N., Leveno , K., Gillstrap, I. L., Hauth, J., & Wenstrom , K. (2005).
Obstetri William (Vol. 21). Jakarta : EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Buku Acuan Pelayanan obstetri
M=Emergensi Dasar. Jakarta.
Educator, M. (2012). Retained Placenta Management. Retrieved from National Women's
Health Clinical Guidiline :
http://nationalwomenshealth.adhb.govt.nz/Portals/0/Documents/Policies/Retained%20
Placenta%20Management_.pdf
Fraser, D., & Cooper, M. (2009). Myles Buku Ajar Bidan (14 ed.). Jakarta: EGC.
Gondo , H. (2010). Penanangan Perdarahan Post Partum (Haemorhagi Post Partum, HPP).
Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma.
Hanifah, W. (2007). In S. Prawirohardjo , Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Pertama Cetakan
Ketujuh. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Jevuska. (2013). Patofisiologi Retensio Plasenta. Retrieved Desember 2016, 2016, from
Jevuska: https://www.jevuska.com/2011/09/10/patofisiologi-retensio-plasenta/
JNPK-KR. (2008). Kala Tiga dan Empat Persalinan. In JNPK-KR, Buku Acuan Asuhan
Persalinan Normal. Jakarta: JNPK-KR.
Karkata, M. (2014). Perdarahan Pascapersalinan . In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan.
Jakarta

Manuaba, I. (2013). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.


Memon, S., Talpur, N., & Korejo, R. (2011, Octomber-December). Outcome Of Patients
Presenting With Retained Placenta. Rawal Medical Journal, 36.
Mu'minatunissa, M., Santosa, U., & Sumarni, I. (2011). Kejadian Perdarahan Postpartum Ibu
Bersalin Berdasarkan Karakteristik dan Penyebab di RSUD Kota Bandung Tahun
2011. Akademi kebidanan Medika Obgyn Bandung . Bandung : Jurnal Pendidikan
Bidan (The Journal of Midwifery Education) .

38
Owolabi, A., Dare, F., Fasubaa, O., Ogunlola , I., Kuti, O., & Bisiriyu, L. (2008). Risk Factor
for Retained Placenta in Southwestern Nigeria. Singapore Medical Journal.
Oxorn, H., & Forte, W. (2010). Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta:
Andi .
Prabowo , E. (2012). Retensio Plasenta. Retrieved Desember 18, 2016, from
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
Prawirohardjo, S. (2010). Ilmu Kebidanan (Vol. 4). Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwwono
Prawirohardjo.
Rahmawati, E. (2011). Ilmu Praktis Kebidanan. Surabaya: Victory Inti Cipta.
Riyanto. (2015). Faktor Risiko Kejadian Retensio Plasenta Pada Ibu Bersalin di RSUD Dr.
Bob Bazar, SKM Kalianda. Jurnal Kesehatan Metro Sari Wawai Volume VII.
Rohani , Sasmita, R., & Marisah. (2011). Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta:
Salemba Medika.
Saifuddin, A. (2006). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saleh, H. (2008, January). Placenta Previa and Accreta. Retrieved January 4, 2017, from
GLOWM : The Global Library of Women's Medicine:
https://www.glowm.com/section_view/heading/Placenta%20Previa%20and%20Accre
ta/item/121
Sastrawinata , S., Martaadisoebrata, D., & Wirakusumah, F. (2004). Obstetri Patologi Ilmu
Kesehatan Reproduksi (Vol. 2). Jakarta: EGC.
Sofian, A. (2013). Sinopsis Obstetri (3 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.
Syafrudin, Karningsih, & Mardiana. (2011). Untaian Materi Penyuluhan KIA (Kesehatan Ibu
dan Anak). Jakarta: Trans Info Medika.
Tsui, A., Wasserheit, N., & Haaga, J. (1997). Reproductive Health in Developing Countries:
Expanding Dimensions, Building Solutions. Washington D.C: National Academy
Press.
Varney, H., Kriebs, J., & Gegor, C. (2008). Buku Ajar Asuhan Kebidanan (Vol. 1). Jakarta: E
Weeks, A. (2001). The Retained Placenta. US National Library of Medicine National
Institutes of Health .
Winkjosastro, H. (2010). Persalinan Preterm. In S. Prawirohardjo, Ilmu Bedah Kebidanan.
Jakarta: PT Bina Pustaka.

39
40

Anda mungkin juga menyukai