Vulvovaginitis
Pembimbing:
Dr. dr. Rahmat Bakhtiar, MPPM
dr. Siti Nuriyatus Z, MKM
dr. Tiara Ramadhani
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang sampai saat ini menjadi
masalah kesehatan penting di dunia. TB paru dapat menyebar dari satu orang
ke orang lain melalui transmisi udara (droplet dahak pasien TB paru) (CDC,
2008).
Menurut World Health Organization (WHO) dalam satu tahun, kuman M.
tuberculosis telah membunuh sekitar 2 juta jiwa, dan WHO diperkirakan
bahwa pada tahun 2002-2020 ada sekitar 2 miliar orang yang terinfeksi kuman
ini, di mana 5-10% di antara infeksi akan berkembang menjadi penyakit, 40%
di antara yang sakit dapat berakhir dengan kematian. Perkiraan dari WHO,
yaitu sebanyak 2-4 orang terinfeksi tuberkulosis setiap detiknya dan hampir 4
orang setiap menit meninggal karena tuberkulosis. Kecepatan penyebaran
tuberkulosis bisa meningkat lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran
Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acuired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) dan munculnya kasus TB-MDR (multy drug resistant) yang kebal
terhadap bermacam obat. Pada tahun 2013 WHO memperkirakan ada 8,6 juta
kasus baru TB (13% merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,3 juta orang
meninggal karena tuberkulosis di mana diantaranya 940.000 orang dengan
HIV negatif dan 320.000 orang dengan HIV dan tuberkulosis positif (PDPI,
2011; WHO, 2006).
Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah penderita TB
terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia,
diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian
sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009
adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia
produktif. Oleh karena itu kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar
(WHO, 2006; Kemenkes RI, 2014). Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa angka drop out atau lost to follow up di BBPKM
3
Makassar sangat tinggi, yakni 36% (Dinkes Sulsel, 2013). Sementara menurut
Kemenkes RI bahwa angka lost to follow up tidak boleh lebih dari 10% karena
akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi di masa yang akan
datang yang disebabkan karena ketidak efektifan dari pengendalian
tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014).
Peran dokter keluarga dalam penatalaksanaan TB paru sangatlah penting
yang tidak memandang seorang pasien sebagai seseorang individu melainkan
sebagai suatu unit keluarga yang penatalaksanaannya secara holistik dan
komprehensif. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita
dalam menolong penderita TB, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah
satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan
kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan
sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan, serta
cara untuk mencegah penularan (Kemenkes RI, 2011).
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
a) Identitas
Nama : An. FA
Usia : 3 tahun (DOB 1 Juli 2015)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : perumahan puspita Bengkuring
Pendidikan : (belum sekolah)
Pekerjaan :-
Suku : Bugis
Agama : Islam
b) Keluhan Utama : bercak keputihan dari vagina
5
c) Riwayat Perjalanan Penyakit & Pengobatan
6
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat keluhan yang serupa
dengan pasien.
7
e) Genogram
: Perempuan
8
Tenggorok : Hiperemis (-), candidiasis (-), stomatitis (-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thoraks
- Pulmo
Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan nafas simetris
Palpasi : Fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan sepanjang parasternal line dextra
Batas kiri pada ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
2.3 Diagnosis
Vulvovaginitis (N77.1)
2.4 Tatalaksana
2.5 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
9
10
BAB III
ANALISIS KEDOKTERAN KELUARGA
No I. Pasien
1 Nama An. FN
2. Umur 3 tahun
3. Jenis kelamin Perempuan
4. Status perkawinan
5. Agama Islam
6. Suku bangsa Bugis
7. Pendidikan (belum sekolah)
8. Pekerjaan -
9. Alamat lengkap Perumahan puspita bengkuring
Nama
Usia Hub. Serumah
No Anggota Pekerjaan Keterangan
(th) Keluarga
Keluarga Ya Tdk Kdg
11
3.3 Status Fisik, Psiko-Sosial, Ekonomi, Keluarga dan Lingkungan
12
No Pola Makan Keluarga Keterangan
No Lingkungan Keterangan
13
Jenis dinding terbanyak Kayu
Jenis lantai terluas Ubin
Sumber penerangan utama PLN
Sarana MCK Kamar mandi berada di luar
rumah, berdinding kayu dan
beratap seng. Air berasal
dari PDAM. Jamban
menggunakan toilet leher
angsa.
Sarana Pembuangan Air Limbah Langsung ke tanah, tidak
mempunyai septic tank
Sumber air sehari-hari PDAM
14
PENILAIAN APGAR KELUARGA
Hampir
Hampir Kadang
tidak
Kriteria Pernyataan Selalu Kadang
pernah
(2) (1)
(0)
Saya puas dengan keluarga
saya karena masing-masing
√
Adaptasi anggota keluarga sudah
menjalankan peran sesuai
dengan seharusnya
Saya puas dengan keluarga
saya karena dapat membantu
Kemitraan √
memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi
Saya puas dengan kebebasan
yang diberikan keluarga saya
Pertumbuhan √
untuk mengembangkan
kemampuan yang saya miliki
Saya puas dengan kehangatan
√
Kasih sayang dan kasih sayang yang
diberikan keluarga saya
Saya puas dengan waktu yang
Kebersamaan disediakan keluarga untuk √
menjalin kebersamaan
Jumlah 10
Keterangan :
Total skor 8-10 = Fungsi keluarga sehat
Total skor 6-7 = Fungsi keluarga kurang sehat
Total skor ≤ 5 = Fungsi keluarga sakit
Kesimpulan :
Nilai skor keluarga ini adalah 10, artinya keluarga ini menunjukan fungsi
keluarga sehat.
15
POLA HIDUP BERSIH DAN SEHAT KELUARGA
Jawaban
No Indikator Pertanyaan Keterangan
Ya Tdk
A. Perilaku Sehat
1 Tidak merokok
Tidak ada yang memiliki Ayah pasien merupakan
kebiasaan merokok? perokok aktif dengan sehari
√
dapat menghabiskan 1
bungkus rokok dan terkadang
merokok di dalam rumah saat
ada pasien.
2 Persalinan
Di mana ibu pasien melahirkan √ Pasien dilahirkan dibantu
anak-anaknya? bidan
3 Imunisasi
Apakah pasien dan saudaranya √ Tidak diketahui.
sudah diimunisasi lengkap?
4 Balita ditimbang
Apakah saat balita pasien sering √ Ibu pasien sering mengikuti
ditimbang? Di mana? posyandu lansia.
5 Sarapan pagi
Apakah seluruh anggota √ Pasien dan keluarga selalu
keluarga memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum
sarapan pagi? memulai aktivitas.
6 Dana sehat / Askes
Apakah pasien ikut menjadi √ Pasien merupakan peserta
peserta askes? BPJS.
7 Cuci tangan
16
Apakah anggota keluarga √ Pasien mencuci tangan hanya
mempunyai kebiasaan mencuci pada saat sebelum makan
tangan menggunakan sabun
sebelum makan dan sesudah
buang air besar?
8 Sikat gigi
Apakah anggota keluarga √ Pasien dan keluarga selalu
memiliki kebiasaan gosok gigi menggosok gigi
menggunakan pasta gigi? menggunakan pasta gigi 2
kali sehari yaitu setiap kali
mandi.
9 Aktivitas fisik / Olahraga
Apakah anggota keluarga √ Pekerjaan orang tua pasien
melakukan aktivitas fisik atau adalah supir dengan kegiatan
olah raga teratur? sering mengangkut barang
berat
B. Lingkungan Sehat
1 Jamban
Apakah di rumah tersedia √ Semua keluarga
jamban dan seluruh keluarga menggunakan jamban leher
menggunakannya? angsa tanpa memiliki sepric
tank
2 Air bersih dan bebas jentik
Apakah di rumah tersedia air √ Dipastikan air yang
bersih dengan tempat / tandon digunakan adalah bersih
air tidak ada jentik ? karena pasien menggunakan
PDAM
3 Bebas sampah
Apakah di rumah tersedia √ Tidak tersedia tempat sampah
tempat sampah? Apakah di di dalam maupun di luar
lingkungan sekitar rumah tidak rumah. Di luar rumah, di
17
ada sampah berserakan? beberapa tempat masih ada
sampah yang sengaja
dibiarkan untuk menjadi
pupuk kompos.
SPAL
Apakah ada/tersedia SPAL di √ Tidak tersedia SPAL di
sekitar rumah? sekitar rumah. Segala macam
limbah rumah tangga
langsung dibuang ke tanah.
5 Ventilasi √
Apakah ada pertukaran udara di Tidak terdapat ventilasi di
dalam rumah? rumah pasien
6 Kepadatan
Apakah ada kesesuaian luas √ Rumah cukup untuk 4 orang
rumah dengan jumlah anggota penghuni.
keluarga?
7 Lantai
Apakah lantai bukan dari tanah? √ Seluruh lantai rumah terbuat
dari ubin. Ruangan di luar
kamar dialasi karpet kain dan
karpet plastik.
C. Indikator Tambahan
1 ASI Eksklusif
Apakah ada bayi usia 0-6 bulan √ Pasien mendapat ASI
yang hanya mendapat ASI saja eksklusif selama 6 bulan
sejak lahir sampai 6 bulan?
2 Konsumsi buah dan sayur Pasien dan keluarga selalu
Apakah dalam 1 minggu √ mengonsumsi sayur setiap
terakhir anggota keluarga hari, jarang mengonsumsi
mengkonsumsi buah dan sayur? buah
Jumlah 11 7
18
Klasifikasi
SEHAT I : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 1-5 pertanyaan (Merah)
SEHAT II : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 6-10 pertanyaan
(Kuning)
SEHAT III : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 11-15 pertanyaan
(Hijau)
SEHAT IV : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 16-18 pertanyaan (Biru)
Kesimpulan
Dari 18 indikator yang ada, yang dapat dijawab ”Ya” ada 8 pertanyaan yang
berarti identifikasi keluarga dilihat dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masuk
dalam klasifikasi SEHAT III.
19
Pasien disuruh membaca kalimat perintah yang
1 1 tertulis dan mempraktekkannya, misalkan ‘pejamkan
mata Anda’.
Pasien diminta menulis kalimat yang memiliki
1 0
subjek dan kata kerja yang masuk akal.
Pasien diminta menggambar gambar seperti di
bawah.
1 0
30 26 TOTAL
Interpretasi Skor MMSE:
24 – 30 = no cognitive impairment
18 – 23 = mild cognitive impairment
0-17 = severe cognitive impairment
Skor MMSE pada pasien ini 26, berarti tidak ada gangguan kognitif.
20
4 Faktor eksternal Kurang adekuatnya kebersihan diri
Kurangnya informasi tentang kebersihan
daerah intim pada anak
21
Mandala of Health
GAYA HIDUP
- Jarang konsumsi makanan gizi seimbang
- Sering bermain tanpa menggunakan alas kaki
- Kurangnya komposisi sayuran dan buah dalam
PERILAKU KESEHATAN
makanan sehari-hari LINGK. PSIKO-SOSIO-EKONOMI
- Kurangnya pengetahuan ibu pasien tentang - kurangnya PHBS
keputihan pada anak - Pasien sering ditinggal bermain ditempat
- Adanya budaya untuk menggunakan herbal dalam saudara pasien tanpa pengawasan ibu pasien
FAMILY PASIEN
mengurangi keluhan pasien
- Belum ada budaya untuk segera mencari
pertolongan ke faskes bila penyakit diyakini masih Vulvovaginitis
bersifat ringan ICD 10 :
- Kurangnya PHBS N77.1 (vaginitis, vulvitis,
vulvovaginitis) LINGKUNGAN KERJA
Z 59.6 (Low income)
Z 59.1 (Inadequate housing) -
PELAYANAN KES.
Rencana
Skor Skor
Masalah Pembina Sasaran Upaya Penyelesaian Resume Akhir
Awal Akhir
an
Faktor Perilaku Kesehatan
Keluarga Edukasi Pasien dan 4 - Edukasi mengenai keluhan keputihan pada - Orang tua Pasien dapat 5
- Kurangnya Motivasi Keluarga anak dan kemungkinan penyebabnya memahami penyakitnya dan
pengetahuan ibu - Edukasi mengenai pemberian terapi awal pada termotivasi untuk fokus
pasien tentang saat anak mengalami keputihan terutama menjalani pengobatan
keputihan pada anak dengan keamanan herbal yang digunakan - Kekhawatiran orang tua
- Adanya budaya untuk
- Edukasi pentingnya segera ke pelayanan pasien terhadap hasil akhir
menggunakan herbal
dalam mengurangi kesehatan apabila mengalami sakit pengobatan mulai berkurang
keluhan pasien - Edukasi mengenai pentingnya upaya preventif - Pasien dan keluarga mulai
- Belum ada budaya dibandingkan pengobatan kuratif, terutama menggunakan sabun saat
untuk segera mencari PHBS cuci tangan dan menerapkan
pertolongan ke faskes setiap setelah BAB/BAK dan
bila penyakit diyakini
sebelum makan.
masih bersifat ringan
- Kurangnya PHBS
23
- Sering bermain tanpa Keluarga kondisi pasien masih dalam tahap seimbang dengan perbanyak
menggunakan alas kaki pertumbuhan sayur dan buah
- Kurangnya komposisi
- Edukasi terkait penggunaan alas kaki selama - Pasien menggunakan alas
sayuran dan buah dalam
makanan sehari-hari bermain atau beraktivitas di luar ruangan kaki selama beraktivitas di
- Kurangnya PHBS - Edukasi perilaku hidup bersih sehat seperti luar ruangan.
mencuci tangan dengan sabun, mengganti - Pasien dan keluarga mulai
pakaian dalam secara rutin menggunakan sabun saat
cuci tangan
Faktor Psiko-Sosio-Ekonomi
- Pendapatan tidak menentu Edukasi Pasien 5 - Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya - Pasien telah memiliki 5
dengan jumlah keluarga dan memiliki jaminan kesehatan dalam menjalani Jaminan Kesehatan Nasional
besar / beban keluarga Keluarga pengobatan jangka panjang seperti TB, serta BPJS Pemerintah sebagai
- Tidak mempunyai sistem pra jamkes anggota keluarga yang lain sebagai upaya menunjang kelancaran
upaya/jaminan kesehatan upaya preventif pengobatan
sebelum sakit - Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa - Pasien mampu membeli obat
obat TB diberikan gratis di Puskesmas, kecuali injeksi Kanamisin dengan
obat suntik/injeksi Kanamisin karena tidak dukungan ekonomi dari
tercover BPJS. Menjelaskan bahwa pengadaan keluarga
obat tersebut seyogyanya menjadi tanggung - Pasien termotivasi untuk
jawab seluruh anggota keluarga fokus menjalani pengobatan
- Edukasi motivasi pasien untuk tidak terlalu - Kekhawatiran pasien
memikirkan kemungkinan buruk dari terhadap hasil akhir
penyakitnya dan lebih baik fokus pada pengobatan mulai berkurang
24
pengobatan
25
permanen karena tanah tempat
rumah tersebut berdiri dan juga
kebun merupakan tanah milik
orang yang pasien sewa
Keterangan :
Skor 1 = Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi
Skor 2 = Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, hanya ada keinginan; penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya oleh
provider
Skor 3 = Keluarga mau melakukan namun perlu pengendalian sumber yang belum dimanfaatkan; penyelesaian masalah dilakukan
sebagian oleh provider
Skor 4 = Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya; masih tergantung pada upaya provider
Skor 5 = Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga
26
BAB IV
PEMBAHASAN
30
4.2 Nilai Diagnostik Pemeriksaan Sputum BTA
Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia (Kemenkes RI, 2017)
Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia
Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
33
masih ada juga penderita TB yang hampir selesai menjalani pengobatan juga masih
ditemukan positif TB paru.
Pemeriksaan dengan teknik PCR, meskipun mempunyai sensitifitas yang tinggi
(90%) dibandingkan pemeriksaan mikroskopis BTA (77,2%), namun teknik ini
spesifisitasnya rendah (79%) dibanding pemeriksaan mikroskopis BTA (95%) (Utami,
2002).
Sebagai alat diagnostik TB paru, pemeriksaan dengan PCR dianggap valid karena
mampu membedakan penderita TB paru dan bukan penderita TB paru. Diagnosis PCR
sangat dibutuhkan pada kondisi khusus dimana hasil pemeriksaan BTA mikroskopis
negatif akan tetapi gejala klinis menunjukkan TB paru (Utami, 2002).
37
disuntikkan
4.5.2 Merokok
Berdasarkan anamnesis, pasien diketahui memiliki riwayat merokok sejak
muda yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya tuberkulosis. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Aditama (2005) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna
antara prevalensi reaktifitas tes tuberculin dan kebiasaan merokok, mereka yang
merokok 3 sampai 4 kali lebih positif tesnya, artinya 3 sampai 4 kali lebih sering
terinfeksi TB Paru daripada yang tidak merokok.
38
Tingginya risiko terjadinya TB Paru pada yang merokok, karena kebiasaan
merokok akan merusak pertahanan paru yang disebut “Muccocilliary Clearance”
dimana bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang infeksi yang
sudah masuk karena bulu getar dan alat tahanan jalan nafas dan menyebabkan
mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang
merupakan sel yang dapat memakan bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui
dapat menurunkan respon terhadap antigen sehingga jika ada benda asing ke paru
tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan
sintesa elastase dan menurunkan produksi anti protease sehingga merugikan tubuh
manusia (Gilbert, 2010).
40
memakai PLN. Hal ini membuat tidak adekuatnya lingkungan rumah yang dapat
menjadi faktor risiko terjadinya tuberkulosis.
Berdasarkan penelitian Girsang, Kristina, dan Rafrizal (2011), limgkungan
rumah tempat tinggal ada pengaruhnya terhadap kejadian tuberkulosis. Angka
kejadian TB tertinggi sebesar 33% ditemukan pada lingkungan rumah yang
mempunyai dinding yang tidak permanen atau bukan terbuat dari bambu atau kayu.
Ditemukan sebesar 23% data kejadian TB pada lingkungan rumah berlantai tanah,
lingkungan rumah yang tidak mempunyai tempat penampungan sampah, rumah
yang memelihara unggas, air minum yang tidak baik serta menggunakan insektisida
sebagai penghalau nyamuk.
Menurut Kemenkes RI No.829/MenKes/SK/VII/1999 pencahayaan yang
memenuhi syarat dengan intensitas minimal ≥ 60 lux. Pencahayaan berasal dari
cahaya alami (cahaya matahari) dipengaruhi letak dan lebar jendela, untuk
mendapatkan pencahayaan secara maksimal jendela paling sedikit luasnya 20% dari
luas lantai ruangan (Reviono, 2015). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kondisi fisik rumah (pencahayaan) kamar pasien yang menderita TB paru
memenuhi syarat yaitu luasnya 20% dari lantai ruangan yang meliputi jendela dan
pintu yang terbuka, meskipun hanya dari cahaya matahari.
Ventilasi rumah sangat berperan dalam penularan penyakit TB paru di dalam
keluarga. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum
luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang
yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu/jendela, lubang anyaman bambu
dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas lantai. Hasil penelitian menemukan
bahwa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi yang kurang dari
10% luas lantai berisiko 4,907 kali untuk terjadi TB paru dibandingkan dengan
kelompok yang mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10% luas lantai.
Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara
dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang lain
seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar dengan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu dalam konsentrasi tinggi
sehingga memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain. Ventilasi rumah
yang tidak cukup menyebabkan aliran udara tidak terjaga sehingga kelembaban
udara di dalam ruangan naik dan kondisi ini menjadi media yang baik bagi
41
perkembangan patogen (Simbolon, 2007). Di dalam rumah pasien terdapat 3 buah
jendela (2 jendela di luar kamar, 1 jendela di dalam kamar) serta 2 buah pintu yang
sering dibiarkan terbuka. Luas rumah adalah 24 m2. Luas ketiga jendela adalah 1,05
m2. Luas ketiga jendela ditambah kedua pintu adalah 5,05 m2. Setelah dikalkulasi,
didapatkan luas lubang ventilasi tetap (luas jendela per luas rumah) adalah 4,375%.
Sementara luas ventilasi keseluruhan (luas jendela dan luas pintu per luas rumah)
adalah 21,04%. Dapat disimpulkan bahwa lubang ventilasi tetap pada rumah pasien
belum mencapai nilai minimum namun ventilasi keseluruhan sudah melebihi 10%
sehingga tidak berisiko terhadap terjadinya tuberkulosis.
Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah diharapkan dapat membunuh
kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk, sehingga jumlah kuman
dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga berkurang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang yang mempunyai rumah dengan cahaya matahari tidak
masuk ke rumah berisiko 5,008 kali dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di
rumah yang masuk cahaya matahari (Simbolon, 2007). Kamar tidur sebaiknya
diletakkan di sebelah timur untuk memberi kesempatan masuknya sinar ultraviolet
yang ada dalam sinar matahari pagi. Menurut Robert Koch, semua jenis cahaya
dapat mematikan kuman, hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya proses
mematikan kuman (Soesanto, 2000).
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Menurut
Kementerian kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 luas ruang tidur minimal 8
m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur lima tahun. Kepadatan penghuni kamar tidur yang tidak
memenuhi syarat (<4 m2/orang tidak termasuk balita) akan menghalangi proses
pertukaran udara bersih sehingga kebutuhanudara bersih tidak terpenuhi dan dapat
menjadi penyebab terjadinya TB paru. Semakin banyak jumlah penghuni ruangan
semakin cepat udara didalam ruangan mengalami pencemaran dan jumlah bakteri di
udara akan bertambah.Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa
kepadatan hunian kamar pasien memenuhi syarat dengan luas 9 m2 yang dihuni oleh
dua orang. Kepadatan hunian ruang tidur merupakan perbandingan antara luas ruang
tidur dengan jumlah individu semua umur yang menempati ruang tidur tersebut.
42
Semakin banyaknya penghuni, maka kadar oksigen bebas dalam ruangan menurun
(<20,7%) dan diikuti oleh peningkatan CO2 bebas (>0,04%) sehingga daya tahan
tubuh penghuninya menurun, ruangan yang sempitakan membuat nafas sesak dan
mudah tertular penyakit dari anggota keluarga lain (Keman, 2005).
43
Obat yang saat ini diberikan sangat berkualitas dan disediakan oleh pemerintah.
Untuk itu sebaiknya tanyakan kesungguhan pasien dalam menjalankan
pengobatan TB.
Bagaimana mencegah penularan TB
Pencegahan dapat dilakukan dengan:
- Menelan obat secara teratur dan tuntas.
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin.
- Membuka jendela atau pintu agar cahaya matahari dan udara segar masuk
kedalam rumah.
- Tidak diperlukan diet khusus, tidak memisahkan alat makan, dan mensterilisasi
alat makan minum atau perabot rumah tangga.
Kontak Serumah
Semua anak yang berusia dibawah 5 tahun yang tinggal serumah dengan pasien
TB harus diperiksa, karena usia tersebut sangat rentan terhadap berbagai
penyakit. Anak-anak mungkin membutuhkan pengobatan pencegahan atau
rujukan ke dokter.
Anggota keluarga lain yang serumah yang mengalami gejala TB harus segera
diperiksa.
Perlunya pengawasan menelan obat
Petugas kesehatan harus menjelaskan pentingnya pengawasan menelan obat
bagi pasien. Jelaskan bahwa pasien menelan seluruh obat dengan diawasi oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO), untuk memastikan bahwa pasien
menelan seluruh obat secara benar, teratur, dan sesuai waktu yang ditentukan.
Dengan demikian petugas akan mengetahui apakah pasien mengalami masalah
dalam pengobatan seperti efek samping dan lain-lain. Melalui pengawasan
menelan obat, petugas akan segera tahu apabila pasien terlewat minum obat, dan
segera menyelidiki penyebabnya.
Menjelaskan paduan obat
Jelaskan tentang paduan pengobatan meliputi:
- Lama waktu pengobatan
- Dosis Obat dan Penyesuaian sesuai Berat Badan.
- Jenis obat dan cara pemberiannya
Contoh: Jika pasien kambuh
44
“Obat terdiri dari dua jenis, obat telan dan obat suntik. Obat akan diberikan
dalam dua tahap. Tahap awal obat harus diminum setiap hari selama 3 bulan
dan bapak/ibu juga akan disuntik selama dua bulan. Selanjutnya setelah hasil
pemeriksaan dahak negatif maka obat suntik akan dihentikan dan obat minum
akan diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan.“
- Kualitas obat
Contoh:
“Obat yang disediakan pemerintah gratis dan berkualitas, obat ini adalah
kombinasi yang terbaik yang digunakan di seluruh dunia untuk mengobati TB,
bila bapak/ibu berobat dengan teratur dan tuntas maka akan sembuh.”
- Frekuensi kunjungan mengambil obat.
Contoh:
“Bapak/Ibu harus datang ke Faskes setiap hari selama dua bulan ini untuk
disuntik dan mengambil obat.”
- Kemana pergi untuk mengambil obat
Contoh:
“Bapak/Ibu bisa langsung datang ke ruang TB jika mengambil obat, bila ada
keluhan bapak/ibu bisa bertemu dengan dokter. Bapak/Ibu dapat mengambil
obat sesuai waktu dan hari yang disepakati dengan petugas”
Pemeriksaan lanjutan pada akhir tahap awal
Jelaskan kepada pasien untuk melihat kemajuan pengobatan dan memastikan
pasien dapat melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan maka dahak perlu
diperiksa kembali.
Contoh:
“Bapak/Ibu, setelah minum obat dan disuntik dalam tahap awal bapak/ibu akan
diperiksa kembali dahaknya pada akhir tahap awal untuk melihat apakah kuman
sudah negative (tidak ditemukan ) dan untuk menilai apakah obat ini bisa
bekerja dengan baik dalam tubuh bapak/ibu.”
Kemungkinan yang terjadi selama pengobatan dan tindakan yang harus
dilakukan
Pasien perlu tahu secara jelas apa yang mungkin terjadi selama pengobatan TB,
dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Contoh:
45
Fakta bahwa rifampicin dapat membuat air seni berwarna oranye atau merah
sebagai reaksi obat.
“Bapak/Ibu, salah satu obat ini akan membuat air seni menjadi kemerahan
seperti air teh. Ini tidak berbahaya. Bila ada keluhan lain bapak/ibu dapat
memberitahu PMO atau petugas di Faskes. Nanti dokter akan membantu
mengatasi keluhannya”.
Menginformasikan pesan kesehatan untuk keluarga pasien merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan di semua sarana
pelayanan kesehatan. Dukungan anggota keluarga ikut menentukan hasil
pengobatan TB. Untuk itu, keluarga juga harus diberikan informasi tentang TB
agar terus mampu mendampingi pasien selama pengobatan. Petugas kesehatan
harus dapat memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien dalam
bahasa yang jelas dan tepat mengenai penyakit, pengobatan dan efek
sampingnya, tindakan atau pemeriksaan yang akan dilakukan dan upaya
pencegahan. Komunikasi efektif disampaikan sesuai dengan latar belakang
budaya dan tingkat pendidikan keluarga.
Setelah seseorang ditetapkan sebagai pasien TB maka keluarga adalah
orang yang paling dibutuhkan dukungannya dalam menjalankan pengobatan.
Beberapa peran keluarga dalam mendukung pengobatan pasien TB, yaitu
(Kemenkes RI, 2017):
a. Memotivasi pasien untuk menjalani pengobatan sampai sembuh, dengan:
Kenali faktor yang dapat mendukung ataupun menghambat pengobatan
bagi pasien serta membantu mencari alternatif solusinya
Meyakinkan kepada pasien bahwa pengobatan yang dijalani akan
memberikan kebaikan bagi pasien maupun keluarganya
b. Mendampingi dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat
menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur, yaitu:
Memotivasi pasien untuk tetap menelan obatnya saat pasien mulai bosan.
Memastikan pasien menelan obat dengan disaksikan oleh keluarga.
Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan
rasa percaya diri.
46
Hal yang jangan sampai terlupa adalah beri waktu bagi pasien untuk
mengekspresikan perasaannya. Jika dibutuhkan cari dan ikut sertakan
pasien dalam pertemuan kelompok pasien (paguyuban).
c. Mengingatkan pasien TB datang ke Faskes untuk mendapatkan obat dan periksa
ulang dahak sesuai jadwal dengan berkoordinasi dengan PMO dan petugas
kesehatan tentang jadual pengambilan obat dan pemeriksaan dahak pasien TB.
d. Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping obat dan merujuk ke
Faskes.
Menanyakan dan memperhatikan apakah pasien mengalami keluhan setelah
menelan obat.
Segera merujuk pasien ke Faskes bila ada efek samping.
Menenangkan pasien dan meyakinkan bahwa keluhan yang dialami dapat
ditangani.
47
BPJS. Menjelaskan bahwa pengadaan obat tersebut seyogyanya menjadi
tanggung jawab seluruh anggota keluarga
- Edukasi motivasi pasien untuk tidak terlalu memikirkan kemungkinan buruk
dari penyakitnya dan lebih baik fokus pada pengobatan
- Menjelaskan pada pasien bahwa kecukupan waktu istirahat menjadi salah
satu faktor dalam terpeliharanya kesehatan
- Menjelaskan pada pasien bahwa di usia lanjut, pekerjaan berat seyogyanya
dikurangi atau dilimpahkan ke orang yang lebih muda, misalkan anak pasien
atau anggota keluarga yang lain
- Edukasi pentingnya memiliki sarana kesehatan yang memadai supaya
kesehatan senantiasa terpelihara
48
Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) /5(HR)3E3
Tahap Awal Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.
Oleh karena Isoniazid biasanya memberikan efek samping ringan berupa kesemutan
sampai dengan rasa terbakar di telapak kaki atau tangan maka dapat pula diberikan
vitamin B6 (piridoxin) 50-75 mg per hari pada pasien tuberkulosis yang sedang
mendapat Isoniazid (Kemenkes RI, 2014). Sementara itu, dosis piridoxin untuk
mengurangi efek samping Isoniazid ditetapkan PDPI (2011) sebesar 100 mg per hari atau
bisa pula diberikan vitamin B kompleks.
Terapi farmakologis yang akan diberikan dokter muda pada pasien adalah:
Tahap Awal Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + K RH (150/150) + E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Kanamisin inj. + 3 tab Etambutol
Ditambah Vitamin B6 / Piridoxin 60 mg/hari (sediaan tablet 10 mg)
3 x 2 tablet per hari
Keterangan :
(====) : Pengobatan tahap awal
(-------) : Pengobatan tahap lanjutan
X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk
memantau hasil pengobatan
(X) : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya apabila hasil
pemeriksaan pada akhir tahap awal hasilnya BTA(+)
50
DAFTAR PUSTAKA
51
Keman, S. 2005. Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. 2(1):29-42.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2014. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2017. Pelatihan
Penanggulangan Tuberkulosis bagi Petugas Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan RI.
Lippo, J & Lammintausta K. 2008. Positive patch test reactions to gentamicin show
sensitization to aminoglycosides from topical therapies, bone cements, and from
systemic medication. Contact Dermatitis 2008, 59:268–272.
Media, Y. 2011. Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Melatarbelakangi Rendahnya Cakupan
Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Padang Kandis, Kecamatan Guguk
Kabupaten 50 Kota (Provinsi Sumatera Barat). Buletin Penelitian Kesehatan 39 (3):
119-128.
Mediana, G. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya DO pada Penderita
TB Paru di Kabupaten Bandung (Tesis). Depok: Universitas Indonesia.
Miki, M., Ishikawa T & Okayama H. 2005. An outbreak of histamine poisoning after
ingestion of the ground saury past in eight patients taking isoniazid in tuberculosis
ward. Intern Med 44:1133–1136.
Muis, A. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penderita Tuberkulosis
untuk Berobat Teratur di Dua Kabupaten Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Depok:
Universitas Indonesia.
Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Rahmansyah, A. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Drop Out (DO) pada
Penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Palembang tahun 2010 (Tesis). Depok:
Universitas Indonesia.
52
Ramadhan, R., Eka F., & Rosdiana. 2017. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan
Pemeriksaan Mikroskopis dan Teknik PCR pada Penderita Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Darul Imarah. Jurnal Penelitian Kesehatan 4(2): 74-81.
Reviono., Suradi., Adji M & Sulaeman. 2015. Hubungan modal sosial dan pencapaian case
detection rate tuberkulosis puskesmas kabupaten karanganyar. J Respir Indo 35(1):28-
38.
Sanchez-Borges, M., et al. 2013. Hypersensitivity reactions to non beta-lactam antimicrobial
agents, a statement of the WAO special committee on drug allergy. World Allergy
Organization Journal 2013, 6: 18.
Santha, T. 2000. Risk Factor Associated with Default, Failure and Death among
Tuberculosis Treated in a DOTS Programme in Tiruvallar District. South India.
Simbolon, D. 2007. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional 2 (3): 112-119.
Sophia, V. 2003. Defaults Among Tuberculosis Patients Treated Under DOTS in Bangalore
City: a Search for Solution. India.
Tan, W., Ong C., Kand S & Razak M. 2007. Two years review of cutaneous adverse drug
reaction from first line anti-tuberculosis drugs. Med J Malaysia 2007, 62:143–146.
Ubaidillah. 2001. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru
di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan (Tesis). Depok: Universitas Indonesia.
Utami BS, Harun S, Ekowatiningsih R, Yuwarni E, Kurniawan L, Aditama TY. 2002. Uji
validitas teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan pemeriksaan mikroskopis basil
tahan asam sebagai alat diagnosa penderita Tuberkulosis paru di Rumah Sakit
Persahabatan, Jakarta. Media Litbang Kesehatan 12(3): 24-29.
World Health Organization (WHO). 2006. Tuberculosis. New York: WHO Media Centre.
Yee, D., Valiquette C., Pelletier M., Parisien I & Rocher I. 2003. Incidence of serious side
effects from first-line antituberculosis drugs among patients treated for active
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 167:1472–1477.
53
LAMPIRAN DOKUMENTASI
54
55
56
57