Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus Kedokteran Keluarga

Vulvovaginitis

Dini Kamilah Islami


1610029060

Pembimbing:
Dr. dr. Rahmat Bakhtiar, MPPM
dr. Siti Nuriyatus Z, MKM
dr. Tiara Ramadhani

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
PUSKESMAS SEMPAJA
SAMARINDA
2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 3
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 3
BAB 2 LAPORAN KASUS ........................................................................... 5
BAB 3 ANALISIS KEDOKTERAN KELUARGA ..................................... 11
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................. 30
4.1 Lost to Follow Up ................................................................................ 30
4.2 Nilai Diagnostik Pemeriksaan Sputum BTA ....................................... 34
4.3 Pemeriksaan GeneXpert ....................................................................... 37
4.4 Reaksi Alergi terhadap OAT ................................................................ 38
4.5 Mandala of Health ................................................................................ 41
4.6 Tatalaksana dari Dokter Muda ............................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 54

LAMPIRAN DOKUMENTASI .................................................................... 57

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang sampai saat ini menjadi
masalah kesehatan penting di dunia. TB paru dapat menyebar dari satu orang
ke orang lain melalui transmisi udara (droplet dahak pasien TB paru) (CDC,
2008).
Menurut World Health Organization (WHO) dalam satu tahun, kuman M.
tuberculosis telah membunuh sekitar 2 juta jiwa, dan WHO diperkirakan
bahwa pada tahun 2002-2020 ada sekitar 2 miliar orang yang terinfeksi kuman
ini, di mana 5-10% di antara infeksi akan berkembang menjadi penyakit, 40%
di antara yang sakit dapat berakhir dengan kematian. Perkiraan dari WHO,
yaitu sebanyak 2-4 orang terinfeksi tuberkulosis setiap detiknya dan hampir 4
orang setiap menit meninggal karena tuberkulosis. Kecepatan penyebaran
tuberkulosis bisa meningkat lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran
Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acuired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) dan munculnya kasus TB-MDR (multy drug resistant) yang kebal
terhadap bermacam obat. Pada tahun 2013 WHO memperkirakan ada 8,6 juta
kasus baru TB (13% merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,3 juta orang
meninggal karena tuberkulosis di mana diantaranya 940.000 orang dengan
HIV negatif dan 320.000 orang dengan HIV dan tuberkulosis positif (PDPI,
2011; WHO, 2006).
Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah penderita TB
terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia,
diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian
sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009
adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia
produktif. Oleh karena itu kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar
(WHO, 2006; Kemenkes RI, 2014). Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa angka drop out atau lost to follow up di BBPKM

3
Makassar sangat tinggi, yakni 36% (Dinkes Sulsel, 2013). Sementara menurut
Kemenkes RI bahwa angka lost to follow up tidak boleh lebih dari 10% karena
akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi di masa yang akan
datang yang disebabkan karena ketidak efektifan dari pengendalian
tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014).
Peran dokter keluarga dalam penatalaksanaan TB paru sangatlah penting
yang tidak memandang seorang pasien sebagai seseorang individu melainkan
sebagai suatu unit keluarga yang penatalaksanaannya secara holistik dan
komprehensif. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita
dalam menolong penderita TB, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah
satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan
kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan
sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan, serta
cara untuk mencegah penularan (Kemenkes RI, 2011).

4
BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis dilakukan di puskesmas pada tanggal 21 Mei 2018 secara


alloanamnesis dengan ibu pasien dan di rumah pasien pada tanggal 11 April 2018
secara alloanamnesis.

2.1 Anamnesis
a) Identitas
Nama : An. FA
Usia : 3 tahun (DOB 1 Juli 2015)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : perumahan puspita Bengkuring
Pendidikan : (belum sekolah)
Pekerjaan :-
Suku : Bugis
Agama : Islam
b) Keluhan Utama : bercak keputihan dari vagina

5
c) Riwayat Perjalanan Penyakit & Pengobatan

(Awal Mei 2018) (Minggu ke-2 Mei 2018)


Ibu pasien mengatakan bahwa Ibu pasien memberikan
anaknya sering menggaruk herbal untuk mencuci
daerah kemaluan terutama saat vagina
bangun pagi

(17 Mei 2018)


( Mei 2018)
Pasien berobat ke PKM
sempaja karena keputihan Sehari setelah diberikan
berubah warna menjadi herbal, Pasien menjadi
kekuningan, banyak, dan keputihan dengan
berbau selama 3 minggu. berwarna keputihan
Terapi yang diberikan seperti susu, kental,
antibiotik dan dilakukan berbau tidak enak dan
swab vagina terdapat bercak
kecoklatan yang
mengering

(25 mei 2018)


(23 mei 2018)
2 hari setelah diminumkan
Pasien berobat ke PKM antibiotik, ibu pasien
sempaja dengan hasil swab mengatakan masih
vagina: PMN penuh. Terapi terdapat keputihan .
yang diberikan: antibiotik sehingga diminumkan air
rebusan daun sirih

6
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat keluhan yang serupa
dengan pasien.

7
e) Genogram

: Laki-laki : Sudah meninggal

: Perempuan

: Pasien : Tinggal serumah

2.2 Pemeriksaan Fisik


A. Antropometri
Berat badan : 21 kg
Tinggi badan : 98 cm
IMT : 21.86 kg/m2 (normal weight)
B. Keadaan Umum : Baik
C. Kesadaran : Komposmentis (GCS 15 E4V5M6)
D. Tanda-Tanda Vital
Frekuensi nadi : 78 kali/menit, reguler, adekuat
Frekuensi nafas : 18 kali/menit, reguler
Suhu : 36.5 0C per axiller
E. Status Generalisata
 Kepala : Normocephal, rambut hitam lurus
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Tidak ditemukan kelainan
 Hidung : Tidak ditemukan kelainan

8
 Tenggorok : Hiperemis (-), candidiasis (-), stomatitis (-)
 Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
 Thoraks
- Pulmo
Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan nafas simetris
Palpasi : Fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan sepanjang parasternal line dextra
Batas kiri pada ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

2.3 Diagnosis
Vulvovaginitis (N77.1)

2.4 Tatalaksana

2.5 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

9
10
BAB III
ANALISIS KEDOKTERAN KELUARGA

3.1 Data Pasien

No I. Pasien

1 Nama An. FN
2. Umur 3 tahun
3. Jenis kelamin Perempuan
4. Status perkawinan
5. Agama Islam
6. Suku bangsa Bugis
7. Pendidikan (belum sekolah)
8. Pekerjaan -
9. Alamat lengkap Perumahan puspita bengkuring

3.2 Data Anggota Keluarga

Nama
Usia Hub. Serumah
No Anggota Pekerjaan Keterangan
(th) Keluarga
Keluarga Ya Tdk Kdg

1 Ny.WE 33 IRT Ibu + - - Samarinda


Supir
2 Tn. AM 36 pergudanga Ayah + - - Samarinda
n
3 An. AS 6 - Kakak + - - Samarinda

11
3.3 Status Fisik, Psiko-Sosial, Ekonomi, Keluarga dan Lingkungan

No Ekonomi Keluarga Keterangan

1 Luas tanah 8 x 4 meter


2 Luas bangunan 8 x 4 meter
3 Deskripsi bangunan Rumah adalah rumah non
permanen yang lantai,
dinding, dan langit-
langitnya terbuat dari kayu,
beratapkan seng. Terdapat 1
kamar tidur berukuran 2 x 2
m. Terdapat 1 jendela, yaitu
1 buah di luar kamar.
4 Sumber listrik Listrik memakai PLN
menumpang dengan
tetangga tetapi untuk
pengisian voucher sendiri
5 Tingkat pendapatan keluarga Pendapatan keluarga tetap,
yaitu Rp.2.000.000,00 tiap
bulan dari pendapatan orang
tua pasien.

No Perilaku Kesehatan Keterangan

1 Pelayanan promotif / preventif Puskesmas


2 Pemeliharaan kesehatan anggota Puskesmas / klinik
keluarga lain
3 Pelayanan pengobatan Puskesmas / klinik

4 Jaminan pemeliharaan kesehatan BPJS pemerintah (tahun


2018)

12
No Pola Makan Keluarga Keterangan

1 Pasien dan anggota keluarga Makan 2-3 kali sehari


dengan porsi sedang.
Menu : Nasi, sayur (selalu),
lauk (kadang-kadang), buah
(jarang).

No Aktivitas Pasien dan Keluarga Keterangan

1 Aktivitas fisik Pasien aktif bermain baik


diluar rumah maupun di
dalam rumah. Ibu pasien
mengatakan saat bermain,
selalu di awasi

2 Aktivitas mental Perkembangan mental


pasien sesuai dengan
usianya

No Lingkungan Keterangan

1 Sosial Hubungan dengan


lingkungan sekitar cukup
baik. Pasien sering
berinteraksi dengan
keluarga inti dan berani
mengungkapkan
keinginananya
2 Fisik/Biologik
Perumahan dan fasilitas Kurang
Luas tanah 8 x 4 meter
Luas bangunan 8 x 4 meter

13
Jenis dinding terbanyak Kayu
Jenis lantai terluas Ubin
Sumber penerangan utama PLN
Sarana MCK Kamar mandi berada di luar
rumah, berdinding kayu dan
beratap seng. Air berasal
dari PDAM. Jamban
menggunakan toilet leher
angsa.
Sarana Pembuangan Air Limbah Langsung ke tanah, tidak
mempunyai septic tank
Sumber air sehari-hari PDAM

Sumber air minum PDAM

Penampungan air Keluarga pasien tidak


memiliki penampungan air

Pembuangan sampah Sampah biasanya langsung


dibakar
3 Lingkungan kerja pasien Pasien belum bekerja

14
PENILAIAN APGAR KELUARGA

Hampir
Hampir Kadang
tidak
Kriteria Pernyataan Selalu Kadang
pernah
(2) (1)
(0)
Saya puas dengan keluarga
saya karena masing-masing

Adaptasi anggota keluarga sudah
menjalankan peran sesuai
dengan seharusnya
Saya puas dengan keluarga
saya karena dapat membantu
Kemitraan √
memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi
Saya puas dengan kebebasan
yang diberikan keluarga saya
Pertumbuhan √
untuk mengembangkan
kemampuan yang saya miliki
Saya puas dengan kehangatan

Kasih sayang dan kasih sayang yang
diberikan keluarga saya
Saya puas dengan waktu yang
Kebersamaan disediakan keluarga untuk √
menjalin kebersamaan
Jumlah 10
Keterangan :
Total skor 8-10 = Fungsi keluarga sehat
Total skor 6-7 = Fungsi keluarga kurang sehat
Total skor ≤ 5 = Fungsi keluarga sakit
Kesimpulan :
Nilai skor keluarga ini adalah 10, artinya keluarga ini menunjukan fungsi
keluarga sehat.

15
POLA HIDUP BERSIH DAN SEHAT KELUARGA
Jawaban
No Indikator Pertanyaan Keterangan
Ya Tdk

A. Perilaku Sehat

1 Tidak merokok
Tidak ada yang memiliki Ayah pasien merupakan
kebiasaan merokok? perokok aktif dengan sehari

dapat menghabiskan 1
bungkus rokok dan terkadang
merokok di dalam rumah saat
ada pasien.
2 Persalinan
Di mana ibu pasien melahirkan √ Pasien dilahirkan dibantu
anak-anaknya? bidan
3 Imunisasi
Apakah pasien dan saudaranya √ Tidak diketahui.
sudah diimunisasi lengkap?

4 Balita ditimbang
Apakah saat balita pasien sering √ Ibu pasien sering mengikuti
ditimbang? Di mana? posyandu lansia.

5 Sarapan pagi
Apakah seluruh anggota √ Pasien dan keluarga selalu
keluarga memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum
sarapan pagi? memulai aktivitas.
6 Dana sehat / Askes
Apakah pasien ikut menjadi √ Pasien merupakan peserta
peserta askes? BPJS.
7 Cuci tangan

16
Apakah anggota keluarga √ Pasien mencuci tangan hanya
mempunyai kebiasaan mencuci pada saat sebelum makan
tangan menggunakan sabun
sebelum makan dan sesudah
buang air besar?
8 Sikat gigi
Apakah anggota keluarga √ Pasien dan keluarga selalu
memiliki kebiasaan gosok gigi menggosok gigi
menggunakan pasta gigi? menggunakan pasta gigi 2
kali sehari yaitu setiap kali
mandi.
9 Aktivitas fisik / Olahraga
Apakah anggota keluarga √ Pekerjaan orang tua pasien
melakukan aktivitas fisik atau adalah supir dengan kegiatan
olah raga teratur? sering mengangkut barang
berat

B. Lingkungan Sehat

1 Jamban
Apakah di rumah tersedia √ Semua keluarga
jamban dan seluruh keluarga menggunakan jamban leher
menggunakannya? angsa tanpa memiliki sepric
tank
2 Air bersih dan bebas jentik
Apakah di rumah tersedia air √ Dipastikan air yang
bersih dengan tempat / tandon digunakan adalah bersih
air tidak ada jentik ? karena pasien menggunakan
PDAM
3 Bebas sampah
Apakah di rumah tersedia √ Tidak tersedia tempat sampah
tempat sampah? Apakah di di dalam maupun di luar
lingkungan sekitar rumah tidak rumah. Di luar rumah, di

17
ada sampah berserakan? beberapa tempat masih ada
sampah yang sengaja
dibiarkan untuk menjadi
pupuk kompos.
SPAL
Apakah ada/tersedia SPAL di √ Tidak tersedia SPAL di
sekitar rumah? sekitar rumah. Segala macam
limbah rumah tangga
langsung dibuang ke tanah.
5 Ventilasi √
Apakah ada pertukaran udara di Tidak terdapat ventilasi di
dalam rumah? rumah pasien
6 Kepadatan
Apakah ada kesesuaian luas √ Rumah cukup untuk 4 orang
rumah dengan jumlah anggota penghuni.
keluarga?
7 Lantai
Apakah lantai bukan dari tanah? √ Seluruh lantai rumah terbuat
dari ubin. Ruangan di luar
kamar dialasi karpet kain dan
karpet plastik.

C. Indikator Tambahan

1 ASI Eksklusif
Apakah ada bayi usia 0-6 bulan √ Pasien mendapat ASI
yang hanya mendapat ASI saja eksklusif selama 6 bulan
sejak lahir sampai 6 bulan?
2 Konsumsi buah dan sayur Pasien dan keluarga selalu
Apakah dalam 1 minggu √ mengonsumsi sayur setiap
terakhir anggota keluarga hari, jarang mengonsumsi
mengkonsumsi buah dan sayur? buah
Jumlah 11 7

18
Klasifikasi
SEHAT I : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 1-5 pertanyaan (Merah)
SEHAT II : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 6-10 pertanyaan
(Kuning)
SEHAT III : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 11-15 pertanyaan
(Hijau)
SEHAT IV : Dari 18 pertanyaan jawaban ”Ya” antara 16-18 pertanyaan (Biru)
Kesimpulan
Dari 18 indikator yang ada, yang dapat dijawab ”Ya” ada 8 pertanyaan yang
berarti identifikasi keluarga dilihat dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masuk
dalam klasifikasi SEHAT III.

Pemeriksaan Mini Mental State


Skor Skor
Pertanyaan
Maksimum Pasien
“Tahun berapa sekarang? Musim apa? Tanggal?
5 5
Hari apa? Bulan apa?”
“Sedang ada di manakah kita sekarang: negara?
5 5
Kota? Nama tempat? Ruang apa? Lantai berapa?”
Pemeriksa menyebutkan tiga buah benda yang tidak
berhubungan tiap satu benda disebutkan dalam
3 3
waktu 1 detik. Kemudian pasien diminta
menyebutkan ketiga benda tersebut.
5 5 Pasien disuruh mengeja kata DUNIA dari belakang.
Pasien diminta menyebutkan nama tiga benda yang
3 1
tadi pemeriksa sebutkan.
Minta pasien menyebutkan nama dua benda yang
2 2
ditunjukkan pemeriksa
1 1 “Coba ulangi frase ini: tidak jika, dan, akan tetapi.”
Pasien disuruh melipat kertas menjadi dua bagian
3 3
dan meletakkannya di lantai.

19
Pasien disuruh membaca kalimat perintah yang
1 1 tertulis dan mempraktekkannya, misalkan ‘pejamkan
mata Anda’.
Pasien diminta menulis kalimat yang memiliki
1 0
subjek dan kata kerja yang masuk akal.
Pasien diminta menggambar gambar seperti di
bawah.

1 0

30 26 TOTAL
Interpretasi Skor MMSE:
24 – 30 = no cognitive impairment
18 – 23 = mild cognitive impairment
0-17 = severe cognitive impairment
Skor MMSE pada pasien ini 26, berarti tidak ada gangguan kognitif.

ANALISIS ASPEK DALAM DIAGNOSIS HOLISTIK KELUARGA


No Aspek Rincian
1 Alasan kedatangan pasien Pasien mencari pengobatan untuk keluhan
keputihan pada vagina. Pasien berharap ia
terbebas dari penyakitnya sehingga dapat
menjalani aktivitas seperti biasa. Hal yang
dikhawatirkan pasien adalah apakah
penyakitnya dapat sembuh atau tidak setelah
selesai pengobatan nanti.
2 Diagnosis klinis,  Vulvavaginitis
biologikal, psikomental,  ICD 10 :
intelektual, nutrisi. N39.0 (Urinary Tract Syndrom)
3 Faktor internal Riwayat mencuci vagina dengan herbal
Jarang mengganti celana dalam

20
4 Faktor eksternal Kurang adekuatnya kebersihan diri
Kurangnya informasi tentang kebersihan
daerah intim pada anak

5 Fungsi sosial Skala 2: mampu melakukan pekerjaan ringan


sehari-hari di dalam dan luar rumah,

21
Mandala of Health

GAYA HIDUP
- Jarang konsumsi makanan gizi seimbang
- Sering bermain tanpa menggunakan alas kaki
- Kurangnya komposisi sayuran dan buah dalam
PERILAKU KESEHATAN
makanan sehari-hari LINGK. PSIKO-SOSIO-EKONOMI
- Kurangnya pengetahuan ibu pasien tentang - kurangnya PHBS
keputihan pada anak - Pasien sering ditinggal bermain ditempat
- Adanya budaya untuk menggunakan herbal dalam saudara pasien tanpa pengawasan ibu pasien
FAMILY PASIEN
mengurangi keluhan pasien
- Belum ada budaya untuk segera mencari
pertolongan ke faskes bila penyakit diyakini masih  Vulvovaginitis
bersifat ringan  ICD 10 :
- Kurangnya PHBS N77.1 (vaginitis, vulvitis,
vulvovaginitis) LINGKUNGAN KERJA
Z 59.6 (Low income)
Z 59.1 (Inadequate housing) -
PELAYANAN KES.

- Kurangnya edukasi tentang kesehatan kewanitaan


anak
- Askes fasilitas kesehatan yang lumayan jauh
daripada askes pelayanan sebelumnya
LINGKUNGAN FISIK

- Kurangnya sarana sanitasi dasar


FAKTOR BIOLOGI - Rumah non permanen
- Infeksi Mycobacterium tuberculosis
- Riwayat kontak dengan susp penderita TB
- Faktor alergi/hipersensitivitas terhadap antibiotik
Streptomisin Komunitas
22
SKORING KEMAMPUAN PENYELESAIAN MASALAH DALAM KELUARGA

Rencana
Skor Skor
Masalah Pembina Sasaran Upaya Penyelesaian Resume Akhir
Awal Akhir
an
Faktor Perilaku Kesehatan
Keluarga Edukasi Pasien dan 4 - Edukasi mengenai keluhan keputihan pada - Orang tua Pasien dapat 5
- Kurangnya Motivasi Keluarga anak dan kemungkinan penyebabnya memahami penyakitnya dan
pengetahuan ibu - Edukasi mengenai pemberian terapi awal pada termotivasi untuk fokus
pasien tentang saat anak mengalami keputihan terutama menjalani pengobatan
keputihan pada anak dengan keamanan herbal yang digunakan - Kekhawatiran orang tua
- Adanya budaya untuk
- Edukasi pentingnya segera ke pelayanan pasien terhadap hasil akhir
menggunakan herbal
dalam mengurangi kesehatan apabila mengalami sakit pengobatan mulai berkurang
keluhan pasien - Edukasi mengenai pentingnya upaya preventif - Pasien dan keluarga mulai
- Belum ada budaya dibandingkan pengobatan kuratif, terutama menggunakan sabun saat
untuk segera mencari PHBS cuci tangan dan menerapkan
pertolongan ke faskes setiap setelah BAB/BAK dan
bila penyakit diyakini
sebelum makan.
masih bersifat ringan
- Kurangnya PHBS

Faktor Gaya Hidup


Edukasi Pasien 4 - Edukasi orang tua pasien untuk pemberian - Orang tua pasien 5
- Jarang konsumsi makanan
Motivasi dan makanan gizi seimbang terutama karena memberikan makanan gizi
gizi seimbang

23
- Sering bermain tanpa Keluarga kondisi pasien masih dalam tahap seimbang dengan perbanyak
menggunakan alas kaki pertumbuhan sayur dan buah
- Kurangnya komposisi
- Edukasi terkait penggunaan alas kaki selama - Pasien menggunakan alas
sayuran dan buah dalam
makanan sehari-hari bermain atau beraktivitas di luar ruangan kaki selama beraktivitas di
- Kurangnya PHBS - Edukasi perilaku hidup bersih sehat seperti luar ruangan.
mencuci tangan dengan sabun, mengganti - Pasien dan keluarga mulai
pakaian dalam secara rutin menggunakan sabun saat
cuci tangan
Faktor Psiko-Sosio-Ekonomi
- Pendapatan tidak menentu Edukasi Pasien 5 - Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya - Pasien telah memiliki 5
dengan jumlah keluarga dan memiliki jaminan kesehatan dalam menjalani Jaminan Kesehatan Nasional
besar / beban keluarga Keluarga pengobatan jangka panjang seperti TB, serta BPJS Pemerintah sebagai
- Tidak mempunyai sistem pra jamkes anggota keluarga yang lain sebagai upaya menunjang kelancaran
upaya/jaminan kesehatan upaya preventif pengobatan
sebelum sakit - Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa - Pasien mampu membeli obat
obat TB diberikan gratis di Puskesmas, kecuali injeksi Kanamisin dengan
obat suntik/injeksi Kanamisin karena tidak dukungan ekonomi dari
tercover BPJS. Menjelaskan bahwa pengadaan keluarga
obat tersebut seyogyanya menjadi tanggung - Pasien termotivasi untuk
jawab seluruh anggota keluarga fokus menjalani pengobatan
- Edukasi motivasi pasien untuk tidak terlalu - Kekhawatiran pasien
memikirkan kemungkinan buruk dari terhadap hasil akhir
penyakitnya dan lebih baik fokus pada pengobatan mulai berkurang
24
pengobatan

Faktor Lingkungan Kerja


Pasien bekerja keras di kebun Edukasi Pasien 2 - Menjelaskan pada pasien bahwa kecukupan - Pasien mulai mengurangi 4
sepanjang hari dan kadang- dan waktu istirahat menjadi salah satu faktor aktivitas berkebun, sekarang
kadang berjualan di pasar. Keluarga dalam terpeliharanya kesehatan hanya menyortir hasil kebun
- Menjelaskan pada pasien bahwa di usia lanjut, di rumah
pekerjaan berat seyogyanya dikurangi atau - Pekerjaan di kebun sudah
dilimpahkan ke orang yang lebih muda, diambil alih sebagian oleh
misalkan anak pasien atau anggota keluarga orang lain
yang lain
Faktor Lingkungan Fisik
- Kurangnya sarana sanitasi Edukasi Pasien 2 - Edukasi pentingnya memiliki sarana kesehatan Pasien ingin tinggal di rumah 2
dasar dan yang memadai dan rumah permanen supaya yang lebih layak namun selain
- Rumah non permanen Keluarga kesehatan senantiasa terpelihara karena faktor ekonomi, pasien
tidak dapat mengubah
rumahnya menjadi rumah

25
permanen karena tanah tempat
rumah tersebut berdiri dan juga
kebun merupakan tanah milik
orang yang pasien sewa

Keterangan :
 Skor 1 = Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi
 Skor 2 = Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, hanya ada keinginan; penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya oleh
provider
 Skor 3 = Keluarga mau melakukan namun perlu pengendalian sumber yang belum dimanfaatkan; penyelesaian masalah dilakukan
sebagian oleh provider
 Skor 4 = Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya; masih tergantung pada upaya provider
 Skor 5 = Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Lost to Follow Up


Pasien sebelumnya pernah menelan OAT selama lebih dari 1 bulan (≥ dari 28 dosis)
sehingga digolongkan sebagai pasien yang pernah diobati TB. Sesuai dengan definisi
dari Kementerian Kesehatan RI (2017), pasien termasuk pasien TB lost to follow up,
yang dalam klasifikasi sebelumnya dikenal sebagai pasien setelah putus berobat/drop
out/default. Drop out atau putus berobat atau default adalah penderita TB paru yang tidak
mengambil OAT selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai (Kemenkes, 2011).
Terjadinya DO pada pasien TB dipengaruhi 3 macam faktor, yaitu faktor
predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi meliputi
pengetahuan, sikap, nilai, dan persepsi. Untuk faktor pemungkin meliputi keterampilan
dan sumber daya yang diperlukan untuk menunjang perilaku kesehatan. Sedangkan
faktor penguat meliputi dukungan dari pemimpin, tokoh masyarakat, petugas kesehatan,
kader, keluarga dan orang tua (Rahmansyah, 2012).
Salah satu faktor predisposisi yang diteliti adalah usia produktif (Rahmansyah,
2012). Meskipun sudah memasuki usia lanjut, pasien masih bekerja di kebun sepanjang
hari, menunjukkan tingginya produktivitas dan mobilitas. Dari hasil penelitian Muis
(2001) mengenai kepatuhan berobat penderita TB paru, dikatakan bahwa umur produktif
lebih tidak patuh berobat dibandingkan dengan penderita TB paru usia tidak produktif,
hal ini disebabkan usia produktif ini mempunyai tingkat mobilisasi yang tinggi, lebih
mementingkan atau mengutamakan aktivitasnya daripada penyakit yang dideritanya.
Faktor predisposisi berikutnya adalah jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian
Sophia Vijay (2003), laki-laki lebih berisiko untuk mengalami putus berobat
dibandingkan wanita. Hal ini dapat terjadi karena laki-laki merupakan kepala keluarga
atau merupakan tulang punggung keluarga sehingga harus bekerja mencari nafkah.
Diketahui bahwa pasien merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki anak yang
belum bekerja sehingga secara tidak langsung masih menjadi tanggungan pasien.
Dalam kesehariannya, pasien memiliki pekerjaan yakni berkebun di sekitar rumah,
mensortir hasil kebun, dan menjualnya di pasar. Hal ini juga merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya DO pada penderita TB. Terjadinya DO pada penderita TB lebih
27
banyak pada penderita yang bekerja yaitu 17% lebih banyak dibandingkan dengan yang
tidak bekerja. Dengan mempunyai pekerjaan, kemungkinan untuk memperhatikan
lingkungannya cenderung menurun. Selain itu, dengan kondisi pekerjaan yang menyita
banyak waktu ditambah dengan pendapatan yang relatif rendah, masyarakat akan
cenderung untuk lebih memikirkan hal-hal pokok seperti pangan, sandang, dan papan
(Santha, 2009).
Selain itu, terdapat pula faktor pemungkin. Salah satu faktor pemungkin adalah tipe
penderita. Tipe penderita yang tidak teratur menelan obat lebih banyak pada penderita
tipe baru dibandingkan dengan tipe kambuh (Kartika, 2009). Hal ini sesuai dengan
keadaan pasien sebelum lost to follow up di mana pasien termasuk pasien TB kasus baru.
Pasien juga mengatakan bahwa saat pulang ke Sulawesi Tenggara, pasien tidak
segera mendatangi Puskesmas terdekat untuk meneruskan pengobatan OAT karena
jaraknya yang jauh dari rumah (+- 2 km) yang biasanya ditempuh dengan berjalan kaki.
Pasien mengaku Puskesmas bisa saja ditempuh dengan kendaraan umum, namun pasien
lebih memilih menghemat uang transportasi untuk kebutuhan sehari-hari. Ubaidilah
(2001) dalam penelitiannya mengenai ketidakteraturan berobat penderita TB paru
dikemukakan bahwa jarak jauh dari tempat pelayanan kesehatan menyebabkan
ketidakteraturan penderita untuk berobat, karena penderita TB paru tersebut memerlukan
waktu yang lama untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan dan juga memerlukan
biaya yang besar untuk transportasi.
Selain karena alasan jarak, pasien juga mengaku belum memiliki jaminan kesehatan
sebelum putus obat. Hal tersebut memicu persepsi pasien untuk tidak mendatangi
fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien juga mengaku tidak memprioritaskan pencapaian
kesembuhannya karena pemasukan ekonomi diutamakan untuk pangan dan pembiayaan
keluarga. Ketersediaan biaya merupakan salah satu faktor pemungkin dalam kejadian
putus obat pada penderita TB. Dari hasil penelitian Mediana (2001), responden yang
berpersepsi biaya mahal berisiko sebesar 8,9 kali untuk menjadi DO bila dibandingkan
dengan responden yang berpersepsi biaya murah.
Pasien juga mengatakan bahwa pasien belum memiliki pemahaman yang benar
mengenai penyakit TB sehingga cenderung untuk membeli obat warung ketika
merasakan adanya gejala batuk. Pasien juga mencoba mengobati keluhan batuknya
dengan berbagai obat-obatan tradisional dari tumbuhan yang tersedia di kebunnya di
Sulawesi Tenggara, seperti jahe dan jeruk nipis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
28
dilakukan oleh Media (2011), yang menyimpulkan bahwa sebagian masyarakat masih
mempunyai kebiasaan mencari upaya pengobatan dengan membeli obat di toko
obat/warung dengan berbagai alasan dan enggan mencari pengobatan ke fasilitas
kesehatan.
Selain itu, pasien juga mengatakan bahwa belum ada tenaga kesehatan dari
Puskesmas atau dari tempat lain yang menghubungi dirinya maupun keluarganya saat
pasien berhenti mengambil obat. Sebelum memulai pengobatan kategori 1, pasien juga
merasa belum diberikan informasi yang lengkap mengenai tuberkulosis dari tenaga
kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian Hermayanti (2012) yang menyatakan bahwa
penjelasan dari petugas mengenai penyakit TB dilakukan 100% kepada responden.
Namun saat mereka putus berobat dan tidak mengambil obat di puskesmas lagi, hanya
50% yang didatangi oleh petugas. Dalam hal ini perlu meningkatkan efektivitas kinerja
tenaga kesehatan dan adanya kunjungan rumah pada penderita yang drop out. Dokumen
identitas penderita perlu dilengkapi sejelas-jelasnya sesuai Kartu Tanda Penduduk
(KTP), sehingga bila diperlukan kunjungan rumah tidak ada kendala karena alamat yang
tidak lengkap.
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Lost to follow-up)
mencakup pelacakan pasien, diskusi dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus
berobat, memeriksa dahak SPS dan atau tes cepat, menghentikan pengobatan sementara
menunggu hasilnya (Kemenkes RI, 2017).
Pesan mengenai larangan putus berobat sudah seharusnya berikan pada pasien
sebelum memulai pengobatan. Dalam Kemenkes RI (2017), sebelum memberikan obat
kepada pasien, perlu disampaikan bahwa pengobatan tidak boleh terputus. Putus berobat
akan menyebabkan kuman yang masih tersisa dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat
yang saat ini tersedia di Indonesia dan pengobatan tersebut mahal harganya. Obat yang
saat ini diberikan sangat berkualitas dan disediakan oleh pemerintah. Penting untuk
disampaikan pula bahwa apabila pasien bepergian atau pindah, harus menginformasikan
kepada petugas kesehatan atau PMO, sehingga kelangsungan pengobatan dapat diatur
lagi.
Beberapa hal juga perlu dikomunikasikan dengan keluarga pasien terkait
penanggulangan ketidakpatuhan pengobatan. Sebaiknya ditanyakan kesungguhan pasien
dalam menjalankan pengobatan TB. Meyakinkan keluarga tentang pentingnya
pengobatan sampai selesai. Jika seorang pasien tidak datang untuk mengambil obat atau
29
tampak tidak bersemangat, pertugas kesehatan dapat mencari tahu lewat anggota
keluarga apa yang menjadi masalah dan turut mencari solusi sesuai kebutuhan dan
kemampuan. Pengobatan pasien TB memakan waktu yang lama, oleh sebab itu
diperlukan suatu upaya serta tekad yang kuat dari pasien dengan dukungan lingkungan
sekitarnya agar dapat menjalani pengobatan sampai sembuh. (Kemenkes RI, 2017).

30
4.2 Nilai Diagnostik Pemeriksaan Sputum BTA
Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia (Kemenkes RI, 2017)
Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM

Tidak memiliki akses untuk TCMTB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB


(Sewaktu dan Pagi)

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg


(- -) (+ +) Sensitive Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
TB Terkonfirmasi TB Terkonfirmasi TB RR Foto Toraks
Bakteriologis Bakteriologis
Foto Terapi
Toraks Antibiotika
Non OAT

Mulai Pemeriksaan Gambaran Tidak


Pengobatan Pengobatan Biakan dan Uji mendukung Mendukung
TB TB
Gambaran Tidak TB Lini 1 TB RO Kepekaan OAT
Mendukung Mendukung Lini 1 dan Lini 2
TB TB

Ada Tidak Ada Perbaikan TB RR TB MDR TB Pre XDR TB XDR


Perbaikan Klinis, ada factor
Klinis risiko TB, dan atas
pertimbangan
dokter Lanjutkan Pengobatan TB RO TB Klinis
Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru
TB Klinis Bukan TB
TB Klinis
Pengobatan
TB Lini 1
Cari kemungkinan
Pengobatan
penyebab penyakit lain
TB Lini 1

Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus dilakukan di tempat


terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari risiko menulari pihak lain. Jika
keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang mempunyai ventilasi
yang baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan setelah pengumpulan/ pengambilan
dahak, terduga dan petugas segera mencuci tangan dengan sabun dan air (Kemenkes RI,
2017).
Pengumpulan dahak dilakukan dengan urutan sebagai berikut (Kemenkes RI, 2017):
31
 Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan dahak (sesuai
TB.06);
 Berikan pot dahak pada terduga;
 Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan memperhatikan
arah angin);
 Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan membatukkan
dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan erat;
 Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;
 Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan air.
Dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan, bermulut lebar,
berpenampang 5 - 6 cm, tutup berulir, tidak mudah pecah dan bocor. Pot ini harus selalu
tersedia di Fasilitas Kesehatan. Diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan 2
spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP)/Sewaktu Sewaktu (SS). Idealnya spesimen dahak
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan, namun apabila tidak
memungkinkan maka dapat dikumpulkan 2 spesimen dahak pada hari yang sama
(Kemenkes RI, 2017).
Catatan:
1) Faskes yang belum memiliki sarana pemeriksaan dahak SPS agar tidak menunda
penegakan diagnosis sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Misalnya bagi
terduga / pasien TB yang mendapatkan pelayanan di DPS / RS / Klinik swasta.
2) Hasil pemeriksaan dahak sebaiknya sudah diperoleh dalam waktu kurang dari 7
hari agar penegakan diagnosis TB tidak tertunda.
3) Kasus TB Ekstra paru atau seorang kontak erat pasien TB Paru BTA positip yang
mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa menghiraukan lamanya
waktu mempunyai gejala batuk tersebut.
Pelaksanaan Pengumpulan Contoh Uji Dahak SP (Kemenkes RI, 2017):
– S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, terduga dibekali sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak hari kedua.
– P (Pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, setelah bangun tidur
dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
Fasilitas Kesehatan.
Pelaksanaan Pengumpulan Contoh Uji Dahak SS (Kemenkes RI, 2017):
32
 S (sewaktu) pertama: dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang
berkunjung pertama kali atau pada pagi hari.
 S (sewaktu) kedua: dahak dikumpulkan selang 1 (satu) jam setelah pengumpulan
dahak sewaktu pertama, lalu diserahkan kepada petugas di Fasilitas Kesehatan
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit pasien, hasil pemeriksaan sputum BTA
yang dilakukan satu setengah tahun jaraknya dari diagnosis TB yang pertama adalah
negatif. Pemeriksaan sputum BTA ini dilakukan di Puskesmas sebagai fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Enam bulan setelah pemeriksaan sputum BTA
tersebut, pasien dilakukan pemeriksaan sputum kembali di Rumah Sakit dan didapatkan
hasil positif.
Pemeriksaan mikroskopis sputum BTA yang positif memiliki nilai diagnostik yang
tinggi sebagai penunjang diagnosis pasien klinis tuberkulosis paru, akan tetapi hasil
pemeriksaan mikroskopis sputum BTA yang negatif belum bisa menyingkirkan
diagnosis TB paru (Inayati, 2011).
Berdasarkan penelitian Inayati (2011), nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan
mikroskopis BTA berturut-turut 42,8% dan 95,3%. Nilai sensitivitas pemeriksaan
mikroskopis BTA pada penelitian ini relatif rendah karena untuk mendapatkan nilai
pemeriksaan mikroskopis BTA positif dibutuhkan adanya bakteri sebanyak 5000 –
10.000 bakteri/ ml sputum.
Nilai spesifisitas pemeriksaan mikroskopis BTA tinggi, hal ini menunjukkan bahwa
dengan tidak ditemukannya bakteri tahan asam pada sputum yang diperiksa
kemungkinan besar menunjukkan tidak ditemukannya Bakteri Tahan Asam. Nilai
spesifisitas yang tinggi pada pemeriksaan mikroskopis BTA menjadi alasan bahwa
pemeriksaan mikroskopis BTA masih merupakan metode yang paling baik untuk
membantu penegakan diagnosis tuberkulosis secara laboratorium (Inayati, 2011).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Ramadhan (2017) membandingkan hasil
antara pemeriksaan mikroskopis BTA dan PCR dan disimpulkan bahwa ditemukan
perbedaan hasil antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan penderita yang baru
menjalani pengobatan 2 bulan 1 minggu masih positif secara pemeriksaan mikroskopis
sedangkan penderita yang sudah menjalani pengobatan diatas 2 bulan 1 minggu hasilnya
sudah negatif. Akan tetapi pemeriksaan secara PCR menunjukkan hasil yang berbeda
yaitu penderita yang baru menjalani pengobatan ≥2 bulan hasilnya masih positif dan

33
masih ada juga penderita TB yang hampir selesai menjalani pengobatan juga masih
ditemukan positif TB paru.
Pemeriksaan dengan teknik PCR, meskipun mempunyai sensitifitas yang tinggi
(90%) dibandingkan pemeriksaan mikroskopis BTA (77,2%), namun teknik ini
spesifisitasnya rendah (79%) dibanding pemeriksaan mikroskopis BTA (95%) (Utami,
2002).
Sebagai alat diagnostik TB paru, pemeriksaan dengan PCR dianggap valid karena
mampu membedakan penderita TB paru dan bukan penderita TB paru. Diagnosis PCR
sangat dibutuhkan pada kondisi khusus dimana hasil pemeriksaan BTA mikroskopis
negatif akan tetapi gejala klinis menunjukkan TB paru (Utami, 2002).

4.3 Pemeriksaan GeneXpert


Terduga TB Resisten Obat (TB-RO) adalah pasien yang memiliki risiko tinggi
resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat
satu atau lebih di bawah ini (Kemenkes RI, 2017):
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.
4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan.
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2.
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO, termasuk
dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama,
barak, buruh pabrik.
Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M.
tuberculosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tes cepat
(rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes cepat yang dapat
digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk Rifampisin) dan LPA /
Line Probe Assay (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoniazid). Sedangkan metode
konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen dan MGIT. WHO mendukung
Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011
34
untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun 2014 menyatakan
pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR.
Metode ini tersedia di beberapa laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia (Kemenkes
RI, 2014).
Pasien merupakan pasien TB yang kembali setelah lost to follow up sehingga masuk
dalam kriteria terduga TB-RO. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan Gen eXpert yang
memberikan hasil sensitif Rifampisin sehingga kemungkinan diagnosis TB-RO dapat
disingkirkan. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang ada.

4.4 Reaksi Alergi terhadap OAT


Pasien merupakan pasien TB paru BTA positif dengan riwayat lost to follow up
sehingga diberikan OAT kategori 2. Sesuai pedoman dari Kementerian Kesehatan RI
(2017), paduan OAT kategori 2 adalah 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E. Obat oral yang diberikan dalam bentuk KDT terdiri dari
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) ditambah dengan
Streptomisin (S) dalam bentuk injeksi.
Sebelum mendapatkan suntikan Streptomisin, dilakukan skin-test terlebih dahulu
pada pasien yang ternyata memberikan hasil positif sehingga Streptomisin diganti
dengan Kanamisin. Meskipun insidensinya kecil, reaksi alergi terhadap OAT patut
diwaspadai, salah satunya dengan melakukan skin test terlebih dahulu. Dalam Yee
(2003) melaporkan reaksi hipersensitivitas terhadap OAT sebesar 1-5% pada pasien.
Streptomisin menyebabkan reaksi alergi pada > 2% pengobatan (De Padua, 2007).
Streptomisin merupakan salah satu jenis antibiotik golongan aminoglikosida.
Aminoglikosida terbagi menjadi dua kelompok: (A) streptidine, seperti streptomisin; (B)
desoxystreptamine, seperti kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, neomisin. Efek
samping paling sering dan penting dari aminoglikosida adalah nefrotoksisitas dan
ototoksisitas. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi (Gilbert, 2010).
Reaksi anafilaksis yang disebabkan oleh streptomisin juga sangat jarang terjadi (De
Padua, 2005).
Berdasarkan studi klinis, jenis kelamin perempuan, usia lanjut, ras Asia, dan infeksi
HIV telah dihubungkan dengan peningkatan insidensi reaksi alergi terhadap obat anti
tuberkulosis lini pertama (Yee, 2003). Faktor risiko insidensi reaksi alergi pada pasien ini
adalah usia lanjut dan ras Asia.
35
Dalam patogenesisnya, tidak terdapat bukti definitif bahwa reaksi alergi terhadap
aminoglikosida merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai IgE (De
Padua, 2005). Pada pasien anemia hemolitik, ditemukan antibodi IgG anti streptomisin
yang ditunjukkan melalui Coombs test (Sanchez-Borges, 2013).
Pada pasien ini, Puskesmas telah melaporkan adanya reaksi alergi terhadap
Streptomisin ke Rumah Sakit. Kejadian alergi terhadap Streptomisin ini membuat
Streptomisin diganti dengan Kanamisin. Kanamisin merupakan salah satu alternatif OAT
injeksi lini 2 selain Kapreomisin dan Amikasin (Kemenkes RI, 2017). Dipilihnya
Kanamisin untuk menggantikan Streptomisin telah sesuai dengan paduan obat dari
Persatuan Dokter Paru Indonesia/PDPI dalam Pedoman Penatalaksanaan TB (2006).
Penelitian melaporkan adanya perbedaan insidensi alergi terhadap beberapa
antibiotik golongan aminoglikosida. Neomisin dan Streptomisin menyebabkan reaksi
alergi pada > 2% pengobatan, Gentamisin dan Amikasin pada 0,1 sampai 2% serta
Kanamisin pada 0,1 sampai 0,5% pengobatan (De Padua, 2007). Risiko alergi terhadap
Kanamisin yang lebih kecil daripada antibiotik golongan aminoglikosida yang lain juga
dapat menjadi salah satu dasar dipilihnya Kanamisin dalam kasus alergi Streptomisin.
Selain itu, Streptomisin juga tidak menunjukkan reaksi silang dengan aminoglikosida
golongan deoxystreptamine (Lippo, 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien
dengan alergi Streptomisin, kecil kemungkinannya untuk mendapatkan reaksi alergi yang
sama dari obat-obat golongan aminoglikosida deoxystreptamine, seperti Kanamisin.
Selain Streptomisin, empat jenis OAT lini pertama lainnya juga mempunyai risiko
menimbulkan reaksi alergi atau hipersensitivitas. Reaksi alergi akibat isoniazid terjadi
pada 0,98% pasien (Tan, 2007). Isoniazid menghambat enzim diamin oksidase dan
monoamin oksidase, sehingga reaksi alergi dapat terjadi jika makanan yang mengandung
histamin atau tiramin dikonsumsi (Miki, 2005). Infeksi HIV telah dikenal sebagai faktor
risiko terjadinya hipersensitivitas terhadap isoniazid. Selain Isoniazid, Rifampisin juga
dapat memberikan reaksi alergi namun insidensinya beragam menurut berbagai studi
(Sanchez-Borges, 2013).
Meskipun secara umum etambutol ditoleransi dengan baik, efek samping seperti
reaksi alergi akibat obat ini dapat terjadi (Sanchez-Borges, 2013). Efek samping
etambutol termasuk yang paling minimal dibanding OAT lainnya. Reaksi alergi yang
serius akibat etambutol hanya pernah dilaporkan sebagai case series, menunjukkan
insidensinya yang rendah (Yee, 2003).
36
Tidak seperti OAT lini pertama lainnya yang memiliki insidensi alergi yang rendah,
Pirazinamid termasuk OAT yang memiliki risiko insidensi alergi cukup tinggi. Dari 430
pasien, insidensi reaksi kutaneus pirazinamid adalah sekitar 1,48 per 100 orang, yang
merupakan risiko paling tinggi daripada OAT lainnya. Faktor risiko yang tercatat adalah
usia pasien lebih dari 60 tahun dan ras Asia (Yee, 2003).
Injeksi Kanamisin pada pasien ini tidak tercover oleh BPJS sehingga ditawarkan
pada pasien bilamana pasien mau membeli obat tersebut dengan biaya sendiri untuk
mendukung upaya terapi. Pasien mendapatkan dukungan dari keluarga dan memutuskan
untuk membeli sendiri Kanamisin vial yang kemudian diserahkan ke Puskesmas di mana
pasien akan mendapatkan injeksi Kanamisin setiap hari selama 56 dosis / 56 kali datang.
Harga 1 vial injeksi Kanamisin 1 gr adalah Rp 8.000 sehingga pasien akan mengeluarkan
biaya sebesar Rp 448.000 untuk pengobatan TB kategori 2 yang dijalaninya sekarang.
Berdasarkan pengakuan pasien, hal tersebut tidak menjadi suatu masalah karena pasien
sudah mendapat dukungan dari keluarga, termasuk dukungan ekonomi.
Cara dan dosis penyuntikan Kanamisin sama dengan Streptomisin, yakni (Depkes
RI):
 Ambil satu vial Streptomisin, 1 ampul Aqua pro Injeksi (API) dan syringe 5 ml
dari kotak injeksi paket OAT milik pasien. Pastikan serbuk injeksi dalam vial
masih dalam keadaan baik (lembab/basah, tidak berubah warna dan tidak
menggumpal/mengeras).
 Ambil 3,2 ml Aqua pro Injeksi (API) dengan menggunakan syringe 5 ml,
suntikan ke dalam vial injeksi Streptomisin 1 gram.
 Kocok sampai semua serbuk Streptomisin melarut sempurna yaitu ditandai
dengan sudah tidak terdapat endapan dan larutan menjadi jernih. Volume larutan
untuk injeksi ini menjadi 4 ml. Larutan ini mengandung Streptomisin 250 mg/ml.
 Ambil larutan Streptomisin dengan menggunakan syringe 5 ml sesuai dosis yang
diperlukan sesuai dengan berat badan seperti yang terdapat pada Pedoman
Pengobatan TB. Suntikkan ke pasien sesuai dosis berdasarkan berat badan pasien.
Tabel 1. Jumlah Volume / Dosis Streptomisin Berdasarkan Berat Badan (Depkes RI)

Berat Badan 30 – 37 kg 38-54 kg 55 – 70 kg >70 kg

Volume 2 ml (500 mg) 3 ml (750 mg) 4 ml (1000 mg) 4 ml (1000 mg)


Streptomisin

37
disuntikkan

Untuk pasien kurang dari 30 kg harap menghubungi dokter

4.5 Mandala of Health


4.5.1 Riwayat Kontak dengan Penderita TB
Berdasarkan pengakuan pasien, terdapat riwayat kontak dengan saudara jauh /
keluarga jauh yang juga bekerja di kebunnya pada tahun 2011 lalu, beberapa bulan
sebelum pasien didiagnosis tuberkulosis pertama kalinya. Orang tersebut diketahui
memiliki riwayat batuk lama serta mengkonsumsi obat Rifampisin sehingga
dicurigai sebagai penderita tuberkulosis. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari
Kemenkes RI (2017) bahwa tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi
yang memiliki beberapa faktor risiko seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal
di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang
bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
Berdasarkan penelitian Apriani (2011), terdapat hubungan yang bermakna
antara sumber penular dengan kejadian TB paru. Adanya kontak dengan sumber
penular berisiko 2,263 kali lebih besar untuk menderita TB paru daripada yang tidak
ada sumber penular. Sumber penular yang paling berbahaya adalah penderita TB
dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas, kasus seperti ini
sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin, dan
percakapan. Sumber penularannya adalah penderita TB paru BTA (+). Pada waktu
batuk dan bersin penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet yang
mengandung kuman dan bertahan pada suhu kamar dalam beberapa jam. Orang
dapat terinfeksi jika droplet terhirup saluran pernapasan.

4.5.2 Merokok
Berdasarkan anamnesis, pasien diketahui memiliki riwayat merokok sejak
muda yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya tuberkulosis. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Aditama (2005) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna
antara prevalensi reaktifitas tes tuberculin dan kebiasaan merokok, mereka yang
merokok 3 sampai 4 kali lebih positif tesnya, artinya 3 sampai 4 kali lebih sering
terinfeksi TB Paru daripada yang tidak merokok.
38
Tingginya risiko terjadinya TB Paru pada yang merokok, karena kebiasaan
merokok akan merusak pertahanan paru yang disebut “Muccocilliary Clearance”
dimana bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang infeksi yang
sudah masuk karena bulu getar dan alat tahanan jalan nafas dan menyebabkan
mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang
merupakan sel yang dapat memakan bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui
dapat menurunkan respon terhadap antigen sehingga jika ada benda asing ke paru
tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan
sintesa elastase dan menurunkan produksi anti protease sehingga merugikan tubuh
manusia (Gilbert, 2010).

4.5.3 Usia Lanjut


Telah diketahui bahwa pasien berusia 67 tahun, sehingga termasuk usia lanjut
(usila) yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sakit tuberkulosis. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari Kemenkes RI (2017) yang menyatakan bahwa apabila
daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab apapun, misalnya usia
lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV, penyandang diabetes mellitus, gizi buruk,
keadaan immunosupresif, bilamana terinfeksi dengan M.tb, lebih mudah jatuh sakit.

4.5.4 Stres Fisik / Kelelahan


Meskipun telah melampaui usia produktif dan berada pada usia lanjut, pasien
masih bekerja keras di kebun dan kadang-kadang berjualan di pasar. Hal tersebut
merupakan stres fisik yang tentu saja dapat mengakibatkan kelelahan kerja. Faktor
stres fisik juga dapat mendukung terjadinya tuberkulosis dengan cara menurunkan
daya tahan tubuh. Berdasarkan penelitian Hardini (2011), berkecamuknya penyakit
tuberkulosis disebabkan oleh adanya sumber penularan dan adanya orang yang
rentan dalam masyarakat. Kerentanan akan tuberkulosis ini terjadi karena daya tahan
tubuh yang rendah yang disebabkan oleh : gizi yang buruk, terlalu lelah, kedinginan
dan cara hidup yang tidak teratur.

4.5.5 Status Gizi


Berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh, pasien termasuk underweight.
Hal ini dapat merupakan efek dari proses penyakit tuberkulosis maupun faktor risiko
39
terjadinya tuberkulosis. Hal ini sejalan dengan penelitian Hardiani (2011) yang
menyatakan bahwa status gizi merupakan salah satu determinan kejadian
tuberkulosis pada orang dewasa. Berkecamuknya penyakit tuberkulosis disebabkan
oleh adanya sumber penularan dan adanya orang yang rentan dalam masyarakat.
Kerentanan akan tuberkulosis ini terjadi karena daya tahan tubuh yang rendah yang
disebabkan oleh : gizi yang buruk, terlalu lelah, kedinginan dan cara hidup yang
tidak teratur. Dengan kata lain, gizi yang buruk akan menyebabkan penurunan daya
tahan tubuh seseorang yang menjadi rentan terhadap penularan penyakit
tuberkulosis. Dari segi status gizi yang rendah perlu ditingkatkan baik pada
penderita maupun keluarga dengan makan makanan yang bergizi (tinggi karbohidrat
dan tinggi protein).
Kondisi berat badan pasien sekarang yaitu 41 kg dan Index Masa Tubuh (IMT)
didapatkan underweight yaitu 17,06. Berdasarkan penghitungan kebutuhan energi
harian pasien dengan rumus Basal Metabolic Rate (BMR) x level aktivitas
didapatkan kebutuhan energi sebesar 1633 kkal. Macam diet untuk terapi TB paru
terbagi menjadi dua yaitu :
- Diet Tinggi Energi Tinggi Protein 1 (TETP 1). Energi : 2600 kkal, protein 100 gr.
- Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II). Energi : 3000 kkal, protein 125
gr.
Penderita TB paru dapat diberikan salah satu dari dua macam diet TETP sesuai
tingkat penyakit penderita. Pada Tn. LE disarankan mengikuti diet TETP II (Energi :
3000 kkal dan protein: 125 gr) dikarenakan IMT pasien yang termasuk underweight.
Jadi didapatkan perhitungan karbohidrat (60%) sebesar 1.800 kkal yang dapat
diperoleh dari nasi tim, kentang rebus, atau oat. Lemak (25%) sebesar 750 kkal yang
dapat diperoleh dari kedelai, dan kacang-kacangan. Protein (15%) sebesar 450 kkal
yang dapat diperoleh dari ayam, ikan, tempe, dan tahu rebus.

4.5.6 Lingkungan Rumah yang Tidak Adekuat


Pasien tinggal di rumah non permanen yang memiliki sarana sanitasi dasar
yang belum optimal, seperti jamban yang masih menggunakan jamban cemplung,
sumber air dari sumur tanah, tidak adanya SPAL, serta kebiasaan membuang
sampah dengan cara ditimbun di sekitar rumah, serta penerangan yang tidak

40
memakai PLN. Hal ini membuat tidak adekuatnya lingkungan rumah yang dapat
menjadi faktor risiko terjadinya tuberkulosis.
Berdasarkan penelitian Girsang, Kristina, dan Rafrizal (2011), limgkungan
rumah tempat tinggal ada pengaruhnya terhadap kejadian tuberkulosis. Angka
kejadian TB tertinggi sebesar 33% ditemukan pada lingkungan rumah yang
mempunyai dinding yang tidak permanen atau bukan terbuat dari bambu atau kayu.
Ditemukan sebesar 23% data kejadian TB pada lingkungan rumah berlantai tanah,
lingkungan rumah yang tidak mempunyai tempat penampungan sampah, rumah
yang memelihara unggas, air minum yang tidak baik serta menggunakan insektisida
sebagai penghalau nyamuk.
Menurut Kemenkes RI No.829/MenKes/SK/VII/1999 pencahayaan yang
memenuhi syarat dengan intensitas minimal ≥ 60 lux. Pencahayaan berasal dari
cahaya alami (cahaya matahari) dipengaruhi letak dan lebar jendela, untuk
mendapatkan pencahayaan secara maksimal jendela paling sedikit luasnya 20% dari
luas lantai ruangan (Reviono, 2015). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kondisi fisik rumah (pencahayaan) kamar pasien yang menderita TB paru
memenuhi syarat yaitu luasnya 20% dari lantai ruangan yang meliputi jendela dan
pintu yang terbuka, meskipun hanya dari cahaya matahari.
Ventilasi rumah sangat berperan dalam penularan penyakit TB paru di dalam
keluarga. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum
luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang
yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu/jendela, lubang anyaman bambu
dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas lantai. Hasil penelitian menemukan
bahwa kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi yang kurang dari
10% luas lantai berisiko 4,907 kali untuk terjadi TB paru dibandingkan dengan
kelompok yang mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10% luas lantai.
Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara
dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang lain
seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar dengan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu dalam konsentrasi tinggi
sehingga memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain. Ventilasi rumah
yang tidak cukup menyebabkan aliran udara tidak terjaga sehingga kelembaban
udara di dalam ruangan naik dan kondisi ini menjadi media yang baik bagi
41
perkembangan patogen (Simbolon, 2007). Di dalam rumah pasien terdapat 3 buah
jendela (2 jendela di luar kamar, 1 jendela di dalam kamar) serta 2 buah pintu yang
sering dibiarkan terbuka. Luas rumah adalah 24 m2. Luas ketiga jendela adalah 1,05
m2. Luas ketiga jendela ditambah kedua pintu adalah 5,05 m2. Setelah dikalkulasi,
didapatkan luas lubang ventilasi tetap (luas jendela per luas rumah) adalah 4,375%.
Sementara luas ventilasi keseluruhan (luas jendela dan luas pintu per luas rumah)
adalah 21,04%. Dapat disimpulkan bahwa lubang ventilasi tetap pada rumah pasien
belum mencapai nilai minimum namun ventilasi keseluruhan sudah melebihi 10%
sehingga tidak berisiko terhadap terjadinya tuberkulosis.
Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah diharapkan dapat membunuh
kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk, sehingga jumlah kuman
dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga berkurang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang yang mempunyai rumah dengan cahaya matahari tidak
masuk ke rumah berisiko 5,008 kali dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di
rumah yang masuk cahaya matahari (Simbolon, 2007). Kamar tidur sebaiknya
diletakkan di sebelah timur untuk memberi kesempatan masuknya sinar ultraviolet
yang ada dalam sinar matahari pagi. Menurut Robert Koch, semua jenis cahaya
dapat mematikan kuman, hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya proses
mematikan kuman (Soesanto, 2000).
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Menurut
Kementerian kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 luas ruang tidur minimal 8
m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur lima tahun. Kepadatan penghuni kamar tidur yang tidak
memenuhi syarat (<4 m2/orang tidak termasuk balita) akan menghalangi proses
pertukaran udara bersih sehingga kebutuhanudara bersih tidak terpenuhi dan dapat
menjadi penyebab terjadinya TB paru. Semakin banyak jumlah penghuni ruangan
semakin cepat udara didalam ruangan mengalami pencemaran dan jumlah bakteri di
udara akan bertambah.Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa
kepadatan hunian kamar pasien memenuhi syarat dengan luas 9 m2 yang dihuni oleh
dua orang. Kepadatan hunian ruang tidur merupakan perbandingan antara luas ruang
tidur dengan jumlah individu semua umur yang menempati ruang tidur tersebut.
42
Semakin banyaknya penghuni, maka kadar oksigen bebas dalam ruangan menurun
(<20,7%) dan diikuti oleh peningkatan CO2 bebas (>0,04%) sehingga daya tahan
tubuh penghuninya menurun, ruangan yang sempitakan membuat nafas sesak dan
mudah tertular penyakit dari anggota keluarga lain (Keman, 2005).

4.5.7 Komunikasi, Informasi, Edukasi


Kurangnya PHBS pada pasien dan keluarga juga dapat mempermudah
terjadinya masalah kesehatan, terutama penyakit-penyakit infeksi. Diketahui bahwa
cuci tangan belum dilakukan secara optimal, tidak menggunakan sabun. Oleh
karenanya, cara cuci tangan yang benar dan waktu cuci tangan yang tepat dapat
menjadi topik edukasi untuk pasien dan keluarga. Selain itu, ada beberapa anjuran
PHBS menurut Kemenkes RI (2017) terkait penyakit TB, yakni menjemur alat tidur,
membuka jendela dan pintu agar udara dan sinar matahari masuk (Aliran
udara/ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara.
Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman), makan makanan bergizi, tidak
merokok dan tidak minum minuman ber-alkohol, serta olahraga secara teratur bila
memungkinkan.
Hal-hal lain yang perlu disampaikan dalam komunikasi motivasi (KM) pada
pasien TB adalah (Kemenkes RI, 2017):
 Penyakit TB
Ulangi pesan yang telah disampaikan pada saat pasien datang sebagai terduga
untuk memperkuat informasi tersebut.
 TB dapat disembuhkan
Sampaikan kepada pasien bahwa penyakit TB dapat disembuhkan secara tuntas
bila ia menjalankan pengobatan dengan teratur dan tidak putus berobat di tengah
jalan.
 Kesediaan pasien menjalankan pengobatan
Sebelum memberikan obat kepada pasien, sampaikan bahwa pengobatan tidak
boleh terputus. Putus berobat akan menyebabkan kuman yang masih tersisa
dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat yang saat ini tersedia di Indonesia dan
pengobatan tersebut mahal harganya.

43
Obat yang saat ini diberikan sangat berkualitas dan disediakan oleh pemerintah.
Untuk itu sebaiknya tanyakan kesungguhan pasien dalam menjalankan
pengobatan TB.
 Bagaimana mencegah penularan TB
Pencegahan dapat dilakukan dengan:
- Menelan obat secara teratur dan tuntas.
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin.
- Membuka jendela atau pintu agar cahaya matahari dan udara segar masuk
kedalam rumah.
- Tidak diperlukan diet khusus, tidak memisahkan alat makan, dan mensterilisasi
alat makan minum atau perabot rumah tangga.
 Kontak Serumah
Semua anak yang berusia dibawah 5 tahun yang tinggal serumah dengan pasien
TB harus diperiksa, karena usia tersebut sangat rentan terhadap berbagai
penyakit. Anak-anak mungkin membutuhkan pengobatan pencegahan atau
rujukan ke dokter.
Anggota keluarga lain yang serumah yang mengalami gejala TB harus segera
diperiksa.
 Perlunya pengawasan menelan obat
Petugas kesehatan harus menjelaskan pentingnya pengawasan menelan obat
bagi pasien. Jelaskan bahwa pasien menelan seluruh obat dengan diawasi oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO), untuk memastikan bahwa pasien
menelan seluruh obat secara benar, teratur, dan sesuai waktu yang ditentukan.
Dengan demikian petugas akan mengetahui apakah pasien mengalami masalah
dalam pengobatan seperti efek samping dan lain-lain. Melalui pengawasan
menelan obat, petugas akan segera tahu apabila pasien terlewat minum obat, dan
segera menyelidiki penyebabnya.
 Menjelaskan paduan obat
Jelaskan tentang paduan pengobatan meliputi:
- Lama waktu pengobatan
- Dosis Obat dan Penyesuaian sesuai Berat Badan.
- Jenis obat dan cara pemberiannya
Contoh: Jika pasien kambuh
44
“Obat terdiri dari dua jenis, obat telan dan obat suntik. Obat akan diberikan
dalam dua tahap. Tahap awal obat harus diminum setiap hari selama 3 bulan
dan bapak/ibu juga akan disuntik selama dua bulan. Selanjutnya setelah hasil
pemeriksaan dahak negatif maka obat suntik akan dihentikan dan obat minum
akan diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan.“
- Kualitas obat
Contoh:
“Obat yang disediakan pemerintah gratis dan berkualitas, obat ini adalah
kombinasi yang terbaik yang digunakan di seluruh dunia untuk mengobati TB,
bila bapak/ibu berobat dengan teratur dan tuntas maka akan sembuh.”
- Frekuensi kunjungan mengambil obat.
Contoh:
“Bapak/Ibu harus datang ke Faskes setiap hari selama dua bulan ini untuk
disuntik dan mengambil obat.”
- Kemana pergi untuk mengambil obat
Contoh:
“Bapak/Ibu bisa langsung datang ke ruang TB jika mengambil obat, bila ada
keluhan bapak/ibu bisa bertemu dengan dokter. Bapak/Ibu dapat mengambil
obat sesuai waktu dan hari yang disepakati dengan petugas”
 Pemeriksaan lanjutan pada akhir tahap awal
Jelaskan kepada pasien untuk melihat kemajuan pengobatan dan memastikan
pasien dapat melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan maka dahak perlu
diperiksa kembali.
Contoh:
“Bapak/Ibu, setelah minum obat dan disuntik dalam tahap awal bapak/ibu akan
diperiksa kembali dahaknya pada akhir tahap awal untuk melihat apakah kuman
sudah negative (tidak ditemukan ) dan untuk menilai apakah obat ini bisa
bekerja dengan baik dalam tubuh bapak/ibu.”
 Kemungkinan yang terjadi selama pengobatan dan tindakan yang harus
dilakukan
Pasien perlu tahu secara jelas apa yang mungkin terjadi selama pengobatan TB,
dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Contoh:
45
Fakta bahwa rifampicin dapat membuat air seni berwarna oranye atau merah
sebagai reaksi obat.
“Bapak/Ibu, salah satu obat ini akan membuat air seni menjadi kemerahan
seperti air teh. Ini tidak berbahaya. Bila ada keluhan lain bapak/ibu dapat
memberitahu PMO atau petugas di Faskes. Nanti dokter akan membantu
mengatasi keluhannya”.
Menginformasikan pesan kesehatan untuk keluarga pasien merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan di semua sarana
pelayanan kesehatan. Dukungan anggota keluarga ikut menentukan hasil
pengobatan TB. Untuk itu, keluarga juga harus diberikan informasi tentang TB
agar terus mampu mendampingi pasien selama pengobatan. Petugas kesehatan
harus dapat memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien dalam
bahasa yang jelas dan tepat mengenai penyakit, pengobatan dan efek
sampingnya, tindakan atau pemeriksaan yang akan dilakukan dan upaya
pencegahan. Komunikasi efektif disampaikan sesuai dengan latar belakang
budaya dan tingkat pendidikan keluarga.
Setelah seseorang ditetapkan sebagai pasien TB maka keluarga adalah
orang yang paling dibutuhkan dukungannya dalam menjalankan pengobatan.
Beberapa peran keluarga dalam mendukung pengobatan pasien TB, yaitu
(Kemenkes RI, 2017):
a. Memotivasi pasien untuk menjalani pengobatan sampai sembuh, dengan:
 Kenali faktor yang dapat mendukung ataupun menghambat pengobatan
bagi pasien serta membantu mencari alternatif solusinya
 Meyakinkan kepada pasien bahwa pengobatan yang dijalani akan
memberikan kebaikan bagi pasien maupun keluarganya
b. Mendampingi dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat
menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur, yaitu:
 Memotivasi pasien untuk tetap menelan obatnya saat pasien mulai bosan.
 Memastikan pasien menelan obat dengan disaksikan oleh keluarga.
 Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan
rasa percaya diri.

46
 Hal yang jangan sampai terlupa adalah beri waktu bagi pasien untuk
mengekspresikan perasaannya. Jika dibutuhkan cari dan ikut sertakan
pasien dalam pertemuan kelompok pasien (paguyuban).
c. Mengingatkan pasien TB datang ke Faskes untuk mendapatkan obat dan periksa
ulang dahak sesuai jadwal dengan berkoordinasi dengan PMO dan petugas
kesehatan tentang jadual pengambilan obat dan pemeriksaan dahak pasien TB.
d. Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping obat dan merujuk ke
Faskes.
 Menanyakan dan memperhatikan apakah pasien mengalami keluhan setelah
menelan obat.
 Segera merujuk pasien ke Faskes bila ada efek samping.
 Menenangkan pasien dan meyakinkan bahwa keluhan yang dialami dapat
ditangani.

Pasien dan keluarga diberikan pengetahuan mengenai cara pengendalian


penyakit tuberkulosis, yaitu anggota keluarga yang menderita penyakit TB paru,
Tn. LE, harus menutup mulut saat batuk atau bersin, meludah pada tempat
khusus yaitu pot sputum, jangan menggunakan alat-alat makan dan minum
secara bersamaan dengan orang lain ketika menderita penyakit TB paru, serta
selalu mencuci tangan.
Edukasi yang diberikan berupa pola hidup bersih dan sehat, rumah yang
bersih, makanan yang sehat, pentingnya minum obat dan dampak bila tidak
minum obat, menghindari faktor yang dapat memperberat, cara penularan
penyakit, dan selalu memakai alat pelindung diri (masker) dengan tujuan pasien
minum obat secara teratur, mengoreksi status gizi dan dapat memutus rantai
penyebaran TB
Beberapa topik edukasi yang perlu disampaikan pada pasien dan keluarga
antara lain:
- Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya memiliki jaminan kesehatan
dalam menjalani pengobatan jangka panjang seperti TB, serta jamkes
anggota keluarga yang lain sebagai upaya preventif
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa obat TB diberikan gratis di
Puskesmas, kecuali obat suntik/injeksi Kanamisin karena tidak tercover

47
BPJS. Menjelaskan bahwa pengadaan obat tersebut seyogyanya menjadi
tanggung jawab seluruh anggota keluarga
- Edukasi motivasi pasien untuk tidak terlalu memikirkan kemungkinan buruk
dari penyakitnya dan lebih baik fokus pada pengobatan
- Menjelaskan pada pasien bahwa kecukupan waktu istirahat menjadi salah
satu faktor dalam terpeliharanya kesehatan
- Menjelaskan pada pasien bahwa di usia lanjut, pekerjaan berat seyogyanya
dikurangi atau dilimpahkan ke orang yang lebih muda, misalkan anak pasien
atau anggota keluarga yang lain
- Edukasi pentingnya memiliki sarana kesehatan yang memadai supaya
kesehatan senantiasa terpelihara

4.6 Tatalaksana dari Dokter Muda


Selain tatalaksana non farmakologis yang telah diuraikan sebelumnya, pada pasien
juga diberikan pula tatalaksana farmakologis. Berikut panduan dari Kemenkes RI (2017)
mengenai terapi OAT kategori 2:
Paduan OAT Kategori 2 yang digunakan di Indonesia adalah
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E. Paduan OAT ini
diberikan untuk pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (pasien pengobatan
ulang) yaitu :
 Pasien kambuh.
 Pasien gagal pada pengobatan Kategori I.
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow-up).
Paduan OAT kategori 2 diberikan selama 8 bulan, dibagi menjadi 2 tahapan yaitu 3
bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan.
Paduan OAT Kategori 2 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk
kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini paduan yang
disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten. Sedangkan untuk dosis harian yaitu
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E sedang dalam proses pengadaan program TB Nasional.

48
Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) /5(HR)3E3
Tahap Awal Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.

Oleh karena Isoniazid biasanya memberikan efek samping ringan berupa kesemutan
sampai dengan rasa terbakar di telapak kaki atau tangan maka dapat pula diberikan
vitamin B6 (piridoxin) 50-75 mg per hari pada pasien tuberkulosis yang sedang
mendapat Isoniazid (Kemenkes RI, 2014). Sementara itu, dosis piridoxin untuk
mengurangi efek samping Isoniazid ditetapkan PDPI (2011) sebesar 100 mg per hari atau
bisa pula diberikan vitamin B kompleks.
Terapi farmakologis yang akan diberikan dokter muda pada pasien adalah:
Tahap Awal Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + K RH (150/150) + E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Kanamisin inj. + 3 tab Etambutol
Ditambah Vitamin B6 / Piridoxin 60 mg/hari (sediaan tablet 10 mg) 
3 x 2 tablet per hari

Selain itu, pasien juga dipantau kemajuan pengobatannya melalui pemeriksaan


dahak ulang pada waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai panduan dari Kemenkes RI
(2017):
49
Tabel 3. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan
BULAN PENGOBATAN
1 2 3 4 5 6 7 8
(====) (==== (====) (-------) (-------) (-------) (-------) (-------)
) X (X) X X
apabila hasilnya apabila apabila
BTA positif, hasilnya BTA hasilnya BTA
dinyatakan tidak positif, positif,
konversi*. dinyatakan dinyatakan
gagal* gagal*

Keterangan :
(====) : Pengobatan tahap awal
(-------) : Pengobatan tahap lanjutan
X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk
memantau hasil pengobatan
(X) : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya apabila hasil
pemeriksaan pada akhir tahap awal hasilnya BTA(+)

50
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. 2005. Rokok dan Tuberkulosis. Diakses dari http://www,kompas.com/kompas-


cetak/humaniora.
Apriani, W. 2001. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten
Donggala Provinsi Sulawesi Tengah (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
Center For Disease Control and Prevention (CDC). 2008. Reported tuberculosis in United
Stated. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human Services.
De Padua, C., Uter W & Schnuch A. 2007. Contact allergy to topical drugs: prevalence in a
clinical setting and estimation of frequency at the population level. Pharmacoepidemiol
Drug Saf 2007, 16:377–384.
De Padua, C., Schnuch A & Lessmann H. 2005. Contact allergy to neomycin sulphate: results
of a multifactorial analysis. Pharmacoepidemiol Drug Saf 2005, 14:725–733.
Depkes RI. Panduan Paket OAT Kategori II. Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (Dinkes Sulsel). 2013. Rekapitulasi Laporan Hasil P2-TB
Paru melalui Laporan Triwulan TB.07. Makassar: Dinkes Sulsel.
Gilbert, D & Leggett JE. 2010. Aminoglycosides. In Mandell, Douglas, and Bennett's
Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th edition. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier.
Girsang, M., Kristina T & Rafrizal. 2011. Faktor Penyebab Kejadian Tuberculosis serta
Hubungannya dengan Lingkungan Tempat Tinggal di Provinsi Jawa Tengah. Buletin
Penelitian Kesehatan 39 (1): 34-41.
Hardini, H.F., Rini M & Fatmalina F. 2011. Determinan Kejadian Tuberkulosis pada Orang
Dewasa di Wilayah Kerja Puskesmas Boom Baru Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat 2 (1): 39-44.
Hermayanti, D. 2012. Studi Kasus Drop Out Pengobatan Tuberkulosa (TB) di Puskesmas
Kodya Malang. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Inayati. 2011. Mikroskopis Sputum BTA Pada Pasien Klinis Tuberkulosis Paru Di RS Pku
Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah.
Kartika. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Default Penderita
Tuberkulosis Paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 (Skripsi). Depok:
Universitas Indonesia.

51
Keman, S. 2005. Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. 2(1):29-42.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2014. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2017. Pelatihan
Penanggulangan Tuberkulosis bagi Petugas Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan RI.
Lippo, J & Lammintausta K. 2008. Positive patch test reactions to gentamicin show
sensitization to aminoglycosides from topical therapies, bone cements, and from
systemic medication. Contact Dermatitis 2008, 59:268–272.
Media, Y. 2011. Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Melatarbelakangi Rendahnya Cakupan
Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Padang Kandis, Kecamatan Guguk
Kabupaten 50 Kota (Provinsi Sumatera Barat). Buletin Penelitian Kesehatan 39 (3):
119-128.
Mediana, G. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya DO pada Penderita
TB Paru di Kabupaten Bandung (Tesis). Depok: Universitas Indonesia.
Miki, M., Ishikawa T & Okayama H. 2005. An outbreak of histamine poisoning after
ingestion of the ground saury past in eight patients taking isoniazid in tuberculosis
ward. Intern Med 44:1133–1136.
Muis, A. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penderita Tuberkulosis
untuk Berobat Teratur di Dua Kabupaten Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Depok:
Universitas Indonesia.
Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Rahmansyah, A. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Drop Out (DO) pada
Penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Palembang tahun 2010 (Tesis). Depok:
Universitas Indonesia.

52
Ramadhan, R., Eka F., & Rosdiana. 2017. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan
Pemeriksaan Mikroskopis dan Teknik PCR pada Penderita Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Darul Imarah. Jurnal Penelitian Kesehatan 4(2): 74-81.
Reviono., Suradi., Adji M & Sulaeman. 2015. Hubungan modal sosial dan pencapaian case
detection rate tuberkulosis puskesmas kabupaten karanganyar. J Respir Indo 35(1):28-
38.
Sanchez-Borges, M., et al. 2013. Hypersensitivity reactions to non beta-lactam antimicrobial
agents, a statement of the WAO special committee on drug allergy. World Allergy
Organization Journal 2013, 6: 18.
Santha, T. 2000. Risk Factor Associated with Default, Failure and Death among
Tuberculosis Treated in a DOTS Programme in Tiruvallar District. South India.
Simbolon, D. 2007. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional 2 (3): 112-119.
Sophia, V. 2003. Defaults Among Tuberculosis Patients Treated Under DOTS in Bangalore
City: a Search for Solution. India.
Tan, W., Ong C., Kand S & Razak M. 2007. Two years review of cutaneous adverse drug
reaction from first line anti-tuberculosis drugs. Med J Malaysia 2007, 62:143–146.
Ubaidillah. 2001. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru
di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan (Tesis). Depok: Universitas Indonesia.
Utami BS, Harun S, Ekowatiningsih R, Yuwarni E, Kurniawan L, Aditama TY. 2002. Uji
validitas teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan pemeriksaan mikroskopis basil
tahan asam sebagai alat diagnosa penderita Tuberkulosis paru di Rumah Sakit
Persahabatan, Jakarta. Media Litbang Kesehatan 12(3): 24-29.
World Health Organization (WHO). 2006. Tuberculosis. New York: WHO Media Centre.
Yee, D., Valiquette C., Pelletier M., Parisien I & Rocher I. 2003. Incidence of serious side
effects from first-line antituberculosis drugs among patients treated for active
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 167:1472–1477.

53
LAMPIRAN DOKUMENTASI

54
55
56
57

Anda mungkin juga menyukai