Oleh:
Pembimbing:
dr. Yenny Dian Andayani, SpPD, K-HOM, FINASIM
Laporan Kasus
Judul
Systemic Lupus Eritematosus
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 17 Oktober 2016 – 25 Desember 2016.
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Systemic Lupus Eritematosus”. Laporan kasus ini merupakan salah satu
syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yenny Dian
Andayani, SpPD, K-HOM, FINASIM selaku pembimbing dalam penulisan laporan
kasus ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat
diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat
memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... 1
KATA PENGANTAR................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS.................................................................................... 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................14
BAB IV ANALISIS KASUS.....................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................42
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Nn. EA
b. Umur : 17 tahun
c. Tanggal Lahir : 06 Agustus 1999
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Pelajar
g. Alamat : Dusun III Desa Teladas, Kab. Musi Rawas
h. No. Med Rec/ Reg : 1001674
i. Tanggal masuk RS : 13 April 2017
II. ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan ibu pasien
pada 17 April 2017, pukul 20.00 WIB)
KeluhanUtama
Mimisan sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit
Keluhan Tambahan
Demam & sesak napas.
+ 4 hari SMRS pasien mengeluh mimisan dan gusi berdarah lebih dari 240 ml,
lemas (+), sesak (+), pucat (+), trauma (-). Pasien juga mengeluh pandangan
5
berkunang-kunang, mual muntah (-), nyeri ulu hati (-). Pasien dibawa ke IGD
RSMH
Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan disangkal
6
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Tekanan darah : 120/70 mmHg
4. Nadi : 84 x/menit, irama reguler, isi cukup, dan tegangan
cukup.
5. Pernapasan : 22 x/menit, regular, abdominotorakal
6. Suhu aksila : 36,7 oC
7. VAS Score :0
8. Berat badan : 43 kg
9. Tinggi badan : 155 cm
10. IMT : 18,75 kg/m2
11. Status gizi : Underweight
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+)
bagian depan, distribusi tidak merata. Malar rash (+).
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor, RC (+/+), visus baik
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang,
sekret (-), epistaksis (-)
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (+), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis, simetris kanan = kiri
7
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Batas paru hepar ICS VI, peranjakan 1 jari
Auskultasi : vesikuler (+) Normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior ICS V
sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra ICS
VI
Auskultasi : HR = 84 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),
umbilicus tidak menonjol
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan suprapubik (-), ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (+), vaskulitis (+),
lesi discoid (+), edema (-), sianosis (-), clubbing finger
(-)
8
Neutrofil 64 50-70 Normal
Limfosit 32 20-40 Normal
Monosit 4 2-8 Normal
Comb test + Hemolitik
KIMIA KLINIK
Protein Total 4,5 g/dL 6.4-8.3
Albumin 1,7 g/dL 3.5-5.0
Globulin 3,1 g/dL 2.6-3.6
Ureum 18 mg/dL 16.6 - 48.5
Creatinin 0,55 mg/dL 0.5-0.9
Calsium 8,1 mg/dL 8.4 – 9.7
BSS 158 mg/dL <200
Natrium 138 mg/dL 135-155
Kalium 4,0 mg/dL 3.5-5.5
pH 7,4 7.35-7.45
PCO2 36,6 mmHg 35-45
PO2 113,6 mmHg 83-108
HCO3 24,4 mmol/L 21-28
V. Diagnosis
SLE manifestasi AIHA
VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
O2 3 liter/menit
Istirahat
Edukasi
Farmakologis
IVFD KAEN 3B gtt xx/menit
Inj. Metil prednisolon 1x125 mg
Cellcept 1x1500 mg
KSR 1x600 mg
9
Fenitoin 3x100 mg
Inj. Ca Glukonas 1x 1 gr
Inj. Ciprofloksasin 2x200 mg
Paracetamol 500mg (jika T≥38,5ºC)
Nystatin drop 3x1 ml
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
X. Follow Up
Tanggal 13 April 2017
S Sesak (+), nyeri dada (+), nyeri sendi (+), wajah
merah-merah (+), demam (+)
O: Tampak sakit berat
Keadaan umum Somnolen
Kesadaran 80/50 mmHg
Tekanan darah 120 x/menit irama irreguler, isi kurang, dan
Nadi tegangan lemah.
Pernapasan 28 x/ menit
Temperatur 37,5 oC
VAS Score Tidak dapat ditentukan
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (-),
epistaksis (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (+),
10
teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : HR = 120x/menit, irreguler,
murmur (-), gallop (-)
11
O: Tampak sakit berat
Keadaan umum Compos mentis
Kesadaran 140/80 mmHg
Tekanan darah 126x/menit irama irreguler, isi kurang, dan
Nadi tegangan lemah.
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 38,5 oC
VAS Score 9 (Nyeri sangat hebat)
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (-),
epistaksis (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (+),
12
A SLE manifestasi AIHA
P Non Farmakologis
O2 3 liter/menit
Istirahat
Edukasi
Farmakologis
IVFD KAEN 3B gtt xx/menit
Inj. Metil prednisolon 1x125 mg
Cellcept 1x1500 mg
KSR 1x600 mg
Fenitoin 3x100 mg
Inj. Ca Glukonas 1x 1 gr
Inj. Ciprofloksasin 2x200 mg
Paracetamol 500mg (jika T≥38,5ºC)
Nystatin drop 3x1 ml
Tanggal 15 April 2017
S Sesak (+), nyeri dada (+), nyeri sendi (+),
wajah merah-merah (+), demam (+)
O: Tampak sakit berat
Keadaan umum Compos mentis
Kesadaran 140/80 mmHg
Tekanan darah 126x/menit irama irreguler, isi kurang, dan
Nadi tegangan lemah.
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 38,5 oC
VAS Score 9 (Nyeri sangat hebat)
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera
ikterik (-), epistaksis (-), atrofi papil lidah
(-), sariawan (+),
Leher
JVP (5-2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan =
kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
Jantung wheezing (-)
13
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea
midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR= 126x/menit, irreguler,
Abdomen murmur (-), gallop (-)
14
Tekanan darah 126x/menit irama irreguler, isi kurang, dan
Nadi tegangan lemah.
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 38,5 oC
VAS Score 9 (Nyeri sangat hebat)
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (-),
epistaksis (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (+),
15
Istirahat
Edukasi
Farmakologis
IVFD KAEN 3B gtt xx/menit
Inj. Metil prednisolon 1x125 mg
Cellcept 1x1500 mg
KSR 1x600 mg
Fenitoin 3x100 mg
Inj. Ca Glukonas 1x 1 gr
Inj. Ciprofloksasin 2x200 mg
Paracetamol 500mg (jika T≥38,5ºC)
Nystatin drop 3x1 ml
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (-),
epistaksis (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (+),
16
parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : HR= 126x/menit, irreguler, murmur
(-), gallop (-)
17
VAS Score 9 (Nyeri sangat hebat)
Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash (+),
Konjungtiva palpebra pucat (+) Sklera ikterik (-),
epistaksis (-), atrofi papil lidah (-), sariawan (+),
18
Inj. Metil prednisolon 1x125 mg
Cellcept 1x1500 mg
KSR 1x600 mg
Fenitoin 3x100 mg
Inj. Ca Glukonas 1x 1 gr
Inj. Ciprofloksasin 2x200 mg
Paracetamol 500mg (jika T≥38,5ºC)
Nystatin drop 3x1 ml
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Etiologi
Etiologi LES meliputi komponen genetik dan lingkungan dengan jenis
kelamin perempuan sangat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor ini
menyebabkan kerusakan permanen terhadap toleransi sistem imun yang
dimanifestasikan oleh respon imun terhadap inti sel antigen endogen.
19
peradangan (HLA-DR, PTPN22, STAT4, TNFAIP3), perbaikan DNA (TREX1),
penyatuan sel inflamasi dengan endotelium (ITGAM), dan respon jaringan
terhadap jejas (KLK1, KLK3). Penemuan ini menyatakan pentingnya Toll-like
receptor (TLR) dan interferon tipe 1 (IFN).
20
Dalam model murin, penambahan estrogen dan prolaktin dapat
menyebabkan fenotip autoimun dengan peningkatan afinitas tinggi dari
autoreaktif sel B dewasa. Kontrasepsi oral yang digunakan pada Nurses Health
Study berhubungan dengan sedikit peningkatan pada risiko LES (risiko relative
1,9 dibandingkan dengan bukan pengguna kontrasepsi oral). Semua ini
menggerakan pertanyaan penting yang berkaitan dengan penggunaan estrogen
pada kontrasepsi oral atau sebagai terapi hormone pengganti saat masa pos-
menopause pada wanita. Saat semua ini jelas bahwa hormone dapat memicu
autoimun berkembang dalam model murin, penggunaan kontresepsi oral tidak
meningkatkan penyakit flares pada wanita dengan penyakit yang stabil (Sanchez-
Guerrero dkk, 2005). Kehamilan dapat menyebabkan dalam beberapa kasus
seperti Lupus flares, tetapi ini tidak berhubungan dengan meningkatnya estradiol
atau progesterone. Pada faktanya, tingkat dari hormone-hormon ini lebih rendah
pada trimester kedua dan ketiga pada pasien LES dibandingkan dengan
kehamilan pada wanita sehat5.
C. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi
dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat
ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 :
1.1
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000
perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000
perawatan.1
21
D. Patogenesis
22
degradasinya dan juga memfasilitasi endositosisnya serta menstimulasi TLR-7/9
di dalam palsmasitoid sel dendrit. Penghancuran sistem kekebalan tubuh
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah asam nukleat endogen apoptosis
memicu produksi dari IFN dan autoimun melalui aktivasi dan pematangan dari
sel dendrit sederhana (myeloid). Produksi dari autoantibodi oleh sel B pada
lupus di kendalikan oleh keberadaan dari antigen endogen dan sangat besar
tergantung pada sel T-helper, yang dimediasi oleh interaksi sel basal
(CD40L/CD40) dan sitokin (IL21)13.
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis
penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja
selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa
adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria
LES.
1. Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan
ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan
seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan
23
ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 0C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling
sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu
artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali
dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas ,
kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis
juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi
steroid.
3. Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah
fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia,
panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga
dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,
livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi
pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut
dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan
merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respon baik terhadap pemberian streroid.
24
5. Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka
panjang.
6. Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai
keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT
harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
8. Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali
25
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang
lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik
juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.
E. Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik,
26
mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboraturium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria,
maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat tabel 1)
N Kriteria Batasan
o
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
3. fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. Serositis
a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
b. Karditis
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusi perikardium
7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau Silinder seluler : -
dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
Neurologi gangguan misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak
seimbangan elektrolit
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan
Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak
seimbangan elektrolit.)
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologi b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
27
10 Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
. imunologik yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas :
1. kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM,
2. Tes lupus anti koagulan positif menggunakan
metoda standard,
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis
sekurang- kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an• bodi
treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
Anti nuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
positif (ANA) pada setiap kurun waktu perjanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui hubungan dengan
sindroma lupu yang diinduksi obat.
Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan SLE yang
memiiki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria
dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan
adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif,
Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-
globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria,
28
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular
atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES
adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
yang mempunyai gambaran klinis menyerupa SLE misalnya infeksi krnis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun) , keganasan atau pada orang
normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk
LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%.
Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin
dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30%
pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis
29
LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA,
anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
30
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
31
mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap
fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama
kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting
adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien
dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.
Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari
dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau
spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar
pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
3. Terapi Konservatif
1
a) Athritis, athralgia dan myalgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus
diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar
tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap
32
sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal haru diperhatikan, misalnya
dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6
bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop.
Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari
6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai
efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat
dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis
rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat
dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi arthritis pada penderita LES.
1
b) Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas.
Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar
ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar
fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan
sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela
yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan
sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion
atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan
sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini
harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus
hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi
dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi teleangiektasis dan
fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid
33
lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison.
Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal
berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar
pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian
diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus,
baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria
mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada
penderita yang resisten terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan
pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan
pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LES
berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah
methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang
kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.
1
c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita
LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga
dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat
badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin.
Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali
hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat
menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan
tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan
salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid
34
dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan
glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya
4. Terapi Agresif
12
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan
efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang
digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan
patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana
kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif.
Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse
terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam
nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan
selama 3 hari berturut-turut.
35
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.
1
1) Siklofosfamid , Indikasi siklofosfamid pada LES :
36
pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan
muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan
fungsi ovarium dan azoospermia.
1
2) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan
selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis
azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah
penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
1
3) Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan
LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini
dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan
tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.
37
Keterangan :
TR : Tidak respon CYC : Siklofosfamid
RS : Respon sebagian AZA : Azatioprin
RP : Respon penuh MP : Metilprednisolon
OAINS : Obat anti inflamasi non steroid NPSLE: Neuropsikiatri SLE
KS : Kortikosteroid setara prednison
38
I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus
12
1. Lupus dalam Kehamilan
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan
namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis
masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam
keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan
eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan
faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya
setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan
remisi total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12
bulan remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus
selama hamil.
12
b. Kontrasepsi untuk LES
Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus
sangatlah terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara
individual, tergantung kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan
pilihan bagi penderita dengan keadaan yang stabil, tanpa sindrom
antifospolipid (APS). Kekhawatiran penggunaan kontrasepsi oral ini
sebelumnya adalah kekambuhan penyakit akibat hormon estrogen
yang ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian mendapatkan bukti
ini sangat lemah. Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada
penderita LES dengan APS karena dapat mengakibatkan trombosis.
Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita
yang mendapat kortikosteroid atau obat imunosupresan tidak
direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan
hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron acetate
(DMPA) dapat merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini
dikhawatirkan adanya kemungkinan efek negatifnya pada masa
39
tulang (menimbulkan osteoporosis), sehingga hanya diberikan
berdasarkan indikasi tiap-tiap individu, contohnya mereka dengan
kelainan perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA merupakan
pilihan yang terbaik.
c. Medikamentosa
1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan
dengan penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum
memberikan obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.
12
Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui
12
2. Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)
Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma
Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana terjadi
akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid. Penyakit ini
merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang atau keduanya
disertai peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang menetap yaitu
antibodi antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan (LA). Diagnosis
APS ditegakkan berdasarkan konsensus internasional kriteria klasifikasi
40
sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang disepakati tahun 2006, apabila
terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan laboratorium sebagaimana tertera di
bawah ini:
Kriteria Klinis:
a) Trombosis vaskular: Penyakit tromboembolik vena (Trombosis vena
dalam, emboli pulmonal)
b) Penyakit tromboemboli arteri : Trombosis pembuluh darah kecil
c) Gangguan pada kehamilan:
>1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia ≥
10 minggu kehamilan atau
> 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan ≤ 34
minggu atau
> 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada
usia kehamilan < 10 minggu
Kriteria Laboratorium:
a) Positif lupus antikoagulan
b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang atau
tinggi).
c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein (anti
β2 GP) I (sedang atau tinggi). Perbedaan waktu antara pemeriksaan
yang satu dengan yang berikutnya adalah 12 minggu untuk melihat
persistensinya
12
3. Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)
Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada
kriteria diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE
sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan dari
gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan
psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari
kasus NPSLE akibat tidak adanya kesepakatan dalam definisi penyakit,
karena itu American College of Rheumatology (ACR) mengeluarkan suatu
klasifikasi untuk membuat keseragaman tersebut.
41
Tabel 4.Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR
Sistem Saraf Pusat Sistem Saraf Perifer
Acute confusional state Polineuropati
Disfungsi kognitif Pleksopati
Psikosis Mononeuropati (tunggal/
multipleks)
Gangguan mood Sindrom Guillain-Barre
Gangguan cemas Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain Mistenia gravis
dan hipertensi intrakranial
ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial
Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan
manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.
Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti,
namun tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja,
namun berbagai mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan
penyebabnya sehingga disimpulkan LES sendiri sebagai penyebab
manifestasi tersebut (NPSLE primer) sedangkan sisanya 40% disebabkan
oleh faktor sekunder yang berhubungan dengan LES seperti infeksi, efek
samping obat atau gangguan metabolik akibat kerusakan pada organ lain
dalam tubuh.
Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat
membedakan NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan
47% penderita dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas
pada MRI konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk
42
menyingkirkan penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut
Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat
memberikan informasi secara kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI
konvensional dalam mendeteksi NPSLE primer, termasuk mendeteksi
kelainan otak pada mereka dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif NP
saat pemeriksaan dilakukan.
12
4. Lupus Nefritis
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.
Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan
menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World
Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh
International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society
(ISN/RPS) tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi
dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga
membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala
sering tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria,
proteinuria atau hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus
nephritis tersebut adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum
kreatinin, serologi anti dsDNA dan C3. Terdapat beberapa variabel klinis
yang dapat mempengaruhi prognosis. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hasil akhir tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia,
sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi imunosupresi awal,
kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk.
43
Tabel 5. Klasifikasi lupus nefritis oleh
12
International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS)
12
Tatalaksana Lupus Nefritis
a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya
dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda
pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan
pada pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif
diperlukan.
b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama sedimen,
kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA,
proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada
44
penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan
kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2
minggu untuk berubah.
c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien dengan
riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat
antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan
angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama
untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja atau
dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien
hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai
untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor
elektrolit yang baik.
d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga
harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi
menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah kolesterol
serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan LES masih
meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan
hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak
seperti HMG Co-A reductase inhibitors
e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis
lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3
bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-
obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali
terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter
berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula
darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan
densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana
dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,
45
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi
serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi
dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat
diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat,
dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal
juga meningkat.
J. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada
pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,
tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang dari
50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir
rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderitapada 15
tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada
10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari
60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat
dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam
pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.
46
BAB IV
ANALISIS KASUS
47
sensitifitas 95% dan didukung dengan pemeriksaan ANA yang bernilai positif.
Nilai Hb rendah dari normal dan combt test positif sehingga dapat ditegakkan
diagnosis SLE manifestasi AIHA.
Jadi berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, pasien pada kasus ini didiagnosis dengan SLE
manifestasi AIHA.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2015. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo MA.
1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus Erythematosus. Am J
Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page. J Clin
Pathol; 481-490.
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Roth•ield NF, et al. 1982. The
1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum; 1271-1277
49