Anda di halaman 1dari 24

Referat

TONSILITIS

Oleh :

Widya Audisti, S.Ked 04084821820043


Masayu Shavira Rahmadhani S, S.Ked 04084821820034

Pembimbing :

Dr. Fiona Widyasari, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Tonsilitis

Oleh:

Widya Audisti, S.Ked 04084821820043


Masayu Shavira Rahmadhani S, S.Ked 04084821820034

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 22 Oktober 2018 – 25 November 2018.

Palembang, November 2018

Pembimbing,

Dr. Fiona Widyasari, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan YME atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Tonsilitis”
untuk memenuhi tugas referat sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian
kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas
Sriwijaya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.
Fiona Widyasari, Sp. THT-KL selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini


yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................1


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................2
KATA PENGANTAR ...........................................................................................3
DAFTAR ISI ..........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal
dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi
perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di
membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin
berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya.
Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal
dari invaginasi hipoblas di tempat ini.
Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal
primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan
tidak dapat kembali sehat seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna akan
menyebabkan peradangan ringan pada tonsil. Peradangan dapat menyebabkan
keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena
sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan
Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan
kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak
biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur
karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak
nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan.
Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali pulih seperti
semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Apabila tidak terjadi
penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi infeksi berulang. Apabila
keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi
peradangan yang kronis atau yang disebut dengan tonsilitis kronis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsilaris.
Tonsil berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm,
tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram.
Jaringan limfoid yang berkembang pada faring dengan baik dikenal dengan
nama cincin Waldeyer yang merupakan lingkaran berkesinambungan yang
mengelilingi saluran pernapasan dan saluran pencernaan bagian atas.
Bagian terpenting tonsil adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal /adenoid.
Unsur yang lain adalah tonsil lingual & gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller dan di bawah mukosa
dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
Pembagian tonsil terdiri atas:
1. Tonsil faringealis atau adenoid
2. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa 
 lapisan
tanduk. 

3. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa 
 lapisan
tanduk. 

4. Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ geriach’s tonsil). 

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan

6
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Gambar 1. Anatomi Tonsil
Perbatasan tonsil dibagi menjadi :
 Anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus
 Posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus
 Medial oleh ruang orofaring
 Superior oleh palatum mole
 Inferior oleh tonsil lingual
 Lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang
dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
 Postero inferior  A.Palatina Asendens, cabang A. Fasialis
 Antero inferior  A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis
 Antero media  A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna
 Postero superior  A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna
 Antero superior  A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor
dan Minor
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan
pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna.

7
Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan
selanjutnya menembus dinding faring.

Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil

Fisiologi Tonsil
Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam
fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara
pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil
memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal
resisten terhadap organisme patogen.
Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah
mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa
anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun.
Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil
yang disertai proses involusi.

Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik


Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik

8
Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan
kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat
lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam
pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk
ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit.
Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan
bakteri terhadap fagosit.
Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak
mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu
kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan
bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan
konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan
membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke
dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan
proses oksidasi.
Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan
bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya
mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan
menghancurkan bakteri dengan proses digestif.

Mekanisme Pertahanan Spesifik


Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh
terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil
dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap
organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-
E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel
tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin.
Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi
hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.

9
Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan
dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan
kripta tonsil.
Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah
terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier untuk
mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.
Jaringan Limfoid Hipofaring tersebar di seluruh permukaan mukosa hipofaring
sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid), dan tidak ada jaringan
limfoid spesifik pada daerah ini.
Jaringan Limfoid Laring memegang peranan yang sangat penting dalam klinik
terutama hubungannya dengan proses keganasan.
 Daerah Glotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki
jaringan limfoid
 Daerah Supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada
plika ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika
arieloglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang
bundle neurovascular laryng. Jaringan limfoid supraglotik ini bertanggung
jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan kontralateral.
 Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat terjadi
invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan limfoid pre dan
paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring seluruhnya bermuara ke jaringan
limfoid servikal superior dan inferior dalam.

2.2. Tonsilitis
2.2.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina

10
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral
band dinding faring / Gerlach's tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
2.2.2 Epidemiologi
Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada
anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis
akut, 15% dari kasus yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus,
sisanya itu biasanya virus. Pada anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50%
dari kasus disebabkan streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata.
Di Indonesia, tonsilitis kronis juga menjadi salah satu peyakit THT yang
paling banyak dijumpai terutama pada anak.10 Penelitian Sapitri tentang
karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi di
RSUD Raden Mattaher Jambi, dari 30 sampel didapatkan distribusi terbanyak
usia 5-14 tahun (50%), jenis kelamin perempuan (56,7%) dan memiliki keluhan
nyeri pada tenggorok/sakit menelan (100%).
Menurut data dari RSUD Raden Mattaher Jambi diketahui jumlah penderita
tonsilitis kronis pada tahun 2010 berjumlah 978 dari 1365 jumlah kunjungan dan
pada tahun 2011 berjumlah 789 dari 1144 jumlah kunjungan, sedangkan
tonsilitis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010 berjumlah 44 orang
dan data pada tahun 2011 berjumlah 58 orang. Ada peningkatan jumlah
penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010-
2011 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Berdasarkan data rekam medis tahun
2010 di RSUP dr. M. Djamil Padang bagian Poliklinik THT-KL subbagian
laring faring ditemukan tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan.

2.2.3 Etiologi1
Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral

11
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-
luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Pada kasus pasien diedukasi untuk beristirahat dan
minum yang cukup. Analgetika dan antivirus diberikan jika gejala berat.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus B
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis
detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang luas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak- bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-
alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat
melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane)
yang menutupi tonsil.

Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa ialah
 Tonsilitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Coryne bacterium
diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas
bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada
titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan
per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah
yang dipakai pada tes Schick.

12
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10
tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2 -5 tahun walaupun pada orang
dewasa masih mungkin menderita penyakit ini
 Tonsilitis septik (septic sore throat)
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi.
 Angina Plaut Vincent
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema
yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.
 Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin,
sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring
serta di sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan
genitalia dan saluran cerna.
 Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa
bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan
regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus
dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel).
 Proses spesifik luas dan tuberculosis
 Penyakit kelainan darah (leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna, infeksi mononucleosis)
 Infeksi virus morbili, pertusis skarlatina.

Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

13
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.

Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibula.

Hipertrofi Adenoid
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding
posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara
fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan
mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi
saluran napas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari
hipertrof ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba Eustachius.

Akibat sumbatan koana pasien akan bemapas melalui mulut sehingga terjadi
a. Fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen),
arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti
orang bodoh
b. Faringitis dan bronkitis
c. Gangguan ventilasi dan dreinase sinus paranasal sehingga menimbulkan
sinusitis kronik.

Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis
media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.
Akibat hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok,
retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang.

14
2.2.4 Patofisiologi5
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakonaris.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

2.2.5 Manifestasi Klinis2


1) Tonsilitis akut
 Sakit tenggorokan dan disfagia. Anak kecil mungkin tidak mengeluh

sakit tenggorokan tapi akan menolak untuk makan.


 Otalgia  sebagai akibat dari nyeli alih melalui N.IX.


 Demam, hal ini bisa menyebabkan kejang demam pada bayi.


 Malaise, nyeri sendi, dan tanda-tanda dehidrasi.


 Tonsil membesar dan hiperemis serta dapat menunjukkan pus dari
kriptus di tonsilitis folikularis (detritus).

15
 Durasi perlangsungan tonsilitis akut biasanya 4 sampai 6 hari.

Gambar 3. Tonsilitis palatina akut


 Tonsilitis viral : Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok.
 Tonsilitis bakterial : Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering
ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan
suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu
makan dan rasa nyeri telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri
alih (referred pain) melalui saraf n.glosofaringeus (n.lX). Pada pemeriksaan
tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk
folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeri tekan.
2) Tonsilitis Membranosa
 Tonsilitis Difteri : Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala
umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran
napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila

16
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull
neck) atau disebut juga Burgemeester's hals.
c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
3) Tonsilitis Kronik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.

2.2.6 Penegakkan Diagnosis11,15


Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan
rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada
waktu fonasi, pemeriksaan rinoskop posterior (pada anak biasanya sulit),
pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan radiologik
dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini lebih sering dilakukan pada
anak).
Dalam penegakan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan pembesaran
tonsil dalam ukuran T0 – T4 (Friedman Grading Scale):
 T0 tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
 T1  batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai 1⁄4 jarak pilar

anterior – uvula 


 T2  batas medial tonsil melewati 1⁄4 jarak pilar anterior uvula sampai


 1⁄2 jarak anterior – uvula 


 T3  batas medial tonsil melewati 1⁄2 jarak pilar anterior – uvula sampai

3⁄4 jarak pilar anterior – uvula 


17
 T4  batas medial tonsil melewati 3⁄4 jarak anterior – uvula sampai 
 uvula

atau lebih 


Gambar 4. Grading Tonsil (Friedman Grading Scale)

Laringoskopi Indirek
Dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan laring dan faring baik akut
maupun kronis dengan menggunakan kaca laring (laryngeal mirror) atau flexible
fiberoptic endoscope.

Pemeriksaan Penunjang
 Inflammatory parameter : pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis, dan
erhytrocyte sedimentation rate (ESR) dan C-reactive protein (CRP)

meningkat.


 Pemeriksaan bakteri : sebuah kultur bakteri jarang diambil dari apus


tenggorok karena biasanya membutuhkan 2-3 hari untuk mendapatkan hasil
yang definitif, dimana waktu pengobatan sudah harus dimulai. Itu sbaiknya
dilakukan sebuah rapid immunoassay, yang dapat mengidentifikasi
organisme penyebab seperti Streptococcus grup A hanya dalam waktu 10
8
menit.

18
2.2.7 Diagnosis Banding3
Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi
tonsil seperti tonsilitis difteri, angina plaut vincent, mononukleosis infeksiosa,
serta penyakit kronik faring granulomatous seperti faringitis tuberkulosa.

2.2.8 Pencegahan1
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah
terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum
digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah
infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya
sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang

lain. 


2.2.9 Tatalaksana4,5
Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis
akut maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Antibiotik
jenis penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus
yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi sehingga
perlu diberikan antibiotik alternatif selain jenis penisilin.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus di mana penatalaksanaan medis
atau yang lebih konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari, dan usaha untuk mernbersihkan kripta tonsilaris dengan
alat irigasi gigi atau oral.
Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.

19
Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.
Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi akibat hipertrofi tonsil.
Obtruksi yang mengakibatkan gangguan menelan maupun gangguan nafas
merupakan indikasi absolut. Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan
non emergensi dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi
perdebatan.

1. Farmakologis
 Tonsilitis bakterial
Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat
kumur yang mengandung desinfektan.
 Tonsilitis difteri
 Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil
kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan
beratnya penyakit.
 Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan
dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
 Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk
simtomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi.
 Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
 Angina Plaut Vincent
Antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higiene mulut.
Vitamin C dan vitamin B kompleks
 Tonsilitis Kronik
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
 Hipertrofi Adenoid
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoktomi dengan cara
kuretase memakai adenotom.

20
2. Pembedahan
Indikasi tonsilektomi
The American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery
Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan:
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertum- buhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan
cor pulmonale
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus
B hemoliticus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa / otitis media supuratif.

2.2.10 Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa Rhinitis kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, irdosiklitis, dermatitis,
pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

2.2.11 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat
penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi

21
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami

perbaikan dalam waktu yang singkat. 


Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus – kasus yang jarang, tonsilitis
dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau
pneumonia.

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Tonsillitis sendiri adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan


oleh infeki virus atau bakteri.
2. tonsilitis bakterialis supuralis akut paling sering disebabkan oleh
streptokokus beta hemolitikus grup A.Gambaran klinis dari retinoblastoma
adalah leukokoria, strabismus, mata merah, buftalmus, pupil midriasis dan
proptosis.
3. Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita
menelan) nyeri seringkali dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan
telinga memiliki persyarafan yang sama)
4. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda infeksi, abses dan
kompromi jalan nafas.
5. Penatalaksanaan tonsilitis jika penyebabnya bakteri diberi antibiotik dan
bisa juga tonsilektomi.
6. Komplikasinya adalah abses peritonsilitis, otitis media akut, mastoiditis
akut, laringitis, sinusitis, rhinitis.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenjer JJ. Diseases of the oropharynx. In: Otorhinolaryngology head and


neck surgery. 15h Ed. Lea Febiger Book. Baltimore, Philadelphia, Hongkong,
London, Munich, Sydney, Tokyo 1995: p.236-44.
2. Adam GL. Diseases of the nasopharynx and oropharynx. In: Boies
fundamentals of otolaryngology A text book of ear nose and throat diseases 6th
Ed. WB Saunders Co 1989: p.332-69.
3. American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery. Clinical
indicators compendium, Alexandria, Virginia, 1995.
4. Kaltai PJ et al. Intracapsular partial tonsilectomy for tonsillar hypertrophy in
children. Laryngoscope 2002:112:17-9.
5. Paradise JL et al. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat
infection in moderately affected children, Pediatrics 2002;110:1-7. 5.

24

Anda mungkin juga menyukai