Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

BELL’S PALSY

Oleh:
Egi Nabila, S.Ked 04084821820032
Dian Natalia, S.Ked 04084821921097

Pembimbing:
dr. Ernie, Sp.KFR

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus berjudul:

BELL’S PALSY

Oleh:
Egi Nabila, S.Ked 04084821820032
Dian Natalia, S.Ked 04084821921097

telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian/Departemen Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 6 April s.d. 22 April 2017.

Palembang, April 2019


Pembimbing,

dr. Ernie, SP. KFR

2
KATA PENGANTAR

Segala puji penyusun haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
memberikan rahmat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus
berjudul “Bell’s Palsy” ini tepat sesuai dengan jadwal yang telah diberikan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penulisan referat ini, terutama kepada dr. Ernie, Sp. KFR sebagai pembimbing penulisan
laporan kasus ini.
Dengan penulisan laporan kasus ini, penulis berharap semua pihak yang membaca
dapat lebih memahami paralisis nervus fascialis sehingga dapat bermanfaat bagi calon
dokter umum khususnya serta bagi kesehatan masyarakat secara umum.

Palembang, April 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... 1


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................. 2
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 5
BAB II STATUS PASIEN .................................................................................................. 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................18
BAB IV ANALISIS MASALAH ........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................34

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821
oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologi, laboratorium, dan patologi anatomi
menunjukan BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor
dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia
dewasa, jarang pada anak dibawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran
napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosa BP dapat
ditegakan dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk
menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n.fasialis perifer.
BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan
di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit ditentukan. Data
yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsi
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP
mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda
yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat. Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun
dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin
atau angin berlebihan.

5
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. VN
b. Umur : 41 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : PNS
e. Alamat : Jl. Sempayo, Kemang Manis, Palembang
f. Agama : Islam
g. Kunjungan : 16 April 2019
h. No. MedRec : 1117880

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Mulut mengot ke kanan

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak ± 6 hari SMRS, penderita mengeluh adanya kedutan pada kelopak
mata bawah sebelah kiri dan adanya nyeri pada bagian belakang telinga sebelah
kiri. Sejak ± 3 hari SMRS, penderita mengeluh adanya mulut mengot ke kanan
secara tiba-tiba dan mata kiri berair karena sulit untuk dipejamkan. Penderita
masih dapat megunyah dengan baik, namun air liur sering mengalir keluar dari
sudut kiri mulut. Penderita mengaku sensasi rasa pada lidah agak menurun.
Pasien mengaku dalam 1 bulan terakhir, bagian wajah kiri penderita sering
terkena pendingin ruangan (AC) saat sedang menyusui anaknya.

c. Riwayat Penyakit/Operasi Dahulu


- Riwayat trauma : Tidak ada

6
- Riwayat hipertensi : Ada, diketahui 1 bulan yang lalu saat
melahirkan
- Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
- Riwayat penyakit jantung : Disangkal
- Riwayat kejang : Disangkal
- Riwayat asma : Disangkal
d. Riwayat Penyakit pada Keluarga
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
- Riwayat penyakit jantung : Disangkal
- Riwayat alergi obat/ makanan : Disangkal
- Riwayat asma : Disangkal

e. Riwayat Pekerjaan
Penderita bekerja sebagai PNS

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Ny. VN tinggal di rumah sendiri bersama suami dan anaknya. Ny. T berobat
dengan fasilitas umum. Sosial ekonomi Ny. VN termasuk dalam kategori
menengah ke atas.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis E4V6M5
Tinggi Badan/ Berat Badan : 160 cm/ 63 kg BMI: 24,61 kg/m2
Cara berjalan/Gait
- Antalgik gait : Tidak ada
- Hemiparesegait : Tidak ada
- Steppage gait : Tidak ada
- Parkinson gait : Tidak ada
- Tredelenburg gait : Tidak ada
- Waddle gait : Tidak ada

7
- Lain-lain : Tidak ada
Bahasa/ bicara
Komunikasi verbal : Tidak ada kelainan
Komunikasi non verbal : Tidak ada kelainan
Tanda vital
Tekanan Darah : 150/100 mm/Hg
Nadi : 84 x/menit, isi cukup irama teratur
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6oC
Kulit : Tidak ada kelainan
Status Psikis
Sikap : Kooperatif Orientasi : Baik
Ekspresi wajah : Wajar Perhatian : Baik

b. Saraf-saraf Otak
Nervus Kanan Kiri
I. N. Olfaktorius Normal Normal
II. N. Opticus Normal Normal
III. N. Occulomotorius Normal Normal
IV. N. Trochlearis Normal Normal
V. N. Trigeminus Normal Normal
VI. N. Abducens Normal Normal
VII. N. Fasialis Normal Parese perifer
Keadaan istirahat Normal Asimetris
Mengerutkan dahi Normal Lipatan datar
Memejamkan mata Normak Menurun
(lagophtalmus)
Tersenyum Normal Sudut mulut
tertinggal
Mencucu Normal Asimetris
VIII. N. Vestibulocochlearis Normal Normal
IX. N. Glossopharyngeus Normal Normal
X. N. Vagus Normal Normal

8
XI. N. Accesorius Normal Normal
XII. N. Hypoglossus Normal Normal

c. Kepala
Bentuk : Normal
Ukuran : Normocephali
Posisi
- Mata : Sulit mengedipkan mata
- Hidung : Normal, simetris
- Telinga : Normal, simetris
- Mulut : Asimetris
- Wajah : Asimetris Gerakan abnormal : Tidak ada

d. Leher
Inspeksi : Simetris, deformitas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-), kaku
kuduk (-)
Luas Gerak Sendi
Ante /retrofleksi (n 65/50) : 65/50
Laterofleksi (D/S) (n 40/40) : 40/40
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 45/45
Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : Tidak dilakukan Test Valsava : Tidak dilakukan
Distraksi test : Tidak dilakukan Test Nafziger: Tidak dilakukan

e. Thorax
Bentuk : Simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : Tidak dilakukan
Paru-paru
- Inspeksi : Statis dinamis simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Stem fremitus ka=ki, pelebaran sela iga (-)
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+), ronki (-), wheezing (-)

9
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas atas, kanan, kiri jantung normal
- Auskultasi : HR 84 x/menit, bising abnormal (-)
f. Abdomen
- Inspeksi : Dinding abdomen datar
- Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak
teraba
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus normal

g. Trunkus
Inspeksi
- Simetris : Simetris
- Deformitas : Tidak ada
- Lordosis : Tidak ada
- Scoliosis : Tidak ada
- Gibbus : Tidak ada
- Hairy spot : Tidak ada
- Pelvic tilt : Tidak ada
Palpasi
- Spasme otot-otot para vertebrae: Tidak ada
- Nyeri tekan (lokasi) : Tidak ada
Luas gerak sendi lumbosakral
- Ante/retro fleksi (95/35) : 95/35
- Laterofleksi (D/S) (40/40) : 40/40
- Rotasi (D/S) (35/35) : 35/35
Test provokasi : Tidak dilakukan
- Valsava test : Tes Laseque : Test: Baragard dan Sicard :
- Niffziger test : Test LSR : Test: O’Connell :
- FNST : Test Patrick : Test Kontra Patrick :
- Tes gaernslen : Test Thomas : Test Ober’s :

10
- Nachalasknee flexion test: Mc.Bride sitting test :
- Yeoman’s hyprextension: Mc. Bridge toe to mouth sitting test :
- Test schober :

h. Anggota Gerak Atas


Inspeksi Kanan Kiri
- Deformitas : Tidak ada Tidak ada
- Edema : Tidak ada Tidak ada
- Tremor : Tidak ada Tidak ada
- Nodus herbenden : Tidak ada Tidak ada
Palpasi

Neurologi
Motorik Dextra Sinistra
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Abduksi lengan 5 5
Fleksi siku 5 5
Ekstensi siku 5 5
Ekstensi wrist 5 5
Fleksi jari-jari tangan 5 5
Abduksi jari tangan 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendon biseps Normal Normal
Refleks tendon triseps Normal Normal
Refleks Patologis
Hoffman Tidak ada Tidak ada
Tromner Tidak ada Tidak ada

Sensorik
Protopatik Normal

11
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada kelainan

Penilaian fungsi tangan Kanan Kiri


Anatomical Normal Normal
Grips Normal Normal
Spread Normal Normal
Palmar abduct Normal Normal
Pinch Normal Normal
Lumbrical Normal Normal

Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Abduksi bahu 0º-180º 0º-180º 0º-180º 0º-180º
Adduksi bahu 180º-0º 180º-0º 180º-0º 180º-0º
Fleksi bahu 0º-180º 0º-180º 0º-180º 0º-180º
Ekstensi bahu 0º-60º 0º-60º 0º-60º 0º-60º
Endorotasi bahu (f0) 90º-0º 90º-0º 90º-0º 90º-0º
Eksorotasi bahu (f0) 0º-90º 0º-90º 0º-90º 0º-90º
Endorotasi bahu (f90) 90º-0º 90º-0º 90º-0º 90º-0º
Eksorotasi bahu (f90) 0º-90º 0º-90º 0º-90º 0º-90º
Fleksi siku 0º-150º 0º-150º 0º-150º 0º-150º
Ekstensi siku 150º-0º 150º-0º 150º-0º 150º-0º
Ekstensi pergelangan tangan 0º-70º 0º-70º 0º-70º 0º-70º
Fleksi pergelangan tangan 0º-80º 0º-80º 0º-80º 0º-80º
Supinasi 0º-90º 0º-90º 0º-90º 0º-90º
Pronasi 0º-90º 0º-90º 0º-90º 0º-90º

Test Provokasi Kanan Kiri


- Yergason test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Apley scratch test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Moseley test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

12
- Adson maneuver : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Tinel test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Phalen test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Prayer test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Finkelstein : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Promet test : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

i. Anggota Gerak Bawah


Inspeksi Kanan Kiri
- Deformitas : Tidak ada Tidak ada
- Edema : Tidak ada Tidak ada
- Tremor : Tidak ada Tidak ada
Palpasi
- Nyeri tekan (lokasi) : Tidak ada Tidak ada
- Diskrepansi : Tidak ada Tidak ada

Neurologi
Motorik Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas
Kekuatan
Fleksi paha 5 5
Ekstensi paha 5 5
Ekstensi lutut 5 5
Fleksi lutut 5 5
Dorsofleksi pergelangan kaki 5 5
Dorsofleksi ibu jari kaki 5 5
Plantar fleksi pergelangan kaki 5 5
Tonus Eutoni Eutoni
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella Normal Normal
Refleks tendo Achilles Normal Normal
Refleks Patologis

13
Babinsky Tidak ada Tidak ada
Chaddock Tidak ada Tidak ada
Sensorik
Protopatik Normal
Proprioseptik Normal
Vegetatif Tidak ada Kelainan

Luas Gerak Sendi


Luas Gerak Sendi Aktif Aktif Pasif Pasif
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi paha 0-90 0-90 0-90 0-90
Ekstensi paha 90-0 90-0 90-0 90-0
Endorotasi paha 0-35 0-35 0-35 0-35
Adduksi paha 0-30 0-30 0-30 0-30
Abduksi paha 0-45 0-45 0-45 0-45
Fleksi lutut 0-135 0-135 0-135 0-135
Ekstensi lutut 135-0 135-0 135-0 135-0
Dorsofleksi pergelangan kaki 0-20 0-20 0-20 0-20
Plantar fleksi pergelangan kaki 0-50 0-50 0-50 0-50
Inversi kaki 0-35 0-35 0-35 0-35
Eversi kaki 0-20 0-20 0-20 0-20

Tes Provokasi Sendi Lutut Kanan Kiri


Stes test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Drawer’s test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test tunel pada sendi lutut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test homan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test lain-lain Tidak dilakukan Tidak dilakukan

14
IV. Skala UGO FISCH
Posisi Nilai Persentase (%) Skor
Istirahat 20 50 10
Mengerutkan dahi 10 50 5
Menutup mata 30 50 15
Tersenyum 30 30 9
Bersiul 10 30 3
Total 42

V. Pemeriksaan Penunjang
A. Radiologis : Tidak dilakukan
B. Laboratorium : Tidak dilakukan
C. Lain-lain CT-Scan/ MRI : Tidak dilakukan

VI. EVALUASI
No Level ICF Kondisi saat ini Sasaran
1 Struktur dan Mulut mencong ke kanan, Mengembalikan fungsi
fungsi tubuh mata kiri sulut berkedip, dahi fisiologis nervus fascialis
kiri tidak bisa mengerut,
sensasi rasa pada lidah
menurun.

2 Aktivitas Bila minum air sering keluar Meningkatkan kemampuan


dari sisi mulut sebelah kiri. pasien untuk dapat beraktivitas
secara normal sehari-hari.
3 Partisipasi Kepercayaan diri menurun, Meningkatkan kepercayaan
pasien merasa malu dan diri pasien dan kemampuan
menarik diri dari pergaulan berinteraksi dengan sesama.
sosial.
Catatan: ICF International Clasification of Function (WHO 2002)

15
VII. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis: Bell’s Palsy

VIII. PROGRAM REHABILITASI MEDIK


Fisioterapi
Terapi Panas :
a. IRR pada wajah kiri
b. Masase wajah kiri
Terapi Dingin : Tidak dilakukan
Stimulasi Listrik : Tidak dilakukan
Terapi Latihan :
a. Latihan gerak volunter wajah sisi kiri di depan cermin dengan gerakan
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat
sudut mulut (dilakukan di depan kaca)
b. Massase pada wajah didaerah dagu, mulut, hidung dan dahi, semua
gerakan diarahkan ke atas lamanya 5-10 menit.

Okupasi Terapi
ROM exercise :Tidak dilakukan
ADL Exercise :Latihan ADL seperti berkumur, latihan minum
dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.

Ortotik Prostetik
Pemasangan Y Plester, diganti tiap 8 jam. Dilakukan jika dalam waktu 3 bulan
belum ada perubahan zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur.

Terapi Wicara
Afasia : Tidak Dilakukan
Disartria : Tidak Dilakukan
Disfagia : Tidak Dilakukan

16
Sosial Medik
Edukasi keluarga untuk merawat dan membantu penderita dalam menjalani terapi
dan menjelaskan bahwa penyakitnya dapat sembuh.

Edukasi
- Massase wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi sehat
- Latihan tiup lilin,berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
- Perawatan mata:
1) Beri otot tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2) Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

IX. TERAPI MEDIKA MENTOSA


- Vitamin B kompleks 2 x 1 tab sehari PO
- Methyl prednisolon 4mg 3 x 1 tab sehari PO

X. PROGNOSA
- Medik : Bonam
- Fungsional : Bonam

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Saraf Fasialis


Saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang didalam tulang, sehingga
sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak didalam tulang temporal. Perjalanan
saraf ini dimulai dari area motorik korteks serebri yang terletak pada girus pre-
sentralis dan post-sentralis. Sinyal yang berasal dari neuron pada area motorik korteks
serebri dihantarkan melalui fasikulus-fasikulus jalur kortikobulbar menuju kapsula
interna kemudian melewati bagian atas midbrain menuju batang otak bagian bawah
untuk bersinapsis pada nukleus saraf fasialis di pons.2,6
Perjalanan saraf fasialis dimulai dari intrakranial dari area motorik korteks
serebri yang terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Saraf fasialis
mempunyai dua nukleus yaitu nukleus superior dan inferior. Nukleus superior
dipersarafi korteks motoris secara bilateral sedangkan nukleus inferior hanya disarafi
dari satu sisi. Kedua serabut nukleus berjalan mengitari nukleus saraf abdusen lalu
meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf vestibulo-koklearis dan intermedius
(Whrisberg) melewati sudut cerebelopontin kemudian masuk kedalam tulang temporal
melalui porus akustikus internus. Setelah berada didalam tulang temporal, saraf
fasialis akan berjalan dalam suatu saluran yang disebut kanal falopi yang kemudian
masuk ke os mastoid. Kemudian ia keluar dari tengkorak melalui foramen
stilomastoideus dan kemudian mempersarafi otot-otot wajah2,7
Saraf fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu6 :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (N.III), stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.

18
Gambar 1 dan 2. Saraf kanial ketujuh (Fasialis)8

Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot wajah,
stapedius ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus. Nervus fasialis
intermedius (Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang membawa saraf
aferen otonom dan eferen otonom. Aferen otonom mengantar impuls dari alat
pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar
melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan
kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom datang dari nucleus salivatorius

19
superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus ini
berpisah di ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke
glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan
terus ke kaudal dan menyertai korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion
submandibularis. Dari sana impuls berjalan ke glandula sublingualis dan
submandibularis yang akan merangsang salivasi.9 Nervus fasialis dibagi menjadi 6
segmen10:

1. Intrakranial: cabang frontalis dari nervus fasialis menginervasi traktur


kortikonuklear kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan batang otak,
serabut motorik melingkar di nucleus abdusen dan membentuk genu internal saraf.
Setelah melewati batang otak, nervus fasialis memasuki porus akustikus internus
dengan nervus vestibulokoklearis.
2. Intrameatal: bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki porus
akustikus internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior melalui
foramen meatal. Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga disana saraf-saraf
sering terperangkap karena proses inflamasi.
3. Labirin : setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal mayor, yang juga
merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis dan glandulua
mumosa nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di ganglion genikulatum
membentuk genu pertama.
4. Timpanik: segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga tengah.
Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis semisirkular. Segmen
timpanik dilapisi selunung tulang tipis.
5. Mastoid: di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu sekunder oleh aditus
ad antrum, membelok secara vertical kebawah membentuk sudut 90 derajat.
Kemudian menuju mastoid dan saluran bertulang ke foramen stilomastoid.
Sebelum meninggalkan foramen, nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang
berjalan kembali ke telinga tengah dan kemudian melewati foramen yang
mengandung serabut sensoris pengecapan.
6. Ekstrakranial: setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki glandula
parotis.

20
Gambar 3. Komponen serabut nervus fasialis10

3.2. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut.
Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai sisi wajah kanan.
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s
palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi,
wanita muda, yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki dengan
kelompok umur yang sama. Penyakit ini mengenai semua umur, namun lebih sering
terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca
persalinan, kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak
hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1

3.3.Etiologi
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di ganglion
genikulatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan kemungkinan
bisa menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Ganglion ini terletak di kanalis fasialis,
persimpangan segmen labirin dan timpani, dimana nervus fasialis berbelok ke foramen

21
stilomastoideus. Secara umum, Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada
beberapa teori yang mengatakan penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus,
iskemik dan herediter.3,11
1. Infeksi Virus
Banyak kemiripan antara Bell’s palsy dengan neuropati lainnya yang
disebabkan oleh virus. Polio, mumps, Epstein-Barr dan rubella mempunyai
manifestasi neuritik yang progresif.
Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya
Bell’s palsy selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring
orang yang terkena Bell’s palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di
ganglion sel sensoris dalam fase laten. Nervus fasialis yang mengandung saraf
sensoris terletak di ganglion genikulatum, dimana apabila terjadi infeksi di nervus
fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat mendasari terjadinya
Bell’s palsy.3
Virus herpes simplex yang bereplikasi di sel ganglion akan menimbulkan
kerusakan setempat dan menyebabkan hipofungsi pada saraf tersebut. Kemudian
hal ini dapat diteruskan ke axon yang dapat menyebabkan radikulitis. Virus ini
kemudian menginfeksi sel schwann yang menyebabkan terjadi inflamasi dan reaksi
imunologik. Infiltrasi limfositik akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi
pada mielin, demielinisasi dan kromatolisis. Ketika inflamasi dan reaksi
imunologik teratasi, maka terjadilah proses remielinisasi.12
2. Vaskular iskemik
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus
fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal),
arteri meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat
mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang
memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik primer, iskemik yang
disebabkan oleh kompresi nervus fasialis dikarenakan kekakuan kanal falopi
menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang disebabkan penebalan
sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri
stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila
disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949)

22
mengatakan bahwa iskemik sekunder merupakan kelanjutan dari iskemik primer.
Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler dengan peningkatan
permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang mengakibatkan
terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi
menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat
menimbulkan nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas,
namun beberapa teori mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah
yang meningkatkan permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan
menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier
merupakan kelanjutan dari proses iskemik sekunder, dimana penebalan sarung
fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang
akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12
3. Herediter
Variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya
kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya
kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik
dan infeksi virus. Iskemik primer yang terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder
dan tersier dan bisa menyebabkan terjadinya Bell’s palsy yang pemanen apabila
tidak segera diatasi.12

Gambar 4. Etiologi Bell’s Palsy12

23
3.4. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah
satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang
unik tersebut, adanya inflamasi, demielinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer.4,5

Gambar 5. Patofisiologi Bell’s Palsy

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.

24
Karena itu nervus fasialis bisa sembab,terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os. petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN
akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa
penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus
herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena
virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN.4,5,7

Gambar 6. Lesi LMN dan UMN pada N.VII

25
3.5. Manifestasi Klinis
Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam, nyeri
dibelakang telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini muncul secara
tiba-tiba atau akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah bangun tidur. Rata-rata
setengah dari kasus ini, kelumpuhan dirasakan hanya dalam 48 jam pertama, namun
kenyataannya seluruh kasus kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13

Gambar 7. Manifestasi klinis Bell’s palsy1

Manifestasi motorik13 :
1. Bell’s palsy biasanya mengalami kelemahan pada satu wajah. Kelemahan bersifat
luas, mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.
2. Alis turun
3. Ektropion pada kelopak bawah
4. Synkinesis
Manifestasi sensorik:
1. Gangguan mengecap
2. Nyeri dibelakang telinga
Manifestasi parasimpatik:
1. Penurunan produksi air mata
2. Hipersalivasi
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks,
kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak
masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam akan
tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata
tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati

26
rasa pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai
dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga
berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan
mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada
bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi
kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang letih,
Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitive
terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang, pembengkakan
wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang,
alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.13
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu,
pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong
terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu
penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas.
Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke
sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.13
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi
lesi14 :
1. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar
pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan
kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan
salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis
(N.VII) di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)

27
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
lesi di kanalis fasialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi di
kanalis fasialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan
konka.
5. Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
kanalis fasialis, lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih
tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus vagus (N.X).
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminal (N.V), nervus vagus (N.X), dan kadang-kadang juga
nervus abdusen (N.VI), nervus aksesorius (N.XI), dan nervus hipoglosal (N.XII).14

Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis dilakukan beberapa


pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes gustometri dan
tes salivasi.

Tes Schirmer
Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus dengan
menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukkan
kerusakan pada Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialisdi
proksimal ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menybabkan terjadinya
keratitis atau ulkus pada kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami
kelumpuhan.
Pemeriksaan Refleks Stapedius
Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf
fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes topografi saraf
fasialis lainnya. Pada pasien Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal
menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.
Tes Gustometri

28
Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan
menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin. Tes ini
sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan, korda timpani juga berperan pada
fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi dari duktus wharton’s dengan mengukur
produksi saliva dalam 5 menit.
Tes Salivasi
Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak berfungsi dengan
baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bell’s palsy sering terdapat kesenjangan
topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi
sedangkan refleks stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga
fungsi lakrimasi dan refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya
normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi
disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.

Blink Reflex
1. Blink reflex merupakan tehnik elektrofisiologi untuk mengevaluasi pasien dengan
keterlibatan nervus trigeminal dan fasialis, demielinisasi polineuropati dan lesi
sentral di batang otak.15
2. Sama dengan refleks cornea.
3. Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut motorik.
4. Stimulasi saraf supraorbital15 :
a. Pasien berbaring pada sebuah tempat tidur dengan mata tertutup.
b. Elektroda yang aktif diletakan dibagian lateral dari m. Orbikularis okuli atau
ditempelkan pada hidung dan dagu
c. Elekteroda dasar diletakkan dileher atau dahi
d. Respon dari refleks:
1) Komponen R1 Periodenya lebih dari 13 ms disebut abnormal. Perbedaan
antara sisi periodenya harus kurang dari 1,2 ms.
2) Komponen R2  Jika periode ipsilateral dan kontralateral lebih dari 14 ms
dikatakan tidak normal.

Respon dari R1 : Adanya ketiadaan atau perlambatan mengindikasikan adanya


gangguan dari nervus trigeminus atau fasialis.

29
Respon dari R2 : Keterlibatan dari R2 mengindikasikan tempat dari lesi ketika R1
abnormal. Lesi saraf trigeminus memiliki ciri adanya keterlambatan bilateral atau
kelemahan dari R2 ketika terjadi stimulasi dari sisi wajah yang terpengaruh. Lesi saraf
fasialis memiliki ciri adanya keterlambatan pada R2 pada sisi yang terkena, biarpun
adanya rangsangan dari sisi kiri atau kanan jika lesinya ada dikanan tetap kanan yang
terkena.15

Gambar 8. Respon blink normal15

Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari
kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah diusulkan tetapi semenjak
pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan. Pada
klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6 merupakan
kelumpuhan yang komplit.

Grade Penjelasan Karakteristik

I Normal Fungsi fasial normal

II Disfungsi Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada


ringan inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik

30
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika
melakukan pergerakan

III Disfungsi Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan


sedang antara kedua sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur
hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha
Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang
maksimum

IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas


sedang dan asimetri
berat
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna
Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi Wajah tampak asimetris


berat
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total Tidak ada pergerakkan


parese

Tabel 1. Klasifikasi House-Brackmann

3.6. Pemeriksaan Penunjang


Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

31
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat
(neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi
sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan
kontras saraf fasialis.15
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970-
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat
tindakan dekompresi elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih
baik dibandingkan elektroneurografi (ENOG). Selain itu pemeriksaan pada Bell’s palsy
dapat pula dilakukan pemeriksaan uji stimulasi maksimal.17
1. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respon reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan
sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau
yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat
terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak
bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi
merupakan suatu tanda positif yang menunjukan kepulihan sebagai serabut. Potensial
ini terlihat sebelum 21 hari.17
2. Elektroneuronografi
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih
distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat
reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dama sepuluh hari,
maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat penyembuhan tidak
lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu
mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.17
3. Uji stimulasi maksimal
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakan sonde ditekankan pada wajah di
daerah nervus fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 mA, atau
sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi dan

32
bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan
didaerah-daerah ini menunjukan suatu respon normal. Perbedaan respon yang kecil
antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu tanda
kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi kedutan pada sisi yang
lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari arus yang digunakan pada sisi yang
normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari 92% persen menderita Bell’s palsy
kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100
persen akan mengalami pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik
menganjurkan bahwa bntuk pengujian yang paling dapat diandalkan adalah uji
funsgi saraf secara langsung.17

3.7. Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese
dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata
dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.
Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat
LMN.7
1. Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang
disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.5,7,8
a. Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid. Nyeri
sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis muncul
dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
b. Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka.
Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan
terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
c. Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa, empat
per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat hanya
setengah bagian lidah yang terlibat.
d. Mata kering.

33
e. Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

2. Pemeriksaan fisik
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus
facialis tidak mengalami gangguan.5,7,8
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan gambaran
gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke
wajah bagian lateral.5
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.5,7
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan
dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,
frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.5,7
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya
normal.Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami
komplikasi.5,7,8

3. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat
dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes
atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini
biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.5,7,8
4. Pemeriksaan radiologi.

34
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose
Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-
pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10
minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan
mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor
(misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki
riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.5,7,8

3.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer . Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota
gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya. Sklerosis multipel bila disertai
kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma
sebelumnya.5,7,8
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif
dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid
menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli
perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster, sindroma Guillain-Barre
saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut. Kelainan miastenia gravis jika
terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan
otot orbikularis okuli bilateral, tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai
kelainan nervus kranialis V dan VIII, tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di
wajah (angulus mandibula) dansarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus,uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.5,7,8

35
3.9. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Agen antiviral
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh
karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan
farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10
hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan
berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.1
Nama obat Acyclovir (Zovirax)–menunjukkan aktivitas hambatan
langsung melawan HSV-1, HSV-2 dan sel yang terinfeksi
secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine


dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan
toksisitas acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum


pernah dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau menggunakan obat yang


bersifat nefrotoksik.

Tabel 1. Obat Bell’s palsy antiviral1

36
2. Kortikosteroid
Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan
suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai
keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti
lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang
lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera
dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/
kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya
untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.18

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek


farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,
yang menurunkan kompresi nervus fasialis di kanalis
fasialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,


jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;
penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit
gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat


menurunkan klirens prednisone; penggunaan dengan
digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis akibat
hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat
meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan
dosis pemeliharaan); monitor hipokalemia bila
pemberian bersama dengan obat diuretik.

37
Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat
memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba


dapat menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,
osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung,
hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia
gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat
muncul dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

Tabel 2. Obat Bell’s palsy kortikosteroid18

Non-medikamentosa
1. Perawatan mata
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga
pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing.
Atasi dengan pemberian air mata pengganti dan pelindung mata.18
a. Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti
air mata yang kurang atau tidak ada.
b. Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami
kontak langsung dengan kornea.18
2. Fisioterapi
Fisioterapi biasa dilakukan pada Bells palsy stadium akut atau bersamaan
dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan
radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama
10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari
otot dan sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Disamping itu dapat
dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.
3. Operatif
Terapi pembedahan seperti dekompresi saraf hanya dilakukan pada
kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurografi
menunjukan penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf ini

38
sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan dilakukan melalui
pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat
pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.
4. Konsul
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan
yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan
penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke
dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut18:
a. Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan
fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
b. Ahli oftalmologi: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran
yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk
pemeriksaan lanjutan.
c. Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya
dirujuk.
d. Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus fasialiskadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang
buruk setelah pemeriksaan nervus fasialis atau paralisis persisten cukup
baik untuk dilakukan pembedahan.18

3.10. Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang
tidak dapat diterima oleh pasien.19
1. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
a. Bagian terbesar dari nervus fasialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami
regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau
beberapa otot wajah tersebut.
b. Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air
mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
2. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

39
a. Dysgeusia (gangguan rasa).
b. Ageusia (hilang rasa).
c. Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan
stimulus normal).
3. Reinervasi aberan dari nervus fasialis.
a. Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus fasialis dimulai dengan
regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil
jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya.
Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak
normal.
b. Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan
menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan
volunter ini disebut synkinesis.

3.11. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah1:

1. Usia di atas 60 tahun.


2. Paralisis komplit.
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
4. Nyeri pada bagian belakang telinga.
5. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko
tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya
memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan
gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.20

40
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya
23% kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada
10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor
N. VII atau tumor kelenjar parotis.2

3.12. Rehabilitasi Medik


Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat handikap serta meningkatkan kemampuan penyandang
cacat mengenai integritas sosial.Tujuan rehabilitasi medik pada pasien Bell’s palsy
adalah memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fascialis dan
mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fascialis
sehingga pasien dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan
bersosialisasi dengan masyarakat.
1. Program fisioterapi
a. Pemanasan
i. Pemanasan superfisial dengan infra red
Adapun tujuan pemberian infra red pada kasus bell’s palsy adalah untuk
meningkatkan proses metabolisme, membuat vasodilatasi pembuluh
darah, dan memperbaiki jaringan otot. Penyinaran dengan sinar infra
merah diusahakan tegak lurus dengan daerah yang diobati dengan jarak
lampu antara 45 – 60 cm. Lama waktu penyinaran antara 10 – 30 menit /
disesuaikan dengan kondisi penyakitnya.
ii. Pemanasan profunda berupa Shortwave Diathermy
b. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah atau memperlambat terjasi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya, dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot redukasi dari aksi
otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah atau
merenggangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
2. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

41
Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan
kaca dengan konsentrasi penuh). Pemberian massage wajah pada kondisi
Bell’s Palsy bertujuan untuk mencegah terjadinya perlengketan jaringan
dengan cara memberikan penguluran pada jaringan yang superfisial yakni otot-
otot wajah
Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bell’s palsy diberi
gentle massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan
efekmengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus
otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan
gerakan volunter wajah. Deep Kneuding Massage memberikan efek mekanik
terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa
metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-
serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung
dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
3. Program Terapi Okupasi (Mirror Exercise)
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan yang
menggunakan cermin yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan –
gerakan pada wajah baik secara aktif maupun pasif. Pada dasarnya terapi ini
memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk
aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan
secara bertahap dan melihat kondisi penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
4. Program Sosial Medik
Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat
kerja, mungkin untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak
berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan

42
fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. selain itu memberikan
penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat
penting untuk kesembuhan penderita.
5. Program Psikologi
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol,
rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita
atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di
depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
6. Program Ortotik Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut
yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y”
plester dilakukan juka dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan zigomatikus
selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
7. Home Program
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.
b. Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari
sisi sehat.
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet.
d. Perawatan mata :
1) Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3 kali sehari.
2) Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari.
3) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

43
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. T, 55 tahun, perempuan, datang ke RSMH Palembang karena mengeluh


mulutnya mencong ke kanan.
Dari anamnesis didapatkan keluhan mulut mencong kekanan ketika berbicara atau
tersenyum sejak tiga hari yang lalu.Selain dimulut, OS merasa mata kiri jarang berkedip
sehingga terasa perih dan berair.Jika OS mengaca, pipi kiri terasa kendor, dan jika
mengerutkan dahi sisi sebelah kiri terlihat datar. Sensasi rasa pada lidah menurun, bila
minum air sering keluar dari sisi mulut sebelah kiri. Akhir-akhir ini OS mengaku sering
tidur di lantai dan menyalakan kipas angin karena kepanasan. Nyeri tidak ditemukan,
pendengaran normal sebelumnya belum pernah diperiksa ke dokter.
Pada hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan pada status generalis, namun
pemeriksaan neurologis terutama nervus cranialis didapatkan parese tipe perifer pada
nervus VII. Nervus fasialis,yang mempersarafi otot-otot wajah yaitu M.Orbicularis, M.
Buccalis, M. Zygomaticus, M. Temporalis dan M. Servikalis, mengalami kelumpuhan
sehingga pasien tidak bisa menggerakkan otot-otot wajah dengan sempurna. Pasien juga
mengalami hilang sensasi rasa pada lidah disebabkan percabangan nervus fasialis yaitu
chorda tympani juga menyarafi 2/3 bagian anterior lidah.
Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan motoric anggota gerak atas dan bawah
dengan nilai kekuatan motorik adalah 5. Refleks fisiologis tidak mengalami penurunan.
Pemeriksaan penunjang, seperti MRI, CT scan, mielografi, dan EMG jarum tidak
dilakukan.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan tersebut,
diagnosis Bell’s Palsy dapat ditegakkan. Berbeda dengan stroke, kelainan bell’s palsy
hanya terdapat di syaraf saja, sedangkan pada stroke terdapat kelemahan anggota
gerak.Untuk lokasi nervus fascialis yang terkena di bagian mana, berdasarkan pemeriksaan
fisik yang dilakukan kemungkinan yang terlibat adalah ramus ramus buccalis sinistra,
zygomaticus sinistra, ramus temporalis sinistra, dan ramus orbicularis sinistrakarena pada
pemeriksaan didapatkan mulut mencong ke kanan, pipi terasa kendor, dahi sebelah kiri
datar, lagophtalmus pada mata sebelah kiri.

44
Etiologi pada pasien ini disebabkan karena kompresi nervus fascialis akibat teori
dingin. Udara dingin dapat mengiritasi Nervus fasialis, dimana nervus ini terdapat di
dalam kanal-kanal fasialis. Udara dingin dapat menyebabkan edema nervus fasialis,
sehingga nervus ini tertekan oleh kanal-kanal yang sempit pada tulang tengkorak.
Terapi medikamentosa yang diberikan untuk mengurangi keluhan yang dirasakan
pada pasien adalah vitamin B kompleks 2 x 1 tab sehari dan methyl prednisolon 4mg 3 x 1
tab. Sedangkan untuk program rehabilitasi medik dilakukan masasse yang fungsinya untuk
memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan
tonus otot. Terapi okupasi juga dapat diberikan misalnya latihan berkumur-kumur, latihan
minum dengan menggunakan sedotan, meniup lilin, menutupkan mata dan mengerutkan
dahi di depan cermin. Latihan ini berguna untuk melatih gerakan pada otot wajah.
Pada pasien ini diberikan motivasi bahwa penyakit ini bisa sembuh jika diberi
latihan dan masasse terus-menerus. Pasien diedukasi untuk sementara waktu dapat bekerja
padabagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Tidak boleh tidur dilantai
dengan menyalakan kipas angin. Proteksi mata dianjurkan saat pasien mengalami
lagophtalmus untuk menghindari iritasi pada kornea. Pemberian obat tetes mata untuk
menjaga kelembaban mata, juga salep mata saat pasien tidur.
Diagnosis topis ditegakkan dari gambaran klinis dimana pada pasien ini didapatkan
gangguan pada otot ekspresi wajahdan gangguan perasa, namun tidak didapatkan
hiperakusis dan gangguan pendengaran. Namun didapatkan hipestesi sehingga topis pada
kasus ini bisa diperkirakan antara ganglion genikulatum dan foramen stylomastoideus.

45
DAFTAR PUSTAKA
1. Dalhar, M. danKurniawan, S.N. Pedoman Diagnosis dan Terapi Staf Medis
Fungsional Neurologi. Malang: RSUD Dr.Saiful Anwar/FKUB. 2010. Hal.175.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus fasialis
perifer. Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher.
7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.
3. Myers EN. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 2 nd ed. London:
Saunders; 2008.p.1257-69.
4. Finsterer J. Management of peripheral facial palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol
2008;265:743-52.
5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174.
6. May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR. editors.
The facial nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.
7. Duus, Peter, Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala,
cetakan pertama, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. Hal. 259.
8. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy diagnosis dan tatalaksana dilayanan primer. J
Indon Med Assoc. 2012:62;32-7.
9. Pereira C, Santos E, Monteiro J, Morais A, Santos CT . Peripheral F.ial Palsy:
Anatomy And Physiology. An Update. The Internet Journal of Neurosurgery. 2004.
10. Probs R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology A step-by-step learning
guide. New York: Thieme. p.290-2.
11. Tiemstra JD. Khatkhate N. Bells palsy: Diagnosis and management. Am Fam
Physician. 2007: 1;76(7):997-1002.
12. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-
45.
13. Herkovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Clinical
Practice. USA: Oxford University Press;2010.p.340-1.
14. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology-head and neck
surgery. 2nd edition. New York: McGraw-Hill. 2007.

46
15. Preston DC. Shapiro BE. Electromiography and neuromuscular disorder: Clinical
electrophysiologic correlations. London: Saunders; 2012.p.643.
16. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of
electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope.
2008;118:394-7.
17. Maisel R, Levine S. Gangguan saraf fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit
THT 6th ed. Jakarta: EGC, 1997.
18. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and antivirals
for Bell palsy: Report of the Guideline Development Subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology. Nov 7 2012. p. 14-16.
19. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Rugierro DA. Cranial nerves and
chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure
and function. 6th ed. New Jersey: Human press; 2005. p. 253.

20. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed.
George Thieme Verlag: German, 2003. p.98-99.

47

Anda mungkin juga menyukai