Anda di halaman 1dari 22

Telaah Ilmiah

RHABDOMYOSARCOMA

Oleh:
Jesslyn Juanti
04054821820123

Pembimbing
dr. H. Ibrahim, SpM(K)

DEPARTEMENILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Rhabdomyosarcoma

Oleh:
Jesslyn Juanti, S.Ked
04054821820123

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 04 Febuari s.d 11 Maret 2019

Palembang, Februari 2019


Pembimbing

dr. H. Ibrahim, SpM(K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan berkat-
Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Rhabdomyosarcoma” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H. Ibrahim, SpM(K) atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Februari 2019

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Orbita ................................................................... 3
2.2 Rhabdomyosarcoma ................................................................................ 14
2.3.1 Definisi .......................................................................................... 16
2.3.2 Epidemiologi ................................................................................. 18
2.3.3 Etiologi .......................................................................................... 17
2.3.4 Diagnosis ....................................................................................... 19
2.3.5 Diagnosis dan Manifestasi Klinis .................................................. 18
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 18
2.3.7 Diagnosis Banding......................................................................... 19
2.3.8 Tatalaksana .................................................................................... 19
2.3.9 Komplikasi .................................................................................... 19
2.3.10 Prognosis ....................................................................................... 20

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 22


DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

Rhabdomyosarkoma (RMS) merupakan keganasan primer orbita tersering yang


ditemukan pada anak-anak, di mana kejadiannya mencakup sekitar 4% dari seluruh kasus
keganasan pada anak-anak. Secara prinsip RMS merupakan suatu kanker ganas yang
berkembang dari sel-sel otot rangka (lurik) yang gagal untuk berdiferensiasi secara sempurna.
Biasanya tumor ini dideskripsikan sebagai suatu tumor anak-anak yang memiliki sel kecil,
bulat, dan biru, oleh karena gambaran histologisnya setelah dilakukan pewarnaan dengan
hematosiklin dan eosin. Sekalipun dikenal langka, RMS merupakan 40% dari seluruh tumor
ganas jaringan lunak.1
Horn dan Enterline pada pertengahan tahun 1900 pertama kali mengklasifikasikan
RMS secara histologis menjadi 4 kategori besar yaitu embryonal, alveolar, borytoid
embryonal dan pleomorphic, yang seterusnya tetap dipakai oleh peneliti lainnya. Secara
prognosis, varietas jenis pleomorfik merupakan jenis yang memiliki prognosis terbaik. Umur
rata-rata pasien saat datang berobat adalah 4-7 tahun. Hampir seluruh tumor terletak di rongga
retrobulbar, namun tumor juga dapat berasal dari berbagai tempat di orbita seperti konjungtiva
dan traktur uvea anterior. Mayoritas dari semua tumor terlokalisasi hanya pada orbita. Pada
bentuknya yang ganas, RMS mampu bertumbuh dengan cepat dan merusak jaringan lunak
serta tulang di sekitarnya. Penyebaran tumor di luar orbita berhubungan dengan prongosis
yang lebih buruk, terutama apabila terdapat erosi basis kranii. Walaupun pada awal masa
dikenalnya RMS hanya diobati dengan eksenterasi, pada kemudian hari berbagai studi mulai
menunjukkan radiasi, baik sendiri atau secar akombinasi dengan kemoterapi, bersifat lebih
efektif daripada eksenterasi untuk mengendalikan perjalanan penyakit atau memperbaiki
kesintasan jangka panjang. Angka insidensi tahunan rabdiomiosarkoma adalah sekitar 4.3
kasus per satu juta anak-anak, dengan orbita yang menjadi situs primer pada sekitar 10% dari
seluruh kejadian tumor ini. Di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan sebanyak 350
kasus baru RMS didiagnosis, di mana 35 di antaranya merupakan RMS orbita. Pada referat
kali ini, penulis akan membahas mengenai rhabdomyosarkoma orbita dari segi anatomi orbita,
definisi, hingga tatalaksana dan komplikasi. 1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Orbita

Orbita tersusun atas kavum orbita bilateral yang dibentuk oleh beberapa tulang yang
berisi bola mata, otot-otot ekstra okuler, apparatus lakrimalis, lapisan fascia, nervus, ganglion
siliaris, pembuluh darah dan vena, serta lemak orbita. Orbita berfungsi untuk melindungi,
menunjang dan memaksimalkan fungsi mata. Rongga orbita berbentuk menyerupai piramida
berdinding 4 dengan dasar pyramida menghadap kedepan dan berkonvergensi kearah
belakang menuju apeks dan kanalis optik. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak
paralel dan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medialnya
membentuk sudut 45 derajat dan menghasilkan sudut tegak lurus antara kedua dinding
lateral.3,4

Gambar 1 Anatomi penampang orbita

Dibagian Superior orbita terhubung dengan sinus frontalis, di inferior dengan sinus
maxillaris, di bagian medial dengan sinus sphenoidalis. Infeksi pada sinus-sinus ini dapat
dengan mudah menginfeksi isi orbita.Rongga orbita dibentuk oleh 7 tulang, yaitu :
1. Os. Frontal
2. Os. Sphenoidal
3. Os. Maxillaris
4. Os. Ethmoidalis
5. Os. Lacrimalis
6. Os. Zygomaticum
7. Os. Palatina

Gambar 2 Tulang pembentuk orbita

Rongga orbita memiliki volume + 30 cc, tinggi 35 mm, lebar 40 mm, kedalaman
orbita dari tepi terluar orbita sampai ke apeks bervariasi dari 40-45 mm, jarak dari bagian
posterior bola mata ke foramen optikum 18 mm, panjang saraf optik segmen orbita 25-30
mm. Namun ras maupun jenis kelamin mempengaruhi ukuran-ukuran ini. Dari 30 cc volume
rongga orbita, dan bola mata hanya menempati seperlimanya. Selebihnya diisi oleh jaringan
lemak dan otot ekstraokular.3,4

2.1.1 Tepi orbita


Tepi orbita berbentuk kuadrilateral dengan sudut - sudut yang membulat, terdiri atas tepi
superior, medial, inferior dan lateral yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Tepi superior
Tepi superior orbita dibentuk oleh os frontal, dua pertiga bagian lateral
permukaannya tajam, sedangkan sepertiga bagian medial membulat. Pada
persambungan dua daerah tersebut terdapat lekukaan kecil disebut supraorbital notch
atau foramen supra orbita.4
2. Tepi medial
Bagian atas tepi medial orbita di bentuk oleh prosesus maxilaris os frontal sedangkan
tepi medial bagian bawah dibentuk oleh krista lakrimalis posterior dari os lakrimal dan
krista lakrimalis anterior dari os maxilla.4
3. Tepi inferior
Tepi inferolateral tepinya agak tajam di bentuk oleh os zigomatikum dan di bagian
medial di bentuk oleh os maxilla.4
4. Tepi lateral
Merupakan bagian yang paling kuat dari tepi orbita. Dinding ini dibentuk oleh prosesus
frontal os zigomatikum di bagian bawah dan prosesus zigomatik os frontal dibagian
atas.4

2.1.2 Dinding orbita


1. Atap Orbita
Atap orbita dibentuk oleh komponen os frontal dan ala parva ossis
sphenoidalis. Pada atap orbita ini terdapat struktur yang penting, yakni fossa glandula
lakrimalis, terletak anterolateral dibelakang prosessus zygomaticus os frontal ,yang
berisi lobus orbitalis glandula lakrimal. Dimedialnya terdapat fossa trochlearis yang
terletak ± 4 mm dari tepi medial orbita 4

2.Dinding Lateral Orbita


Dinding ini merupakan bagian terkuat dari dinding orbita. Dibentuk oleh
tulang zygomaticus dan ala magna os sphenoidalis. Dipisahkan dengan sebagian kecil
atap orbita oleh fissura orbitalis. Pada dinding lateral ini terdapat tuberkulum orbital
lateralis dariWhitnall, penonjolan kecil tepi os zygomaticus, yang merupakan tempat
melekatnya struktur :4
- Ligamentum check m. rektus lateralis
- Ligamentum suspensorium
- Ligamentum palpebra lateralis
- Aponeurosis musculus levator
Gambar 3 Dinding lateral orbita

3. Dinding Medial Orbita


Dinding medial orbita dibentuk oleh 4 buah tulang :
- Prossesus frontal os maxilla
- Os Lakrimalis
- Pars Orbitalis os Ethmoidalis
- Ala parva os sphenoidalis

Gambar 4 Dinding medial orbita

Os ethmoidalis mengambil porsi terbesar dinding medial orbita. Fossa


lakrimalis dibentuk oleh prosessus frontalis os maxillaris dan os lakrimalis. Dinding
ini berbentuk segi empat dan memisahkan rongga orbita dari sinus ethmoidalis. Pars
orbital os ethmoid memiliki struktur yang setipis kertas yang disebut lamina payracea.
Prosessus frontal os maxilla dan os lakrimal membentuk fossa lakrimal yang
merupakan bagian anterior dari dinding medial. Di bagian bawah fossa lakrimal
melanjutkan diri menjadi kanalis nasolakrimalis dan berjalan menuju meatus nasi
inferior.4
4. Dasar Orbita
Dasar orbita dipisahkan dari dinding lateral orbita oleh fissura orbitalis
inferior dan merupakan atap dari sinus maxillaris. Dasar orbita menukik turun dari
posterior ke anterior kurang lebih 20o, dinding ini terbentuk dari 3 buah tulang :
- Os maxillaris
- Os palatina
- Pars orbita os zygomaticus

, Gambar 5 Dasar orbita


Muskulus oblikus inferior muncul dari dasar orbita tepat disebelah lateral dari pintu masuk
kanalis nasolakrimalis, muskulus ini merupakan satu-satunya otot ekstra okuler yang tidak
berorigo pada apex orbita.

2.1.3 apeks orbita


Apeks orbita merupakan port de entry untuk semua nervus dan vaskular pada mata
dan semua otot ekstraokular kecuali m. Obliqus inferior. Fissura orbitalis superior berada di
antara ala mayor dan ala minor os.sphenoid. 4
Sisi lateral fissura orbitalis superior (sisi luar annulus Zinni) dilewati oleh :
1. Vena Oftalmika Superior
2. N. Lakrimalis
3. N. Frontalis
Sisi medial fissura orbitalis superior (di dalam anulus zinni) dilewati oleh :
1. N. Okulomotor
2. N.Abdusen
3. N. Nasosiliaris
N. Optikus dan a. Oftalmika berjalan melewati kanalis Optikus, yang kemudian
berakhir di annulus Zinni. V. Oftalmika Inferior berjalan melewati seluruh bagian fissura
Orbitalis Superior, termasuk bagian yang berbatasan dengan korpus os.Sphenoidalis,
kemudian berakhir di inferomedial annulus Zinni. V.Oftalmika inferior kadang-kadang
bergabung dengan V.Oftalmika Superior sebelum meningalkan orbita.4

2.1.4 Otot-otot ekstraokuler


Otot- otot ekstra okuler berperan dalam pergerakan bola mata serta proses
sinkronisasi, terdapat empat buah otot rektus dan dua buah otot obliquus pada masing- masing
mata; Dari enam buah otot ekstraokuler, lima buah otot berorigo pada pada apex orbita, satu
otot lagi yakni m. obliquus inferior berorigo didasar orbita. Otot- otot ekstraokular ini
berjalan keanterior menuju insersinya pada bola mata. Pada segmen anterior orbita, otot-otot
rektus dihubungkan oleh membran yang disebut septum intermuscular . 3,4

2.1.5 Jaringan lemak periorbita


Jaringan lemak pembungkus orbita dibagi dua oleh septum intermusculer menjadi
lapisan lemak intraconal dan lapisan lemak extraconal. Lapisan lemak intraconal dan
extraconal ini disebut juga central surgical space dan peripheral surgical space.3,4

2.1.6 Inervasi Orbita


Persyarafan orbita terdiri atas syaraf motorik sensorik dan otonomik. Syaraf motorik
terdiri atas n. oculomotorius, n. trochlearis dan n. abdusen yang menginervasi otot-otot
ekstraokuler. Syaraf sensorik berasal dari divisi oftalmik dan divisi maxilla n. trigeminal.
Divisi optalmik mempunyai 3 cabang utama yaitu n. frontal, n. lakrimal, n. nasosiliar. Cabang
frontal dan lakrimal menginervasi kantus medial (cabang supratrochlear), palpebra superior
(cabang lakrimal dan supra trochlear), kulit kepala (cabang supra trochlear), sedangkan
cabang nasosiliar menginervasi mata melalui cabang-cabang siliar untuk menginervasi iris,
kornea dan m. siliar. Dari divisi maxilaris menginervasi kulit. Sistem persyarafan autonomik
terdiri atas syaraf simpatetik yang menginervasi pembuluh-pembuluh darah okuler dan m.
dilator iris, dan syaraf parasimpatetik yang menginervasi spingter iris dan glandula lakrimalis.
3,4
Rhabdomyosarcoma
2.2 Definisi
Rhabdomiosarkoma merupakan neoplasma ganas yang terbentuk dari sel-sel dengan
gambaran histolgi otot lurik dengan berbagai variasi embriogenesis otot. Rhabdomyoscaroma
adalah jenis tumor ganas yang memiliki asal jaringan mesenkim yang pluripoten.
Rhabdomyoscaroma merupakan keganasan jaringan lunak kepala dan leher paling sering pada
anak-anak, dain ditemukan pada 4% dari seluruh keganasan anak-anak, dan 10% di antaranya
terjadi di daerah orbita. Hampir semua tumor muncul pada dekade pertama kehidupan. Akan
tetapi, kejadiannya terus dilaporkan dengan rentang umur dari lahir hingga dekade ke
delapan.5

2.3 Epidemiologi
Secara umum, tumor ini dapat dikatakan memiliki insidensi yang relatif rendah
dibanding keseluruhan jenis tumor orbita. Insidensi rabdomiosarkoma yakni sekitar 4,3 kasus
per satu juta kasus yang lebih banyak terjadi pada anak-anak.Sekitar 250-300 kasus baru
rabdomiosarkoma didiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat.Untuk rabdomiosarkoma
orbital secara spesifik memiliki angka kejadian sekitar 35 kasus baru setiap tahunnya.
Rabdomiosarkoma merupakan keganasan pada anak dengan persentase sekitar 5% dari
keseluruhan keganasan pada anak dan 20% dari bentuk keganasan di jaringan lunak yang
terjadi pada anak.Usia rata-rata anak yang mengalami rabdomiosarkoma yakni 8 hingga 10
tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yakni 5:3.Pada sebuah studi yang
mempelajari tren kejadian dan angka kesintasan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
angka kejadian 1.16% di setiap tahunnya dan secara statistik tidak terdapat perubahan angka
kesintasan 5 tahun yang bermakna dalam 30 tahun terakhir, sekalipun terdapat kemajuan
dalam hal modalitas terapi. 5,6

2.4 Etiologi
Etiologi rabdomiosarkoma masih belum diketahui. Namun, diduga tumor ini berasal
dari mesenkim embrional yang sama dengan otot lurik. Meskipun rabdomiosarkoma mulanya
diakui berasal dari otot ekstraokuler, namun saat ini dinyatakan berasal dari sel mesenkimal
yang belum berdiferensiasi tetapi memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi otot lurik.
Hal ini menjadi dicurigai karena secara teori dapat menjelaskan mengapa dapat timbul
rabdomyosarkoma di tempat di mana tidak terdapat sel otot lurik seperti konjungtiva dan
traktus uvea. Rhabomyosarkoma dicurigai terdapat komponen genetik di dalam penyebabnya
karena seringnya ditemukan rhabdomyosarcoma pada sindroma familial tertentu seperti Li-
Fraumeni familial cancer syndrome (mutasi p53), neurofibromatosis, Noonan, Beckwith-
Wiedeman, dan Costello syndrome. Terdapat beberapa laporan yang menyebutkan pada
literatur di mana rabdiomiosarkoma sering timbul sebagai tumor sekunder setelah terapi
radiasi untuk retinoblastoma atau karsinoma sel skuamosa di kelopak mata. 5,7

2.5 Diagnosis
Diagnosis rabdomiosarkoma ditentukan berdasarkan hal-hal berikut ini.
1. Manifestasi klinis
Karakteristik utama rabdomiosarkoma yakni onset yang cepat dan progresi proptosis
dan dislokasi bola mata. Rabdomiosarkoma dapat berasal dari sinus etmoidales atau
cavum nasal dan meluas ke orbita menyebabkan simptom inisial berupa sinusitis, kongesti
nasal, epistaksis, dan diikuti dengan proptosis orbita.Namun, secara umum simptom
rabdomiosarkoma orbita meliputi proptosis (80-100%), displacement bola mata (80%),
blepharoptosis (30-50%), edema konjungtiva dan palpebra (60%), massa dapat dipalpasi
(25%), dan nyeri (10%).Penurunan visus terjadi pada fase lanjut dan mengindikasikan
tumor tersebut semakin progresif. Displacement bola mata biasa terjadi ke arah bawah
dan luar karena 2/3 dari seluruh tumor terletak di daerah superonasal.5,6,8
Meskipun rabdomiosarkoma dapat terjadi di manapun jaringan lunak orbita atau
adneksa, umumnya tumor ini akan melibatkan kuadran supero-medial orbita. Pada
beberapa kasus, tumor ini dapat muncul di bagian inferior orbita, palpebra, bahkan di
konjungtiva. Namun, neoplasma ini tidak muncul di otot ekstraokuler. Semakin besar
ukuran tumor tersebut, maka besar kemungkinan untuk terjadi edema diskus optikus dan
dilatasi vena retina. Apabila diagnosis dan tata laksana rabdomiosarkoma terlambat, maka
proptosis dapat memburuk secara progresif bahkan menyebabkan dekstruksi total mata
dan isi bola mata.3,7
Rabdomiosarkoma orbita dapat menyebar secara terlokalisir melalui os etmoidales
menuju ke sinus atau cavum nasal. Rabdomiosarkoma orbital juga dapat menggerus
tulang orbita dan masuk ke dalam rongga intrakranial. Metastasis jauh rabdomiosarkoma
orbita biasanya terjadi melalui penyebaran hematogenik misalnya ke paru-paru dan nodus
limfatik servikalis serta metastasis ke tulang meskipun jarang terjadi.Penyebaran
cenderung terjadi secara hematogenik dibandingkan limfogenik karena jaringan limfatik
yang ada di orbita cenderung sedikit. 5,7
Gambar 8 Rhabdomyosarkoma orbita

2. Pemeriksaan oftalmologis
Exopthalmometri Hertl menunjukkan adanya proptosis dan lesi hipoglobus yang
lebih sering terjadi di daerah kuadran supranasal. Motilitas ekstraokular abnormal dan
ptosis juga sering terjadi. Tumor yang terletak anterior (konjungtiva atau jaringan
palpebra) akan memperlihatkan adanya edema palpebra, eritema, dan kemosis. Tanda-
tanda tersebut sering terlihat seperti gejala pada infeksi orbita.5,7
Pada pemeriksaan slit lamp, ditemukan adanya kemosis konjungtiva, hiperemis, dan
ada tanda paparan keratokonjungtivitis. Selain itu, pada pemeriksaan funduskopi dapat
ditemukan adanya lipatan koroid atau edema diskus optikus dengan lesi orbita posterior.
Rabdomiosarkoma orbita dapat timbul sekunder akibat penyebaran lokal dari sinus,
meningens, atau jaringan lunak sekitar kepala dan leher.5,,9

3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil
yang normal. Hal inilah yang dapat membedakan rabdomiosarkoma dengan kemungkinan
diagnostik lain seperti selulitis orbita akut dan leukimia yang akan menunjukkan
leukositosis. Rontgen toraks dan bone survey perlu dilakukan untuk mengeksklusi
kemungkinan metastasis sistemik akibat rabdomiosarkoma. Untuk itu, dapat pula
dilakukan pemeriksaan penunjang lain berupa rontgen orbita, USG, CT scan, dan
MRI.Rabdomiosarkoma orbita biasanya terletak ekstrakonal (37-87%) atau baik intra dan
ekstrakonal (13-47%) dan lebih sering terletak di lokasi superonasal terutama pada
Rabdomiosarkoma embrional (lokasi inferior lebih sering pada rabdomiosarkoma
alveolar). Massa biasanya terletak terdekat di dekat otot-otot ekstraokular, namun tidak
terdapat pembesaran dari massa otot itu sendiri. Pada awal stadium tumor masih berbatas
tegas, namun pada stadium yang lebih lanjut, di mana terdapat invasi pseudokapsular,
batasnya menjadi tidak tegas. Tumor dapat menunjukkan gambaran perdarahan atau
pembentukan kista. Dapat ditemukan deformitas tulang pada pencitraan, namun kerusakan
tulang yang amat jelas dengan keterlibatan tulang bersifat jarang, dan akan cenderung
mengubah arah diagnosis menjadi rabdomiosarkoma parameningeal.8,9
Pada rontgen akan tampak gambaran radioopak di jaringan lunak mata yang
A
terkadang disertai dengan erosi tulang. Pada CT scan dan USG orbita akan ditentukan
pula ukuran lesi dan luas lesi. Doppler ultrasonography juga dapat membedakan antara
rabdomiosarkoma dan hemangioma kapiler dengan ciri hemangioma berupa vaskularisasi
nyata dengan aliran yang tinggi.Gambaran yang cukup karakteristik untuk
rabdomiosarkoma pada pemeriksaan USG adalah gambaran pseudokistik, yang paling
mungkin disebabkan oleh keberadaan sel spindle yang memiliki banyak sitoplasma dan
hanya dipisahkan secara longgar oleh cairan edema.5,8,9
CT dan MRI bersifat penting untuk evaluasi pre-operasi, staging, dan untuk follow-
up rhabdomyosarcoma orbita. CT penting untuk menilai keterlibatan komponen tulang
dan MRI penting untuk resolusi spasial yang lebih baik, kontras jaringan lunak, dan
deteksi penyebaran intrakranial. CT dan MRI bersifat saling melengkapi dalam usaha
tatalaksana dan follow-up. CT scan menunjukkan gambaran massa jaringan lunak
homogen yang berbatas tegas, isodens dengan tulang, serta tanpa kerusakan tulang pada
fase awal penyakit. Namun, pada fase lanjut penyakit, dapat ditemui kerusakan tulang di
sekitar, dan gambaran yang heterogen akibat perdarahan fokal atau nekrosis.7,10

Gambar 9 Korelasi klinis rhabdomyosarkoma dan pencitraan


Selanjutnya, pada MRI akan terlihat gambaran massa ireguler mulai dari yang
homogen hingga heterogen yang terlihat hipointens terhadap lemak orbita pada T1-
weighted images, dan hiperintens terhadap lemak orbita dan otot ekstraokular pada T2-
weighted images. Peningkatan sinyal pada T1 dan T2 ditemukan pada area fokal yang
mengalami perdarahan kronik. 5,8
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan histologi dengan
menggunakan light microscopy dan mikroskop elektron. Empat varian histopatologi
ytama dari rabdomiosarkoma yakni embrional, alveolar, botrioid, dan pleomorfik. Dari
keempat tipe tersebut, tipe embrional merupakan varian yang paling utama dari
rabdmiosarkoma. Tipe alveolar dan botrioid merupakan tipe yang jarang ditemukan
bahkan tipe pleomorfik lebih jarang terjadi. Menurut International Classification of
Rhabdomyosarcoma, pembagian subtipe tersebut dibagi menjadi kategori dengan
prognosis baik dan buruk. Kategori prognosis baik meliputi tipe botrioid dan varian sel
embrional sedangkan tipe alveolar dan anaplastik difusa termasuk dalam kategori
prognosis yang buruk.5,8
Dalam merencanakan terapi yang tepat, perlu pula dilakukan biopsi. Hal ini
dilakukan sesuai dengan lokasi tumor yang telah diketahui berdasarkan pemeriksaan
sebelumnya. Biopsi insisi dilakukan dengan pendekatan transkonjungtiva atau
transkutaneus anterior meskipun eksisi makroskopik memungkinkan untuk tumor yang
masih kecil dengan batas yang nyata. Beberapa ahli memilih untuk melakukan biopsi
insisional saja seiring dengan respons rabdomiosarkoma yang bagus terhadap kemoterapi
dan radiasi tanpa memandang jumlah jaringan yang dieksisi.5,8
Jika massa dapat dipalpasi di palpebra, maka dapat dilakukan insisi horizontal dari
lapisan kulit palpebra. Jika massa ditemukan pada bagian ekuator bola mata, maka
dilakukan pendekatan operasi konjungtiva. Kemudian, apabila lokasi tumor tersebut
berada di posterior orbita, maka dilakukan orbitotomi superior. Secara patologi,
rhabdomyosarkoma awalnya dipercaya berasal dari jaringan otot ekstraokular, akan tetapi,
saat ini tumor tersebut dicurigai berasal dari sel mesenkimal pluripoten yang memiliki
kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel otot rangka. Rhabdomiosarkoma dibagi
menjadi 3 subgrup histologis: pleomorfik, embryonal, dan alveolar; dengan tipe
embryonal yang paling banyak dan tipe pleomorfik muncul hampir hanya pada orang
dewasa. Terdapat satu varian lagi yaitu Botyroid yang dapat dimasukkan dalam kategori
rabdomiosarkoma embrional. 5,8
Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS) membuat klasifikasi laboratories dan
pembedahan rabdomiosarkoma yaitu sebagai berikut.7,9
1. Kelompok I : Penyakit hanya lokal, limfonodi regional tidak ikut terlibat, dapat
direseksi komplit
a. Terbatas pada otot atau organ asli
b. Infiltrasi keluar otot atau organ asli
2. Kelompok II :
a. Tumor dapat direseksi secara luas dengan sisa mikroskopis (limfonodi negatif)
b. Penyakit regional, dapat direseksi komplit (limfonodi positif atau negatif)
c. Penyakit regional dengan melibatkan limfonodi dapat direseksi secara luas tetapi
dengan sisa mikroskopis
3. Kelompok III : reseksi tidak komplit atau hanya dengan biopsy dengan penyakit
sisa cukup besar
4. Kelompok IV : telah ada metastasis saatditegakkan diagnosis

Staging TNM rabdomiosarkoma yakni sebagai berikut.


1. Tumor :
 T0 : tidakteraba tumor
 T1 : tumor <5 cm
 T2 : tumor >5cm
 T3 : tumor telah melakukan invasi ketulang, pembuluh darah dan saraf
2. Nodul :
 No : tidak ditemukan keterlibatan kelenjar regional
 N1 : ditemukan keterlibatan kelenjar regional
3. Metastasis :
 Mo : tidak terdapat metastasis jauh
 M1 : terdapat metastasis jauh
Rhabdomyosarcoma Staging System
1. Stage 1: lokasi pada orbita, kepala, dan atau leher (bukan parameningeal) meluas ke
traktus urinarius (bukan kandung kemih atau prostat)
2. Stage 2 : lokasilain, No atauNx
3. Stage 3 : lokasilain, N1 jika tumor <5 cm atau No atau Nx jika tumor >5 cm
4. Stage 4 : lokasi apapun dan terdapat metastasis jauh
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding rabdomiosarkoma didasarkan pada proptosis yang menjadi salah
satu manifestasi utamanya. Proptosis sendiri didapatkan pada keadaan seperti berikut.10,11
1. Oftalmopati Graves, dapat terjadi proptosis unilateral maupun bilateral. Proptosis
yang disebabkan oleh penyakit tiroid biasanya disertai dengan retraksi kelopak
mata, yang membedakannya dengan proptosis penyebab lain. Lagopthalmus terjadi
akibat proptosis dan retraksi palpebra, dan pajanan kornea dapat menjadi salah satu
komplikasinya. Pada oftalmopati Graves dapat ditemukan adanya keterlibatan otot
ekstraokular dalam bentuk fibrotik maupun pembesaran masif.
2. Pseudotumor, biasanya proptosis unilateral. Pada beberapa kasus, ditemukan
adanya vaskulitis yang terkait dengan lokasi peradangan biasanya difus dan tidak
dapat dieksisi. Awitannya juga cepat dan ditandai dengan adanya nyeri.
3. Selulitis orbita, memiliki ciri proptosis nonaksial yang juga menandakan adanya
abses orbita. Baik infeksi pada preseptal maupun orbita, keduanya menyebabkan
edema, eritema, hiperemia, nyeri, leukositosis. Kemosis, proptosis, pembatasan
gerakan mata, dan penurunan visus menunjukkan adanya keterlibatan orbita bagian
dalam.

2.7 Tata Laksana


Rabdomiosarkoma orbita merupakan tumor dengan angka mortalitas yang cukup
tinggi. Eksenterasi orbita merupakan terapi pilihan namun belum dijadikan terapi utama
oleh banyak dokter karena tingginya kesalahan akibat luas area yang perlu dilakukan
operasi. Oleh sebab itu, radioterapi dan kemoterapi lebih sering dilakukan. Radioterapi
orbita terdiri dari 5.000 hingga 6.000 cGy yang diberikan dengan dosis terbagi dalam 5
sampai 6 minggu. Umumnya, pasien diterapi dengan 200 cGy 5 hari dalam seminggu.
Sekitar 5.000 cGy diberikan secara anterior melalui portal bulat berukuran 5 cm dan
1.000 cGy diberikan secara lateral melalui portal bulat berukuran 4 cm. Selain itu,
diberikan pelindung atau pelapis yang tepat untuk mencegah kerusakan struktur normal
khususnya pada mata normal sebelahnya.5,8
Berikut ini penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi tumor.10
1. Tumor primer
a. Tumor yang resektabel
Diberikan terapi kombinasi yaitu pembedahan dan radioterapi atau kemoterapi.
Apabila ditujukan untuk mencegah mikrometastasis, maka dilakukan
pembedahan,radiasi, dan kemoterapi.
b. Tumor yang inoperable : radiasi + kemoterapi
2. Tumor yang rekuren
Pembedahan yang tidak adekuat dan manipulasi tumor pada saat pembedahan
merupakan penyebab timbulnya rekuren lokal. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah evaluasi kembali derajat keganasan dengan melakukan biopsy
insisional dan evaluasi ekstensi tumor dalam mempertimbangkan re-eksisi tumor
untuk tujuan kuratif.
Tatalaksana dari penyakit sendiri meliputi pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.
Semua pilihan terapi ini akan ditentukan berdasarkan dari stadium/pengelompokkan dari
rhabdomyosarkoma itu sendiri:
 Kelompok I ditatalaksana hanya dengan agen kemoterapi (VA: vinkrisitin dan
aktinomisin)
 Kelompok II diterapi dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (VAC:
vinkristin, aktinomisin dan siklofosfamid) dan radioterapi (36 Gy)
 Kelompok III diterapi dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (VAC:
vinkristin, aktinomisin dan siklofosfamid) dan radioterapi (45 Gy)
 Kelompok IV diterapi dengan kombinasi kemoterapi intensif dan radioterapi

2.8 Prognosis
Prognosis tergantung dari ukuran, lokasi, kedalaman tumor, derajat keganasan, dan sel
nekrosis.Tumor tipe embrional merupakan jenis rabdomiosarkoma yang paling sering
ditemukan. Dalam hal prognosis, rabdomiosarkoma tipe alveolar memiliki prognosis yang
lebih buruk dan agresif. Sebaliknya, varian pleomorfik memiliki prognosis paling baik.
Sekitar 90% pasien yang diberikan radioterapi lokal dan kemoterapi adjuvan sebagai terapi
utamanya prognosis baik meskipun reseksi lokal dari residu tumor (atau eksenterasi orbita)
mungkin diperlukan pada beberapa kasus. Kesintasan relatif (relative survival) lebih
bergantung pada derajat keluasan penyakit dibandingkan dengan keberadaan situs primer dari
tumor dan telah diketahui bahwa kebanyakan dari rhabdomyosarkoma orbita (60.6%)
memiliki gambaran klinis yang terlokalisir, dan derajat kesintasan 5 tahun sebesar 84.3%,
yang sebenarnya lebih bagus dibandingkan dengan rhabdomyoscarkoma yang terjadi di
tempat lain di kepala dan leher. Faktor lain yang juga memperbaiki prognosis kesintasan
adalah usia yang lebih muda (<10 tahun), jenis kelamin perempuan, dan histologi
embrional.5,8

2.9 Komplikasi
Efek samping jangka panjang dari radioterapi orbita yakni katarak, mata kering
dengan pembentukan scar sekunder di kornea, kehilangan lapisan penunjang kulit seperti
rambut dan alis mata, dan atrofi lemak orbita. Pada bayi, terapi tersebut dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan tulang orbita. Rencana tindak lanjut radiologis dengan MRI secara
spesifik akan dilakukan dengan interval 3 bulan dengan frekuensi yang makin menurun
sampai 5 tahun setelah tatalaksana. Pada awalnya, pemeriksaan mata harus dilakukan setiap
3-4 bulan, dan setelah setahun pertama setiap 4-6 bulan untuk beberapa tahun, dan setelahnya
dilakukan per tahun. Agen kemoterapi seperti siklofosfamid paling sering berhubungan
dengan keratokonjungtivitis sika dan blefarokonjungtivitis, serta pada kadar yang lebih
jarang, berhubungan dengan kejadian stenosis duktus lakrimalis dan katarak. Ifosfamide dapat
berhubungan dengan pandangan kabur dan konjungtivitis. Doksorubisin berhubungan dengna
kejadian mauklopati akut reversibel. Efek negatif tidak hanya disebabkan oleh mekanisme
farmakodinamik dari agen terapeutik, namun juga akibat efek lokal dari radiasi terhadap
jaringan lunak orbita dan bola mata, seperti injeksi konjungtiva, katarak, keratitis epitellial
punktata, hipoplasia tulang orbitofasial, dan enoftalmos akibat atrofi lemak orbita sekunder.
10,11
KESIMPULAN

Rhabdomyosarkoma (RMS) merupakan keganasan primer orbita tersering yang


ditemukan pada anak-anak. Secara prinsip RMS merupakan suatu kanker ganas yang
berkembang dari sel-sel otot rangka (lurik) yang gagal untuk berdiferensiasi secara sempurna.
Horn dan Enterline pada pertengahan tahun 1900 pertama kali mengklasifikasikan RMS
secara histologis menjadi 4 kategori besar yaitu embryonal, alveolar, borytoid embryonal dan
pleomorphic. Secara umum, tumor ini dapat dikatakan memiliki insidensi yang relatif rendah
dibanding keseluruhan jenis tumor orbita. Insidensi rabdomiosarkoma yakni sekitar 4,3 kasus
per satu juta kasus yang lebih banyak terjadi pada anak-anak. Etiologi rabdomiosarkoma
masih belum diketahui. Namun, diduga tumor ini berasal dari mesenkim embrional yang sama
dengan otot lurik. Meskipun rabdomiosarkoma mulanya diakui berasal dari otot ekstraokuler,
namun saat ini dinyatakan berasal dari sel mesenkimal yang belum berdiferensiasi tetapi
memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi otot lurik. Karakteristik utama
rabdomiosarkoma yakni onset yang cepat dan progresi proptosis dan dislokasi bola mata.
Rabdomiosarkoma dapat berasal dari sinus etmoidales atau cavum nasal dan meluas ke orbita
menyebabkan simptom inisial berupa sinusitis, kongesti nasal, epistaksis, dan diikuti dengan
proptosis orbita. Tatalaksana RMS orbita bergantung pada stadium dari penyakit itu sendiri.
Prognosis tergantung dari ukuran, lokasi, kedalaman tumor, derajat keganasan, dan sel
nekrosis.Tumor tipe embrional merupakan jenis rabdomiosarkoma yang paling sering
ditemukan. Dalam hal prognosis, rabdomiosarkoma tipe alveolar memiliki prognosis yang
lebih buruk dan agresif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arndt, C. A. S., & Crist, W. M. (1999). Common Musculoskeletal Tumors of


Childhood and Adolescence. New England Journal of Medicine, 341(5), 342–352.
doi:10.1056/nejm199907293410507
2. Das, J. K., Tiwary, B. K., Paul, S. B., Bhattacharjee, H., Cida, B., & Das, D. (2010).
Primary orbital rhabdomyosarcoma with skeletal muscle metastasis. Oman journal of
ophthalmology, 3(2), 91-3.
3. Vaughan, D., Asbury, T. 2017. Vaughan & Asbury's general ophthalmology. New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.
4. Moore, K. L., Dalley, A. F., & Agur, A. M. R. (2018). Clinically Oriented Anatomy
(8th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
5. American Academy of Ophtalmology. 2014. Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.
Italy: American Academy of Ophtalmology Publisher.
6. Yanoff, M., Duker, J. S., & Augsburger, J. J. 2013. Ophthalmology. Edinburgh:
Mosby Elsevier.
7. Jurdy, L., Merks, J. H., Pieters, B. R., Mourits, M. P., Kloos, R. J., Strackee, S. D., &
Saeed, P. (2013). Orbital rhabdomyosarcomas: A review. Saudi journal of
ophthalmology : official journal of the Saudi Ophthalmological Society, 27(3), 167-
75.
8. Shields JA, Shields CL. Rhabdomyosarcoma: review for the ophthalmologist. Surv
Ophthalmol.2003;48:39–57
9. Shields CL, Shields JA, Honavar SG, Demirci H: Clinical spectrum of primary
ophthalmic rhabdomyosarcoma. Ophthalmology 108:2284-92, 2001
10. Lanzkowsky P. Rhabdomyosarcoma and other soft tissue sarcomas. In: Lanzkowsky
P, ed. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 3rd ed. New York, NY:
Academic Press, 2000:527-53.
11. Kaliaperumal S, Tiroumal S, Rao V A. Orbital rhabdomyosarcoma: A case series.
Indian J Cancer 2007;44:104-7

Anda mungkin juga menyukai