RHABDOMYOSARCOMA
Oleh:
Jesslyn Juanti
04054821820123
Pembimbing
dr. H. Ibrahim, SpM(K)
Oleh:
Jesslyn Juanti, S.Ked
04054821820123
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 04 Febuari s.d 11 Maret 2019
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan berkat-
Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Rhabdomyosarcoma” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H. Ibrahim, SpM(K) atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Orbita ................................................................... 3
2.2 Rhabdomyosarcoma ................................................................................ 14
2.3.1 Definisi .......................................................................................... 16
2.3.2 Epidemiologi ................................................................................. 18
2.3.3 Etiologi .......................................................................................... 17
2.3.4 Diagnosis ....................................................................................... 19
2.3.5 Diagnosis dan Manifestasi Klinis .................................................. 18
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 18
2.3.7 Diagnosis Banding......................................................................... 19
2.3.8 Tatalaksana .................................................................................... 19
2.3.9 Komplikasi .................................................................................... 19
2.3.10 Prognosis ....................................................................................... 20
Orbita tersusun atas kavum orbita bilateral yang dibentuk oleh beberapa tulang yang
berisi bola mata, otot-otot ekstra okuler, apparatus lakrimalis, lapisan fascia, nervus, ganglion
siliaris, pembuluh darah dan vena, serta lemak orbita. Orbita berfungsi untuk melindungi,
menunjang dan memaksimalkan fungsi mata. Rongga orbita berbentuk menyerupai piramida
berdinding 4 dengan dasar pyramida menghadap kedepan dan berkonvergensi kearah
belakang menuju apeks dan kanalis optik. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak
paralel dan dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medialnya
membentuk sudut 45 derajat dan menghasilkan sudut tegak lurus antara kedua dinding
lateral.3,4
Dibagian Superior orbita terhubung dengan sinus frontalis, di inferior dengan sinus
maxillaris, di bagian medial dengan sinus sphenoidalis. Infeksi pada sinus-sinus ini dapat
dengan mudah menginfeksi isi orbita.Rongga orbita dibentuk oleh 7 tulang, yaitu :
1. Os. Frontal
2. Os. Sphenoidal
3. Os. Maxillaris
4. Os. Ethmoidalis
5. Os. Lacrimalis
6. Os. Zygomaticum
7. Os. Palatina
Rongga orbita memiliki volume + 30 cc, tinggi 35 mm, lebar 40 mm, kedalaman
orbita dari tepi terluar orbita sampai ke apeks bervariasi dari 40-45 mm, jarak dari bagian
posterior bola mata ke foramen optikum 18 mm, panjang saraf optik segmen orbita 25-30
mm. Namun ras maupun jenis kelamin mempengaruhi ukuran-ukuran ini. Dari 30 cc volume
rongga orbita, dan bola mata hanya menempati seperlimanya. Selebihnya diisi oleh jaringan
lemak dan otot ekstraokular.3,4
2.3 Epidemiologi
Secara umum, tumor ini dapat dikatakan memiliki insidensi yang relatif rendah
dibanding keseluruhan jenis tumor orbita. Insidensi rabdomiosarkoma yakni sekitar 4,3 kasus
per satu juta kasus yang lebih banyak terjadi pada anak-anak.Sekitar 250-300 kasus baru
rabdomiosarkoma didiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat.Untuk rabdomiosarkoma
orbital secara spesifik memiliki angka kejadian sekitar 35 kasus baru setiap tahunnya.
Rabdomiosarkoma merupakan keganasan pada anak dengan persentase sekitar 5% dari
keseluruhan keganasan pada anak dan 20% dari bentuk keganasan di jaringan lunak yang
terjadi pada anak.Usia rata-rata anak yang mengalami rabdomiosarkoma yakni 8 hingga 10
tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yakni 5:3.Pada sebuah studi yang
mempelajari tren kejadian dan angka kesintasan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
angka kejadian 1.16% di setiap tahunnya dan secara statistik tidak terdapat perubahan angka
kesintasan 5 tahun yang bermakna dalam 30 tahun terakhir, sekalipun terdapat kemajuan
dalam hal modalitas terapi. 5,6
2.4 Etiologi
Etiologi rabdomiosarkoma masih belum diketahui. Namun, diduga tumor ini berasal
dari mesenkim embrional yang sama dengan otot lurik. Meskipun rabdomiosarkoma mulanya
diakui berasal dari otot ekstraokuler, namun saat ini dinyatakan berasal dari sel mesenkimal
yang belum berdiferensiasi tetapi memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi otot lurik.
Hal ini menjadi dicurigai karena secara teori dapat menjelaskan mengapa dapat timbul
rabdomyosarkoma di tempat di mana tidak terdapat sel otot lurik seperti konjungtiva dan
traktus uvea. Rhabomyosarkoma dicurigai terdapat komponen genetik di dalam penyebabnya
karena seringnya ditemukan rhabdomyosarcoma pada sindroma familial tertentu seperti Li-
Fraumeni familial cancer syndrome (mutasi p53), neurofibromatosis, Noonan, Beckwith-
Wiedeman, dan Costello syndrome. Terdapat beberapa laporan yang menyebutkan pada
literatur di mana rabdiomiosarkoma sering timbul sebagai tumor sekunder setelah terapi
radiasi untuk retinoblastoma atau karsinoma sel skuamosa di kelopak mata. 5,7
2.5 Diagnosis
Diagnosis rabdomiosarkoma ditentukan berdasarkan hal-hal berikut ini.
1. Manifestasi klinis
Karakteristik utama rabdomiosarkoma yakni onset yang cepat dan progresi proptosis
dan dislokasi bola mata. Rabdomiosarkoma dapat berasal dari sinus etmoidales atau
cavum nasal dan meluas ke orbita menyebabkan simptom inisial berupa sinusitis, kongesti
nasal, epistaksis, dan diikuti dengan proptosis orbita.Namun, secara umum simptom
rabdomiosarkoma orbita meliputi proptosis (80-100%), displacement bola mata (80%),
blepharoptosis (30-50%), edema konjungtiva dan palpebra (60%), massa dapat dipalpasi
(25%), dan nyeri (10%).Penurunan visus terjadi pada fase lanjut dan mengindikasikan
tumor tersebut semakin progresif. Displacement bola mata biasa terjadi ke arah bawah
dan luar karena 2/3 dari seluruh tumor terletak di daerah superonasal.5,6,8
Meskipun rabdomiosarkoma dapat terjadi di manapun jaringan lunak orbita atau
adneksa, umumnya tumor ini akan melibatkan kuadran supero-medial orbita. Pada
beberapa kasus, tumor ini dapat muncul di bagian inferior orbita, palpebra, bahkan di
konjungtiva. Namun, neoplasma ini tidak muncul di otot ekstraokuler. Semakin besar
ukuran tumor tersebut, maka besar kemungkinan untuk terjadi edema diskus optikus dan
dilatasi vena retina. Apabila diagnosis dan tata laksana rabdomiosarkoma terlambat, maka
proptosis dapat memburuk secara progresif bahkan menyebabkan dekstruksi total mata
dan isi bola mata.3,7
Rabdomiosarkoma orbita dapat menyebar secara terlokalisir melalui os etmoidales
menuju ke sinus atau cavum nasal. Rabdomiosarkoma orbital juga dapat menggerus
tulang orbita dan masuk ke dalam rongga intrakranial. Metastasis jauh rabdomiosarkoma
orbita biasanya terjadi melalui penyebaran hematogenik misalnya ke paru-paru dan nodus
limfatik servikalis serta metastasis ke tulang meskipun jarang terjadi.Penyebaran
cenderung terjadi secara hematogenik dibandingkan limfogenik karena jaringan limfatik
yang ada di orbita cenderung sedikit. 5,7
Gambar 8 Rhabdomyosarkoma orbita
2. Pemeriksaan oftalmologis
Exopthalmometri Hertl menunjukkan adanya proptosis dan lesi hipoglobus yang
lebih sering terjadi di daerah kuadran supranasal. Motilitas ekstraokular abnormal dan
ptosis juga sering terjadi. Tumor yang terletak anterior (konjungtiva atau jaringan
palpebra) akan memperlihatkan adanya edema palpebra, eritema, dan kemosis. Tanda-
tanda tersebut sering terlihat seperti gejala pada infeksi orbita.5,7
Pada pemeriksaan slit lamp, ditemukan adanya kemosis konjungtiva, hiperemis, dan
ada tanda paparan keratokonjungtivitis. Selain itu, pada pemeriksaan funduskopi dapat
ditemukan adanya lipatan koroid atau edema diskus optikus dengan lesi orbita posterior.
Rabdomiosarkoma orbita dapat timbul sekunder akibat penyebaran lokal dari sinus,
meningens, atau jaringan lunak sekitar kepala dan leher.5,,9
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil
yang normal. Hal inilah yang dapat membedakan rabdomiosarkoma dengan kemungkinan
diagnostik lain seperti selulitis orbita akut dan leukimia yang akan menunjukkan
leukositosis. Rontgen toraks dan bone survey perlu dilakukan untuk mengeksklusi
kemungkinan metastasis sistemik akibat rabdomiosarkoma. Untuk itu, dapat pula
dilakukan pemeriksaan penunjang lain berupa rontgen orbita, USG, CT scan, dan
MRI.Rabdomiosarkoma orbita biasanya terletak ekstrakonal (37-87%) atau baik intra dan
ekstrakonal (13-47%) dan lebih sering terletak di lokasi superonasal terutama pada
Rabdomiosarkoma embrional (lokasi inferior lebih sering pada rabdomiosarkoma
alveolar). Massa biasanya terletak terdekat di dekat otot-otot ekstraokular, namun tidak
terdapat pembesaran dari massa otot itu sendiri. Pada awal stadium tumor masih berbatas
tegas, namun pada stadium yang lebih lanjut, di mana terdapat invasi pseudokapsular,
batasnya menjadi tidak tegas. Tumor dapat menunjukkan gambaran perdarahan atau
pembentukan kista. Dapat ditemukan deformitas tulang pada pencitraan, namun kerusakan
tulang yang amat jelas dengan keterlibatan tulang bersifat jarang, dan akan cenderung
mengubah arah diagnosis menjadi rabdomiosarkoma parameningeal.8,9
Pada rontgen akan tampak gambaran radioopak di jaringan lunak mata yang
A
terkadang disertai dengan erosi tulang. Pada CT scan dan USG orbita akan ditentukan
pula ukuran lesi dan luas lesi. Doppler ultrasonography juga dapat membedakan antara
rabdomiosarkoma dan hemangioma kapiler dengan ciri hemangioma berupa vaskularisasi
nyata dengan aliran yang tinggi.Gambaran yang cukup karakteristik untuk
rabdomiosarkoma pada pemeriksaan USG adalah gambaran pseudokistik, yang paling
mungkin disebabkan oleh keberadaan sel spindle yang memiliki banyak sitoplasma dan
hanya dipisahkan secara longgar oleh cairan edema.5,8,9
CT dan MRI bersifat penting untuk evaluasi pre-operasi, staging, dan untuk follow-
up rhabdomyosarcoma orbita. CT penting untuk menilai keterlibatan komponen tulang
dan MRI penting untuk resolusi spasial yang lebih baik, kontras jaringan lunak, dan
deteksi penyebaran intrakranial. CT dan MRI bersifat saling melengkapi dalam usaha
tatalaksana dan follow-up. CT scan menunjukkan gambaran massa jaringan lunak
homogen yang berbatas tegas, isodens dengan tulang, serta tanpa kerusakan tulang pada
fase awal penyakit. Namun, pada fase lanjut penyakit, dapat ditemui kerusakan tulang di
sekitar, dan gambaran yang heterogen akibat perdarahan fokal atau nekrosis.7,10
2.8 Prognosis
Prognosis tergantung dari ukuran, lokasi, kedalaman tumor, derajat keganasan, dan sel
nekrosis.Tumor tipe embrional merupakan jenis rabdomiosarkoma yang paling sering
ditemukan. Dalam hal prognosis, rabdomiosarkoma tipe alveolar memiliki prognosis yang
lebih buruk dan agresif. Sebaliknya, varian pleomorfik memiliki prognosis paling baik.
Sekitar 90% pasien yang diberikan radioterapi lokal dan kemoterapi adjuvan sebagai terapi
utamanya prognosis baik meskipun reseksi lokal dari residu tumor (atau eksenterasi orbita)
mungkin diperlukan pada beberapa kasus. Kesintasan relatif (relative survival) lebih
bergantung pada derajat keluasan penyakit dibandingkan dengan keberadaan situs primer dari
tumor dan telah diketahui bahwa kebanyakan dari rhabdomyosarkoma orbita (60.6%)
memiliki gambaran klinis yang terlokalisir, dan derajat kesintasan 5 tahun sebesar 84.3%,
yang sebenarnya lebih bagus dibandingkan dengan rhabdomyoscarkoma yang terjadi di
tempat lain di kepala dan leher. Faktor lain yang juga memperbaiki prognosis kesintasan
adalah usia yang lebih muda (<10 tahun), jenis kelamin perempuan, dan histologi
embrional.5,8
2.9 Komplikasi
Efek samping jangka panjang dari radioterapi orbita yakni katarak, mata kering
dengan pembentukan scar sekunder di kornea, kehilangan lapisan penunjang kulit seperti
rambut dan alis mata, dan atrofi lemak orbita. Pada bayi, terapi tersebut dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan tulang orbita. Rencana tindak lanjut radiologis dengan MRI secara
spesifik akan dilakukan dengan interval 3 bulan dengan frekuensi yang makin menurun
sampai 5 tahun setelah tatalaksana. Pada awalnya, pemeriksaan mata harus dilakukan setiap
3-4 bulan, dan setelah setahun pertama setiap 4-6 bulan untuk beberapa tahun, dan setelahnya
dilakukan per tahun. Agen kemoterapi seperti siklofosfamid paling sering berhubungan
dengan keratokonjungtivitis sika dan blefarokonjungtivitis, serta pada kadar yang lebih
jarang, berhubungan dengan kejadian stenosis duktus lakrimalis dan katarak. Ifosfamide dapat
berhubungan dengan pandangan kabur dan konjungtivitis. Doksorubisin berhubungan dengna
kejadian mauklopati akut reversibel. Efek negatif tidak hanya disebabkan oleh mekanisme
farmakodinamik dari agen terapeutik, namun juga akibat efek lokal dari radiasi terhadap
jaringan lunak orbita dan bola mata, seperti injeksi konjungtiva, katarak, keratitis epitellial
punktata, hipoplasia tulang orbitofasial, dan enoftalmos akibat atrofi lemak orbita sekunder.
10,11
KESIMPULAN