Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 37 TAHUN DENGAN ANEMIA BERAT


DEFISIENSI BESI DAN CAP CURB 65 (0)

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Penyakit


Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
PATWI PURNAMASARI
22010117220180

Pembimbing :
dr. Budi Setiawan, Sp.PD, K-HOM

Residen Pembimbing :
dr. Selamet Hidayat

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : PATWI PURNAMASARI

NIM : 22010117220180

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP

Judul Kasus Besar : Seorang Wanita 37 Tahun dengan Anemia Berat

Defisiensi Besi dan CAP CURB 65 (0)

Pembimbing : dr. Budi Setiawan, SpPD, K-HOM

Residen Pembimbing : dr. Selamet Hidayat

Semarang, 1 April 2019


Residen Pembimbing, Pembimbing,

dr. Selamet Hidayat dr. Budi Setiawan, Sp.PD, K-HOM

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga Laporan Kasus Besar “Seorang
Wanita 37 Tahun dengan Anemia Berat Defisiensi Besi dan CAP CURB 65 (0)”
ini dapat penulis selesaikan.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
 dr. Budi Setiawan, Sp.PD, K-HOM selaku pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga
 dr. Selamet Hidayat, selaku residen pembimbing yang telah
memberikan masukan, petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan
tugas ini
 Pasien Ny. SM dan keluarga, atas keramahan dan keterbukaannya
dalam kegiatan penyusunan laporan
 Keluarga dan Teman-teman Co-Ass dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Semarang, 12 Maret 2019


Penulis,

Patwi Purnamasari

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................i
KATA PENGANTAR ...................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS
1.1. Identitas Penderita...........................................................................4
1.2. Data Dasar.......................................................................................4
1.3. Data Objektif...................................................................................6
1.4 Pemeriksaan Penunjang...................................................................9
1.5. Daftar Abnormalitas........................................................................13
1.6. Dafttar Masalah...............................................................................14
1.7. Rencana Pemecahan Masalah .........................................................14
1.8. Catatan Kemajuan ...........................................................................15
BAB II. PEMBAHASAN...............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................36

3
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS
Nama : Ny. SM
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 37 tahun
Alamat : Ngaliyan, Semarang
Tanggal lahir : 10/02/1982
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMTA
Pekerjaan : Buruh
Ruang : Rajawali 4B
MasukRS : 19/02/1019
No. CM : C739622
Status : JKN PBI

1.2. DATA DASAR


ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 20 Februari 2019
pukul 16.00 di Ruang Rajawali 4B.
Keluhan Utama : Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh lemas.
Lemas dirasakan di seluruh tubuh, terus menerus dan semakin lama
semakin memberat. Saat ini pasien hanya bisa melakukan aktivitas ringan.
Keluhan diperberat dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat.
Lemas disertai dengan pusing (+), berdebar-debar (+), pandangan
berkunang-kunang (+), sesak nafas (+) dan pucat (+). Pasien tidak
mengeluhkan adanya demam. Batuk (+) sejak ± 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Batuk dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin
memberat. Batuk disertai dengan dahak kental bewarna kuning, tidak ada

4
darah, tidak berbau busuk, dan berjumlah sedikit. Batuk memberat saat
malam hari dan saat pasien beraktivitas. Batuk disertai dengan muntah dan
sering membuat pasien terbangun di malam hari. Pasien sudah beberapa
kali membeli obat pereda batuk di warung, namun batuk tidak membaik.
Penurunan BB disangkal, keringat malam hari disangkal. Pasien mengaku
nafsu makannya baik. Mimisan (-), gusi berdarah (-), mual (-), muntah (-),
nyeri ulu hati (-). BAK merah (-). BAB merah (-), BAB hitam (-),
perdarahan dari jalan lahir (-).

4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien memeriksakan dirinya ke


Puskesmas, diperiksa Hb didapatkan hasil Hb 4, 4 g/dL. Pasien kemudian
dirujuk ke RS Medika, Ngaliyan. Karena kurangnya fasilitas di RS Medika
Ngaliyan, pasien kemudian langsung dirujuk lagi ke RSDK.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat kelainan darah dan keganasan (-)
- Riwayat transfusi berulang (-)
- Riwayat pengobatan TB (-)
- Riwayat sakit ginjal (-)
- Riwayat darah tinggi (-)
- Riwayat kencing manis (-)
- Riwayat sakit jantung (-)
- Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat anggota keluarga memiliki penyakit kelainan darah dan
keganasan (-)
- Riwayat keluarga melakukan transfusi berulang (-)
- Riwayat anggota keluarga pengobatan TB (-)
- Riwayat anggota keluarga dengan kencing manis (-)
- Riwayat anggota keluarga dengan darah tinggi (-)

5
Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien dan suami pasien bekerja sebagai tukang ojek. Pengobatan di
Rumah Sakit dengan BPJS JKNPBI. Pasien memiliki 2 anak belum mandiri.
Kesan sosial ekonomi pasien kurang.

1.3. DATA OBJEKTIF


PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 20 Februari 2019 di Ruang
Rajwali 4B pukul 13.00 WIB.
Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 = 15
Keadaan umum : Tampak lemah, pucat dan sesak
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 96x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 37,3oC
SpO2 : 99% dengan bantuan O2 3 lpm.
BB : 52 kg TB : 155 cm BMI : 21,64 (normoweight)
Kepala : Mesosefal, rambut mudah rontok (-), turgor dahi
cukup
Wajah : Pucat (+), Facies cooley (-)
Kulit : Turgor kulit cukup, ikterik (-), ptekie (-).
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+),sklera ikterik(-/-)
Telinga : Discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), discharge (-/-), epistaksis
(-)
Mulut : Bibir pucat (+), cheilitis (-), bibir sianosis (-),
atrofi papil lidah (-), perdarahan gusi (-), stomatitis
(-), hipertrofi gingiva (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-1, faring hiperemis (-).

6
Leher : Trakea di tengah, JVP R ± 0 cm, pembesaran KGB
colli, pembesaran KGB suprasternal (-).
Thoraks : Simetris, retraksi suprasternal (-), retraksi
epigastrial (-), retraksi intercostal (-)
Paru Bagian Depan
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus paru kiri turun setinggi SIC III-IV
Perkusi : redup setinggi SIC III-IV paru kanan dan kiri
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+)
setinggi SIC III-IV paru kanan dan kiri,
wheezing (-/-)
Paru Bagian Belakang
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus paru kiri turun setinggi Th V-VI
Perkusi : redup setinggi Th V-VI paru kanan dan kiri
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+)
setinggi Th V-VI paru kanan dan kiri,
wheezing (-/-),
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS,
kuat angkat(-), thrill(-), sternal lift(-), pulsasi
epigastrial (-)
Perkusi : Batas atas SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan SIC V linea parasternalis dekstra
Batas kiri SIC VI 2 cm lateral LMCS
Auskultasi : BJ I-II murni, regular, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

7
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area
traube timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Pucat +/+ +/+
Petekie -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Koilonikia -/- -/-
Capillary Refill Time <2”/<2” <2”/<2”

8
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Parameter Hasil Nilai Normal Keterangan


HEMATOLOGI (20 Februari 2019)
Hemoglobin 3,34 12,0-15,0 g/dL L
Hematokrit 11,8 35 -47 % L
Eritrosit 2,28 4,4-5,9 juta/mmk L
MCH 14,7 27,0-32,0 pg L
MCV 52,0 76-96 fL L
MCHC 28,2 29,0-36,0 g/dL L
Leukosit 6,01 3,8-10,6 ribu/mmk
Trombosit 450 150-400 ribu/mmk H
RDW 21,9 11,6-14,8 % H
MPV 5,42 4,00-11,0 fL
Retikulosit 3,76 0,5-1,5% H
HITUNG JENIS + GAMBARAN DARAH TEPI
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 1-3%
Basofil 0 0-2%
Batang 0 2-5%
Segmen 77 47-80%
Limfosit 16 20-40%
Monosit 2 2-10%
Lain-lain Metamielosit: 2%
Mielosit: 2%
Eritrosit berinti:
1/100 leukosit
GAMBARAN DARAH TEPI
Eritrosit Sebaran eritrosit longgar
Anisositosis sedang (mikrosit, normosit, makrosit)
Poikilositosis sedang (ovalosit, pencil cell, eliptosit, pear shape
cell,tear drop cell)
Polikromasi +
Eritrosit muda +
Trombosit Estimasi jumlah meningkat
Didominasi bentuk normal, bentuk besar +, giant +
Leukosit Estimasi jumlah lekosit normal, limfosit atypical +
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 92 80-160 mg/dL
SGOT 22 15-34 U/L

9
SGPT 15 15-60 U/L
Albumin 3,9 3,4-5 g/dl
Ureum 19 15-39 mg/dL
Kreatinin 0,8 0,6-1,3 mg/dL
Elektrolit
Natrium 140 136-145 mmol/L
Kalium 4,4 3,5-5,1 mmol/L
Chlorida 110 98-107 mmol/L H
KOAGULASI
Plasma Prothrombin Time (PPT)
Waktu prothrombin 10,9 9,4-11,3 detik
PPT kontrol 11 detik
Partial Thromboplastin Time (PPTK)
Waktu
22,6 27,7-40,2 detik L
tromboplastin
APPT kontrol 31,6 detik

10
Pemeriksaan EKG (19/02/2019)

Tabel 2. Pembacaan hasil EKG

PEMERIKSAAN HASIL
Irama Sinus
Frekuensi 110x/menit
Axis Normoaxis
Gelombang P P Pulmonal (-); P mitral (-)
PR interval 0,16 detik
QRS complex 0,02 detik
Q patologis -
ST Elevasi (-), ST depresi (-), NSST-T changes di lead
Segmen ST
II, III, aVF
Gelombang T T Inverted (-), Tall peak t (-)
Sinus takikardi dengan NSST-T change di lead II,
Kesan
III, aVF

Pemeriksaan Radiologi X Foto Thorax PA (20/02/2019)

11
Kesan:
 Kardiomegali (LV)
 Gambaran bronchopneumonia

12
1.5. DAFTAR ABNORMALITAS
1. Lemas
2. Batuk berdahak
3. Takipnea
4. Konjungtiva palpebra pucat (+/+)
5. Bibir pucat (+)
6. Ekstremitas superior dan inferior pucat (+/+)
7. Stem fremitus paru kiri turun setinggi SIC III-IV
8. Perkusi redup setinggi SIC III-IV paru kanan dan kiri
9. Ronki basah kasar (+/+) setinggi SIC III-IV paru kanan dan kiri,
10. Hemoglobin : 3,34
11. Hematokrit : 11,8
12. Eritrosit : 2,28
13. Retikulosit : 3,76
14. MCH : 14,7
15. MCV : 52,0
16. Trombosit: 450ribu
17. RDW : 21,9
18. Gambaran darah tepi eritrosit : Sebaran eritrosit longgar, anisositosis
sedang (mikrosit, normosit, makrosit), poikilositosis sedang (ovalosit,
pencil cell, eliptosit, pear shape cell,tear drop cell), polikromasi (+),
eritrosit muda (+)
19. Gambaran darah tepi trombosit: estimasi jumlah meningkat,
didominasi bentuk normal, bentuk besar (+), giant (+)
20. Gambaran darah tepi leukosit : limfosit atypical (+)
21. Pemeriksaan EKG : sinus takikardi dengan NSST-T change
22. Foto thorax : kardiomegali
23. Foto thorax: gambaran bronchopneumonia

13
ANALISIS SINTETIS
1, 4, 5, 6, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22 Anemia berat
mikrositik hipokromik
2, 3, 7, 8, 9, 14, 23  CAP CURB 65 (0)

1.6. DAFTAR MASALAH


Tabel 3. Daftar Masalah
Masalah Non
No Masalah Aktif Tgl No Tgl
Aktif

Anemia berat mikrositik 20/2/201


1
hipokromik 9

Community acquired 20/2/201


2
Pneumonia CURB 65 (0) 9

1.7. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


Problem 1. Anemia berat mikrositik hipokromik
Assessment : Anemia defisiensi besi
Anemia penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Thalasemia
IPDx : Fe serum, Ferritin, TIBC
IPRx : - Infus NaCl 0.9% 20 tpm
- Diet biasa 1700 kkal/hari
- Transfusi PRC 4 kolf, 1 kolf/12 jam→ premed 1 amp
difenhidramin. Target Hb : >10 g/dL
IP Mx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, tanda dan gejala reaksi
transfusi, cek darah rutin post transfusi
IP Ex :
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien mengalami kekurangan
darah sehingga perlu mendapatkan transfusi darah.

14
- Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan transfusi beserta
resikonya. Apabila muncul reaksi-reaksi seperti gatal atau demam
pasien diminta untuk melapor.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan darah untuk menegakan diagnosis pasti penyakit pasien.

Problem 2. CAP CURB 65 (0)


Assessment : Infeksi TB
Pneumonia banal
IPDx : Cek sputum BTA, gram, jamur, kultur sputum
IPRx : - Inj. Ampicilin sulbactam 1,5 gram/ 8 jam
- N-acetil sistein 200 gram/ 8 jam
IP Mx : Keadaan umum dan tanda-tanda vital, keluhan batuk,
sesak
IP Ex :
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien saat ini mengalami infeksi
paru
- Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan dahak
untuk mengetahui penyebab infeksi, pasien diminta untuk
menampung dahaknya dan diletakkan pada tabung yang telah
disediakan.
- Menjelaskan kepada pasien untuk mengenakan masker apabila batuk
untuk mencegah penularan penyakit.

1.8. CATATAN KEMAJUAN


Tanggal 21 Februari 2019
1. Anemia berat mikrositik hipokromik
S: lemas (+), mudah lelah, perdarahan (-), sesak (+)
O: Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 = 15
Keadaan Umum : Tampak lemas, pucat
TD : 110/80 mmHg

15
HR : 80x/menit
RR : 28 x/menit
T : 36,8oC
Hasil Lab :
Parameter Hasil Nilai normal Keterangan
Fe serum 7 50-175 µg/dL L

Ferritin 6,31 20-250 µg/dL L


TIBC 317 250-450 µg/dL

E: - Hasil lab menunjukkan penurunan nilai Fe serum dan feritin


sementara nilai TIBC normal. Hasil ini sesuai dengan gambaran
anemia defisiensi besi  1. Anemia berat defisiensi besi.
P: IpDx: Cek feses rutin dan benzidine test
IpRx: - Infus NaCl 0.9% 20 tpm
- Diet biasa 1700 kkal/hari
- Transfusi PRC 1 kolf/12 jam→ premed 1 amp
difenhidramin
- Fero sulfat 3x100 mg
- Vitamin C 3x100 mg
IpMx: Keadaan umum, tanda vital, cek darah rutin post transfusi
IpEx:
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyebab kurang darah
pasien yaitu kekurangan zat besi, oleh karena itu pasien
akan diberikan suplementasi zat besi.
- Menjelaskan kepada pasien untuk mengonsumsi makanan
kaya zat besi seperti daging merah, daging ayam, ikan, hati
ayam, kacang merah dan kacang hijau serta mengonsumsi
sayur dan buah-buahan yang kaya vitamin C
- Menjelaskan kepada pasien bahwa transfusi darah akan
dilanjutkan hingga kadar Hb mencapai target  10 g/dL

2. CAP CURB 65 (0)

16
S: Batuk (+) berkurang, sesak (+)
O: Keadaan Umum: Tampak lemas, pucat
TD : 110/80 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 28 x/menit
T : 36,8oC
Hasil lab : Pewarnaan gram sputum : diplokokus gram positif
(+), kuman bentuk batang gram negative (+),
streptococcus (+).
Pewarnaan jamur: yeast cell (-)
Pemeriksaan BTA: (-)
E: Hasil pemeriksaan gram sputum  curiga pneumonia bakterial
P: IpDx : Cek sputum BTA ke 2, kultur sputum (tunggu hasil)
IpRx :
- Oksigen nasal kanul 3 lpm
- Inj Ampisillin sulbactam 1,5g/8 jam IV (H: 3)
- N-asetilsistein 200 mg/8 jam
IpMx : Keadaan umum, tanda vital, keluhan batuk, sesak
IpEx :
- Menjelaskan kepada pasien untuk mengenakan masker saat
batuk untuk pencegahan penularan penyakit
- Menjelaskan kepada pasien mengenai pemeriksaan lanjutan
yang akan dilakukan yaitu pemeriksaan dahak yang ke 2.

Tanggal 25 Februari 2019


1. Anemia berat defisiensi besi
S: Lemas (+) berkurang
O: Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 = 15
Keadaan Umum: Baik
TD : 110/70 mmHg
HR : 88x/menit

17
RR : 18 x/menit
T : 36,8oC
Hasil Lab : (post transfuse 5 kolf)
 Hb : 11,3
 Ht : 37,2
 Leukosit : 9400
 Trombosit : 491.000 (H)
Hasil pemeriksaan feses rutin: tidak ditemukan telur cacing
Benzidine test : (-)
E: - Hasil lab post transfusi PRC 5 kolf didapatkan peningkatan nilai
Hb  Anemia ringan defisiensi besi
- Nilai Hb telah mencapai target >10 g/dL
- Hasil pemeriksaan feses rutin menunjukkan anemia bukan
disebabkan oleh infeksi cacing
- Hasil pemeriksaan benzidine test menunjukkan tidak terdapat
occult bleeding
P: IpDx: -
IpRx: - Infus NaCl 0,9% 20 tpm  aff
- Diet biasa 1700 kkal/hari
IpMx: Keadaan umum, tanda vital
IpEx:
- Menjelaskan kepada pasien bahwa kondisi pasien sudah
membaik. Pasien sudah diperbolehkan pulang
- Menjelaskan kepada pasien untuk tetap mengonsumsi
makanan yang kaya zat besi dan vitamin C

3. CAP CURB 65 (0)


S: Batuk (-), sesak (-)
O: Keadaan Umum: Baik
TD : 110/70 mmHg
HR : 88x/menit

18
RR : 18 x/menit
T : 36,8oC
Hasil Lab : BTA (-)
Hasil kultur sputum: hasil kultur merupakann flora
normal saluran napas atas.
E: Hasil lab 2x pemeriksaan BTA didapatkan hasil negatif 
penyebab batuk bukan TB dan hasil pembiakan sputum didapatkan
flora normal, kemungkinan akibat kontaminasi sampel
P: IpDx : -
IpRx :
- Inj Ampisillin sulbactam 1,5g/8 jam IV (H:7)  stop
- N-asetilsistein 200 mg/8 jam
IpMx : Keadaan umum, tanda vital, saturasi oksigen
IpEx : Menjelaskan kepada pasien infeksi paru pasien saat ini
sudah membaik. Pasien diperbolehkan pulang dan
diminta untuk rutin memeriksakan diri ke poli.

19
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anemia
Seorang wanita 37 tahun datang dengan keluhan lemas yang semakin hari
semakin memberat sehingga membuat pasien tidak dapat beraktivitas seperti
biasanya. Lemas disertai dengan pusing, berdebar-debar dan pandangan
berkunang-kunang. Dari anamnesis yang dilakukan pada pasien, terdapat keluhan-
keluhan yang mengarah kepada gejala umum anemia. Gejala umum anemia
disebut juga sindrom anemia yang terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
pusing, mata berkunang-kunang, serta pada pemeriksaan fisik pasien tampak
pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan
jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia timbul karena iskemia organ target serta
akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini menjadi jelas pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin
sampai kadar <7 g/dl1.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai kurangnya massa eritrosit
untuk menyampaikan oksigen ke jaringan perifer dengan adekuat. Untuk tujuan
praktis, salah satu dari tiga pengukuran konsentrasi yang dilakukan pada darah
lengkap dapat digunakan untuk menetapkan adanya anemia: konsentrasi
hemoglobin (Hb), biasanya dinyatakan sebagai gram Hb per desiliter (g / dl) di
Amerika Serikat dan sebagai gram per liter di Eropa; hematokrit mewakili
proporsi volume darah yang diwakili oleh eritrosit, dinyatakan dalam persen atau
sebagai desimal; dan konsentrasi eritrosit dalam sel per mikroliter (106 / ml) di
Amerika Serikat atau per liter (1012 / L) oleh terminologi internasional.2
Pemeriksaan penunjang darah rutin pada tanggal 20 Februari 2019 pada
pasien ini juga mendukung temuan-temuan adanya anemia, yaitu didapatkan
hemoglobin 3,34 gr/dL (↓) dan hematokrit 11.8 % (↓). Nilai rujukan kadar
hemoglobin untuk mendiagnosis anemia pada orang dewasa menurut WHO

20
Tabel 4. Kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia menurut WHO1

Anemia
Populasi Non Anemia
Mild Moderate Severe

Bayi usia 6-59 bulan ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0

Anak usia 5 – 11 tahun ≥ 11.5 11.0-11.4 8.0-10.9 < 8.0

Anak usia 12 – 14 tahun ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0


Wanita tidak hamil (usia di ≥ 12.0 11.0-11.9 8.0-10.9 < 8.0
atas 15 tahun)
Wanita hamil ≥ 11.0 10.0-10.9 7.0-9.9 < 7.0

Pria (usia di atas 15 tahun) ≥ 13.0 11.0-12.9 8.0-10.9 < 8.0

Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan berbagai pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk mengetahui jenis
anemia untuk selanjutnya menemukan penyebab yang mendasari terjadinya
anemia.2

Gambar 1. Evaluasi awal pasien anemia2

21
Pada kasus anemia, hal yang pertama harus diselidiki adalah apakah
keadaan anemia tersebut disertai dengan abnormalitas darah lainnya, misalnya
terdapat pansitopenia. Pada pasien ini tidak ditemukan abnormalitas darah
lainnya, selanjutnya harus dilihat apakah respon retikulosit sesuai dengan keadaan
anemia. Pada pasien ini, respon retikulositnya tidak sesuai, sehingga langkah
berikutnya yaitu menentukan morfologi sel darah merah yang dapat dilihat dari
nilai MCV dan MCHC2. Pasien ini memiliki nilai MCV sebesar 52,0 fl dan
MCHC sebesar 28,2 g/dL, sehingga digolongkan menjadi anemia mikrositik
hipokromik.
Anemia mikrositik adalah penurunan kadar hemoglobin di bawah normal
dengan gambaran sel darah merah yang lebih kecil dari normal (mikrositik) pada
temuan laboratorium. Gambaran mikrositik sering disertai dengan terlihat lebih
pucat pada pewarnaan sediaan apus (hipokromik).4
Penentuan diagnosis anemia mikrositik dapat dilihat dari gambar berikut:

Gambar 2. Alur pendekatan diagnosis anemia mikrositik2

22
Hitungan retikulosit yang akurat adalah kunci klasifikasi awal anemia.
Retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepaskan dari sumsum tulang.
Jumlah retikulosit memberikan penilaian awal apakah penyebab anemia
disebabkan oleh gangguan produksi sel darah merah atau karena peningkatan
kehilangan dalam sirkulasi perifer (misalnya, kehilangan darah, hemolisis)2
Dalam kondisi dimana terdapat anemia, retikulosit dapat meningkat
sementara jumlah absolutnya di dalam tubuh tidak berubah. Hal ini dapat terjadi
karena retikulosit yang dilepaskan di bawah stimulasi erythropoietin yang intens
tetap ada dalam darah perifer selama lebih dari waktu hidup 1 hari biasa dari
retikulosit non-stres.2 Sel eritroid membutuhkan waktu ~ 4,5 hari untuk matang.
Pada tingkat hematokrit normal, sel ini dilepaskan ke sirkulasi dengan ~ 1 hari
tersisa sebagai retikulosit. Namun, dengan berbagai tingkat anemia, sel eritroid
dilepaskan dari sumsum sebelum waktunya. Untuk memperbaiki efek ini, jumlah
retikulosit harus dikoreksi berdasarkan tingkat anemia dan masa hidup sirkulasi
dari retikulosit. Apusan darah tepi perlu diperiksa untuk melihat apakah ada
makrosit polikromatofilik untuk menentukan apakah diperlukan penghitugan
indeks produksi retikulosit. Koreksi ini diperlukan karena sel-sel yang dilepaskan
secara prematur ini bertahan sebagai retikulosit yang beredar selama> 1 hari,
sehingga memberikan perkiraan produksi sel darah merah harian yang sangat
tinggi.2,3
Pada pasien ini, sekilas terjadi peningkatan retikulosit yang ditunjukkan
pada tingginya angka retikulosit dalam darah pasien, yaitu 3,76%. Namun
dikarenakan pada pasien ini terdapat anemia dan polikromasi, maka perlu
dilakukan koreksi terhadap angka retikulosit yang ada untuk mendapatkan hasil
yang lebih dapat akurat.

Jumlah retikulosit koreksi = % retikulosit x (Hct pasien/45)2

Indeks produksi retikulosit = jumlah retikulosit koreksi ÷ waktu maturasi di darah


perifer dalam hari days* (Nilai normal 0.5–1.5%)2

23
* Waktu maturasi retikulosit = 1 hari untuk Hct ≥ 40%; 1.5 hari untuk Hct 30–40%; 2.0
hari untuk Hct 20–30%; 2.5 hari untuk Hct < 20%.2

Maka, jumlah retikulosit koreksi pada pasien ini yaitu 3,76 x 11,8/45 = 0,98%,
sedangkan indeks produksi retikulositnya yaitu 0,98 ÷ 2,5 (Hct pasien ini : 11,8) =
0,39%. Hal ini berarti indeks produksi retikulosit pada pasien ini rendah.
Anemia dengan retikulosit yang rendah biasanya mencerminkan beberapa
gangguan pada erythropoiesis normal, dan ini bisa disebabkan oleh dua jenis
gangguan. Erythropoiesis dapat terganggu karena berkurangnya prekursor sel
darah merah (hipogeneratif). Atau, produksi sel darah merah mungkin tidak
efektif, suatu kondisi yang ditandai oleh hiperplasia eritroid pada sumsum tulang,
tetapi dengan produksi sel-sel merah yang pada dasarnya tidak dapat hidup, yang
sebagian besar tidak mencapai sirkulasi2
Anemia mikrositik dengan penurunan retikulosit dapat ditemukan pada
anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia penyakit kronik, thalasemia
dan varian hstruktur hemoglobin.5
a. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kurangnya
cadangan besi tubuh (depleted iron store). Zat besi dalam tubuh penting dalam
pembentukan gugus heme dalam hemoglobin. Gugus heme terbentuk dari
portoporfirin yang bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+).6
Besi dalam makanan (besi ferri (Fe3+)) mengalami reduksi menjadi ferro
(Fe2+) dan diserap dalam duodenum. Besi diangkut dan disimpan dalam darah
melalui protein. Pengangkutan zat besi dilakukan oleh protein transferin.
Kemampuan total transferin untuk mengangkut zat besi disebut total iron binding
capacity (TIBC). Penyimpanan zat besi yang tidak aktif (Fe 3+) dilakukan dalam
bentuk protein feritin.6,7,8

24
Gambar 3. Absorpsi, pengangkutan dan penyimpanan besi6
Kekurangan zat besi mengganggu pembentukan hemoglobin.
Pembentukan hemoglobin yang terganggu mengakibatkan terjadinya alterasi
pembentukan sel darah merah (eritropoesis) sehingga terjadi anemia. Kurangnya
kesediaan zat besi dapat terjadi karena : (1) asupan tidak mencukupi; (2)
malabsorpsi; (3) peningkatan kebutuhan; (4) kehilangan yang meningkat.4,6,9
Kondisi klinis tertentu dapat memungkinkan terjadinya anemia defisiensi
besi, seperti kehamilan, masa remaja, periode pertumbuhan cepat, dan riwayat
kehilangan darah intermiten. Tanda yang berhubungan dengan anemia defisiensi
besi bergantung pada tingkat keparahan dan kronisitas dari anemia sebagai
tambahan bagi gejala umum anemia – lelah, pucat, dan penurunan kapasitas
aktivitas.2,3 Gejala khas anemia defisiensi besi adalah : koilonikia (kuku sendok),
atrofi papil lidah, stomatitis angularis (cheilosis), disfagia, atrofi mukosa gaster
dan pica atau keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim.3Diagnosis
anemia defisiensi besi biasanya berdasarkan hasil laboratorium.

25
Gambar 4. Koilonikia2

Gambar 5. Atrofi papil lidah2

Pada pasien ini tidak ditemukan adanya gejala khas anemia defisiensi besi.
Namun dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Fe serum yang rendah yaitu 7
µg/dL, TIBC yang normal yaitu 317 µg/dL, dan kadar feritin yang rendah yaitu
6,31 µg/L. Berdasarkan algoritma pendekatan diagnosis gambaran hasil
pemeriksaan laboratorium yang demikian lebih mengarah kepada anemia
defisiensi besi.

b. Anemia Sideroblastik
Anemia sideroblastik juga dapat menunjukkan gambaran mikrositik
pada gambaran darah tepi. Anemia sideroblastik adalah kelompok gangguan yang
ditandai oleh kelainan metabolisme hem. Gambaran diagnostic gangguan ini
adalah adanya sel darah merah berinti dengan granula besi (sideroblas bercincin)
akibat adanya endapan besi patologis dalam mitokondria eritroblast yang
ditempatkan dalam ferritin mitokondria yang berbeda.2

26
Pada anemia sideroblastik, tubuh memiliki besi yang cukup, bahkan
berlebih, tetapi tidak dapat memasukkannya ke dalam hemoglobin. Pada anemia
sideroblastik primer, besi masuk ke dalam sel darah merah yang sedang terbentuk,
tetapi menumpuk dalam mitokondria perinukleus normoblas.3 Karena adanya
gangguan dalam sintesis porfirin atau pemasukan besi ke cincin, pengaturan
penyerapan besi juga terganggu dan dapat terjadi penimbunan besi sistemik. Fe
serum biasanya lebih besar daripada normal, dengan persentase saturasi transferin
yang tinggi. Kadar feritin serum juga sangat meningkat sementara TIBC dalam
batas normal.2,3

Gambar 6. Gambaran darah tepi anemia sideroblastik dengan pengecatan Prussian Blue 2

Kelainan ini biasanya terjadi pada individu dewasa muda atau yang lebih
tua. Anemia muncul secara pelan dan diam-diam dan mungkin ditemukan saat
pemeriksaan rutin karena keluhan lain. Orang yang tua biasanya mengeluhkan
lemah dan angina jika terdapat penyakit arteri koroner yang sudah ada
sebelumnya. Pemeriksaan fisik mungkin tidak menunjukkan kelainan selain pucat.
Hepatosplenomegali ditemukan pada 1/3 pasien. Dengan penumpukan besi yang
terus menerus, biasanya setelah transfusi yang berulang, gejala dan tanda
dekompensasi hepar dan juga gagal jantung, dan aritmia terjadi.2
Keadaan-keadaan ini, yaitu heaptosplenomegali, dekompensasi hepar,
gagal jantung marupun aritmia tidak ditemukan pada pasien ini. Temuan-temuan
dari pemeriksaan laboratorium yaitu ferritin, besi serum dan TIBC juga tidak
mengarah kepada diagnosis anemia sideroblastik.

27
c. Anemia Penyakit Kronik
Diagnosis banding berikutnya yaitu anemia penyakit kronik. Pathogenesis
dari anemia penyakit kronik fokus pada tiga prinsip: pemendekan masa hidup
eritrosit, respon sumsum tulang yang terganggu, dan gangguan pada metabolisme
besi. Pemendekan masa hidup eritrosit yang sedang menimbulkan permintaan
peningkatan produksi sel darah merah. Normalnya, sumsum tulang dapat dengan
mudah mengakomodasi permintaan ini, namun pada anemia penyakit kronik,
sumsum tulang tidak dapat memberikan respon secara penuh karena kombinasi
dari berkurangnya respon terhadap eritropoietin dan berkurangnya persediaan
besi.2
Manifestasi klinis dan laborat dari anemia penyakit kronik bisa sangat
bervariasi karena berhubungan dengan banyak sekali penyakit. Anemia penyakit
kronik harus dipertimbangkan pada pasien dengan inflamasi, infeksi dan
neoplastik. Eritrosit biasanya normositik normokromik namuan dapat pula
dijumpai mikrositik hipokromik pada tahap yang lebih lanjut. Mikrositik pada
anemia penyakit kronik tidak sejelas pada anemia defisiensi besi; nilai MCV <72
fl sangatlah jarang. Tingkat keparahan anemia biasanya sedang, dengan
hemoglobin berkisar 7 sampai 11 g/dL. Biasanya kadar besi serum rendah,
demikian juga kapasitas mengikat besi total, yang terakhir ini membedakan
anemia hipokromik ini dari anemia defisiensi besi. Pembeda utama lainnya yaitu
kadar ferritin serum pada anemia penyakit kronik biasanya meningkat menjadi 50
sampai 2000 ng/mL. Sementara pada anemia defisiensi besi kadar feritin serum
kurang dari 10 ng/mL. Parameter terbaru seperti reticulocyte hemoglobin content
(CHr), dapat membantu membedakan anemia penyakit kronik dengan anemia
defisiensi besi. Selain itu, tidak adanya peningkatan hepsidin plasma maupun
serum, penghitungan C-reactive protein, atau IL-6 juga dapat membantu
penegakan diagnosis anemia penyakit kronik.2
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dari
pasien ini tidak menunjukkan adanya penyakit kronis yang dapat menyebabkan
anemia. Selain itu, nilai TIBC pada pasien ini didapatkan normal sedangkan kadar

28
feritinnya turun. Hal ini tidak sesuai dengan gambaran dari anemia penyakit
kronik.

d. Talasemia
Pada talasemia, terjadi mutasi ataupun delesi pada gen yang mengkode
pembentukan rantai globin. Mutasi ataupun delesi pada gen menyebabkan
penurunan sintesis rantai globin atau bahkan sampai sama sekali tidak terbentuk
rantai globin. Jenis utama pada talasemia, berdasarkan rantai globin utama pada
manusia, terdiri dari talasemia alfa dan talasemia beta.
Mutasi pada salah satu gen globin beta mengakibatkan talasemia beta
heterozigot atau disebut pula sebagai talasemia beta minor.10 Mutasi pada salah
satu gen globin beta menyebabkan penurunan kecepatan sintesis globin beta dan
terjadi mikrositosis. Namun, sumsum tulang mengimbangi dengan memproduksi
lebih banyak eritrosit.4 Talasemia beta heterozigot memiliki gambaran darah
hapus yang mikrositik hipokrom (VER dan HER sangat rendah) tetapi hitung
eritrosit sangat tinggi (>5,5 x 1012/L) dan didapati pula anemia ringan
(hemoglobin 10-12 g/dL).6 Terlihatnya sel target pada gambaran darah tepi juga
dapat menjadi salah satu tanda pada thalasemia 3 Gejala thalasemia dapat bersifat
asimptomatik atau dapat bersifat anemia ringan.11

Gambar 7. Sel target pada thalasemia3

Mutasi pada kedua gen globin beta menyebabkan talasemia beta


homozigot atau sering disebut sebagai talasemia beta mayor. 10 Pasien dengan
talasemia beta homozigot terjadi gangguan sintesis globin yang berat, mulai dari

29
sintesis globin beta yang berkurang sangat berat (talasemia β 0β+ atau talasemia
β+β+) hingga tidak sama sekali terbentuknya globin beta (talasemia β0). Talasemia
beta homozigot, atau disebut pula Cooley’s anemia, akan terjadi gejala anemia
berat. Sehingga penderita akan bergantung pada transfusi darah.4
Ekspansi sumsum tulang yang masif pada thalasemia-β merusak
pertumbuhan dan perkembangan. Pada anak-anak muncul facies "tupai" yang
khas karena hiperplasia sumsum tulang belakang dan bossing frontal. Penipisan
dan fraktur patologis pada tulang panjang dan vertebra dapat terjadi karena invasi
kortikal oleh elemen eritroid dan retardasi pertumbuhan yang dalam. Anemia
hemolitik menyebabkan hepatosplenomegali, ulkus tungkai, batu empedu, dan
gagal jantung kongestif high output. Kehilangan sumber daya kalori untuk
mendukung eritropoiesis mengarah pada kematian, kerentanan terhadap infeksi,
disfungsi endokrin, dan dalam kasus yang paling parah, kematian selama dekade
pertama kehidupan. Transfusi sel darah merah yang berulang meningkatkan
pengiriman oksigen, menekan erythropoiesis berlebihan yang tidak efektif, dan
memperpanjang usia, tetapi efek samping yang tak terelakkan, terutama kelebihan
zat besi, biasanya terbukti fatal pada usia 30 tahun.3
Pada pasien ini, tidak ada riwayat transfusi berulang, tidak ditemukan
adanya gambaran facies cooley/ tupai, hepatosplenomegali, ulkus tungkai, batu
empedu, maupun gagal jantung. Selain itu hasil pemeriksaan laboratorium untuk
ferritin, TIBC dan besi serum pasien ini juga tidak sesuai dengan gambaran
thalasemia sehingga diagnosis thalasemia tidak sesuai untuk pasien ini.
Hemoglobin varian diturunkan secara genetik karena terjadi mutasi pada
gen globin yang menyebabkan sintesis abnormal pada struktur hemoglobin. 4
Hemoglobin varian terdapat 3 macam, yaitu Hemoglobin S, Hemoglobin E dan
Hemoglobin C.8 Hemoglobin E terbentuk karena adanya mutasi pada gene 26 dari
gene pembentuk rantai globin beta.12 Hemoglobin E homozigot memberikan
gejala klinis anemia sedang. Hemoglobin E heterozigot memberikan gejala klinis
anemia ringan seperti pada talasemia beta minor. Jika terbentuk kombinasi atau
heterozigositas ganda hemoglobin E dan talasemia beta, maka akan memberikan
gejala klinis anemia berat seperti talasemia beta mayor.5,12,13

30
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien ini didiagnosis menderita anemia berat akibat defisiensi besi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah:
 Terapi kausal : terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal
harus dilakukan agar kejadian anemia tidak berulang.
 Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.14
Pada anemia kronik, transfusi diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau
adanya payah jantung. Jenis transfusi yang diberikan yaitu packed red cell.14
Pada pasien ini diberikan transfusi PRC sebanyak 5 kolf serta diberikan
pula suplementasi besi, yaitu fero sulfat untuk mengganti kekurangan besi di
dalam tubuh. Pemberian vitamin C dimaksudkan untuk meningkatkan absorbsi
besi. Selain suplementasi besi, pasien juga diberikan edukasi untuk mengonsumsi
makanan yang kaya zat besi dan vitamin C agar anemianya tidak berulang.

2.2 Community Acquired Pneumonia(CAP)

Berdasarkan anamnesis pasien dalam 2 bulan terakhir mengeluh batuk.


Batuk dirasakan hilang timbul dan semakin lama semakin memberat. Batuk
disertai dengan dahak kental bewarna kuning, tidak ada darah, tidak berbau busuk,
dan berjumlah sedikit. Pasien juga mengeluhkan adanya sesak. Pemeriksaan fisik
paru menunjukkan stem fremitus yang menurun pada paru kiri, perkusi redup
setinggi SIC III-IV paru kanan dan kiri, suara tambahan paru ronki basah kasar di
SIC III-IV pada paru kanan dan kiri. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
trombositosis. X-Foto thoraks menunjukkan gambaran bronkopneumonia. Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini dapat
didiagnosis mengalami Community-Acquired Pneumonia. Definisi CAP
berdasarkan IDSA adalah infeksi akut dari parenkim paru dengan gejala-gejala
infeksi akut, ditambah dengan adanya infiltrat pada pemeriksaan radiografi atau
suara paru abnormal pada pemeriksaan auskultasi pada pasien yang tidak sedang
dalam perawatan rumah sakit ataupun panti perawatan dalam kurun waktu 14 hari
sebelum timbulnya gejala.15

31
Kriteria diagnosis CAP yaitu:14

a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai
ronki basah halus, yang kemudian bisa menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.
c. Pemeriksaan Penunjang
−Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa new infiltrat
sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
−Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita

32
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Pada pasien
ini leukosit sedikit meningkat, yaitu 11.800/ul
Derajat keparahan pneumonia menjadi penentu pemilihan terapi dan
memprediksi risiko mortalitas pada pasien. Skoring salah satunya dapat dilakukan
menggunakan CURB-65. Model skor ini direkomendasikan oleh British Thoracic
Society (BTS) berdasar pada lima gambaran klinik utama yang sangat praktis,
mudah diingat dan dinilai. Skor Prediksi CURB-65:

Table 5. Skor prediksi CURB-6516

33
Gambar 8. Aplikasi skor CURB-65 dalam penatalaksanaan CAP16

Pada pasien ini total score adalah 0, dimana tidak didapatkan adanya
penurunan kesadaran, urea nitrogen 8,87 mg per dL, laju pernapasan 24 x per
menit, tekanan darah normal dan pasien berusia 37 tahun. Dengan skore tersebut
pasien tergolong ke dalam derajat rendah, dimana pasien ditatalaksana dengan
rawat jalan.16
Assesment pada pasien ini adalah untuk mengetahui etiologi dari CAP
tersebut, dengan pemeriksaan sputum (pengecatan BTA, gram, jamur) dan kultur
sputum. Pada pasien ini baru diusulkan pemeriksaan penunjang. Pengobatan
terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pilihan antibiotik pada penderita

34
pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu:17
1) Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2) Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3) Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris dan
disesuaikan dengan pilihan obat di rumah sakit yang bersangkutan. Ada beberapa
golongan pasien berdasarkan tipe perawatan, yaitu:15

I. Rawat jalan tanpa penyakit jantung paru


II. Raat jalan dengan penyakit jantung paru
III. Rawat inap RS
a. Di luar ICU, dengan penyakit jantung paru
b. Di luar ICU, tanpa penyakit jantung paru
IV. Rawat inap RS di ICU

Pasien ini termasuk golongan IIIa. karena pasien menderita anemia berat yang
kemungkinan dapat mengganggu hemodinamiknya. Sesuai panduan pengobatan
diberikan antibiotik laktam IV, yaitu Injeksi ampicilin sulbactam 1,5 gr/ 8 jam
untuk bakteri gram (+) dan gram (-). Selain itu terapi supportif berupa N-asetil
sistein 200 mg/8 jam per oral.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and


assessment of severity: Vitamin and Mineral Nutrition Information System.
2011
2. Maxwell M. Wintrobe. 1974.Clinical Hematology, Lea & Febriger,
Philadelphia, Seventh Edition, Page 591-615.
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Loscalzo J. Hauser S.
Harrison's Principles Of Internal Medicine, 18th ed. New York:
McGrawHill; 2011: 1901
4. Rahim F, Keikhaei B. Better differential diagnosis of iron deficiency
anemia from beta-thalassemia trait. Turkish J Hematol. 2009;26(3):138-
145
5. Barkley JS, Kendrick KL, Codling K, Muslimatun S, Pachón H. Anaemia
prevalence over time in Indonesia: Estimates from the 1997, 2000, and
2008 Indonesia Family Life Surveys. Asia Pac J Clin Nutr. 2015;24(3):452-
455. doi:10.6133/apjcn.2015.24.3.22.
6. Hoffbrand A V., Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. 6th ed. (Sandra F,
ed.). Jakarta: EGC; 2013
7. Raffaella O. Beta-Thalassemia. GeneReviews. Seattle (WA).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1426/. Published 2015.
8. Marengo-Rowe AJ. The thalassemias and related disorders. Proc (Bayl
Univ Med Cent). 2007;20(1):27-31. doi:10.1097/GIM.0b013e3181cd68ed.
9. Tiwari AK, Chandola I. Comparing prevalence of Iron Deficiency Anemia
and Beta Thalassemia Trait in microcytic and non-microcytic blood
donors: suggested algorithm for donor screening. Asian J Transfus Sci.
2009;3(2):99-102. doi:10.4103/0973-6247.53883.
10. Armitage JO, 1st ed. Atlas of Clinical Hematology. Hongkong: Current
Medicine; 2003.
11. Chalovich JM, Eisenberg E. Serum iron, ferritin, transferrin, total iron
binding capacity, hs- CRP, LDL cholesterol and magnesium in children;
new reference intervals using the Dade Dimension Clinical Chemistry
System. Biophys Chem. 2005;257(5):2432-2437.
doi:10.1016/j.immuni.2010.12.017.Two-stage.
12. Miller JL. Iron deficiency anemia: A common and curable disease. Cold
Spring Harb Perspect Med. 2013;3(7):1-13.
doi:10.1101/cshperspect.a011866
13. Hershko C, Skikne B. Pathogenesis and Management of Iron Deficiency
Anemia: Emerging Role of Celiac Disease, Helicobacter pylori, and

36
Autoimmune Gastritis. Semin Hematol. 2009;46(4):339-350.
doi:10.1053/j.seminhematol.2009.06.002.
14. Setiati S, Alwi I, W.sudoyoA, Simadibrata M, SetiyohadiB, Fahrial
A.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Setiati S, AlwiI, W.sudoyo A,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Fahrial A, editors. Jakarta: Interna
Publishing; 2015. 1873 p.
15. Dhar Raja. Pneumonia: Review of Guidelines. Supplement to JAPI.
2012;60: 25-28
16. MH E. Family Practice Management: Outpatient vs. Inpatient Treatment of
Community Acquired Pneumonia. Am Acad Fam Physicians. 2006;
17. Capelastegui A, Espana PP, Quintana JM, Arcitio I, Gorondo I, Egurolla M
et. al. Validation of Predictive Rule for the management of Community
Acquired Pneumonia. Eur Respir J. 2006;27:151–7.

37

Anda mungkin juga menyukai