Anda di halaman 1dari 23

A.

KLASIFIKASI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter.


Adapun parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat
peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang
terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat
penting dilakukan untuk diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan
yang cost-efective dapat terlaksana. Adapun klasifikasi dari uveitis antara lain (Ilyas
dkk, 2002):
1. Lokasi utama dari bercak peradangan :

Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The
International Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada tahun 1987.
Sedangkan lokasi anatomi dari proses inflamasi adalah salah satu tanda penting
bagi proses patogenesis dan penanganan dari uveitis. Klasifikasi IUSG
berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:

gambar 2. Pembagian uveitis berdasarkan tempat peradangan yang terjadi

a. Uveitis anterior

Uveitis anterior; meliputi iritis, iridosiklitis dan siklitis anterior; yaitu


peradangan intraokular yang paling sering terjadi. Uveitis anterior dapat terjadi
apabila terjadi peradangan pada segmen anterior bola mata. Berdasarkan data
epidemiologi, kebanyakan dari pasien uveitis tidak memiliki gejala sistemik yang
terkait dengan uveitis, namun 50% pasien mengalami peradangan yang
disebabkan oleh trauma, dan paling sering disebabkan oleh sindrom idiopatik
postviral (Sindrom HLA-B27, herpes simpleks, dan herpes zoster, Fuchs
heterochromic iridocyclitis, dan beberapa penyakit arthritis lainnya). Penyakit
sekunder iatrogenik sering ditemukan post operasi, komplikasi pembedahan,
implant sklera, transplantasi kornea, distrupsi kapsula, atau fixed haptic dan
implantasi lensa intraokular yang difiksasi dengan iris.

1
Penyebab Uveitis anterior

Autoimun:

- Artritis rheumatoid juvenilis - Uveitis terinduksi-lensa

- Spondilitis ankilosa - Sarkoidosis

- Sindrom reiter - Penyakit chron

- Kolitis ulserativa - Psoriasis

Infeksi:

- Sifilis - Herpes simpleks

- Tuberkulosis - Onkoserkiasis

- Lepra (morbus Hensen) - Adenovirus

- Herpes Zoster

Keganasan:

- Sindrom masquerade - Limfoma

- Retinoblastoma - Melanoma maligna

- Leukemia

Lain-lain:

- Idiopatik - Iridosiklitis heterokromik Fuchs

- Uveitis traumatika - Gout

- Ablatio retina - Krisis galukomatosiklitik

Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang
dalam dan tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan
memburuk apabila terpapar cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien
dengan mengenakan kacamata. Epifora yang terjadi dihubungkan dengan
peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada hubungannya
dengan sensasi benda asing yang dirasakan.

2
Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih
lebih baik, walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya
akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada
kongesti palpebra ringan hingga sedang dan menyebabkan pseudoptosis. Kadang
dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan sklera, walaupun
konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan
slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit
endotel berwarna coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).

Gambar 3. Keratic precipitates (KP)

Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit


(hipopion); dan flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang
meradang; dan dapat ditemukan pada kamera okuli anterior sehingga kamera
okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris dapat mengalami perlengketan
dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi perlengketan
dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul
granulomatosa pada stroma iris.

Gambar 4. Kanan: sinekia posterior, Tengah: fler, dan kiri : hipopion

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan


siliar. Namun saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi
pada trabekulum. Apabila debris ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar
menghasilkan sekresi yang normal maka dapat terjadi peningkatan tekanan
intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.

b. Uveitis intermediate

Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea


anterior atau posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona

3
intermediate mata. Ini terutama terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan
utama melihat bintik-bintik terapung di dalam lapangan penglihatannya. Pada
kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan distribusi antara pria
dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia. Pasien
mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat
adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior,
dengan oftalmoskop.
Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat
beberapa sel di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan
anterior. Sel radang lebih besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau
di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan slit-lamp. Sering timbul katarak
subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan kekeruhan tipis
bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering
menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu
terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina.
Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik
dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular
kistoid dan parut makular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada
kasus berat dapat terjadi pelepasan membran-membran siklitik dan retina.
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan
yang menolong namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila
penglihatan menurun sekunder akibat edema makular. Mula-mula dipakai
kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon atau retrobulber
dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan
resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh setelah
operasi katarak.

c. Uveitis posterior

4
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi
koroiditis, korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol),
retinokoroiditis (bila peradangan retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis
disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu
bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan
berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan penyakit, (3)
hubungannya dengan penyakit sistemik.

Penyebab uveitis posterior


1.Penyakit infeksi
a. Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi
imun manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.

b. Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic


Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella
(penyebab penyakit Lyme).

c. Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus

d. Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca

2. Penyakit Non Infeksi:


a. Autoimun:

- Penyakit Behcet - Oftalmia simpleks

- Sindrom vogt-koyanagi-Harada - Vaskulitis retina

- Poliarteritis nodosa

b. Keganasan:

- Sarkoma sel reticulum - Leukemia

- Melanoma maligna - Lesi metastatik

c. Etiologi tak diketahui:

- Sarkoidosis - Retinopati birdshot

- Koroiditis geografik - Epiteliopati pigmen retina

- Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut

5
Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan
herpes. Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti
tuberkulosis, sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom
yang tidak biasa seperti korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat
timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma, atau sarkoidosis.

Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang
menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak
pernah menimbulkan sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus
dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior umumnya berawal tenang, namun ada
yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.
Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada gilirannya
kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.

Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom


samaran, seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis
posterior pada kelompok umur ini adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis,
sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.

Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior


termasuk toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi
sitomegalovirus, sindrom samaran, panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang
penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen posterior. Dalam kelompok umur
16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial adalah toksoplasmosis,
penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis candida,
dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus.

Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom
nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma
sel retikulum, atau kriptokosis.

Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat


toksoplasmosis, kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau
infeksi bakteri endogen. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau
lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen posterior mata yang onset mendadak

6
adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan infeksi bakterial.
Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.

d. Uveitis difus atau panuveitis (peradangan pada kamera okuli anterior,


vitreous, retina, dan koroid)

Istilah uveitis difus merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang lebih
merata dari semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain pada uveitis difus
tidak memiliki tempat peradangan yang predominan dimana peradangan merata
pada kamera okuli anterior, vitreous, dan retina dan atau koroid seperti retinitis,
koroiditis, dan vaskulitis retinal). Keadaan ini seringnya disebabkan karena
infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial
postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat
geografik secara khas tidak ada.

2. Berat dan perjalanan penyakit :

a. Akut c. Kronik

b. Sub-akut d. Rekurens

Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi


akut, subakut, kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis (inflamasi
iris) akut sering terjadi pada dewasa muda. Gejala awal yang sering dirasakan
adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia (sensitif terhadap cahaya). Seringnya,
pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya iritis akut seperti adanya
riwayat anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hubungan dengan faktor
genetik ini sering terjadi pada penyakit lain misalnya pada ankylosing spondylitis
(arthritis pada punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis.
Berdasarkan perjalanan penyakit, terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6
minggu dan selalu muncul hanya pada satu mata. Beberapa pasien dapat

7
mengalami serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang mengalami
serangan berulang.
Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan
badan siliar (struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering
menunjukan gejala minimal hingga keparahan yang mampu merusak mata.
Penyakit sistemik yang sering menyebabkan kronik iridosiklitis adalah anak-anak
yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile. Pada anak-anak ini, khususnya gadis
yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang sangat berpotensial untuk terjadinya
kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak mengeluhkan gejala yang
berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis
mata untuk merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter
spesialis mata karena iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah
arthritis rheumatoid juvenil timbul, anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini
memerlukan check up periodik hingga usia remaja.

3. Berdasarkan patologinya :

a. Non-granulomatosa

Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan


organisme patogen dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga
peradangan ini adalah semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis
nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni iris
dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel
limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel
mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau
hipopion di dalam kamera okuli anterior.

Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit,


injeksi, fotofobia, dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal
yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah limbus. Deposit putih halus
(presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan
slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin terdapat

8
kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia
posterior maka pupil tampak tidak teratur.

Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan


terpajan terhadap toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis.
Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh dalam tubuh harus pula dicari.

b. Granulomatosa

Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba


aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium
tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini jarang
ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan. Kemungkinan-
kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan klinik dan
laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian
traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok
nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena.
Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea terutama terdiri
atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan
menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada
sifilis, tampilan granuloma khas pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan
beberapa penyebab spesifik langka lainnya.

Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior,


uveitis posterior, dan keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan
menjadi kabur dan mata tersebut memerah secara difus daearh sirkumkornea.
Sakitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama berat dengan non-
granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena
terbentuk sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar terlihat di permukaan
posterior kornea dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di
kamera anterior, dan nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di
tepian pupil iris (nodul koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton
fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris disebut nodul busacca.

9
Gambar 5. Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat
dan nodul Koeppe dan Busacca

Gambar 6. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris


dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior

Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak
putih-kekuningan samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum
berkabut. Kasus posterior demikian pada umumnya digolongkan sebagai
penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling melekat erat,
retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses
penyembuhan, kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur
timbul di tepian bintik-bintik putih kekuningan. Pada tahap sembuh,
umumnya terdapat deposit pigmentasi yang cukup banyak. Jika makula tidak
terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna. Pasien
umumnya tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan pandang
sesuai dengan daerah parut.

10
4. Demografi, lateralitas dan faktor penyerta :

a. Distribusi menurut umum

b. Distribusi menurut kelamin

c. Distribusi suku bangsa atau ras

d. Unilateral dan bilateral

e. Penyakit yang menyertai atau mendasari

5. Penyebab yang diketahui :

a. Bakteri : tuberkulosa, sifilis

b. Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-Koyanagi-


Harada, Sindrom Behcet.

c. Jamur : Kandidiasis

d. Parasit : Toksoplasma, toksokara

e. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika

f. Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple sclerosis,


sarkoidosis, penyakit vaskuler.

g. Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma

h. Lain-lain : AIDS

B. PENDEKATAN DIAGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu.
Misalnya, karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan
mengeluh sakit dan fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan
penglihatan kecuali bila prosesnya berat atau cukup lanjut hingga mengeruhkan

11
humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid sendiri tidak menimbulkan sakit
atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina, penyakit koroid
hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus juga
dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang
merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan
vitreus dan bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara umum pasien
yang sedang mengalami peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum
sebagai berikut:
- Mata merah (hiperemis konjungtiva) - Pandangan mata menurun dan kabur

- Mata nyeri - Epifora

- Fotofobia

12
Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi
dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat,
fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan
hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis
uveitis anterior. Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus
diketahui. Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi
pertimbangan. Riwayat rinci dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis
yang berharga bagi pasien dengan uveitis.
Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu
dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan subyektif mata

a. Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam


pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata.

b. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan

c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal

2. Pemeriksaan obyektif mata

Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:

a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal

b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering
ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat
menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang
terlihat injeksi semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.)

c. Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung


kondisi dari produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih
dan merah.

d. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.


e. pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung
mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya
secara langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:

- Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan


beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.

- Pupil dalam kondisi miosis

3. Pemeriksaan funduskopi

4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp

a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus,
atau benda asing.

b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea

c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah
putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka
diklasifikasikan ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis
granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak (gambaran granula mutton-fat).

d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan
kamera okuli anterior tampak kotor.

e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada
kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:

- 0 tidak ditemukan

- +1 ditemukan dalam jumlah sedikit

- +2 ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)

- +3 iris dan lensa terlihat berkabut

- +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi)

5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan
hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan
laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien mengalami uveitis
nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas.

b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis


rekurens, pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas
maka dilakukan pemeriksaan laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap,
dll.

C. PENANGANAN PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi
setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan
kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang,
darah putih, atau darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan
untuk diberikan kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau
sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
1. Pemberian Obat Anti Radang

a. Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan
cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat
dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi
aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan
yang bukan disebabkan karena infeksi.

- Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

- Mengurangi pembentukan jarangan parut


Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga sangat
bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk
mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi.
Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga
beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid
diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek
dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi
ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi
ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam
hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari
dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat.
Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat
diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol
tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada
hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya
bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis
pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak
diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan
dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan

- Mengaktifkan proliferasi bakteri

- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama


- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

- Menambah kemungkinan infeksi jamur

- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan
pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik
atau uveitis yang mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes.
Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian
bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena
persediaan berbentuk precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol
sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular;
sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika


mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terpai inisial selam 3-4
minggu sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi
pasien yang responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa
injeksi dalam transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan
dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak digunakan pada
pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena penebalan sclera dan
kemungkinan terjadi perforasi.

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:

1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan

2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:

- Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice
untuk uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi
migrasi dari leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah.
Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu prednisolone juga tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan
prednisolone dan pasien sedang mengalami infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis
yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa). Prednisolone dapat meningkatkan
tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan katarak dalam pemakaian jangka
panjang.

b. Obat anti inflamasi nonsteroid

Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk
menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi kontra.
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi
jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya
kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid
dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan
disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal
jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma,
depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan. Termasuk ke
dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon,
indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi
Drugs (NSAIDs) yang lainnya .

2. Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi
pupil, selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.
Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek
maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka
akan normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek
samping seperti nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.

- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan


midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun
efek ini dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering
digunakan pada uveitis dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat
kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak
boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien
yang hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt
3dd (dewasa).

- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan


midriasis setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk
sikloplegia dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of
choice yang sering digunakan pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat
carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh
digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang
hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd (dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif
terhadap steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi
sebelumnya, immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan
terapi pilihan awal pada penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener
granulomatosis, dan skleritis nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan
vaskulitis sistemik yang mengancam jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan
pemberian imunosupresive dapat meningkalkan kondisi pasien. Imunomodulatory terapi
sering diperlukan dalam kondisi penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid
seperti pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-koyanagi-harada (VKH),
sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik
yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan
diteliti pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada
patogenesis penyakit ini yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk
penanganan peyakit inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan
sebagai pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering ditemukan pada
penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis Factor alpha) contoh
adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2 contoh daclizumab.
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui
injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya
manfaat dalam penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk
manajeman refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral
ini memiliki waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali
(multipel). Sehingga resiko terjadi pembentukan katarak dan peningkatan tekanan
intraokular, serta beresiko untuk terjadinya endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar
0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang diindikasikan dalam


manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika
menemukan perubahan dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang
menagalami opasitas untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat dalam
terapi inflamasi dan immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan struktural
yang dapat terjadi pada mata misalnya pembentukan katarak, glaukoma sekunder, ablasio
retina).
Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan untuk
minimal jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit (eradikasi
komplit dari sel kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara umum, 24-48 jam
preoperative, topical prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam
kondisi sadar) dengan prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami.
Steroid intraokular dan periokular dapat diberikan saat operatif sedang berlangsung.
Medikasi sistemik dan topikal diberikan dengan dosis diturunkan secara perlahan
tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi.
Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai follow-up
yaitu:
- Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan
- Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan
biomikroskopis/slit lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.

- Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan sikloplegik
yang dipakai dalam terapi medikamentosa

- Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.

D. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis yaitu:


1. Glaukoma sekunder

Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea


antara lain:

a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat
peradangan iris pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea
menyempit dan mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi
peningkatan volume pada kamera okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan
tekanan intraokular,

b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di
beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi
tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat
menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di
belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.

c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel
radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior
meningkat dan terjadi glaukoma.

Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
2. Atrofi nervus optikus
Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus
optikus sehingga terjadi kebutaan permanen.

3. Katarak komplikata

Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung


pada fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan
akhirnya mengenai seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral.
Prognosis visualnya tidak sebaik katarak senilis biasanya.

4. Ablasio retina

5. Edema kistoid macular

6. Efek penggunanan steroid jangka panjang.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:


- Menurunkan daya reaksi jaringan

- Mengaktifkan proliferasi bakteri

- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama

- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

- Menambah kemungkinan infeksi jamur

- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik:


Tempat Macam efek samping
1. Saluran cerna - Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif.
2. Otot - Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.

3. Susunan saraf pusat - Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,


mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
- Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
fraktur tulang panjang.
4. Tulang
- Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura, telangiektasis.
5. Kulit
- Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

- Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit


6. Mata
- Kenaikan tekanan darah
7. Darah
- Atrofi, tidak bisa melawan stres
8. Pembuluh darah

9. Kelenjar adrenal bagian


- Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
kortek
meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
10. Metabolisme protein,
- Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
KH dan lemak
tetani, aritmia kor)
- Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
11. Elektrolit herpes simplek, keganasan dapat timbul.

12. Sistem immunitas

Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan
penanganan yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai