Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The
International Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada tahun 1987.
Sedangkan lokasi anatomi dari proses inflamasi adalah salah satu tanda penting
bagi proses patogenesis dan penanganan dari uveitis. Klasifikasi IUSG
berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:
a. Uveitis anterior
1
Penyebab Uveitis anterior
Autoimun:
Infeksi:
- Tuberkulosis - Onkoserkiasis
- Herpes Zoster
Keganasan:
- Leukemia
Lain-lain:
Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang
dalam dan tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan
memburuk apabila terpapar cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien
dengan mengenakan kacamata. Epifora yang terjadi dihubungkan dengan
peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada hubungannya
dengan sensasi benda asing yang dirasakan.
2
Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih
lebih baik, walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya
akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada
kongesti palpebra ringan hingga sedang dan menyebabkan pseudoptosis. Kadang
dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan sklera, walaupun
konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan
slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit
endotel berwarna coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).
b. Uveitis intermediate
3
intermediate mata. Ini terutama terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan
utama melihat bintik-bintik terapung di dalam lapangan penglihatannya. Pada
kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan distribusi antara pria
dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia. Pasien
mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat
adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior,
dengan oftalmoskop.
Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat
beberapa sel di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan
anterior. Sel radang lebih besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau
di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan slit-lamp. Sering timbul katarak
subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan kekeruhan tipis
bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering
menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu
terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina.
Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik
dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular
kistoid dan parut makular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada
kasus berat dapat terjadi pelepasan membran-membran siklitik dan retina.
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan
yang menolong namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila
penglihatan menurun sekunder akibat edema makular. Mula-mula dipakai
kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon atau retrobulber
dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan
resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh setelah
operasi katarak.
c. Uveitis posterior
4
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi
koroiditis, korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol),
retinokoroiditis (bila peradangan retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis
disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu
bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan
berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan penyakit, (3)
hubungannya dengan penyakit sistemik.
- Poliarteritis nodosa
b. Keganasan:
5
Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan
herpes. Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti
tuberkulosis, sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom
yang tidak biasa seperti korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat
timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma, atau sarkoidosis.
Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang
menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak
pernah menimbulkan sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus
dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior umumnya berawal tenang, namun ada
yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.
Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada gilirannya
kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.
Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom
nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma
sel retikulum, atau kriptokosis.
6
adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan infeksi bakterial.
Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.
Istilah uveitis difus merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang lebih
merata dari semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain pada uveitis difus
tidak memiliki tempat peradangan yang predominan dimana peradangan merata
pada kamera okuli anterior, vitreous, dan retina dan atau koroid seperti retinitis,
koroiditis, dan vaskulitis retinal). Keadaan ini seringnya disebabkan karena
infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial
postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat
geografik secara khas tidak ada.
a. Akut c. Kronik
b. Sub-akut d. Rekurens
7
mengalami serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang mengalami
serangan berulang.
Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan
badan siliar (struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering
menunjukan gejala minimal hingga keparahan yang mampu merusak mata.
Penyakit sistemik yang sering menyebabkan kronik iridosiklitis adalah anak-anak
yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile. Pada anak-anak ini, khususnya gadis
yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang sangat berpotensial untuk terjadinya
kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak mengeluhkan gejala yang
berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis
mata untuk merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter
spesialis mata karena iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah
arthritis rheumatoid juvenil timbul, anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini
memerlukan check up periodik hingga usia remaja.
3. Berdasarkan patologinya :
a. Non-granulomatosa
8
kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia
posterior maka pupil tampak tidak teratur.
b. Granulomatosa
9
Gambar 5. Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat
dan nodul Koeppe dan Busacca
Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak
putih-kekuningan samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum
berkabut. Kasus posterior demikian pada umumnya digolongkan sebagai
penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling melekat erat,
retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses
penyembuhan, kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur
timbul di tepian bintik-bintik putih kekuningan. Pada tahap sembuh,
umumnya terdapat deposit pigmentasi yang cukup banyak. Jika makula tidak
terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna. Pasien
umumnya tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan pandang
sesuai dengan daerah parut.
10
4. Demografi, lateralitas dan faktor penyerta :
c. Jamur : Kandidiasis
h. Lain-lain : AIDS
Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu.
Misalnya, karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan
mengeluh sakit dan fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan
penglihatan kecuali bila prosesnya berat atau cukup lanjut hingga mengeruhkan
11
humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid sendiri tidak menimbulkan sakit
atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina, penyakit koroid
hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus juga
dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang
merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan
vitreus dan bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara umum pasien
yang sedang mengalami peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum
sebagai berikut:
- Mata merah (hiperemis konjungtiva) - Pandangan mata menurun dan kabur
- Fotofobia
12
Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi
dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat,
fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan
hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis
uveitis anterior. Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus
diketahui. Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi
pertimbangan. Riwayat rinci dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis
yang berharga bagi pasien dengan uveitis.
Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu
dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan subyektif mata
c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal
a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal
b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering
ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat
menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang
terlihat injeksi semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.)
3. Pemeriksaan funduskopi
a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus,
atau benda asing.
b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea
c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah
putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka
diklasifikasikan ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis
granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak (gambaran granula mutton-fat).
d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan
kamera okuli anterior tampak kotor.
e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada
kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:
- 0 tidak ditemukan
- +2 ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)
5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan
hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan
laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien mengalami uveitis
nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas.
Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi
setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan
kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang,
darah putih, atau darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan
untuk diberikan kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau
sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
1. Pemberian Obat Anti Radang
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan
cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat
dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi
aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan
yang bukan disebabkan karena infeksi.
Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan
pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik
atau uveitis yang mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes.
Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian
bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena
persediaan berbentuk precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol
sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular;
sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.
- Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice
untuk uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi
migrasi dari leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah.
Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu prednisolone juga tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan
prednisolone dan pasien sedang mengalami infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis
yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa). Prednisolone dapat meningkatkan
tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan katarak dalam pemakaian jangka
panjang.
Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk
menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi kontra.
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi
jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya
kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid
dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan
disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal
jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma,
depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan. Termasuk ke
dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon,
indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi
Drugs (NSAIDs) yang lainnya .
2. Obat sikloplegia
Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi
pupil, selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.
Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek
maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka
akan normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek
samping seperti nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.
Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif
terhadap steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi
sebelumnya, immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan
terapi pilihan awal pada penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener
granulomatosis, dan skleritis nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan
vaskulitis sistemik yang mengancam jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan
pemberian imunosupresive dapat meningkalkan kondisi pasien. Imunomodulatory terapi
sering diperlukan dalam kondisi penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid
seperti pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-koyanagi-harada (VKH),
sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik
yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan
diteliti pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada
patogenesis penyakit ini yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk
penanganan peyakit inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan
sebagai pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering ditemukan pada
penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis Factor alpha) contoh
adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2 contoh daclizumab.
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui
injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya
manfaat dalam penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk
manajeman refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral
ini memiliki waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali
(multipel). Sehingga resiko terjadi pembentukan katarak dan peningkatan tekanan
intraokular, serta beresiko untuk terjadinya endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar
0,1%.
- Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan sikloplegik
yang dipakai dalam terapi medikamentosa
- Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.
a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat
peradangan iris pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea
menyempit dan mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi
peningkatan volume pada kamera okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan
tekanan intraokular,
b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di
beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi
tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat
menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di
belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.
c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel
radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior
meningkat dan terjadi glaukoma.
Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
2. Atrofi nervus optikus
Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus
optikus sehingga terjadi kebutaan permanen.
3. Katarak komplikata
4. Ablasio retina
Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan
penanganan yang tepat.