Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

ANESTESI SPINAL PADA URETERORENOSCOPY (URS)


PADA KASUS URETEROLITHIASIS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Ami Puspitasari
20174011033

Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

ANESTESI SPINAL PADA URETERORENOSCOPY (URS) PADA KASUS


URETEROLITHIASIS

Disusun Oleh :

Ami Puspitasari
20174011033

Hari/tanggal: 16 November 2017

Disahkan oleh:

Dokter pembimbing,

dr. Tinon Anindita, Sp. An


BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 45 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Wiraswasta

Status pernikahan : Menikah

Alamat : Dukuh, Salatiga

Tanggal Masuk : 5 November 2017


B. Anamnesis :

 Keluhan Utama : Nyeri Pinggang sebelah kiri

 Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri pinggang sebelah kiri, dialami sejak 3 tahun yang lalu, memberat dalam 1

bulan terakhir. Nyeri dirasakan hilang timbul terutama saat beraktivitas. Nyeri

pinggang terlokalisir di pinggang kiri, tidak menjalar. Pasien juga mengeluh nyeri

saat berkemih sejak 1 bulan terakhir. BAK sedikit-sedikit berwarna keruh dan

berpasir. Pasien juga mengeluh sering tidak tuntas saat BAK, Pancaran miksi

melemah.

 Riwayat Penyakit dahulu:

-Riwayat nyeri pinggang sejak 3 tahun yang lalu


-Riwayat DM disangkal
-Riwayat Hipertensi
-Riwayat Stroke disangkal
-Riwayat Asma, Alergi disangkal

 Riwayat Penyakit keluarga : (-)

C. Pemeriksaan fisis

Keadaan umum : Sakit Sedang, Gizi Cukup

Kesadaran : Kompos Mentis

Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg Nadi : 88 x/m

Suhu : 36, 5°C RR : 20 x/m

Status Generalis :

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), DVS R-1


Mulut : Hiperemis (+), Stomatitis (+), Lidah : Hiperemis (-)

Thoraks : Rh -/-, Wh -/-

BJ I/II murni reguler

Abdomen : Peristaltik (+) Normal

Ekstremitas : Edema Pretibial (-/-)

Status Urologi :

 Costovertebra dextra

o I : Tampak alignment tulang baik, gibbus (-), hematom (-)

o P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), ballotement ginjal (-)

o P : Nyeri ketuk (-)

 Costovertebra sinistra

o I : Tampak alignment tulang baik, gibbus (-), hematom (-)

o P : Nyeri tekan (+), massa tumor (-), ballotement ginjal (+)

o P : Nyeri ketuk (+)

 Suprapubik

o I : Bulging (+), hematom (-)

o P : Nyeri ketuk (-), massa tumor (-), buli-buli kesan penuh


D. Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

- Warna Kuning Muda Kuning muda


- pH 8,5
4,5-8,0
- Bj 1,015
- Protein Negatif 1,005-1,035

- Glukosa Negatif Negatif


- Bilirubine Negatif
Negatif
- Urobilirunogen Normal
- Keton Negatif Negatif
- Nitrit Negatif
Normal
- Blood 25/+
Negatif
- Leukosit 25/+
- Vit C Negatif Negatif
- Sedimen Leukosit 8 lpb
Negatif
- Sedimen Eritrosit 2
- Sedimen Torak - Negatif
- Sedimen kristal Ca Oxalat Negatif
- Sedimen Lain-lain 5

140 mg/dl
Glukosa Sewaktu
75 mg/dl 10-50 mg/dl
Ureum
22 mg/dl L(<1,3),P(<1,1) mg/dl
Kreatinin
0,7 mg/dl <38 U/L
GOT
19 U/L <41 U/L
GPT
28 U/L
P(2,4-5,7) L(3,4-7,0)
Asam Urat
3,8 mg/dl
mg/dl
Elektrolit
136-145 mmol
o Natrium
o Kalium 3,5-5,1 mmol
o Klorida 142 mmol 97-111 mmol

3,4 mmol

110 mmol 4-10 x 103/uL


Darah Rutin
4-6 x 106/uL
 WBC
12-16 g/dl
 RBC
7,4 x 103/uL 37-48 %
 HB
5,14 x 106/uL
 HCT 80-97 fL
 MCV 14,0 g/dl
26,5-33,5 pg
 MCH 41,7 %
31,5-35 g/dl
 MCHC
81 fL
 PLT 150-400 x 103/uL
27,2,7 pg

33,5 g/dl

259 x 103/uL
E. Radiologi

Gambar 1 : Hasil pemeriksaan BNO

Hasil Pemeriksaan BNO :

- Udara usus terdistribusi sampai ke distal

- Tidak tampak dilatasi loop-loop usus dan gambaran herring bone

- Kedua psoas line dan pre peritoneal fat line intak

- Tampak bayangan opak, berbatas tegas ukuran 1,5 x 0,7 cm di dalam rongga pelvis

- Tulang-tulang yang tervisualisasi intak


Gambar 2 : Hasil pemeriksaan IVP (5-30 menit)
Gambar 3 : Hasil pemeriksaan IVP (60 menit)

Gambar 4 : Gambaran BNO Post Miksi


Hasil Pemeriksaan IVU:

- Fungsi ekskresi kedua ginjal baik

- PCS: Ujung-ujung calyx minor ginjal kiri clubbing disertai pembesaran contour ginjal

dan penipisan cortex, calyx minor ginjal kanan capping

- Ureter: Lintasan ureter ginjal kiri baik, ureter ginjal kanan tervisualisasi pada menit ke

60 disertai dilatasi dari ureter, Tampak bayangan batu opak pada distal ureter ginjal

kiri.

- Buli-buli: Mukosa regular, tidak tampak filling defect dan Additional shadow

- PM: Tampak sedikit sisa kontras di dalam buli-buli

Kesan:

 Hydronefrosis grade III-IV disertai Hydroureter sinistra

 Ureterolith Sinistra

Hasil USG Abdomen

- Hepar : Tidak membesar, permukaan regular, ujung tajam, echo parenkim normal,

tidak tampak SOL system vascular dan biliaris tidak dilatasi.

- GB : Dinding tidak menebal, mukosa regular, tidak tampak echo batu maupun

mass.

- Pankreas : Bentuk dan ukuran dalam batas normal, tidak tampak SOL. Ductus

panckreaticus tidak dilatasi.

- Lien : Tidak membesar, echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak SOL.
- Ginjal kanan : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak echo

batu maupun SOL Pelvyocalyceal system tidak dilatasi.

- Ginjal kiri : Ukuran dalam batas normal, tidak tampak echo batu maupun SOL,

Pelvyocalyceal system dilatasi disertai penipisan kortex.

- VU : Mukosa regular dan tidak menebal, tidak tampak echo batu maupun mass.

Kesan : Hydronefrosis kiri

Gambar 5 : Gambaran USG Abdomen

F. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis

kasus ini adalah Ureterolithiasis disertai Hydroureter sinistra


G. Terapi

o IVFD RL 24 tpm

o Ketorolac amp 1 gr/ 8 jam/ IV

o Ranitidin amp/ 8 jam/IV

o Kalnex 2 gr/ 24 Jam / IV

Rencana Op. Ureterorenoscopy

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:

Diagnosis pre operatif : Ureterolithiasis disertai Hydroureter sinistra

Status operatif : ASA II

Jenis operasi : Ureterorenoscopy (URS)

Jenis Anestesi : Anestesi Spinal

TINDAKAN ANESTESI

Bunascan 0,5% Torasic 30 mg

Vomceran 4 mg O2 3 liter/menit

Pelaksanaan Anestesi

Pukul 11.00 :

o Pasien dibaringkan diatas meja operasi

o Pemberian Bunascan 0,5 %

o Pasang infus cairan Asering pada tangan kanan abbocath

No.18
o Memasang monitor dan oksimeter pulse

o Diberikan nasal canule dengan O2 3 liter/menit

o Mengukur TD : 120/80 mmHg, nadi 75x/mnt

Pukul 11.15 :

o Operasi dimulai

o Diberikan Vomceran 4 mg.

o Diberikan torasic 30 mg

Pukul 11.45 :

o Operasi selesai

o TD : 100/60mmHg, Nadi : 86x/mnt, Sa O2 :99%

o Pemberian O2 dipertahankan.

o Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke

ruang pemulihan atau recovery room (RR).

Terapi Cairan

Cairan yang diberikan selama anestesi adalah Asering 500 cc

Pengawasan Anestesi

EKG ritme jantung dalam batas normal, saturasi oksigen 99%.


Post Operasi

- Tiba di ruang recovery pukul : 11.55 WIB

- Kesadaran : compos mentis

- Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas dalam

- Tekanan darah : 110/70 mmHg

- Nadi : 80x/mnt

- SpO2 : 99%

Penilaian pulih sadar menurut Bromage Score :

- Gerakan penuh di tungkai :0

Total score =0

Pasien pindah keruang perawatan biasa pukul 12.30


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan
obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L56.

2. Anatomi Kolumna Vertebralis


Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah satu faktor
keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran
analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga
keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal2.

Gambar 2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis


Sumber : http://www.espine.com/
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal,
5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu lordosis servikalis,
kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis7.
Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat analgetika lokal
dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada vertebra lumbal 3 dan
terendah pada torakal 57.
Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal,
5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-kelompok saraf.
Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah torakal lebih kurang 2 kali panjang
segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf
servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam
pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus
lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta
tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medula
spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan2,7.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak
antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat pada
duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid7.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga di
bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan
sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak,
pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa
medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula
spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal2,7.

3. Mekanisme Kerja Anestesi Regional


Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat kerjanya
khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak akan memberi hasil
yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan
sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH nanah sekitar 5)8. Anestesi lokal
mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit
saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat
(sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka
terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan
meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls
melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan
demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf8,9.
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid
yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran (channel) pada
membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran akan terhambat. Zat
anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel
berupa10 :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar masuk
membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok. Percobaan dari Hille
menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran
natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan reseptor. Aksi
ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-polar lemak, misalnya
barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk melaksanakan
kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan reseptor di membran sel
yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal
pertama sekali harus menembus jaringan sekitarnya8.
Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.

Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual zat anestesi
lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga semakin tinggi tingkat
daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi lokal tersebut11.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan dosis.
Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan
memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi lokal mencapai membran sel.
Terjadinya vasokontriksi akan menghambat serta memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi
akan meningkatkan pengambilan (uptake) obat dari jaringan11.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat (faster
conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut postganglionyc C yang tak
bermielin dengan daya hantar lambat (slowerconducting). Pada percobaan laboratorium dan
klinik didapatkan bahwa semua preganglionyc sensitif terhadap pengaruh obat anestesi lokal.
Serabut jenis ini banyak terdapat pada rami communicantes alba pada rantai saraf simpatis.
Efek yang terjadi adalah hipotensi. Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek samping
anestesi regional. Glissen dan kawan-kawan, menemukan bahwa serabut A lebih sensitif
daripada serabut B dan C. Rosenberg dan kawan-kawan, justru mendapatkan bukti bahwa
hampir seluruh serabut-serabut saraf itu (A, B dan C) mempunyai resistensi yang sama besar.
Data dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen tergantung
pada perubahan temperatur dan serabut bermielin memberikan reaksi terhadap pendinginan
dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini terjadi karena serabut A-delta
yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif dibanding serabut C yang juga mengatur
rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan
oleh serabut C) seperti yang terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat
dihambat dengan melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan11.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin menerangkan
fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan hantaran kedua jenis serabut
ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut sensorik menghantarkan impuls pada
frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat
daripada motorik dan menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf
yang berbeda. Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari
penempatannya pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap
blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling sensitif) : preganglionik, nyeri dan
suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik. Tampak bahwa serabut motorik adalah yang
paling sukar di blockade / dihambat11.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya dalam
meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat juga terjadi
selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian hipoksemia ini antara lain:
umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan dipercaya dalam patogenesis desaturasi
oksigen, body massa index (BMI), tekanan darah dan denyut jantung11.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid, dimana
daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa,
lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang
subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada
anak-anak12.
Gambar 2.2 Anestesi Spinal
Sumber : Fundamental of Nursing
4. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal (informed
concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan
fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya
kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan
masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah8.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata
dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang
digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis
obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar
akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas.
Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu
37ºC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,0088.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga
harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti
ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung
pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala
pasca penyuntikan spinal8.

5. Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam
30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam
melakukan anestesi spinal adalah sebagai berikut4 :
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-
L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
6. Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah
tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah)13. Anestesi
spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio
sesaria), perineum dan kaki4.

7. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi Absolut
diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis
yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-
kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat
tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi
yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-
tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal,
ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang
dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian
anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus
ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah
injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi14.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal ini sangat
penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi
sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang
diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui
durasi operasi membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,
penambahan terapi spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi, karena operasi
di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal.
Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis, seperti multiple sclerosis, masih
kontroversial karena dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih
rentan terhadap toksisitas obat bius lokal14.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif
terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak
untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan
hati-hati dalam perawatan anestesi mereka deformitas dari kolomna spinalis dapat
meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan
operasi fusi lumbal sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk
performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan
kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.

8. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat.
Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal14.
Komplikasi sirkulasi14:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur
setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2
menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa),
atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat
untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga
berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok
spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus
melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti
pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2
jam14.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg
intravena14.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila
pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada
daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal
ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin
besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah
dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal)
selama 24 jam. 14.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi 4
skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk /
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada pada posisi
tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai dengan mual, muntah
dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur, berkurang
bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan mual, muntah,
gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang berbaring
terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk atau berdiri, untuk
makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan muntah.15
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik invasif
maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak semuanya
didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah diterima dengan
baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah baring,
status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain
seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi Epidural Blood
Patch dan Epidural Dextran.15
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan
mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan
meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai
NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu
dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. Salah satu yang
menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep
hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk
memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit. Bila terjadi
perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih
belum terhidrasi dengan cukup.15
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural pada,
satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya akan
menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau koagulasi.
Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF
secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak
90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini15.

4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-tanda
tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan14.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat14.

9. Obat-Obat Anestesi Spinal


BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-
butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat
butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat
long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312.
Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang
lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk
analgesia selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah
banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian
bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total
15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml
dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam
jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila
dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari
kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih
kurang sama dengan tetrakain16. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang
dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri
selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung
selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan
efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih
untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %)
digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %,
epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg.
Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB17.
1. Farmakologi bupivakain
Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara menginhibisi
perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan menghantarkan
impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan
hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut :
otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet16. Eliminasi bupivakain terjadi di
hati dan melalui pernafasan (paru-paru). Bila pasien mengalami syok hipovolemik, septikemia,
infeksi pada beberapa organ, atau koagulopati, suntikan epidural, kaudal atau subarachnoid
harus dihindari. Kadar bupivakain plasma toksik (contohnya toksik, akibat suntikan
intravaskuler) dapat menyebabkan colaps kardiopulmonal dan kejang. Pencegahan terjadinya
komplikasi dengan cara mencegah overdosis (memberikan obat sesuai dosis yang dianjurkan),
hati-hati dalam memberikan penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik yang benar,
mengaspirasi terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test dose 10% dari dosis total,
mengenali gejala awal dari toksisitas, mempertahankan kontak verbal dengan pasien,
memonitor frekuensi dan pola pernafasan, tekanan darah, dan frekwensi nadi. Tanda dan gejala
prapemantauan dimanifestasikan sebagai rasa tebal dari lidah dan rasa logam, gelisah, tinitus,
dan tremor. Dukungan sirkulasi (cairan intravena, vasopresor, natrium bikarbonat IV 1 – 2 mEq
/ kg untuk mengobati toksisitas jantung (blokade saluran natrium), bretilium IV 5 mg/kg,
kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan mengamankan saluran pernapasan
pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %) merupakan hal yang penting. Tiopental (0,5 – 2 mg/kg
IV), midazolam (0,02 – 0,04 mg/kg IV), atau diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk
profilaksis dan atau pengobatan kejang. Tingkat blokade simpatik (bradikardia dengan blok
diatas T5) menentukan tingkat hipotensi (sering ditandai dengan mual dan muntah) setelah
bupivakain spinal / subarakhnoid. Hidrasi cairan (10-20 ml/kg larutan NS atau RL), obat
vasopresor (contohnya efedrin) dan pergeseran uterus ke kiri pada pasien hamil, dapat
digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan. Memberikan sulfas atropin untuk mengobati
bradikardi16.
2. Farmakokinetik bupivakain dalam ruang subarakhnoid.
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami penurunan
konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran di liquor
serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf,
absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah8. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak
dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut
saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di
medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior
(sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis17. Lama analgesik
anestetik subarakhnoid tergantung pada beberapa faktor, yang pertama adalah konsentrasi
anestetik lokal dalam liquor cerebro spinalis dan yang kedua adalah absorpsi obat anestetik
oleh sistim vaskuler. Semakin besar konsentrasinya akan semakin lama efek analgesiknya.
Konsentrasi analgesik akan menurun sesuai paruh waktu terhadap jarak dari tempat dengan
konsentrasi yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu regresi analgesik dari atas ke
bawah menuju daerah dengan konsentrasi terbesar8,9.
Penilaian terhadap lama kerja anestetik 1okal pada blok subarakhnoid dapat dilakukan
dengan berbagai cara : waktu hilangnya analgesi pada daerah operasi, waktu yang diperlukan
pemberian analgesik yang pertama kali paska bedah, waktu yang diperlukan untuk terjadinya
regresi motorik dan waktu yang diperlukan untuk terjadinya regresi analgesik pada 2 atau 4
segmen9.
3. Mula Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik
Mula kerja anestesi spinal sangat ditentukan oleh nilai pKa, semakin rendah nilai pKa
semakin cepat mula kerjanya. Bupivakain mempunyai tingkat daya ikat protein tinggi (95,6%)
namun nilai pKa juga tinggi. Pada saat ini, bupivakain 0,5% isobarik maupun hiperbarik
banyak digunakan untuk operasi abdominal bawah dengan anestesi spinal. Telah dilaporkan
bahwa bupivakain 0,5% 9,75 mg isobarik mempunyai mula kerja 5 menit lebih cepat
dibandingkan hiperbarik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian lain menemukan fakta
bahwa pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 10 mg hiperbarik
mempunyai mula kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat (rata-rata 9 menit)
dibandingkan 10 mg bupivakain isobarik (rata-rata 18 menit)18.
Bupivakain 0,5% hiperbarik mempunyai kualitas analgesik dan relaksasi motorik
intraoperatif yang kurang memuaskan, mula kerja blokade sensorik dan motorik lebih cepat
dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang bila dibandingkan dengan
ropivakain hiperbarik19.
4. Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik
Mengenai lama kerja anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi sistemiknya, jenis
anestesi lokal, besarnya dosis, vasokonstriktor dan penyebaran anestesi lokal. Semakin tinggi
daya ikat protein terhadap reseptor semakin panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama
kerja blokade sensorik dan motorik bupivakain hiperbarik lebih panjang dibandingkan dengan
bupivakain isobarik. Sedangkan penelitian menemukan fakta yang berlainan yaitu pada 20
sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik
mempunyai lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat ( rata-rata 92 menit)
dibandingkan isobarik (rata-rata 177 menit)11.
Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai lama kerja blokade
sensorik dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan bupivakain 0,5% hiperbarik.
Pemberian bupivakain 0,5% isobarik 15 mg telah dilaporkan dapat menghasilkan efek spinal
blok anestesi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pemberian bupivakain 0,5% 15 mg
hiperbarik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan,
anatomi batang spinal, tehnik injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF), density CSF dan
baricity obat anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume obat anestesi. Bupivakain 0,5%
isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur dengan CSF (paling sedikit 1:1), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi, tinggi badan dan
anatomi kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat diberikan
tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang)11.
Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan bardikardi.
Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Dilaporkan juga setelah 45 menit pemberian
bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan denyut jantung.
Disamping itu mual-muntah, blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi urin, post
dural puncture headache dan henti jantung dapat juga terjadi. Pasien dengan henti jantung
harus segera dilakukan resusitasi jantung paru dan jika perlu dilakukan pijat jantung. Bretylium
merupakan obat pilihan bila terjadi disritmia11.

KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik negatif.
Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa
penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular
(2μg/kg), intravena (1-3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan
epidural (1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan
anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama
anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi intraoperatif
dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk peripheral
nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula
spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan
lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari
kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa
sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas
dan mulut kering11.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara sentral
yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk menurunkan keluaran
sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah terbukti efektif digunakan pada
pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa
digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk
pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
1. Manfaat klinis lain

Agonis alfa-adrenergik (klonidin dan dexmedetomidine) menghasilkan sedasi,


menurunkan kebutuhan obat anestesi dan meningkatkan stabilitas hemodinamik perioperatif (
kestabilan tekanan darah dan frekuensi nadi terhadap stimulasi bedah) dan stabilitas
simpatoadrenal. Sebagai tambahan, reseptor alfa2 didalam korda spinalis memodulasi jalur
nyeri yang menghasilkan analgesia. Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvan
anestesia dan untuk memenuhi kebutuhan sedasi postoperatif tanpa depresi pernafasan, telah
dibatasi karena waktu paruh yang panjang mencapai 6-10 jam11.

2. Analgesia
Klonidin tanpa bahan pengawet yang diberikan ke dalam rongga epidural atau
subarachnoid (150 sd 450 μg) menghasilkan analgesia yang dose-dependent, tidak seperti
opioid, tidak menyebabkan depresi pernafasan, gatal-gatal, mual dan muntah, atau perlambatan
pengosongan lambung. Retensi urin, yang merupakan komplikasi umum dari opioid epidural,
jarang ditemukan ketika diberikan klonidin epidural untuk analgesi post operatif. Klonidin
menghasilkan analgesia diperkirakan melalui mekanisme aktivasi reseptor alfa2 post sinaps di
substansia gelatinosa dari korda spinalis. Klonidin dan morfin, ketika digunakan secara
bersamaan sebagai analgesia neuroaxial, tidak menghasilkan toleransi silang. Hipotensi,
sedasi, dan mulut kering dapat terjadi pada penggunaan klonidin neuroaksial untuk
menghasilkan analgesia. Penambahan klonidin sebesar 1μ/kg terhadap lidokain yang
digunakan untuk anestesi regional intravena total akan meningkatkan analgesia post operatif.
Penggunaan klonidin regional intravena sebesar 1μ/kg terbukti efektif dalam mengurangi nyeri
yang difasilitasi oleh sistem saraf simpatis11.
3. Medikasi pre anestetik
Pemberian medikasi klonidin per oral (5μ/kg) dapat (a)menumpulkan refleks takikardi
yang berkaitan dengan laringoskopi direk untuk intubasi trakea, (b) menurunkan
ketidakstabilan tekanan darah dan frekuensi nadi, (c) menurunkan konsentrasi katekolamin
plasma, dan (d) menurunkan secara dramatis kebutuhan zat anestetik inhalasi (MAC) dan obat
yang diberikan intra11.
Dosis klonidin yang sama dapat meningkatkan analgesia post operatif yang dihasilkan
oleh morfin dan tetrakain intratekal tanpa meningkatkanintensitas efek samping dari morfin.
Aktivasi sistem saraf simpatis yang dihasilkan oleh pemberian desfluran dan ketamin dapat
ditumpulkan oleh klonidin. Sebagai contoh, premedikasi klonidin oral 5μ/kg yang diberikan
90 menit sebelum induksi anestesi akan menstabilkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi
nadi yang secara normal mengikuti pemberian ketamin 1m/kg i.v. Itu telah diobservasi bahwa
medikasi konidin oral sebelum anestesi meningkatkan respons tekanan efedrin i.v11.
Respon peningkatan ini penting pada pemberian dosis efedrin untuk mengatasi
hipotensi yang berkaitan dengan pemberian klonidin selama periode perioperatif. Fakta bahwa
efek yang paling jelas dari klonidin terlihat pada penurunan aktivitas sistem saraf simpatis
mendahului kemungkinan peningkatan respon kardiovaskular terhadap hipotensi. Namun,
didapatkan bukti bahwa konsentrasi katekolamin plasma dapat meningkat sebagai respon
terhadap hipotensi meskipun sudah diberikan klonidin sebelumnya11.
4. Memperpanjang Efek Anestesia Regional
Penambahan klonidin sebesar 75 sampai 150 μg dalam larutan yang mengandung
tetrakain atau bupivakain yang diberikan dalam ruang subaraknoid dapat memperpanjang
waktu blokade saraf sensorik dan motorik yang dihasilkan oleh anestetik lokal. Klonidin
sebesar 150μg yang ditambahkan ke dalam bupivakain intratekal adalah dosis yang disarankan
untuk memperpanjang efek anestetik dan analgesi tanpa menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan11.
Kebutuhan pemberian cairan dan dan penurunan tekanan darah diastolik kemungkinan
lebih besar terjadi pada pasien yang mendapat larutan anestetik lokal yang mengandung
klonidin. Efek bradikardi pada janin membatasi penggunaan klonidin subaraknoid dalam
kebidanan. Klonidin oral sebesar 150-200μg yang diberikan 1-1,5 jam sebelum anestesi spinal
dengan tetrakain atau lidokain menghasilkan pemanjangan anestesi sensorik yang jelas. Pada
laporan yang lain, klonidin oral sebesar 200μg dapat memperpendek onset dari tetrakain untuk
memblokade sensorik dan memperpanjang waktu blokade sensorik dan motorik. Namun,
premedikasi klonidin meningkatkan risiko bradikardi dan hipotensi yang bermakna secara
klinis. Mekanisme tentang bagaimana klonidin oral dapat memperpanjang anestesi spinal
belum dapat ditentukan. Penambahan 0,5μg/kg klonidin ke dalam larutan yang mengandung
mepivacain 1% dapat memperpanjang durasi blok pleksus brakialis yang diberikan lewat
aksila11.

EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami
ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin
benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara langsung” pada sel efektor1.
1. Farmakodinamik
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α219. Efek pada α1 di
perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah
melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena
terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin
melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari
timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan
menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat
dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya.21 Hanya I-efedrin
dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi
berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan
diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan
oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan
kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex
kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang,
sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin,
penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin karena efek
efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga respon peningkatan TD
lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran
darah koroner dan peningkatan SVR. Efedrin bolus 5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit
meningkatkan SVR dan peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari
akumulasi dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi
vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain melalui reseptor
α2. Melalui reseptor â1 akan meningkatkan kontraktilitas otot jantung21.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi karena
subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan inhalasi. Untuk
mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 25-50 mg IM. Pemberian efedrin
sampai dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara bermakna. Efedrin dapat menurunkan
renal blood flow (RBF), dan efek metabolik berupa peningkatan gula darah, namun
peningkatan gula darah ini tidak sebesar akibat epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan
mengurangi aktivitas otot uterus, dan pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos
bronkus, sehingga dapat dipakai untuk pengobatan asthma bronchial . Bronkorelaksasi oleh
efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dibandingkan dengan epinefrin21.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek cahaya, daya
akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus dikurangi oleh efedrin : efek
ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula
darah dibandingkan dengan Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi
lebih lemah. Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:
 Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
 Tidak menstimulasi saraf pusat
 Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan20.
2. Farmakokinetik
Efedrin yang merupakan golongan nonkatekolamin, digunakan dalam klinik umumnya
efektif pada pemberian oral karena efedrin resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak
terdapat pada dinding usus, hati dan ginjal20.
3. Efek Samping, Toksisitas dan Kontraindikasi
Efek samping penggunaan efedrin serupa dengan efek samping pada penggunaan
epinefrin, dengan tambahan efek sentral efedrin. Pemberian efedrin dapat menimbulkan gejala
seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah,
pusing, pucat, sukar bernafas dan palpitasi21.
Dosis efedrin yang besar dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan
darah yang hebat. Efedrin juga dapat menyebabkan terjadinya aritmia yang bersifar fatal pada
penderita penyakit jantung organik. Insomnia, yang sering terjadi pada pengobatan kronik,
mudah diatasi dengan pemberian sedatif20.
Efedrin dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-blocker nonselektif,
karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan
hipertensi yang berat dan perdarahan otak20.

EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh bagian
medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuron-neuron tertentu
yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan stimulator yang kuat pada
reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat
frekuensi denyut jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan
mengeluarkan efek metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan
dilepas sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai vasokonstriktor
topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara intranasal, intraoral,
parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine (noradrenalin) adalah suatu katekolamin
alamiah atau neurohormon yang dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa
saraf otak, juga disekresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan
splanchnicus dan disimpan dalam granul kromafin. Norepineprine merupakan
neurotransmitter utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine
merupakan vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap
hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk garam
bitartat22.
Aktivitas neural adrenergik mempengaruhi aktivitas renin plasma. Efek adrenalin,
adalah menstimulasi reseptor β pada jantung, meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan curah jantung, meningkatkan metabolisme otot
jantung dan konsumsi oksigen, mengakibatkan sistole jantung abnormal karena tingginya
frekuensi denyut jantung, dan aritmia ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih
kecil dari adrenalin, yaitu menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan
membran mukosa, vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah
reseptor β,berakibat menurunnya tahanan perifer pembuluh darah. Efek adrenalin/noradrenalin
pada kerja jantung, meningkatkan tekanan sistole jantung oleh karena aktivitas otot jantung
dan menurunkan tekanan diastole dengan peningkatan tahanan perifer. Efek kedua hormon ini
terhadap kerja otot jantung dapat dihambat dengan agent pemblok reseptor β seperti
propranolol22.
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional. Adrenalin
digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan meningkatkan tindakan
anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan mengurangi aliran darah pada tempat
penyerapan lokal anestesi dan dan opioid, dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat
anestesi. Mekanisme yang kedua yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin
dijelaskan dalam dua jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan
kompartemen dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf)22.
Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi spinal sehingga
memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok yang mempengaruhi dosis
adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu, misalnya, pemberian adrenalin 200 µg
intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang
blokade motorik, dan memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.

FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan
sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl
digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit
pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk
mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien
yang siap menggunakan analgesik narkotika23.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa
efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang
lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai
dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara
bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan
kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa
pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg
(0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih
rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan epidural. Jika
digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan kedalaman anestesi dengan
mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja
cepat dan lama kerja pendek sehingga insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil
penelitian didapatkan dimulainya blok terhadap sensorik pada T6.25
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada anastesi spinal
dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah
sistolik dapat menurun juga25.
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan

Nn. S dengan diagnosis ureterolithiasis pro URS. Dari hasil anamnesis dan

pemeriksaan fisik pre operatif menunjukkan keadaan pasien dengan status ASA II.

Urutan tindakan :

1. Pasien dibaringkan diatas meja operasi, kemudian dipasang monitor dan manset

sfignomanometer. Lalu kita lakukan pemeriksaan tanda vital dan pemasangan infus

asering dikarenakan agar pasien tidak kekurangan cairan.

2. Kemudian dilakukan injeksi spinal dengan Bunascan 0,5 %.

3. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat

dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Jika stadium anestesi sudah cukup

dalam, reflek bulu mata hilang, nasal canule dipasang dengan aliran oksigen 3 liter.

4. Selama operasi perhatikan tanda-tanda vital.

5. Operasi berlangsung 30 menit, tanda vital dan SaO2 baik selama operasi.

6. Pada saat pasien sudah berada di recovery room oksigenasi dengan O2 tetap diberikan,

kemudian dilakukan fungsi vital menurut Bromage score

7. Gerakan penuh di tungkai :0

Total score =0

Kesimpulan : pasien diperbolehkan ke ruang perawatan


B. Kesimpulan

1. Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan


obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
2. Anestesi spinal menyebabkan penurunan potensial aksi pada membran sehingga
terjadilah kegagalan konduksi saraf.
3. Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid, dimana
daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada
dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan sacus
duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa
dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.
4. Indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh
yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah).
5. Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade. In :
Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages 203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan bupivakain
pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah berkala X-IDSAI.
Bandung; 520-521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
Hal 101-104.
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and Analgesia.
Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI. Jakarta.
2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta.
2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E,
Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia. Forth
Edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages 449-465.
11. Aziz, AA. Perbandingan antara Klonidin 2ug/kgbb dan 4ug/kgbb Per Oral terhadap Level
Sedasi, Pemanjangan Blokade Sensorik dan Motorik pada Anestesi Spinal dengan
Bupivakain 5 % Isobarik untuk Operasi Abdomen Bawah. Tesis. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta. 2010.
12. Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In Clinical
Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International Inc. 2006. Pages 266-
267.
13. Muhiman, M, Thaib,R,dkk. Anestesi Regional dalam Buku Anestesiologi. FKUI. Jakarta.
2004.
14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2009. Available in
Website : www.nysora.com.
15. Campbell, NJ. Effective Management of The Post Dural Puncture Headache. Anaesthesia
Tutorial of The Week 181. 2010. Available at website :
http://www.totw.anaesthesiologists.org
16. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand. Vol 35:1-10.
17. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia. Philadelphia. WB
Saunders company. 1996. Pages 188-197.
18. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spanal Bupivacaine on Sensory and
Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments for Turp.
Anesthesiology : 43-6
19. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK. Hyperbaric or Plain Bupivacaine Combined with
Fentanyl for Spinal Anesthesia During Caesarean Delivery. Indian Journal of
Anesthesiology. Vol 48 : 44-6
20. Setiawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FKUI. Jakarta. 2005. Pages 67-71.
21. Kusumawardhani, RR. Perbandingan Dosis Efedrin 0,1 mg/kgbb dengan 0,2 mg/kgbb untuk
Mencegah Hipotensi Akibat Spinal Anestesi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret. Surakarta. 2009.
22. Lamanepa, Maria EL. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi Aterosklerosis
pada Tikus Wistar yang Diberi Diet Perasan Pare dengan Diet Perasan Pera dan Statin.
Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. 2005.
23. Anonymous. Obat Analgetik Antipiretik. 2006. Available at website :
http://www.medicastore.com
24. Harsoor, Vikram. Spinal Anaesthesia with Low Dose Bupivacaine with Fentanyl for
Caesarean Section. SAARC Journal of Anaethesia. Vol 12 : 142-145. 2008. Available at
website : http://www.saarcaa.com
25. Bogra, Arora, Srivastava. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl and Bupivacaine in
Spinal Anaesthesia for Cesarean Section. BioMed Central Journal. Vol 5. 2005. Available
at website : http://www.biomedcentral.com\

Anda mungkin juga menyukai