Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

TB PARU TCM (+) HIGH RIFFAMPISIN SENSITIF


KASUS BARU DALAM TERAPI OAT KATEGORI I
BULAN I, PNEUMONIA KOMUNITI E.C Acinetobacter
baumanni complex, ANEMIA, DAN MALNUTRISI

Diajukan kepada:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh:
Olivia Safitri 1910221023

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TB PARU TCM (+) HIGH RIFFAMPISIN SENSITIF KASUS BARU DALAM


TERAPI OAT KATEGORI I BULAN I, PNEUMONIA KOMUNITI E.C
Acinetobacter baumannii complex, ANEMIA, DAN MALNUTRISI

Disusun oleh:

Olivia Safitri 1910221023

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal : 14 November 2019

Purwokerto, 14 November 2019

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang diakibatkan oleh


kuman tuberkulosis (TB) (Mycobacterium tuberculosis) (Balitbangkes,
Kementerian Kesehatan RI, 2018). Penyakit tuberkulosis merupakan peringkat
kesembilan yang menyebabkan kematian di dunia, diatas peringkat penyakit
Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(HIV/AIDS). Indonesia menduduki peringkat kedua dengan kasus TB terbanyak di
dunia setelah India, dan diikuti oleh China, Filipina, dan Pakistan (WHO, 2017).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, Provinsi DKI Jakarta menempati
peringkat ketiga dengan prevalensi TB tertinggi di Indonesia dengan jumlah sebesar
0,6% setelah Provinsi Jawa Barat dan Papua. Menurut Global Tuberculosis Report
WHO (2016), diperkirakan insidens tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015
sebesar 395 kasus/100.000 penduduk sedangkan untuk angka kematian sebanyak
40/100.000 penduduk (penderita HIV dengan tuberkulosis tidak dihitung).
Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk).
Tiga indikator yang mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high
burden countries (HBC) dengan TBC adalah TBC, TBC-HIV, MDR-TBC, dimana
Indonesia bersama dengan 13 negara lainnya masuk ke dalam daftar HBC dengan
3 indikator tersebut yang artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam
menghadapi TBC. Angka notifikasi kasus/ Case Notification Rate (CNR) dari
semua kasus pada tahun 2017 dilaporkan sebanyak 161/100.000 penduduk. Jumlah
kasus TB kasus baru di Indonesia pada tahun 2017 adalah sebesar 420.994 kasus,
dengan 175.696 kasus pada perempuan dan 245.298 kasus pada laki-laki.
Prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014 sebesar 795 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun keatas dan prevalensi TBC dengan BTA positif adalah sebesar
257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Persentase pasien TBC yang
positif HIV diantara pasien TBC pada tahun 2017 meningkat menjadi 1,85% dari
0,34% pada tahun 2009. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus
yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan sebanyak 12% kasus
TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang (Kemenkes RI, 2016).
Penatalaksanaan dari penyakit TB yang baik ditentukan dari pemahaman
yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi,
tatalaksana dan prognosis dari penyakit TB itu sendiri.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. T
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Klapagading Kulon, Wangon
Tanggal Masuk RSMS : 07 November 2019
Tanggal Periksa : 07 November 2019
Nomor Rekam Medik : 02118283

II. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan Utama
Sesak napas
b. Lokasi
Dada
c. Onset
2 bulan SMRS
d. Kuantitas
Hilang timbul hingga mengganggu aktivitas
e. Kualitas
Terdengar seperti bunyi ngik-ngik dan mengganggu
aktivitas
f. Faktor Memperberat
Saat beraktivitas
g. Faktor Memperingan
Istirahat dengan posisi berbaring dan sedikit
menggerakan tangan
h. Keluhan Tambahan
 Batuk berdahak kurang lebih sudah 3 bulan SMRS,
dahak awalnya berwarna putih lama kelamaan
menjadi kental berwarna kuning kehijauan.
 Demam naik turun sudah dirasakan 1 bulan
 Penurunan BB sebanyak 12-15 kg dalam 3 bulan
terakhir.
 Lemas
i. Kronologi
Pasien Tn. T datang ke IGD RSMS dengan keluhan
sesak nafas disertai dengan demam yang tinggi. Keluhan
sesak nafas ini dirasakan semakin parah dalam 2 minggu
terakhir SMRS sedangkan keluhan demam naik turun
sudah dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Sebelum sesak
pasien lebih dahulu merasakan batuk berdahak (3 bulan
SMRS) yang lama kelamaan dahak kental berwarna
kuning kehijauan. Pasien merasakan penurunan berat
badan sekitar 12-15 kg dalam 3 bulan terakhir ini.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Penyakit Paru : disangkal
 Riwayat konsumsi OAT : disangkal
 Riwayat Penyakit Hati : disangkal
 Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
 Riwayat Stroke : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Penyakit Tiroid : disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien berdagang dan mengontrak di daerah Jakarta.
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya di lingkungan
kontrakan pasien sangat berdempetan dan tampak kumuh.
Disekitar kontrakan pasien, banyak tetangga yang
memelihara burung. Teman pasien yang mengontrak
disebelah kamarnya memiliki keluhan yang serupa dan
sering bermain dan menginap di kamar pasien.
b. Home
Pasien tinggal sendiri di kontrakan. Pasien
mengatakan kamarnya cukup ventilasi, memiliki 2 buah
jendela di depan kamar yang menghadap ke matahari.
Namun pasien mengaku tidak pernah membuka jendela
karena takut mengganggu jalan akibat lingkungan pasien
yang sangat sempit. Teman pasien yang tinggal di
sampingnya mengalami keluhan batuk-batuk berdahak
yang sudah lama dan sering bermain atau menginap di
kamar pasien.
c. Occupational
Pasien saat ini berdagang di daerah Jakarta. Pasien
mengeluhkan sesak napas yang lama-kelamaan semakin
parah dalam 1 bulan terakhir sehingga mengganggu
aktivitas pasien. Akibat dari keluhannya ini pasien berhenti
berdagang dan kembali pulang ke kampung halaman di
Klapagading, Wangon, untuk berobat di RSMS.
d. Personal Habit
Pasien mengatakan tidak pernah merokok sama sekali,
mengaku sebagai perokok pasif.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan Umum/Kesadaran : Baik/Compos Mentis, GCS E4M6V5
b. BB : 44kg
c. TB : 160 kg
d. IMT : 17.18 (underweight)
e. Vital sign
 Tekanan Darah : 90/60 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 37oC
f. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesocephal
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata, tidak rontok.
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3mm
3) Telinga
- Otore (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Nyeri tekan (-/-)
- Discharge (-/-)
4) Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Discharge (-/-)
- Rinorhea (-/-)
5) Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakea : deviasi trakea (-/-)
- Kelenjar limfoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar tiroid : tidak membesar
7) Dada
a. Paru
- Inspeksi : Simetris, thorakoabdominal
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi Intercostalis (-)
Retraksi Epigastrik (-)
- Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Rhonki basah halus (-/-)
Rhonki basah kasar (+/+)
Wheezing (-/-)
b. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
- Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
- Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
- Batas jantung kanan bawah : SIC V LPSD
- Batas jantung kiri bawah : SIC V LMAS
- Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar, striae (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
nyeri ketok costovertebrae (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan costovertebrae (-)
undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstremitas
- Superior : deformitas (-), jari tabuh (-)
edema (-/-), sianosis (-/-)
akral hangat (+/+), CTR <2 detik
- Inferior : deformitas (-)
edema (-/-), sianosis (-/-)
akral hangat (+/+), CTR <2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium 07 November 2019
DARAH LENGKAP
PEMERIKSAAN
HASIL NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,5 L 13,2 – 17,3
Leukosit 13.570 H 3.000 – 10.600
Hematokrit 32 L 40 – 52
Eritrosit 4,2 L 4,4 – 5,9
Trombosit 339.000 150.000 – 440.000
MCV 74,5 L 80 – 100
MCH 24,8 L 26 – 34
MCHC 33,3 32 – 36
RDW 14,3 11,5 – 14,5
MPV 10,9 9,4 – 12,4
Hitung Jenis
Basofil 0,1 0–1
Eosinofil 0,1 L 2–4
Batang 0,7 L 3–5
Segmen 88 H 50 – 70
Limfosit 7,4 L 25 – 40
Monosit 3,7 2–8
Kimia Klinis
SGOT 118 H 12 – 37
SGPT 52 16 – 63
Kreatinin Darah 1,11 0,70 – 1,30
GDS 125 <200
Kalium 3,6 3,4 – 4,5
Klorida 93 L 96 - 100

b. Foto Rontgen Thoraks RSMS


c. Hasil TCM 10 November 2019

d. Hasil Mikrobiologi 12 November 2019


PEMERIKSAAN
HASIL
MIKROBIOLOGI
KULTUR + KTA SPUTUM
Bakteri Batang Gram
Pewarnaan Gram
Negatif
Acinetobacter baumanii
Kultur/Biakan
complex
Jumlah Kuman -
Hasil Tes Kepekaan
Lain-Lain
Antibiotik Terlampir

V. DIAGNOSIS
1. TB Paru TCM (+) High Riffampisin Sensitif Kasus Baru dalam
Terapi OAT Kategori I Bulan I, Status HIV Negative
2. Pneumonia Komuniti ec. Infeksi Bakteri Acinetobacter baumannii
complex
3. Anemia
4. Malnutrisi

VI. PENATALAKSANAAN
1. OAT 4FDC 3X1 tab
2. Ciprofloxacin 2x500 mg tab
3. Vit. B6 1x 10 mg tab
4. Curcuma 3x1 tab
5. N Acetyl Cysteine 200 mg 3x1 kaps
6. Paracetamol 3x500 mg

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari bakteri
Mycobacterium tuberculosis complex (World Health Organization, 2004),
sedangkan menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018,
tuberculosis adalah penyakit yang ditularkan langsung oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis).

II. Etiologi
Disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosis
bersifat aerob. Karena itu kuman lebih senang pada jaringan yang tinggi akan
kandungan oksigennya sehingga pada bagian apikal paru, yang memiliki tekanan
oksigennya lebih tinggi dari bagian lainnya, merupakan tempat predileksi dari
penyakit tuberkulosis. Kuman ini berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron
dan lebar 0,2 – 0,6 mikron. Pada pemeriksaan mikroskop akan terlihat berbentuk
batang berwarna merah dalam pewarnaan Ziehl Neelsen dan membutuhkan media
khusus untuk biakan seperti Lowenstein Jensen.
Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin bahkan dapat bertahun-tahun dalam lemari es. Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangun kembali dan
menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif kembali.

III. Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis setiap tahunnya menginfeksi sekitar 9.000.000 orang
dan membunuh hamper 1.400.000 orang diseluruh dunia (WHO, 2011). Negara-
negara bagian Asia Tenggara merupakan penyumbang terbesar insidens TB
sebanyak 45% dari jumlah kasus yang ada (Global Tuberculosis Report, 2017).
Menurut World Health Organization pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan
ke-8 untuk kasus MDR-TB. Kasus MDR-TB diperkirakan setiap tahunnya akan
terus meningkat. Sebanyak 2% dari kasus TB Baru dan 12% dari kasus TB dengan
pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR (Kemenkes RI, 2011; Reviono,
2014).

IV. Patogenesis
Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan
pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman
tuberkulosis untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran
pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini
disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan infeksi primer
tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh
dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi
kuman dengan jaringan pengikat.
Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister” atau
“dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi
penderita tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini
biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya
batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun
lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat
sangat menular. Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun setelah infeksi primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya efusi pleura. Risiko terinfeksi
tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal, terutama adalah
faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan kumuh.
Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya
sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi
HIV/AIDS, dan pengobatan dengan immunosupresan.
V. Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak (BTA)
1) Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala


International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALD):
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif.
 Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+).
 Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+).
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+).

2) Tuberkulosis Paru BTA (-)


a) Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
b) Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. tuberkulosis positif.
c) Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.
b. Berdasarkan Tipe Penderita
1) Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
(30 dosis harian).
2) Kasus Kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologic
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
3) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di
suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4) Kasus Lalai Berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang satu bulan
dan berhenti dua minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
5) Kasus Gagal
a) Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
b) Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan
atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.
6) Kasus Kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan
nyang baik.
7) Kasus Bekas TB
a) Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika fasilitas ada)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologik.

Klasifikasi tuberkulosis menurut Depkes RI tahun 2014 adalah sebagai


berikut:
a. Berdasarkan letak anatomi penyakit
1. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena letak
lesinya berada di dalam paru.
2. Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang mengenai organ lainnya selain
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, traktus
genitourinarius, kulit, sendi, tulang, dan selaput otak. Kasus TB ekstra
paru ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan dengan
konfirmasi bakteriologis.
b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1. Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari 1 bulan atau kurang dari 28 dosis.
2. Pasien yang sudah pernah diobati TB adalah pasien yang sudah pernah
menelan OAT sebelumnya selama 1 bulan atau lebih atau ≥28 dosis.
Diklasifikasikan kembali sebagai berikut:
a. Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
b. Pasien yang diobati setelah gagal obat adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir
c. Pasien yang diobati setelah putus obat adalah pasien yang pernah
diobati dan dinyatakan lost to follow up
d. Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelum tidak diketahui.
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
1. Mono resistan (TB MR)
Resistan terhadap salah satu jenis OAT.
2. Poli resistan (TB PR)
Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid dan Riffampisin secara bersamaan.
3. Multi durg resistan (TB MDR)
Resistan terhadap Isoniazid dan Riffampisin secara bersamaan.
4. Extensive drug resistan (TB XDR)
TB MDR yang juga sekaligus resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu OAT lini kedua
jenis suntikan seperti Kanamisin atau Amikasin.
5. Resistan Riffampisin (TB RR)
Resistan terhadap Riffampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap
OAT lain yang terdetesi menggunakan metode genotip dan fenotip.
d. Berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV + (pasien koinfeksi TB-HIV)
a. Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART
b. Hasil tes HIV positif saat diagnosis TB didirikan
2. Pasien dengan HIV –
a. Hasil tes HIV negative sebelumnya
b. Hasil tes HIV negative saat diagnosis TB didirikan
VI. Diagnosis
Menurut PDPI, diagnosis TB ditegakkan berdasarkan:
a. Gejala Klinik
1) Gejala respiratorik
a) Batuk ≥ 2 minggu
b) Batuk darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
2) Gejala sistemik
a) Demam
b) Malaise
c) Keringat malam
d) Anoreksia
e) Berat badan menurun
b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
c. Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsy (termasuk biopsy jarum
halus/BJH).
d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar adalah foto toraks (PA). Gambaran radiologis
menurut PDPI dibedakan menjadi:
1) Lesi TB Aktif
a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c) Bayangan bercak milier.
d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
2) Lesi TB Inaktif
a) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas.
b) Kalsifikasi atau fibrotik.
c) Schwarte atau penebalan pleura.
3) Luluh Paru (Destroyed Lung)
4) Luas Lesi (terutama pada kasus BTA Negatif)
a) Lesi Minimal
Bila proses mengenai satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak diatas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis
5) dan tidak dijumpai kaviti.
b) Lesi Luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis
Association, berdasarkan luasnya, tuberkulosis paru dikategorikan sebagai
berikut:
a) Minimal Lesion
Luas sarang-sarang yang terlihat tidak melebihi daerah yang
dibatasi oleh garis media, apeks dan iga-iga depan, sarang-sarang
soliter dapat berada dimana saja tidak harus berada dalam daerah
tersebut. Tidak ditemukan adanya kavitas.
b) Moderatly Advanced Tuberculosis
Luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi
luas satu paru, sedangkan bila ada kavitas tidak melebihi 4cm. kalau
sifat bayangan sarang-sarang berupa awan-awan yang menjelma
menjadi daerah konsolidasi yang homogen luasnya tidak boleh
melebihi luas satu lobus.
c) Far Advanced Tuberculosis
Luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada
kalsifikasi kedua diatas, atau bila ada kavitas maka diameter
keseluruhan semua lubang lebih dari 4cm.
e. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Polymerase chain reaction (PCR)
Untuk mendeteksi DNA kuman. Hasil pemeriksaan PCR dapat
membantu menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil
pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB.
2) Pemeriksaan BACTEC
Merupakan metode radiometric yang dimana kuman TB akan
memetabolisme asam lemak yang nanti menghasikan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi
salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
penegakkan diagnosis.
3) Pemeriksaan Darah
LED (laju endap darah) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan.
Data ini sangat penting sebagai indicator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologic penderita sehingga dapat digunakan unutk
salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi jika hasil normal belum tentu dapat
menyingkirkan TB.
Kadar limfosit juga dapat menggambarkan daya tahan tubuh
penderita yaitu dalam keadaan supresi atau tidak. Hasil limfosit pun
juga kurang spesifik untuk mendiagnosis TB.
4) Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti untuk mendeteksi infeksi TB
didaerah dengan prevalensi TB rendah. Uji ini akan mempunyai makna
ada daerah prevalensi TB tinggi bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang
didapat besar sekali atau bula.
f. Diagnosis TB Paru Orang Dewasa
1) Dalam upaya pengendalian TB secara nasional maka diagnosis TB
Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis.
2) Apabila hasil bakteriologis negative maka penegakkan diagnosis TB
dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjang, sekurang-kurangnya pemeriksaan foto toraks.
3) Pada sarana terbata, penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotika spectrum luas yang tidak
memberikan perbaikan klinis
4) Tidak dibenarkan apabila mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis
5) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan foto
toraks saya. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
spesifik pada TB paru sehingga dapat menyebabkan terjadinya over
atau underdiagnosis.
6) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan melakukan uji
tuberkulin.
g. Diagnosis TB Ekstra Paru Orang Dewasa
1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena.
2) Diagnosis pasti pada pasien TB Ekstra Paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan atau histopatologis yang
diambil dari organ tubuh yang terkena
3) Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan
keluhan dan gejala yang sesuai untuk menemukan kemungkinan
adanya TB Paru.
Algoritma Penegakan Diagnosis TB (Depkes RI, 2011)

VII. Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan). Obat yang dipakai biasanya atau merupakan obat
lini pertama yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

Tabel 1 Obat Anti Tuberkulosis


Obat Dosis Efek Samping
Rifampisin 10 mg/kgBB, maksimal 600 Tidak nafsu makan, mual,
mg selama dua – tiga kali sakit perut, purpura dan
seminggu renjatan (syok)
Isoniazid 5 mg/kg BB, maksimal Kesemutan s/d rasa terbakar
300mg dan dosis maksimal di kaki
tiga kali seminggu 900 mg
Pirazinamid 20-40 mg/kgBB, maksimal 3 Nyeri sendi
gram dibagi dalam tiga kali
seminggu
Streptomisin 15 mg/kgBB/hari, maksimal Gangguan keseimbangan, tuli
1000 mg
Etambutol 15-30 mg/kgBB/hari Gangguan penglihatan
Sumber : PDPI, 2006
Dosis harian rifampisin 10 mg/kgBB dengan maksimal dosis 600 mg selama
dua sampai tiga kali seminggu. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa efek
samping ringan dan efek samping berat. Efek samping ringan yang ditimbulkan
berupa sindrom flu (menggigil, demam, dan nyeri tulang), sindrom perut (sakit
perut, mual, tidak nafsu makan, dan kadang diare), dan sindrom kulit seperti gatal-
gatal kemerahan. Untuk efek samping berat terjadi sangat jarang seperti hepatitis
imbas obat, purpura, anemia hemolitik akut, syok, gagal ginjal, dan sesak napas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urine, keringat, air mata, dan air
liur. Warna merah terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.

Obat lini pertama selanjutnya adalah isoniazid dengan jumlah dosis harian 5
mg/kgBB dengan dosis maksimal 300mg dan dosis maksimal untuk tiga kali
seminggu adalah 900mg. Efek samping ringan yang terjadi akibat isoniazid dapat
berupa tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan
nyeri otot. Hal ini dapat terjadi akibat kurangnya konsumsi piridoksin atau vitamin
B6 sehingga efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosisi
100mg/hari atau pemberian vitamin B kompleks. Efek samping berat yang dapat
terjadi berupa hepatitis imbas obat.

Dosis harian pirazinamid 20-40 mg/kgBB dengan dosis maksimal 3 gram dan
dibagi menjadi tiga kali seminggu. Efek samping utama yang terjadi adalah
hepatitis imbas obat, nyeris sendi juga dapat terjadi dan bias diberikan dengan
aspirin, dan juga dapat terjadi arthritis gout yang kemungkinan disebabkan karena
kurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang juga terjadi reaksi seperti
demam, mual, dan muntah.

Etambutol diberikan dengan dosis harian 15-30 mg/kgBB. Efek samping


yang terjadi dapat menyebabkan gangguan penglihatan seperti berkurangnya
penglihatan, buta warna merah atau hijau. Gangguan penglihatan akan kembali
normal bila penggunaan obat dihentikan.

Obat anti tuberkulosis lini pertama yang terakhir adalah streptomisin dengan
dosis harian yang diberikan adalah 15 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal adalah
1000 mg. Efek samping yang terjadi adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejala yang terlihat berupa tinitus, pusing,
dan kehilangan keseimbangan. Gejala ini akan menghilang bila obat dihentikan atau
diturunkan dosis sebanyak 0,25gram. Efek samping lain yang dapat terjadi yaitu
reaksi hipersensitivitas berupa demam disertai sakit kepala, muntah, dan eritema
pada kulit. Obat ini dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak dapat diberikan
pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin.
OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB
yang adekuat harus memenuhi prinsip :
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO) sampai selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam
dua tahap yaitu:
a. Tahap Awal (Intensif)
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada
tahap ini dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal harus diberikan selama
2 bulan. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negative (konversi) dalam 2
bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman
persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan
WHO dan IUATLD merekomendasikan paduan OAT standar yaitu:
1. Kategori 1
a. 2HRZE/4H3R (3)
b. 2HRZE/4HR
c. 2HRZE/6HE
2. Kategori 2
a. 2HRZES/HRZE/5H3R3E (3)
b. 2HRZES/HRZE/5HRE (3)
3. Kategori 3
a. 2HRZ/4H3R3
b. 2HRZ/4HR
c. 2HRZ/6HE
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggualangan TB di
Indonesia

Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa


1. Paduan OAT Kategori 1 untuk pasien baru:
a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
c. Pasien TB paru BTA negative foto toraks positif
d. Pasien TB ekstra paru
Dosis Panduan OAT KDT Kategori I 2(RHZE)/4(HR)
(Depkes RI, 2011).

Dosis Panduan OAT Kategori I 2(RHZE)/4(RH)3 (Depkes RI,


2011).

2. Paduan OAT Kategori 2 diberikan kepada


a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT Kategori 1
sebelumnya
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat.

Dosis panduan OAT Kategori 2 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)


Dosis panduan OAT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}

3. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisisn, Kapreomisin , Levofloxacin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan
obat TB baru lainnya serta OAT lini-1 yaitu pirazinamid dan etambutol.
Dosis panduan OAT Resisten Obat

VIII. Diagnosis Banding


1) Pneumonia
2) Tumor/Keganasan Paru
3) Jamur Paru
4) Asma
5) Penyakit Paru akibat Kerja
IX. Prognosis
Dubia tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakeri, gizi
dan status imun. Baik bila pasien patuh menelan obat dalam waktu yang
ditentukan.
X. Pencegahan
Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi
petugas sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman
TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu:
a. Pengendalian Manajerial
Meliputi 1) membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB. b) membuat
SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan
dan surveilans serta membuat perencanaan program PPI TB secara
komprehensif.
b. Pengendalian Administratif
Upaya yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pajanan
kuman M.tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien,
pengunjung, dan lingkungan yang mencakup
i) Strategi TEMPO (Temukan pasien secepatnya, Pisahkan
secara aman, Obati secara tepat)
ii) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
iii) Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu,
serta pembuangan dahak yang benar
iv) Skrining bagi petugas yang merawat pasien
c. Pengendalian Lingkungan
Upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan
mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida.Sistem ventilasi berupa, ventilasi
alamiah, ventilasi mekanik, dan ventilasi campuran Pemilihan jenis
sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan
kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan
bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu
dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.

d. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) 2010
menjelaskan tentang pencegahan penularan penyakit TBC, yaitu:
1) Pencegahan oleh masyarakat
a) Makan-makanan yang bergizi seimbang sehingga daya
tahan tubuh meningkat
b) Tidur dan istirahat yang cukup
c) Tidak merokok, minum alcohol dan menggunakan
narkoba
d) Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan
lingkungan
e) Membuka jendela agar masuk sinar matahari disemua
ruangan
f) Imunisasi BCG bagi balita
g) Melakukan imunisasi bagi orang-orang yang melakukan
kontak langsung dengan penderita dengan vaksin BCG
dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
2) Pencegahan oleh penderita
a) Tidak meludah atau membuang dahak disembarang
tempat tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup.
b) Menutup mulut saat batuk atau bersin dengan saputangan
atau tisu dan mencuci tangan
c) Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udaha dan
sinar matahari dapat masuk karena sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman TB.

e. Pencegahan oleh Petugas


Adalah dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB
meliputi tanda dan gejala, bahaya, penularan dan dampak yang
ditimbulkan, pengobatan, serta pencegahan penularan. Penyuluhan
juga dapat diberikan secara khusus kepada klien agar klien rajin
berobat untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain
maupun anggota keluarga lain agar tercipta rumah sehat sebagi
upaya mengurangi penyebaran penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar A, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Bahera, D. 2010. Textbook of pulmonary medicine2nd Ed. New Delhi: Jaypee


Brothers Medical Pub. p. 457.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI 2018,


Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh, Pusat Data dan Informasi
Kementerian kesehatan RI, Jakarta

Depkes RI. 2011. Panduan Nasional Penanggulangan TBC. Jakarta: Kemenkes


RI.

Gadallah M A, Mokhtar A, Rady A, El-Moghazy E, Fawzy M, Kandil S K (2015).


Prognostic factors of treatment among patient with multidrug-resistant
tuberculosis in Egypt. Journal of the Formosan Medical Association; 20:1- 7.

Horsburgh, C.R., 2009. Epidemiology of Tuberkulosis

Kartasasmita, C.B., 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2); 124-


125.

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes RI, 2014. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2016, Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti : Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh dari
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-
pneumoniakom/pnkomuniti.pdf pada tanggal 11 Desember 2014

Retno, AW. 2014. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.


Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga. FKUI

World Health Organization (WHO) 2017, Global Tuberculosis Report 2017

Anda mungkin juga menyukai