Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Yedi Fourdiana, Sp.OG
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Presentasi
Kasus yang berjudul “G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante
Partum ec Plasenta Previa + HbsAg”. Penulisan Presentasi Kasus ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian
departemen ilmu Obstetri dan Ginekologi di RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan Presentasi kasus ini tidak
terlepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu, terutama kepada dr. Yedi Fourdiana, Sp.OG yang telah
memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas
beliau.
Penulis menyadari penulisan Laporan kasus ini masih jauh dari sempurna
mengingat keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan
Presentasi Kasus ini. Akhir kata penulis berharap penulisan Referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus Hepatitis B (HBV) yang pertama kali ditemukan pada tahun
1996, telah terjadi pada lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia. Infeksi HBV
saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar serta serius, karena
selain manifestasinya sebagai penyakit HBV akut beserta komplikasinya, lebih
penting lagi ialah dalam bentuk sebagai karier, yang dapat menjadi sumber
penularan bagi lingkungan4,5
Infeksi HBV pada wanita hamil dapat ditularkan secara tranplasental dan 20
% dari anak yang terinfeksi melalui jalur ini akan berkembang menjadi kanker hati
primer atau sirosis hepatis pada usia dewasa. Oleh karena itu bayi yang lahir dari
ibu carier HBsAg harus diimunisasi dengan memberikan immunoglobulin dan
vaksin hepatitis B segera.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Etiologi
Risiko Penyebab
Obstetrik Non-obstetrik
Tinggi Plasenta previa Koagulopati
Solusio plasenta Neoplasservikouterin
Ruptur uteri Keganasan genitalia bawah
Vasa previa dengan
perdarahan janin
Sedang Plasenta sirkumvalate Varises vagina
Ruptur sinus marginalis Laserasi vagina
Rendah Ekstrusi mukus serikal Servisitis, eversi, erosi,
(bloody show) polip
2.1.4 Diagnosis
2.1.5 Tatalaksana
Prinsip manajemen perdarahan antepartum adalah setiap perempuan yang
mengalami perdarahan pervaginam pada usia kehamilan akhir, harus dievaluasi
dirumah sakit dan pemeriksaan vaginal atau rektal tidak boleh dilakukan hingga
plasenta previa telah disingkirkan.5 Pengenalan dini gejala syok hipovolemia
berupa pucat, kulit yang dingin, pingsan, kehausan, dipsnea, agitasi, camas,
kebingungan, penurunan tekanan darah, takikardi, dan oliguri. Abnormalitas pada
jantung janin terjadi sebagai dekompensasi ibu.5
Setelah itu dapat dimulai juga pemberian transfusi darah secara cepat. Masih
banyak perdebatan mengenai nilai hemoglobin dan hematokrit yang mengharuskan
dimulainya transfusi, namun menurut Consensus Development Coference, curah
jantung tidak menurun nyata hingga kadar hemoglobin turun mencapai 7 g/dL atau
nilai hematokrit turun hingga 20% volume. Jika menggunakan PRC penting untuk
memperhatikan terjadinya koagulopati dilusi (defisit relatif trombosit dan faktor
pembekuan darah).7 Jika kelebihan cairan dikhawatirkan seperti contohnya ada
pasien pre eklamsia, maka dapat digunakan produk darah lainnya sesuai indikasi
seperti kriopresipitat atau FFP. Hemodinamik perlu dipantau dengan ketat.5,6,8
Penatalaksanaan lainnya dapat diberikan obat vasoaktif jika diinginkan suatu efek
farmakologis yang spesifik misalnya meningkatkan kontraktilitas jantung. Yang
paling sering digunakan adalah dopamin 200 mg dalam 500 mL NaCl intravena,
dimulai dengan 2-5µg/kg/menit dan dinaikan 5-10 5µg/kg/menit hingga 20-50
5µg/kg/menit. Agen vasoaktiflain yang sering digunakan seperti levarterenol
bitartrate, isoproterenol, metaraminol, dan fenilepinefrin. Bahkan dalam kasus ini,
penggunaan obat-obatan tersebut mungkin dipertanyakan. Obat-obatan ini harus
digunakan jika keuntungannya jelas lebih besar dibandingkan risikonya.5 Berikut
adalah algoritma singkat penatalaksanaan perdarahan antepartum.9
2.2 Placenta Previa
2.1.6 Definisi
Secara harfiah plasenta previa adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir
(pre = di depan; vias = jalan). Sehingga yang dimaksud dengan plasenta previa
adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan
lahir (ostium uteri internal) dan oleh karenanya bagian terendah sering kali
terkendala memasuki pintu atas panggul (PAP) atau menimbulkan gangguan janin
dalam rahim. 7 Plasenta previa merupakan salah satu penyebab utama perdarahan
vagina pada kehanilan tua dan dapat menjadi penyebab kematian yang serius baik
bagi janin dan ibu. 8
2.1.7 Epidemiologi
Insidensi plasenta previa meningkat sesuai dengan jumlah paritas dan usia
terutama diatas 30 tahun. Pada beberapa rumah sakit umum pemerintah dilaporkan
insidensi plasenta previa berkisar 1,7-2,9%. Di Negara maju insidensinya lebih
rendah yaitu kurang dari 1%, hal ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya
wanita hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasnografi dalam
obstetrik yang menungkinkan deteksi lebih dini insidensi plasenta previa bisa lebih
tinggi. 10
Plasenta letak rendah terdapat pada 28% kehamilan <24 minggu, karena
segmen bawah rahim belum terbentuk. Sesuai dengan membesarnya segmen atas
uterus dan terbentuknya segmen bawah uterus maka plasenta akan berpindah
posisinya ke atas (migrasi plasenta). Sehingga USG harus diulang pada minggu ke
32-34 usia kehamilan. Selain itu plasenta previa lebih sering pada kehamilan ganda
daripada kehamilan tunggal. 7
2.1.8 Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim berlum
diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa
desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin.
Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi
desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrfi.
Paritas tinggi, usia lanjut, cacar rahim misalnya bekas bedah sesar, miomektomi,
dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di
endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor risiko bagi terjadinya
plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berberan menaikkan insidensi dua sampai
tiga kali. Pada perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi
2 kali lipat. Hipoksemia akibat karbin monoksida hasil pembakaran rokok
meyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang
terlalu besar sepereti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa
menyebabkan pertumbuhan palsenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga
menuupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomi melainkan
pada keadaan fisiologis yang dapat berubah-ubah, maka klasifikasi ini dapat
berubah setiap waktu misalnya plasenta previa total pada pembukaan 4 cm mungkin
akan berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan 8 cm. Ada juga penulis yang
menganjurkan bahwa menegakkan diagnosa sewaktu yaitu saat penderita
diperiksa.10
Secara umum plasenta previa dapat dibagi menjadi empat menurut
Cunningham, yaitu: 7
1) Plasenta previa totalis. Apabila jaringan plasenta menutupi seluruh ostium
uteri internum.
2) Plasenta previa parsialis. Apabila jaringan plasenta menutupi sebagian ostium
uteri internum.
3) Plasenta previa marginalis. Yaitu plasenta yang tepinya terletak pada pinggir
ostium uteri internum.
4) Plasenta previa letak rendah. Apabila jaringan plasenta berada kira-kira 3-4
cm di atas ostium uteri internum, pada pemeriksaan dalam tidak teraba.
B
a
C D
Gambar 3.1 (a) .Implantasi plasenta normal, (b) Plasenta previa letak rendah
(c) Plasenta previa parsialis (d) Plasenta previa totalis
2.2.5 Patofisiologi
Plasenta merupakan bagian dari kehamilan yang penting, mempunyai bentuk
bundar dengan ukuran 15 x 20 cm dengan tebal 2,5 sampai 3 cm dan beratnya 500
gram. Plasenta merupakan organ yang sangat aktif dan memiliki mekanisme khusus
untuk menunjang pertumbuhan dan ketahanan hidup janin. Hal ini termasuk
pertukaran gas yang efisien, transport aktif zat-zat energi, toleransi imunologis
terhadap imunitas ibu pada alograft dan akuisisi janin. Melihat pentingnya peranan
dari plasenta maka bila terjadi kelainan pada plasenta akan menyebabkan kelainan
pada janin ataupun mengganggu proses persalinan. Salah satu kelainan pada
plasenta adalah kelainan implantasi atau disebut dengan plasenta previa. 11
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan
mungkin juga lebih awal oleh karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim,
tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta
terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh
menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah
rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami
laserasi akibat pelepasan pada desidua pada tapak plasenta. Demikian pula pada
waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak
plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi akan terjadi perdarahan yang berasal
dari sirkulasi maternal yaitu dari ruang intervillus dari plasenta. Oleh karena
fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa
betapa pun pasti kan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu
relative dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks
tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya
minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan
sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada
laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta dimana perdarahan akan
berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah
rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan
mengulang kejadian perdarahan. Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu
sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri
(pain-less). 7
Pada plasenta yang menutupi seluruh uteri internum perdarahan terjadi lebih
awal dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada
bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa
parsialis atau letak rendah perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati atau
mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih
banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan yang pertama sudah bisa terjadi
pada kehamilan dibawah 30 minggu, tetapi lebih separuh kejadiannya pada
kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak pada dekat
dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim
dan tidak membentuk hematom retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih
luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian
sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa. 7
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang
tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta
melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan
inkreta bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus
buli-buli dan ke rectum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih
sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah
rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang
terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan
pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta
sukar melepas dengan sempurna (retensio plasenta) atau setelah uri lepas karena
segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik. 7
2.2.6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinik plasenta previa adalah sebagai berikut: 11
1) Perdarahan tanpa nyeri
Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun.
Baru waktu ia bangun, ia merasa bahwa kainnya basah. Biasanya perdarahan karena
plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh dan perdarahan sebelum bulan
ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus. 12
Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan
dinding rahim . Setelah bulan ke -4 terjadi regangan pada dinding rahim karena isi
rahim lebih cep at tumbuhnya dari rahim sendiri. Akibatnya ismus uteri tertarik
menjadi bagian dinding korpus uteri yang disebut segmen bawah rahim. 12
Pada plasenta previa, perdarahan tidak mungkin terjadi tanpa pergeseran
antara plasenta dan dinding rahim. Saat perdarahan bergantung pada kekuatan
insersi plasenta dan kekuatan ta rikan pada istmus uteri. Dalam kehamilan tidak
perlu ada his untuk menimbulkan perdarahan. Sementara dalam persalinan, his
pembukaan menyebabkan perdarahan karena bagian plasenta di atas atau dekat
ostium akan terlepas dari dasarnya. Perdarahan pada plasenta previa terjadi karena
terlepasnya plasenta d ari dasarnya. 12
Pada plasenta previa, perdarahan bersifat berulang -ulang karena setelah
terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim, regangan dinding rahim dan
tarikan pada serviks berkurang. Namun, dengan majunya kehamilan regangan
bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru. 12 Darah yang keluar terutama
berasal dari ibu , yakni dari ruangan intervilosa. Akan tetapi dapat juga berasal dari
anak jika jonjot terputus atau pembuluh darah plasenta yang lebih besar terbuka. 12
2.2.9 Penatalaksanaan
Umum
Khusus
a. Konservatif
Yakni agar janin tidak terlahir premature dan upaya diagnosis dilakukan
secara non-invasif.
b. Aktif
Rencanakan terminasi kehamilan jika:
- Usia kehamilan cukup bulan (≥37 mingggu)
- Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)
- Pada perdarahan aktif dan banyak segera dilakukan terapi aktif (>500cc)
- Adanya tanda-tanda persalinan
2.2.10 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita
plasenta previa, yaitu: 9
Komplikasi pada ibu
- Dapat terjadi anemia bahkan syok
- Dapat terjadi robekan pada serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh
- Solusio plasenta, kelainan letak janin, perdarahan paska persalinan
Komplikasi pada janin
- Kelainan letak janin
- Prematuritas dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
- Asfiksia intra uterin sampai dengan kematian
2.2.11 Prognosis
Prognosis ibu pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan
dengan masa lalu. Hal ini dikarenakan diagnosa yang lebih dini, ketersediaan
transfusi darah, dan infus cairan yang telah ada hampir semua rumah sakit.
Demikian juga dengan kesakitan dan kematian anak mengalami penurunan, namun
masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan
maupun karena intervensi seksio cesarea. Dengan persalinan seksio sesarea,
fasilitas transfusi darah, dan metode anestesi yang benar kematian ibu dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%. Karenanya kelahiran prematur belum
sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif diberlakukan. 7
2.1.2 Epidemiologi
Frekuensi diagnosis solusio plasenta bervariasi karena perbedaan
kriteria, tetapi frekuensi rata-rata yang dilaporkan adalah 1 dalam 200
kelahiran. Dalam basis data mengenai 15 juta kelahiran, milik National Center
of Health Statistics Salihu dkk melaporkan insiden solusio plasenta pada
kehamilan bayi tunggal sebanyak 1 diantara 160. Dengan menggunakan data
catatan kelahiran di AS tahun 2003, insiden solusio plasenta sebesar 1 dalam
190 kelahiran. Di Parkland Hospital dari tahun 1988 hingga 2006, insidens
solusio plasenta pada lebih dari 280.000 kelahiran mencapai 1 dalam 290.
Setidaknya, di Parkland Hospital baik insiden maupun keparahan solusio
plasenta telah menurun seiring waktu. Dengan menggunakan kriteria pelepasan
plasenta yang sedemikian luas sehingga membunuh janin, insiden dilaporkan
sebanyak 1 dalam 420 kelahiran dari 1956 sampai 1967. Seiring dengan
berkurangnya jumlah perempuan dengan paritas tinggi yang melahirkan dan
semakin baiknya transportasi darurat serta tersedianya asuhan pranatal,
frekuensi solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin menurun drastis
hingga mencapai sekitar 1 diantara 830 kelahiran dari tahun 1974 - 1989.
Antara tahun 1996 dan 2003, nilai ini semakin menurun hingga kurang lebih 1
dalam 1600 kelahiran.8
Meskipun angka kematian janin akibat solusio plasenta telah
menurun, peran solusio sebagai penyebab kematian janin masih tetap menonjol
karena telah berkurangnya angka lahir mati akibat sebab-sebab lain. Misalnya
sejak awal tahun 1990-an, 10 hingga 12% diantara semua bayi lahir mati dalam
trimester ketiga di Parkland Hospital merupakan akibat dari solusio plasenta.8
Tingginya angka kematian perinatal akibat solusio plasenta telah telah
tercatat dalam sejumlah laporan. Salihu menganalisis lebih dari 15 juta
kelahiran bayi tunggal di AS antara tahun 1995 - 1998. Dilaporkan bahwa
angka kematian perinatal akibat solusio plasenta adalah 119 per 1000 kelahiran
dibandingkan dengan 8 per 100 kelahiran pada mereka yang tidak mengalami
komplikasi ini.8
2.1.3 Etiologi
Sebab utama solusio plasenta tidak diketahui, tetapi beberapa kondisi
terkait dicamtumkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 3. Faktor risiko solusio plasenta
Faktor risiko Risiko
Relatif
Bertambahnya usia dan paritas 1,3 - 1,5
Preeklamsia 2,1 - 4,0
Hipertensi kronis 1,8 - 3,0
Ketuban pecah kurang bulan 2,4 - 4,9
Kehamilan ganda 2,1
Berat lahir rendah 14,0
Hidramnion 2,0
Merokok 1,4 - 1,9
Trombofilia 3-7
Penggunaan Kokain TD
Riwayat solusio 10 - 25
Leimioma Uteri TD
*TD : Tidak ada data
1. Usia, Paritas, Ras, dan Faktor Familial
Seperti yang ditunjukan pada gambar 35.6 insidens solusio plasenta
meningkat sesuai dengan usia ibu. Pada penelitian FASTER (First and
Second trimester Evaluation of Risk) perempuan yang berusia lebih dari 40
tahun ditemukan 2,3 kali lipat lebih mungkin mengalami solusio
dibandingkan perempuan yang berusia ≤ 35 tahun. Pritchard melaporkan
insidens solusio plasenta meningkat pada perempuan dengan paritas tinggi,
namun Toohey dalam peneitiannya tidak memperoleh hasil yang sama. Ras
dan etnisitas tampaknya penting. Diantara hampir 170.000 pelahiran yang
dilaporkan pada rumah sakit Parkland, solusio plasenta lazim terjadi pada
perempuan Afrika-Amerika dan Kaukasian (1:200) dibandingkan
perempuan Asis (1:300) atau Amerika latin (1:450). Hubungan familial
baru-baru ini dilaporkandi Norwegia mencakup hampir 378.000 perempuan
dengan hubungan saudara kandung yang lebih dari 767 kehamilan. Jika
seorang perempuan pernah mengalami solusio plasenta berat, risiko untuk
saudara perempuannya akan meningkat 2x lipat dan risiko yang dapat
diwariskan sebesar 16%. 8
9. Leiomioma
Tumor-tumor ini khususnya jika terletak dibelakang tempat implantasi
plasenta, merupakan predisposisi terjadinya solusio plasenta. Dilaporkan
dari 14 perempuan dengan leiomioma retroplasenta mengalami solusio
plasenta, dan empat perempuan melahirkan janin lahir mati. Sebaliknya
hanya 2 dari 79 perempuan dengan leiomioma yang tidak terletak
retroplasenta yang mengalami solusio plasenta.8
10. Solusio berulang
Seorang perempuan yang pernah mengalami solusio plasenta khususnya
yang menyebabkan kematian janin, memiliki angka rekurensi yang tinggi
(12-22%) bahkan dapat terjadi pada usia kehamilan yang lebih muda
dibandingkan saat terjadi solusio plasenta pertama. Bagi perempuan yang
sudah mengalami solusio plasenta berat sebanyak 2 kali, risiko menjadi 50
kali lipat untuk mengalami solusio ketiga.8
2.1.4 Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai oleh pedarahan kedalam desidua basalis akibat
cedera vaskular lokal. Desidua kemudian memisah, meninggalkan lapisan tipis
yang melekat ke miometrium. Karena itu, proses dalam tahap paling awal
terdiri atas pembentukan hematoma desidua yang menyebabkan pemisahan,
kompresi, dan akhirnya menghancurkan plasenta didekatnya. Ditemukan
adanya bukti histologis peradangan yang lebih banyak terlihat pada kasus
solusio plasenta dibandingkan pada kontrol normal.8 Sebagai kemungkinan
lain, areteri spiralis dapat ruptur, menciptakan hematoma retroplasenta. Pada
kasus ini, terjadi perdarahan, terbentuk bekuan, dan permukaan plasenta tidak
dapat lagi menyediakan pertukaran metabolik antara ibu dan janin.5
Dalam tahap dini, mungkin tidak ditemukan gejala-gejala klinis, dan
pemisahan hanya ditemukan pada saat pemeriksaan plasenta yang baru
dilahirkan. Pada kasus-kasus seperti ini, terdapat cekungan berbatas tegas pada
permukaan maternal plasenta. Cekungan ini biasanya berdiameter beberapa
sentimeter dan ditutupi darah yang telah membeku dan berwarna gelap. Karena
diperlukan beberapa menit untuk memunculkan perubahan anatomis ini,
plasenta yang sangat baru mengalami pemisahan dapat tampak sepenuhnya
normal saat dilahirkan. Usia bekuan retroplasenta tidak dapat ditentukan secara
pasti.8
Gambar 5 memperlihatkan bekuan berwarna gelap yang berukuran
cukup besar telah terbentuk sempurna telah menekan masa plasenta, dan
kemungkinan berumur beberapa jam.8Pada kondisi tertentu arteri spiralis
desidua pecah dan menimbulkan hematoma retroplasenta yang pada saat
bertambah besar merusak lebih banyak lagi pembuluh darah sehingga lebih
banyak plasenta yang terpisah (Gambar6). Daerah terpisanya plasenta dengan
cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih membesar,
akibat produk konsepsi uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat untuk
menekan pembuluh darah yang robek yang memperdarahi lokasi plasenta.
Darah yang keluar dapat menyebabkan diseksi membran dari dinding uterus
dan akhirnya tampak dari luar atau tertahan sepenuhnya dalam uterus.8
2.1.7 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu
secara umum dan pemeriksaan jantung janin. Pemeriksaan vaginal dengan cara
digital maupun menggunakan spekulum dapat dilakukan jika kemungkinan
plasenta previa sudah disingkirkan. Tonus uteri perlu di monitor. Tinggi fundus
harus diperiksa secara berkala karena perdarahan terselubung dapat
memperbesar ukuran uterus.11
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap
(mencakup hemoglobin dan hematokrit) sangat membantu dalam menegakan
diagnosis. Dapat ditemukan proteinuria, tanda-tanda koagulasi konsumtif
seperti penurunan kadar fibrinogen (< 200 mg/dL), protrombin, faktor V dan
VIII, serta trombosit (< 100.000). Produk pemecahan fibrin meningkat
menyebabkan efek anti koagulan. Pemeriksaan golongan darah dan cross
match juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Apusan darah tepi
yangdapat memperlihatkan schistocytes menandakan dugaan koagulasi
intravaskular. Dari sebuah penelitan didapati peningkatan CA125 berhubungan
dengan solusio plasenta.5,11
Dua bed site yang mudah dapat dilakukan yaitu “poor man’s clot test”
dimana spesimen darah ditempatkan pada red-top tube. Jika bekuan darah
tidak terbentuk dalam 6 menit atau terbentuk dan lisis dalam 30 menit,
menandakan adanya defek koagulasi. Tes yang lainnya yaitu untuk mengetahui
apakah darah pada vagina berasal dari ibu atau dari janin dengan Apt test.
Pemeriksaan ini dibuat dengan cara mencampurkan sampel darah dengan
potasium hidroksida. Jika berubah warna menjadi coklat berarti berasal dari
ibu, jika tidak terdapat perubahan warna maka darah tersebut berasal dari janin
karena hemoglobin janin lebih resisten terhadap perubahan pH. Tes ini dapat
dilakukan untuk meningkirkan diagnosis vasa previa.10
Sonografi jarang memastikan diagnosis solusio plasenta, setidaknya
secara akut, karena plasenta dan bekuan darah segar memiliki gambaran
sonografik yang serupa. Pada penelitian yang baru, Glantz dan Purnell
dilaporkan sensitifitas sonografi sebesar 24% pada 149 perempuan. Penting
untuk diingat bahwa temuan negatif pada pemeriksaan sonografi tidak
menyingkirkan solusio plasenta.8
DIAGNOSIS BANDING
Pada solusio plasenta yang berat, diagnosis umumnya jelas. Solusio yang
lebih ringan atau bentuk solusio yang lebih umum dapat lebih sulit dikenali
secara pasti dan diagnois sering dibuat pereksklusionam. Sayangnya, tidak
tersedia uji laboratorium ataupun metode diagnostik untuk mendeteksi
pemisahan plasenta yang berderajat lebih ringan secara akurat. Karena itu, bila
terjadi perdarahan pervaginam pada kehamilan dengan janin hidup, sering
harus dilakukan penyingkiran diagnosis plasenta previa dan sebab perdarahan
lainnya dengan menggunakan evaluasi klinis dan sonografi.8
Secara klinis sudah sejak lama diajarkan bahwa uterus yang nyeri
menandakan solusio plasenta, sedangkan perdarahan uterus yang tidak nyeri
menandakan plasenta previa. Diagnosis diferensial biasanya tidak sejelas ini,
dan persalinan yang menyertai plasenta previa menyebabkan nyeri yang mirip
solusio plasenta. Disisi lain nyeri akibat solusio dapat menyerupai persalinan
normal, atau dapat tidak nyeri, khususnya pada plasenta yang terletak di
posterior. Terkadang penyebab perdarahan pervagina tetap tidak jelas bahkan
setelah pelahiran.8
2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi solusio plasenta bervariasi tergantung pada usia gestasi dan
kondisi ibu serta janin. Bila janin sudah mencapai usia viabel, dan jika
persalinan pervaginam belum dapat dilaksanakan, pelahiran caesar darurat
dipilih oleh sebagian besar klinisi. Pada perdarahan eksternal masif, resusitasi
intensif dengan darah dan kristaloid serta pelahiran segera untuk
mengendalikan perdarahan merupakan tindakan penyelamatan jiwa bagi ibu
dan diharapkan janin. Jika diagnosis belum dapat dipastikan, dan janin hidup,
tetapi tanpa tanda-tanda terganggunya kesejahteraan janin, observasi ketat
dapat dilakukan di fasilitas yang mampu melakukan intervensi segera.6
Pada solusio plasenta ringan apabila kehamilannya kurang dari 36
minggu, perdarahannya kemudian berhenti, perutnya tidak menjadi sakit,
uterusnya tidak menjadi tegang maka penderita dapat dirawat secara
konservatif di rumah sakit dengan observasi ketat. Umumnya kehamilan
diakhiri dengan induksi atau stimulasi partus pada kasus yang ringan atau janin
telah mati. Sedangkan pada solusio plasenta berat apabila perdarahannya
berlangsung terus, dan gejala solusio placenta bertambah jelas, atau dalam
pemantauan USG daerah solusio placenta bertambah luas, maka pengakhiran
kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi. Apabila janin hidup, dilakukan operasi
Sectio Caesar. Operasi Sectio Caesard ilakukan bila serviks masih panjang dan
tertutup, setelah pemecahanketuban dan pemberian oksitosin dalam 2 jam
belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban segera dipecahkan untuk
mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan pemberian infuse
oksitosin 5 iu dalam 500cc Dextrosa 5% untuk mempercepat persalinan.
Pada kasus dimana telah terjadi kematian janin dipilih persalinan
pervaginam kecuali ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi
darah yang banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki
persalinan dilakukan perabdominam. Pimpinan persalinan pada solusio
placenta bertujuan untuk mempercepat persalinan sehingga kelahiran terja
didalam 6 jam. Apabila persalinan tidak selesai atau diharapkan tidak akan
selesai dalam waktu 6 jam setelah pemecahan selaput ketuban dan infus
oksitosin, satu-satunya cara adalah dengan melakukan Sectio Caesar.
Hemostasis pada tempat implantasi plasenta bergantung sekali kepada
kekuatan kontraksi miometrium. Karenanya pada persalinan pervaginam perlu
diupayakan stimulasi miometrium secara farmakologik atau massage agar
kontraksi miometrium diperkuat dan mencegah perdarahan yang hebat pasca
persalinan sekalipun pada keadaan masih ada gangguan koagulasi. Harus
diingat bahwa koagulopati berat merupakan faktor risiko tinggi bagi bedah
caesar berhubung kecenderungan perdarahan yang berlangsung terus pada
tempat insisi baik pada abdomen maupun pada uterus.(2)Jika perdarahan tidak
dapat dikendalikan atau diatasi setelah persalinan, histerektomi dapat
dilakukan untuk menyelamatkan hidup pasien. Sebelum histerektomi, prosedur
lain seperti mengatasi koagulopati, ligasi arteri uterina, pemberian obat
uterotonik jika terdapat atonia dan kompresi uterus dapat dilakukan. (8)
2. Tokolisis.
Beberapa menganjurkan tokolisis untuk kehamilan kurang bulan yang
dipersulit oleh dugaan solusio, tetapi tanpa tergantungnya kesejahteraan
janin. Solusio menjadi tersamarkan selama periode yang lama jika tokolisis
dimulai. Sebaliknya, Sholl dan Combs menyediakan data yang
memperlihatkan bahwa tokolisis memperbaiki keluaran pada suatu
kelompok terpilih perempuan dengan kehamilan kurang bulan yang
dipersulit solusio plasenta. Pada penelitian selanjutnya, pemberian
magnesium sulfat, terbutalin, atau keduanya pada 95 perempuan dari 131
perempuan dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum 36 minggu,
angka kematian perinatal sebesar 5% pada kelompok ini dan tidak terlalu
berbeda dengan mereka yang tidak mendapat perlakuan. 8
3. Pelahiran caesar.
Pelahiran cepat janin yang masih hidup tetapi mengalami distres,
dalam praktiknya selalu berarti pelahiran caesar. Kecepatan respon
merupakan faktor penting yang menentukan keluaran pada neonatus.
Pelahiran caesar pada saat ini terbukti membahayakan ibu karena ibu berada
dalam kondisi hipovolemik berat dan mengalami koagulopati konsumtif
berat. Defek koagulasi berat sangat mungkin menyulitkan pelahiran caesar.
Insisi abdomen dan uterus rentan mengalami perdarahan masif bila
koagulasi terganggu.8
4. Pelahiran per vagina.
Jika pemisahan plasenta sedemikian berat hingga janin meninggal,
pelahiran per vaginam biasanya dipilih. Hemoestasis pada lokasi
implanrtasi plasenta terutama tergantung pada kontaksi miometrium.
Dengan demikian, pada pelahiran pervagina stimulasi miomertriun secara
farmakologis dan pemijatan uterus akan menekan dan menutup pembuluh
darah di tempat plasent sehingga perdarahan berat dapat dihindarkan
meskipun mungkin terdapat defek koagulasi.8
Suatu pengecualian untuk pelahiran pervagina mencakup perdarahan
yang sedemikian berat sehingga tidak dapat ditata laksana dengan baik,
bahkan dengan penggantian darah secara agresif sekalipun. Pengecualian
kedua adalah terdapat penyulit obstri lain yang mencegah pelahiran per
vagina.8
Pada solusio plasenta luas, uterus kemungkinan berada pada kondisi
hipertonik persisten. Tekanan intraamnion baseline dapat mencapai 50 mm
Hg atau lebih, dengan peningkatan ritmis hingga 75-100 mm Hg. Akibat
hipertonus persisten, terkadang sulit untuk menentukan melalui palpasi
apakah uterus berkontraksi atau berelaksasi. 8
5. Amniotomi
Pemecahan ketuban secepat mungkin telah lama diandalkan dalam
tata laksana solusio plasenta. Logika dilakukannya amniotomi adalah
pengurangan volume cairan amnion dapat mengurangi kompresi arteri
spiralis dan berperan untuk mengurangi perdarahan dari tempat implatasi
sekaligus menurunkan aliran tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu. Jika
janin cukup matur, pemecahan ketuban dapat mempercepat pelahiran. Jika
janin masih imatur, kantong yang utuh mungkin lebih efisien dalam
membuka serviks dibandingkan bagian kecil janin yang kurang dapat
menekan serviks.8
6. Oksitosin
Meskipun kondisi hipertonus baseline menggambarkan fungsi
miometrium pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat, jika tidak
disertai kontraksi ritmis uterus dan sebelumnya tidak tidak pernah
melakukan tindakan bedah pada uterus, diberikan oksitosin dalam dosis
standar. Perangsangan uterus untuk memacu pelahiran pervaginam biasanya
terbukti memiliki manfaat yang melebihi risikonya. Penggunaan oksitosin
telah mendapat banyak serangan karena dianggap dapat memicu masuknya
tromboplastin kedalam sirkulasi ibu sehingga memulai atau mempercepat
koagulasi komsumtif atau sindrom embolisme cairan amnion. Terdapat
bukti yang mendukung hal ini.8
2.1.9 Komplikasi
a. Syok.
Dahulu syok dipercaya kadang-kadang terjadi pada solusio plasenta
tidaklah sebanding dengan jumlah perdarahan. Menurut anggapan tersebut,
tromboplastin plasenta memasuki sirkulasi ibu dan mencetuskan koagulasi
intravaskular serta berbagai karakteristik sindrom emboli cairan amnion.
Hal tersebut sebenarnya jarang terjadi, dan syok hipovolemik sesungguhnya
secara langsung disebabkan kekurangan darah pada ibu. Sebaliknya,
hipotensi atau anemia tidak harus ditemukan bahkan pada kasus perdarahan
terselubung yang ekstrim sekalipun. Oliguri akibar hipoperfusi ginjal yang
tidak adekuat, yang ditemukan pada kondisi ini, responsif terhadap infus
darah dan cairan intravena yang agresif.8
b. Koagulopati konsumtif
Solusio plasenta adalah salah satu penyebab tersering koagulopati
konsumtif yang bermakna secara klinis dalam bidang obstetri. Pada sekitar
sepertiga perempuan yang mengalami solusio plasenta, yang cukup berat
untuk mematikan janin, terdapat perubahan yang dapat diukur pada faktor
koagulasi. Secara spesifik, hipofibrinogenemia yang bermakna secara klinis
(kadar plasma < 150 mg/dL) ditemukan.temuan ini disertai dengan
peningkatan produk degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-dimer, yang
merupakan produk pemecahan spesifik fibrin. Faktor koagulasi lain yang
menurun secara bervariasi. Koagulopati konsumtif lebih mungkin terjadi
pada solusio yang terselubung pada kondisi seperti ini tekanan intrauteri
lebih tinggi sehingga mendorong lebih banyak tromboplastin untuk
memasuki sistem vena ibu. Pada kasus-kasus dengan janin yang selamat,
defek koagulasi berat lebih jarang ditemukan. Berdasarkan pengalaman,
jika timbul koagulopati berat, biasanya terlihat saat gejala solusio timbul.
Mekanisme utamanya adalah aktivasi koagulasi intravaskular, disertai
defibrinasi dalam derajat bervariasi. Prokoagulan juga dikonsumsi dalam
bekuan retroplasenta, meskipun jumlah yang didapatkan kembali dalam
bekuan tidak buku untuk menggantikan total fibrinogen yang hilang. Akibat
penting dari koagulasi intravaskular adalah aktivasi plasminogen menjadi
plasmin, yang melisis mikroemboli fibrin untuk mempertahankan patensi
mikrosirkulasi. Pada solusio plasenta yang cukup berat sehingga
menyebabkan kematian janin, selalu terdapat kadar patologis produk
degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-Dimer dalam serum ibu.
Trombositopenia nyata dapat atau tidak dapat menyertai
hipofibrinogenemia pada awalnya, tetapi menjadi lazim setelah transfusi
darah berulang.8
c. Gagal ginjal.
Gagal gijal akut dapt terjadi pada solusio plasenta berat. Gagal ginjal
akut lebih sering terjadi jika terapi hipovolemia diberikan lambat atau tidak
lengkap. Penelitian yang dilakukan pada 72 perempuan hamil dengan gagal
ginjal akut, diketahui sepertiganya telah mengalami solusio plasenta.
Untungnya, sebagian besar kasus jejas ginjal akut bersifat reversibel, namun
nekrosis kortikal akut bila terjadi dalam kehamilan biasanya disebabkan
oleh solusio plasenta.8
d. Perfusi ginjal yang sangat terganggu merupakan akibat perdarahan masif.
Karena preeklamsia sering ditemukan bersama solusio plasenta,
vasospasme dan hipoperfusi ginjal kemudian bertambah berat. Bahkan jika
solusio dipersulit oleh koagulasi intravaskuler berat, tetapi segera terhadap
perdarahan secara agresif dengan larutan kristaloid dan darah umumnya
dapat mencegah disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Karena alasn
yang tidak diketahui, bahkan tanpa preeklamsia, proteinuria lazim
ditemukan pada awalnya, khususnya pada bentuk solusio plasenta yang
lebih berat. Proteinuria umumnya hilang segera setelah pelahiran.8
e. Sindrom Sheehan.
Perdarahan intrapartum atau pasca partum dini yang berat dapat
diikuti oleh kegagalan hipofisis atau sindroma Sheehan. Sindrom ini
ditandai dengan kegagalan laktasi, amenorea, atrofi payudara, rontoknya
rambut pubis dan aksila, hipotiroidisme dan insufisiensi korteks adrenal.
Patogenesis sindrom ini belum dipahami benar dan kelainan endokrin
semacam ini jarang timbul, bahkan pada perempuan yang mengalami
perdarahan berat. Pada beberapa kasus tapi tidak semua, kasus Sindrom
Sheehan mungkin terdapat nekrosis hipofisis dalam derajat yang bervariasi
dan gangguan sekresi satu atau lebih hormon tropik. Diagnosisnya
menggunakan MRI.8
f. Uterus couvelaire.
Dapat terjadi ekstravasisi luas darah ke dalam otot-otot uterus dan
kabah tunika serosa uteri (Gambar 7). Kondisi ini, yang pertama kali
digambarkan oleh Couvelaire sebagai apopleksia uteroplasental, sekarang
dinamakan uterus couvelaire. Efusi darah semacam ini kadang-kadang
ditemukan di bawah tunika serosa tubae, diantara lembaran-lembaran
ligamentum latum uteri, didalam substansia ovarika, dan bebas dalam
rongga peritoneum. Insiden pasti tidak diketahui karena diagnosisnya hanya
dipastikan saat laparatomi. Perdarahan miomertium ini jarang mengganggu
kontraksi miometrium untuk menyebabkan atonia, dan kondisi ini bukanlah
indikasi histerektomi.8
Gambar8. Uterus couvelaire dari solusio plasenta total setelah pelahiran caesar8.
Darah menginfiltrasi miometrium secara masif untuk mencapau tunika serosa,
khususnya cornua. Darah memberikan gambaran ungu kebiruan pada miomertrium,
seperti yang diperlihatkan. Setelah insisi histerektomi ditutup, uterus tetap
berkontraksi dengan baik meskipun terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam dinding
uterus. Leimioma serosa kecil yang tampak pada permukaan anterior bawah uterus
merupakan temuan insidensial.8
2.1.10 Prognosis
Bila janin telah meninggal atau belum viabel, tidak terdapat bukti
diperlukannya pembatasan waktu tertentu tanpa dasar yang jelas. Pengalaman
menunjukan bahwa keluaran ibu bergantung pada ketekunan dalam
memberikan terapi cairan dan penggantian darah yang adekuat, dan bukan pada
rentang waktu pada pelahiran.8
2.1.12 Epidemiologi
Angka mortalitas dan morbiditas prenatal dapat tinggi pada kasus ruptur bekas
insisi uterus selama persalinan. Angka kematian janin hampir mencapai 70%
pada ruptur uterus, baik traumatik maupun spontan. 8
2.1.13 Etiologi
Penyebab tersering ruptur uterus adalah terpisahnya parut akibat histerotomi
caesaer. Dengan menurunnya tindakan percobaan persalinan pada perempuan
yang pernah menjalani pelahiran caesar, ruptur pada uterus tanpa parut
sekarang ini menyebabkan hampir separuh diantara semua kasus ruptur uterus.
Faktor predisposisi lain yang lazim adalah riwayat bedah atau tindakan yang
menyebabkan trauma seperti kuretase, perforasi, atau miomektomi. Stimulus
uterus yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi dengan menggunakan
oksitosin, suatu penyebab yang dulu sering ditemukan, telah jarang didapatkan.
8
2.1.14 Klasifikasi
Ruptur uterus biasanya diklasifikasikan menjadi8 :
a. Ruptur uteri komplet, bila semua lapisan dinding uterus terpisah
b. Ruptur uterus inkomplet, bila otot uterus terpisah, tetapi peritoneum
viseral intak.
Ruptur inkomplit juga lazim disebut sebagai dehisensi uterus. Seperti yang
telah diketahui angka mortalitas dan morbiditas lebih tinggi jika ruptur terjadi
komplet.
2.1.15 Patofisiologi
Rupturnya uterus yang sebelumnya intak pada saat persalinan paling sering
terjadi pada segmen bawah uterus yang menipis. Lubang robekan apabila
berdekatan dengan serviks, sering meluas secara transfersal atau oblik.
Biasanya robekan berbentuk longintudinal jika terjadi pada bagian uterus yang
berdekatan dengan ligamentum latum uteri
Gambar 13. Uterus yang mengalami ruptur spontan pada tepi lateral kiri segmen
bawah uterus8
Gambar 14. Ruptur uteri pada laparatomi dengan ekspulsi parsial fetus11
2.1.17 Diagnosis
Sebelum terjadi syok hipovolemik, gejala dan temuan klinis pada perempuan
yang mengalami ruptur uterus dapat terlihat aneh, kecuali jika kemungkinan
ruptur selalu diingat. Sebagai contoh, hemoperitoneum dari uterus yang ruptur
dapat menyebabkan iritasi diafragmatik dengan nyeri yang menjalar ke dada
(yang mengarah pada diagnosis emboli paru atau emboli cairan amnion dan
bukan ruptur uterus). Tanda ruptur uterus yang paling paling sering adalah pola
denyut jantung janin yang tidak teratur dengan deselerasi denyut jantung
bervariasi yang dapat menjadi deselerasi lambat, bradikardi, dan kematian.
Berlawanan dengan ajaran lama, sedikit perempuan yang merasakan hilangnya
kontraksi setelah ruptur uterus, dan penggunaan kateter intrauteri tidak terbukti
membantu dalam penegakan diagnosis.8
Pada beberapa wanita, penampakan ruptur uterus identik dengan solusio
plasenta. Namun, pada sebagian besar wanita, terdapat sedikit rasa nyeri atau
nyeri tekan. Selain itu karena sebagian besar perempuan diterapi dengan
analgesia epidural dan narkotikauntuk mengatasi rasa tidak nyaman, rasa nyeri
dan nyeri tekan mungkin tidak terlalu nyata. Kondisi tersebut biasanya menjadi
jelas karena adanya tanda gawat janin dan kadang-kadang karena hipovolemia
pada ibu akibat perdarahan tersembunyi.8
Apabila bagian erendah janin telah memasuki pintu panggul atas saat
persalinan, hilangnya station dapat dideteksi dengan pemeriksaan
panggPul.jika sebagian atau seluruh tubuh janin keluar dari uterus yang ruptur,
maka palpasi abdomen atau pemeriksaan dalam dapat bermanfaat untuk
menidentivikasi bagian terndah janin, yang telah berpindah dari pintu masuk
panggul. Uterus yang berkontraksi kuat kadang-kadang dapat dirasakan
disebelah janin.8
2.1.18 Penatalaksanaan
Histerktomi dapat dilakukan bila terjadi ruptur komplit selama percobaan
persalinan. Pada kasus-kasus tertentu, dapat dilakukan penjahitan dengan
preservasi uterus. Sheth memaparkan dalam laporannya, prognosis dari 66
wanita yang menjalani penjahitan pada ruptur uterus dan bukan histerektomi.
Dalam 25 kasus penjahitan tersebut disertai sterilisasi tuba mengalami total 21
kehamilan berikutnya, dan empat diantaranya kembali mengalami ruptur
uterus (25%). Penelitian yang lebih baru mengidentifikasi 37 perempuan yang
memiliki riwayat ruptur uterus komplet melahirkan selama periode 25 tahun di
Libanon. Histerektomi dilakukan pada 11 perempuan, dan 26 sisanya dijahit.
Dua belas dari wanita ini mengalami 24 kehamilan selanjutnya, dengan
sepertiganya dipersulit dengan ruptur uterus rekuren.8
2.1.19 Prognosis
Dengan terjadinya ruptur dan ekspulsi janin ke dalam rongga peritoneum,
maka peluang kelangsungann hidup janin yang utuh tidak baik dan angka
mortalitas yang dilaporkan berkisar dari 50-75%. Kondisi janin tergantung
pada derajat implantasi plsenta yang tetap intak meskipun hal ini dapat berubah
dalam hitungan menit. Saat ruptur, satu-satunya peluang kemungkinan hidup
janin adalah pelahiran segera, paling sering denga laparatomi. Kalau tidak,
hipksia akibat pemisahan plasenta dan hipovolemi ibu tidak dapat dihindari
lagi. Jika ruptur diikuti dengan pemisahan plasenta total segera, maka sangat
sedikit janin intak yang dapat diselamatkan. Oleh karena itu, bahkan dalam
kondisi yang paling beik, keselamatan janin dapat terganggu.
Sebuah penelitan diSwedia menyatakan bahwa risiko kematian neonatus
setelah ruptur uterus adalah 5% (risikonya meningkat 60 kali lipat
dibandingkan pada kehamilan yang tidak dipersulit dengan ruptur uterus).
Kematian ibu akibat ruptur uterus jarang terjadi.
Sebagai contoh, dari 2,5 juta perempuan yang melahirkan di Kanada antara tahun
1991-2001 terdapat 1898 kasus ruptur uteri dan 4 kasus diantranya (2%)
menyebabkan kematian ibu. Namun dibelahan dunia lain, angka kematian ibu
akibat ruptur uterus jauh lebih tinggi. Sebagai contoh dalam sebuah laporan dari
India, angka kematian ibu yang disebabkan oleh ruptur uterus sebesar 30%.
2.5.1 Definisi
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam
selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai ke
dalam insersinya tali pusat. Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati
pembukaan serviks robek atau pecah dan vaskular janin itupun ikut terputus.4
2.5.2 Epidemiologi
2.5.3 Etiologi
Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban
yang berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut berasal dari
insersio velamentosa dari tali pusat atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus
aksesorius).
Insersio velamentosa adalah insersi tali pusat pada selaput janin, dan sering
terjadi pada kehamilan ganda. Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan
dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi
funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan perkembangan plasenta.
Faktor resiko antara lain pada plasenta bilobata, plasenta suksenturiata,
plasenta letak rendah, kehamilan pada fertilisasi in vitro, dan kehamilan ganda
terutama triplet. Semua keadaan ini berpeluang lebih besar bahwa vaskular janin
dalam selaput ketuban melewati ostium uteri. Secara teknis keadaan ini
dimungkinkan pada dua situasi yaitu pada insersio velamentosa dan plasenta
suksenturiata.11
2.5.5 Diagnosis
Pada kasus vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun
dapat diduga jika pada saat antenatal dilakukan USG dengan Color Doppler yang
dapat memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput ketuban di depan
ostium uteri internum. Selain itu juga dpaati dilakukan tes APT (Kleihauser-
Betke) yang adalah uji pelarutan basa hemoglobin. Karena darah janin yang tahan
terhadap suasana alkali maka jika darah tersebut berasal dari janin, maka eritrosis
tersebut tidak akan pecah dan campuran akan tetap berwarna merah, namun jika
darah tersebut berasal dari ibu, maka eritrosit akan pecah dan campuran berubah
wrna menjadi coklat. Pemeriksaan yang terbaik adalah dengan elektroforesis.
Diagnosis dapat dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput
ketuban dan plasenta, namun seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa
ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak
fatal bagi janin.12
2.5.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan vasa previa sangat bergantung pada status janin. Bila ada
keraguan tentang viabilitas janin, perlu ditentukan terlebih dahulu umur
kehamilan, berat janin, maturitas paru dan pemantauan kondisi janin dengan USG
dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan cukup matur, dapat dilakukan seksio
sesarea segera namun bila janin sudah meninggal atau imatur, dilakukan persalinan
pervaginam.
2.6 Hepatitis B
2.6.1 Definisi
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis B.2,3 Virus hepatitis B menyerang hati, masuk melalui darah
ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Virus
hepatitis B adalah virus nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak menyebabkan
kerusakan langsung pada sel hepar. Sebaliknya, adalah reaksi yang bersifat
menyerang sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan radang dan
kerusakan pada hepar.3
Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B adalah
sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati
disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi
hepatitis akut fulminan. Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan
fibrosis meluas didaerah portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan
terjadi hepatitis kronik persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak
teratur dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan pembentukan
septa fibrosis yang meluas maka terjadi hepatitis kronik aktif.2,3,4
2.6.3 Faktor predisposisi
Faktor Host (Penjamu)
Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit hepatitis B. Faktor penjamu meliputi:
a. Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada bayi dan
anak (25 - 45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun dengan bertambahnya
umur dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi kronis, pada anak usia sekolah
23 -46 % dan pada orang dewasa 3-10%.8 Hal ini berkaitan dengan terbentuk
antibodi dalam jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding
pria.
c. Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi
hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada
bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun
belum berkembang sempurna.
d. Kebiasaan hidup
Pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.
e. Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter
bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium
dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan
material manusia (darah, tinja, air kemih).
Faktor Agent
Penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus
Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.
Faktor Lingkungan
Merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi
perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:
a. Lingkungan dengan sanitasi jelek
b. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi
c. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.
d. Daerah unit laboratorium
e. Daerah unit bank darah.
f. Daerah dialisa dan transplantasi.
g. Daerah unit perawatan penyakit dalam5
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Istri Suami
Alamat : Sukaindah
No RM : 169283
Tanggal Masuk : 4 Desember 2019
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Keluhan Tambahan:
Riwayat Operasi:
Riwayat Pernikahan:
Riwayat menstruasi :
Menarche : 12 tahun
Lama : 7 hari
Riwayat Kontrasepsi:
Riwayat Obstetri:
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 145/78 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernafasan : 22 x/menit
TB : 150 cm
BB : 60 kg
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Paru : Suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru,
suara tambahan (-)
Jantung : BJ I/BJ II reguler murni, suara BJ tambahan
(-)
Abdomen : Pembesaran perut (+) simetris, bising usus (+),
striae gravidarum (+)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
2. Status Obstetri
a. Pemeriksaan Luar
TFU : 27 cm
TBJ Klinis : (27-12) x 155 = 2325 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, asimetris, tidak
melenting, kesan bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang di sebelah
kiri, dan bagian-bagian kecil menonjol di
sebelah kanan, kesan punggung di kiri,
ekstremitas di kanan
Leopold III : Teraba bagian keras, melenting, simetris,
kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk pintu
atas panggul
His : 1 x 10’,15”
DJJ : 143 x/menit
b. Inspekulo : Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan
3. Pemeriksaan Laboratorium
04 Desember 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Hb 10,6 g/dL 12.0 – 16.0 g/dL
Ht 32 % 38.0 – 47.0 %
Eritrosit 3.67 x 106/µL 4.20 – 5.40 x 106/µL
Leukosit 8.5 x 103/µL 5.0 – 10.0 x 103/µL
Trombosit 193 x 103/µL 150 – 450 x 103/µL
Serologi
Anti HIV Penyaring
HIV Reagen 1 Non Reaktif Non Reaktif
Petanda Hepatitis
HbsAg Reaktif Non Reaktif
Hemostasis
Waktu Perdarahan 1’30” 1 – 3 menit
Waktu Pembekuan 4’00” 1 – 6 menit
2. Pemeriksaan Penunjang
CTG : Dilakukan
Hasil :
DJJ:
Basal Rate:
HIS:
USG: Tidak dilakukan
D. DIAGNOSIS KERJA
Ibu : G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante Partum ec
Plasenta Previa + HbsAg
Janin : Tunggal hidup, presentasi kepala, DJJ: 143x/menit, regular
E. RENCANA PENATALAKSANAAN
Rawat Inap
IVFD RL
Observasi his, DJJ
Rencana operasi Sectio Caesarean
F. PROGNOSIS
Ibu : Dubia ad bonam
Janin : Dubia ad bonam
G. FOLLOW UP
Ruang VK
Tanggal & jam Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
pemeriksaan
04/12/2019 S: Pasien datamg dengan keluhan keluar
09.00 darah dari jalan lahir, mules (-), nyeri (-),
keluar cairan (-)
O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 121/81 mmHg
Nadi: 82 x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36,6C
DJJ: 143 x/menit
TFU: 27 cm
His: 1 x 10’15”
VT: Tidak dilakukan pemeriksaan
Perdarahan: ± 60 cc
A: G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan
Hemoragik Ante Partum ec Plasenta
Previa + HbsAg
P: Rawat Inap
IVFD RL 20 tpm
Rencana Sectio Caesarean Cito
Ruang Nifas
Tanggal & jam Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
pemeriksaan
05/12/2019 S: Nyeri luka post operasi, ASI belum
08.00 keluar, BAB + BAK + Flatus +
O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 100 x/menit
RR: 22 x/menit
Suhu: 36,5oC
Perdarahan normal, TFU 2 jari
dibawah pusat, lochea rubra ± 40cc
A: P1A0 Nifas hari pertama post SC a/i
Plasenta Previa + HbsAg
P: IVFD RL + 1 amp oxytocin 20 tpm
Ceftriaxon 3 x 1gr drip
Gentamycin 2 x 80 mg i.v
6/12/2019 S: Nyeri luka post operasi berkurang ASI
08.00 belum keluar, BAB + BAK + Flatus +
O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 114/60 mmHg
Nadi: 114 x/menit
RR: 22 x/menit
Suhu: 36,3oC
GV (+) luka kering
Perdarahan normal, TFU 2 jari
dibawah pusat, lochea rubra ± 40cc
A: P1A0 Nifas hari kedua post SC a/i
Plasenta Previa + HbsAg
P: IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 3 x 1gr drip
Gentamycin 2 x 80 mg i.v
7/12/2019 S: Pasien mengaku tidak ada keluhan
08.00 O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 121/84 mmHg
Nadi: 118 x/menit
RR: 22 x/menit
Suhu: 36,5oC
Perdarahan normal, TFU 2 jari
dibawah pusat, lochea rubra ± 40cc
A: P1A0 Nifas hari ketiga post SC a/i
Plasenta Previa + HbsAg
P: Boleh Pulang
Cefadroxil 3 x 1
As. Mefenamat 3 x 1
SF 2 x 1
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien berusia 35 tahun, dengan G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Plasenta Previa
+ HbsAg. Pada pasien ini, dapat didiagnosis berdasarkan:
a. Anamnesis
- Hamil 38 minggu berdasarkan HPHT
- Keluhan utama pasien adalah keluar darah dari jalan lahir sejak 5
jam SMRS
- Keluhan keluar darah tidak disertai nyeri perut
- Perdarahan berulang
b. Pemeriksaan Fisik
- KU/Kes : Baik / Composmentis
- TD : 145/78 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Suhu : 36,5oC
- Pernafasan : 22 x/menit
- Nyeri (-)
c. Pemeriksaan Obstetri
TFU : 27 cm
TBJ Klinis : (27-12) x 155 = 2325 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, asimetris, tidak
melenting, kesan bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang di sebelah
kiri, dan bagian-bagian kecil menonjol di
sebelah kanan, kesan punggung di kiri,
ekstremitas di kanan
Leopold III : Teraba bagian keras, melenting, simetris,
kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk pintu
atas panggul
His : 1 x 10’,15”
DJJ : 143 x/menit
Inspekulo : Tidak dilakukan
Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan
d. Pemeriksaan Lab:
Petanda Hepatitis: HbsAg reaktif
e. Diagnosis:
G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante Partum ec Plasenta
Previa + HbsAg
Diagnosis Plasenta Previa + HbsAg pada pasien ini dapat ditegakkan berdasakan:
Penanganan yang dilakukan pada pasien ini sudah sesuai dengan kepustakaan,
dikarenakan usia kehamilan pasien berdasarkan HPHT sudah memasuki usia
kehamilan aterm, maka dapat dilakukan terminasi kehamilan yaitu dengan cara
operasi Sectio Caesarean. Seksio sesarea bertujuan mengangkat sumber
perdarahan, memberikan kesempatan pada uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahannya, dan menghindari perlukaan servik dan segmen bawah uterus yang
rapuh apabila dilakukan persalinan pervaginam. Selain itu, tindakan operasi SC
dapat meminimalisir terjadinya infeksi vertical Hepatitis B dari ibu ke bayi akibat
proses persalinan. Tatalaksana yang dilakukan pada bayi yang lahir dengan Ibu
HbsAg (+) yaitu dengan vaksinasi Hepatitis 0 guna untuk mencegah infeksi dan
membentuk imunitas aktif dari virus hepatitis.
Keadaan Bayi
Bayi jenis kelamin laki-laki lahir pada tanggal 4 Desember 2019, dengan:
BBL : 2248
PB : 42 cm
A/S : 8/9
Genitalia : Laki-laki
Anus :+
Cacat :-
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
- Sebaiknya dokter umum dapat mengenal gejala awal pada kasus HAP
- Penanganan awal harus segera dilakukan secara tepat dan jika bertugas di
fasilitas kesehatan primer sesegera mungkin merujuk ke fasilitas kesehatan
yang memiliki fasilitas yang dapat menangani kasus ini.
- Sebagai tenaga medis kita harus berhati-hati dalam menangani pasien yang
memiliki HbsAg + guna meminimalisir kontak penularan
DAFTAR PUSTAKA
2. Satrianingrum, A. P., & Atika. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Terjadinya Plasenta Previa. Surabaya: Unair. 2012
3. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2014
4. Navabaksh B. Hepatitis B Virus Infection During Pregnancy : Transmission and
Prevention. Iran: Midle East Journal of Digestive Diseases; 2011. p. 92-102.
5. Olaitan AO. Prevalence of Hepatitis B Virus and Hepatitis C Virus in ante-natal
patients in Gwagwalada-Abuja, Nigeria. Nigeria: Deprtment of Biological Sciences;
2010. p. 48-50
6. Fairley-Hamilton D. Lecture notes obstetrics and gynaecology. 2nd ed. USA :
Blackwell Publishing ; 2004.
7. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Antepartum Haemorrhage.
Green-top Guideline No 63. 2011.
8. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP. 2013.
9. Bauer ST, Bonanno C. Abnormal placentation. Semin Perinatol 2009. 33:88-95.
10. Cunningham G, Leveno JK, Bloom LS, Hauth CJ, Gilstrap L, et al. Williams
Obstetrics. 23rd Edition. The McGraw Hill Companies. United States of America.
2009.
11. Faiz AS,Ananth CV. Etiology and risk factors for placenta previa: an overview and
meta-analysis of observational studies. J Matern Fetal Neonatal Med 2003;13:175–
90.
12. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Placenta Praevia, Placenta
Praevia Accreta and Vasa Praevia: Diagnosis and Management . Green-top
Guideline No. 27. London: RCOG; 2011.
13. Calleja-Agius J, Custo R, Brincat M, et al. Placental abruption and placenta praevia.
Eur Clin Obstet Gynaecol 2006;2:121-7.
14. Yang Q,Wen SW, Phillips K, Oppenheimer L, Black D,Walker MC. Comparison of
maternal risk factors between placental abruption and placenta previa. Am J Perinatol
2009;26:279–86.
15. Walfish M, Neuman A, Wlody D. Maternal haemorrhage. British Journal of
Anaesthesia. 2009. 103:47-56.
16. Sinha P, Kuruba N. Ante-partum haemorrhage: An update. Journal of Obstetrics and
Gynaecology. 2008;28(4):377- 81.