Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN KASUS

G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante Partum ec


Plasenta Previa + HbsAg

Disusun Oleh:

ANNISA APRILIA ATHIRA


1102014029

Pembimbing:
dr. Yedi Fourdiana, Sp.OG

Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Periode 11 November 2019 – 18 Januari 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Presentasi
Kasus yang berjudul “G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante
Partum ec Plasenta Previa + HbsAg”. Penulisan Presentasi Kasus ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian
departemen ilmu Obstetri dan Ginekologi di RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan Presentasi kasus ini tidak
terlepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu, terutama kepada dr. Yedi Fourdiana, Sp.OG yang telah
memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas
beliau.
Penulis menyadari penulisan Laporan kasus ini masih jauh dari sempurna
mengingat keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan
Presentasi Kasus ini. Akhir kata penulis berharap penulisan Referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi, 8 Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, hal ini


merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat pada suatu negara.
Angka kematian ibu menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu
penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya
selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas tanpa memperhitungkan lama
kehamilan. Angka kematian ibu di seluruh dunia pada tahun 2015 sebanyak
303.000 jiwa. Setiap hari terjadi kematian ibu sebanyak 830 akibat kehamilan dan
persalinan. Sekitar 99% angka kematian ibu terjadi di negara berkembang,
sedangkan angka kematian ibu di negara maju sebesar 1%. Penanganan yang baik
dari tenaga medis dalam penatalaksanaan selama dan setelah persalinan dapat
menyelamatkan ibu dan bayi, sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu dan
bayi.1

Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya


berkisar 3% dari semua persalinan, penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio
plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.2 Plasenta previa merupakan
salah satu penyebab serius perdarahan pada usia kehamilan >22 minggu.
Perdarahan obstetrik yang terjadi pada usia kehamilan >22 minggu dan yang terjadi
setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan yang berat, jika
tidak ditangani dengan cepat akan mendatangkan syok yang fatal.3

Infeksi virus Hepatitis B (HBV) yang pertama kali ditemukan pada tahun
1996, telah terjadi pada lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia. Infeksi HBV
saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar serta serius, karena
selain manifestasinya sebagai penyakit HBV akut beserta komplikasinya, lebih
penting lagi ialah dalam bentuk sebagai karier, yang dapat menjadi sumber
penularan bagi lingkungan4,5

Infeksi HBV pada wanita hamil dapat ditularkan secara tranplasental dan 20
% dari anak yang terinfeksi melalui jalur ini akan berkembang menjadi kanker hati
primer atau sirosis hepatis pada usia dewasa. Oleh karena itu bayi yang lahir dari
ibu carier HBsAg harus diimunisasi dengan memberikan immunoglobulin dan
vaksin hepatitis B segera.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERDARAHAN ANTEPARTUM


2.1.1 Definisi

Perdarahan antepartum merupakan perdarahan yang berasal dari traktus


genitalia setelah usia kehamilan 24 minggu dan sebelum onset pelahiran janin.
Angka kejadiannya berkisar antara 5-10% kehamilan. Keparahan dan frekuensi
perdarahan obstetri membuat perdarahan trimester ketiga menjadi salah satu dari
tiga penyebab kematian ibu dan penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas
perinatal di Amerika Serikat.6

Harus dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh karena penyebab


obstetri dan nonobstetri (penyebab lokal). Penyebab nonobstetri menghasilkan
perdarahan yang menyebabkan kehilangan darah yang relatif sedikit kecuali pada
karsinoma cerviks yang invasif. Penyebab obstetri harus diperhatikan. Kebanyakan
perdarahan yang parah menghasilkan hilangnya > 800 mL darah biasanya akibat
solusio plasenta atau plasenta previa. Yang lebih jarang namun tetap berbahaya
yaitu perdarahan dari circumvallate placenta, abnormalitas mekanisme pembekuan
darah dan ruptur uteri.6

2.1.2 Epidemiologi

Beberapa kejadian dilaporkan perdarahan pada pertengahan sampai awal trimester


ketiga. Lipitz dan kawan-kawan melaporkan bahwa 4 dari 65 wanita dengan
perdarahan diantara 14 minggu sampai 26 minggu disebabkan oleh plasenta previa
atau solusio plasenta dan 3 dari 65 janin meninggal. The Canadia Perinatal Network
mengatakan 806 wanita dengan perdarahan diantara kehamilan 22 minggu dan 28
minggu. Solusio plasenta 32%, plasenta previa 21% dan perdarahan servikal 6.6%.
Dinyatakan secara jelas bahwa perdarahan pada trimester kedua dan ketiga
disebabkan oleh kurangnya diagnosis saat kehamilan. Frekuensi perdarahan
antepartum kira- kira 3% dari seluruh persalinan. Di RS Tjipto Mangunkusumo
dilaporkan 14.3% dari seluruh persalinan.

2.1.3 Etiologi

Perdarahan antepartum yang berbahaya dan paling sering ditemui umumnya


bersumber pada kelainan plasenta (70%), lesi lokal pada saluran kelamin (25%),
dan sisanya penyebab yang tidak diketahui (5%).

Tabel 1. Penyebab perdarahan trimester tiga5


Penyebab Obstetri Penyebab non-obstetri
Bloody Show Keganasan atau displasia serviks
Plsenta Previa Servisitis
Solusio plasenta Polip servikal
Vasa Previa Erosi serviks
DIC Laserasi vagina
Ruptur Uteri Vaginitis
Perdarahan sinus marginal Varikose vulva

Tabel 2. Klasifikasi etiologi perdarahan trimester tiga6

Risiko Penyebab
Obstetrik Non-obstetrik
Tinggi Plasenta previa Koagulopati
Solusio plasenta Neoplasservikouterin
Ruptur uteri Keganasan genitalia bawah
Vasa previa dengan
perdarahan janin
Sedang Plasenta sirkumvalate Varises vagina
Ruptur sinus marginalis Laserasi vagina
Rendah Ekstrusi mukus serikal Servisitis, eversi, erosi,
(bloody show) polip
2.1.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakan dengan mencari tahu riwayat perdarahannya, berapa


banyak jumlah perdarahan, apakah terdapat faktor pencetus (perdarahan setelah
berhubungan atau trauma), apakah terasa nyeri dan kontraksi dirasakan ibu, apakah
gerakan bayi masih dirasakan, dan jika ada kapan malakukan apusan serviks dan
bagaimana hasilnya.4,7 Perlu pula dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, palpasi
pada uterus (lembut, keras, nyeri),dan auskultasi jantung janin. Pemeriksaan digital
atau spekulum tidak boleh dilakukan hingga pemeriksaan ultrasonografi telah
menyingkirkan plasenta previa. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu
berupa pemeriksaan darah lengkap, jika dicurigai solusio plasenta maka dilakukan
pemeriksaan platelet, protrombin time, parsial tromboplastin time, fibrinogen, D-
dimer, golongan darah dan cross-match, dan sonografi untuk menentukan ukuran,
presentasi, cairan amnion, posisi plasenta dan morfologi.4,7

2.1.5 Tatalaksana
Prinsip manajemen perdarahan antepartum adalah setiap perempuan yang
mengalami perdarahan pervaginam pada usia kehamilan akhir, harus dievaluasi
dirumah sakit dan pemeriksaan vaginal atau rektal tidak boleh dilakukan hingga
plasenta previa telah disingkirkan.5 Pengenalan dini gejala syok hipovolemia
berupa pucat, kulit yang dingin, pingsan, kehausan, dipsnea, agitasi, camas,
kebingungan, penurunan tekanan darah, takikardi, dan oliguri. Abnormalitas pada
jantung janin terjadi sebagai dekompensasi ibu.5

Kebanyakan ibu hamil secara hemodinamik stabil hingga mereka kehilangan


1500 mL (25%) dari volume darah mereka. Jika tanda-tanda vital menunjukan
ketidakstabilan, standar ressitasi ABCD harus dilakukan. Pastikan jalan napas
pasien, posisikan dalam posisi trendelenburg dengan miring kekiri, yang akan
memaksimalkan darah yang kembali ke jantung dan mencegah uterus yang sedang
hamil melakukan kompresi pada vena kava. Kateter intravena berukuran besar
dapat dipasang dan penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid dapat dimulai.
Pada kasus seperti ini, D dari ABCD harus dilakukan juga pemeriksaan pada
janin.5,7,8

Setelah itu dapat dimulai juga pemberian transfusi darah secara cepat. Masih
banyak perdebatan mengenai nilai hemoglobin dan hematokrit yang mengharuskan
dimulainya transfusi, namun menurut Consensus Development Coference, curah
jantung tidak menurun nyata hingga kadar hemoglobin turun mencapai 7 g/dL atau
nilai hematokrit turun hingga 20% volume. Jika menggunakan PRC penting untuk
memperhatikan terjadinya koagulopati dilusi (defisit relatif trombosit dan faktor
pembekuan darah).7 Jika kelebihan cairan dikhawatirkan seperti contohnya ada
pasien pre eklamsia, maka dapat digunakan produk darah lainnya sesuai indikasi
seperti kriopresipitat atau FFP. Hemodinamik perlu dipantau dengan ketat.5,6,8
Penatalaksanaan lainnya dapat diberikan obat vasoaktif jika diinginkan suatu efek
farmakologis yang spesifik misalnya meningkatkan kontraktilitas jantung. Yang
paling sering digunakan adalah dopamin 200 mg dalam 500 mL NaCl intravena,
dimulai dengan 2-5µg/kg/menit dan dinaikan 5-10 5µg/kg/menit hingga 20-50
5µg/kg/menit. Agen vasoaktiflain yang sering digunakan seperti levarterenol
bitartrate, isoproterenol, metaraminol, dan fenilepinefrin. Bahkan dalam kasus ini,
penggunaan obat-obatan tersebut mungkin dipertanyakan. Obat-obatan ini harus
digunakan jika keuntungannya jelas lebih besar dibandingkan risikonya.5 Berikut
adalah algoritma singkat penatalaksanaan perdarahan antepartum.9
2.2 Placenta Previa
2.1.6 Definisi
Secara harfiah plasenta previa adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir
(pre = di depan; vias = jalan). Sehingga yang dimaksud dengan plasenta previa
adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan
lahir (ostium uteri internal) dan oleh karenanya bagian terendah sering kali
terkendala memasuki pintu atas panggul (PAP) atau menimbulkan gangguan janin
dalam rahim. 7 Plasenta previa merupakan salah satu penyebab utama perdarahan
vagina pada kehanilan tua dan dapat menjadi penyebab kematian yang serius baik
bagi janin dan ibu. 8
2.1.7 Epidemiologi
Insidensi plasenta previa meningkat sesuai dengan jumlah paritas dan usia
terutama diatas 30 tahun. Pada beberapa rumah sakit umum pemerintah dilaporkan
insidensi plasenta previa berkisar 1,7-2,9%. Di Negara maju insidensinya lebih
rendah yaitu kurang dari 1%, hal ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya
wanita hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasnografi dalam
obstetrik yang menungkinkan deteksi lebih dini insidensi plasenta previa bisa lebih
tinggi. 10
Plasenta letak rendah terdapat pada 28% kehamilan <24 minggu, karena
segmen bawah rahim belum terbentuk. Sesuai dengan membesarnya segmen atas
uterus dan terbentuknya segmen bawah uterus maka plasenta akan berpindah
posisinya ke atas (migrasi plasenta). Sehingga USG harus diulang pada minggu ke
32-34 usia kehamilan. Selain itu plasenta previa lebih sering pada kehamilan ganda
daripada kehamilan tunggal. 7
2.1.8 Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim berlum
diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa
desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin.
Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi
desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrfi.
Paritas tinggi, usia lanjut, cacar rahim misalnya bekas bedah sesar, miomektomi,
dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di
endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor risiko bagi terjadinya
plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berberan menaikkan insidensi dua sampai
tiga kali. Pada perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi
2 kali lipat. Hipoksemia akibat karbin monoksida hasil pembakaran rokok
meyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang
terlalu besar sepereti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa
menyebabkan pertumbuhan palsenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga
menuupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomi melainkan
pada keadaan fisiologis yang dapat berubah-ubah, maka klasifikasi ini dapat
berubah setiap waktu misalnya plasenta previa total pada pembukaan 4 cm mungkin
akan berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan 8 cm. Ada juga penulis yang
menganjurkan bahwa menegakkan diagnosa sewaktu yaitu saat penderita
diperiksa.10
Secara umum plasenta previa dapat dibagi menjadi empat menurut
Cunningham, yaitu: 7
1) Plasenta previa totalis. Apabila jaringan plasenta menutupi seluruh ostium
uteri internum.
2) Plasenta previa parsialis. Apabila jaringan plasenta menutupi sebagian ostium
uteri internum.
3) Plasenta previa marginalis. Yaitu plasenta yang tepinya terletak pada pinggir
ostium uteri internum.
4) Plasenta previa letak rendah. Apabila jaringan plasenta berada kira-kira 3-4
cm di atas ostium uteri internum, pada pemeriksaan dalam tidak teraba.

B
a

C D

Gambar 3.1 (a) .Implantasi plasenta normal, (b) Plasenta previa letak rendah
(c) Plasenta previa parsialis (d) Plasenta previa totalis

Klasifikasi plasenta previa menurut De Snoo berdasarkan pembukaan 4-5 cm


dibagi menjadi dua, yaitu: 10
1) Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm teraba plasenta
menutupi seluruh ostium.
2) Plasenta previa lateralis, bila pada pembukaan 4-5 cm sebagian pembukaan
ditutupi oleh plasenta, dapat dibagi menjadi:
3) Plasenta previa lateralis posterior, bila sebagian menutupi ostium bagian
belakang.
4) Plasenta previa lateralis anterior, bila sebagian menutupi ostium bagian depan
5) Plasenta previa lateralis marginalis, bila sebagian kecil atau hanya pinggir
ostium yang ditutupi plasenta
Sedangkan klasifikasi plasenta previa menurut Browne adalah sebagai
berikut: 10
1. Tingkat 1 (Lateral plasenta previa)
Pinggir bawah plasenta berinsersi sampai ke segmen bawah rahim, namun
tidak sampai ke pinggir pembukaan.
2. Tingkat 2 (Marginal plasenta previa)
Plasenta mencapai pinggir pembukaan
3. Tingkat 3 (Complete plasenta previa)
Plasenta menutupi ostium waktu tertutup, dan tidak menutupi bila pembukaan
hampir lengkap.
4. Tingkat 4 (Central plasenta previa)
Plasenta menutupi seluruhnya pada pembukaan hampir lengkap.

2.2.5 Patofisiologi
Plasenta merupakan bagian dari kehamilan yang penting, mempunyai bentuk
bundar dengan ukuran 15 x 20 cm dengan tebal 2,5 sampai 3 cm dan beratnya 500
gram. Plasenta merupakan organ yang sangat aktif dan memiliki mekanisme khusus
untuk menunjang pertumbuhan dan ketahanan hidup janin. Hal ini termasuk
pertukaran gas yang efisien, transport aktif zat-zat energi, toleransi imunologis
terhadap imunitas ibu pada alograft dan akuisisi janin. Melihat pentingnya peranan
dari plasenta maka bila terjadi kelainan pada plasenta akan menyebabkan kelainan
pada janin ataupun mengganggu proses persalinan. Salah satu kelainan pada
plasenta adalah kelainan implantasi atau disebut dengan plasenta previa. 11
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan
mungkin juga lebih awal oleh karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim,
tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta
terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh
menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah
rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami
laserasi akibat pelepasan pada desidua pada tapak plasenta. Demikian pula pada
waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak
plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi akan terjadi perdarahan yang berasal
dari sirkulasi maternal yaitu dari ruang intervillus dari plasenta. Oleh karena
fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa
betapa pun pasti kan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu
relative dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks
tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya
minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan
sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada
laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta dimana perdarahan akan
berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah
rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan
mengulang kejadian perdarahan. Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu
sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri
(pain-less). 7
Pada plasenta yang menutupi seluruh uteri internum perdarahan terjadi lebih
awal dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada
bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa
parsialis atau letak rendah perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati atau
mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih
banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan yang pertama sudah bisa terjadi
pada kehamilan dibawah 30 minggu, tetapi lebih separuh kejadiannya pada
kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak pada dekat
dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim
dan tidak membentuk hematom retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih
luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian
sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa. 7
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang
tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta
melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan
inkreta bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus
buli-buli dan ke rectum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih
sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah
rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang
terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan
pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta
sukar melepas dengan sempurna (retensio plasenta) atau setelah uri lepas karena
segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik. 7
2.2.6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinik plasenta previa adalah sebagai berikut: 11
1) Perdarahan tanpa nyeri
Pasien mungkin berdarah sewaktu tidur dan sama sekali tidak terbangun.
Baru waktu ia bangun, ia merasa bahwa kainnya basah. Biasanya perdarahan karena
plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh dan perdarahan sebelum bulan
ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus. 12
Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan
dinding rahim . Setelah bulan ke -4 terjadi regangan pada dinding rahim karena isi
rahim lebih cep at tumbuhnya dari rahim sendiri. Akibatnya ismus uteri tertarik
menjadi bagian dinding korpus uteri yang disebut segmen bawah rahim. 12
Pada plasenta previa, perdarahan tidak mungkin terjadi tanpa pergeseran
antara plasenta dan dinding rahim. Saat perdarahan bergantung pada kekuatan
insersi plasenta dan kekuatan ta rikan pada istmus uteri. Dalam kehamilan tidak
perlu ada his untuk menimbulkan perdarahan. Sementara dalam persalinan, his
pembukaan menyebabkan perdarahan karena bagian plasenta di atas atau dekat
ostium akan terlepas dari dasarnya. Perdarahan pada plasenta previa terjadi karena
terlepasnya plasenta d ari dasarnya. 12
Pada plasenta previa, perdarahan bersifat berulang -ulang karena setelah
terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim, regangan dinding rahim dan
tarikan pada serviks berkurang. Namun, dengan majunya kehamilan regangan
bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru. 12 Darah yang keluar terutama
berasal dari ibu , yakni dari ruangan intervilosa. Akan tetapi dapat juga berasal dari
anak jika jonjot terputus atau pembuluh darah plasenta yang lebih besar terbuka. 12

2) Kelainan letak janin


Bagian terendah anak masih tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah
rahim sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul. Pada
plasenta previa, ukuran panjang rahim berkurang maka pada plasenta previa lebih
sering disertai kelainan letak. 12
3) Perdarahan pasca persalinan
Pada plasenta previa mungkin sekali terjadi perdarahan pascapersalinan
karena kadang-kadang plasenta lebih erat melekat pada dinding rahim (plasenta
akreta), daerah perlekatan luas dan kontraksi segmen bawah rahim kurang sehingga
mekanisme penutupan pembuluh darah pada insersi plasenta tidak baik. 12
4) Infeksi nifas
Selain itu, kemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat
pada ostium dan merupakan port de entree yang mudah tercapai. Lagi pula, pasien
biasanya anemia karena perdarahan sehingga daya tahannya lemah. 12
2.2.7 Diagnosis
Secara klinis, diagnosis plasenta previa sulit untuk ditegakkan. Kecuali dengan
pemeriksaan dalam, dengan memasukkan jari melalui serviks dan plasenta
dipalpasi. Pemeriksaan ini tidak diperbolehkan, kecuali pasien ada didalam ruang
operasi dengan persiapan lengkap untuk section secaria atau disebut dengan double
set-up examination, dimana dilakukan observasi plasenta dengan memasukkan jari
melalui serviks untuk memeriksa dan menentukan derajat atas klasifikasi plasenta
serta jika sudah ditetapkan plasenta previa total maka dilakukan section sesarea7.
Namun, pemeriksaan ini sudah ditinggalkan karena sentuhan jari lembut saja
bisa menimbulkan perdarahan yang hebat dan di sisi lain pemeriksaan
ultrasonografi lebih menguntungkan karena bisa dideteksi jauh sebelum inpartu
atau lebih tepatnya saat antenatal dan tidak menimbulkan perdarahan. (Saifuddin,
Rachimhadhi, & Wiknjosastro, 2010). 13
Diagnosis pada penderita plasenta previa dapat dilakukan berdasarkan
gambaran klinik dengan cara:9,14
Anamnesis

Gejala pertama, perdarahan pada kehamilan setelah 28 minggu. Sifat


perdarahan yang berupa tanpa sebab, tanpa disertai rasa nyeri, sering berulang.
Sedikit banyaknya perdarahan; tergantung besar atau kecilnya robekan pembuluh
darah dan plasenta. 15
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
- Dapat dilihat perdarahan pervaginam banyak atau sedikit berwarna merah
segar.
- Jika perdarahan lebih banyak; ibu tampak anemia.
Palpasi abdomen
- Janin sering terlihat belum cukup bulan sehingga fundus uteri masih rendah.
Sering dijumpai kesalahan letak
- Bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala biasanya kepala
masih goyang atau terapung
- Bila pemeriksa sudah cukup pengalaman dapat dirasakan suatu bantalan
pada segmen bawah rahim, terutama pada ibu yang kurus. 15
Inspekulo
Dengan pemeriksaan inspekulo dengan hati-hati dapat diketahui asal
perdarahan, apakah dari dalam uterus, vagina, varises yang pecah atau lain -lain.

Pemeriksaan Dalam (VT)


Tidak dilakukan pemeriksaan VT kecuali pemeriksaan berada di meja operasi
dengan segala persiapan seksio sesarea segera karena pemeriksaan yang paling hati-
hati pun dapat menyebabkan perdarahan masif. 14
Pemeriksaan Penunjang
Plasenta previa hampir selalu dapat didiagnosa dengan menggunakan USG
abdomen yaitu sekitar 95% pemeriksaan. Kemungkinan plasenta previa tidak dapat
disingkirkan hingga pemeriksaan sonografi telah jelas menunjukkan ketiadaan
plasenta previa. Pemeriksaan ultrasonografi ada tiga macam: ultrasonografi (USG)
transabdominal, USG transvaginal dan USG transperineal. 16 Pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk mendiagnosis plasenta
previa namun, kalah praktis dengan USG terutama bila dilakukan dalam keadaan
yang mendesak. 13
2.2.8 Diagnosis Banding
Tabel 3.1. Diagnosis banding17
Gejala dan tanda Faktor predisposisi Penyulit lain Diagnosis
* Perdarahan tanpa nyeri, * multipara * Syok Plasenta
usia gestasi >22 minggu * mioma uteri * perdarahan Previa
* Darah segar atau * usia lanjut setelah koitus
Kehitaman dengan *kuretase *Tidak ada
bekuan berulang kontraksi uterus
* Perdarahan dapat terjadi * bekas SC
setelah miksi atau * merokok
defekasi, aktivitas fisik, *Bagian terendah
kontraksi braxton hicks janin tidak masuk
atau koitus PAP
*Bisa terjadi gawat
janin
* Perdarahan dengan * Hipertensi * Syok yang tidak Solusio
nyeri intermitten atau * versi luar sesuai dengan plasenta
menetap *Trauma jumlah darah
* Warna darah kehitaman abdomen (tersembunyi)
dan cair, tapi mungkin * Polihidramnion * anemia berat
ada bekuan jika solusio * gemelli * Melemah atau
relatif baru * defisiensi gizi hilangnya denyut
* Jika ostium terbuka, jantung janin
terjadi perdarahan *gawat janin atau
berwarna merah segar. hilangnya denyut
jantung janin
* Uterus tegang da
n
Nyeri
*Perdarahan * Riwayat seksi *Syok atau Ruptur uteri
intraabdominal dan/atau o takikardia
vaginal sesarea *Adanya cairan
* Nyeri hebat sebelum *Partus lama bebas
perdarahan dan syok, yg atau kasep intraabdominal
kemudian hilang setelah *Disproporsi *Hilangnya gerak
terjadi regangan hebat Kepala atau denyut jantun
pada perut bawah /fetopelvik g janin
(kondisi ini tidak khas) *Kelainan letak/ *Bentuk uterus
presentasi abnormal atau
*Persalinan konturnya tidak
traumatik jelas.
* Nyeri
raba/tekan dinding
perut
*bagian janin
mudah dipalpasi
*Perdarahan berwarna * solusio plasenta * perdarahan gusi Gangguan
merah segar. * janin mati * gambaran mema pembekuan
* Uji pembekuan dara dalam rahim r darah
h * eklamsia bawah kulit
tidak menunjukkan * emboli air * perdarahan dari
adanya bekuan darah ketuban tempat suntikan
setelah 7 menit jarum infus
* Rendahnya faktor
pembekuan darah,
fibrinogen, trombosit,
fragmentasi sel darah

2.2.9 Penatalaksanaan
Umum

Tirah baring dan lakukan perbaikan kekurangan cairan/darah dengan infus


cairan intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat). Lakukan penilaian jumlah
perdarahan. Jika pedarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea
tanpa memperhitungkan usia kehamilan. Jika perdarahan berhenti, dan janin masih
premature, pertimbangkan terapi konservatif. 18

Khusus

a. Konservatif
Yakni agar janin tidak terlahir premature dan upaya diagnosis dilakukan
secara non-invasif.

Syarat terapi ekspektatif:


- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti
dengan atau tanpa pengobatan tokolitik
- Belum ada tanda inpartu
- Keadaan umum ibu cukup baik (bila kadar Hb dalam batas normal)
- Janin masih hidup dan kondisi janin baik.

Penatalaksanaan konservatif terdiri dari


- Rawat inap, tirah baring dan beri antibiotika profilaksis
- Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta
- Berikan tokolitik jika ada kontraksi seperti MgSO4 4g IV dosis awal
dilanjutkan 4 g setiap 6 jam, atau Nifedipine 3x20 mg/hari
- Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis
tunggal untuk pematangan paru janin. Dapat pula digunakan deksametason
16 mg IM 2x selang 24 jam. Pemberian kortikosteroid jika usia kehamilan
<34 minggu.
- Observasi di kamar bersalin selama 24 jam, jika tidak ada perdarahan
pindahkan ke ruangan selama 2 hari.
- Observasi Hb setiap hari dan tanda vital, DJJ, serta perdarahan setiap 6 jam.
- Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferosus fumarat per oral 60 mg
selama 1 bulan.
- Pastikan tersedianya sarana transfuse
- Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama,
ibu dapat dirawat jalan dengan pasien segera kembali ke rumah sakit jika
terjadi perdarahan. 14,18

b. Aktif
Rencanakan terminasi kehamilan jika:
- Usia kehamilan cukup bulan (≥37 mingggu)
- Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi
kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)
- Pada perdarahan aktif dan banyak segera dilakukan terapi aktif (>500cc)
- Adanya tanda-tanda persalinan

Penatalaksanaan aktif terdiri dari


- Ada 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan pervaginam dan seksio
sesarea. Persalinan pervaginam bertujuan agar bagian terbawah janin
menekan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung,
sehingga perdarahan berhenti. Seksio sesarea bertujuan mengangkat sumber
perdarahan, memberikan kesempatan pada uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahannya, dan menghindari perlukaan servik dan
segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilakukan persalinan pervaginam.
15

- Di rumah sakit yang lengkap, seksio sesarea merupakan cara persalinan


terpilih Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan
presentasi kepala, maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban dan
persalinan pervaginam masih dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan
seksio sesarea. 19
- Jika pada waktu masuk terjadi perdarahan yang banyak perlu dilakukan
segera terminasi kehamilan bila keadaan janin sudah viabel. Pasien dengan
semua klasifikasi plasenta previa dalam trimester ketiga yang dideteksi
dengan ultrasonografi transvaginal belum ada pembukaan pada serviks,
persalinannya dilakukan melalui seksio sesarea tertutama pada plasenta
previa totalis. Seksio sesarea juga dilakukan apabila ada perdarahan banyak
yang mengkhawatirkan. 9
- Kebanyakan seksio sesarea pada plasenta previa dapat dilaksanakan melalui
insisi melintang pada segmen bawah rahim bagian anterior bila plasentanya
terletak di belakang dan segmen bawah rahim telah terbentuk dengan baik.
Insisi yang demikian juga dapat dilakukan oleh dokter ahli pada plasenta letak
anterior dengan melakukan insisi yang cepat dan dengan cepat pula
mengeluarkan janin dan menjepit tali pusat sebelum janin sempat mengalami
perdarahan (fetal exsanguinations) akibat plasenta terpotong. Seksio sesarea
klasik hanya dilakukan jika janin dalam letak lintang atau terdapat varises
yang luas pada segmen bawah rahim. 9 Pelahiran melalui Sectio Caesarea
dilakukan pada perempuan yang mengalami plasenta previa, dikarenakan
pada bagian segmen bawah uterus tidak dapat berkontraksi secara maksimal,
sehingga dikhawatikan akan terjadi perdarahan hebat. 16

2.2.10 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita
plasenta previa, yaitu: 9
Komplikasi pada ibu
- Dapat terjadi anemia bahkan syok
- Dapat terjadi robekan pada serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh
- Solusio plasenta, kelainan letak janin, perdarahan paska persalinan
Komplikasi pada janin
- Kelainan letak janin
- Prematuritas dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
- Asfiksia intra uterin sampai dengan kematian

2.2.11 Prognosis
Prognosis ibu pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan
dengan masa lalu. Hal ini dikarenakan diagnosa yang lebih dini, ketersediaan
transfusi darah, dan infus cairan yang telah ada hampir semua rumah sakit.
Demikian juga dengan kesakitan dan kematian anak mengalami penurunan, namun
masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan
maupun karena intervensi seksio cesarea. Dengan persalinan seksio sesarea,
fasilitas transfusi darah, dan metode anestesi yang benar kematian ibu dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%. Karenanya kelahiran prematur belum
sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif diberlakukan. 7

2.3 Solusio plasenta


2.1.1 Definisi
Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum pelahiran telah
disebut dengan berbagai macam istiah yaitu solusio plasenta, abruptio plasenta,
dan di Britania Raya, perdarahan aksidental. Istilah latin untuk abruptio
placentae berarti robek dan terlepasnya plasenta, serta mengandung makna
suatu peristiwa yang terjadi tiba-tiba adalah ciri klinis pada sebagian besar
kasus solusio plasenta. Istilah yang sangat panjang, pemisahan kurang bulan
plasenta yang berimplantasi normal, adalah yang paling deskriptif. Istilah ini
membedakan plasenta yang terlepas secara kurang bulan tapi berimplantasi
pada jarak tertentu dari ostium uteri internum dengan plasenta yang
berimplantasi diatas ostium uteri internum (plasenta previa).8
Gambar 3. Perdarahan yang berasal dari solusio plasenta yang luas. Perdarahan
eksternal: plasenta terlah terlepas di bagian perifer: membran antara plasenta dan
kanalis servisis uteri juga terlepas dari desidua dibawahnya. Hal ini memungkinkan
darah mengalir keluar vagina. Perdarahan terselubung : tepi plasenta dan
membran masih melekat darah masih tertahan dalam uterus. Plasenta previa parsial
terdapat pelepasan plasenta dan perdarahan eksternal8

Terdapat dua bentuk utama solusio plasenta. Perdarahan akibat solusio


plasenta umumnya menyusup antara membran plasenta dan uterus dan
akhirnya keluar melalui serviks, menyebabkan perdarahan eksternal (80%)
(gambar 1). Yang lebih jarang, darah tidak berhasil keluar tetapi tertahan
diantara plasenta yang terlepas dan uterus, menyebabkan perdarahan
terselubung (concealed bleeding, 20%). Seperti diperlihatkan pada gambar 2,
solusio plasenta dapat total atau parsial. Perdarahan terselubung jauh lebih
berbahaya bagi ibu dan janin. Bahaya ini timbul bukan hanya karena
kemungkinan koagulopati komsumtif, tetapi karena banyak dan luas
perdarahan tidak diketahui dengan segeradan diagnosis umumnya terlambat.5,8
Gambar 4. Solusio plasenta total dengan terdarahan terselubung (concealed
hemorrhage) dan kematian janin8

2.1.2 Epidemiologi
Frekuensi diagnosis solusio plasenta bervariasi karena perbedaan
kriteria, tetapi frekuensi rata-rata yang dilaporkan adalah 1 dalam 200
kelahiran. Dalam basis data mengenai 15 juta kelahiran, milik National Center
of Health Statistics Salihu dkk melaporkan insiden solusio plasenta pada
kehamilan bayi tunggal sebanyak 1 diantara 160. Dengan menggunakan data
catatan kelahiran di AS tahun 2003, insiden solusio plasenta sebesar 1 dalam
190 kelahiran. Di Parkland Hospital dari tahun 1988 hingga 2006, insidens
solusio plasenta pada lebih dari 280.000 kelahiran mencapai 1 dalam 290.
Setidaknya, di Parkland Hospital baik insiden maupun keparahan solusio
plasenta telah menurun seiring waktu. Dengan menggunakan kriteria pelepasan
plasenta yang sedemikian luas sehingga membunuh janin, insiden dilaporkan
sebanyak 1 dalam 420 kelahiran dari 1956 sampai 1967. Seiring dengan
berkurangnya jumlah perempuan dengan paritas tinggi yang melahirkan dan
semakin baiknya transportasi darurat serta tersedianya asuhan pranatal,
frekuensi solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin menurun drastis
hingga mencapai sekitar 1 diantara 830 kelahiran dari tahun 1974 - 1989.
Antara tahun 1996 dan 2003, nilai ini semakin menurun hingga kurang lebih 1
dalam 1600 kelahiran.8
Meskipun angka kematian janin akibat solusio plasenta telah
menurun, peran solusio sebagai penyebab kematian janin masih tetap menonjol
karena telah berkurangnya angka lahir mati akibat sebab-sebab lain. Misalnya
sejak awal tahun 1990-an, 10 hingga 12% diantara semua bayi lahir mati dalam
trimester ketiga di Parkland Hospital merupakan akibat dari solusio plasenta.8
Tingginya angka kematian perinatal akibat solusio plasenta telah telah
tercatat dalam sejumlah laporan. Salihu menganalisis lebih dari 15 juta
kelahiran bayi tunggal di AS antara tahun 1995 - 1998. Dilaporkan bahwa
angka kematian perinatal akibat solusio plasenta adalah 119 per 1000 kelahiran
dibandingkan dengan 8 per 100 kelahiran pada mereka yang tidak mengalami
komplikasi ini.8

2.1.3 Etiologi
Sebab utama solusio plasenta tidak diketahui, tetapi beberapa kondisi
terkait dicamtumkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 3. Faktor risiko solusio plasenta
Faktor risiko Risiko
Relatif
Bertambahnya usia dan paritas 1,3 - 1,5
Preeklamsia 2,1 - 4,0
Hipertensi kronis 1,8 - 3,0
Ketuban pecah kurang bulan 2,4 - 4,9
Kehamilan ganda 2,1
Berat lahir rendah 14,0
Hidramnion 2,0
Merokok 1,4 - 1,9
Trombofilia 3-7
Penggunaan Kokain TD
Riwayat solusio 10 - 25
Leimioma Uteri TD
*TD : Tidak ada data
1. Usia, Paritas, Ras, dan Faktor Familial
Seperti yang ditunjukan pada gambar 35.6 insidens solusio plasenta
meningkat sesuai dengan usia ibu. Pada penelitian FASTER (First and
Second trimester Evaluation of Risk) perempuan yang berusia lebih dari 40
tahun ditemukan 2,3 kali lipat lebih mungkin mengalami solusio
dibandingkan perempuan yang berusia ≤ 35 tahun. Pritchard melaporkan
insidens solusio plasenta meningkat pada perempuan dengan paritas tinggi,
namun Toohey dalam peneitiannya tidak memperoleh hasil yang sama. Ras
dan etnisitas tampaknya penting. Diantara hampir 170.000 pelahiran yang
dilaporkan pada rumah sakit Parkland, solusio plasenta lazim terjadi pada
perempuan Afrika-Amerika dan Kaukasian (1:200) dibandingkan
perempuan Asis (1:300) atau Amerika latin (1:450). Hubungan familial
baru-baru ini dilaporkandi Norwegia mencakup hampir 378.000 perempuan
dengan hubungan saudara kandung yang lebih dari 767 kehamilan. Jika
seorang perempuan pernah mengalami solusio plasenta berat, risiko untuk
saudara perempuannya akan meningkat 2x lipat dan risiko yang dapat
diwariskan sebesar 16%. 8

Gambar 3. Insidens solusio plasenta dan plasenta previa berdasarkan usia8


2. Hipertensi
Kondisi yang sangat dominan berkaitan dengan solusio plasenta adalah
suatu bentuk hipertensi (hipertensi gestasional, preeklamsia, hipertensi
kronis, atau kombinasi). Dalam laporan dari rumah sakit Parkland mengenai
408 perempuan yang mengalami solusio plasenta dan keguguran, hipertensi
ditemukan pada kurang lebih separuh perempuan setelah kompartemen
intravaskular yang sebelumnya berkurang dipulihkan. Setengah dari 408
perempuan tersebut memiliki hipertensi kronis. Disisi lain Sibai
melaporkanbahwa 1,5% diantara perempuan hamil dengan hipertensi kronis
mengalami solusio plasenta. Ananth melaporkan peningkatan insiden
solusio plasenta sebesar 2,4 kali lipat pada hipertensi kronis dan
peningkatan ini bahkan lebih tinggi lagi jika disertai preeklamsia dan retriksi
pertumbuhan janin. Keparahan hipertensi tidak selalu berhubungan dengan
insiden solusio plasenta, selain itu dari sebuah pengamatan oleh Magpie
Tripel Collaborative Group memberikan gambaran bahwa perempuan
dengan preeklamsia mungkin mengalami risiko solusio plasenta yang lebih
rendah jika diterapi dengan Magnesium Sulfat.8

3. Ketuban pecah dini dan pelahiran kurang bulan


Tidak ada keraguan bahwa terjadi peningkatan insiden solusio bila ketuban
pecah sebelum aterm. Dilaporkan oleh Mayor bahwa 5% diantara 756
perempuan dengan ketuban pecah antara minggu 20 dan minggu 36,
mengalami solusio plasenta. Kramer menemukan bahwa ada 3,1 perempuan
dengan solusio plasenta diantara semua perempuan jika ketuban pecah lebih
dari 24 jam. Terdapat peningkatan 3 kali lipat pada pasien dengan kasus
ketuban pecah dini dan risiko ini semakin ditingkatkan dengan adanya
infeksi. Ananth dkk menyatakan gagasan bahwa peradagan dan infeksi
mungkin merupakan sebab utama solusio plasenta. Dilaporkan juga bahwa
terdapat hubungan erat antara solusio plasenta dengan BBLR, tertama
karena pelahiran kurang bulan.8
4. Merokok
Berbagai penelitian terdahulu telah mengaitkan rokok dengan penigkatan
faktor risiko solusio plasenta. Dalam sebuah penelitian yang mencakup 1,6
juta kehamilan, di temukan peningkatan risiko solusio plasenta 2 kali lipat
pada perokok. Risiko ini bertambah 5-8 kali lipat jika perokok tersebut
mengalami hipertensi kronis, preeklamsia berat, atau keduanya.8,10
5. Kokain
Perempuan dengan penggunaan kokain memiliki frekuensi solusio plasenta
yang sangat tinggi. Dari 50 perempuan yang menyalahgunakan kokain
dalam kehamilan, ditemukan 8 kasus lahir mati akibat solusio plasenta.8,10
6. Trombofilia
Selama dekade terakhir, sejumlah trombofilia yang diwariskan atau didapat
telah dikaitkan dengan penyakit tromboembolik selama kehamilan beberapa
diantranya seperti mutasi gen protrombin atau faktor V Leiden berkaitan
dengan solusio plasenta, infark plasenta serta preeklamsia.8
7. Solusio plasenta Traumatik
Pada beberapa kasus trauma eksternal, biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor atau kekerasan fisik, dapat terjadi
pemisahan plasenta. Penelitian di rumah sakit Parkland menunjukan sekitar
2% solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin yang memiliki
etiologi trauma. Namun, seiring menurunnya insiden solusio plasenta
selama beberapa tahun ini, solusio traumatik menjadi relatif lebih lazim.
Solusio plasenta juga dapat disebabkan oleh trauma yang relatif ringan.8
8. Kontraksi uterus yang mengalami distensi berlebihan
Walaupun jarang, kontraksi yang cepat dari uterus yang mengalami distensi
berlebihan dapat menyebabkan solusio plasenta seperti ruptur membran
dengan polihidramnion, amnionreduksi terapeutik, atau pelahiran janin
dalam kehamilan ganda.10

9. Leiomioma
Tumor-tumor ini khususnya jika terletak dibelakang tempat implantasi
plasenta, merupakan predisposisi terjadinya solusio plasenta. Dilaporkan
dari 14 perempuan dengan leiomioma retroplasenta mengalami solusio
plasenta, dan empat perempuan melahirkan janin lahir mati. Sebaliknya
hanya 2 dari 79 perempuan dengan leiomioma yang tidak terletak
retroplasenta yang mengalami solusio plasenta.8
10. Solusio berulang
Seorang perempuan yang pernah mengalami solusio plasenta khususnya
yang menyebabkan kematian janin, memiliki angka rekurensi yang tinggi
(12-22%) bahkan dapat terjadi pada usia kehamilan yang lebih muda
dibandingkan saat terjadi solusio plasenta pertama. Bagi perempuan yang
sudah mengalami solusio plasenta berat sebanyak 2 kali, risiko menjadi 50
kali lipat untuk mengalami solusio ketiga.8

2.1.4 Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai oleh pedarahan kedalam desidua basalis akibat
cedera vaskular lokal. Desidua kemudian memisah, meninggalkan lapisan tipis
yang melekat ke miometrium. Karena itu, proses dalam tahap paling awal
terdiri atas pembentukan hematoma desidua yang menyebabkan pemisahan,
kompresi, dan akhirnya menghancurkan plasenta didekatnya. Ditemukan
adanya bukti histologis peradangan yang lebih banyak terlihat pada kasus
solusio plasenta dibandingkan pada kontrol normal.8 Sebagai kemungkinan
lain, areteri spiralis dapat ruptur, menciptakan hematoma retroplasenta. Pada
kasus ini, terjadi perdarahan, terbentuk bekuan, dan permukaan plasenta tidak
dapat lagi menyediakan pertukaran metabolik antara ibu dan janin.5
Dalam tahap dini, mungkin tidak ditemukan gejala-gejala klinis, dan
pemisahan hanya ditemukan pada saat pemeriksaan plasenta yang baru
dilahirkan. Pada kasus-kasus seperti ini, terdapat cekungan berbatas tegas pada
permukaan maternal plasenta. Cekungan ini biasanya berdiameter beberapa
sentimeter dan ditutupi darah yang telah membeku dan berwarna gelap. Karena
diperlukan beberapa menit untuk memunculkan perubahan anatomis ini,
plasenta yang sangat baru mengalami pemisahan dapat tampak sepenuhnya
normal saat dilahirkan. Usia bekuan retroplasenta tidak dapat ditentukan secara
pasti.8
Gambar 5 memperlihatkan bekuan berwarna gelap yang berukuran
cukup besar telah terbentuk sempurna telah menekan masa plasenta, dan
kemungkinan berumur beberapa jam.8Pada kondisi tertentu arteri spiralis
desidua pecah dan menimbulkan hematoma retroplasenta yang pada saat
bertambah besar merusak lebih banyak lagi pembuluh darah sehingga lebih
banyak plasenta yang terpisah (Gambar6). Daerah terpisanya plasenta dengan
cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih membesar,
akibat produk konsepsi uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat untuk
menekan pembuluh darah yang robek yang memperdarahi lokasi plasenta.
Darah yang keluar dapat menyebabkan diseksi membran dari dinding uterus
dan akhirnya tampak dari luar atau tertahan sepenuhnya dalam uterus.8

Gambar 5. Solusio plasenta parsial dengan bekuan darah yang menempel8


Gambar 6. Sisi plasenta yang potensial untuk terjadinya gangguan sirkulasi8

Faktor mekanikal jarang meyebabkan pemisahan plasenta prematur (1-


5%). Temasuk didalamnya trauma abdomen, dekompresi tiba-tiba dari uterus
misalnya seperti pelahiran bayi kembar pertama, atau ruptur membran pada
hidramnion, atau traksi pada tali pusar yang pendek.5
Mekanisme lain yang mungkin adalah dimulainya kaskade kooagulasi.
Hal ini dapat terjadi contohnya pada trauma yang menyebabkan pelepasan
tromboplastin jaringan. Aktivasi faktor koagulasi ini pada saatnya dapat
berperan untuk memulai pembentukan bekuan pada hemodinamik yang stasis
terjadi pada placenta pool.5
Perdarahan terselubung atau tertahan (tersamar) mungkin terjadi bila :
• Terdapat efusi darah dibelakang plasenta, tetapi tepinya masih tetap melekat
• Plasenta sepenuhnya terpisah tapi membran masih melekat ke dinding
uterus
• Darah memperoleh akses ke rongga amnion setelah menembus membran
• Kepala janin memenuhi segmen bawah uterus sehingga darah tidak bisa
lewat8
Namun yang paling sering terjadi adalah membran secara bertahap
terdiseksi lepas dari dinding uterus dan darah cepat atau lambat akan mengalir
ke luar. Pada beberapa perempuan, perdarahan dengan pembentukan
hematoma retroplasenta dapat berhenti sepenuhnya tanpa pelahiran.8
Perdarahan pada solusio plasenta hampir selalu berasal dari ibu. Hal ini
logis karena pemisahan terjadi dalam desidua ibu. Pada 78 perempuan dengan
solusio plasenta nontraumatik ditemukan tanda perdarahan janin-ke-ibu pada
20%-nya. Pada semua kasus tersebut, volume darah janin kurang dari 10 mL.
Sebaliknya, perdarahan janin yang bermakna jauh lebih mungkin terjadi pada
solusio traumatik. Pada kondisi ini, perdarahan janin terjadi akibat robekan
atau fraktur dalam plasenta, bukan akibat pemisahan plasenta itu sendiri.
Perdarahan janin rata-rata bervolume 12 mL pada sepertiga perempuan yang
mengalami solusio traumatik.8
2.1.5 Klasifikasi
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran
klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solutio
plasenta ringan, solusio, plasenta sedang, dan solusio plasenta berat.
a. Solusio plasenta ringan
Kurang lebih 30-40% penderita solusio plasenta ringan tidak atau sedikit
sekali melahirkan gejala. Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%,
atau ada yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Pada keadaan yang
sangat ringan tidak ada gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa
sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Perdarahan vagina
bisa tidak ada hingga sedikit (< 100 mL). Ini dapat diketahui secara
retrospektif pada inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut
masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar
melalui vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya
dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar bewarna merah segar pada
plasenta previa. Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu maupun janin
masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali
pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan
perut sedikit tegang tapi bagian-bagian janin masih dapat dikenal. Kadar
fibrinogen darah dalam batas-batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun
belum memerlukan intervensi segera, keadaan yang ringan ini perlu
dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi keadaan bertambah berat.
Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan plasenta previa
dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada solusio sedang
atau berat.11,12
b. Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai
separuhnya (50%). Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa
nyeri pada perut yang terus menerus, dan denyut jantung janin biasanya
telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang tampak keluar lebih
banyak (100-500 mL), takikardia, hipotensi, kulit dingin, dan keringatan,
oliguria mulai ada, kadar fibrinogen berkurang antara 150 - 250 mg/100 ml,
dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah
mulai ada.11,12
Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga palpasi bagian-bagian anak
sukar. Rasa nyeri datangnya akut kemudian menetap tidak bersifat hilang
timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan
bewarna kehitaman, penderita pucat karena mulai ada syok sehingga
keringat dingin. Keadaan janin biasanya sudah gawat. Pada stadium ini bisa
jadi telah timbul his dan persalinan telah mulai. Pada pemantauan keadaan
janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselarasi lambat. Perlu
dilakukan tes gangguan pembekuan darah. Bila terminasi persalinan
terlambat atau fasilitas perawatan intensif neonatus tidak memadai,
kematian perinatal dapat dipastikan terjadi.12
c. Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%. Perut sangat nyeri dan
tegang serta keras seperti papan (defans musculaire) disertai perdarahan
yang berwarna hitam (>500 mL). Oleh karena itu palpasi bagian-bagian
janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang
seharusnya oleh karena telah terjadi penumpukan darah di dalam rahim pada
kategori concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus
bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi
rahim kelihatan membulat dan kulit diatasnya kencang dan berkilat. Pada
auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat gangguan
anatomik dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai
syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan
perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina. Hipofibrinogenemia dan
oliguria boleh jadi telah ada sebagai akibat komplikasi pembekuan darah
intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation), dan
gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari
150 mg% dan telah ada trombositopenia.
2.1.6 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala solusio plasenta dapat sangat bervariasi tergantung
derajat pemisakan plasenta.5,8 Misalnya, perdarahan eksternal dapat sangat
banyak, tetapi pemisahan plasenta mungkin tidak sedemikian luas untuk
mengganggu kesejahtraan janin. Kadang-kadang, tidak ditemukan perdarahan
eksternal, tetapi plasenta telah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai
akibat langsung dari pemisahan plasenta. Perdarahan dapat berwarna merah
gelap atau berupa bekuan.1,8,12
Pada suatu penelitiaan prospektif yang melibatkan 59 perempuan dengan
solusio plasenta, dilaporkan perdarahan pervaginam pada 78%, nyeri yang
terlokalisir pada uterus atau nyeri punggung pada 66% dan distres janin pada
60%. Pada 22%, diagnosis awal adalah persalinan kurang bulan sebelum
akhirnya terjadi kematian atau distres janin. Temuan lain mencakup kontraksi
uterus yang sering dan hipertonus uterus persisten.8,11
Jika prosesnya luas, bukti distres janin, uterin tetani, DIC, atau syok
hipovolemik bisa tampak. Peningkatan tonus uteri dan frekuensi kontraksi
dapat memberikan tanda awal sebuah solusio. Rata-rata 2/3 pasien mengalami
kontraksi abnormal setengah dari mereka mengalami frekuensi kontraksi yang
tinggi dan setengahnya lagi hipertonus.5,11

2.1.7 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu
secara umum dan pemeriksaan jantung janin. Pemeriksaan vaginal dengan cara
digital maupun menggunakan spekulum dapat dilakukan jika kemungkinan
plasenta previa sudah disingkirkan. Tonus uteri perlu di monitor. Tinggi fundus
harus diperiksa secara berkala karena perdarahan terselubung dapat
memperbesar ukuran uterus.11
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap
(mencakup hemoglobin dan hematokrit) sangat membantu dalam menegakan
diagnosis. Dapat ditemukan proteinuria, tanda-tanda koagulasi konsumtif
seperti penurunan kadar fibrinogen (< 200 mg/dL), protrombin, faktor V dan
VIII, serta trombosit (< 100.000). Produk pemecahan fibrin meningkat
menyebabkan efek anti koagulan. Pemeriksaan golongan darah dan cross
match juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Apusan darah tepi
yangdapat memperlihatkan schistocytes menandakan dugaan koagulasi
intravaskular. Dari sebuah penelitan didapati peningkatan CA125 berhubungan
dengan solusio plasenta.5,11
Dua bed site yang mudah dapat dilakukan yaitu “poor man’s clot test”
dimana spesimen darah ditempatkan pada red-top tube. Jika bekuan darah
tidak terbentuk dalam 6 menit atau terbentuk dan lisis dalam 30 menit,
menandakan adanya defek koagulasi. Tes yang lainnya yaitu untuk mengetahui
apakah darah pada vagina berasal dari ibu atau dari janin dengan Apt test.
Pemeriksaan ini dibuat dengan cara mencampurkan sampel darah dengan
potasium hidroksida. Jika berubah warna menjadi coklat berarti berasal dari
ibu, jika tidak terdapat perubahan warna maka darah tersebut berasal dari janin
karena hemoglobin janin lebih resisten terhadap perubahan pH. Tes ini dapat
dilakukan untuk meningkirkan diagnosis vasa previa.10
Sonografi jarang memastikan diagnosis solusio plasenta, setidaknya
secara akut, karena plasenta dan bekuan darah segar memiliki gambaran
sonografik yang serupa. Pada penelitian yang baru, Glantz dan Purnell
dilaporkan sensitifitas sonografi sebesar 24% pada 149 perempuan. Penting
untuk diingat bahwa temuan negatif pada pemeriksaan sonografi tidak
menyingkirkan solusio plasenta.8

DIAGNOSIS BANDING
Pada solusio plasenta yang berat, diagnosis umumnya jelas. Solusio yang
lebih ringan atau bentuk solusio yang lebih umum dapat lebih sulit dikenali
secara pasti dan diagnois sering dibuat pereksklusionam. Sayangnya, tidak
tersedia uji laboratorium ataupun metode diagnostik untuk mendeteksi
pemisahan plasenta yang berderajat lebih ringan secara akurat. Karena itu, bila
terjadi perdarahan pervaginam pada kehamilan dengan janin hidup, sering
harus dilakukan penyingkiran diagnosis plasenta previa dan sebab perdarahan
lainnya dengan menggunakan evaluasi klinis dan sonografi.8
Secara klinis sudah sejak lama diajarkan bahwa uterus yang nyeri
menandakan solusio plasenta, sedangkan perdarahan uterus yang tidak nyeri
menandakan plasenta previa. Diagnosis diferensial biasanya tidak sejelas ini,
dan persalinan yang menyertai plasenta previa menyebabkan nyeri yang mirip
solusio plasenta. Disisi lain nyeri akibat solusio dapat menyerupai persalinan
normal, atau dapat tidak nyeri, khususnya pada plasenta yang terletak di
posterior. Terkadang penyebab perdarahan pervagina tetap tidak jelas bahkan
setelah pelahiran.8

2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi solusio plasenta bervariasi tergantung pada usia gestasi dan
kondisi ibu serta janin. Bila janin sudah mencapai usia viabel, dan jika
persalinan pervaginam belum dapat dilaksanakan, pelahiran caesar darurat
dipilih oleh sebagian besar klinisi. Pada perdarahan eksternal masif, resusitasi
intensif dengan darah dan kristaloid serta pelahiran segera untuk
mengendalikan perdarahan merupakan tindakan penyelamatan jiwa bagi ibu
dan diharapkan janin. Jika diagnosis belum dapat dipastikan, dan janin hidup,
tetapi tanpa tanda-tanda terganggunya kesejahteraan janin, observasi ketat
dapat dilakukan di fasilitas yang mampu melakukan intervensi segera.6
Pada solusio plasenta ringan apabila kehamilannya kurang dari 36
minggu, perdarahannya kemudian berhenti, perutnya tidak menjadi sakit,
uterusnya tidak menjadi tegang maka penderita dapat dirawat secara
konservatif di rumah sakit dengan observasi ketat. Umumnya kehamilan
diakhiri dengan induksi atau stimulasi partus pada kasus yang ringan atau janin
telah mati. Sedangkan pada solusio plasenta berat apabila perdarahannya
berlangsung terus, dan gejala solusio placenta bertambah jelas, atau dalam
pemantauan USG daerah solusio placenta bertambah luas, maka pengakhiran
kehamilan tidak dapat dihindarkan lagi. Apabila janin hidup, dilakukan operasi
Sectio Caesar. Operasi Sectio Caesard ilakukan bila serviks masih panjang dan
tertutup, setelah pemecahanketuban dan pemberian oksitosin dalam 2 jam
belum juga ada his. Apabila janin mati, ketuban segera dipecahkan untuk
mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan pemberian infuse
oksitosin 5 iu dalam 500cc Dextrosa 5% untuk mempercepat persalinan.
Pada kasus dimana telah terjadi kematian janin dipilih persalinan
pervaginam kecuali ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi
darah yang banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki
persalinan dilakukan perabdominam. Pimpinan persalinan pada solusio
placenta bertujuan untuk mempercepat persalinan sehingga kelahiran terja
didalam 6 jam. Apabila persalinan tidak selesai atau diharapkan tidak akan
selesai dalam waktu 6 jam setelah pemecahan selaput ketuban dan infus
oksitosin, satu-satunya cara adalah dengan melakukan Sectio Caesar.
Hemostasis pada tempat implantasi plasenta bergantung sekali kepada
kekuatan kontraksi miometrium. Karenanya pada persalinan pervaginam perlu
diupayakan stimulasi miometrium secara farmakologik atau massage agar
kontraksi miometrium diperkuat dan mencegah perdarahan yang hebat pasca
persalinan sekalipun pada keadaan masih ada gangguan koagulasi. Harus
diingat bahwa koagulopati berat merupakan faktor risiko tinggi bagi bedah
caesar berhubung kecenderungan perdarahan yang berlangsung terus pada
tempat insisi baik pada abdomen maupun pada uterus.(2)Jika perdarahan tidak
dapat dikendalikan atau diatasi setelah persalinan, histerektomi dapat
dilakukan untuk menyelamatkan hidup pasien. Sebelum histerektomi, prosedur
lain seperti mengatasi koagulopati, ligasi arteri uterina, pemberian obat
uterotonik jika terdapat atonia dan kompresi uterus dapat dilakukan. (8)

1. Tata laksana konservatif pada kehamilan kurang bulan


Menunda pelahiran dapat terbukti bermanfaat jika janin imatur. Bond
dkk menangani 43 perempuan dengan solusio plasenta sebelum kehamilan
35 minggu secara konservatif dan 31 diantaranya diberikan terapi tokolitik.
Periode rata-rata hingga pelahiran pada semua perempuan ini adalah sekitar
12 hari dan tidak terdapat bayi yang lahir mati. Pelahiran caesar dilakukan
pada 75% kasus.
Perempuan dengan tanda solusio plasenta yang sangat dini lazim
mengalami oligohidramnion baik dengan ataupun tanpa ketuban pecah dini.
Tidak adanya deselerasi yang mengkhawatirkan, tidak menjamin keamanan
intrauterin. Plasenta dapat semakin memisah kapan saja serta dapat sangat
menurunkan kesejahteraan atau membunuh janin, kecuali segera dilakukan
pelahiran. Beberapa penyebab langsung distres janin akibat solusio plasenta
diperlihatkan pada gambar 6. Penting diingat demi kesejahteraan janin yang
mengalami distres janin akibat solusio plasenta, harus segera dilakukan
langkah-langkah untuk mengoreksi hipovolemia, anemia, dan hipoksia pada
ibu dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi plasenta yang
masih terimplantasi. Hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk memperbaiki
penyebab-penyebab lain yang berperan menimbulkan distres janin, selain
pelahiran.8

Gambar 7. Bermacam-macam penyebab fetal distress dari solusio plasenta dan


terapinya8

2. Tokolisis.
Beberapa menganjurkan tokolisis untuk kehamilan kurang bulan yang
dipersulit oleh dugaan solusio, tetapi tanpa tergantungnya kesejahteraan
janin. Solusio menjadi tersamarkan selama periode yang lama jika tokolisis
dimulai. Sebaliknya, Sholl dan Combs menyediakan data yang
memperlihatkan bahwa tokolisis memperbaiki keluaran pada suatu
kelompok terpilih perempuan dengan kehamilan kurang bulan yang
dipersulit solusio plasenta. Pada penelitian selanjutnya, pemberian
magnesium sulfat, terbutalin, atau keduanya pada 95 perempuan dari 131
perempuan dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum 36 minggu,
angka kematian perinatal sebesar 5% pada kelompok ini dan tidak terlalu
berbeda dengan mereka yang tidak mendapat perlakuan. 8
3. Pelahiran caesar.
Pelahiran cepat janin yang masih hidup tetapi mengalami distres,
dalam praktiknya selalu berarti pelahiran caesar. Kecepatan respon
merupakan faktor penting yang menentukan keluaran pada neonatus.
Pelahiran caesar pada saat ini terbukti membahayakan ibu karena ibu berada
dalam kondisi hipovolemik berat dan mengalami koagulopati konsumtif
berat. Defek koagulasi berat sangat mungkin menyulitkan pelahiran caesar.
Insisi abdomen dan uterus rentan mengalami perdarahan masif bila
koagulasi terganggu.8
4. Pelahiran per vagina.
Jika pemisahan plasenta sedemikian berat hingga janin meninggal,
pelahiran per vaginam biasanya dipilih. Hemoestasis pada lokasi
implanrtasi plasenta terutama tergantung pada kontaksi miometrium.
Dengan demikian, pada pelahiran pervagina stimulasi miomertriun secara
farmakologis dan pemijatan uterus akan menekan dan menutup pembuluh
darah di tempat plasent sehingga perdarahan berat dapat dihindarkan
meskipun mungkin terdapat defek koagulasi.8
Suatu pengecualian untuk pelahiran pervagina mencakup perdarahan
yang sedemikian berat sehingga tidak dapat ditata laksana dengan baik,
bahkan dengan penggantian darah secara agresif sekalipun. Pengecualian
kedua adalah terdapat penyulit obstri lain yang mencegah pelahiran per
vagina.8
Pada solusio plasenta luas, uterus kemungkinan berada pada kondisi
hipertonik persisten. Tekanan intraamnion baseline dapat mencapai 50 mm
Hg atau lebih, dengan peningkatan ritmis hingga 75-100 mm Hg. Akibat
hipertonus persisten, terkadang sulit untuk menentukan melalui palpasi
apakah uterus berkontraksi atau berelaksasi. 8
5. Amniotomi
Pemecahan ketuban secepat mungkin telah lama diandalkan dalam
tata laksana solusio plasenta. Logika dilakukannya amniotomi adalah
pengurangan volume cairan amnion dapat mengurangi kompresi arteri
spiralis dan berperan untuk mengurangi perdarahan dari tempat implatasi
sekaligus menurunkan aliran tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu. Jika
janin cukup matur, pemecahan ketuban dapat mempercepat pelahiran. Jika
janin masih imatur, kantong yang utuh mungkin lebih efisien dalam
membuka serviks dibandingkan bagian kecil janin yang kurang dapat
menekan serviks.8

6. Oksitosin
Meskipun kondisi hipertonus baseline menggambarkan fungsi
miometrium pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat, jika tidak
disertai kontraksi ritmis uterus dan sebelumnya tidak tidak pernah
melakukan tindakan bedah pada uterus, diberikan oksitosin dalam dosis
standar. Perangsangan uterus untuk memacu pelahiran pervaginam biasanya
terbukti memiliki manfaat yang melebihi risikonya. Penggunaan oksitosin
telah mendapat banyak serangan karena dianggap dapat memicu masuknya
tromboplastin kedalam sirkulasi ibu sehingga memulai atau mempercepat
koagulasi komsumtif atau sindrom embolisme cairan amnion. Terdapat
bukti yang mendukung hal ini.8

2.1.9 Komplikasi
a. Syok.
Dahulu syok dipercaya kadang-kadang terjadi pada solusio plasenta
tidaklah sebanding dengan jumlah perdarahan. Menurut anggapan tersebut,
tromboplastin plasenta memasuki sirkulasi ibu dan mencetuskan koagulasi
intravaskular serta berbagai karakteristik sindrom emboli cairan amnion.
Hal tersebut sebenarnya jarang terjadi, dan syok hipovolemik sesungguhnya
secara langsung disebabkan kekurangan darah pada ibu. Sebaliknya,
hipotensi atau anemia tidak harus ditemukan bahkan pada kasus perdarahan
terselubung yang ekstrim sekalipun. Oliguri akibar hipoperfusi ginjal yang
tidak adekuat, yang ditemukan pada kondisi ini, responsif terhadap infus
darah dan cairan intravena yang agresif.8
b. Koagulopati konsumtif
Solusio plasenta adalah salah satu penyebab tersering koagulopati
konsumtif yang bermakna secara klinis dalam bidang obstetri. Pada sekitar
sepertiga perempuan yang mengalami solusio plasenta, yang cukup berat
untuk mematikan janin, terdapat perubahan yang dapat diukur pada faktor
koagulasi. Secara spesifik, hipofibrinogenemia yang bermakna secara klinis
(kadar plasma < 150 mg/dL) ditemukan.temuan ini disertai dengan
peningkatan produk degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-dimer, yang
merupakan produk pemecahan spesifik fibrin. Faktor koagulasi lain yang
menurun secara bervariasi. Koagulopati konsumtif lebih mungkin terjadi
pada solusio yang terselubung pada kondisi seperti ini tekanan intrauteri
lebih tinggi sehingga mendorong lebih banyak tromboplastin untuk
memasuki sistem vena ibu. Pada kasus-kasus dengan janin yang selamat,
defek koagulasi berat lebih jarang ditemukan. Berdasarkan pengalaman,
jika timbul koagulopati berat, biasanya terlihat saat gejala solusio timbul.
Mekanisme utamanya adalah aktivasi koagulasi intravaskular, disertai
defibrinasi dalam derajat bervariasi. Prokoagulan juga dikonsumsi dalam
bekuan retroplasenta, meskipun jumlah yang didapatkan kembali dalam
bekuan tidak buku untuk menggantikan total fibrinogen yang hilang. Akibat
penting dari koagulasi intravaskular adalah aktivasi plasminogen menjadi
plasmin, yang melisis mikroemboli fibrin untuk mempertahankan patensi
mikrosirkulasi. Pada solusio plasenta yang cukup berat sehingga
menyebabkan kematian janin, selalu terdapat kadar patologis produk
degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-Dimer dalam serum ibu.
Trombositopenia nyata dapat atau tidak dapat menyertai
hipofibrinogenemia pada awalnya, tetapi menjadi lazim setelah transfusi
darah berulang.8
c. Gagal ginjal.
Gagal gijal akut dapt terjadi pada solusio plasenta berat. Gagal ginjal
akut lebih sering terjadi jika terapi hipovolemia diberikan lambat atau tidak
lengkap. Penelitian yang dilakukan pada 72 perempuan hamil dengan gagal
ginjal akut, diketahui sepertiganya telah mengalami solusio plasenta.
Untungnya, sebagian besar kasus jejas ginjal akut bersifat reversibel, namun
nekrosis kortikal akut bila terjadi dalam kehamilan biasanya disebabkan
oleh solusio plasenta.8
d. Perfusi ginjal yang sangat terganggu merupakan akibat perdarahan masif.
Karena preeklamsia sering ditemukan bersama solusio plasenta,
vasospasme dan hipoperfusi ginjal kemudian bertambah berat. Bahkan jika
solusio dipersulit oleh koagulasi intravaskuler berat, tetapi segera terhadap
perdarahan secara agresif dengan larutan kristaloid dan darah umumnya
dapat mencegah disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Karena alasn
yang tidak diketahui, bahkan tanpa preeklamsia, proteinuria lazim
ditemukan pada awalnya, khususnya pada bentuk solusio plasenta yang
lebih berat. Proteinuria umumnya hilang segera setelah pelahiran.8
e. Sindrom Sheehan.
Perdarahan intrapartum atau pasca partum dini yang berat dapat
diikuti oleh kegagalan hipofisis atau sindroma Sheehan. Sindrom ini
ditandai dengan kegagalan laktasi, amenorea, atrofi payudara, rontoknya
rambut pubis dan aksila, hipotiroidisme dan insufisiensi korteks adrenal.
Patogenesis sindrom ini belum dipahami benar dan kelainan endokrin
semacam ini jarang timbul, bahkan pada perempuan yang mengalami
perdarahan berat. Pada beberapa kasus tapi tidak semua, kasus Sindrom
Sheehan mungkin terdapat nekrosis hipofisis dalam derajat yang bervariasi
dan gangguan sekresi satu atau lebih hormon tropik. Diagnosisnya
menggunakan MRI.8
f. Uterus couvelaire.
Dapat terjadi ekstravasisi luas darah ke dalam otot-otot uterus dan
kabah tunika serosa uteri (Gambar 7). Kondisi ini, yang pertama kali
digambarkan oleh Couvelaire sebagai apopleksia uteroplasental, sekarang
dinamakan uterus couvelaire. Efusi darah semacam ini kadang-kadang
ditemukan di bawah tunika serosa tubae, diantara lembaran-lembaran
ligamentum latum uteri, didalam substansia ovarika, dan bebas dalam
rongga peritoneum. Insiden pasti tidak diketahui karena diagnosisnya hanya
dipastikan saat laparatomi. Perdarahan miomertium ini jarang mengganggu
kontraksi miometrium untuk menyebabkan atonia, dan kondisi ini bukanlah
indikasi histerektomi.8

Gambar8. Uterus couvelaire dari solusio plasenta total setelah pelahiran caesar8.
Darah menginfiltrasi miometrium secara masif untuk mencapau tunika serosa,
khususnya cornua. Darah memberikan gambaran ungu kebiruan pada miomertrium,
seperti yang diperlihatkan. Setelah insisi histerektomi ditutup, uterus tetap
berkontraksi dengan baik meskipun terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam dinding
uterus. Leimioma serosa kecil yang tampak pada permukaan anterior bawah uterus
merupakan temuan insidensial.8

2.1.10 Prognosis
Bila janin telah meninggal atau belum viabel, tidak terdapat bukti
diperlukannya pembatasan waktu tertentu tanpa dasar yang jelas. Pengalaman
menunjukan bahwa keluaran ibu bergantung pada ketekunan dalam
memberikan terapi cairan dan penggantian darah yang adekuat, dan bukan pada
rentang waktu pada pelahiran.8

2.4 Ruptur Uteri


2.1.11 Definisi
Ruptur uterus dapat timbul akibat cedera atau kelainan yang telah ada, ruptur
juga dapat terjadi akibat trauma, atau dapat terjadi sebagai komplikasi
persalinan pada uterus yang sebulumnya tidak memiliki jaringan parut.8

2.1.12 Epidemiologi
Angka mortalitas dan morbiditas prenatal dapat tinggi pada kasus ruptur bekas
insisi uterus selama persalinan. Angka kematian janin hampir mencapai 70%
pada ruptur uterus, baik traumatik maupun spontan. 8

2.1.13 Etiologi
Penyebab tersering ruptur uterus adalah terpisahnya parut akibat histerotomi
caesaer. Dengan menurunnya tindakan percobaan persalinan pada perempuan
yang pernah menjalani pelahiran caesar, ruptur pada uterus tanpa parut
sekarang ini menyebabkan hampir separuh diantara semua kasus ruptur uterus.
Faktor predisposisi lain yang lazim adalah riwayat bedah atau tindakan yang
menyebabkan trauma seperti kuretase, perforasi, atau miomektomi. Stimulus
uterus yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi dengan menggunakan
oksitosin, suatu penyebab yang dulu sering ditemukan, telah jarang didapatkan.
8

Tabel 4. Klasifikasi etiologi ruptur uteri8


Cedera atau kelainan uterus yang Cedera atau kelainan uterus yang
terjadi sebelum kehamilan saat ini terjadi pada kehamilan ini

Pembedahan yang melibatkan Sebelum pelahiran


miometrium:  Kontraksi kuat, spontan yang
 Pelahiran caesar atau histerektomi menetap
 Riwayat ruptur uterus yang telah  Stimulasi persalinan - oksitosin,
dikoreksi prostaglandin
 Insisi miomektomi melalui atau  Instilasi intra-amnion - salin atau
hingga mencapai endometrium prostaglandin
 Reseksi kornu profunda pada tuba  Perforasi oleh kateter tekanan uterus
uterina interstisial internal
 Metroplasti  Trauma eksternal - tajam atau tumpul
 Versi eksternal
 Distensi berlebihan uterus -
hidramnion, kehamilan multifetal
Trauma uterus koinsidental : Selama pelahiran :
 Aborsi menggunakan alat-sonde,  Versi internal
kuer  Pelahiran dengan forsep yang sulit
 Trauma tajam atau tumpul -  Persalinan dan pelahiran presipitatum
kecelakaan, peluru, pisau  Ekstraksi bokong
 Ruptur asimtomatik pada kehamilan  Kelainan jantung yang menyebabkan
sebelumnya distensi segmen bawah uterus
 Penekanan uterus yang sangat kuat
selama pelahiran
 Pengeluaran manual plasenta yang
sulit
Kelainan kongenital : Didapat :
 Kehamilan pada kornu uteri yang  Plasenta inkreta atau prekreta
tidak berkembang sempurna  Neoplasma trofoblastik gestasional
 Adenomiosis
 Sakulasi uterus dalam posisi
retroversi yang terjepit

2.1.14 Klasifikasi
Ruptur uterus biasanya diklasifikasikan menjadi8 :
a. Ruptur uteri komplet, bila semua lapisan dinding uterus terpisah
b. Ruptur uterus inkomplet, bila otot uterus terpisah, tetapi peritoneum
viseral intak.

Ruptur inkomplit juga lazim disebut sebagai dehisensi uterus. Seperti yang
telah diketahui angka mortalitas dan morbiditas lebih tinggi jika ruptur terjadi
komplet.

Menurut proses terjadinya8 :


a. Ruptur traumatik
Meskipun uterus, diluar perkiraan, tahan terhadap trauma tumpul,
perempuan hamil yang mengalami trauma tumpul abdomen harus dipantau
secara cermat untuk mencari rupur uterus sekaligus tanda solusio plasenta.
Dimasa lampau versi podalik internal dan ekstraksi sering melnyebabkan
ruptur traumatik selama pelahiran. Penyebab lain ruptur traumatik meliputi
pelahiran dengan forsep yang sulit, pembesaran janin yang tidak lazim,
seperti hidrosefalus dan ekstraksi bokong
b. Insiden ruptur uterus spontan hanya sekitar 1: 15000 pelahiran. Ruptur
spontan juga lebih mungkin terjadi pada perempuan dengan paritas tinggi.
Stimulasi pelahiran dengan oksitosin telah sering dihunbungkan dengan
ruptur uterus, khuusnya pada perempuan dengan paritastinggi. Agen
uterotonika lain juga dikaitkan dengan ruptur. Ruptur uterus pernah terjadi
pada induksi persalinan menggunakan gel prostaglandin E2 atau tablet
vagina prostagglandin E1. Karena alasan tersebut, semua agen uterotonika
untuk induksi atau stimulasi persalinan pada perempuan dengan paritas
tinggi harus diberikan dengan hati-hati. Seruapa dengan hal ini, pada
perempuan dengan paritas tinggi percobaan persalinan pada dugaan
disporposi sefalopelvik, presentasi kepala tinggi, atau presentasi abnormal
seperti presentasi dahi, harus dilakukan dengan hati-hati.

2.1.15 Patofisiologi
Rupturnya uterus yang sebelumnya intak pada saat persalinan paling sering
terjadi pada segmen bawah uterus yang menipis. Lubang robekan apabila
berdekatan dengan serviks, sering meluas secara transfersal atau oblik.
Biasanya robekan berbentuk longintudinal jika terjadi pada bagian uterus yang
berdekatan dengan ligamentum latum uteri
Gambar 13. Uterus yang mengalami ruptur spontan pada tepi lateral kiri segmen
bawah uterus8

Meskipun terutama timbul di segmen bawah uterus, tidak jarang laserasi


meluas keatas hingga mencapai korpus uteri atau ke bawah, melewati serviks,
hingga mencapai vagina. Sesekali kandung kemih dapat ikut robek. Setelah
ruptur komplit isi uterus akan keluar ke rongga peritoneum. Namun, jika
bagian presentasi telah memasuki pintu atas panggul, maka hanya sebagian
tubuh janin dapat menjulur keluar dari uterus. Pada ruptur uterus dengan
peritoneum intak, perdarahan sering meluas hingga ligamentum latum uteri.
Perdarahan yang luas ini dapat menyebabkan hematoma retroperitoneal besar
dan eksanguinasi.8

Gambar 14. Ruptur uteri pada laparatomi dengan ekspulsi parsial fetus11

2.1.16 Manifestasi klinis


Tidak ada tanda yang dapat diyakini dari impending ruptur uteri yang terjadi
sebelum kehamilan, walaupun gross hematuria yang tampak tiba-tiba bisa
dicurigai sebagai ruptur plasenta. Ruptur dapat menyebabkan nyeri lokal yang
berhubungan dengan peningkatan iritabilitas uteri, pada beberapa kasus,
dengan perdarahan pervagina. Kemudian dapat diikuti pelahiran secara
prematur. Seiring dengan perluasan ruptur, nyeri dan perdarahan bertambah
dan mungkin tanda-tanda syok juga dapat terjadi. Sekitar 78-90 % pasien
memilki abnormalitas dengan denyut jantung janin sebagai tanda pertama
ruptur.

2.1.17 Diagnosis
Sebelum terjadi syok hipovolemik, gejala dan temuan klinis pada perempuan
yang mengalami ruptur uterus dapat terlihat aneh, kecuali jika kemungkinan
ruptur selalu diingat. Sebagai contoh, hemoperitoneum dari uterus yang ruptur
dapat menyebabkan iritasi diafragmatik dengan nyeri yang menjalar ke dada
(yang mengarah pada diagnosis emboli paru atau emboli cairan amnion dan
bukan ruptur uterus). Tanda ruptur uterus yang paling paling sering adalah pola
denyut jantung janin yang tidak teratur dengan deselerasi denyut jantung
bervariasi yang dapat menjadi deselerasi lambat, bradikardi, dan kematian.
Berlawanan dengan ajaran lama, sedikit perempuan yang merasakan hilangnya
kontraksi setelah ruptur uterus, dan penggunaan kateter intrauteri tidak terbukti
membantu dalam penegakan diagnosis.8
Pada beberapa wanita, penampakan ruptur uterus identik dengan solusio
plasenta. Namun, pada sebagian besar wanita, terdapat sedikit rasa nyeri atau
nyeri tekan. Selain itu karena sebagian besar perempuan diterapi dengan
analgesia epidural dan narkotikauntuk mengatasi rasa tidak nyaman, rasa nyeri
dan nyeri tekan mungkin tidak terlalu nyata. Kondisi tersebut biasanya menjadi
jelas karena adanya tanda gawat janin dan kadang-kadang karena hipovolemia
pada ibu akibat perdarahan tersembunyi.8
Apabila bagian erendah janin telah memasuki pintu panggul atas saat
persalinan, hilangnya station dapat dideteksi dengan pemeriksaan
panggPul.jika sebagian atau seluruh tubuh janin keluar dari uterus yang ruptur,
maka palpasi abdomen atau pemeriksaan dalam dapat bermanfaat untuk
menidentivikasi bagian terndah janin, yang telah berpindah dari pintu masuk
panggul. Uterus yang berkontraksi kuat kadang-kadang dapat dirasakan
disebelah janin.8

2.1.18 Penatalaksanaan
Histerktomi dapat dilakukan bila terjadi ruptur komplit selama percobaan
persalinan. Pada kasus-kasus tertentu, dapat dilakukan penjahitan dengan
preservasi uterus. Sheth memaparkan dalam laporannya, prognosis dari 66
wanita yang menjalani penjahitan pada ruptur uterus dan bukan histerektomi.
Dalam 25 kasus penjahitan tersebut disertai sterilisasi tuba mengalami total 21
kehamilan berikutnya, dan empat diantaranya kembali mengalami ruptur
uterus (25%). Penelitian yang lebih baru mengidentifikasi 37 perempuan yang
memiliki riwayat ruptur uterus komplet melahirkan selama periode 25 tahun di
Libanon. Histerektomi dilakukan pada 11 perempuan, dan 26 sisanya dijahit.
Dua belas dari wanita ini mengalami 24 kehamilan selanjutnya, dengan
sepertiganya dipersulit dengan ruptur uterus rekuren.8

2.1.19 Prognosis
Dengan terjadinya ruptur dan ekspulsi janin ke dalam rongga peritoneum,
maka peluang kelangsungann hidup janin yang utuh tidak baik dan angka
mortalitas yang dilaporkan berkisar dari 50-75%. Kondisi janin tergantung
pada derajat implantasi plsenta yang tetap intak meskipun hal ini dapat berubah
dalam hitungan menit. Saat ruptur, satu-satunya peluang kemungkinan hidup
janin adalah pelahiran segera, paling sering denga laparatomi. Kalau tidak,
hipksia akibat pemisahan plasenta dan hipovolemi ibu tidak dapat dihindari
lagi. Jika ruptur diikuti dengan pemisahan plasenta total segera, maka sangat
sedikit janin intak yang dapat diselamatkan. Oleh karena itu, bahkan dalam
kondisi yang paling beik, keselamatan janin dapat terganggu.
Sebuah penelitan diSwedia menyatakan bahwa risiko kematian neonatus
setelah ruptur uterus adalah 5% (risikonya meningkat 60 kali lipat
dibandingkan pada kehamilan yang tidak dipersulit dengan ruptur uterus).
Kematian ibu akibat ruptur uterus jarang terjadi.
Sebagai contoh, dari 2,5 juta perempuan yang melahirkan di Kanada antara tahun
1991-2001 terdapat 1898 kasus ruptur uteri dan 4 kasus diantranya (2%)
menyebabkan kematian ibu. Namun dibelahan dunia lain, angka kematian ibu
akibat ruptur uterus jauh lebih tinggi. Sebagai contoh dalam sebuah laporan dari
India, angka kematian ibu yang disebabkan oleh ruptur uterus sebesar 30%.

2.5 VASA PREVIA

2.5.1 Definisi
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam
selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai ke
dalam insersinya tali pusat. Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati
pembukaan serviks robek atau pecah dan vaskular janin itupun ikut terputus.4

2.5.2 Epidemiologi

Keadaan seperti vasa previa sangat jarang ditemukan, dilaporkan kira-kira


1 dalam 5.000 kehamilan. Perdarahan antepartum pada vasa previa
menyebabkan angka kematian janin yang tinggi (33 hingga 100%).12

2.5.3 Etiologi
Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban
yang berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut berasal dari
insersio velamentosa dari tali pusat atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus
aksesorius).
Insersio velamentosa adalah insersi tali pusat pada selaput janin, dan sering
terjadi pada kehamilan ganda. Pada insersi velamentosa, tali pusat dihubungkan
dengan plasenta oleh selaput janin. Kelainan ini merupakan kelainan insersi
funiculus umbilikalis dan bukan merupakan kelainan perkembangan plasenta.
Faktor resiko antara lain pada plasenta bilobata, plasenta suksenturiata,
plasenta letak rendah, kehamilan pada fertilisasi in vitro, dan kehamilan ganda
terutama triplet. Semua keadaan ini berpeluang lebih besar bahwa vaskular janin
dalam selaput ketuban melewati ostium uteri. Secara teknis keadaan ini
dimungkinkan pada dua situasi yaitu pada insersio velamentosa dan plasenta
suksenturiata.11

2.5.4 Gambaran Klinis


 Perdarahan dapat timbul mulai pada usia kehamilan di atas 24 minggu
 Darah yang keluar berwarna merah segar
 Tidak disertai atau dapat disertai nyeri perut dan kontraksi uterus
 Perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal
dari anak maka dengan cepat bunya DJJ janin akan menjadi buruk

2.5.5 Diagnosis
Pada kasus vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun
dapat diduga jika pada saat antenatal dilakukan USG dengan Color Doppler yang
dapat memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput ketuban di depan
ostium uteri internum. Selain itu juga dpaati dilakukan tes APT (Kleihauser-
Betke) yang adalah uji pelarutan basa hemoglobin. Karena darah janin yang tahan
terhadap suasana alkali maka jika darah tersebut berasal dari janin, maka eritrosis
tersebut tidak akan pecah dan campuran akan tetap berwarna merah, namun jika
darah tersebut berasal dari ibu, maka eritrosit akan pecah dan campuran berubah
wrna menjadi coklat. Pemeriksaan yang terbaik adalah dengan elektroforesis.
Diagnosis dapat dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput
ketuban dan plasenta, namun seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa
ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak
fatal bagi janin.12

2.5.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan vasa previa sangat bergantung pada status janin. Bila ada
keraguan tentang viabilitas janin, perlu ditentukan terlebih dahulu umur
kehamilan, berat janin, maturitas paru dan pemantauan kondisi janin dengan USG
dan kardiotokografi. Bila janin hidup dan cukup matur, dapat dilakukan seksio
sesarea segera namun bila janin sudah meninggal atau imatur, dilakukan persalinan
pervaginam.

2.6 Hepatitis B
2.6.1 Definisi
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis B.2,3 Virus hepatitis B menyerang hati, masuk melalui darah
ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Virus
hepatitis B adalah virus nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak menyebabkan
kerusakan langsung pada sel hepar. Sebaliknya, adalah reaksi yang bersifat
menyerang sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan radang dan
kerusakan pada hepar.3

2.6.2 Etiologi dan patogenesis


Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen
Australia. Virus ini termasuk DNA virus.2
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut
"Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus
partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti
terdapat Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg).
Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat imunologik
proteinnya virus Hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr.
Subtipe ini secara epidemiologis penting, karena menyebabkan perbedaan
geomorfik dan rasial dalam penyebarannya. Virus hepatitis B mempunyai masa
inkubasi 45-80 hari, rata-rata 80-90 hari.3
Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus
Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma
VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya
nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB
akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan
berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan sel hati
untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus
baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati
yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi.
Respon antibody humoral bertanggung jawab terhadap proses pembersihan partikel
virus yang berada dalam sirkulasi, sedangkan antibody seluler mengeliminasi sel-
sel yang terinfeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi
keadaan karier sehat.2

Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B adalah
sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati
disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi
hepatitis akut fulminan. Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan
fibrosis meluas didaerah portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan
terjadi hepatitis kronik persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak
teratur dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan pembentukan
septa fibrosis yang meluas maka terjadi hepatitis kronik aktif.2,3,4
2.6.3 Faktor predisposisi
Faktor Host (Penjamu)
Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit hepatitis B. Faktor penjamu meliputi:
a. Umur
Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada bayi dan
anak (25 - 45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun dengan bertambahnya
umur dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi kronis, pada anak usia sekolah
23 -46 % dan pada orang dewasa 3-10%.8 Hal ini berkaitan dengan terbentuk
antibodi dalam jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding
pria.
c. Mekanisme pertahanan tubuh
Bayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi
hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada
bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun
belum berkembang sempurna.
d. Kebiasaan hidup
Pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.

e. Pekerjaan
Kelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter
bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium
dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan
material manusia (darah, tinja, air kemih).

Faktor Agent
Penyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus
Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.

Faktor Lingkungan
Merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi
perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:
a. Lingkungan dengan sanitasi jelek
b. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggi
c. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.
d. Daerah unit laboratorium
e. Daerah unit bank darah.
f. Daerah dialisa dan transplantasi.
g. Daerah unit perawatan penyakit dalam5

2.6.4 Sumber dan cara penularan


Dalam kepustakaan disebutkan cara penularan virus Hepatitis B berupa:5
a. Darah: penerimaan produk darah, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan,
pekerja yang terpapar darah.
b. Transmisi seksual.
c. Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan
ulang peralatan medi yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau
cukur dan silet, tato, akuunktur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama.
d. Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant.

Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara


penting yaitu:1
a. Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang
HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa
perinatal. Penularan vertical sebagian besar (95%) terjadi saat persalinan,
hanya sebagian kecil saja (5%) selama bayi didalam kandungan.
Penularan yang terjadi pada masa perinatal dapat melalui maternofetal
micro infusion yang terjadi pada saat terjadi kontraksi uterus, tertelannya
cairan amnion yang mengandung VHB serta masuknya VHB melalui lesi
yang terjadi pada kulit bayi pada waktu melalui jalan lahir. Penularan
infeksi vertikal juga dapat terjadi setelah persalinan
b. Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang
pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya.
2.6.5 Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis
hepatitis B dibagi 2 yaitu :
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus
hepatitis B dari tubuh kropes. Hepatitis B akut terdiri atas :1
Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang
jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1) Fase Praikterik (prodromal)
Merupakan fase di antara timbulnya keluhan-keluhan dengan gejala
timbulnya ikterus. Ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia dan
mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Nyeri abdomen
biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium,
kadang diperberat dengan aktivitas. 5
2) Fase lkterik
Ikterus muncul setelah 5-10 hari. Pada banyak kasus fase ini tidak
terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala
prodormal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. Terjadi
hepatomegali dan splenomegali.5

3) Fase Konvalesen (Penyembuhan)


Diawali dengan menghilangnya ikterus dan kelainan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Munculnya
perasaan sudah lebih sehat, kembalinya nafsu makan. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Perbaikan klinis dan
laboratorium lengkap akan terjadi dalam 16 minggu.5
Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar
mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan
berakhir dengan kematian. Adakalanya penderita belum menunjukkan
gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic
Oxaloasetic Transaminase) memberikan hasil yang tinggi pada
pemeriksaan fisik, hati menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun
hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi
gagal ginjal akut dengan anuria dan uremia.2
2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk
menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB. Ada 3
fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronik:
a. Fase imunotoleransi.
Pada masa anak-anak sistem imun tubuh dapat toleran terhadap VHB
sehingga kadar virus dalam darah dapat sedemikian tingginya namun tidak
terjadi peradangan yang berarti. Dalam keadaan tersebut VHB ada dalam
fase replikatif denga titer HbsAg yang tinggi, HbeAg positif, anti Hbe
negatif, titer DNA VHB tinggi dengan kadar ALT (alanin
aminotransferase) yang relatif normal.
b. Fase imunoaktif atau fase immune clearance.
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya
replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang
ditandai dengan naiknya kadar ALT. Pada keadaan ini pasien mulai
kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Pada fase ini tubuh berusaha
menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi VHB.
c. Fase nonreplikatif atau fase residual.
Sekitar 70% individu akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel
VHB tanpa ada kerusakan sel yang berarti. Pada keadaan ini titer HbsAg
rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan anti Hbe yang menjadi
positif secara spontan, serta kadar ALT yang normal, yang menandai
terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien
dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan
kekambuhan.
2.6.7 Diagnosis
Oleh karena penderita hepatitis B, terutama pada anak seringkali tanpa
gejala maka diagnosis seringkali hanya bisa ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium. Kadangkala baru dapat diketahui pada waktu menjalani pemeriksaan
rutin atau untuk pemeriksaan dengan penyakit-penyakit yang lain.4
Tes laboratorium yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah:3
1. Tes antigen-antibodi virus Hepatitis B:
HbsAg (antigen permukaan virus hepatatitis B)
Merupakan material permukaan/kulit VHB. HBsAg mengandung protein
yang dibuat oleh sel-sel hati yang terinfesksi VHB. Jika hasil tes HBsAg
positif, artinya individu tersebut terinfeksi VHB, karier VHB, menderita
hepatatitis B akut ataupun kronis. HBsAg bernilai positif setelah 6 minggu
infeksi VHB dan menghilang dalam 3 bulan. Bila hasil tetap setelah lebih
dari 6 bulan berarti hepatitis telah berkembang menjadi kronis atau pasien
menjadi karier VHB. HbsAg positif makapasien dapat menularkan VHB.
Anti-HBs (antibodi terhadap HBsAg)
Merupakan antibodi terhadap HbsAg. Keberadaan anti-HBsAg menunjukan
adanya antibodi terhadap VHB. Antibodi ini memberikan perlindungan
terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HbsAg bernilai positif berarti
seseorang pernah mendapat vaksin VHB ataupun immunoglobulin. Hal ini
juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat kekebalan dari ibunya. Anti-
HbsAg posistif pada individu yang tidak pernah mendapat imunisasi
hepatitis B menunjukkan bahwa individu tersebut pernah terinfeksi VHB.
HbeAg
Yaitu antigen envelope VHB yang berada di dalam darah. HbeAg bernilai
positif menunjukkan virus VHB sedang aktif bereplikasi atau
membelah/memperbayak diri. Dalam keadaan ini infeksi terus berlanjut.
Apabila hasil positif dialami hingga 10 minggu maka akan berlanjut
menjadi hepatitis B kronis. Individu yang memiliki HbeAg positif dalam
keadaan infeksius atau dapat menularkan penyakitnya baik kepada orang
lain maupun janinnya.
Anti-Hbe
Merupakan antibodi terhadap antigen HbeAg yang diproduksi oleh tubuh.
Anti-HbeAg yang bernilai positif berati VHB dalam keadaan fase non-
replikatif.
HbcAg (antigen core VHB)
Merupakan antigen core (inti) VHB, yaitu protein yang dibuat di dalam inti
sel hati yang terinfeksi VHB. HbcAg positif menunjukkan keberadaan
protein dari inti VHB.
Anti-Hbc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B)
Merupakan antibodi terhadap HbcAg. Antibodi ini terdiri dari dua tipe yaitu
IgM anti HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti HBc tinggi menunjukkan infeksi
akut. IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc negatif menunjukkan
infeksi kronis pada seseorang atau orang tersebut penah terinfeksi VHB. 3,4

2.6.8 Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi


Dilaporkan 10-20 % ibu hamil dengan HBsAg positif yang tidak
mendapatkan imunoprofilaksis, menularkan virus pada neonatusnya Dan ± 90 %
wanita hamil dengan seropositif untuk HBsAg dan HBeAg menularkan virus secara
vertikel kepada janinnya dengan insiden ± 10 % pada trimester I dan 80-90 % pada
trimester III. Adapun faktor predisposisi terjadinya transmisi vertikal adalah(7) :
1. Titer DNA VHB yang tinggi
2. Terjadinya infeksi akut pada trimester III
3. Pada partus memanjang yaitu lebih dari 9 jam
Sedangkan ± 90 % janin yang terinfeksi akan menjadi kronis dan mempunyai
resiko kematian akibat sirosis atau kanker hati sebesar 15-25 % pada usia dewasa
nantinya.
Infeksi VHB tidak menunjukkan efek teratogenik tapi mengakibatkan
insiden Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ) dan Prematuritas yang lebih tinggi
diantara ibu hamil yang terkena infeksi akut selama kehamilan. Dalam suatu studi
pada infeksi hepatitis akut pada ibu hamil (tipe B atau non B) menunjukkan tidak
ada pengaruh terhadap kejadian malformasi kongenital, lahir mati atau stillbirth,
abortus, ataupun malnutrisi intrauterine. Pada wanita dengan karier VHB tidak akan
mempengaruhi janinnya, tapi bayi dapat terinfeksi pada saat persalinan (baik
pervaginam maupun perabdominan) atau melalui ASI atau kontak dengan karier
pada tahun pertama dan kedua kehidupannya .Pada bayi yang tidak divaksinasi
dengan ibu karier mempunyai kesempatan sampai 40 % terinfeksi VHB selama 18
bulan pertama kehidupannya dan sampai 40 % menjadi karier jangka panjang
dengan resiko sirosis dan kanker hepar dikemudian harinya.7
VHB dapat melalui ASI sehingga wanita yang karier dianjurkan mendapat
Imunoglobulin hepatitis B sebelum bayinya disusui. Penelitian yang dilakukan Hill
JB,dkk (dipublikasikan tahun 2002) di USA mengenai resiko transmisi VHB
melalui ASI pada ibu penderita kronis-karier menghasilkan kesimpulan dengan
imunoprofilaksis yang tepat termasuk Ig hepatitis B dengan vaksin VHB akan
menurunkan resiko penularan. Sedangkan penelitian WangJS, dkk (dipublikasikan
2003) mengenai resiko dan kegagalan imunoprofilaksis pada wanita karier yang
menyusui bayinya menghasilkan kesimpulan tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara ASI dengan susu botol. Hal ini mengindikasikan bahwa ASI tidak
mempunyai pengaruh negatif dalam merespon anti HBs.Sedangkan transmisi VHB
dari bayi ke bayi selama perawatan sangat rendah.(4)
Ibu hamil yang karier VHB dianjurkan untuk memberikan bayinya
Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg) sesegera mungkin setelah lahir dalam waktu 12
jam sebelum disusui untuk pertama kalinya dan sebaiknya vaksinasi VHB diberikan
dalam 7 hari setelah lahir. Imunoglobulin merupakan produk darah yang diambil
dari darah donor yang memberikan imunitas sementara terhadap VHB sampai
vaksinasi VHB memberikan efek. Vaksin hepatitis B kedua diberikan sekitar 1
bulan kemudian dan vaksinasi ketiga setelah 6 bulan dari vaksinasi pertama.
Penelitian yang dilakukan Lee SD, dkk (dipublikasikan 1988) mengenai peranan
Seksio Sesarea dalam mencegah transmisi VHB dari ibu kejanin menghasilkan
kesimpulan bahwa SC yang dikombinasikan dengan imunisasi Hepatitis B
dianjurkan pada bayi yang ibunya penderita kronis-karier HbsAg dengan level atau
titer DNA-VHB serum yang tinggi.4
Tes hepatitis B terhadap HBsAg dianjurkan pada semua wanita hamil pada
saat kunjungan antenatal pertama atau pada wanita yang akan melahirkan tapi
belum pernah diperiksa HbsAg-nya. Lebih dari 90 % wanita ditemukan HbsAg
positif pada skreening rutin yang menjadi karier VHB. Tetapi pemeriksaan rutin
wanita hamil tua untuk skreening tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus
tertentu seperti pernah menderita hepatitis akut, riwayat tereksposure dengan
hepatitis, atau mempunyai kebiasaan yang beresiko tinggi untuk tertular seperti
penyalahgunaan obat-obatan parenteral selama hamil, maka test HbsAg dapat
dilakukan pada trimester III kehamilan. HbsAg yang positif tanpa IgM anti HBc
menunjukkan infeksi kronis sehingga bayinya harus mendapat HBIg dan vaksin
VHB.7
2.6.9 Pencegahan
Pencegahan penularan VHB dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas
seksual yang aman, tidak menggunakan bersama obat-obatan yang
mempergunakan alat seperti jarum, siringe, filter, spons, air dan tourniquet, dsb,
tidak memakai bersama alat-alat yang bisa terkontaminasi darah seperti sikat gigi,
gunting kuku, dsb, memakai pengaman waktu kerja kontak dengan darah, dan
melakukan vaksinasi untuk mencegah penularan.4
Profilaksis pada wanita hamil yang telah tereksposure dan rentan terinfeksi
adalah sbb6 :
1. Ketika kontak seksual dengan penderita hepatitis B terjadi dalam 14 hari
 Berikan vaksin VHB kedalam m.deltoideus. Tersedia 2 monovalen vaksin
VHB untuk imunisasi pre-post eksposure yaitu Recombivax HB dan
Engerix-B. Dosis HBIg yang diberikan 0,06 ml/kgBB IM pada lengan
kontralateral.
 Untuk profilaksis setelah tereksposure melalui perkutan atau luka mukosa,
dosis kedua HBIg dapat diberikan 1 bulan kemudian.
2. Ketika tereksposure dengan penderita kronis VHB
Pada kontak seksual, jarum suntik dan kontak nonseksual dalam rumah
dengan penderita kronis VHB dapat diberikan profilaksis post eksposure
dengan vaksin hepatitis B dengan dosis tunggal.
Wanita hamil dengan karier VHB dianjurkan memperhatikan hal-hal sbb :
 Tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan hepatotoksik seperti
asetaminophen
 Jangan mendonorkan darah, organ tubuh, jaringan tubuh lain atau semen
 Tidak memakai bersama alat-alat yang dapat terkontaminasi darah seperti
sikat gigi,dsb.
 Memberikan informasi pada ahli anak, kebidanan dan laboratorium bahwa
dirinya penderita hepatitis B carier.
 Pastikan bayinya mendapatkan HBIg saat lahir, vaksin hepatitis B dalam 1
minggu setelah lahir, 1 bulan dan 6 bulan kemudian.
 Konsul teratur kedokter
 Periksa fungsi hati.

Rekomendasi dari SOGC (The Society Obstetric and Gynaecologic of Canada)


mengenai amniosintesis sbb(6):
 Resiko infeksi VHB pada bayi melalui amniosintesis adalah rendah.
Pengetahuan tentang status antigen HBc pada ibu sangat berharga dalam
konseling tentang resiko penularan melalui amniosintesis.
 Untuk wanita yang terinnfeksi dengan VHB, VHC dan HIV yang
memerlukan amniosintesis diusahakan setiap langkah-langkah yang
dilakukan jangan sampai jarumnya mengenai plasenta.

2.6.10 Pilihan persalinan


Pilihan persalinan dengan Seksio sesaria telah diusulkan dalam menurunkan
resiko transmisi VHB dari ibu kejanin. Walaupun dari penelitian para ahli cara
persalinan tidak menunjukkan pengaruh yang bermakna dalam transmisi VHB dari
ibu ke janin yang mendapatkan imunoprofilaksis. ACOG tidak merekomendasikan
SC untuk menurunkan transmisi VHB dari ibu ke janin. Pada persalinan ibu hamil
dengan titer VHB tinggi (> 3,5 pg/ml atau HbeAg positif) lebih baik SC sebagai
pilihan cara persalinan.
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Istri Suami

Nama : Ny. S Nama : Tn. A


Umur : 35 th Umur : 29 th
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Betawi Suku : Betawi
Golongan : B Rh + Golongan :-
Darah Darah

Alamat : Sukaindah
No RM : 169283
Tanggal Masuk : 4 Desember 2019

B. ANAMNESIS

Dilakukan Autoanamnesis pada pasien tanggal 04 Desember 2019 jam 09.00


WIB

Keluhan Utama:

Keluar darah dari jalan lahir berulang sejak 5 jam SMRS

Keluhan Tambahan:

Mules sejak 3 jam SMRS


Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke IGD Maternal RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan


keluar darah dari jalan lahir sejak 5 jam SMRS. Darah yang keluar secara tiba-
tiba berupa gumpalan berwarna merah, tidak disertai nyeri. Pasien mengatakan
jumlah darah yang keluar hingga satu pembalut penuh. Pasien juga mengeluh
perutnya mules sejak 3 jam SMRS. Riwayat keluar air-air disangkal.
Sebelumnya, pasien sudah mengalami keluhan yang serupa 2 minggu yang lalu,
dirawat selama 3 hari, dan dijelaskan bahwa saat di USG plasenta terletak
dibawah menutupi jalan lahir. Pasien menyangkal adanya rasa nyeri pada
perutnya. Tidak ada keluhan pusing. Tidak ada riwayat trauma, keluhan lain
seperti demam, mual, muntah, kejang hingga penurunan kesadaran disangkal.
Pasien hamil anak pertama, tidak pernah keguguran sebelumnya

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Alergi (-)

Riwayat Operasi:

Pasien tidak ada riwayat operasi

Riwayat Pernikahan:

Status Pernikahan : Menikah 2x

Usia pertama kali menikah : 29 tahun

Kawin dengan suami 1 : 4 tahun


Kawin dengan suami 2 : 5 bulan

Riwayat menstruasi :

Menarche : 12 tahun

Siklus : Teratur, tiap 1 bulan sekali

Lama : 7 hari

Riwayat Kontrasepsi:

Pasien tidak pernah memakai alat kontrasepsi sebelumnya

Riwayat Obstetri:

 Paritas : G1P0A0 AH: -


 HPHT : 8 Maret 2019
 HPL : 15 Desember 2019
 Usia Kehamilan : 38 minggu 5 hari

No Tahun Tempat Umur Jenis Penolong Penyulit BB Keterangan


Partus Partus Kehamilan Persalinan
1. Hamil ini

Catatan penting selama ANC:

ANC teratur selama kehamilan di bidan

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 145/78 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernafasan : 22 x/menit
TB : 150 cm
BB : 60 kg
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Paru : Suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru,
suara tambahan (-)
Jantung : BJ I/BJ II reguler murni, suara BJ tambahan
(-)
Abdomen : Pembesaran perut (+) simetris, bising usus (+),
striae gravidarum (+)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

2. Status Obstetri
a. Pemeriksaan Luar
TFU : 27 cm
TBJ Klinis : (27-12) x 155 = 2325 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, asimetris, tidak
melenting, kesan bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang di sebelah
kiri, dan bagian-bagian kecil menonjol di
sebelah kanan, kesan punggung di kiri,
ekstremitas di kanan
Leopold III : Teraba bagian keras, melenting, simetris,
kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk pintu
atas panggul
His : 1 x 10’,15”
DJJ : 143 x/menit
b. Inspekulo : Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan

3. Pemeriksaan Laboratorium
04 Desember 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Hb 10,6 g/dL 12.0 – 16.0 g/dL
Ht 32 % 38.0 – 47.0 %
Eritrosit 3.67 x 106/µL 4.20 – 5.40 x 106/µL
Leukosit 8.5 x 103/µL 5.0 – 10.0 x 103/µL
Trombosit 193 x 103/µL 150 – 450 x 103/µL
Serologi
Anti HIV Penyaring
HIV Reagen 1 Non Reaktif Non Reaktif
Petanda Hepatitis
HbsAg Reaktif Non Reaktif
Hemostasis
Waktu Perdarahan 1’30” 1 – 3 menit
Waktu Pembekuan 4’00” 1 – 6 menit

5 Desember 2019 (Post SC)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Hb 11,4 g/dL 12.0 – 16.0 g/dL
Ht 323% 38.0 – 47.0 %
Eritrosit 3.85 x 106/µL 4.20 – 5.40 x 106/µL
Leukosit 11,6 x 103/µL 5.0 – 10.0 x 103/µL
Trombosit 207 x 103/µL 150 – 450 x 103/µL

2. Pemeriksaan Penunjang
 CTG : Dilakukan
Hasil :
DJJ:
Basal Rate:
HIS:
 USG: Tidak dilakukan

D. DIAGNOSIS KERJA
Ibu : G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante Partum ec
Plasenta Previa + HbsAg
Janin : Tunggal hidup, presentasi kepala, DJJ: 143x/menit, regular

E. RENCANA PENATALAKSANAAN
 Rawat Inap
 IVFD RL
 Observasi his, DJJ
 Rencana operasi Sectio Caesarean

F. PROGNOSIS
Ibu : Dubia ad bonam
Janin : Dubia ad bonam

G. FOLLOW UP
Ruang VK
Tanggal & jam Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
pemeriksaan
04/12/2019 S: Pasien datamg dengan keluhan keluar
09.00 darah dari jalan lahir, mules (-), nyeri (-),
keluar cairan (-)
O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 121/81 mmHg
Nadi: 82 x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36,6C
DJJ: 143 x/menit
TFU: 27 cm
His: 1 x 10’15”
VT: Tidak dilakukan pemeriksaan
Perdarahan: ± 60 cc
A: G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan
Hemoragik Ante Partum ec Plasenta
Previa + HbsAg
P: Rawat Inap
IVFD RL 20 tpm
Rencana Sectio Caesarean Cito

Ruang Nifas
Tanggal & jam Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
pemeriksaan
05/12/2019 S: Nyeri luka post operasi, ASI belum
08.00 keluar, BAB + BAK + Flatus +
O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 100 x/menit
RR: 22 x/menit
Suhu: 36,5oC
Perdarahan normal, TFU 2 jari
dibawah pusat, lochea rubra ± 40cc
A: P1A0 Nifas hari pertama post SC a/i
Plasenta Previa + HbsAg
P: IVFD RL + 1 amp oxytocin 20 tpm
Ceftriaxon 3 x 1gr drip
Gentamycin 2 x 80 mg i.v
6/12/2019 S: Nyeri luka post operasi berkurang ASI
08.00 belum keluar, BAB + BAK + Flatus +
O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 114/60 mmHg
Nadi: 114 x/menit
RR: 22 x/menit
Suhu: 36,3oC
GV (+) luka kering
Perdarahan normal, TFU 2 jari
dibawah pusat, lochea rubra ± 40cc
A: P1A0 Nifas hari kedua post SC a/i
Plasenta Previa + HbsAg
P: IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 3 x 1gr drip
Gentamycin 2 x 80 mg i.v
7/12/2019 S: Pasien mengaku tidak ada keluhan
08.00 O: KU: Baik
Kesadaran: Composmentis
TD: 121/84 mmHg
Nadi: 118 x/menit
RR: 22 x/menit
Suhu: 36,5oC
Perdarahan normal, TFU 2 jari
dibawah pusat, lochea rubra ± 40cc
A: P1A0 Nifas hari ketiga post SC a/i
Plasenta Previa + HbsAg
P: Boleh Pulang
Cefadroxil 3 x 1
As. Mefenamat 3 x 1
SF 2 x 1
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien berusia 35 tahun, dengan G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Plasenta Previa
+ HbsAg. Pada pasien ini, dapat didiagnosis berdasarkan:

a. Anamnesis
- Hamil 38 minggu berdasarkan HPHT
- Keluhan utama pasien adalah keluar darah dari jalan lahir sejak 5
jam SMRS
- Keluhan keluar darah tidak disertai nyeri perut
- Perdarahan berulang

b. Pemeriksaan Fisik
- KU/Kes : Baik / Composmentis
- TD : 145/78 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Suhu : 36,5oC
- Pernafasan : 22 x/menit
- Nyeri (-)

c. Pemeriksaan Obstetri
TFU : 27 cm
TBJ Klinis : (27-12) x 155 = 2325 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, asimetris, tidak
melenting, kesan bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang di sebelah
kiri, dan bagian-bagian kecil menonjol di
sebelah kanan, kesan punggung di kiri,
ekstremitas di kanan
Leopold III : Teraba bagian keras, melenting, simetris,
kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk pintu
atas panggul
His : 1 x 10’,15”
DJJ : 143 x/menit
Inspekulo : Tidak dilakukan
Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan

d. Pemeriksaan Lab:
Petanda Hepatitis: HbsAg reaktif

e. Diagnosis:
G1P0A0 Gravida 38 minggu dengan Hemoragik Ante Partum ec Plasenta
Previa + HbsAg

Diagnosis Plasenta Previa + HbsAg pada pasien ini dapat ditegakkan berdasakan:

 Perdarahan terjadi setelah usia kehamilan > 24 minggu


 Perdarahan terjadi tanpa disertai nyeri
 Perdarahan terjadi berulang dikarenakan terjadi pergeseran antara plasenta
dan dinding rahim, regangan rahim dan tarikan pada serviks berkurang,
tetapi dengan majunya kehamlan regangan bertambah dan menimbulkan
perdarahan baru
 Faktor predisposisi pada ibu yaitu usia 35 tahun
 Hasil lab yang menunjukan bahwa petanda HbsAg reaktif

Penanganan yang dilakukan pada pasien ini sudah sesuai dengan kepustakaan,
dikarenakan usia kehamilan pasien berdasarkan HPHT sudah memasuki usia
kehamilan aterm, maka dapat dilakukan terminasi kehamilan yaitu dengan cara
operasi Sectio Caesarean. Seksio sesarea bertujuan mengangkat sumber
perdarahan, memberikan kesempatan pada uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahannya, dan menghindari perlukaan servik dan segmen bawah uterus yang
rapuh apabila dilakukan persalinan pervaginam. Selain itu, tindakan operasi SC
dapat meminimalisir terjadinya infeksi vertical Hepatitis B dari ibu ke bayi akibat
proses persalinan. Tatalaksana yang dilakukan pada bayi yang lahir dengan Ibu
HbsAg (+) yaitu dengan vaksinasi Hepatitis 0 guna untuk mencegah infeksi dan
membentuk imunitas aktif dari virus hepatitis.

Keadaan Bayi

Bayi jenis kelamin laki-laki lahir pada tanggal 4 Desember 2019, dengan:

BBL : 2248

PB : 42 cm

A/S : 8/9

Genitalia : Laki-laki

Anus :+

Cacat :-
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

- Penegakkan diagnosis pada pasien ini dilakukan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
- Pasien dengan plasenta previa harus dilakukan tindakan Sectio
Caesarean untuk menghindari perdarahan lanjut
- Tindakan SC dapat meminimalisir terjadinya infeksi Hepatitis dari Ibu
dengan HbsAg + terhadap janin
- Diagnosis dan penatalaksanaan plasenta previa semakin dini dapat
menurunkan nilai AKI

Saran
- Sebaiknya dokter umum dapat mengenal gejala awal pada kasus HAP
- Penanganan awal harus segera dilakukan secara tepat dan jika bertugas di
fasilitas kesehatan primer sesegera mungkin merujuk ke fasilitas kesehatan
yang memiliki fasilitas yang dapat menangani kasus ini.
- Sebagai tenaga medis kita harus berhati-hati dalam menangani pasien yang
memiliki HbsAg + guna meminimalisir kontak penularan
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Maternal Mortality. 2015

2. Satrianingrum, A. P., & Atika. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Terjadinya Plasenta Previa. Surabaya: Unair. 2012
3. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2014
4. Navabaksh B. Hepatitis B Virus Infection During Pregnancy : Transmission and
Prevention. Iran: Midle East Journal of Digestive Diseases; 2011. p. 92-102.
5. Olaitan AO. Prevalence of Hepatitis B Virus and Hepatitis C Virus in ante-natal
patients in Gwagwalada-Abuja, Nigeria. Nigeria: Deprtment of Biological Sciences;
2010. p. 48-50
6. Fairley-Hamilton D. Lecture notes obstetrics and gynaecology. 2nd ed. USA :
Blackwell Publishing ; 2004.
7. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Antepartum Haemorrhage.
Green-top Guideline No 63. 2011.
8. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP. 2013.
9. Bauer ST, Bonanno C. Abnormal placentation. Semin Perinatol 2009. 33:88-95.
10. Cunningham G, Leveno JK, Bloom LS, Hauth CJ, Gilstrap L, et al. Williams

Obstetrics. 23rd Edition. The McGraw Hill Companies. United States of America.
2009.
11. Faiz AS,Ananth CV. Etiology and risk factors for placenta previa: an overview and
meta-analysis of observational studies. J Matern Fetal Neonatal Med 2003;13:175–
90.
12. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Placenta Praevia, Placenta
Praevia Accreta and Vasa Praevia: Diagnosis and Management . Green-top
Guideline No. 27. London: RCOG; 2011.
13. Calleja-Agius J, Custo R, Brincat M, et al. Placental abruption and placenta praevia.
Eur Clin Obstet Gynaecol 2006;2:121-7.
14. Yang Q,Wen SW, Phillips K, Oppenheimer L, Black D,Walker MC. Comparison of
maternal risk factors between placental abruption and placenta previa. Am J Perinatol
2009;26:279–86.
15. Walfish M, Neuman A, Wlody D. Maternal haemorrhage. British Journal of
Anaesthesia. 2009. 103:47-56.
16. Sinha P, Kuruba N. Ante-partum haemorrhage: An update. Journal of Obstetrics and
Gynaecology. 2008;28(4):377- 81.

Anda mungkin juga menyukai