Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit kepala-leher diperlukan
kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.
Kemampuan ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik yang merupakan syarat bila
terdapat keluhan atau gejala yang berhubungan dengan kepala-leher.1
Sistem aliran limfe leher sangat penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe leher.1
Pasien dengan penyakit pada leher dan wajah dapat mempunyai banyak gejala yang
bervariasi. Nyeri kepala, kelemahan otot atau kelompok otot, disestesia, pembengkakan atau
massa, deformitas dan perubahan pada kulit merupakan keluhan-keluhan yang paling sering
dijumpai.2
Palpasi leher dan wajah harus dilakukan dengan sistematik. Kelenjar limfe leher dan
metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. Daerah ini perlu di inspeksi dengan
cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan sepanjang perjalanan selubung
karotis. Bangunan yang bisanya dapat dan harus dipalpasi adalah tulang hioid, rawan tiroid
dan krikoid, celah tirohioid dan krikotiroid, cincin trakea, otot sternokleidomastoideus, arteri
karotis, klavikula dan celah supraklavikula. 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI LEHER
Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara thoraks dan caput.

Batas di sebelah cranial adalah basis mandibula dan suatu garis yang ditarik dari angulus
mandibula menuju ke processus mastoideus, linea nuchae suprema sampai ke protuberantia
occipitalis eksterna. Batas kaudal dari ventral ke dorsal dibentuk oleh incisura jugularis
sterni, klavicula, acromion dan suatu garis lurus yang menghubungkan kedua acromia. 3

Gambar 1 Anatomi leher


Jaringan leher dibungkus oleh tiga fascia. Fascia koli superficialis membungkus
musculus Sternokleidomastoideus dan berlanjut ke garis tengah di leher untuk bertemu
dengan fascia sisi lain. Fascia koli media membungkus otot-otot pratrakeal dan bertemu pula
dengan fascia sisi lain di garis tengah yang juga merupakan pertemuan dengan fascia coli
superficial. Ke dorsal fascia koli media membungkus arteri karotis komunis, vena jugularis
interna dan nervus vagus jadi satu. Fascia koli profunda membungkus musculus
prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fascia koli media. 4
Bentuk umum leher adalah sebagai conus dengan basis yang menghadap ke arah kaudal.
Ditentukan oleh processus spinosus vertebra cervicalis, otot-otot panniculus adiposus, os.
hyoideum, trachea dan glandula thyroidea. Turut menentukan adalah posisi kepala dan
columna vertebralis, pada posisi antefleksi kepala dan leher maka processus spinosus dari
vertebra prominens sangat menonjol, kulit disebelah ventral melipat-lipat. Pada posisi
retrofleksi kepala dan leher maka kulit disebelah dorsal melipat-lipat sedangkan disebelah
1

ventral akan kelihatan dengan jelas laring, trachea dan glandula thyroidea ( terutama pada
wanita). 3
Leher dibagi oleh muskulus sternokleidomastoideus menjadi trigonum anterior atau medial
dan trigonum posterior atau lateral. 1
1

Trigonum anterior : di anterior dibatasi oleh sternokleidomastoideus, linea mediana


leher dan mandibulae, terdiri dari :
1

Trigonum muscular : dibentuk oleh linea mediana, musculus omohyoid venter


superior, dan musculus sternokleidomastoideus.

Trigonum caroticum : dibentuk oleh musculus omohyoid venter superior,


musculus sternokleidomastoideus, musculus digastricus venter posterior.

Trigonum submentale : dibentuk oleh venter anterior musculus digastricus, os.


hyoid dan linea mediana.

Trigonum submandibulare : dibentuk oleh mandibula, venter superior musulus


digastricus, dan venter anterior musculus digastricus

Trigonum posterior : dibatasi superior oleh musculus sternokleidomastoideus,


musculus trapezius dan clavicula, terdiri dari :
1

Trigonum supraclavicular : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,


clavicula dan musculus sternokleidomastoideus.

Trigonum occipitalis : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,


musculus trapezius dan musculus sternokleidomastoideus (Luhulima, 2002).

1
2

Gambar 2 Trigonum anatomicum


2

PEMBAGIAN KELENJAR LIMFE


Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada

rangkaian jugularis interna dan spinalis assesorius. Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam
metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian jugularis interna. 1
Kelenjar limfe servical dibagi ke dalam gugusan superficial dan gugusan profunda.
Kelenjar limfe superficial menembus lapisan pertama fascia servical masuk kedalam gugusan
kelenjar limfe profunda. Meskipun kelenjar limfe nodus kelompok superficial lebih sering
terlibat dengan metastasis, keistimewaan yang dimiliki kelenjar kelompok ini adalah
3

sepanjang stadium akhir tumor, kelenjar limfe nodus kelompok ini masih signifikan terhadap
terapi pembedahan. 1
Kelenjar limfe profunda sangat penting sejak kelenjar-kelenjar kelompok ini menerima
aliran limfe dari membran mukosa mulut, faring, laring, glandula saliva dan glandula
thyroidea sama halnya pada kepala dan leher. 1
Hampir semua bentuk radang dan keganasan kepala dan leher akan melibatkan kelenjar
getah bening leher bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher, perhatikan
ukurannya, apakah nyeri atau tidak, bagaimana konsistensinya, apakah lunak kenyal atau
keras, apakah melekat pada dasar atau kulit. Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer
Center Classification, kelenjar getah bening leher dibagi atas 5 daerah penyebaran. 1

Gambar 3 Daerah penyebaran kelenjar limfe leher


Keterangan :
I
II

Kelenjar yang terletak di segitiga submentale dan submandibulae


Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar getah bening jugularis
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikalis posterior.

III

Kelenjar getah bening jugularis di antara bifurkatio karotis dan persilangan


Musculus omohioid dengan musculus sternokleidomastoideus dan batas
posterior musculus sternokleidomastoideus.

IV
V

Grup kelenjar getah bening di daerah jugularis inferior dan supraklavikula


Kelenjar getah bening yang berada di segitiga posterior servikal.

Gambar 4 Penyebaran kelenjar limfe di kepala dan leher


1

Kelenjar limfe occipitalis terletak diatas os occipitalis pada apeks trigonum


cervicalis posterior. Menampung aliran limfe dari kulit kepala bagian
belakang. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe
cervicalis profundi.

Kelenjar limfe retroaurikular terletak di atas permukaan lateral processus


mastoideus. Mereka menampung limfe sebagian kulit kepala di atas auricula
dan dari dinding posterior meatus acusticus externus. Pembuluh limfe eferen
mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe cervicalis profundi.

Kelenjar limfe parotid terletak pada atau di dalam glandula parotis.


Menampung limfe dari sebagian kulit kepala di atas glandula parotis, dari
permukaan lateral auricula dan dinding anterior meatus acusticus externus, dan
dari bagian lateral palpebra. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke
dalam kelenjar limfe cervicalis profundi.

Kelenjar submandibular : terletak sepanjang bagian bawah dari mandibula


pada kedua sisi lateral, pada permukaan atas glandula submandibularis
dibawah lamina superfisialis. Menerima aliran limfe dari struktur lantai dari
mulut. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe
cervicalis profundi.

Kelenjar submental : terletak dibawah dari mandibula dalam trigonum


submentale. Menerima aliran dari lidah dan cavum oral. Pembuluh limfe

eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe submandibularis dan


cervicalis profundi.
6

Kelenjar supraclavicular : terletak didalam cekungan diatas clavicula, lateral


dari persendian sternum. Menerima aliran dari bagian dari cavum toraks dan
abdomen.

STRUKTUR DAN FUNGSI KELENJAR LIMFE


Kelenjar limfe adalah organ limfoid perifer yang berhubungan dengan sirkulasi

pembuluh limfatik aferen dan eferen dan melalui venula pascakapiler berendotel tinggi.
Sejumlah tipe sel membentuk kerangka dan stroma penyokong kelenjar kapiler. Fibroblas
adalah tipe sel dominan pada kapsul dan trabekula kelenjar limfe. Lalu lintas kelenjar limfe
melalui jalur aferen dan eferen. Limfe aferen mengandung limfosit makrofag dan antigen
memasuki kelenjar limfe melalui ruang subkapsul dan mengalir melalui daerah parakorteks
dan medula ke dalam sinus medula yang menyatu membentuk pembuluh limfatik eferen. 1
Kelenjar limfe berfungsi sebagai tempat sel yang memperkenalkan antigen,
sel T dan sel B berkontak dengan antigen yang dengan struktur tertentu meningkatkan
interaksi sel T, sel B dan sel-sel yang mempresentasikan antigen secara optimum. Dalam
keadaan normal, interaksi seperti itu menyebabkan efisiensi pengenalan antigen, aktivasi
lengan reaksi imun seluler dan humoral dan berakhir dengan pembasmian antigen. 1

Gambar 5 Aliran drainase kelenjar limfe


2.4 MEKANISME TIMBULNYA BENJOLAN PADA LEHER
6

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti
trauma, infeksi, hormon, neoplasma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan
caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu ditekankan adalah
tidak selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher.
Tidak jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sistemik seperti limpoma dan TBC.
Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar
tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain
seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang di
antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja imunitas
tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.
Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai
mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya
tidak menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius
sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama
eritrisot agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan
pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak
menyebar ke organ tubuh lain.
7

Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi
sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis

molekuler seperti

peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini
berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan
pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar
tiroid-adenoma tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun
akibat dari metastase kanker dari organ di luar leher.

Anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis


Jika ditemukan pasien dengan keluhan benjolan di leher, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan pada pasien untuk mengarahkan diagnosis adalah sebagai berikut:

BAB III
PENYAKIT BENJOLAN PADA LEHER
3.1 Kongenital
9

3.1.1 Kistik Higroma


Definisi
Higroma kistik berasal dari sistem limfe sehingga secara patologi anatomi lebih
tepat disebut limfangioma kistik. Higroma kistik dapat terjadi pada anak lelaki maupun
anak perempuan dengan frekuensi yang sama. Kebanyakan (75%) higroma kistik
terdapat di leher. Sekitar 75% kasus terjadi saat lahir mauun masa neonatus. 4
Etiologi dan Patogenesis
Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena
mengalami dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan
berkembang menjadi sakus limfatikus. 4
Pada embrio usia dua bulan, pembentukan sakus primitif telah sempurna. Bila
hubungan saluran ke arah sentral tidak terbentuk, timbullah penimbunan cairan yang
akhirnya membentuk kista berisi cairan. Hal tersebut sering terjadi di daerah leher.
Kelainan ini dapat meluas ke segala arah seperti ke jaringan sublingualis di mulut. 4
Pada mulanya bagian dalam kista dilapisi oleh selapis sel endotel dan berisi cairan
jernih kekuningan yang sesuai dengan cairan limfe. Pada permukaaan ditemukan kista
besar yang makin ke dalam menjadi makin kecil seperti buih sabun. Higroma kistik
dapat mencapai ukuran yang besar dan menyusup ke otot leher dan daerah sekitarnya
seperti faring, laring, mulut dan lidah. Yang terakhir dapat menyebabkan makroglosia. 4

Gejala klinis
Keluhan adalah adanya benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir tanpa nyeri
atau keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol dan lunak.

10

Permukaannya halus dan lepas dari kulit, dan sedikit melekat pada jaringan dasar.
Kebanyakan terletak di regio trigonum posterior colli. Sebagai tanda khas, pada
pemeriksaan transluminasi positif tampak terang sebagai jaringan tembus cahaya. 4
Benjolan ini jarang menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar
karena radang dan menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan saluran
nafas seperti trakea, orofaring, maupun laring. Bila terjadi perluasan ke arah mulut
dapat timbul gangguan menelan. Perluasan ke aksila dapat menyebabkan penekanan
pleksus brakialis dengan berbagai gejala neurologik. 4
Penatalaksanaan
Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan ini dimaksudkan untuk
mengambil keseluruhan massa kista. Akan tetapi,bila tumor besar dan telah menyusup
ke organ penting, seperti trakea, esofagus, atau pembuluh darah, ekstirpasi total sulit
dikerjakan. Oleh karena itu, penanganannya cukup dengan pengambilan sebanyakbanyaknya kista. Kista yang letaknya didalam dan sangat melekat dengan struktur vital
dipecahkan dengan melakukan eksisi parsial. Hal ini merupakan cara penaganan yang
paling bail dan aman.
Pada akhir pembedahan, pemasangan penyalir isap sangat dianjurkan. Bila residif
dapat dilakukan operasi ulang atau pemberian bleomisin ke dalam kista yang telah
diaspirasi isinya terlebih dahulu. Pembedahan sebaiknya dilakukan setelah periode
neonatus karena mortalitas akibat pembedahan pada periode neonatus cukup tinggi. 4

3.1.2

Kista Branchial

11

Kelainan brankial dapat berupa fistel, kista, dan tulang rawan ektopik. Arkus brankial
ke-3 membentuk os hioid, sedangkan arkus brankial ke-4 membentuk skelet laring, yaitu
rawan tiroid, krikoid, dan aritenoid.
Fistel kranial dari tulang hioid yang berhubungan dengan meatus akustikus eksternus
berasal dari celah brankial pertama. Fistel antara fosa tonsilaris ke pinggir depan
m.sternokleidomastoideus berasal dari celah brankial kedua. Fistel yang masuk ke sinus
piriformis berasal dari celah ketiga. Sinus dari celah brankial keempat tidak pernah
ditemukan. Sinus atau fiste mungkin berupa saluran yang lengkap atau mungkin menutup
sebagian.
Fistel

brankial

sisa

celah

brankial

ke-2

akan

terdapat

tepat

di

depan

m.sternokleidomastoideus. bila penutupan terjadi sebagian, sisanya dapat membentuk kista


yang terletak agak tinggi di bawah sudut rahang. Bila terbuka ke kulit, akan terjadi fistel.
Bila masih ada sinus tonsilaris, fistel selalu berjalan melalui percabangan a.karotis.
Pada anamnesis diketahui kista merupakan benjolan sejak lahir. Fistel terletak di depan
m.sternocleidomastoideus dan mengeluarkan cairan. Fistel yang buntu akan membengkak
dan merah, atau merupakan lekukan kecil yang dapat ditemukan unilateral atau bilateral.
Penatalaksanaan
Kista dapat langsung diekstirpasi bersama saluran menuju orofaring. Seringkali
diperlukan insisi multipel sejajar di atas insisi pertama (stepladder incision). Fistel diisi
bahan warna seperti biru metilen, kemudian dapat diekstirpasi melalui insisi kecil
multipel. Operasi ini tidak tergolong bedah minor karena fistel harus dikeluarkan
seluruhya melalui percabangan a.karotis komunis sampai ke sinus tonsilaris. Bila sebagian
saja, fistel tertinggal akan kambuh dan biasanya mengalami infeksi.

3.1.2

Kista Ductus Tiroglosus

12

Definisi
Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang
menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai
kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea.
Etiologi dan Patogenesis
Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya kista duktus tiroglosus :
1) infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami
degenerasi kistik.
2) sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret
sehingga membentuk kista.
Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar
limfe di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang,
sehingga terbentuklah kista.
Lokasi
Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang
jalur bebas duktus tiroglosus mulai dari dasar lidah sampai ismus tiroid. Lokasi yang
sering adalah :

intra lingual : 2,1%

suprahioid : 24,1%

tirohioid : 60,9%

suprasternal : 12,9%
Gejala klinis
Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di
atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa
tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas,
13

bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak
saat menelan atau menjulurkan lidah. Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadangkadang lebih besar. Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien me-ngeluh nyeri
saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada
setiap benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan
menggunakan suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan
foto Rontgen.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara
lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan
bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan dilaporkan antara 60100%. Schlange (1893) melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista
beserta duktus-duktusnya;dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20%.
Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista
beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen
sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat
menurunkan angka kekambuhan menjadi 2-4 %.
Cara Sistrunk :
1) Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi
terlentang, kepala dan leher hiperekstensi.
2) Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang empat
sentimeter. Bila ada fistula, irisan ber-bentuk elips megelilingi lubang fistula.
3) Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam
digenggam dengan klem, dibuat irisan me-manjang di garis media. Otot sternohioid
ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya.

14

4) Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid
dipotong satu sentimeter.
5) Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta
otot berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah
yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup kembali.

3.2 Infeksi
3.2.1 Limfadenitis Leher Akut
Definisi dan Etiologi
Linfadenitis leher akut merupakan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) akibat
kegagalan mengatasi infeksi di daerah pertahanan regionalnya. Limfadenitis leher dapat
disebabkan oleh infeksi daerah telinga, gigi, tenggorokan, hidung. Dapat mengenai satu
kelenjar limfe atau satu kelompok kelenjar limfe, bisa unilateral atau bilateral leher.
Limfadenitis sendiri disebabkan oleh berbagai infeksi dari berbagai organisme, seperti
bakteri, virus, protozoa, riketsia, dan jamur. Nama-nama bakteri yang masuk dalam
kategori bakteri penyebab limfadenitis adalah Streptokokus beta hemolitikus. Grup A
atau stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila berhubungan dengan caries dentis (gigi
berlubang) dan penyakit gusi. Difteri, Hemofilus influenza tipe b jarang menyebabkan
hal ini. Untuk penyebarannya ke kelenjar getah bening melaluiinfeksi pada kulit, hidung,
telinga, dan mata. 4
Penatalaksanaan
Tata laksana pada imfadenitis akut lebih disarankan untuk mengobati penyakit dasar
sebagai penyebabnya. Jika dengan konservatif atau penatalaksanaan penyakit dasar tidak
berhasil, dapat dilakukan pembedahan, namun hanya dapat menghilangkan benjoannya
saja tidak menghilangkan penyakit dasar.

3.2.2

Limfadenitis TBC
15

Definsi
Limfadenitis tuberkulosis, suatu peradangan pada satu atau lebih kelenjar getah
bening.Penyakit ini masuk dalam kategori tuberkolosis luar. Tuberkolosis sendiri
dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan
Sanskrit kuno. Nama "tuberculosis" berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan
kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini. Begitu juga dengan
limfadenitis, penyakit ini ditandai benjolan pada bagian leher penderitanya.
Etiologi dan Patogenesis
Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui makanan ke
rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa tanda
TBC paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin
secara berangsur kelenjar di dekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan
dingin ini.
Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar
melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang,
merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis, mengeluarkan bahan
keperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan
menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan
meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang
lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti
ini disebut skrofuloderma.
Gejala klinis
Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat /
keras multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi
perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi tidak
nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh
karena keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa
pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan konglomerasi
sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck.
16

Penatalaksanaan
Pengobatan dilakukan dengan tuberkulostatik. Bila terjadi abses, perlu dilakukan
aspirasi, dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta pengangkatan dinding
abses dan kelenjar getah bening yang bersangkutan. 4

3.2.3

Tiroiditis

Definisi
Tiroiditis adalah peradangan kelenjar tiroid. Penyebab pasti untuk penyakit ini
belum diketahui. Fakta yang ada menunjukkan bahwa penyakit ini lebih banyak
menyerang wanita daripada pria. Umumnya menyerang orang berusia 13-80 tahun.
Radang tiroid dapat terrjadi akut, subakut atau menahun. Radang akut biasanya
disebabkan oleh infeksi S. aureus. Tiroiditis bakterial akut ni sangat jarang ditemukan.
Tiroiditis subakut yang juga jarang ditemukan umumnya terjadi pada infeksi virus di
saluran nafas. Tiroiditis menahun pada umumnya adalah penyakit autoimunyang
disertai kenaikan kadar antibodi terhadap hormon tiroid/produk tiroid di dalam darah.
Gejala klinis
Gejala paling awal adalah kelenjar tiroid yang terlalu aktif (hipertiroidisme). Gejalagejala ini dapat berlangsung selama 3 bulan, kadang ada yang kurang dari 3 bulan.
Gejala biasanya ringan, gejala tersebut antara lain:

Kelelahan
Sering buang air besar
Selera meningkat
Keringat bertambah
Periode menstruasi tidak teratur
Iritabilitas
Kram otot
Gugup dan gelisah
Berat badan menurun

Tiroiditis Hashimoto
17

Tiroiditis kronik yang sering dijumpai adalah tiroiditis limfositik atau tiroiditid
Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar
tiroid yang menyebabkan destruksi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun
terjadi atrofi kelenjar dengan fibrosis. Berbagai macam antibodi antitiroid dapat
ditemukan dalam kadar tinggi di darah sebagai tanda reaksi autoimun.
Penyakit ini sering ditemukan dan sering dijumpai pada wanita. Biasanya mulai
pada usia dewasa dengan atau tanpa pembesaran kelenjar tiroid. Jika terdapat
pembesaran kelenjar tiroid, akan dirasakan sedikit nyeri, padat pada palpasi, dan nyeri
pada penekanan. Pada awalnya penderita eutiroidisme, kemudian berubah secara
bertahap menjadi hipotiroidisme yang memerlukan terapi substitusi dengan sediaan
hormon tiroid. Struma Hashimotot sering asimetrik. Diagnosis banding adalah
karsinoma karena itu sering kali diperlukan tindakan biopsi guna konfirmasi
diagnosis. Pengobatannya trutama bersifat tindak bedah paliatif dan simptomatik. 4
Tiroiditis de Quervain
Tiroiditis menurut de Quervain merupakan inflamasi akut yang mengenai seluruh
kelenjar tiroid, yang mungkin disbabkan oleh infiltrasi sel neurofil yang disusul oleh
sel limfosit dan histiosit, jenis radang ini jarang ditemukan.
Gambaran klinis berupa pembesaran tiroid sedang atau ringan yang sangat nyeri
disertai gejala dan tanda sistemik. Penyakit ini biasanya mereda setelah beberapa
minggu, tetapi sering kambuh kembali. Umumnya penderita eutiroidisme, tetapi pada
tahap akut mungkin terjadi hipertiroidisme. Pengobatan dengan sediaan salisilat untuk
menghilangkan nyeri. Pada stadium akut juga digunakan kortikosteroid untuk
menekan inflamasi. 4

Tiroiditis Riedel
Tiroiditis Riedel merupakan jenis yang sangat jarang ditemukan, juga dianggap
sebagai reaksi autoimun. Kelenjar tiroid menjadi keras sehingga kelainan ini disebut
juga struma kayu. Kelenjar sering berbentuk asimetris sehingga sukar dibedakan
dengan adenokarsinoma anaplastik karena konsistensinya sangat padat. Diagnosis
18

hanya dapat ditentukan dengan biopsi insisi. Struma Riedel mungkin mengakibatkan
kompresi trakea sehingga kadang membutuhkan dekompresi dengan pembelahan
istmus atau istmektomi. 4

3.3 Neoplasma
3.3.1 Karsinoma Nasofaring
Definisi
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari
sel epithelium. Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran
histopatologisnya. Menurut WHO, dibagi:
o -WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
o -WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
o -WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang
ilmu penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring
dan tempat predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi
sehingga sulit mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan
gejalanya yang tidak khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini
termasuk dalam sepuluh besar keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada
usia 40-60 tahun, perbandingannya antara laki-laki dan perempuan 2,5:1. 4

Etiologi
Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain :
Genetik : HLA-A2, HLA-B.sin
Virus : Epstein Barr

19

DNA pada epitel sel tumor

Antibodi anti EBV

Lingkungan (paparan bahan-bahan karsinogenik) ;

Nitrosamin

Asap kayu bakar

Herbal tea

Higiene buruk

Ventilasi buruk

Ikan asin, kebiasaan mengkonsumsi ikan asin jangka panjang merupakan mediator
utama yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr.Diduga ikan asin ini mengandung
hasil metabolisme protein yang disebut dengan nitrosmin. Begitu pula dengan
makanan yang diawetkan.
Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan membakar
didalam rumah, memasak dengan kayu bakar dan ventilasi rumah juga tidak
mencukupi.
Kontak dengan zat karsinogen, misalnya pekerja pabrik bahan-bahan kimia.
Ras dan keturunan. Kanker nasofaring paling sering ditemukan pada ras mongoloid
atau keturunan cina. Serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2,18 :1.Hampir 60% ditemukan pada kisaran usia 25-60 tahun.
Radang kronis nasofaring yang sering mengganggu proses pembersih secara alami
sehingga bisa memicu virus yang dapat menyebabkan kanker.
Histopatologi
Karsinoma nasofaring adalah tumor asal epidermoid.
Kriteria WHO:
20

Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma, (karsinoma sel squamous

berkeratin)
Tipe 2a: Non-Keratinizing squamous cell carcinoma, (karsinoma sel squamousa

tidak berkeratin )
Tipe 2b: Undifferentiated carcinoma, (karsinoma tidak berdifferensiasi)

Patogenesis
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx.Titer
antibodi (imunnoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita
karsinoma nasopharynx.Maka ia di gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai
keberkesanan terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx
carsinoma menunjukkan adanya produk BCL2.Produk ini menyebabkan terjadinya
penghalangan proses apoptosis.Ini menyebabkan perkembangan kanser tersebut.Menurut
pemerhatian,memakan ikan asin dan bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya
kanser nasopharynx karsinoma tersebut. 4
Stadium tumor
T :Tumor pada nasofaring

Tis :Tumor insitu


T1 :Tumor terbatas pada satu tempat /sisi atau tumor tak tampak (hanya dengan

biopsy.
T2 : Tumor mengenai dua tempat
T3 :Ekstensi tumor kecavum nasi dan orofaring
T4 :Tumor invasi dasar tengkorak dan nervi cranialis.

N :Metastasis pada kelenjar limfe

NO :Tidak ada metastase kelenjar limfe


N1 :Tunggal,ipsilateral, 3 cm
N2a :Tunggal ipsilateral, 3-6 cm.
N2b :Multipel ipsilateral, 6 cm.
N2c :Bilateral, 6 cm.
21

N3 :Metastase pada nodus cm

M :Metastasis

M0
M1

:Tidak ada metastasis


:Ada metastasis jauh

Gejala klinik
Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat
predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas. Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor. 4
Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan merasakan diplopia. Apabila
perluasannya ke arah lateral, Sebelumnya penderita merasakan adanya lendir dibelakang
hidung terus menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga
berdenging/gembrebeg (tinnitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah
( congean ) sampai dengan terjadinya robekan gendang telingan tanpa sebab yang jelas,
dan tidak sembuh dengan pengobatan serta terjadi berulang-ulang. Hal ini Karena adanya
tumor pada daerah tenggorok bagian atas (nasofaring ) menutupi saluran yang menuju
keliang telinga tengah (oklusib Tuba eustachi ).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas kerongga hidung
bagian belakang ( koana ) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan
bercampur dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi .Keluhan pada tenggorok
merupakan gangguan bicara,bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah
membesar karena mendesak kerongga tenggorok. 4
Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas kedasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan
mata menjadi juling yakni nervus okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology
pada syaraf cranial seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai
pada penderita kanker tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf disekitar
kepala yakni nervus trigeminus, glossofaringeus, vagus, assesorius .

22

Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke kelenjar getah bening


bermanifestasi sebagai benjolan yang teraba keras umumnya pada rantai kelenjar limfe
jugularis profunda superior. 4
Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan anti virus.

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan


kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam
kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan cis
platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi cis platinum, bleomycin, dan 5 fluorouracil
sedang dikembangkan di bagaian THT FKUI dengan hasil sementara cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kehidupan yang cukup baik.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat *radio sensitizer* memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasopharing.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadapa benjolan dileher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologik. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh
(residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi. 4
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
23

penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan
dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya aar liur. Gangguan
lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena
fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang
kadang muntah dan rasa mual. 4
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada atau kambuh kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca
pengobatan seperti ketulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak
banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk
meningkatan kualitas hidup.
Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didaerah dengan resiko
tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara masak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
dahn berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal yang akan
mendatangkan manfaat dalam menemukan karsinoma nasopharing secara dini. 4

3.3.2

Karsinoma Tiroid
Patogenesis
Difrensiasi
Sel Normal

Sel Kanker
24

Onkogen

Radiasi

Protoonkogen

Proses

: Inisiasi
Promosi
Progresi

Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada
paparan dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka
sel normal tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui
beberapa tahap, yakni Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum
menimbulkan ekspresi gen, sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari
gen gen meningkat Namun belum menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada
proses promosi dimana pada tahap ini terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat
serupa dengan bahan pada saat tahap inisisai Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini
terjadi ekspresi gen dimana sel sel telah menjadi sel abnormal Namun pada tahap ini sel
sel tersebut bersifat reversible dengan kata lain apabila pada tahap ini kita dapat
mengobati dengan komplit maka sel tersebut dapat kembali menjadi sel normal kembali
Namun apabila tidak komplit maka dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya pada tahap
progresi maka terjadi perubahan serta perbanyakan sel secara cepat dan tidak terkendali
lagi. 4
Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa
disini terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari
supresor sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus
memperbanyak diri, maka jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.
Gambaran Klinik
25

Pada karsinoma tiroid ini terdapat beberapa tipe, dan masing masing tipe tersebut
juga berbeda gambaran kliniknya, adapula pembagiannya ialah : 4
a

Epitelial

Adenokarsinoma papiller
Adenokarsinoma folikuler
Undifferentiated karsinoma/anaplastia
Small cell karsinoma
Giant ceel karsinoma
Spindle cell karsinoma

Karsinoma meduller
Squamos cell karsinoma

Non Epitelial

Limphoma
Sarcoma
Metastasis tumor
Malignant teratoma
Unclassified tumor

Well Differentiated

Type papiller
Type folikuler
Type medulle

Undifferentiated

Type anaplastik

Pemeriksaan Tambahan
Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat
lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :

26

1. Adenokarsinoma Papiller
Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang
khas untuk tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan.
Ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan nodul kistik atau padat dan
menentukan volume tumor. Pemeriksaan Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan
tekanan pada trakea serta kalsifikasi didalam jaringan tiroid. Foto thorax dibuat untuk
melihat kemungkinan penyebaran kemediastinum bagaian atas atau ke paru. 4
Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131. Berdasarkan
banyaknya yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu nodul
yang menangkap yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak
menangkat sama sekali. Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak
dengan kelenjar normal, dan nodul panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak.
Karsinoma papiller biasanya kurang menangkap yodium atau sama sekali tidak
menagkap.
Biopsi insisi dianjurkanpada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi
aspirasi jarum halus dapat dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada
kejelian ahli patologi atau sitologi.
2. Adenokarsinoma Meduler
Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar
kalsitonin dalam darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium.

Adenokarsinoma Anaplastik
Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian
membesar dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma
Anaplastik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh
dilakukan untuk mencari metastasis keorgan tersebut.
27

Penatalaksanaan
Untuk penataksanaan karsinoma tiroid dilakukan sesuai dengan masing masing tipe
karsinoma tiroid : 4
Adenokarsinoma Papiller
Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil
pemeriksaan patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan
berikutnya menjadi tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul
tunggal adalah ganas, dan juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin
merupakan bagian struma multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak,
pria (semua umur), dan wanit dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal
pada golongan tersebut harus dianggap suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi.
Pada pemeriksaan histopatologi, sekitar 10% menunjukkan keganasan dan biasanya jenis
adenokarsinoma papiller.
Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi
penyebaran melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi
total dan diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama.
Diseksi leher merupakan pengeluaran semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada
penyusupan struktur diluar kelenjar getah bening, diseksi dapat dibatasi pada kelenjar
getah bening saja, artinya m. Sternocleidomastyoideus, n. Accesorius dan v. Jugularis
interna tidak turut diangkat./ Bedah diseksi leher yang dimodifikasi ini menguntungkan,
karena pengangkatan m. Sternocleidomastoideus dan atrofi m trapezius mengakibatkan
gangguan kosmetik yang mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius disebabkan karena
putusnya n. Accesorius pada pengeluaran m sternocleidomastoideus.
Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens)
dan hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk
mencegah cedera.
Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller
pada umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat
ditangkap oleh sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan
28

itu yodium radioaktif bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat
fasilitas radiasi intern. Metastasis ditanggulangi secara ablasio radioaktif.
Adenokarsinoma Folikuler
Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel
karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila
masih tersisa ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif
ini.
Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik.
Adenokarsinima Meduler
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak
memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini
berasal dari sel C sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium.
Adenokarsinoma Anaplastik
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat
dilakukan biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang bisa
diberikan adalah radiasi ekstern.

Prognosis
Untuk prognosis dari karsinoma tiroid ini, maka dapat dikatakan bahwa
Adenokarsinoma Papiller mempunyai prognosis yang bagus jika dibandingkan dengan tipe
yang lainnya, sedangkan untuk Adenokarsinoma Anaplastik mempunya prognosis yang
buruk jika dibanding denga tipe adenokarsinoma tiroid yang lainnya. Dan untuk
adenokarsinoma folikuler mempunyai prognosis bagus jika tipenya mikroinvasif.
Komplikasi

29

Karena untuk adenokarsimona tiroid ini ditangani sebagian besar dengan tiroidektomi total
maka ada beberapa komplikasi dari tindakan tersebut, yang antara lain :
a

Durante Operasi

Pasca operasi

3.3.3

Perdarahan
Krisis tiroid
Cedera nervus, trakea dan esofagus
Pratiroid terangkat

Hematoma
Tracheomalacia
Hipokalsemia
Suara parau/ hilang
Tersedak

Karsinoma Laring

Definisi
Karsinoma laring merupakan keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau
daerah lainnya di tenggorokan.
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi karsinoma laring sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi para
ahli menghubungkannya dengan bahan asing yang mengakibatkan iritasi kronis pada
laring, sehingga dengan kemajuan industri dan perubahan kebiasaan mungkin
insidensinya akan meningkat.
Bahan "agent" karsinogen/prekarsinogen larings.
Agent

Ditemukan di / dalam
30

Asbes

lingkungan, produk pabrik, tambang

Etanol

diet

Gas mustard

produk pabrik

Nikel

produk pabrik, tambang

Polisiklik hidrokarbon

lingkungan, produk pabrik

Tembakau, nitrosamin

rokok

Minyak, bahan kimia (hidrokarbon,

produk pabrik

vinyl, benzen dan sebagainya).

Di dalam asap rokok sigaret terkandung suatu senyawa polisiklik aromatik


hidrokarbon yang merupakan bahan bersifat prekarsinogen. Sedang di dalam tubuh
manusia terdapat sistem ensim arilhidrokarbonhidroksilase yang mampu mengubah
bahan prekarsinogen (polisiklik aromatik hidrokarbon) menjadi karsinogen. Makin tinggi
kadar kandungan AHH di dalam tubuh seseorang, makin tinggi pula risiko untuk
menderita karsinoma laring.
Gejala klinis
Gejala awal yang memaksa penderita datang berobat umumnya karena perubahan
suara serak. Dokter yang memeriksa pertama kali biasanya menghubungkannya dengan
penyakit infeksi tuberkulosa laring' . Suara serak menunjukkan adanya gangguan
mekanisme getar pita suara karena adanya penambahan masa laring, kerusakan atau
kelumpuhan. Hal ini dapat terjadi' pada semua tingkat usia. Suara serak , akibat
penambahan massa dapat terjadi pada. radang atau trauma yang menyebabkan edema
laring. Penambahan massa oleh tumor disebabkan oleh perubahan struktur histologis
secara bertahap. Oleh karena itu' akan mudah dibedakan kelainan suara serak secara akut
dan disebabkan karena trauma, radang akut atau benda asing, sedangkan kelainan yang
berlangsung kronis mungkin disebabkan radang kronis atau tumor. Pada tumor laring
31

suara serak dimulai dengan gejala hilang timbul yang berjalan progresif dan akhirnya
menetap. Biasanya gejala dini berupa suara serak pada pagi hari tanpa disertai gejala
batuk. Bilamana disertai batuk umumnya berupa batuk kering non produktif .
Karsinoma laring berdasarkan lokasi anatomis dibedakan atas karsinoma laring
supraglotis, glotis dan subglotis. Karsinoma laring glotis dan subglotis akan
menimbulkan gejala suara serak, sedangkan karsinoma laring supraglotis pada keadaan
awal tidak memberikan gangguan suara penderita.
Penatalaksanaan
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi
dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.

Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :
A. Laringektomi
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. Diseksi leher radikal
32

Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan
metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis,
subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar
limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
Radioterapi
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan
T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara
ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad.
Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,
Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh
kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan
pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad
selama 46 minggu diikuti dengan laringektomi total.

Kemoterapi
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun
paliativ.

Obat

yang

diberikan

adalah

cisplatinum

80120

mg/m2

dan 5 FU 8001000 mg/m2.


Rehabilitasi
Rehabilitasi setelah operasi sangat

penting karena telah diketahui bahwa

tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation.
Prognosa

33

Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan


kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma
laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium
IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year
survival rate sebesar 50%.

3.3.4 Limfoma Maligna


Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein-Barr virus yang ditemukan
pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok
penderita AIDS pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap
bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini
adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya
dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain. 4
Limfoma dibedakan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang
terlibat. Penggolongan tersebut terdiri dari Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin.
Walaupun tanda dan gejala limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai
limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma tetap berlainan.
Dengan demikian adalah suatu keharusan untuk menegakkan diagnosis secara tepat.
Untuk tujuan ini, diambil sebuah kelenjar limfe atau lebih

untuk diperiksa secara

mikroskopis. Limfoma dibedakan menurut jenis sel yang mencolok yang terdapat pada
kelenjar limfe. Umumnya, prognosis yang lebih baik dihubungkan dengan distribusi
nodular dimana terdapat limfosit yang menonjol. Untuk mengenali asal neoplastik baik
sebagai limfosit B ataupun sebagai limfosit T, dilakukan pemeriksaan imunologis dan
sitokimiawi. 4
Salah satu determinan utama dari pengobatan maupun prognosis adalah stadium
klinik penderita waktu diagnosis itu dibuat. Setelah diagnosis jaringan ditegakkan, harus
dilakukan penggolongan meurut stadiumnya. Ini biasanya berupa : 4

34

Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada system limfatik (kelenjar limfe, hati
dan limpa)

Hitung sel darah rutin, pemeriksaan diferensiasi dan hitung trombosit

Pemeriksaan kimiawi darah (fungsi ginjal dan hati; asam urat)

Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hillus (pembesaran


kelenjar limfe bronkial)

CT Scan dada, abdomen dan pelvis

Limfangiogram

bipedal

untuk

memeriksa

adanya

keterlibatan

kelenjar

retroperitoneal dan iliaka.


7

Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang


Biopsi sumsum tulang bilateral merupakan indikasi bagi penderita yang disertai

gejala sistemik atau pada stadium III. Pada keadaan dimana sumsum tulang tidak terlibat,
biasanya dilakukan laparatomi dengan splenektomi dan biopsi hati untuk mendapatkan
diagnosis akurat pada penderita penyakit Hodgkin. Tindakan ini tidak rutin dilakukan
pada penderita limfoma non-hodgkin.

Limfoma Non-Hodgkin
Limfoma non hodgkin merupakan salah satu jenis limfoma maligna atau keganasan
sel limfoid. Keganasan ini dapat berasal dari sel limfosit B, Limfosit T atau berasal dari
sel Natural Killer. Limfoma Non Hodgkin yang berasal dari Limfosit B adalah yang
paling sering (85 %) sedangkan yang berasal dari Limfosit T dan NK berjumlah 15 %.
Kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang imunologi dan fisiologi limfosit, seperti
membedakan limfosit dalam jenis sel B atau sel T memberikan klasifikasi yang lebih
pasti dari limfoma non Hodgkin. Secara garis besar berdasarkan gradenya Limfoma Non
Hodgkin dibedakan atas low-grade, intermediategrade dan high-grade. 4

35

Etiologi
a

Translokasi kromosom memegang peranan penting penyebab terjadinya limfoma


maligna.

Virus antara lain Epstein-Barr Virus (EBV), Human T-cell leukemia virus type 1
(HTLV-1), Hepatitis C virus (HCV) dan Kaposi sarcomaassociated herpesvirus
(KSHV).

Faktor lingkungan antara lain akibat zat kimia (pestisida, herbisida), kemoterapi dan
radiasi.

Inflamasi kronik seperti Sjgren syndrome dan Hashimoto thyroiditis

Infeksi Helycobacter pylori

Epidemiologi
Median umur penderita limfoma non hodgkin adalah usia > 50 tahun kecuali untuk
jenis Limfoma Non Hodgkin yang high-grade utamanya terjadi pada anak-anak dan usia
dewasa muda. Low-grade limfoma insidensnya dalam masyarakat sekitar 37 % dengan
usia diantara 35-64 tahun.

Gejala klinik
Berdasarkan gradenya manifestasi klinik yang timbul pada penderita Limfoma ini antara
lain sebagai berikut :

Low-grade lymphomas
o Limfadenopati difus tanpa rasa sakit dan dapat menyerang satu atau seluruh
kelenjar limfe perifer
o Regresi spontan kelenjar limfe yang membesar

36

o Gejala konstitusional berupa demam (>38C), penurunan berat badan,


berkeringat pada malam hari
o Apabila menginfiltrasi atau menginvasi sumsum tulang belakang akan
menyebabkan cytopenia.
o Lemah dan lesu

Intermediate-grade lymphomas & High-grade lymphomas


o Adenopathy
o Gejala konstitusional
o Lymphoblastic lymphoma, high-grade lymphoma, menunjukkan adanya
massa mediastinum anterior dan posterior
o Pasien dengan limfoma burkitt menunjukkan adanya massa abdomen yang
besar dan adanya gejala obstruksi dari saluran pencernaan
o Hidronefrosis obstruksi terjadi pada penderita limfoma burkitt akibat
obstruksi dari ureter
o Gejala-gejala lain pada saluran pencernaan, kulit, tulang, traktus urinarius,
tiroid dan susunan saraf pusat
o

Pemeriksaan tambahan
a. Fisik

Low-grade lymphomas
o Adenopathy perifeer
o Splenomegali
o Hepatomegali

37

Intermediate- and high-grade lymphomas


o Limphadenopathi
o Splenomegali
o Hepatomegali
o Massa abdomen yang besar.
o Massa testis
o Lesi pada kulit berupa lesi yang berhubungan dengan limfoma sel T kutaneus
(mycosis fungoides), anaplastic large cell lymphoma, dan angioimmunoblastic
lymphoma
o Foto dada menunjukkan massa mediastinum bulky, yang berhubungan dengan
primary mediastinal large B-cell lymphoma atau lymphoblastic lymphoma

b. Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan :


o Anemia akibat autoimun hemolysis, perdarahan dan akibat inflamasi kronik.
o Trombositopenia, leucopenia hingga pansitopenia akibat infiltrasi pada
sumsum tulang.
o Lymphositosis dan trombositosis

Peningkatan kadar Laktat Dehirogenase (LDH) dan gangguan fungsi


hati

Peningkatan beta 2-mikroglobulin

Penatalaksanaan
Terapi pada limfoma milignat non hodkin diberikan berdasarkan staging :
a. Stage Ia, Ib, IIa

: Radioterapi
38

b. Stage IIb dan seterusnya

: Kemoterapi

Karena pada Limfoma Non Hodkin dibagi atas tipe low grade dan high grade maka
terapinya juga berdasarkan grade tersebut.
Low Grade
Regimen CVP
- Cyclopospamid
- Vincristin
- Prednison
Fludarabin
Rituximad
High Grade
Regimen CHOP
- Cyclopospamid
- Doxorubicin
- Vincristin
- Prednison
Regimen CHOP + Rituximad
Transplantasi stem sel autolog
Prognosis
Faktor prognosis buruk :
Usia > 60 tahun
Kadar Laktik Dehidrogenase meningkat

39

Stage III/IV
Tampilan klinis atau performance status jelek
Untuk limfoma high grade prognosisnya tergantung respon terhadap kemoterapi

Limfoma Hodgkin
Definisi
Limfoma hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar getah
bening yang ditandai dengan adanya sel Reed Stenberg.
Etiologi
Penyebabnya belum diketahui, tetapi bukti menunjukkan adanya hubungan dengan
virus seperti virus Ebstein Barr. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan DNA
virus ebstein barr pada sel Reed Stenberg. Penyakit Hodgkin bia muncul pada berbagai
usia, jarang ditemukan pada usia dibawah 10 tahun, ditemukan pada usia 20-40 tahun,
dan diatas 60 tahun.
Gejala Klinis
Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran
kelenjar getah bening yang tidak nyeri, paling sering di leher,tapi kadang-kadang
penyebarannya sistemik. Walaupun biasanya tidak nyeri, pembesaran tersebut bisa
menimbulkan nyeri dalam beberapa jam setelah penderita meminum alkohol dalam
jumlah yang banyak.
Gejala lainnya adalah symtom B yaitu demam, keringat malam, dan penurunan berat
badan. Beberapa penderita mengalami demam Pel- Ebstein dimana suhu tubuh meninggi
selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama
beberapa hari atau beberapa minggu.
Stadium Limfoma Hodgkin

40

Stadium

Penebaran Penyakit

Mengenai kelenjar getah bening pada satu bagian tubuh

II

Mengenai dua atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang sama

III

Mengenai kelenjar getah bening diatas dan dibawah diafragma

IV

Mengenai kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya misalnya sum


sum tulang, paru paru, hati

Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) salah
satu atau lebih dari gejala berikut :
1

Demam dengan suhu 37,8 C

Keringat malam

Penurunan berat badan

Diagnosis
Pada penyakit hodgkin kelenjar getah bening membesar dan tidak menimbulkan
nyeri, tanpa adanya infeksi, jika pembesaran ini berlangsung lebih ari 1 minggu maka
dapat dicurigai penyakit Hodgkin, terutama jika demam, berkeringat malam dan disertai
penurunan berat badan.
Untuk mengetahui secara pasti penyakit Hodgkin dilakukan biopsi kelenjar getah
bening yang hasilnya positif jika ditemukan sel Reed Stenberg.

Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui stadium dari limfoma Hodgkindapat dilakukan pemeriksaan :
1 Rontgen dada
2 Limfangiogram
3 CT scann
41

4 Skenning galium
5 Laparatomi
Penatalaksanaan
Dua jenis pengobatan limfoma Hodgkin yang efektif adalah dengan radioterapi dan
kemoterapi. Terapi penyinaran menyembuhkan 90 % Hodgkin stadium I dan II.
Pengobatan dilakukan 4-5 minggu. Pengobatan ditujukan pada kelenjar getah bening
yang terkena dan sekitarnya. Untuk stadium III dengan gejala dilakukan radioterapi
sedangkan yang tanpa gejala dilakukan kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi. Pada
stadium IV dilakukan kombinasi dengan obat obat kemoterapi.

3.3.5

Kelainan Lain
Struma
Definisi
Struma atau Goiter atau gondok adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar tiroid
apapun sebabnya. Pembesaran dapat bersifat difus yang berarti bahwa seluruh kelenjar
tiroid membesar, atau nodusa yang berarti bahwa terdapat nodul dalam kelenjar tiroid.
Pembesaran nodusa dapat dibagi lagi menjadi uninodusa, bila hanya terdapat satu nodul
dan multinodular bila terdaapt lebih dari satu nodul pada satu obus atau dua lobus.

Penyakit Graves
Definisi
Penyakit Graves disebut juga penyakit Basedow jika dijumpai trias Basedow yaitu
adanya struma tiroid difus, hipertiroidisme dan eksoftalmus yang merupakan
hipertiroidisme yang sering dijumpai. Penyakit ini sering ditemui pada orang muda.
Secara klinis sering dijumpai adanya pembesaran kelenjar tiroid.
42

Walaupun etiloginya belum diketahui dengan pasti, tampaknya ada peranan suatu
antibodi yang dapat ditangkap oleh reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap
peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi
yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.
Etiologi dan Patogenesis
Goiter dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
-

Kekurangan yodium akibat autoregulasi kelenjar tiroid

Stimulasi oleh TSH karena rendahnya kadar hormon tiroksin dalam darah

Masuknya bahan goitrogenik yang terkandung dalam makanan, air, obat dan rokok
yang mengganggu masuknya yodium ke dalam sel folikuler kelenjar tiroid

Adanya kelenjar kongenital yang emnimbulkan gangguan sistem hormon tiroid

Terjadi kelebihan yodium, sehingga proses iodinasi dalam kelenjar tiroid menjadi
terhambat

Gambaran klinis
Gejala dan tanda dari penyakit ini merupakan manifestasi peningkatan metabolisme
di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan
metabolisme menyebabkan meningkatnya kebutuhan kalori sehingga berat badan
menurun drastis bila asupan kalori tidak tercukupi.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovascular terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain meningkatnya curah jantung sampai dua-tiga kali
normal, yang juga terjadi pada keadaaan istirahat. Irama nadi naik dan denyut nadi
bertambah sehingga menjadi pulsus seler, penderita akan mengalami takikardia dan
palpitasi. Beban miokard dan rangsangan saraf autono dapat mengacaukan irama
jantung, berupa ekstrasistol, fibrilasi atrium dan fibrilasi ventrikel.
Terjadi peningkatan sekresi maupun peristaltis saluran cerna sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.

43

Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, susah tidur, dan


sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran dan ketakutan tidak beralasan.
Pada saluran nafas, hipermetabolisme menimbulkan dispneu dan takipnea yang tidak
terlalu mengganggu. Kelemahan otot, terutama otot bagian proksimal, biasanya cukup
mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipacu oleh hipertiroidisme. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea
sekunder atau metroragia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor terhadap jaringan ikat dan otot ekstrabulbi di dalam rongga mata. Jaringan ikat
dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong keluar dan
otot mata terjepit. Akibatnya, terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola
mata akibat keratitis. Gangguan faal bola mata menyebabkan strabismus.
Penatalaksanaan
Terapi

penyakit

Graves

ditujukan

dalam

pengendalian

keadaan

tirotoksikosis/hipertiroidisme dengan anti tiroid, seperti propiltiourasil (PTU) atau


karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan antitiroid jangka panjang,
ablasio dengan yodium radioaktif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid pada
keadaan hipertiroidisme dilakukan terutama jika terapi medikamentosa gagal dan ukuran
tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai adanya hipotiroidisme dan kompliksai yang minimal.

Struma Nodosa
Definisi
Struma nodosa merupakan pembesaran kelenjar tiroid dimana terdapat nodul di
dalamnya. Struma nodosa ini biasanya merupakan struma endemik atau struma
adenomatosa yang terutama ditemukan di daerah pegunungan yang airnya kurang
mengandung yodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa dijumpai pada keluarga
44

tertentu. Etioogi umumnya multifaktor. Biasanya tiroid membesar pada usia muda.
Awalnya difus, dan berkembang menjadi multinodular.
Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita usia lanjut, dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan bagian yang
berinvolusi.

Pada

awalnya,

sebagian

struma

multinododsa

dapat

dihambat

pertumbuhannya dengan pemberian hormon tiroksin.


Biasanya, penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak
mengalami hipo- atau hipertiroidisme. Nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan
berkembang/berubah menjadi multinoduler tanpa perubahan fungsi. Degeneraasi
jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Karena pertumbuhan terjadi
secara perlahan, struma dapat membesar tanpa memberikan gejala selain adanya
benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama atas alasan kosmetik. Ebagian besar
penderita struma nodosa dapat hidup dengan struma tanpa keluhan.
Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
pertumbuhannya ke arah lateral atau anterior, sebagian lain dapat menekan trakea jika
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral dapat terlihat melalui foto roentgen polos
leher sabagai trakea pedang. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan trakea ke arah kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat obstruksi
pernafasan. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernafasan dengan
gejala stridor inspiratoar.
Secara umum, struma adenomatosa benigna, walaupun besar, tidak menyebabkan
gangguan neurologik, muskuloskeletak, vaskular, atau respirasi, atau menyebabkan
gangguan menelan akibat tekanan atau dorongan.
Gambaran klinis
Keluhan yang sering timbul ialah rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak
naik turun waktu menelan, dan alasan kosmetik. Jarang terjadi hipertiroidisme pada
struma adenomatosa. Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna.
Berbagai tanda keganasan yang dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk,
pertumbuhan (lebih cepat), dan tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar, serta
45

fiksasi dengan jaringan sekitar. Dapat terjadi penekanan atau infiltrasi ke nervus rekurens
(perubahan suara), trakea (dispnea), atau esofagus(disfagia). Adanya nodul tunggal
harus tetap mendapat perhatian karena dapat merupakan nodul koloid, kistik, adenoma
tiroid, dan atau suatu karsinoma tiroid. Nodul maligna sering ditemukan terutama pada
pria usia muda dan usia lanjut.
Struma dapat meluas sampai ke mediatinum anterior superior, terutama pada bentuk
nodulus yang disebut struma retrosternum. Umumnya struma retrosternum ini tidak turun
naik pada gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit. Sering kali, struma ini
berlangsung lama dan bersifat asimtomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau
struktur sekitar. Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau
esofagus. Diagnosis ditentukan dengan foto roentgen toraks atau pemeriksaan yodium
radioaktif.
Penatalaksanaan
Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh
pengobatan supresi hormon tiroid atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma
lama adalah dengan tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat.
Pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui insisi di leher dan tidak
mmerlukan torakotomi karena perdarahan berpangkal pada pembuuh darah leher. Jika
letaknya di dorsal arteri subklavia, pembedahan dilakukan dengan cara torakotomi.
Indikasi tindakan pembedahan struma nodosa non-toksik, sebagai berikut :
-

Kosmetik (tiroidektomi subtotal)

Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas)

Struma multinodular yang berat

Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain

Struma retrosternum yang menyebabkan kompresi trakea atau struktur lain

46

BAB IV
RINGKASAN

47

48

Pada umumnya, penatalaksanaan adanya benjolan di leher adalah pembedahan.


Namun, pembedahan dapat dilakukan jika memenuhi indikasi yang ada pada tiap
penyakit atau jenis dari benjolan. Tata laksana konseravtif dapat diberikan sebelum dan
atau sesudah pembedahan, tergantung macam dari pembedahan, begitu pula
prognosisnya.

49

Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N. Sistem aliran limfe leher dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;
2001. p. 137-42
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anamnesis dan Pemeriksaan Kepala dan Leher
dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 3,23
3. Luhulima, JW. Collum dalam Anatomi Head and Neck. Makassar: Fakultas
Kedokteran UH; 2002. p. 35-5, 42-3
4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Leher dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta:
EGC; 2011.

50

Anda mungkin juga menyukai