Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kelenjar tiroid ialah organ endokrin yang terletak di leher manusia. Fungsinya ialah
mengeluarkan hormon tiroid. Antara hormon yang terpenting ialah Thyroxine (T4) dan
Triiodothyronine (T3). Hormon- hormon ini mengawal metabolisma (pengeluaran tenaga)
manusia. Kerusakan atau kelainan pada kelenjar tiroid akan menyebabkan terganggunya
sekresi hormon-hormon tiroid (T3 dan T4), yang dimana dapat menyebabkan berbagai
macam penyakit dan kelainan bagi manusia. Kerusakan atau kelainan pada kelenjar tiroid
disebabkan oleh beberapa faktor. Untuk kasus hipotiroid, kelainan kelenjar tiroid
disebabkan oleh defisiensi yodium, sedangkan untuk kasus hipertiroid disebabkan oleh
adanya hiperplasia kelenjar tiroid sehingga sel-sel hiperplasia aktif mensekresikan
hormon tiroid, dan kadar hormon tiroid dalam darah meningkat.

Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang terbatas. Kelenjar endokrin


dapat menghasilkan hormon secara berlebihan, seperti pada penyakit graves, yaitu
hiperfungsi kelenjar tiroid atau menghasilkan terlalu sedikit hormon,misalnya pada
miksudem akibat hipofungsi kelenjar tersebut.

Kelainan glandula thyroidea dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau
perubahan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid noduler. Berdasarkan
patologinya, pembesaran tiroid umumnya di sebut Struma.

Di seluruh dunia, penyebab paling umum dari struma ialah defisiensi yodium.
Diperkirakan bahwa struma memengaruhi sebanyak 200 juta dari 800 juta orang yang
kekurangan yodium. Angka kejadian struma baik difusa maupun nodosa sangat
tergantung pada asupan yodium masyarakat. Pada area dengan defisiensi yodium,
prevalensi struma dapat sangat tinggi.

India merupakan negara dengan penderita kelainan tiroid paling banyak, yaitu
sekitar 42 juta orang. Kelainan kelenjar tiroid juga menjadi masalah kesehatan utama di
Nepal dengan prevalensi mendekati 30% dari populasi. Di pakistan, 8 juta orang
penduduk mengalami kelainan tiroid akibat kekurangan yodium.4 Kelainan tersebut juga
banyak terjadi di negara-negara seperti Bangladesh, Bhutan, Burma, Sri Lanka dan
Thailand. Di Amerika Serikat dengan jumlah penduduk lebih dari 275 juta, diperkirakan

1
sekitar 20 juta orang mengalami berbagai kelainan tiroid dan paling banyak terjadi pada
perempuan.

Di Asia Tengara, prevalensi kelainan tiroid paling tinggi terjadi di Indonesia sebanyak
17 juta orang. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) melaporkan sekitar 20%
pasien endokrin menderita gangguan tiroid. Kelainan tiroid yang paling umum terjadi
adalah gangguan fungsi dan gangguan anatomi yang meliputi struma nodosa, struma
diffusa, hipertiroidisme, hipotiroidisme dan eutiroid. Kelainan tiroid ini dapat dipengaruhi
oleh usia, jenis kelamin dan tempat tinggal.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus
pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara branchial pouch pertama dan
kedua. Pada masa embrional minggu ke 4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari penebalan
entodermal (divertikulum tiroid) yang kemudian membesar, jaringan endodermal ini turun ke
leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk 2 lobus,
yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini berada di ventral trakea setinggi
vertebra servical C5,C6,C7 serta vertebra torakal T1. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai
duktus tiroglossus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus
ini akan menghilang pada usia dewasa. Sisa ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering
mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan
yang masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara
kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan
mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan persisten
duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual atau tiroid servikal.
Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Branchial pouch
keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel
parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara fungsional
mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin dan pada minggu ini, filikel
tiroid pertama mulai terisi koloid.

2.2. Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terdiri atas lobus kanan dan kiri yang di hubungkan oleh isthmus
yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian ketiga yaitu lobus
piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah. Lobus ini merupakan
sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal. Setiap lobus tiroid berukuran panjang
2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat
badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. kelenjar
ini merupakan organ vaskuler yang di bungkus oleh selubung yang berasal dari lamina
pretrachealis fascia profunda.

3
Kelenjar tiroid berada di bagian anterior leher ,di sebelah ventral bagian caudal laring dan
bagian cranial trakea, terletak berhadapan dengan vertebra C5-C7 dan vertebra T1. Kedua
lobus bersama sama dengan isthmus memberi bentuk huruf U. Di tutupi oleh
m.sternohyoideus dan m. Sternothyroideus. Ujung cranial lonus mencapai linea obliqua
cartilaginis thyroideae, ujung inferior meluas sampai cincin trakea 5-6. Isthmus di fiksasi
pada trakea dan pada tepi cranial cartilago cricoida oleh penebalan facia pretrachealis yang di
sebut ligamen of berry. Fiksasi ini menyebabkan kelenjar tiroid ikut bergerak pada saat
proses menelan berlangsung.

Gambar 2.1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Batas batas lobus :


Anterolateral : kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid dan m.
sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih
superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang
membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna..
Posterolateral : berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna, trunkus
simpatikus dan arteri tiroidea inferior.
Medial : kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus. Esofagus terletak di
belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagikus.

4
Batas- batas isthmus :
Anterior : M. Sternothyroideus, M.sternohyoideus, v. Jugularis anterior, fascia dan
kulit.
Posterior : cincin trakea 2,3,4

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Tiroid

Vaskularisasi kelenjar thyroidea adalah a. Thyroidea superior, a. Thyroidea inferior,


dan kadang- kadang a. Thyroidea ima. Arteri- arteri ini saling beranastomosis dengan luas di
permukaan kelenjar. Berikut penjelasan mengenai masing masing arteri yang
memvaskularisasi kelenjar thyroidea :
A. Thyroidea superior : cabang dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna,
berjalan turun menuju kutub atas setiap lobus ,bersama dengan n.larigeus eksternus.
A. Thyroidea inferior : cabang dari truncus thyrocervicalis, berjalan ke atas di
belakang glandula sampai stinggi cartilago cricoidea. Kemudian membelok ke medial
dan bawah untuk mencapai pinggir posterior glandula . N. Laryngeus recurrens
melintasi di depan atau belakang arteri ini, atau di antara cabang-cabangnya.
A. Thyroidea ima : cabang dari a.brachiocephalica salah satu cabang arkus aorta.
Berjalan ke atas di depan trakea menuju isthmus.
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal tiroid
sebelum masuk ke laring.

Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan
system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan membentuk : 5
Vena Thyroidea superior : Bermuara di v. Jugularis interna
Vena Thyrodea medialis : Bermuara di v. Jugularis interna
Vena Thyroidea inferior : Menampung darah dari isthmus dan kutub bawah kelenjar v.
Thyroidea inferior dari kedua sisi beranastomosis satu dengan lainnya pada saat
mereka berjalan turun di depan trakea. Vena-vena ini bermuara ke dalam v.
Brachiocephalica sinistra di dalam rongga thorax.
Aliran imfe terdiri dari 2 jalinan :
Jalinan limfe intraglandularis
Jalinan limfe extraglandularis
Kedua jalinan ini akan mengeluarkan isinya ke limfonoduli pretracheal lalu menuju
ke kelenjar limfe yang dalam sekitar vena jugularis. Dari sekitar vena jugularis ini
diteruskan ke limfonoduli mediastinum superior. Hubungan pembuluh limfe ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid

2.3. Histologi Kelenjar Tiroid


Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:
1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu massa
koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner katika folikel lebih
aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).

2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang berjauhan.

Gambar 2.3. Histologi Kelenjar Tiroid


2.4. Fisiologi Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif
ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di

6
perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Yodida anorganik yang
diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya
menjadi 30-40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik
mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang
terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT).
Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan T3
atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke
sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi
untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein,
yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat
tiroksin (thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar
hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan
terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.
Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid merupakan
satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang
lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil
dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).

4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi


T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT
menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim
tiroperoksidase.
7
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat
oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel folikel.

6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah. Proses
ini dibantu oleh TSH.

7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana
tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan dalam proses ini.

8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks
golgi.

8
Gambar 2.4. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

2.5. Definisi Struma


Kelainan glandula thyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya,seperti penyakit thyroid noduler. Berdasarkan
patologinya, pembesaran thyroid umumnya di sebut struma. Pembesaran dapat bersifat difus,
yang berarti bahwa seluruh kelenjar thyroid membesar, atau nodusa yang berarti bahwa
terdapat nodul dalam kelenjar thyroid. Pembesaran nodusa dapat di bagi lagi menjadi
uninodusa, bila hanya terdapat 1 nodul dan multinodusa bila terdapat lebih dari satu nodul
pada satu lobus atau kedua lobus.
Di tinjau dari aspek fungsi kelenjar thyroid , yang fungsinya memproduksi hormon
tiroksin,maka dapat di bagi :
1. Hipertiroid
2. Eutiroid
3. Hipotiroid
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, di sebut struma non toksika.
Dari aspek histopatologi kelenjar thyroid ,maka timbulnya struma bisa di jumpai akibat
proses hiperplasia, keradangan,atau inflamasi,neoplasmajinak dan neoplasma ganas.
1. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar thyroid
a. Non toxic goiter : difus, Noduler
b. Toxic goiter : Difus ( Graves disease)/ Morbus basedow, Noduler ( Plummers
disease)
2. Inflamsi atau infeksi kelenjar thyroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis subakut ( De Quervain)
c. Tiroiditis kronis ( Hashimoto disease dan Struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak ( Adenoma)
b. Neoplasma ganas (Adenocarsinoma) : Papiliferum, Folikularis, Anaplastik.

Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar
tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. 9

10
Gambar 2.5. Struma

2.6. Epidemologi
Menurut peneliti Saudi Arabia, Kelainan tiroid yang sering terjadi adalah struma,
penyakit grave, tiroiditis hashimoto, dan neoplasma tiroid. Dua dari kelainan utama kelenjar
tiroid tersebut merupakan gangguan autoimun yaitu tiroiditis hashimoto dan penyakit grave.
Gangguan autoimun tiroid mengenai sekitar 2-4% populasi perempuan dan lebih dari 1%
populasi laki-laki di dunia, dengan jumlah tercatat terbanyak di negara Amerika Serikat dan
Jepang. Menurut kepustakaan barat, sekitar 50% orang dalam masyarakat memiliki nodul
yang sangat kecil, 15% dengan struma atau goitre, dan 3,5% dengan karsinoma papilar. Dari
kelainan tersebut, struma adalah kelainan yang paling sering ditemukan. Sekitar 102 juta
orang di dunia mengalami kelainan ini. Karsinoma tiroid merupakan keganasan dengan angka
mortalitas yang lebih tinggi. Angka kematian akibat kanker tiroid berkisar 0,6 per 100.000
penduduk pada laki-laki dan 1,2 per 100.000 penduduk pada perempuan.
Di Indonesia, data statistik mengenai kelainan tiroid masih sangat kurang.7
Berdasarkan hasil survei di seluruh Indonesia mengenai struma menunjukkan peningkatan
prevalensi Total Goitre Rate (TGR) dari 9,8% pada tahun 1998 menjadi sebesar 11,1% pada
tahun 2003. Angka TGR di Indonesia tersebut masih menjadi masalah kesehatan masyarakat,
karena WHO memberi batas maksimal 5%. Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi
Kanker Ikatan Dokter Ahli Patologi Indonesia (IAPI) tahun 1998 kanker tiroid menempati
urutan ke sembilan dari 10 kanker terbanyak.Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, kanker tiroid
menempati urutan ke enam terbanyak dari kanker lainnya. Angka kejadian kanker tiroid ini
cenderung meningkat dari 85 kasus kanker tiroid pada tahun 2010 menjadi 147 kasus pada
tahun 2013. Prevalensi kelainan tiroid dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Kelainan
kelenjar tiroid pada wanita terjadi 4 hingga 10 kali lebih sering dibandingkan dengan pria.

2.7. Klasifikasi Struma


Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek fisiologisnya,
klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi.

2.8.1.Berdasarkan Fisiologisnya

Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya
tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.

b. Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga


sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme
mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi.

Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok,
mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.

11

c. Hipertiroidisme

Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai

12
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.
Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang
kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar
tiroid menjadi besar.

Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat
berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala
jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare,
haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

2.8.2.Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :

a. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan
perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :

1. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus, seperti
yang ditemukan pada Graves disease.

2. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu
lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.

b. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :

1. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter.

2. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.

Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:


a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar
2.8. Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan
TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam
jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan
tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin
lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat
bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat
sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent),
proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang
didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-
obatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya
struma kolid dan struma non toksik (struma endemik)

2.9. Struma Difuse Toksik


2.9.1. Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit graves lazim
juga di sebut penyakit Basedow yang merupakan hipertiroid yang sering di jumpai. Trias
Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan eksoftalmus. Walaupun
etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi
yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan
hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh
kelenjar tiroid.

2.9.2. Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat. 13

14
2.9.3. Gambaran klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan metabolisme di
semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan
metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake)
kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis.

Gambar 2.6.Klinis Graves Disease

1. Gugup,mudah tersinggung
2. Eksoftalmus
3. Gondok
4. Palpitasi ,takikardi
5. Nafsu makan meningkat
6. Diare
7. Tremor ( jari tangan dan kaki)
8. Kelelahan otot
9. Oligomenore / amenore
10. Telapak tangan lembab dan panas
11. Berat badan menurun
12. Denyut nadi kadang tidak teratur karena fibrilasi
atrium,pulsus seler
13. Dipsnue
14. Berkeringat

Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk


peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac output
sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan
tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami
takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom dapat
mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi
ventrikel. Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.

Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit tidur,


sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan,
kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat menggangu.

Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang tidak
terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya cukup
mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit
yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.

Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia. Kelainan


mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor pada jaringan
15
ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi
hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi
eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak
otot akan menyebabkan strabismus.

2.9.4. Pemeriksaan penunjang

16
Terjadi peningkatan T3,T4 dan FT4, sedangkan TSH akan menurun,sekitar 65 %
terdeteksi TSH receptor antibody (TRAb) dan juga anti Tg atau antithyroperoxidase
meningkat tapi tidak spesifik. Sedangkan pada RAI pada grave disease uptake dari iodine
tinggi. Sedangkan MRI digunakan untuk melihat grave opthalmopathy apakah mempengaruhi
kekuatan otot extraocular. Ct scan dan USG juga dapat di gunakan.

2.9.5. Penatalaksanaan

Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/


hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun
kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

2.10. Struma Nodusa Toksik


2.10.1. Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang
disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda
sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi
toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga
Plummers disease.
2.10.2. Patofisiologi
Struma nodusa toksik mencerminkan suatu spektrum penyakit dari nodul soliter
hiperfungsi (adenoma toksik) dalam tiroid multinoduler di kelenjar dengan multiple area
yang hiperfungsi. Riwayat perjalanan struma multinoduler mengaitkan perkembangan nodul
seseorang, yang dapat terjadi hemoragik dan degenerasi, yang diikuti proses penyembuhan
dan fibrosis. Kalsifikasi dapat ditemukan pada area yang dulunya mengalami hemoragik.
Beberapa nodul dapat mengalami perubahan fungsi. Perubahan hiperaktivitas terjadi dari
perubahan mutasi somatic tirotropin atau reseptor TSH. Hipertiroid biasanya terjadi pada
nodul soliter yang besar diameternya lebih dari 2,5 cm.

2.10.3. Manifestasi klinis


Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan Plummers
disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah
saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang
hanya terjadi pada salah satu lobus.
2.10.4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tes fungsi tiroid
Pasien dengan struma nodular toksik akan didapatkan TSH yang rendah.
Free T4 akan meningkat atau dalam range referensi
Beberapa pasien memiliki T4 yang normal dengan peningkatan T3 terjadi pada 5-
46% pasien dengan nodul toksik.
Hipertiroid subkinik Beberapa pasien memiliki TSH rendah dengan T4 bebas dan total T3
yang normal.

2.10.5. Penatalaksanaan
Terapi yang di berikan pada plummers disease sama dengan pengobatan pada graves
disease yaitu menurunkan kadar thyroid dengan menggunakan substansi antitiroid seperti
propil tiourasil atau karbimazol ,lalu bisa menggunakan propanolol, ipodate sodium dan
terapi pembedahan jika terapi medikamentosa gagal.

2.11. Struma Difusa Non Toksik


2.11.1 Definisi

Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid
yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet dalam
harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi
anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian.
Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering
17
terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium
alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik

2.11.2 Patofisiologi

Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya


defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan

18
sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter
seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin
menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel
folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran ini dapat
menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut kebutuhan hormon
tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi iodin endemik,
pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah yang
dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level dan durasi
defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.

2.11.3 Gejala Klinis

Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar tiroid.


Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi mengalami
keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak dengan defek
biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.

2.12.4 Tatalaksana

Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama 4-6
bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off
dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka
pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

2.12. Struma Nodosa Non Toksik

2.12.1 Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba
nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada
tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini
sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang
mungkin ada.

2.12.2 Patofisiologi

SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang
yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis
hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.

2.12.3 Gejala Klinis

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya gejala
toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan
adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur - angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali
benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpakeluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan
karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai
jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya
terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher.
sewaktu menelan trakea naik untuk menutuo laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea. 19

2.12.4 Tatalaksana

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam teknik
operasinya antara lain :

20
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram

b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus

c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan


sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk mencegah
kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus.

2.13. Karsinoma Tiroid

2.13.1 Definisi

Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang
terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang memiliki 4
tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang menyebabkan
pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar.
Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan membatasi
kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup banyak hormon
tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
Kebanyakan karsinoma tiroid bermanifestasi sebagai struma mononoduler dan
multinoduler. Sekitar 25% nodul tunggal yang muncul merupakan karrsinoma tiroid. Oleh
karena itu jika menghadapi pasien dengan nodul tiroid tunggal, perlu di pertimbangkan faktor
resiko dan ciri keganasn lain. Untuk diagnosisi pasti di tegakkan dengan biopsi aspirasi jarum
(FNAB), kecuali pada karsinoma folikuler.
Tabel 2.1 . Klasifikasi TMN Karsinoma Tiroid

2.13.2 Klasifikasi karsinoma tiroid


1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis
paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda
dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab
keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau

22
sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui
limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25
% dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas
40 tahun. Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering
daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko
jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler. 21
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker
tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat,
mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang
yang hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya
kanker ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup
setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara
kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan
paling sering di atas 40 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering
ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya
mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.

2.13.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul


tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :

1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian
menjadi lunak.

2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul


ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus
merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar

4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama
yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.

7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus
karena desakan pembesaran nodul (Berrys Sign)

2.14. Tiroiditis

Radang tiroid dapat trjadi akut,subakut, atau menahun. Radang akut biasanya di
sebabkan oleh infeksi stapylococcus aureus. Tiroiditis bakterial akut ini sangat jarang di
temukan. Tiroiditis subakut ini juga jarang di temukan umumnya terjadi pada infeksi virus di
saluran nafas. Sedangkan tiroiditis menahun pada umumnya adalah penyakit autoimun yang
di sertai kebanyakan kadar antibodi terhadap hormon tiroid. Produk tiroid di dalam darah.

2.14.1 Tiroiditis Hashimoto

Tiroiditis kronik yang sering di jumpai, di dapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh


kelenjar tiroid yang menyebabkan destruksi progresif kelenjar yang dalam beberapa tahun
terjadu atrofi kelenjar dengan fibrosis. Ditemukan berbagai macam antibod antitiroid dalam
kadar tinggi di darah sebagai tanda reaksi autoimun.

Klinis didapat struma multinodusa dengan batas nodul tidak jelas, benjolan benjolan
yang terjadi biasanya pada pole bawah, tidak nyeri, tidak febris, berat badan turun. Pada
struma yang besar sering menimbulkan penekanan pada vena kava superior.
Diagnosa Hashimoto's disease dimulai dengan ditemukannya hipotiroid, pemeriksaan fungsi
tiroid ( TSH, T3, T4 ) didapatkan TSH normal, dan sedikit penurunan pada T3 dan T4. Pada
fase transient hipertiroid maka akan didapat peningkatan T3 dan T4, hal ini bisa dibedakan
dengan Grave's disease dengan melakukan pemeriksaan I131 uptake. Pada Grave's disease
akan didapat peningkatan uptake yang difus pada seluruh jaringan tiroid, sedangkan pada
Hashimoto's disease akan didapat gambaran yang normal .
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk Hashimoto's disease, biasanya dengan
memberikan hormon tiroksin ( Euthyrox; Thyrax) sebagai replesmen serta simtomatis
23
lainnya. Kadang diperlukan pembedahan yang sifatnya adalah untuk mengurangi jeratan atau

24
penekanan yang diakibatkan. Biopsi atau FNAB dilakukan untuk membedakan dengan proses
keganasan.

2.14.2. Riedel's struma ( Ligneous thyroiditis )


Sangat jarang, suatu proses peradangan pada tiroid. Usia yang mengalami berkisar
antara 30-60 tahun, wanita lebih sering dibanding pria. Etiologi terjadi fibrosis tidak jelas.
Sering dihubungkan sebagai kelanjutan dari tiroiditis subakut. Penderita sering mengeluh
adanya pembesaran yang cepat pada kelenjar tiroid disertai dengan gangguan pada trakea
atau esofagus. Konsistensinya mengeras seperti kayu, bentuk irreguler, tanpa rasa nyeri,
sering rancu dengan karsinoma tiroid. Pada pemeriksaan laboratorium hampir tidak didapat
kelainan, hanya saja bila sudah fase akhir akan di dapat hipotiroid. Diagnosa yang diandalkan
hanyalah biopsi. Kelainan patologi yang didapatkan adanya fibrosis yang menyeluruh pada
kelenjar tiroid dan padat. Pengobatan ditujukan pada suplemen hormonal bila dalam kondisi
hipotiroid, pembedahan diindikasikan atas adanya penekanan pada trakea atau esofagus.
Fibrosis yang terjadi dapat melibatkan struktur sekitarnya antara lain a. karotis, n. rekuren
laringeus.

2.14.3.Tiroiditis De Quervain

Merupakan inflamasi akut yang mengenai seluruh kelenjar tiroid, yang mungkin di
sebabkan oleh sel limfosit dan histiosit ,jarang di temukan. Gambaran klinis berupa
pembesaran tiroid sedang atau ringan yang sangat nyeri,di sertai gjala dan tanda
sistemik,yang di mana penyakit ini biasanya mereda setelah beberapa minggu tetapi sering
kambuh kembali. Awalanya eutiroidisme tetapi pada tahap akut mungkin terjadi
hipertiroidisme. Pengobatan dengan sediaan salisilat untuk menghilangkan nyeri. Pada
stadium akut dapat di berikan kortikosteroid.

2.15. Langkah Langkah Menegakkan Diagnosis Struma


2.15.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan di
leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika
pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah
pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan,
gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-
gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien
dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik.
Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi
dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.

2.15.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.

Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta
untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan,
sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar
getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :

Lokasi:lobus kanan, lobos kiri, ismus.


Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang.
Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa).
Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras.
Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi.
Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea.
Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak.

25
2.15.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid


terbagi atas :

26
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar T3
dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan
ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa
adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7
ng/dl. Kadar T3 dan TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer
di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali
normal.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap
macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan penyakit
tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone
antibody (TSA).

c. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau


pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa
diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan antara
lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak menangkap
iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid, mengukur volume dari nodul tiroid,
mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak, untuk mengetahui lokasi
dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi terarah, dapat dipakai sebagai
pengamatan lanjut hasil pengobatan.
Scanning Tiroid, dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake
normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk,
yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan dengan
daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi pada
neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan
sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir
adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih dan
jarang pada neoplasma.
d. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan
sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.

e. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan
untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan.
Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi
anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan
histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.16. Pencegahan

2.16.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :

a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku


makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium.

b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut.


c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan.
d. Iodinasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida
diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang
mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui
yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis
pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun
27
sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk
anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

28
2.16.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,


mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit yang
dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

A. Diagnosis
1. Inspeksi

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksan yang berada di depan penderita yang berada pada
posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.

2. Palpasi

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam
posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan
ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

3. Tes Fungsi Hormon

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum
diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam
sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay
radioimunometrik.

Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi
pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien
peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien
yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk
mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.

4. Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat
trakea (jalan nafas).

5. Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar
TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang
mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis
dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.

6. Sidikan (Scan) tiroid

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m


dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di
bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan
radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian
tiroid.

7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian
pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat.
Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif
palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

2.16.3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental fisik dan sosial penderita
setelah proses penyakitnya di hentikan. Upaya yang dapat di lakukan adalah sebagai berikut :

1. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur / berkalan untuk memastikan dan


mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran
2. Menekan munculnya komplikasi dan kecatatan
3. Melakukan rehabilitasi
4. Membuat penderita lebih percaya diri , fisik segar dan bugar serta keluarga dan
mayarakat dapat menerima kehadirannya melalui fisioterapi yaitu dengan rehabiliasifisik
,psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan, sosialterapi yaitu dengan rehabilitasi
29
sosial .
B. Penatalaksanaan Medis

30
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :

1. Operasi/Pembedahan

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan


dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau
mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid.
Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis
parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi
hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini
disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.

Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan


tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian
diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi
hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma
dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.

Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong operasi besar.
Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya serta ada tidaknya
penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung jaringan
patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi lobus
tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang mengandung
jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis berikut
sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya extended:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND

Indikasi operasi pada struma adalah :

1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa


2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik

Kontraindikasi pada operasi struma :

1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya


2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum
terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan
jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan
sering hasilnya tidak radikal.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul


tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek
maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.

31
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna
yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi atau
lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi tersebut jinak maka operasi
selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang
terjadi.

Komplikasi pembedahan tiroid

Komplikasi awal antara lain :

32
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior

b. Dispneu

c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi


kelemahan

d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi lenih


lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi pemendekan
pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid. Kemungkinan nervus
terligasi saat operasi.
e. Trakeomalasia
f. Infeksi
g. Tetani hipokalsemia
h. Krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. Keloid;
b. Hipotiroiditi;
c. Hipertiroiditi yang kambuh

BAB 3
KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting
untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui
ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid
dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.
Untuk mendiagnosis penderita struma perlu kita deskripsikan struma tersebut apakah
nodul atau diffus. Selain itu juga kita harus mengetahui melalaui anamnesis dan pemeriksaan
fisik apakah penderita mengalami hipertiroid atau tidak ( toksik atau non toksik),bisa juga
melalui pemeriksaan penunjang. Untuk struma nodul unilateral perlu di curigai sebagai
keganasan. Dengan melalui anamnesis , pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang kita dapat
menentukan diagnosis pasti struma dan menentukan tatalaksana yang tepat bagi pasien.
Apakah memerlukan tindakan pembedahan atau cukup diberi pengobatan dalam jangka
waktu tertentu.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Lal Geeta, Clark OH. Thyroid, parathyroid and adrenal gland : Schwartz
Principles of Surgery, 10th edition, Mcgraw-Hilll Education, 2015 : 1521-1556.
2. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Infodatin situasi dan analisis
gangguan tiroid. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015. h. 1.
3. Bose A, Sharma N, Hemvani N, Chitnis DS. A hospital based prevalence study on
thyroid disorders in Malwa region of Central India. Int J Curr Microbiol App Sci.
2015;4:604-11.
4. Aryal M, Gyawali P, Rajbhandari N, Aryal P, Pandeya DR. A prevalence of
thyroid dysfunction in Kathmandu University Hospital, Nepal. Biomedical
Research. 2010;21: 411-15

34
5. Vecchia CL, Malvezzi M, Bosetti C, Garavello W, Bertuccio P, Levi F, dkk.
Thyroid Cancer Mortality and Incidence: A Global Overview. Int J Cancer.
2014;136:2187-95
6. Mutalazimah, Mulyono B, Murti B, Azwar S. Karakteristik demografi pada wanita
usia subur dengan gangguan fungsi tiroid. Jurnal Kesehatan. 2013;6:123-33.
7. Oktahermoniza, Harahap WA, Tofrizal, Rasyid R. Analisis ketahanan hidup lima
tahun kanker tiroid yang dikelola di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013;2:151-7.
8. Achmad D, Sebastian J, Hernowo BS, Rizki KA. Ekspresi Protein B-RAF Mutan
pada Karsinoma Tiroid Papilifer yang Bermetastasis ke Kelenjar Getah Bening
Regional. MKB. 2013;45:245-50.
9. Handayani SHS, Purnami SW. Pendekatan Metode Classification and Regression
Tree untuk Diagnosis Keganasan Kanker pada Pasien Kanker Tiroid. Jurnal Sains
dan Seni Pomits. 2014;3:24-29.
10. Murtedjo U, Iyad HA, Manoppo AE, Manuaba TJ. Sistem Endokrin. Dalam:
Sjamsuhidajat R, Karnadiharja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editor.

Anda mungkin juga menyukai