Anda di halaman 1dari 26

REFLEKSI KASUS

TUMOR COLLI

Oleh :

Ahmad Fikry Iqbal

N 111 21 076

PEMBIMBING KLINIK

dr. Maynard Andrew Maramis, Sp. B

DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU
2023

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang bersangkutan
sebagai berikut :

Nama : Ahmad Fikry Iqbal

No. Stambuk : N 111 21 047

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Program Pendidikan Profesi Dokter Universitas Tadulako

Judul : Tumor Colli

SMF/Bagian : Ilmu Bedah

Telah menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Bedah

Palu, Juli 2023

Pembimbing Dokter Muda

dr. Maynard Andrew Maramis, Sp.B Ahmad Fikry Iqbal


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Leher merupakan bagian tubuh yang terbuka dan karena itulah pembengkakan pada
daerah ini mudah dikenali oleh penderita atau dideteksi selama pemeriksaan rutin. Untuk
tujuan deskriptif, leher dibagi menjadi dua bagian oleh garis tengah vertikal, dan setiap sisi
dibagi menjadi segitiga anterior dan posterior oleh otot sternokleidomastoideus. Sebagian
besar massa yang tampak seperti tonjolan terjadi pada segitiga servikal anterior. Beberapa
kelainan, seperti kista celah brankial, kista duktus tiroglosus, atau celah palatum, sering
terjadi(1).

Benjolan di leher dapat sebagai kelainan primer maupun sebagai manifestasi penyakit


lain yang dapat mengenai kelenjar leher (limfadenopati) atau jaringan lain. Lebih dari 75
buah kelenjar terdapat di kanan kiri leher dan masing-masing memiliki aliran tertentu di
daerah leher dan kepala seperti rongga mulut, lidah, tonsil, nasofaring, hidung, telinga, laring,
maupun dari daerah leher sendiri seperti tiroid dan kelenjar liur mayor maupun minor.
Kelainan lain kemungkinan suatu kelainan bawaan seperti limfangioma (higroma kistik),
kista dermoid, sisa duktus tiroglosus, kista branchial, karsinoma bronkogenik dan
laringokel(1).

Massa leher yang bersifat metastatis cenderung asimtomatik yang membesar perlahan-
lahan. Tumor pada colli (leher) bisa berupa tumor jinak atau tumor ganas, tumor jinak bisa
berupa kista, hemangioma dan tumor ganas bisa berupa limfoma non hodgkin. Tumor coli
adalah setiap massa yang didapat baik dari kongenital maupun yang timbul di segitiga
anterior atau posterior leher antara klavikula pada bagian inferior dan mandibula serta dasar
tengkorak pada bagian superior (2).

Tumor colli adalah setiap massa baik congenital maupun timbul di segitiga anterior atau
posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibulae serta dasar tengkorak
pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari tiroid 40% benjolan
pada leher disebabkan oleh keganasan, 10% berasal dari peradangan atau kelainan
congenital(1).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Colli

Leher adalah bagian tubuh yang terletak diantara inferior mandibula dan linea nuchae
superior (diatas), dan incsura jugularis dan tepi superior clavicula (di bawah). Jaringan leher
dibungkus oleh 3 fasia, fasia colli superfisialis membungkus m.sternokleidomastoideus dan
berlanjut ke garis tengah di leher untuk bertemu dengan fasia sisi lain. Fasia colli media
membungkus otot pretrakeal dan bertemu pula dengan fasia sisi lain di garis tengah yang juga
merupakan pertemuan dengan fasia colli superfisialis. Ke dorsal fasia colli media
membungkus a.carotis communis, v.jugularis interna dan n.vagus menjadi satu. Fasia colli
profunda membungkus m.prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fasia colli lateral (4).

Pembuluh darah arteri pada leher antara lain a.carotis communis (dilindungi oleh vagina
carotica bersama dengan v.jugularis interna dan n.vagus, setinggi cornu superior cartilago
thyroidea bercabang menjadi a.carotis interna dan a.carotis externa), a.subclavia (bercabang
menjadi a.vertebralis dan a.mammaria interna) (4).

Pembuluh darah vena antara lain v.jugularis externa dan v.jugularis interna. Vasa
lymphatica meliputi nnll.cervicalis superficialis (berjalan sepanjang v.jugularis externa) dan
nnll.cervicalis profundi (berjalan sepanjang v.jugularis interna). Inervasi oleh plexus
cervicalis, n.facialis, n.glossopharyngeus, dan n.vagus (4).

Sistem aliran limfe leher penting untuk dipelajari karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe leher.
Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfe rangkaian
jugularis interna yang terbentang antara klavicula sampai dasar tengkorak, dimana rangkaian
ini terbagi menjadi kelompok superior, media dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang
lain adalah submental, submandibula, servicalis superficial, retrofaring, paratrakeal, spinalis
asesorius, skalenus anterior dan supraclavicular (4).

Daerah kelenjar limfe leher, menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification dibagi dalam 5 daerah penyebaran kelompok kelenjar yaitu daerah:
 Kelenjar yang terletak di segitiga submental dan submandibula
 Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfe jugular  superior, kelenjar
digastik dan kelenjar servikal posterior superior
 Kelenjar limfe jugularis diantara bifurkasio karotis dan persilangan m.omohioid dengan
m.sternokleidomastoid dan batas posterior m.sternokleidomastoid.
 Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraclavicula
 Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal (4).

2. Patofisiologi

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti
trauma, infeksi, hormon, neoplasma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan
caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu ditekankan adalah
tidak selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher.
Tidak jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sistemik seperti limpoma dan TBC (3).

Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu
kelenjar tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur
jaringan lain seperti lemak, otot dan tulang. Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan
pada leher melalui beberapa cara yang di antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi
bakteri langsung pada jaringan yang terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul
sebagai efek dari kerja imunitas tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar
getah bening. Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai
mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya
tidak menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening (5).

Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius
sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama
eritrisot agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan
pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak
menyebar ke organ tubuh lain (5).

Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi
sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti
peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini
berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan
pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar
tiroid-adenoma tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun
akibat dari metastase kanker dari organ di luar leher (6).

3. Tumor Colli

Tumor Colli adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di
segitiga anterior atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula
serta dasar tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari
tiroid, 40% benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10 % berasal dari peradangan
atau kelainan kongenital. Pembengkakan pada leher dapat dibagi kedalam 3 golongan:

 Kelainan kongenital: kista dan fistel leher lateral dan median, seperti hygroma colli
cysticum, kista dermoid
 Inflamasi atau peradangan: limfadenitis sekunder karena inflamasi banal (acne faciei,
kelainan gigi dan tonsilitis) atau proses infamasi yang lebih spesifik (tuberculosis,
tuberculosis atipik, penyakit garukan kuku, actinomikosis, toksoplasmosis). Disamping
itu di leher dijumpai perbesaran kelenjar limfe pada penyakit infeksi umum seperti rubella
dan mononukleosis infeksiosa.
 Neoplasma: Lipoma, limfangioma, hemangioma dan paraganglioma caroticum yang
jarang terdapat (terutama carotid body; tumor glomus caroticum) yang berasal dari
paraganglion caroticum yang terletak di bifurcatio carotis,merupakan tumor benigna.
Selanjutnya tumor benigna dari kutub bawah glandula parotidea, glandula
submandibularis dan kelenjar tiroid. Tumor maligna dapat terjadi primer di dalam
kelenjar limfe (limfoma maligna), glandula parotidea, glandula submandibularis, glandula
tiroidea atau lebih jarang timbul dari pembuluh darah, saraf, otot, jaringan ikat, lemak dan
tulang. Tumor maligna sekunder di leher pada umumnya adalah metastasis kelenjar limfe
suatu tumor epitelial primer disuatu tempat didaerah kepala dan leher. Jika metastasis
kelenjar leher hanya terdapat didaerah supraclavikula kemungkinan lebuh besar bahwa
tumor primernya terdapat ditempat lain di dalam tubuh (1).

Ada dua kelompok pembengkakan di leher yaitu di lateral maupun di midline/line mediana:

Benjolan di lateral Benjolan di Linea mediana


a. Aneurisma subclavia a. Lipoma
b. Iga servikal b. Kista sebasea
c. Tumor badan karotis c. Limfonodi submental-inflamasi, karsinoma
d. Tumor clavikularis sekunder, retikulosis
e. Neurofibroma d. Pembesaran kelenjar thyroid-diffuse,
f. Hygroma kistik multinodular, nodular soliter
g. Limfonodi-inflamasi, karsinoma sekunder, e. Kista thyroglossus
retikulosis f. Dermoid sublingual
h. Kista branchiogenik g. Bursa subhyoid
i. Tumor otot
j. Tumor strnomastoideus
k. Kantung faringeal
l. Kelenjar ludah-inflamasi, tunor. Sindroma
sjorgen
m. Lipoma subcutan, dan subfascia
n. Kista sebasea
o. Laringokel

Pembengkakan pada tiroid dapat berupa kista, struma maupun neoplasma.


Pembengkakan akibat neoplasma misalnya Ca.metastasis, limfoma primer, tumor kelenjar
saliva, tumor sternomastoid, tumor badan carotis. Pembengkakan akibat peradangan meliputi
adenopati infektif akut, abses leher, parotitis. Sedangkan kelainan kongenital meliputi
hygroma kistik, kista ductus tiroglosus, kista dermoid, dan tortikolis. Kelainan vascular
meliputi aneurisma subclavia maupun ektasi subclavia (3).

Pada anak-anak, banyak disebabkan karena kelainan kongenital dan peradangan


meliputi hygroma kistik, kista dermoid, tortikolis, kista brankial, limfadenitis, adenitis
virus/bakteri, neoplasma maligna jarang pada anak (misalnya Limfoma). Pada dewasa muda
banyak disebabkan oleh karena adanya peradangan dan keganasan tiroid misalnya
adenitis/limfadenitis virus/bakteri, limfadenopati dan kanker tiroid. Pada usia diatas 40 tahun,
dianggap sebagai suatu keganasan meliputi limfadenopati metastatik, limfadenopati primer,
neoplasma primer tiroid (5).

Jenis Tumor

 Hygroma kistik (limfangioma)

Higroma merupakan Moist Tumor dan anomaly dari system limpatik yang ditandai dari
single atau multiple kista pada soft tissue. Kebanyakan (sekitar 75 %) higroma kistik terdapat
di daerah leher. Kelainan ini antara lain juga dapat ditemukan di aksila, mediastinum dan
region inguinalis.Higroma kistik merupakan benjolan yang berisi cairan yang jernih atau
keruh seperti cairan limfe yang diakibatkan oleh blok atau hambatan pada system limpatik (3).

System limpatik merupakan jaringan pembuluh yang menyuplai cairan ke dalam


pembuluh darah sebagai transport asam-asam lemak dan sel-sel system immune.Higroma
kistik dapat merupakan kelainan congenital yang dibawa saat lahir ataupun yang terjadi
pada masa neonatus. Higroma kistik pada bayi dapat berlanjut ke keadaan hydrops
(peningkatan jumlah cairan di dalam tubuh) yang kadang-kadang dapat menyebabkan
kematian dan dapat menjadi sangat besar di bandingkan dengan badan bayi/anak (3).

 Hemangioma

Hemangioma adalah suatu tumor jaringan lunak / tumor vaskuler jinak akibat proliferasi
(pertumbuhan yang berlebih) dari pembuluh darah yang tidak normal dan dapat terjadi pada
setiap jaringan pembuluh darah. Hemangioma muncul di setiap tempat seperti kepala, leher,
muka, kaki atau dada. Seringkali, hemangioma bisa berada di superfisial dan di dalam kulit.
Hemangioma memiliki diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Jarang
sekali hemangioma menunjukkan pertumbuhan tumor pada saat lahir. Walaupun perjalanan
penyakit dari hemangioma sudah diketahui, sangat sulit untuk memprediksi durasi dari
pertumbuhan dan fase involusi untuk setiap individu. Superfisial hemangioma biasanya
mencapai ukuran yang maksimal sekitar 6-8 bulan, tapi hemangioma yang lebih dalam
mungkin berproliferasi untuk 12-14 bulan.olid, tapi sekitar 20% mempunyai pengaruh pada
bayi dengan lesi yang multipel, Gambaran klinis umum ialah adanya bercak merah yang
timbul sejak lahir atau beberapa saat setelah lahir, pertumbuhannya relatif cepat dalam
beberapa minggu atau beberapa bulan; warnanya merah terang bila jenis strawberry atau biru
bila jenis kavernosa. Bila besar maksimum sudah tercapai, biasanya pada umur 9-12 bulan,
warnanya menjadi merah gelap.

 Cold abses

Abses yang umumnya berhubungan dengan tuberculosis. Perkembangannya sangat


lambat dimana terjadi inflamasi ringan, dan berubah menjadi nyeri hanya ketika terjadi
tekanan pada daerah sekitar. Tipe abses ini mungkin dapat muncul dimanapun bagian tubuh
tetapi terutama ditemukan pada tulang belakang, panggul, nodus limfatik, atau daerah genital.
Pada gambaran radiology mungkin memberikan gambaran adanya erosi tulang lokal pada
abses atau adanya perluasan kompresi pada organ. Alat sinogram akan d perluasan abses
didemonstrasikan pada abses. Ultrasonografi sangat berguna untuk menunjukkan adanya
pembesaran musculus psoas ditunjukkkann dengan gambaran hypoechogenic, tapi ini bukan
hasil yang akurat dibandingkan hasil yang ditunjukkan oleh CT-scan, sementara itu MRI
dapat, menunjukkan proses multiple lebih lanjut dan dapat di evaluasi (8).

Meskipun abses primer pada psoas jarang dijumpai pada anak-anak di Negara
berkembang akan tetapi tidak jarang kita menemukan di Negara tropic dan subtropik dengna
kondisi social-ekonomi yang lemah. Staphylococcus aureus adalah jenis bakteri di
lingkungan yang sering menimbulkan adanya infeksi. Dimana pada anak-anak dijumpai
keluhan pireksia, nyeri pada region flank serta keluhan lain pada panggul. Abses pada psoas
dapat joga merupakan masalah sekunder yang berhubungan dengan spondylitis tuberculosa
atau berhubungan dengan penyakit infeksi pada usus. Sedangkan abses primer biasa
ditemukan pada pasien dengan penyakit sickle cell, drug user, immunocompromised
individuals dan penyandang HIV positif (8).

 Kista brankial (Kista Bronkhiogenik)

Kelainan brankiogen dapat berupa fistel, kista dan tulang rawan ektopik. Arkus
brankialis ke-3 membentuk os.hioid, sedangkan arkus brankialis ke-4 membentuk skelet
laring yaitu rawan tiroid , krikoid, dan aritenoid. Fistel kranial dari tulang hioid yang
berhubungan dengan meatus akutikus eksternus berasal dari celah brankialis pertama. Fistel
anatara fosa tonsilaris ke pinggir depan m.sternokleidomastoideus berasal dari celah
brankialis kedua. Fistel yang masuk ke sinus pirifomis berasal dari celah brankialis ketiga.
Sinus dari celah brankialis keempat tiak pernah ditemukan. Sinus atau fistel mungkin berupa
saluran yang lengkap tau mungkin menutup sebagian.

Fistel brankial sisa celah brankialis ke-2 akan terdapat tepat di depan
m.sternokleidomastoideus. Bila penutupan terjadi sebagian, sisanya dapat membentuk kista
yang terletak agak tinggi di bawah sudut rahang. Bila terbuka ke kulit akan menjadi fiatel.
Pada anamnesa diketahui bahwa kista merupakan benjolan sejak lahir. Fistel terletak di depan
m.sternokleidomastoid dan mengeluarkan cairan. Fistel yang buntu akan membengkak dan
merah, atau merupakan lekukan kecil yang dapat ditemukan unilateral atau bilateral. Pada
palpasi, sebelah kranial dari fistel teraba sebagai jaringan fibrotik bila leher ditegangkan
dengan cara menarik ke kaudal. Jaringan ini menuju ke kraniodorsal sepanjang tepi depan
m.stenokleidomastoid. Fistulografi mungkin memperlihatkan masuknya bahan kontras ke
faring. Kista dapat langsung diekstirpasi, Fistel diisi bahan warna, kemudian dapat disi bahan
pewarna (9).

 Karsinoma Tiroid

Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada
paparan dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka sel
normal tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui beberapa
tahap, yakni Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum menimbulkan
ekspresi gen, sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari gen gen meningkat
Namun belum menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada proses promosi dimana
pada tahap ini terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat serupa dengan bahan pada
saat tahap inisisai Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini terjadi ekspresi gen dimana sel
sel telah menjadi sel abnormal Namun pada tahap ini sel sel tersebut bersifat reversible
dengan kata lain apabila pada tahap ini kita dapat mengobati dengan komplit maka sel
tersebut dapat kembali menjadi sel normal kembali Namun apabila tidak komplit maka dapat
menjadi sel kanker, dan selanjutnya pada tahap progresi maka terjadi perubahan serta
perbanyakan sel secara cepat dan tidak terkendali lagi dan perubahan dari sel normal menjadi
sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa disini terjadi perubahan dari protoonkogen
menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari supresor sehingga tidak ada lagi penghambat
bagi sel tersebut untuk terus memperbanyak diri, maka jadilah sel normal tersebut menjadi sel
ganas (7).

Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat
lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :

1. Adenokarsinoma Papiller

Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang khas
untuk tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan. Ultrasonografi dapat dilakukan
untuk membedakan nodul kistik atau padat dan menentukan volume tumor. Pemeriksaan
Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan tekanan pada trakea serta kalsifikasi didalam
jaringan tiroid. Foto thorax dibuat untuk melihat kemungkinan penyebaran kemediastinum
bagaian atas atau keparu. Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131.
Berdasarkan banyaknya yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu
nodul yang menangkap yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak
menangkat sama sekali. Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak dengan
kelenjar normal, dan nodul panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak. Karsinoma
papiller biasanya kurang menangkap yodium atau sama sekali tidak menagkap. Biopsi insisi
dianjurkan pada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi aspirasi jarum halus dapat
dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada kejelian ahli patologi atau sitologi (10).

2. Adenokarsinpoma Meduler

Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar kalsitonin


dalam darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium (10).

3. Adenokarsinoma Anaplstik

Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian
membesar dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma
Anaplastik. Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh
dilakukan untuk mencari metastasis keorgan tersebut (10).

Karsinoma tiroid :

Adenokarsinoma Papiller
Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil
pemeriksaan patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan
berikutnya menjadi tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul tunggal
adalah ganas, dan juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin merupakan bagian
struma multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak, pria (semua umur), dan
wanit dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal pada golongan tersebut harus
dianggap suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi. Pada pemeriksaan histopatologi,
sekitar 10% menunjukkan keganasan dan biasanya jenis adenokarsinoma papiller (10).

Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi
penyebaran melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi
total dan diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama. Diseksi leher merupakan pengeluaran
semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada penyusupan struktur diluar kelenjar getah bening,
diseksi dapat dibatasi pada kelenjar getah bening saja, artinya m. Sternocleidomastyoideus, n.
Accesorius dan v. Jugularis interna tidak turut diangkat./ Bedah diseksi leher yang
dimodifikasi ini menguntungkan, karena pengangkatan m. Sternocleidomastoideus dan atrofi
m trapezius mengakibatkan gangguan kosmetik yang mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius
disebabkan karena putusnya n. Accesorius pada pengeluaran m sternocleidomastoideus (3).

Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens)


dan hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk mencegah
cedera. Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller
pada umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat
ditangkap oleh sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan itu
yodium radioaktif bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat fasilitas
radiasi intern. Metastasis ditanggulangi secara ablasio radioaktif (5).

 Adenokarsinoma Folikuler

Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel


karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila
masih tersisa ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif ini.
Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik (10).

 Adenokarsinima Meduler
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak
memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini
berasal dari sel C sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium (10).
 Adenokarsinoma Anaplastik
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat
dilakukan biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang
bisa diberikan adalah radiasi ekstern (10).
 Limfoma Maligna

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak


diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein-Barr virus yang ditemukan pada
limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok penderita
AIDS pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit
ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan
limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran
ke sumsum tulang dan jaringan lain (2).

Limfoma dibedakan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang
terlibat. Penggolongan tersebut terdiri dari Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin. Walaupun
tanda dan gejala limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma
saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma tetap berlainan. Dengan
demikian adalah suatu keharusan untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Untuk tujuan ini,
diambil sebuah kelenjar limfe atau lebih untuk diperiksa secara mikroskopis. Limfoma
dibedakan menurut jenis sel yang mencolok yang terdapat pada kelenjar limfe. Umumnya,
prognosis yang lebih baik dihubungkan dengan distribusi nodular dimana terdapat limfosit
yang menonjol. Untuk mengenali asal neoplastik baik sebagai limfosit B ataupun sebagai
limfosit T, dilakukan pemeriksaan imunologis dan sitokimiawi (7).

 Limfoma Non-Hodgkin

Limfoma non hodgkin merupakan salah satu jenis limfoma maligna atau keganasan
sel limfoid. Keganasan ini dapat berasal dari sel limfosit B, Limfosit T atau berasal dari sel
Natural Killer. Limfoma Non Hodgkin yang berasal dari Limfosit B adalah yang paling
sering (85 %) sedangkan yang berasal dari Limfosit T dan NK berjumlah 15 %. Kemajuan
ilmu pengetahuan dalam bidang imunologi dan fisiologi limfosit, seperti membedakan
limfosit dalam jenis sel B atau sel T memberikan klasifikasi yang lebih pasti dari limfoma
non Hodgkin. Secara garis besar berdasarkan gradenya Limfoma Non Hodgkin dibedakan
atas low-grade, intermediate–grade dan high-grade (1).

 Limfoma Hodgkin

Limfoma hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar getah
bening yang ditandai dengan adanya sel Ree Stenberg. Penyebabnya belum diketahui, tetapi
bukti menunjukkan adanya hubungan dengan virus seperti virus Ebstein Barr. Pada
pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan DNA virus ebstein barr pada sel Reed Stenberg.
Penyakit Hodgkin bia muncul pada berbagai usia, jarang ditemukan pada usia dibawah 10
tahun, ditemukan pada usia 20-40 tahun, dan diatas 60 tahun. Penyakit Hodgkin biasanya
ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri,
paling sering di leher,tapi kadang-kadang penyebarannya sistemik. Walaupun biasanya tidak
nyeri, pembesaran tersebut bisa menimbulkan nyeri dalam beberapa jam setelah penderita
meminum alkohol dalam jumlah yang banyak. Gejala lainnya adalah symtom B yaitu demam,
keringat malam, dan penurunan berat badan. Beberapa penderita mengalami demam Pel-
Ebstein dimana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu
normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu (2).

Stadium Limfoma Hodgkin;

Stadium Penebaran Penyakit

I Mengenai kelenjar getah bening pada satu bagian tubuh

II Mengenai dua atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang sama

III Mengenai kelenjar getah bening diatas dan dibawah diafragma

IV Mengenai kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya misalnya sum


sum tulang, paru paru, hati

Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) salah satu
atau lebih dari gejala berikut :

 Demam dengan suhu 37,8 C


 Keringat malam
 Penurunan berat badan
 Diagnosis

Pada penyakit hodgkin kelenjar getah bening membesar dan tidak menimbulkan nyeri,
tanpa adanya infeksi, jika pembesaran ini berlangsung lebih ari 1 minggu maka dapat
dicurigai penyakit Hodgkin, terutama jika demam, berkeringat malam dan disertai penurunan
berat badan. Untuk mengetahui secara pasti penyakit Hodgkin dilakukan biopsi kelenjar
getah bening yang hasilnya positif jika ditemukan sel Reed Stenberg. Dua jenis pengobatan
limfoma Hodgkin yang efektif adalah dengan radioterapi dan kemoterapi. Terapi penyinaran
menyembuhkan 90 % Hodgkin stadium I dan II. Pengobatan dilakukan 4-5 minggu.
Pengobatan ditujukan pada kelenjar getah bening yang terkena dan sekitarnya. Untuk stadium
III dengan gejala dilakukan radioterapi sedangkan yang tanpa gejala dilakukan kemoterapi
dengan atau tanpa radioterapi. Pada stadium IV dilakukan kombinasi dengan obat obat
kemoterapi (3).

Prognosis

 Stadium I  lebih dari 90 %


 Stadium II  90 %
 Stadium III  80 %
 Stadium IV  60-70 %

Tuberculosis Kelenjar

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Myobacterium Tuberculosis.


Penyakit ini paling sering bermanifestasi pada paru-paru dan 1/3 dari kasis berupa
ekstrapulmonal. Penyebarannya dengan cara airborn/droplet yang tersebar melalui udara yang
dihasilkan oleh penderita tuberculosis infeksius (10).

Kemungkinan untuk terjadinya limphadenopathy cervical pada salah satu bagian dari
ekstrapulmonal tuberculosis yaitu tuberculosis lymphadenitis atau lymph-node tuberculosis.
Gejalanya berupa pembesaran kelenjar getah bening pada bagian cervical (terutama trigonum
anterior) maupun pada supraclavicular tanpa adanya rasa nyeri, walaupun kelenjar lain dapat
pula membesar. Terdapat scrofula yaitu pembesaran kelenjar getah bening cervical yang
bersifat supuratif dengan mengeluarkan massa casseus melalui traktus fistulanya dan dapat
pula terjadi inflamasi. Gejala sistemik biasanya hanya terdapat pada pasien HIV yang juga
terinfeksi dengan tuberculosis. Pada pemeriksaan histopatologis akan didapatkan lesi
granulomatosa (10).
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Adolvin Sasan L

Umur : 13/08/1961 - 61 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Agama : Kristen

Alamat : Kulawi

No. RM : 01-06-94-07

Tanggal masuk RS : 11/6/2023 (PH 10)

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Bengkak di leher

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien perempuan datang dengan rujukan dari RSUD Torabelo Sigi dengan keluhan
bengkak pada lehernya sekitar 2 tahun yang lalu, awalnya benjolan masih kecil dan lama
kelamaan membesar seiring berjalannya waktu sehingga pasien mengalami sesak ketika
benjolan pada leher mulai membesar, sesak meredah jika pasien baring dengan menyamping
ke kiri, pasien merasakan nyeri pada saat menelan dan benjolan tidak bergerak pada saat
menelan, sehingga nafsu makan pasien menurun.

Riwayat Penyakit Terdahulu :

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami hal yang sama. Riwayat operasi tidak
ada. Riwayat penyakit kandungan tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asma (-) dan riwayat keganasan pada
anggota keluarga (-)

Pemeriksaan fisik :

Primary Survey :

Airway : Endotacheal Tube (-), Stridor (-), Gurgling (-), Snooring (-)

Breathing : RR : 30 x/menit, sianosis (-), vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronchi (-/-),
thorax simetris bilateral (+/+), SpO2 95 %,

Circulation : Tekanan darah 160/70 mmHg, Nadi 80 x/menit (reguler, isi dan tegangan
cukup), Suhu 36,2 0C.

Disability : kesadaran E4M6V5 (composmentis), pupil isokor (+/+),ukuran 2mm/2mm,


Refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), refleks
kornea (+/+), lateralisasi (-/-),

Exposure : jejas di bagian tubuh lain (-), krepitasi (-), edema (-),

Secondary Survey

Kepala : Normocephal, VAS score 6

Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+) ukuran 2
mm/2 mm, raccon eye (-/-),

Hidung : Nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-), Rhinorrhea (-)

Telinga : Ottorhea(-), battle sign (-/-)

Mulut : Bibir sianosis (-), parrese (-) Tenggorokan : tidak dapat dievaluasi

Leher : Benjolan regio colli anterior, Bergerak saat menelan (+), Terfiksir (+)

Thorax

Pulmo

Inspeksi : Penonjolan di hemithorax dextra, retraksi sela iga (-/-), jejas (-), oedem (-),
hematom (-), deformitas (-).
Palpasi : Vocal fremitus simetris kiri dan kanan , nyeri tekan (-/-) Perkusi : sonor di
kedua lapang paru

Auskultasi : vesikular kanan (+) dan kiri (-), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Auskultasi : bunyi jantung I-II murni reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : Tampak datar, tidak ada bekas operasi Auskultasi : Peristaltik (+) kesan
normal

Palpasi : nyeri tekan abdomen (+) region inguinal dextra, distensi (+)

Perkusi : timpani (+)

Ekstremitas atas & bawah : dalam batas normal

Obturator sign (+) Psoas Sign (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab (13/06/2023)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HGB 10.7* g/dL 10.8-15.6
WBC 8.2 Ribu/uL 4.5-13.5
RBC 3.93* Juta/uL 4.1-5.1
HCT 33.4 % 33-45
PLT 227 Ribu/uL 181-521

Lab (13/06/2023)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


FT4 1.50 ng/dL 0.93-1.71
TSH 0.02* uIU/mL 0.5-8.9
Lab (12/06/2023)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HGB 9.7* g/dL 10.6-15.6
WBC 14.8* Ribu/uL 4.5-13.5
RBC 3.75* Juta/uL 4.1-5.1
HCT 31.0* % 33-45
PLT 334 Ribu/uL 181-521
Bleeding Time 3’ menit 1-5
Cloting Time 7’ * menit 1-15
Ureum 102 * mg/dl < 50
Kreatinin 0,89 mg/dl 0,6-1.1
SGOT 70 * U/L ≤ 34
SGPT 21 U/L ≤ 31
GDS 80 mg/dl 70-200
Resume :

Pasien Perempuan usia 61 tahun masuk Rumah Sakit RSUD Undata dari rujukan dari
RSUD Torabelo dengan diagnosis Tumor Regio Colli ec Massa Thyroid Susp Metastasis
dengan keluhan terdapat massa (+) konsisten padat di regio colli bilateral, tidak bergerak saat
menelan, keluhan dirasakan sejak 2 tahun yang lalu awalnya kecil dan lama kelamaan
membesar, massa terfiksir (+), nyeri hilang timbul (+), sulit menelan (+), pasien juga
mengeluhkan Dyspnea (+) ketika pasien berbaring secara terlentang hingga melakukan
aktivitasnya dan hal yang meringankan sesaknya ketika pasien tidur dengan memiringkan
badan ke kiri, Vomiting (-), nafsu makan menurun (+), Febris (-), dan pasien merasa gelisah
dan tidak nyaman pada daerah Colli ketika menalan. Buang air besar sulit sejak 3 hari yang
lalu dan buang air kecil normal

Pada pemeriksaan fisik, TD 165/88 mmHg, N 102 x/menit, P 28 x/menit, S 36,2 oC,
kesadaran composmentis (GCS E4M6V5). Dari hasil pemeriksaan laboratorium terbaru
ditemukan adanya Hemoglobin yang rendah dengan nilai 10.7 g/dl, Eritrosit 3.93 Juta/Ul,
dan dari pemeriksaan TSH 0,02 uIU/Ml menurun. Pada hasil Radiologi: USG Colli, Kesan:
Massa Thyroid Bilateral Dengan Klasifikasi dan Perluasan ke Supraclavicular, Foto
Thorax PA, Kesan: Dilatation et Athroclerosis aortae, CT Scan Cervical: kesan: Massa
thyroid bilateral disertai multiple nodul metastasis kedua paru, hasil pemeriksaan
sitopatologi didapatkan kesimpulan yaitu pada pemeriksaan Makroskopis: R. Colli Anterior :
Massa padat keras berbenjol ukuran sekitar 8x7 cm, batas cukup tegas, terfiksir, tidak ikut
gerakan menelan. Aspirasi FNAB (1x) Mikroskopis: Sediaan hapusan cukup seluler terdiri
dari kelompokkan dan sebaran sel-sel dengan inti bulat ovoid membesar atipik, pleomorfik,
hiperkromatik, kromatin kasar, dengan latar belakang netrofil dan eritrosit dengan
Kesimpulan: Lesi R Colli Anterior : Kesan Malignant Epithelial Tumor / Undifferentiated
Carcinoma

DIAGNOSIS

Tumor Colli Malignant Anterior Metastasis Paru Bilateral

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

 IVFD RL (2) : Dex 5% (1) 20 tpm


 Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
 Dexamethasone 1 amp/ 8 jam
 Ranitidine 50 mg/ 12 jam
 Glutiven 1 botol / 24 jam
 Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ Kp
BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, ditegakan diagnosis Tumor Colli Malignant Anterior Metastasis Paru
Bilateral. Tumor colli adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang timbul di
segitiga anterior atau posterior leher diantara klavikula pada bagian inferior dan mandibula
serta dasar tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari
tiroid, 40% benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10%berasal dari peradangan atau
kelainan kongenital.

Pada anamnesis didapatkan pasien masuk RSUD Undata dengan keluhan Pasien
masuk Rumah Sakit dengan keluhan utama keluhan bengkak pada lehernya sekitar 2
tahun yang lalu, awalnya benjolan masih kecil dan lama kelamaan membesar hingga
metastasis ke arah supraklavikula. Hal ini sesuai dengan teori yang ada, bahwa pasien
tersebut masuk pada golongan Neoplasma dikarenakan tumor tersebut aktif membesar dan
memiliki komposisi sebaran sel-sel dengan inti bulat ovoid membesar atipik, pleomorfik,
hiperkromatik, kromatin kasar, dengan latar belakang netrofil dan eritrosit yang bersifa
Maligna. 6

Pembengkakan pada leher dengan golongan Neoplasma terdapat Lipoma,


limfangioma, hemangioma dan paraganglioma caroticum yang jarang terdapat (terutama
carotid body; tumor glomus caroticum) yang berasal dari paraganglion caroticum yang
terletak di bifurcatio carotis,merupakan tumor benigna. Selanjutnya tumor benigna dari kutub
bawah glandula parotidea, glandula submandibularis dan kelenjar tiroid. Tumor maligna
dapat terjadi primer di dalam kelenjar limfe (limfoma maligna), glandula parotidea, glandula
submandibularis, glandula tiroidea atau lebih jarang timbul dari pembuluh darah, saraf, otot,
jaringan ikat, lemak dan tulang. Tumor maligna sekunder di leher pada umumnya adalah
metastasis kelenjar limfe suatu tumor epitelial primer disuatu tempat didaerah kepala dan
leher. Jika metastasis kelenjar leher hanya terdapat didaerah suprac1avikula kemungkinan
lebuh besar bahwa tumor primemya terdapat ditempat lain di dalam tubuh (5).
Pada pemeriksaan fisik, TD 165/88 mmHg, N 102 x/menit, P 28 x/menit, S 36,2 oC,
kesadaran composmentis (GCS E4M6V5). Pemeriksaan leher didapatkan Massa padat keras
berbenjol ukuran sekitar 8x7 cm, batas cukup tegas, terfiksir, tidak ikut gerakan menelan
sehingga dapat diketahui massa tersebut merupakan ciri-ciri kanker yang bersifat ganas atau
maligna.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium terbaru ditemukan adanya Hemoglobin yang
rendah dengan nilai 10.7 g/dl, Eritrosit 3.93 Juta/Ul, dan dari pemeriksaan TSH 0,02 uIU/Ml
menurun. Pasien tersebut terdapat gejala hipertensi, didapatkan hemoglobin rendah
dikarenakan Hemoglobin dapat menurun dengan cepat pada pasien kanker dengan kadar
hemoglobin sekitar 10 g/dL, terutama pada pasien berusia ≥65 tahun maka dari itu tingkat
penurunan hemoglobin yang cepat pada pasien ini harus dipertimbangkan untuk manajemen
anemia yang optimal.

Penurunan TSH pada pasien ini dikarenakan massa yang berada di daerah tiroid,
perlu kita ketahui Hormon tiroid mengatur proses metabolisme dalam tubuh, termasuk laju
metabolisme basal, refleks saraf dan waktu konduksi, pengaturan suhu, kontraktilitas jantung
dan detak jantung, dan waktu transit usus dll. Tiroid mempengaruhi fungsi fisiologis hampir
semua organ dan sistem. Produksi hormon tiroid diatur oleh umpan balik dari sirkulasi kadar
beberapa hormon dalam darah. Hipotalamus mengeluarkan hormon pelepas tirotropin (TRH),
yang merangsang pelepasan hormon perangsang tiroid (TSH) dari hipofisis anterior. TSH
merangsang sintesis dan pelepasan tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3) dari kelenjar
tiroid. Deiodinasi T4 menjadi T3 pada organ target juga menghasilkan hormon yang aktif
secara biologis ini. Umpan balik T3 ke hipotalamus dan hipofisis mengatur sekresi TRH dan
TSH untuk mempertahankan kadar hormon tiroid. Kelenjar tiroid dengan massa terdapat
penyerapan difus umumnya jinak dan karena tiroiditis metastasis hingga penyerapan di
daerah fokal memiliki risiko keganasan (5).

Radiologi

Radiologi (USG Colli), Kesan: Massa Thyroid Bilateral Dengan Klasifikasi dan
Perluasan ke Supraclavicular. Tumor maligna sekunder di leher pada umumnya adalah
metastasis kelenjar limfe suatu tumor epitelial primer disuatu tempat didaerah kepala dan
leher. Jika metastasis kelenjar leher hanya terdapat didaerah suprac1avikula kemungkinan
lebuh besar bahwa tumor primemya terdapat ditempat lain di dalam tubuh.

Foto Thorax PA, Kesan: Dilatation et Athroclerosis aortae, pada pemeriksaan


tersebut dengan kesan benjolan yang berisi cairan yang jemih atau keruh seperti cairan lympe
yang diakibatkan oleh blok atau hambatan pada sistem limpatik, anyaman pembuluh limfe
yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami dilatasi dan bergabung
membentuk jala yang di daerah tertentu akan berkembang menjadi sakus limfatikus. System
limpatik merupakan jaringan pembuluh yang menyuplai cairan ke dalam pembuluh darah
sebagai transport asam-asam lemak dan sel-sel sistem imun.

CT Scan Cervical didapatkan kesan Massa thyroid bilateral disertai multiple nodul
metastasis kedua paru sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan yang merupakan gold standar
dari pemeriksaan tumor yaitu Pemeriksaan FNAB. Pada pemeriksaan tersebut dari hasil
Makroskopis Regio Colli Anterior didapatkan Massa padat keras berbenjol ukuran sekitar
8x7 cm, batas cukup tegas, terfiksir, tidak ikut gerakan menelan. Hal ini berkesan sama
dengan anemnesis di awal yang kita dapatkan dan dicurigai ganas. Pada pemeriksaan
selanjutnya didaptkan hasil Mikroskopis dengan Sediaan hapusan cukup seluler terdiri dari
kelompokkan dan sebaran sel-sel dengan inti bulat ovoid membesar atipik, pleomorfik,
hiperkromatik, kromatin kasar, dengan latar belakang netrofil dan eritrosit. Pada kesimpulan
yang didapatkan yaitu Lesi Regio Colli Anterior dengan Kesan Malignant Epithelial Tumor /
Undifferentiated Carcinoma.

Tatalaksana medikamentosa pada pasien ini diberikan IVFD sRL (2) Dex 5% (1) 20
tpm, Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam, Dexamethasone 1 amp/ 8 jam, Ranitidine 50 mg/ 12 jam,
Glutiven 1 botol / 24 jam, Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ Kp. Pada tatalaksana yang diberikan
merupakan pengobatan lini pertama pada pasien penderita kanker, mulai dari Ceftriaxone
yang merupakan obat antibiotik beta laktam dari golongan sefalosporin generasi ketiga yang
memiliki efek bakterisidal. Obat ini digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi bakteri salah
satunya infeksi saluran pernafasan, profilaksis sebelum operasi, dan meningitis. Sebagai agen
bakterisidal, ceftriaxone secara selektif dan ireversibel menghambat pembentukkan dinding
sel bakteri dengan mengikat penicillin binding protein (PBP) yang berperan sebagai katalis
ikatan silang polimer peptidoglikan pembentuk dinding sel bakteri. Aksi penghambatan PBP
akan merusak integritas dinding sel yang diikuti dengan lisis sel sehingga dapat membunuh
bakteri dan mengatasi infeksi (11).

Dexamethasone termasuk dalam obat golongan kortikosteroid. Obat ini bekerja


dengan cara menghambat respons sistem kekebalan tubuh berlebih yang memicu peradangan.
Dengan begitu, gejala yang menyertai peradangan juga dapat membaik. Ranitidine termasuk
golongan antagonis reseptor histamin H2 yang bekerja dengan cara menghambat secara
kompetitif kerja reseptor histamin H2, yang sangat berperan dalam sekresi asam lambung.
Sehingga pada pasien yang nafsu makan menurun obat ini sangat baik digunakan dengan
sistem kerja penghambatan kerja reseptor H2 menyebabkan produksi asam lambung menurun
baik dalam kondisi istirahat maupun adanya rangsangan oleh makanan, histamin,
pentagastrin, kafein dan insulin (11).

Pada pasien nyeri diberikan Ketorolac adalah obat untuk meredakan nyeri sedang
hingga berat. Obat ini sering digunakan setelah operasi atau prosedur medis yang bisa
menyebabkan nyeri. Ketorolac merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
yang memiliki bentuk sediaan tablet dan suntik. Ketorolac bekerja dengan cara menghambat
produksi senyawa kimia yang bisa menyebabkan peradangan dan rasa nyeri. Glutiven adalah
suatu sediaan obat dalam bentuk infus mengandung L-alanyl-L-glutamine 200mg/mL.
Glutiven merupakan larutan asam amino yang digunakan sebagai nutrisi tambahan bagi
pasien yang mengalami hiperkatabolisme/ hipermetabolik. Hiperkatabolisme adalah kondisi
terjadinya pemecahan sel-sel otot dan tulang, dan membutuhkan tambahan glutamin dalam
tubuh. Hiperkatabolisme biasanya terjadi pada pasien yang mengalami cedera, pasien dengan
penyakit gagal jantung, gagal ginjal, gagal hati serta penyakit paru kronis yang membutuhkan
suplemen gizi/ glutamin (11).
DAFTAR PUSTAKA

1. Anak A A N Wedayani, Novia A P Restuningdyah, Rabsanjani (2022). Radiological


Modalities In The Colli Sinisitra Tumor. Jurnal Kedokteran Unram. No. 652-654.
2. Adib Farhan, Sukri Rahman, Aswiyanti Asri (2022). Gambaran Hasil Biopsi Aspirasi
Jarum Halus Massa Di Leher Pada Pasien RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2019-
2020. Jurnal Otorinolaringologi Kepala Dan Leher Indonesia. No 1 (1).
3. Doni Priambodo, Firda Widasari, Nungki Anggorowati (2022). Kimura Disease With
Colli Dextra Tumor Manifestation: A Case Report. International Journal of Medical
Reviews and Case Reports. No. 51-54.
4. Lusi Epsilawati, Azhari, Norlaila Sarifah (2020). Anatomi leher dan kondisi
patologisnya: Pemeriksaan USG. Jurnal Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia. No.
47-54.
5. Aulia Jasmine, Yamsun (2023). Squamous Cell Carcinoma (Scc) Tiroid: Laporan
Kasus Thyroid Squamous Cell Carcinoma (Scc): A Case Report. Medical and Health
Journal. No. 130-135.
6. Katie Valentino, Alison S. Tothy (2020). Fibromatosis Colli. Advanced Emergency
Nursing Journal. No. 13-16.
7. Yeti Kartikasari, Emi Murniati, Muhammad Sakur (2021). Prosedur Pemeriksaan
MRI Leher Pada Kasus Karsinoma Nasofaring Di Instalasi Radiologi Rs Ken Saras
Kabupaten Semarang. Jurnal Imejing Diagnostik (JImeD). No. 48-58.
8. Lovenish Bains, Pawan Lal, Tirlok Chand (2019). Isolated primary cold abscess of
the sternum: a case report. Bains et al. Journal of Medical Case Reports. No. 267-274.
9. Fauzy Ma’ruf (2020). Pemeriksaan Radiologi Giant Bullous Lung Disease. Jurnal
Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar. No. 12-16.
10. Renita, Meilany, Carla F Kairupan (2021). Morfologi, Patogenesis, dan Imunoterapi
Kanker Paru Tipe Adenokarsinoma. Medical Scope Journal (MSJ). No. 74-82.
11. Luca Portigliotti, Fabio Maroso, Andrea Amabile (2021). Management of
neuroendocrine tumors of the extrahepatic bile duct: Case report and review of the
literature. Journal of Clinical Images and Medical Case Reports. No. 1-7.

Anda mungkin juga menyukai