OLEH: KELOMPOK 2
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan nikmat, rahmat, nikmat serta petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Keperawatan Komunitas
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Komunitas yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang telah memberi
kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan tak lupa penulis mohon
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah yang akan penulis untuk
selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsep komonitas mempunyai arti yang sangat luas. Komonitas menurut WHO tahun
1974 adalah suatu kelompol social yang ditentukan oleh batas-batas wilaya nilai-nilai
keyakinan dan minat yang sama serta adanya saling mengenal sdan berinteraksi antara anggot
masyarakat yang satu dengan yang lain.sprasdle alatat yang satu dengan yang lain.sprasdle
( 1985) menyatakan bahwa komonitas merupakan sekumpulan orang yang saling bertukar
pengalaman penting dalam hidupnya.
Peran perawat kesehatan komonitas sangat bervariasi san menantang.peran perawat
berkembang sejak abasd ke 19 yang berfokus lebih banyak kearah kondisi lingkungan seperti
sanitasi, control penyakit menular pendidikan higiene personal, pencegahan penyakit dan
perawatan keluarga yang sakit dirumah.
Tuntutan akan pelayanan keprawatan yang bermutu memberi dampak pada sistem
pelayanan keperawatan.oleh karena itu terjadi pergeseran dalam pelayanan
keperawatan.pertama : perubahan sifat pelayanan dari focxasional menjadi
profesional.kesdua Tuntutan akan pelayanan keperawatan yang bermutu memberi dampak
pada sistem pelayanan keperawatan.oleh karena itu terjadi pergeseran dalam pelayanan
keperawatan.pertama : perubahan sifat pelayanan dari frofesional menjadi profesional. ketiga
: terjadinya fragmantasi pelayanan keperawatan.
Konsep komonitas mempunyai arti yang sangat luas. Komonitas menurut WHO tahun 1974
adalah suatu kelompok social yang ditentukan oleh batas-batas wilaya nilai-nilai keyakinan
dan minat yang sama serta adanya saling mengenal dan berinteraksi antara anggot masyarakat
yang satu dengan yang lain.sprasdlwe ( 1985) mwenyatakan bahwa komonitas merupakan
sekumpulan orang yang saling bertukar pengalaman penting dalam hidupnya.
Keperawatan konomitas adalah suatu pelyanan keperawatan profesional yang
berfokus pada kelompok resiko tinggi dari semua tingkat perkembangan dan upaya mencapai
derajat kesehatan yang optimal melalui usaha prefentif,promotif,rehabilitatif,dan
kuratif.sasaran keperawatan komonitas adalah keluarga,masyarakat,san kelompok khusus
dalam keadan sehat maupun sakit
Seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, serta
bertambahnya penduduk dan masyarakat maka, maka perlu adanya perawat kesehatan
komunitas yang dapat melayani masyarakat dalam dalam hal pencegahan, pemeliharaan,
promosi kesehatan dan pemulihan penyakit, yang bukan saja ditujukan kepada individu,
keluarga, tetapi juga dengan masyarakat dan inilah yang disebut dengan keperawatan
komunitas.
Keperawatan Kesehatan Komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang
ditujukan kepada masyarakat dengan penekanan pada kelompok resiko tinggi, dalam upaya
pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui pencegahan penyakit dan peningkatan
kesehatan, dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dan
melibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan pelaksanaan dan evaluasi pelayanan
keperawatan.
Pembangunan kesehatan suatu negara tidak dapat terlepas dari suatu sistem yang
disebut dengan Sistem Kesehatan. Pada intinya sistem kesehatan merupakan seluruh
aktifitas yang mempunyai tujuan utama untuk mempromosikan, mengembalikan dan
memelihara kesehatan.
Sistem kesehatan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sistem kesehatan tidak hanya mencakup
“health care” atau pelayanan kesehatan, tetapi meliputi pengembangan pembiayaan
dan mekasnisme risk pooling sehingga dapat melindungi masyarakat dari beban
keuangan dan beban ekonomi karena penyakit. Dimensi lain menyangkut peningkatan
kepuasan konsumen dan memberikan informasi dan pilihan, juga merupakan bagian
penting dari sistem kesehatan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan nya adalah untuk mengetahui sejarah keperawatan komunitas.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
1. Pasca Perang Kemerdekaan Pelayanan prefentif mulai dipikirkan guna melengkapi upaya
(pelayanan) kuratif, serta lahirnya konsep Bandung Plan sebagai embrio dr konsep
Puskesmas.
2. Tahun 1960 Terbit Undang-Undang Pokok Kes No. 9 Th 1960 tentang Pokok-Pokok Kes.
“Tiap-tiap warga negara berhak mencapai derajat kes yg setinggi-tingginya dan wajib diikut
sertakan dlm kegiatan yg diselenggrakan oleh pemerintah”
4. Pelita III Lahir SKN th 1982, menekankan pada; Pendekatan kesistem Pendekatan
kemasyarakat Kerja sama lintas program (KLP) & lintas sektoral (KLS) Peran serta
masyarakat Menekankan pd pendekatan promotive & prefentive.
5.Pelita IV PHC / PKMD diwarnai dgn prioritas utk menurunkan tingkat kematian bayi, anak
& kan tingkat kelahiran,ibu serta me & menyelenggarakan program posyandu di tiap desa.
6. Pelita V peningkatan mutu posyandu, melaksanakan Panca Krida Posyandu serta Sapta
Krida Posyandu.
3. Early diagnosis and prompt treatment ( diagnosis dini dan pengobatan segera )
Tingkat pelayanan kesehatan ini sudah masuk ke dalam tingkat dimulainya atau
timbulnya gejala dari suatu penyakit. Tingkat pelayanan ini dilaksanakan dalam
mencegah meluasnya penyakit yang lebih lanjut serta dampak dari timbulnya penyakit
sehingga tidak terjadi penyebaran. Bentuk tingkat pelayanan kesehatan ini dapat
berupa kegiatan dalam rangka survei pencarian kasus baik secara individu maupun
masyarakat, survei penyaringan kasus serta pencegahan terhadap meluasnya kasus.
5. Rehabilitation ( rehabilitasi )
Tingkat pelayanan ini dilaksanakan setelah pasien didiagnosis sembuh. Sering
pada tahap ini dijumpai pada fase pemulihan terhadap kecacatan sebagaimana
program latihan-latihan yang diberikan pada pasien, kemudian memberikan fasilitas
agar pasien memiliki keyakinan kembali atau gairah hidup kembali ke masyarakat dan
masyarakat mau menerima dengan senang hati karena kesadaran yang dimilikinya.
Institusi
Institusi merupakan lembaga pelayanan kesehatan yang fasilitasnya cukup dalam
memberikan berbagai tingkat pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, pusat
rehabilitasi dan lain-lain.
Hospice
Lembaga ini bertujuan memberikan pelayanan kesehatan yang difokuskan pada
klien yang sakit terminal agar lebih tenang dan dapat melewati masa-masa
terminalnya dengan tenang. Lembaga ini biasanya digunakan dalam home care.
4. Ekonomi
Pelaksanaan pelayanan kesehatan akan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi di
masyarakat. Semakin tinggi ekonomi seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih
diperhatikan dan mudah dijangkau, demikian juga sebaliknya apabila tingkat ekonomi
seseorang rendah, maka sangat sulit menjangkau pelayanan kesehatan mengingat
biaya dalam jasa pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang cukup mahal.
Keadaan ekonomi ini yang akan dapat mempengaruhi dalam sistem pelayanan
kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah melalui sistem politik yang ada akan sangat berpengaruh
sekali dalam sistem pemberian pelayanan kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang ada
dapat memberikan pola dalam sistem pelayanan.
Sudah saatnya kini, praktisi kesehatan di tingkat pelayanan primer maupun dunia
pendidikan kesehatan perlu segera mendorong pertumbuhan budaya ilmiah di
lingkungannya agar mereka dapat mempraktikan hasil berbagai penelitian.
Kegiatan yang dilakukan untuk memberdayakan organisasi keperawatan, yaitu :
Untuk kasus Indonesia, belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan
kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya
pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin bertutur
tentang program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi keunggulan
komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan kesehatan di tiap
sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan.
Pada kenyataannya, masih sangat banyak wilayah-wilayah di negeri ini yang sangat
jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan berkualitas. Padahal pada saat yang sama,
kecenderungan epidemiologi penyakit tak kunjung berubah yang diperparah lemahnya
infrastruktur promotif dan preventif di bidang kesehatan.
Kali terakhir, ini juga dapat dipandang sebagai sebuah “terobosan” baru, pemerintah
menerbitkan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang dikenal sebagai “Sistem
Kesehatan Nasional”. Dokumen ini antara lain disusun berdasarkan pada asumnsi bahwa
pembangunan kesehatan merupakan pembangunan manusia seutuhnya untuk mencapai
derajat kesehatan yang tertinggi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak bisa
menafikkan peran dan kontribusi sektor lainnya. Singkatnya, pembangunan kesehatan
menjadi bagian integral dari pembangunan bangsa.
1. Upaya kesehatan
2. Pembiayaan kesehatan
3. Sumber daya manusia kesehatan
4. Sumber daya obat dan perbekalan kesehatan
5. Pemberdayaan masyarakat
6. Manajemen kesehatan
Jika kita runut, maka subsistem yang cukup fundamental adalah pembiayaan
kesehatan. Ketiadaan atau tidak optimalnya pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan dan program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya
tujuan pembangunan kesehatan yang kita inginkan. Betapa tidak, hamper semua aktivitas
dalam pembangunan tak dapat dipungkiri, membutuhkan dana dan biaya.
C. Pembiayaan Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat
beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama,
besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah
maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan
(fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa
alasan. Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya
kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector
prioritas, juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di
negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.
Pada sisi lain, untuk skala Negara sedang berkembang, Indonesia yang masih berkutat
memerangi penyakit-penyakit infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan
lingkungan, seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada aspek
promotif dan preventif, bukan semata di bidang kuratif dan rehabilitatif saja. Sebagai
catatan, rasio anggaran antara promotif dan preventif dengan kuratif-rehabilitatif selama
ini berkisar pada 1:3, suatu perbandingan yang tidak cukup investatif untuk bangsa
sedang berkembang seperti Indonesia.
Akibatnya, sejumlah program kesehatan di negeri ini masih berputar-putar pada upaya
bagaimana mengobati orang yang sakit saja, bukannya mencari akar permasalahan yang
menjadi penyebab mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.
D. Beberapa Pemikiran
Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang layak
diterapkan di negeri kita, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan
kehidupan masyarakat kita. Depkes sebagai pengemban pertama tanggung jawab
konstitusi kita ternyata dalam banyak kasus terbukti tak dapat/ tak mau berbuat banyak.
Anggaran kesehatan yang teramat minim, terlepas basis argumentasinya seperti apa;
setidaknya menjadi isyarat akan kenyataan teguh, bahwa memang hal-hal yang berkaitan
langsung dengan hajat hidup orang banyak selalu dianggap sepele.
Hal ini didukung pula oleh sifat apatis sebagian besar rakyat kita, dalam mengkritisi
kebijakan kesehatan. Pun itu diperparah dengan belum transparannya penggunaan
anggaran, dan dana yang ada lebih dialokasikan pada pos-pos yang bukan menjadi
kebutuhan mendesak masyarakat, sebagai contoh; beberapa puskesmas di Indonesia
memiliki fasilitas mobil ambulans yang lengkap namun di puskesmas tersebut, tenaga
medis yang ada hanya sebatas paramedis, tanpa tenaga dokter, sarjana kesehatan
masyarakat dan tenaga medis lainnya, jadi proses pemenuhan dan penyediaan kebutuhan
masyarakat akan kesehatan tidak berbasis pada analisa kebutuhan tetapi lebih sebagai
resultan dari tarik-menarik kepentingan politik nasional maupun lokal.
Dalam lokus kajian spesifik, membengkaknya biaya kesehatan ternyata secara
langsung atau tidak juga disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi
atau sekolah-sekolah yang berlatar belakang kesehatan. Indonesia menjadi contoh dari
mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh para peserta didik dari fakultas kedokteran,
akademi maupun sekolah tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sangat kontras jika kita
bandingkan dengan kasus negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia; dimana
negara bertanggung jawab mengucurkan dana besar bagi institusi pendidikan.
E. Reformasi Kesehatan
Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru. Hanya saja agendanya
perlu dipertegas kembali sebagai landasan pembangunan selanjutnya. Jika
disederhanakan, agenda reformasi kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi
masyarakat dalam menyusun dan menyelenggarakan aspek kesehatannya dengan
sesedikit mungkin intervensi pemerintah. Pemberdayaan masyarakat menjadi tolok ukur
keberhasilan dan pemihakan terhadap kaum miskin menjadi syarat penerimaan
universalitasnya.
3.1 KESIMPULAN
Setelah membaca isi dari pembahasan makalah diatas maka kami menarik suatu
kesimpulan :
3.2 SARAN
Saran kami yaitu : marilah kita belajar dengan sungguh-sungguh agar kita dapat menjadi
perawat yang professional.
DAFTAR PUSTAKA
Global Health Initiative (2008). Why Global Health Matters . Washington, DC: FamiliesUSA
http://mahmudahcity.blogspot.com/2011/06/sejarah-perkembangan-keperawatan.html
http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/07/asuhan-keperawatan-komunitas.html
Organisasi Kesehatan Dunia dan Transisi Dari "Internasional" Kesehatan "Global" Publik.
Brown et al, AJPH:. Jan 2006, Vol 96, No 1. http://www.ajph.org/cgi/reprint