Anda di halaman 1dari 8

POTRET SEHAT INDONESIA DARI RISKESDAS 2018

DIPUBLIKASIKAN PADA : JUMAT, 02 NOVEMBER 2018 00:00:00, DIBACA : 46.728


KALIJakarta, 2 November 2018

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah menyelesaikan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 yang dilakukan secara terintegrasi dengan Susenas Maret (Badan Pusat
Statistik). Terintegrasinya riset ini sangat penting karena dimungkinkan analisis yang lebih
mendalam. Status kesehatan dan determinan kesehatan bisa dilihat dari faktor sosial ekonomi,
sehingga informasi yang dihasilkan lebih komprehensif.

Data Riskesdas juga dapat digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM), sehingga dapat diketahui perubahan pencapaian sasaran pembangunan
kesehatan di setiap level wilayah, dari tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional.

Pengumpulan data Riskesdas yang dilakukan pada 300.000 sampel rumah tangga (1,2 juta jiwa)
telah menghasilkan beragam data dan informasi yang memperlihatkan wajah kesehatan
Indonesia. Data dan informasi ini meliputi Status Gizi; Kesehatan Ibu; Kesehatan Anak;
Penyakit Menular; Penyakit Tidak Menular, Kesehatan Jiwa, dan Kesehatan Gigi Mulut;
Disabilitas dan Cidera; Kesehatan Lingkungan; Akses Pelayanan Kesehatan; dan Pelayanan
Kesehatan Tradisional.

Status Gizi

Riskesdas 2018 menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia. Proporsi
status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%.
Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013)
menjadi 17,7%.

Namun yang perlu menjadi perhatian adalah adanya tren peningkatan proporsi obesitas pada
orang dewasa sejak tahun 2007 sebagai berikut 10,5% (Riskesdas 2007), 14,8% (Riskesdas
2013) dan 21,8% (Riskesdas 2018).
Kesehatan Ibu

Kesehatan ibu di Indonesia juga membaik terlihat dari meningkatnya proporsi pemeriksaan
kehamilan dari 95,2% (Riskesdas 2013) menjadi 96,1%, proporsi pemeriksaan kehamilan (k1
ideal) dari 81,3% (Riskesdas 2013) menjadi 86%, proporsi pemeriksaan kehamilan (k4) dari 70%
(Riskesdas 2013) menjadi 74,1%, proporsi persalinan di fasilitas kesehatan dari 66,7%
(Riskesdas 2013) menjadi 79,3%.

Sama halnya dengan proporsi pelayanan kunjungan nifas lengkap yang meningkat dari 32,1%
(Riskesdas 2013) menjadi 37%.

Kesehatan Anak

Perlu menjadi perhatian adalah data cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23
bulan, Riskesdas 2018 menunjukkan cakupan imunisasi sebesar 57,9%. Angka ini sedikit
menurun jika dibandingkan Riskesdas 2013 sebesar 59,2%.

Adapun proporsi berat badan lahir <2500 gram (BBLR) sebesar 6,2% dan proporsi panjang
badan lahir <48 cm sebesar 22,7%. Penyakit Menular

Prevalensi penyakit menular seperti ISPA, malaria dan diare pada balita mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013. Prevalensi ISPA turun dari 13,8% menjadi
4,4%, malaria turun dari 1,4% menjadi 0,4%, sama halnya dengan diare pada balita juga turun
dari 18,5% menjadi 12,3%.

Penting untuk diperhatikan adalah prevalensi TB Paru berdasarkan diagnosis dokter tidak
mengalami pergeseran, yakni sebesar 0,4% dan prevalensi pneumonia yang naik dari 1,6%
menjadi 2%.

Penyakit Tidak Menular, Kesehatan Jiwa, dan Kesehatan Gigi Mulut


Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Tidak Menular mengalami kenaikan jika
dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes
melitus, dan hipertensi.

Prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%; prevalensi stroke naik dari 7%
menjadi 10,9%; dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%. Berdasarkan
pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%; dan hasil pengukuran
tekanan darah, hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%.

Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini berhubungan dengan pola hidup, antara lain
merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur.

Sejak tahun 2013 prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun) terus meningkat, yaitu 7,2%
(Riskesdas 2013), 8,8% (Sirkesnas 2016) dan 9,1% (Riskesdas 2018). Data proporsi konsumsi
minuman beralkohol pun meningkat dari 3% menjadi 3,3%. Demikian juga proporsi aktivitas
fisik kurang juga naik dari 26,1% menjadi 33,5% dan 0,8% mengonsumsi minuman beralkohol
berlebihan. Hal lainnya adalah proporsi konsumsi buah dan sayur kurang pada penduduk 5
tahun, masih sangat bermasalah yaitu sebesar 95,5%.

Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada data yang didapatkan Riskesdas 2018 cukup
signifikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, naik dari 1,7% menjadi 7%.

Untuk kesehatan gigi dan mulut, Riskesdas 2018 mencatat proporsi masalah gigi dan mulut
sebesar 57,6% dan yang mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi sebesar 10,2%. Adapun
proporsi perilaku menyikat gigi dengan benar sebesar 2,8%.

Disabilitas dan Cidera

Riskesdas 2018 menunjukkan proporsi disabilitas pada umur 5-17 tahun sebesar 3,3% dan pada
umur 18-59 tahun sebesar 22%. Pada umur 60 ke atas 2,6% mengalami disabilitas berat dan
ketergantungan total. Terjadi penurunan cidera yang terjadi dijalan raya yaitu dari 42,8%
(Riskesdas 2013) menjadi 31,4%.

Kesehatan Lingkungan

Data kesehatan lingkungan terlihat dari pemakaian air per hari dan pengelolaan sampah.
Dibandingkan dengan Riskesdas 2013, dirumah tangga pemakaian air < 20L per orang per hari
turun dari 5% menjadi 2,2%. Untuk pengelolaan sampah, rumah tangga yang mengelola dengan
membakar sebesar 49,5%.

Akses Pelayanan Kesehatan

Riskesdas 2018 menunjukkan proporsi pengetahuan rumah tangga terhadap kemudahan akses ke
rumah sakit sebagai berikut; mudah 37,1%; sulit 36,9%; dan sangat sulit 26%. Analisis dilihat
dari jenis transportasi, waktu tempuh dan biaya.

Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pelayanan kesehatan tradisional Riskesdas 2018 dilihat dari pemanfaatan taman obat keluarga
(toga), proporsinya sebesar 24,6%. Proporsi pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional sedikit
meningkat, dari 30,4% (Riskesdas 2013) menjadi 31,4%.

Data dan informasi hasil Riskesdas 2018 diatas adalah indikator Riskesdas yang dilakukan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Indikator yang dilakukan secara terintegrasi
dengan Susenas akan dirilis bersama dengan Badan Pusat Statistik. Data-data ini bersifat
deskriptif, sedangkan analisis lebih detil akan dilaporkan secara khusus. Hasil Riskesdas ini
dapat diakses melalui www.litbang.kemkes.go.id.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-
567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email
kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.

Para ahli kesehatan jiwa terkemuka dari wilayah Asia Tenggara akan berkumpul bersama dalam
Southeast Asia (SEA) Mental Health Forum 2018 di Jakarta, pada tanggal 30 - 31 Agustus
2018, untuk saling berbagi pembelajaran dan mengembangkan strategi untuk mengatasi
kesenjangan dalam manajemen kesehatan mental di negara-negara Asia Tenggara.
Diselenggarakan oleh Johnson & Johnson, lebih dari 150 peserta yang berasal dari kalangan dari
bisnis, pemerintah, organisasi internasional, masyarakat sipil, akademisi dan media akan
berpartisipasi dalam forum yang bertemakan - ‘Mewujudkan kepedulian bersama untuk
pengobatan Skizofrenia’. Tema ini menyoroti komitmen terhadap kerja sama internasional
sebagai upaya dalam memecahkan sejumlah tantangan global yang penting bagi kesehatan jiwa
dengan fokus pada manajemen Skizofrenia dan akses pengobatan, khususnya di kawasan Asia
Tenggara.

Turut berpartisipasi dalam forum adalah para ahli dari Indonesia dan Asia Tenggara serta
wilayah Asia Pasifik termasuk diantaranya: Dr. dr. Trihono, M.Sc, Konsultan Health Policy
Unit, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI; Prof. Harry Minas, Ketua Global and
Cultural Mental Health Unit, Centre for Mental Health, University of Melbourne; Duujian Tsai
M.D. & Ph.D, Chair Professor & Director of the Center for Bioethics and Social Medicine,
Taiwan; Lakish Hatalkar, Presiden Direktur PT Johnson & Johnson Indonesia; Dr. Eka Viora
SpKJ, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI); dan Dra.
Diah Ayu Puspandari, Apt., M. Kes., MBA, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan
Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KP-MAK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada (UGM).

Lakish Hatalkar, Presiden Direktur PT Johnson & Johnson Indonesia menyatakan bahwa,
"Tidak ada negara yang kebal terhadap tantangan kesehatan jiwa (mental). Kondisi fisik dan
mental yang sehat adalah elemen utama yang membentuk manusia, baik sebagai individu
maupun makhluk sosial dan ekonomi. Forum ini menjelaskan bahwa tidak hanya penting bagi
negara-negara Asia Tenggara untuk menerapkan kebijakan dan layanan kesehatan jiwa yang
lebih baik, tetapi peran dari semua para pemangku kepentingan yang terkait juga sangat
diperlukan untuk mengubah perilaku 'orang dengan gangguan jiwa’ (ODGJ) dan keluarga
mereka.”

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi gangguan jiwa emosional yang ditunjukkan oleh gejala depresi dan kecemasan pada
usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari total penduduk Indonesia.
Sedangkan untuk prevalensi gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia mencapai sekitar 400.000
orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

Sementara itu, menurut data WHO pada tahun 2016, secara global, terdapat sekitar 35 juta orang
yang mengalami depresi, 60 juta orang dengan gangguan bipolar, 21 juta orang dengan
Skizofrenia, dan 47,5 juta orang dengan demensia.

Secara global, mayoritas dari mereka yang membutuhkan perawatan kesehatan jiwa di seluruh
dunia tidak memiliki akses ke layanan kesehatan mental berkualitas tinggi. Stigma, kurangnya
sumber daya manusia, model pemberian layanan yang terfragmentasi, dan kurangnya kapasitas
penelitian untuk implementasi dan perubahan kebijakan berkontribusi pada kesenjangan
perawatan kesehatan jiwa saat ini. Fakta yang dikeluarkan oleh WHO, Mental Health Gap
Action Programme (mhGAP) pada tahun 2008 telah memperkirakan bahwa lebih dari 75% orang
dengan gangguan jiwa di negara-negara berkembang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan.
Laporan yang sama menyatakan bahwa setidaknya sepertiga pasien dengan Skizofrenia dan lebih
dari setengahnya menderita depresi, mengkonsumsi alkohol dan menyalahgunakan narkoba,
tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dalam setahun.

Laporan WHO tentang Investing in Mental Health pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa
banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalokasikan kurang dari 2% atau
bahkan 1% dari anggaran kesehatan untuk perawatan dan pencegahan gangguan jiwa/mental.
Selama pertemuan dua hari di Jakarta tersebut, para ahli kesehatan jiwa akan berusaha
mengembangkan pedoman dan panduan bersama yang akan menjadi langkah pertama dalam
mengembangkan model manajemen pembiayaan yang ideal untuk layanan Skizofrenia di
kawasan Asia Tenggara serta sistem asuransi nasional dan swasta untuk dapat memasukkan
pembiayaan kesehatan jiwa dipembiayaan samping kesehatan fisik. Para ahli juga akan saling
berbagi praktik terbaik dan pembelajaran dari negara masing-masing mengenai manajemen
Skizofrenia dan implementasinya dalam komunitas.

Chiun-Fang Chiou, Senior Director of Market Access, Johnson & Johnson SEA yang turut
hadir dalam forum ini mengatakan, “Program yang komprehensif diperlukan untuk membangun
sistem layanan kesehatan, yang terdiri dari pengembangan kebijakan dan kapasitas tambahan
sumber daya manusia, mekanisme pembiayaan, perbaikan infrastruktur serta sistem pemantauan
dan evaluasi. Kami senang dapat memfasilitasi diskusi dalam forum ini dan membuka jalan
untuk menemukan solusi yang pada akhirnya akan memberikan hasil yang lebih baik bagi pasien
dalam hal manajemen penyakit mereka, akses pengobatan dan proses reintegrasi ke dalam
masyarakat.”

Menutup kesenjangan bagi pengobatan dan pengelolaan Skizofrenia di wilayah Asia


Tenggara

Berdasarkan definisi standar WHO, Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang parah, ditandai
dengan banyaknya gangguan dalam berpikir, mempengaruhi bahasa, persepsi, dan rasa
kesadaran diri. Seringkali termasuk didalamnya adalah pengalaman psikotik, seperti mendengar
suara atau delusi. Hal ini dapat merusak fungsi diri melalui hilangnya kemampuan yang
diperoleh untuk mendapatkan mata pencaharian, atau gangguan dalam belajar. Pengendalian
gangguan jiwa ini membutuhkan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan.

Pengobatan Skizofrenia di banyak negara pada saat ini masih terhalang oleh banyak stigma
negatif yang melekat pada 'orang-orang dengan Skizofrenia' dan keluarga mereka. Akibatnya,
sejumlah kasus Skizofrenia tidak pernah dilaporkan dan tidak mendapatkan tindak lanjut secara
medis. Karena itu, WHO terus menyerukan kepada para pihak pemerintah, donor dan pemangku
kepentingan di bidang kesehatan jiwa untuk segera berupaya meningkatkan pendanaan dan
layanan kesehatan jiwa dasar untuk menutup kesenjangan yang sangat besar ini.

Menurut WHO, terdapat pengobatan yang efektif untuk Skizofrenia dan orang yang terkena
dampaknya dapat menjalani kehidupan yang produktif dan terintegrasi dalam masyarakat.
Penyakit jiwa tersebut sebenarnya dapat diobati dan dikendalikan. Kuncinya adalah dengan cara
memiliki sistem pendukung yang kuat dan mendapatkan perawatan yang tepat. Dengan
pengobatan yang tepat, sebagian besar orang dengan Skizofrenia dapat memiliki pekerjaan yang
layak dan menjadi produktif dan bahkan mampu memiliki aktivitas lain yang bermakna, menjadi
bagian dari komunitas, serta menikmati hidup.

Sebagai perusahaan yang sangat berkomitmen untuk mendukung kesehatan masyarakat di


seluruh dunia, Johnson & Johnson memiliki komitmen untuk terlibat dengan masyarakat Asia
Tenggara dalam menangani Skizofrenia. Melalui kampanye Lighting the Hope for Schizophrenia
yang diluncurkan sejak tahun 2013, Johnson & Johnson telah bekerja sama dengan para
profesional, asosiasi kesehatan, dan komunitas terkait.

Kampanye ini bertujuan untuk terus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang sejumlah
gejala Skizofrenia dan pengobatannya sehingga dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi
terhadap penderita Skizofrenia dan keluarganya. Kampanye Lighting the Hope for Schizophrenia
juga berfokus pada bagaimana caranya memberikan dukungan bagi orang-orang dengan
Skizofrenia agar mendapatkan kembali hak-hak mereka untuk hidup produktif dan terhormat di
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai