Anda di halaman 1dari 7

NAMA : NIRMA ANISA

NIM : 19011041

MATA KULIAH : GIZI KESMAS

SOAL UTS

1. Jelaskan apa akibatnya kalau kita salah memberi nasihat gizi pada orangtua balita.
Mis nya didalam menentukan anak yang pendek, sangat pendek, stunting ?

JAWAB :

Akibat dari Jika kita sebagai konselor salah memberi nasihat kepada orang tua balita
maka kita dapat dinilai gagal atau lalai dalam menjalankan tugas sebagai konselor
gizi. Akibatnya orang tua balita tidak akan paham atau bahkan salah dalam mengenal
kondisi anaknya karena kita salah memberikan nasihat dan anak tersebut pun akan
berdampak terhadap kesehatan tubuhnya. Serta dapat menghambat Perkembangan dan
pertumbuhan balita karena hal tersebut dapat dimulai atau ditentukan dari orang tua
dan petugas kesehatan lainnya.

2. Rangkumlah berdasarkan riskesdas 2013 dan 2018 terkait permasalahan permasalahan


gizi yang dialami Indonesia saat ini sehingga terlihat trend masalah tersebut.

JAWAB :

Data Riskesdas 2013 tersebut sebagai acuan yang bisa dilihat masyarakat Indonesia
tentang  masalah gizi yang dibadi dalam kategori  gizi kurang (underweight), kurus
(wasting), pendek (stunting), dan kegemukan (obese).

"Data ini menunjukan beban ganda yang terjadi dalam masalah gizi di Indonesia yaitu
masih ada kasus gizi kurang dan juga kasus gizi berlebih,"

"Secara nasional pada tahun 2013, prevalensi kurus dan sangat kurus masih cukup
tinggi yaitu masing-masing 12,1 persen dan 5,3 persen. Adapun masalah tubuh
pendek atau stunting -- dalam istilah gizi menerangkan kondisi dimana tinggi badan
anak tidak sesuai dengan umurnya-- pada balita di Indonesia saat ini masih cukup
serius sekitar 37,2 persen,"
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan ini
juga menerangkan tentang prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
sekitar 10,2 persen. Untuk prevalensi bayi dengan panjang badan kurang dari 48
sentimeter atau bayi yang terlahir apendek sekitar 20,2 persen.

Secara nasional, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8
persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen

Untuk prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8
persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas).
Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 hingga 18 tahun sebanyak 7,3 persen yang
terdiri dari 5,7 persen gemuk dan 1,6 persen obesitas. Prevalensi penduduk dewasa
berat badan lebih 13,5 persen dan obesitas 15,4 persen," katanya panjang lebar.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah menyelesaikan Riset Kesehatan


Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan secara terintegrasi dengan Susenas Maret
(Badan Pusat Statistik). Terintegrasinya riset ini sangat penting karena dimungkinkan
analisis yang lebih mendalam. Status kesehatan dan determinan kesehatan bisa dilihat
dari faktor sosial ekonomi, sehingga informasi yang dihasilkan lebih komprehensif.

Data Riskesdas juga dapat digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan


Kesehatan Masyarakat (IPKM), sehingga dapat diketahui perubahan pencapaian
sasaran pembangunan kesehatan di setiap level wilayah, dari tingkat kabupaten/kota,
provinsi maupun nasional.

Pengumpulan data Riskesdas yang dilakukan pada 300.000 sampel rumah tangga (1,2
juta jiwa) telah menghasilkan beragam data dan informasi yang memperlihatkan
wajah kesehatan Indonesia. Data dan informasi ini meliputi Status Gizi; Kesehatan
Ibu; Kesehatan Anak; Penyakit Menular; Penyakit Tidak Menular, Kesehatan Jiwa,
dan Kesehatan Gigi Mulut; Disabilitas dan Cidera; Kesehatan Lingkungan; Akses
Pelayanan Kesehatan; dan Pelayanan Kesehatan Tradisional.
Status Gizi

Riskesdas 2018 menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia.
Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013)
menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari
19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.

Namun yang perlu menjadi perhatian adalah adanya tren peningkatan proporsi
obesitas pada orang dewasa sejak tahun 2007 sebagai berikut 10,5% (Riskesdas
2007), 14,8% (Riskesdas 2013) dan 21,8% (Riskesdas 2018).

Kesehatan Ibu

Kesehatan ibu di Indonesia juga membaik terlihat dari meningkatnya proporsi


pemeriksaan kehamilan dari 95,2% (Riskesdas 2013) menjadi 96,1%, proporsi
pemeriksaan kehamilan (k1 ideal) dari 81,3% (Riskesdas 2013) menjadi 86%,
proporsi pemeriksaan kehamilan (k4) dari 70% (Riskesdas 2013) menjadi 74,1%,
proporsi persalinan di fasilitas kesehatan dari 66,7% (Riskesdas 2013) menjadi
79,3%.

Sama halnya dengan proporsi pelayanan kunjungan nifas lengkap yang meningkat
dari 32,1% (Riskesdas 2013) menjadi 37%.

Kesehatan Anak

Perlu menjadi perhatian adalah data cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak umur
12-23 bulan, Riskesdas 2018 menunjukkan cakupan imunisasi sebesar 57,9%. Angka
ini sedikit menurun jika dibandingkan Riskesdas 2013 sebesar 59,2%.

Adapun proporsi berat badan lahir <2500 gram (BBLR) sebesar 6,2% dan proporsi
panjang badan lahir <48 cm sebesar 22,7%. Penyakit Menular

Prevalensi penyakit menular seperti ISPA, malaria dan diare pada balita mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013. Prevalensi ISPA turun
dari 13,8% menjadi 4,4%, malaria turun dari 1,4% menjadi 0,4%, sama halnya dengan
diare pada balita juga turun dari 18,5% menjadi 12,3%.

Penting untuk diperhatikan adalah prevalensi TB Paru berdasarkan diagnosis dokter


tidak mengalami pergeseran, yakni sebesar 0,4% dan prevalensi pneumonia yang naik
dari 1,6% menjadi 2%.

Penyakit Tidak Menular, Kesehatan Jiwa, dan Kesehatan Gigi Mulut

Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Tidak Menular mengalami


kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain kanker, stroke,
penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi.

Prevalensi kanker naik dari 1,4 permil (Riskesdas 2013) menjadi 1,8 permil;
prevalensi stroke naik dari 7 permil menjadi 10,9 permil; dan penyakit ginjal kronik
naik dari 2 permil menjadi 3,8 permil. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes
melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%; dan hasil pengukuran tekanan darah, hipertensi
naik dari 25,8% menjadi 34,1%.

Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini berhubungan dengan pola hidup,
antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi
buah dan sayur.

Sejak tahun 2013 prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun) terus meningkat,
yaitu 7,2% (Riskesdas 2013), 8,8% (Sirkesnas 2016) dan 9,1% (Riskesdas 2018).
Data proporsi konsumsi minuman beralkohol pun meningkat dari 3% menjadi 3,3%.
Demikian juga proporsi aktivitas fisik kurang juga naik dari 26,1% menjadi 33,5%
dan 0,8% mengonsumsi minuman beralkohol berlebihan. Hal lainnya adalah proporsi
konsumsi buah dan sayur kurang pada penduduk ≥ 5 tahun, masih sangat bermasalah
yaitu sebesar 95,5%.

Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada data yang didapatkan Riskesdas 2018
cukup signifikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, naik dari 1,7 permil
menjadi 7 permil.
Untuk kesehatan gigi dan mulut, Riskesdas 2018 mencatat proporsi masalah gigi dan
mulut sebesar 57,6% dan yang mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi sebesar
10,2%. Adapun proporsi perilaku menyikat gigi dengan benar sebesar 2,8%.

Disabilitas dan Cidera

Riskesdas 2018 menunjukkan proporsi disabilitas pada umur 5-17 tahun sebesar 3,3%
dan pada umur 18-59 tahun sebesar 22%. Pada umur 60 ke atas 2,6% mengalami
disabilitas berat dan ketergantungan total. Terjadi penurunan cidera yang terjadi
dijalan raya yaitu dari 42,8% (Riskesdas 2013) menjadi 31,4%.

Kesehatan Lingkungan

Data kesehatan lingkungan terlihat dari pemakaian air per hari dan pengelolaan
sampah. Dibandingkan dengan Riskesdas 2013, dirumah tangga pemakaian air < 20L
per orang per hari turun dari 5% menjadi 2,2%. Untuk pengelolaan sampah, rumah
tangga yang mengelola dengan membakar sebesar 49,5%. Akses Pelayanan
Kesehatan

Riskesdas 2018 menunjukkan proporsi pengetahuan rumah tangga terhadap


kemudahan akses ke rumah sakit sebagai berikut; mudah 37,1%; sulit 36,9%; dan
sangat sulit 26%. Analisis dilihat dari jenis transportasi, waktu tempuh dan biaya.

Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pelayanan kesehatan tradisional Riskesdas 2018 dilihat dari pemanfaatan taman obat
keluarga (toga), proporsinya sebesar 24,6%. Proporsi pemanfaatan pelayanan
kesehatan tradisional sedikit meningkat, dari 30,4% (Riskesdas 2013) menjadi 31,4%.
3. Jelaskan faktor pendukung dan penghambat D/S (partisipasi masyarakat) dalam
kunjungan posyandu khususnya di Puskesmas Wilayah tempat tinggal masing2.

JAWAB :

Faktor pendukung menurut pernyataan yang dikatakan beberapa partisipan dari


sembilan orang dipuskemas Duri kecamatan Mandau partisipan yang memiliki anak
usia 0 – 59 bulan yakni karena manfaat imunisasi, pemantauan tumbuh kembang
anak, menimbang menjadi faktor pendukung mereka membawa anak mereka untuk
datang atau hadir ke Posyandu

Faktor penghambat

Ada beberapa pernyataan yang dikemukakan partisipan berkaitan tentang factor


penghambat kunjungan mereka yang memiliki bayi dan balita ke Posyandu yakni
Pengetahuan yang kurang, sikap ibu yang negatif, keterbatasan waktu, pekerjaan,
informasi tentang Posyandu,kualitas pelayanan kesehatan, tidak ada dukungan
keluarga, dan komposisi vaksin. Pengetahuan yang kurang yang dimiliki oleh
orangtua yang memiliki bayi dan balita juga dapat mempengaruhi kunjungan bayi dan
balita untuk datang ke Posyandu karena para ibu membawa bayinya hanya sampai
imunisasi lengkap saja.

4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Intervensi utama perbaikan gizi (spesifik dan
sensitif) terkait dengan permasalahan yang ada dibawah ini :

 Masalah Stunting

 Imunisasi

 TB

JAWAB :

Untuk mendapatkan gizi yang lebih baik diperlukan dukungan lintas sektoral. Dalam
hal ini kontribusi sektor kesehatan hanya 30%, sedangkan sektor non kesehatan 70%
digunakan untuk mengatasi masalah gizi (Hadiat, 2015). Untuk mengatasi masalah
gizi kurang diperlukan intervensi khusus dan sensitif yang dijelaskan dalam rencana
1000 HPK; intervensi gizi khusus adalah kegiatan yang secara langsung mengatasi
masalah stunting, seperti asupan makanan, infeksi, dan gizi ibu. Status, penyakit
menular dan kesehatan lingkungan. Intervensi khusus ini biasanya disediakan oleh
departemen kesehatan.

Pada saat yang sama, departemen non kesehatan telah mengambil langkah-langkah
intervensi yang sensitif, seperti penyediaan fasilitas air bersih, ketahanan pangan,
jaminan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Tindakan atau kegiatan yang
direncanakan khusus untuk 1000 populasi HPK. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh
dinas kesehatan. Intervensi spesifiknya bersifat jangka pendek, dan hasilnya dapat
dicatat dalam waktu yang relatif singkat. Tak hanya stunting, tuberkulosis termasuk
faktor penting terhadap status gizi manusia. Tubuh mampu melawan infeksi dengan
baik bila dicukupi dengan makanan bergizi dalam jumlah yang memadai. Status gizi
masa lalu anak sangat menentukan kemampuan anak untuk melawan kuman TB.
Anak dengan gizi baik mampu mencegah penyebaran penyakit di dalam paru. Namun,
anak dengan gizi kurang termasuk gizi stunting dapat menderita penyakit paru dengan
kavitas yang luas pada usia dini.

Untuk mencegah TB dilakukanlah pemberian imunisasi yaitu imunisasi BCG.


Pemberian immunisasi BCG secara konsisten memberikan perlindungan terhadap
terjadinya meningitis TB dan TB milier pada anak usia dibawah lima tahun. Anggota
keluarga yang tinggal serumah dengan pasien TB, tidak dapat menghindari kontak
atau selalu berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dalam jangka waktu lama,
mempunyai risiko terinfeksi kuman TB sebesar 30 persen.

Anda mungkin juga menyukai