Anda di halaman 1dari 31

SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN

Tugas Praktikum 1

Disusun oleh:
Fatimatus Zahro
G41192102

Dosen Pengampu:
Rossalina Adi Wijayanti, S.KM, M.Kes

PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN

JURUSAN KESEHATAN

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2022
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM

1. Kondisi pencapaian indikator RPJMN 2020-2024


 Peningkatan Kesehatan Ibu, Anak, Keluarga Berencana, dan Kesehatan
Reproduksi

Dapat dilihat dari tabel diatas bahwa berdasarkan SUPAS tahun 2015, baseline angka
kematian ibu per 100.000 KH yaitu sebesar 305. Sedangkan berdasarkan SDKI tahun
2017, baseline angka kematian bayi per 1.000 KH yaitu sebesar 24.
Keberhasilan program kesehatan ibu dapat dinilai melalui indikator utama
Angka Kematian Ibu (AKI). Kematian ibu dalam indikator ini didefinisikan sebagai
semua kematian selama periode kehamilan, persalinan, dan nifas yang disebabkan oleh
pengelolaannya tetapi bukan karena sebab lain seperti kecelakaan atau insidental. AKI
adalah semua kematian dalam ruang lingkup tersebut di setiap 100.000 kelahiran hidup.
Selain untuk menilai program kesehatan ibu, indikator ini juga mampu menilai
derajat kesehatan masyarakat, karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan
kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun kualitas. Secara umum terjadi penurunan
kematian ibu selama periode 1991- 2015 dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran
hidup. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan angka kematian ibu, angka ini tidak
berhasil mencapai target MDGs yang harus dicapai yaitu sebesar 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus(SUPAS) tahun
2015 memperlihatkan angka kematian ibu tiga kali lipat dibandingkan target MDGs.
Gambaran AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga tahun 2015 dapat dilihat pada
Gambar 5.1 berikut ini.
Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program kesehatan keluarga
di Kementerian Kesehatan meningkat setiap tahun. Pada tahun 2021 menunjukkan 7.389
kematian di Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2020
sebesar 4.627 kematian.

Perlu dilakukan beberapa upaya untuk menurunkan AKI. Berikut upaya-upaya


yang direkomendasikan untuk menurunkan AKI: pelayanan kesehatan ibu hamil,
pelayanan imunisasi Tetanus Difteri bagi Wanita Usia Subur (WUS), pemberian tablet
tambah darah, pelayanan kesehatan ibu bersalin, pelayanan kesehatan ibu nifas,
puskesmas melaksanakan kelas ibu hamil dan Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K), pelayanan kontrasepsi/Keluarga Berencana (KB), dan
pemeriksaan HIV serta Hepatitis B.
Keluarga Berencana selanjutnya disingkat dengan KB, adalah upaya mengatur
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,
perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga
yang berkualitas. Peserta KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang saat ini sedang
menggunakan salah satu alat kontrasepsi tanpa diselingi kehamilan. PUS peserta KB
terdiri dari peserta KB modern (mengunakan alat/obat/cara KB berupa steril wanita
(MOW), steril pria (MOP), IUD/AKDR). Implan/susuk, suntik, pil, kondom dan Metode
Amenore Laktasi (MAL) dan peserta KB tradisional (menggunakan alat/obat/cara KB
berupa pantang berkala, senggama terputus, dan alat/obat/cara KB tradisional lainnya).

Menurut hasil pendataan keluarga tahun 2021, BKKBN, menunjukkan bahwa angka
prevalensi PUS peserta KB di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 57,4%. Berdasarkan
distribusi provinsi, angka prevalensi pemakaian KB tertinggi adalah Kalimantan Selatan
(67,9%), Kepulauan Bangka Belitung (67,5%), dan Bengkulu (65,5%), sedangkan
terendah adalah Papua (15,4%), Papua Barat (29,4%) dan Maluku (33,9%). Sedangkan,
Provinsi DKI Jakarta tidak terdata dalam grafik diatas dikarenakan data yang bersumber
dari CARIK JAKARTA belum terintegrasi ke dalam data hasil pendataan keluarga
tahun 2021, BKKBN.
Upaya kesehatan anak dilaksanakan sejak janin dalam kandungan hingga anak
berusia 18 tahun. Salah satu tujuan upaya kesehatan anak adalah menjamin
kelangsungan hidup anak melalui upaya menurunkan angka kematian bayi baru lahir,
bayi dan balita.
Tren kematian anak dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan. Data yang dilaporkan
kepada Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak melalui
https://komdatkesmas.kemkes.go.id menunjukkan jumlah kematian balita pada tahun
2021 sebanyak 27.566 kematian balita, menurun dibandingkan tahun 2020, yaitu
sebanyak 28.158 kematian. Dari seluruh kematian balita, 73,1% diantaranya terjadi pada
masa neonatal (20.154 kematian). Dari seluruh kematian neonatal yang dilaporkan,
sebagian besar diantaranya (79,1%) terjadi pada usia 0-6 hari, sedangkan kematian pada
usia 7-28 hari sebesar 20,9%. Sementara itu, kematian pada masa post neonatal (usia 29
hari-11 bulan) sebesar 18,5% (5.102 kematian) dan kematian anak balita (usia 12-59
bulan) sebesar 8,4% (2.310 kematian).
Upaya kesehatan anak dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun
2014 dilakukan melalui pelayanan kesehatan janin dalam kandungan, kesehatan bayi
baru lahir, kesehatan bayi, anak balita, dan prasekolah, kesehatan anak usia sekolah dan
remaja, dan perlindungan kesehatan anak.

 Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat


Hasil hasil survey nasional Riset Kesehatan Dasar dan Survey Status Gizi Balita
Indonesia menunjukkan prevalensi stunting mengalami perbaikan dalam beberapa
tahunterakhirini, dari 37.2% tahun 2013 menjadi 30,8% (2018), 27,67% (2019). Lalu
dari SSGI tahun2021 diketahui prevalensi stunting balita Indonesia menjadi 24,4%,
seperti yangtergambar pada gambar di bawah ini:
Namun, angka-angka tersebut menggambarkan bahwa rata-rata penurunan
stuntingpertahun sekitar 1,65%, masih di bawah target yang ditetapkan oleh Presiden
yaitusekitar 3– 3,5% agar target prevalensi balita di tahun 2024 menjadi 14%.
Dari data SSGI 2021 diketahui bahwa dari 95.111 balita sampel yang diukur
Panjang/tinggi badannya, terdapat 23.262 balita dengan z score panjang/tinggi badan
<-2SD (stunting/pendek) atau sekitar 24,4% balita mengalami stunting. Capaian
sebesar 24,4% dibandingkan dengan target 2021 sebesar 21,1%menunjukkanbahwa
indikator persentase balita stunting tahun 2021 tidak tercapai. Realisasi
capaianindikator tersebut dibandingkan dengan target seperti terlihat pada gambar di
bawah ini:
Gambaran prevalensi balita stunting setiap provinsi berdasarkan hasil SSGI
Tahun2021 dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Dari gambar di atas terlihat bahwa provinsi dengan persentase balita stunting
terendahadalah Bali dengan angka sebesar 10,9%, sementara Nusa Tenggara Timur
adalahprovinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi dengan angka yaitu 37,8%.
Terdapat 7 provinsi yang sudah mencapai target dengan prevalensi di bawah 21,1%,
yaitu provinsi JawaTengah, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Kepulauan Riau,
DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Bali.
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa sekitar 10.2% balita mengalami gizi
kurang (wasting). Anak-anak yang mengalami masalah gizi tersebut memiliki risiko
11.6 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian dibanding anak-anak yang memiliki
status gizi baik. Pun jika anak-anak dengan masalah gizi tersbut mampu bertahan
tetapi akan berisiko untuk mengalami masalah pertumbuhan, perkembangan dan
masalah kesehatan lainnya di sepanjang tahap kehidupannya.
Selain itu, masalah kekurangan zat gizi mikro masih mendominasi permasalah gizi di
Indonesia yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya prevalensi anemia pada
ibu hamil dari 37.1% pada tahun 2013 menjadi 48.9% pada tahun 2018. Ibu hamil
yang mengalami anemia berisiko tinggi untuk melahirkan bayi premature, bayi
dengna berat lahir rendah juga mengalami perdarahan pada saat melahirkan bahkan
dapt mengakibatkan kematian. Sementara disisi lain, masalah gizi lebih dan obesitas
pada usia dewasa juga meningkat secara signifikan dari 15% di tahun 2013 menjadi
22% di tahun 2018. Riskesdas 2018 melaporkan bahwa overweight pada kelompok
umur 16 – 18 tahun meningkat cukup tajam dari 1.4% tahun 2010 menjadi 7.3%
tahun 2013.
 Peningkatan Pengendalian Penyakit
a. Penyakit Menular Langsung
1. TBC
Jumlah kematian akibat Tuberkulosis secara global pada tahun 2020
sebesar 1,3 juta, hal ini mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2019
yaitu sebesar 1,2 juta.
Pada tahun 2021 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak
397.377 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang
ditemukan pada tahun 2020 yaitu sebesar 351.936 kasus. Jumlah kasus tertinggi
dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut
menyumbang angka sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di
Indonesia. Jika dibandingkan dari jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan dengan perempuan baik secara nasional maupun provinsi.
Secara nasional jumlah kasus pada laki-laki sebesar 57,5% dan 42,5% pada
perempuan.
Treatment Coverage (TC) adalah jumlah kasus TBC yang diobati dan
dilaporkan pada tahun tertentu dibagi dengan perkiraan jumlah insiden kasus
TBC pada tahun yang sama dan dinyatakan dalam persentase. TC
menggambarkan seberapa banyak kasus tuberkulosis yang terjangkau oleh
program.

Grafik diatas menunjukkan bahwa TC kasus tuberkulosis pada tahun 2021


sebesar 47,1% , meningkat jika dibandingkan tahun 2020. TC tertinggi terlihat di
tahun 2018 yaitu sebesar 67,6%. TC pada tahun 2021 di Indonesia belum
mencapai target TC yang diharapkan yaitu sebesar 49% (WHO, Global
Tuberculosis Report, 2021).
Grafik diatas menunjukan bahwa belum ada provinsi yang mencapai angka TC
≥85% pada tahun 2021. Namun, provinsi dengan TC tertinggi adalah Jawa Barat
71,3% dan Banten sebesar 70,5%.
Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) merupakan indikator
yang digunakan untuk mengevaluasi pengobatan tuberkulosis. Angka
keberhasilan pengobatan yaitu jumlah semua kasus tuberkulosis yang sembuh
dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TBC yang diobati dan
dilaporkan.
Provinsi yang mencapai angka keberhasilan pengobatan semua kasus
tuberkulosis minimal 90% pada tahun 2021 sebanyak 7 provinsi, yaitu Lampung
(94,9%), Riau (93,2%), Sulawesi Barat (90,9%), Sulawesi Utara (90,6%),
Sumatera Utara (90,3%), Nusa Tenggara Barat (90,3%) Banten (90,1%).

2. HIV/AIDS

Estimasi jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada tahun 2020


sebanyak 543.100 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 29.557 orang dan
kematian sebanyak 30.137 orang (Hasil Pemodelan Spectrum 2020).
Dari Gambar di bawah ini terlihat jumlah kasus HIV positif yang
dilaporkan dari tahun ketahun cenderung meningkat. Namun, pada tahun 2021
jumlah kasus HIV positif merupakan yang terendah sejak empat tahun terakhir,
yaitu dilaporkan sebanyak 36.902 kasus. Sebaliknya, dibandingkan rata-rata 8
tahun sebelumnya, jumlah kasus baru AIDS cenderung menurun, pada tahun
2021 dilaporkan sebanyak 5.750 kasus.
Penurunan kasus HIV dan AIDS pada di tahun 2020 dan 2021 dikarenakan
terjadi pandemi COVID 19, dimana banyak tenaga kesehatan di layanan
membantu penanganan COVID-19, sementara di tahun 2021 tenaga kesehatan di
layanan membantu pemberian vaksinasi COVID-19 kepada masyarakat.

3. Pneumonia
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu
dengan meningkatkan penemuan pneumonia pada balita. Berikut cakupan
penemuan kasus pneumonia pada balita di Indonesia pada tahun 2011-2021
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Cakupan penemuan pneumonia pada balita selama 11 tahun terakhir terlihat


cukup fluktuatif. Cakupan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar 65,3%. Pada
tahun 2015-2019 adanya perubahan angka perkiraan kasus dari 10% menjadi
3,55%, hal ini menyebabkan pada tahun tersebut cakupannya tinggi. Penurunan
yang cukup signifikan terlihat ditahun 2020-2021 jika dibandingkan dengan
cakupan 5 tahun terakhir, penurunan ini di sebabkan dampak dari pandemi
COVID-19, dimana adanya stigma pada penderita COVID-19 yang berpengaruh
pada penurunan jumlah kunjungan balita batuk atau kesulitan bernapas di
puskesmas.
Pada tahun 2019 jumlah kunjungan balita batuk atau kesulitan bernapas
sebesar 7,047,834 kunjungan, pada tahun 2020 menjadi 4,972,553 kunjungan,
terjadi penurunan 30% dari kunjungan tahun 2019, dan tahun 2021 menurun
kembali menjadi 4.432.177 yang pada akhirnya berdampak pada penemuan
pneumonia balita.

Pada tahun 2021 secara nasional cakupan pneumonia pada balita sebesar 31,4%,
dan provinsi belum mencapai target penemuan sebesar 65%. Provinsi dengan
cakupan penemuan pneumonia pada balita tertinggi berada di Jawa Timur (50,0),
Banten (46,2%), dan Lampung (40,6%).

4. Hepatitis
Laporan yang diterima oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa
setiap tahun selalu terjadi KLB Hepatitis A, sedangkan untuk Hepatitis E jarang
dilaporkan di Indonesia. Hasil RISKESDAS tahun 2018 memperlihatkan
prevalensi hepatitis berdasarkan riwayat diagnosis dokter sebesar 0,39% dengan
disparitas antar provinsi sebesar 0,18% (Kep. Bangka Belitung) dan 0,66%
(Papua). Berdasarkan kelompok umur, hepatitis menyebar hampir merata pada
seluruh kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tempat
tinggal.
Program Nasional dalam Pencegahan dan Pengendalian Virus Hepatitis
B saat ini fokus pada pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) karena 95%
anak berisiko tertular Hepatitis B kronik dari ibunya yang Positif Hepatitis B.
Pelaksanaan Deteksi dini Hepatitis B (DDHB) pada kelompok berisiko/ibu hamil
telah dilakukan sejak tahun 2013 dengan uji coba di satu provinsi yaitu DKI
Jakarta pada 5000 ibu hamil, pelaksanaan terus diperluas secara bertahap hingga
pada tahun 2017 kegiatan ini telah dilaksanakan di 34 provinsi (173 Kab/kota),
dan di tahun yang sama juga program DDHB berkolaborasi dan berinteraksi
dalam pelayanan Pencegahan Penularan dari lbu ke Anak (PPIA) HIV, Sifilis
dan Hepatitis B.

Gambar diatas menunjukkan kenaikan target per tahun yang diikuti dengan
kenaikan capaian target indikator. Pada tahun 2021 capaian indikator telah
mencapai target Renstra tahun 2021 (90%), yaitu 93,0%. Selama tujuh tahun
berturut-turut sejak dilaksanakan, indikator Renstra tersebut selalu mencapai
target.
Sebanyak 27 dari 34 provinsi telah 100% kabupaten/kotanya
melaksanakan deteksi dini hepatitis B, sedangkan sebanyak 5 provinsi yaitu
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Papua Barat, dan Papua
belum mencapai target Renstra tahun 2021.
5. Diare
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 memperlihatkan prevalensi diare
untuk semua kelompok umur sebesar 8 %, balita sebesar 12,3 %, dan pada bayi
sebesar 10,6%. Sementara pada Sample Registration System tahun 2018, diare
tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada neonatus sebesar 7%
dan pada bayi usia 28 hari sebesar 6%.
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare) menganjurkan bahwa
semua penderita diare harus mendapatkan oralit maka target penggunaan oralit
adalah 100% dari semua kasus diare yang mendapatkan pelayanan di puskesmas.
Tahun 2021 secara nasional penggunaan oralit pada semua umur maupun balita
masih di bawah 100%, pada semua umur 90,1% dan pada balita 91,2%. Tidak
tercapainya target tersebut disebabkan pemberi layanan di Puskesmas belum
memberikan oralit sesuai standar tata laksana yaitu sebanyak 6
bungkus/penderita diare. Selain itu, masyarakat masih belum mengetahui tentang
manfaat oralit sebagai cairan yang harus diberikan pada setiap penderita diare
untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Selain oralit, balita juga diberikan zink
yang merupakan mikronutrien yang berfungsi untuk mengurangi lama dan
tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja serta mencegah terjadinya diare berulang diare pada tiga bulan
berikutnya. Penggunaan zink selama 10 hari berturut-turut pada saat balita diare
merupakan terapi diare balita. Pada tahun 2021 cakupan pemberian zink pada
balita diare sebesar 90,7%.

6. Covid-19
Untuk memutus rantai penularan COVID-19, selain melaksanakan
protokol kesehatan secara ketat, diperlukan upaya untuk meningkatkan
imunitas masyarakat. Vaksinasi bertujuan untuk meningkatkan kekebalan
kelompok (herd immunity). Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 telah
dilaksanakan sejak tanggal 13 Januari 2021 dengan total sasaran 208.265.720
orang usia >12 tahun dan diharapkan dapat selesai pada akhir tahun 2021.
b. Penyakit Tidak Menular
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM) yang mengacu pada klasifikasi
internasional penyakit (International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems) mengelompokkan penyakit ini berdasarkan sistem dan
organ tubuh menjadi 12 jenis penyakit yaitu: 1. Penyakit keganasan 2. Penyakit
endokrin, nutrisi, dan metabolik 3. Penyakit sistem saraf 4. Penyakit sistem
pernapasan 5. Penyakit sistem sirkulasi 6. Penyakit mata dan adnexa 7. Penyakit
telinga dan mastoid 8. Penyakit kulit dan jaringan subkutanius 9. Penyakit sistem
musculoskeletal dan jaringan penyambung 10. Penyakit sistem genitourinaria 11.
Penyakit gangguan mental dan perilaku 12. Penyakit kelainan darah dan
gangguan pembentukan organ daraPenanggulangan PTM melalui upaya
kesehatan masyarakat terdiri dari upaya pencegahan dan pengendalian.

Upaya pencegahan dilaksanakan melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi


dini faktor risiko, dan perlindungan khusus yang menitikberatkan pada faktor
risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi merokok,
kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat, konsumsi minuman beralkohol, dan
lingkungan yang tidak sehat. Upaya pengendalian dilaksanakan melalui kegiatan
penemuan dini kasus dan tata laksana dini.

a) Jumlah Kabupaten/Kota Melakukan Pelayanan Terpadu (PANDU) PTM di >


80% Puskesmas
Sampai dengan tahun 2021, sebanyak 168 kabupaten/kota atau 32,7% dari
514 kabupaten kota yang melakukan pelayanan terpadu PTM di ≥ 80%
puskesmas. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2020 ketika hanya
13,6% kabupaten/kota yang telah menerapkan PANDU PTM. Terdapat lima
provinsi yang tidak memiliki kabupaten dengan jumlah puskesmas
menerapkan PANDU PTM > 80%, yaitu Banten, Sulawesi Utara, Maluku
Utara, Papua Barat, dan Papua. Sebanyak enam provinsi dengan capaian
melebihi 50%, yaitu Provinsi Lampung, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Sebagain
besar wilayah di Indonesia, yaitu 23 provinsi atau 67,6% dari seluruh provinsi
masih memiliki capaian kurang dari 50%. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa masih diperlukan upaya untuk meningkatkan capaian indikator ini di
sebagain besar provinsi.
b) Pengendalian Konsumsi Tembakau
Untuk memperkuat implementasi KTR, Kementerian Kesehatan telah
menetapkan indikator Renstra yaitu jumlah kabupaten/kota yang menerapkan
KTR. Sebanyak 321 kabupaten/kota (62,5%) telah menerapkan KTR sampai
dengan tahun 2021. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan
tahun 2020 yang sebesar 285 kabupaten/kota. Meskipun terjadi peningkatan
jumlah kabupaten/kota menerapkan KTR di tingkat nasional, namun jumlah
ini belum memenuhi target yang ditetapkan sebesar 374 kabupaten/kota.
Target yang tidak tercapai tersebut disebabkan belum semua pemerintah
daerah kabupaten/kota memprioritaskan penerapan KTR yang terbukti masih
rendahnya dukungan politis untuk penyusunan regulasi KTR. Upaya untuk
meningkatkan capaian indikator ini tetap dilakukan melalui pengawasan
secara berkesinambungan dan dibentuknya satuan tugas dalam implementasi
kawasan tanpa rokok di daerah.
Selain penerapan KTR, pemerintah mengembangkan inovasi berupa
Layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM). Layanan ini merupakan upaya
promotif, preventif dan tatalaksana pengendalian konsumsi rokok dengan
membantu masyarakat untuk berhenti merokok dari gejala putus nikotin yang
dilaksanakan di FKTP, salah satunya di puskesmas. Puskesmas layanan UBM
adalah Puskesmas yang melaksanakan layanan konseling UBM dan
melaporkan hasil kegiatan melalui Sistem Informasi PTM. Strategi ini
ditempuh untuk menurunkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun.
Diharapkan, kabupaten/kota di Indonesia menyelenggarakan layanan UBM di
> 40% Puskesmas. Pada tahun 2021, jumlah kabupaten/kota yang
melaksanakan layanan UBM di > 40% Puskesmas ada sebanyak 74 dari 100
kabupaten kota yang ditargetkan, artinya jumlah tersebut belum mencapai
target indikator. Hal tersebut dikarenakan banyak daerah yang tidak
menjalankan layanan UBM di masa pandemi COVID-19 dan rendahnya
kepatuhan pelaporan kegiatan melalui SI PTM. Sebanyak 79,4% atau 27 dari
34 provinsi telah menyelenggarakan layanan UBM walaupun masih belum
optimal. Provinsi dengan kabupaten/kota terbanyak yang menyelenggarakan
layanan UBM adalah Kalimantan Utara, namun disisi lain masih ada provinsi
yang belum melaksanakan layanan UBM atau tidak melaporkan kegiatan
melalui SI PTM seperti Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, Kalimantan
Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Bengkulu.
c) Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Payudara
Sampai dengan tahun 2021, sebanyak 2.827.177 perempuan usia 30-50 tahun
atau 6,83% dari sasaran telah menjalani deteksi dini kanker leher rahim dan
kanker payudara dengan metode IVA dan SADANIS. Deteksi dini tertinggi
dilaporkan oleh Provinsi Kep. Bangka Belitung sebesar 30,24%, diikuti oleh
Sumatera Selatan sebanyak 25,16%, dan Nusa Tenggara Barat sebanyak
23,22%. Sedangkan, provinsi dengan cakupan deteksi dini terendah yaitu
Papua sebesar 0,03%, diikuti Papua Barat sebesar 0,56%, dan Aceh sebesar
0,57%. Provinsi dengan cakupan deteksi dini yang rendah dikhawatirkan akan
mengalami peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat kanker leher
rahim dan payudara. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan
cakupan deteksi dini di wilayah dengan cakupan yang masih rendah.
d) Deteksi Dini Gagguan Indera
Kegiatan deteksi dini gangguan penglihatan dan pendengaran menyasar
semua kelompok umur. Kegiatan ini ditetapkan melalui indikator Renstra
yaitu jumlah kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini gangguan indera pada
> 40% penduduk. Pada tahun 2021, sebanyak 206 kabupaten/kota ditargetkan
merealisasikan kegiatan ini. Pada tahun 2021 terdapat 98 kabupaten/kota
melaksanakan deteksi dini gangguan indera pada > 40% penduduk atau
sebesar 47,6% dari kabupaten/kota target. Jumlah ini jauh meningkat
dibandingkan tahun 2020 ketika hanya 7 kabupaten/kota yang melaksanakan
deteksi dini. Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah kabupaten/kota tertinggi
yang melaksanakan deteksi dini, yaitu sebesar 24 kabupaten/kota. Terdapat 10
provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya belum melaksanakan deteksi dini
pada > 40% penduduk, yaitu Riau, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, DI
Yogyakarta, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan
Papua. Sepuluh provinsi tersebut membutuhkan intervensi dari pemerintah
pusat maupun daerah agar pada tahun-tahun berikutnya kegiatan deteksi dini
gangguan indera dapat dilaksanankan.
 Penguatan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
Indikator gerakan masyarakat hidup sehat dapat dinilai melalui:
1. Persentase Kabupaten/kota yang menerapkan kebijakan Germas
Target indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Menerapkan Kebijakan Germas
Pada tahun 2021 adalah 45.14% dan realisasinya sebesar 45.14%, dengan capaian
sebesar atau sebesar 128.97% dari target capaian yang ditentukan. Jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya maka di peroleh hasil peningkatan Kabupaten/Kota yang
Menerapkan Kebijakan Germas yaitu persentase capaian indikator Kabupaten/Kota
yang Menerapkan Kebijakan Germas Tahun 2020 sebesar 33% (110%) Sedangkan
pada tahun 2021, capaian indikator Kabupaten/Kota Yang Menerapkan Kebijakan
Germas sebesar 45.14% (128.97%).
2. Persentase Kabupaten/kota yang melaksanakan pembinaan Posyandu Aktif
Capaian Target indikator Persentase Kabupaten/kota yang melaksanakan pembinaan
Posyandu Aktif Pada tahun 2021 adalah 47.28%, atau sebesar 68% dari target
capaian yang ditentukan. Hal ini menggambarkan bahwa masih ada gap sebesar 32%
target indikator yang belum terpenuhi pada tahun 2021. Persentase capaian indikator
Kabupaten/kota yang melaksanakan pembinaan Posyandu Aktif Pada tahun Tahun
2020 sebesar 14% (32%) Sedangkan pada tahun 2021, capaian yang melaksanakan
pembinaan Posyandu Aktif sebesar 47.28% (68%).
3. Persentase desa/ kelurahan dengan Stop Buang air besar Sembarangan (SBS)
Berdasarkan riskesdas tahun 2018 sejumlah 16, 194 Desa/Kelurahan dengan status
SBS terverifikasi sama dengan 20.04% dari total desa/ kelurahan (80,805).
Sedangkan pada tahun tahun 2021 persentase desa/kelurahan SBS secara nasional
adalah 48,7%. Provinsi dengan persentase desa/kelurahan SBS tertinggi yaitu DI
Yogyakarta (100%), Sulawesi Selatan (96,3%), dan Jawa Tengah (85,3%). Provinsi
dengan persentase terendah desa/kelurahan SBS adalah Papua (3,8%), Papua Barat
(7,7%), dan Gorontalo (10,7%). Pemerintah Indonesia menetapkan target 0 persen
buang air sembarangan, 90 persen akses sanitasi dan 15 persen sanitasi aman hingga
akhir tahun 2024.
 Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Pengawasan Obat dan Makanan
Perkembangan jumlah puskesmas sejak tahun 2016, jumlah Puskesmas semakin
meningkat, dari 9.767 unit menjadi 10.230 Puskesmas pada tahun 2020. Peningkatan
jumlah Puskesmas tersebut menggambarkan upaya pemerintah dalam pemenuhan
akses terhadap pelayanan kesehatan primer. Pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan primer dapat dilihat secara umum dari rasio Puskesmas terhadap
kecamatan. Rasio Puskesmas terhadap kecamatan pada tahun 2020 sebesar 1,4. Hal
ini menggambarkan bahwa rasio ideal Puskesmas terhadap kecamatan yaitu minimal
1 Puskesmas di 1 kecamatan, secara nasional sudah terpenuhi
Rumah sakit di Indonesia dari tahun 2016-2020 mengalami peningkatan sebesar
12,86%. Pada tahun 2016 jumlah rumah sakit sebanyak 2.601 meningkat menjadi
2.985 pada tahun 2020. Jumlah rumah sakit di Indonesia sampai dengan tahun 2019
terdiri dari 2.344 Rumah Sakit Umum (RSU) dan 533 Rumah Sakit Khusus (RSK).
Dalam RPJMN 2020-2024, disebutkan bahwa sistem Pengawasan Obat dan
Makanan belum berjalan dengan optimal, hal ini dikarenakan adanya berbagai
tantangan yang dihadapi. Berikut merupakan hasil kinerja BPOM selama tahun 2018
-2019
2. Syarat Pokok Pembiayaan Kesehatan
a. Jumlah
Berdasarkan informasi yang dituliskan pada salah satu website, tertulis bahwa
realisasi jumlah dana APBN untuk kesehatan pada semester I tahun 2022 adalah
sebesar Rp74,2 triliun. Jumlah ini dikatakan turun jika dibandingkan dengan
periode yang sama pada tahun sebelumnya. Besar persentase penurunan jumlah
anggaran kesehatan mencapai 11,1% dibandingkan dengan jumlah anggaran tahun
lalu sebesar Rp83,5 triliun.
b. Penyebaran/Alokasi
Berdasarkan berita tahun 2021 silam, dikatakan bahwa dalam RUU APBN 2022
yang dibacakan oleh Presiden Joko Widodo, pemerintah menganggarkan belanja
untuk sektor kesehatan sebesar Rp255,3 triliun atau 9,4 persen dari total belanja
negara. Disebutkan juga bahwa kementerian kesehatan memastikan bahwa
anggaran kesehatan tahun 2022 teralokasi merata ke setiap daerah. Namun seperti
yang kita ketahui dari pernyataan sebelumnya, anggaran kesehatan yang
terealisasikan masih mencapai sebesar Rp74,2 triliun. Jumlah tersebut belum
mencapai jumlah yang dianggarkan pada RUU APBN 2022. Berdasarkan Biro
Keuangan dan BMN Kementerian Kesehatan pada tahun 2021 ini memiliki
alokasi anggaran sebesar 214 triliun rupiah dengan realisasi sebesar 208 triliun
rupiah. Alokasi anggaran tahun 2021 mengalami kenaikan sebesar 107 triliun
rupiah jika dibandingkan dengan tahun 2020. Dibandingkan dengan persentase
realisasi tahun sebelumnya, tahun 2021 juga mengalami kenaikan, dimana
persentase realisasi anggaran Kementerian Kesehatan pada tahun 2021 sebesar
97,16%, naik dari tahun 2020 sebesar 95,49%. Hal tersebut disajikan pada gambar
bagan di bawah ini.
Dari keseluruhan alokasi anggaran Kementerian Kesehatan sebesar 214,4 triliun
rupiah, sebanyak 45,4 triliun rupiah atau sebesar 21,18% merupakan dana untuk
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang dimasukkan dalam alokasi anggaran Sekretariat Jenderal. Dana tersebut
diwujudkan melalui anggaran Belanja Bantuan Sosial (Bansos) Kementerian
Kesehatan. Pada anggaran Kementerian Kesehatan yang terbesar berikutnya
dialokasikan untuk belanja barang, sebesar 74,4%, serta belanja pegawai dan
belanja modal sebesar masing-masing 2,0%. Untuk persentase realisasi anggaran
Kementerian Kesehatan berdasarkan jenis belanja yang paling tinggi
adalahbelanja bansos sebesar 98,5% dan yang paling rendah adalah belanja modal
sebesar 57,9%.
c. Pemanfaatan
Pemanfaatan pembiayaan kesehatan dapat dilihat melalui kepesertaan Program
JKN masyarakat Indonesia per Mei 2022 cakupannya sudah 88,6% dari total
populasi Indonesia, sudah melewati target RPJMN tahun 2022 yaitu 87%. Per 30
juni 2022 241,7 juta jiwa masyarakat Indonesia mengikuti kepesertaan Program
JKN.
3. Permasalahan Pokok Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
Salah satu permasalahan pembiayaan kesehatan di Indonesia yaitu defisit
BPJS Kesehatan. Dalam tujuh tahun terakhir, salah satu masalah yang terjadi
menahun adalah terus meningkatnya nilai defisit. Defisit Dana Jaminan Sosial
Kesehatan atau yang lebih dikenal sebagai defisit BPJS Kesehatan merupakan
mismatch antara belum optimalnya pendapatan yang bersumber dari iuran peserta dan
besarnya beban jaminan kesehatan yang perlu ditanggung, yang pada tahun 2018
mencapai Rp 11,69 triliun. Studi dari LPEM UI tahun 2019 memprediksi jumlah
defisit akan mencapai Rp 50 triliun hingga 10 tahun mendatang jika tidak diatasi
dengan kebijakan yang strategis. Untuk menutup defisit tersebut, Pemerintah
mengambil kebijakan jangka pendek berupa pemberian suntikan dana yang berasal
dari APBN. Total selama 4 tahun, BPJS Kesehatan telah mendapatkan suntikan dana
tambahan sebesar Rp 15,9 triliun akibat mismatch antara pendapatan dan beban DJS.
Beberapa penyebab defisit JKN antara lain:
a. Iuran
Besaran iuran belum sesuai dengan perhitungan aktuaria dan tidak mencukupi
untuk membiayai pengeluaran pelayanan apalagi beban pelayanan kesehatan
untuk penyakit katastropik sangat tinggi dan terus meningkat. Iuran yang saat ini
berjalan tidak mampu menopang beban yang ada.
b. Di sisi kepesertaan, peserta PBPU dan perluasan kepesertaan PPU masih belum
optimal. Rendahnya kepesertaan dari PBPU dan PPU menunjukkan bahwa
komitmen semua pihak terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan sosial masih
rendah. Hal ini juga disebabkan adanya pemahaman yang kurang tentang
pentingnya asuransi sosial kesehatan sebagai jalan pencapaian jaminan kesehatan
semesta dan jalan menuju kehidupan berbangsa yang lebih sehat dan kualitas. Dari
sisi kepatuhan, peserta mandiri masih belum disiplin dalam membayar iuran dan
masih banyak yang menunggak iuran. BPJS Kesehatan juga kurang optimal dalam
mendorong kepatuhan mengiur di kelompok peserta mandiri. Dengan kondisi
demikian maka kontribusi iuran masih rendah sehingga berkontribusi terhadap
defisitnya BPJS Kesehatan. Kepesertaan dan Kepatuhan
c. FKTP Belum Berfungsi Optimal
Puskesmas masih belum mampu menangani 144 jenis penyakit sebagaimana
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014 tentang
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Hal
ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga
kesehatan. Kekurangan tenaga medis yang ditempatkan di Puskesmas terpencil
misalnya, telah menyebabkan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
menjadi terbatas sehingga harus dirujuk ke rumah sakit. Selain itu penilaian
kinerja fasilitas primer yang disebut dengan Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK)
belum berjalan dengan optimal. Di sisi lain, pelaksanaan penanganan 144 jenis
penyakit oleh FKTP masih dianggap sebagai beban dan pekerjaan tambahan oleh
FKTP sehingga dengan mudah FKTP merujuk pasien ke FKRTL.
d. Rujukan Berjenjang di FKRTL yang Tidak Efisien
Rujukan berjenjang antar FKRTL menyebabkan klaim yang dibayarkan oleh
BPJS Kesehatan kepada rumah sakit semakin banyak. Berdasarkan temuan
lapangan, umumnya rumah sakit tipe B akan menerima pasien yang tidak bisa
ditangani oleh tipe rumah sakit di bawahnya dengan kondisi yang sudah cukup
serius sehingga beban biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit menjadi tidak
efisien.
e. Pengelolaan Keuangan BPJS Kesehatan Kurang Transparan dan Kurang
Akuntabel
Di dalam laporan kinerja dan laporan keuangan BPJS Kesehatan tidak
mencantumkan secara detail mengenai pengeluaran sesuai dengan yang telah
diatur dalam UU BPJS Nomor 24 tahun 2011. Kurangnya transparansi dan
akuntabilitas dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan kesalahan
manajemen keuangan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Di tingkat
penyelenggaran layanan (FKTP-FKTRL) dan pemerintah daerah juga terjadi
penyelewengan atau penyalahgunaan dana JKN. Di beberapa daerah, kepala
daerah dan pejabat di rumah sakit telah divonis oleh pengadilan karena tindak
korupsi dana JKN-BPJS Kesehatan. Banyak rumah sakit dan klinik yang diduga
melakukan “mark-up” klaim dana BPJS Kesehatan.
f. Per Pemerintah daerah belum optimal dalam mendukung pelaksanaan JKN secara
lebih efektif dan efisien. Pemda belum memantau pendataan dan pelaksanaan JKN
secara optimal. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa daerah yang
masih kesulitaan melakukan pendataan secara kolaboratif dengan pihak-pihak
terkait. Namun terdapat juga daerah yang sudah melakukan langkah-langkah yang
baik terkait pendataan dan kolaborasi secara gradual dengan berbagai pihak
misalnya Kabupaten Semarang dan Kota Kupang. an Pemerintah Daerah belum
Optimal
Beberapa rekomendasi kebijakan dan perbaikan teknis sebagai berikut:
1. Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) harus
segera merumuskan roadmap yang jelas mengenai keberlanjutan SJSN khususnya
jaminan kesehata sosial (JKN-BPJS Kesehatan). Road-map sangat penting agar
semua pihak mempunyai panduan dan kesamaan pandangan dalam pelaksanaan
jaminan kesehatan sosial di Indonesia. Di dalam road-map juga perlu menegaskan
skema pembiayaan yang berkelanjutan, kontribusi pemerintah, kontribusi peserta,
kenaikan tarif iuran, sistem pelayanan, peran pemerintah daerah, peran swasta,
peran masyarakat dan lain-lain. Dalam penyusunan road-map, pemerintah perlu
mengajak aktor non-pemerintah dan masyarakat luas agar suara publik
terakomodasi dengan baik.
2. Khusus terkait dengan nominal iuran, rekomendasi yang diajukan adalah adanya
penyesuaian iuran secara periodik berbasis proyeksi jangka panjang sehingga
resiko gagal bayar dapat dikurangi. Jika dilihat dari skenario kombinasi, kenaikan
iuran sebesar 15-18 persen setiap dua tahun dapat dilakukan dan dengan tambahan
penggalian sumber-sumber alternatif pendanaan lain yang diupayakan oleh
pemerintah.
3. Diperlukan adanya kebijakan tambahan terkait pengelolaan keuangan yang secara
khusus mengatur penggunaan dana SiLPA kapitasi untuk menutupi defisit BPJS
Kesehatan mengingat banyaknya dana SiLPA yang mengendap di rekening kas
daerah.
4. BPJS Kesehatan harus segera melakukan keterbukaan informasi pengelolaan
keuangan. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas BPJS Kesehatan dan
meningkatkan kepercayaan publik terhadap BPJS Kesehatan sehingga akan
mempengaruhi kepatuhan peserta dalama mengiur. Selain itu, BPJS Kesehatan
harus membuka ruang keterlibatan aktif dari pemerintah daerah dan masyarakat
untuk turut aktif dalam memantau pengelolaan JKN.
5. Diperlukan perbaikan data yang menjadi basis Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) sehingga kepesertaan PBI tepat sasaran. Pemerintah harus segera
melakukan pembenahan data single identity number agar dapat memantau seluruh
masyarakat agar mendapatkan perlindungan sosial sesuai kebutuhan.
6. Pemerintah harus terus-menerus membangun dan meningkatkan infrastruktur
kesehatan dasar dan lanjutan yang memadai, berkualitas dan merata di seluruh
wilayah Indonesial. Selain itu, pemerintah harus segera meningkatkan jumlah dan
kualitas tenaga kesehatan agar mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
7. Evaluasi sistem Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK) perlu dilakukan untuk
memastikan standar kualitas layanan pada penyelenggara layanan khususnya pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Kualitas layanan di FKTP perlu
dioptimalkan untuk memaksimalkan peran dan fungsinya. Pemerintah daerah
dapat memberikan dukungan kepada FKTP melalui pemerataan distribusi tenaga
kesehatan dan fasilitas kesehatan yang lebih memadai sehingga masyarakat dapat
memperoleh pelayanan yang baik dan berkualitas. Pemerintah daerah dapat juga
memberikan insentif kepada tenaga kesehatan yang bertugas di wilayah-wilayah
pinggiran.
8. Meningkatkan kegiatan sosialisasi dan pembangunan kesadaran publik akan
pentingnya jaminan kesehatan sosial. Selain itu, kegiatan promotif dan preventif
ke masyarakat harus ditingkatkan agar masyarakat semakin sadar perilaku hidup
sehat sehingga berkontribusi dalam pencegahan penyakit katastropik. Pemerintah
harus mengoptimalisasikan serangkaian program pengendalian biaya dan promosi
pencegahan penyakit katastropik.
9. Berdasarkan perhitungan proyeksi defisit, jika tidak ada kenaikan iuran dan
pendanaan alternatif selama 11 tahun (2019 - 2030), maka jumlah defisit
akumulatif JKN-BPJS Kesehatan akan mencapai Rp 609 triliun pada tahun 2030.
Maka, terkait dengan alternatif pendanaan JKN-BPJS Kesehatan agar optimal dan
berkelanjutan serta terbebas dari defisit, rekomendasi yang diajukan adalah:
A. Pemerintah perlu menambah pengenaan barang kena cukai yang potensial
menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi program JKN seperti Pungutan
Rokok Untuk Kesehatan (PRUK), cukai minuman berpemanis buatan,
pungutan kendaraan bermotor roda dua dan ekstensifikasi cukai kendaraan
bermotor roda empat atau lebih. Berdasarkan perhitungan, sumber dana yang
berasal dari PRUK tunggal Rp 60 dan pungutan kendaraan bermotor roda dua
sebesar Rp 5000 serta ekstensifikasi cukai kendaraan bermotor roda empat
atau lebih sebesar lima persen, dapat memberikan potensi tambahan
pendanaan hingga Rp 37 triliun setiap tahun.
B. Perkembangan terakhir terkait ekstensifikasi cukai adalah disetujuinya rencana
pemerintah dalam menerapkan cukai plastik oleh DPR RI di awal tahun 2020.
Penerapan cukai plastik merupakan langkah yang sangat baik dan dapat
digunakan untuk mendukung upaya-upaya pencapaian pembangunan
kesehatan serta tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu, perlu
melakukan kebijakan “earmarking” cukai plastik untuk bidang kesehatan.
C. Langkah ekstensifikasi barang kena cukai perlu diperluas pada komoditas-
komoditas lain yang memiliki eksternalitas negative misalnya minuman
berpemanis buatan yang memilik korelasi tinggi terhadap peningkatan jumlah
penduduk yang mengalami obesitas (Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi
penduduk obesitas meningkat dari 14,8 persen di 2013 menjadi 21,8 persen di
2018). Penerapan cukai pada minuman berpemanis buatan di jangka pendek
dapat menjadi alternatif pembiayaan untuk non-communicable diseases
(NCD) seperti diabetes (yang mana merupakan penyakit yang berhubungan
langsung dengan tingginya konsumsi gula/minuman berpemanis buatan).
4. Regulasi Pembiayaan di Indonesia
• UU No. 40 Th 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
• UU No. 36 Th 2009 Tentang Kesehatan
• UU No. 24 Th 2011 Tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Peraturan
Pemerintah
• PP No. 101 Th 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Peraturan
Presiden
• PERPRES No. 32 Th 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik
Pemerintah Daerah
• PERPRES No. 105 Th 2013 Tentang Pemeliharaan Kesehatan Menteri dan Pejabat
Tertentu
• PERPRES No. 106 Th 2013 Tentang Pemeliharaan Kesehatan Anggota DPR, DPD,
MK, Hakim MA
• PERPRES No. 107 Th 2013 Tentang YANKES Tertentu Berkaitan Dengan
KEMHAN, TNI, Kepolisian
• PERPRES No. 108 Th 2013 Tentang Bentuk dan Isi Laporan Pengelolaan Program
JAMSOS
• PERPRES No. 109 Th 2013 Tentang Penahapan Kepesertaan Program JAMSOS
• PERPRES No. 110 Th 2013 Tentang Gaji Upah Manfaat DEWAS dan Direksi BPJS
• PERPRES No. 111 Th 2013 Tentang Perubahan Atas PERPRES No. 12 Th 2013
Tentang JAMKES
• PMK No. 19 th 2014 Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya operasional Pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah
• PMK No. 001 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
• PMK No. 69 th 2013 Tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Program Jaminan
Kesehatan
• PMK No. 71 th 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada JKN Keputusan Menteri
Kesehatan
• KMK No. 046 Th 2014 Tentang TIM Monitoring dan Evaluasi Penyelelnggaraan
JKN
• KMK No. 326 Th 2013 Tentang Penyiapan Penyelenggaraan JKN
• KMK No. 328 Th 2013 Tentang Formularium Nasional
• KMK No. 455 Th 2013 Tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan Surat Edaran
• SE No. 900/2280/SJ MENDAGRI DANA KAPITASI JKN
• SE No. HK_MENKES_32_1_2014 Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta
BPJS Kesehatan
• SE No. HK_MENKES_31_1_2014 Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan
di JKN
• Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Th 2014 Tentang Unit Pengendali
• Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Th 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan
• Panduan Praktis Admininstrasi Klaim Faskes BPJS Kesehatan
REFERENSI

https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-2021.pdf

https://ppjk.kemkes.go.id/libftp/uploads/trs_local_nposth/129/Modul%20Ekonomi
%20Kesehatan%20Seri%202_FINAL.pdf

http://www.pom.go.id/new/files/2020/renstra/pusat/RENSTRA%20DEPUTI%20II
%202020%20-%202024-rev.pdf

https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-
riskesdas-2018_1274.pdf

http://ppid.kemkes.go.id/uploads/img_62f0d4c9e9f34.pdf

https://e-renggar.kemkes.go.id/file2018/e-performance/1-289003-2tahunan-228.pdf

https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/664

http://theprakarsa.org/wp-content/uploads/2020/04/Defisit-Jaminan-Kesehatan-
Nasional-JKN-Mengapa-dan-Bagaimana-Mengatasinya-2020.pdf

Anda mungkin juga menyukai