Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ADVOKASI

MASALAH GIZI BURUK DAN PENYAKIT TIDAK


MENULAR HANTUI 2019
DI

OLEH :SOFIA ZAHRA

NIM : P07 131217 035

PRODI : SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETIKA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH
JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI
DAN DIETIKA BANDA ACEH
TAHUN 2019

1
MASALAH GIZI BURUK DAN PENYAKIT
TIDAK MENULAR HANTUI 2019

Tak ada perubahan signifikan yang bakal terjadi di dunia kesehatan.


Masalah gizi buruk dan penyakit tidak menular tampaknya bakal tetap
menghantui Indonesia pada 2019 mendatang."Saya amati kita masih menghadapi
double burden. Kita punya masalah obesitas dan gizi buruk," ujar Koordinator
Riset Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rina
Agustina, beberapa waktu lalu dikutip dari CNN Indonesia.com

Gizi buruk, misalnya. Catatan Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan


adanya perbaikan status gizi buruk pada balita di Indonesia. Proporsi status gizi

2
sangat pendek turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen
(Riskesdas 2018). Demikian pula pada proporsi status gizi kurang turun menjadi
17,7 persen (Riskesdas 2018) dari 19,6 persen (Riskesdas 2013).

Kendati menurun, tapi penurunan yang tercatat dinilai masih kurang


signifikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas prevalensi 20
persen untuk gizi buruk. Padahal, 'menutup' kasus gizi buruk telah tercatat sebagai
salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) poin kedua 'zero hunger
atau nol kelaparan'. Pada tahun 2030 mendatang, Indonesia bersama negara-
negara Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya berkomitmen untuk mengakhiri
segala bentuk malnutrisi, termasuk mencapai target dunia pada 2025 untuk
penurunan stunting dan wasting pada balita.

Sebagai informasi, World Bank mencatat prevalensi stunting di Indonesia


terus mengalami kemerosotan sejak tahun 1996 sebesar 48,1 hingga 36,4 pada
2013. Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
kurang dalam waktu lama. Umumnya disebabkan oleh asupan makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru akan terlihat saat
anak berusia dua tahun. Stunting memiliki efek jangka panjang berupa
berkurangnya kemampuan kognitif dan perkembangan fisik.

Penyebabnya adalah kebiasaan mengonsumsi makanan yang buruk saat


kehamilan. Data Kementerian Kesehatan mencatat, sepanjang 2016-2017, 1 dari 5
ibu hamil mengalami kurang gizi. Sementara 7 dari 10 ibu hamil disebut kurang
kalori dan protein. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadinya
infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran
anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan
kesehatan, termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang
sangat memengaruhi pertumbuhan anak.

Selain terhadap stunting, gizi buruk juga berpengaruh pada kian tingginya
angka obesitas di Indonesia. Catatan Riskesdas 2018 menunjukkan angka 21,8

3
persen untuk obesitas di Indonesia. Angka itu terus beranjak naik sejak Riskesdas
2007 sebesar 10,5 persen dan 14,8 persen pada Riskesdas 2013.

Kajian Global Burden of Diseases yang dipublikasikan jurnal The Lancet


pada 2014 lalu mencatat ada 10 negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia.
Kala itu, Indonesia berada di peringkat 10.

Pola konsumsi makanan dan minuman masyarakat tampaknya perlu


dievaluasi. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar mengonsumsi makanan
dan minuman dengan kandungan gula tinggi menyebabkan tingkat obesitas terus
beranjak. Konsumsi makanan dan minuman manis ini sulit dihindari. Betapa
tidak, makanan dan minuman kemasan dengan kadar gula tinggi begitu mudah
ditemui di pasaran.

Konsumsi makanan dan minuman manis ini sulit dihindari. Betapa tidak,
makanan dan minuman kemasan dengan kadar gula tinggi begitu mudah ditemui
di pasaran.

Tanpa sadar, kian meningkatnya angka obesitas ini ujung-ujungnya bakal


berpengaruh pada meningkatnya penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes
misalnya.

"Kita perlu waspada juga untuk PTM, karena angkanya bisa accelerate dan
nanti bisa sama dengan kasus gizi buruk," kata Rina.

Catatan Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi PTM mengalami


kenaikan dari sebelumnya. Beberapa penyakit kronis yang tercatat di antaranya
kanker, stroke, gangguan ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi.

PTM bukan penyakit yang muncul tiba-tiba. Ada asap ada api, faktor gaya
hidup masyarakat Indonesia yang semakin buruk menjadi penyebab terbesar
tingginya angka PTM.

Tanpa sadar, kian meningkatnya angka obesitas ini ujung-ujungnya bakal


berpengaruh pada meningkatnya penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes

4
misalnya."Kita perlu waspada juga untuk PTM, karena angkanya bisa accelerate
dan nanti bisa sama dengan kasus gizi buruk," kata Rina.

Catatan Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi PTM mengalami


kenaikan dari sebelumnya. Beberapa penyakit kronis yang tercatat di antaranya
kanker, stroke, gangguan ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi.

PTM bukan penyakit yang muncul tiba-tiba. Ada asap ada api, faktor gaya
hidup masyarakat Indonesia yang semakin buruk menjadi penyebab terbesar
tingginya angka PTM. "Gaya hidup dan gejala penyakit itu bisa muncul dalam
hitungan tahun," ujar ahli gizi FK UI, Endang L Achadi. Mengubah kebiasaan
atau gaya hidup, kata dia, bukan hal yang mudah.

Beberapa gaya hidup yang terus menjadi penyebab tingginya PTM di


antaranya merokok, konsumsi minuman beralkohol, serta minimnya aktivitas fisik
dan konsumsi buah sayur.Kebiasaan merokok pada remaja, misalnya, yang terus
meningkat sejak tahun 2013. Begitu pula dengan angka konsumsi minuman
beralkohol yang terus meranjak. Sayangnya, kebiasaan-kebiasaan buruk itu tak
diimbangi dengan aktivitas fisik dan konsumsi buah serta sayur yang cukup

5
1. 17,7% Balita Indonesia Masih Mengalami Masalah
Gizi

Proporsi Balita Mengalami Masalah Gizi (2007-2019E)

Sumber : Kementerian Kesehatan, Okt 2018

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian


Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih
mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi
buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%. Dibanding
hasil Riskesdas 2013, bayi yang mengalami masalah gizi turun seperti terlihat

6
pada grafik di bawah ini. Sementara dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2019, bayi yang mengalami masalah gizi
ditargetkan turun menjadi 17%. Adapun prevalensi balita yang mengalami
stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar 30,8%, turun
dibanding hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2%.

Sebagai informasi, dalam 1.000 hari pertama (sejak janin dalam


kandungan hingga berusia dua tahun) kehidupan bayi merupakan usia emas bagi
tumbuh kembang anak. Sayangnya anak-anak yang seharusnya menjadi harapan
masa depan bangsa Indonesia masih banyak yang mengalami masalah gizi
(29,9%) di usia dini. Untuk, itu pemerintah menganggarkan dana dalam APBN
2019 sebesar Rp 123,1 triliun guna meningkatkan akses dan kualitas layanan
kesehatan serta penguatan penanganan stunting

Peningkatan terlihat pada proporsi balita dengan kategori gizi kurang.


Pada 2007, tercatat ada 13 persen anak berusia 0-59 bulan yang kekurangan gizi.
Porsinya meningkat mencapai 14,9 persen pada 2015. Hingga, di 2016, berkurang
0,5 persen menjadi 14,4 persen balita yang dikategorikan sebagai gizi kurang.

7
Porsi balita pada usia yang sama dengan gizi buruk cenderung mengalami
penurunan. Pada 2007, tercatat ada 5,4 persen anak berusia 0-59 bulan yang
mengalami masalah ini. Porsinya berkurang menjadi 3,4 persen pada 2016

Tiga Provinsi dengan Porsi Balita Kurang Gizi Paling Minimal Jika dilihat
berdasarkan provinsi, pada 2016, hanya tiga dari 34 provinsi yang proporsi balita
dengan gizi kurang dan buruk berjumlah kurang dari 10 persen, yaitu Sulawesi
Utara, Bengkulu, serta Bali. Sebanyak 9,1 persen Balita di Bali mengalami
masalah ini, dengan 1 persen untuk gizi buruk dan 8,1 persen untuk gizi kurang.
Sedangkan di Bengkulu dan Sulawesi Utara, masing-masing ada 8,7 dan 7,2
persen balita yang masuk dalam kategori gizi kurang dan buruk.

Ada 16 Provinsi dengan Proporsi Balita Gizi Buruk > Rata-Rata Bila
dilihat hanya berdasarkan balita dengan gizi buruk, tercatat ada 14 provinsi yang
memiliki proporsi gizi buruk lebih besar dibandingkan rata-rata nasional. Nusa
Tenggara Timur merupakan provinsi yang memiliki jumlah balita dengan gizi
buruk terbesar, yaitu 6,9 persen terhadap populasi balita di daerah tersebut. Papua
Barat, pada 2016, tercatat memiliki 5,6 persen balita yangmengalamigiziburuk.

8
Di Provinsi Papua, yang sedang mengalami wabah gizi buruk, proporsi
balita yang mengalaminya sebanyak 3,2 persen dari populasi, di bawah rata-rata
nasional yang berada di angka 3,4 persen. Masih terjadinya kasus gizi buruk
menjadi paradoksal di tengah kampanye swasembada pangan yang gencar
disuarakan oleh pemerintahan Jokowi. Pemerintah masih memiliki banyak
pekerjaan rumah. Yang terdekat adalah upaya pencegahan sedini mungkin untuk
menangani permasalahan gizi di Indonesia. Baca juga: Wapres Targetkan
Swasembada Pangan Tercapai di 2018 Peningkatan kesadaran masyarakat akan
asupan gizi seimbang sejak masa kehamilan adalah kunci awal untuk memerangi
kasus gizi buruk. Imunisasi juga bisa menjadi tameng untuk menjaga kesehatan
balita sehingga akan memberikan dampak positif bagi tumbuh kembangnya.

9
Tak hanya itu, respons pemerintah, khususnya yang berada di tingkatan
terdekat dengan masyarakat, atas kejadian gizi buruk seharusnya dipercepat.
Bukan hanya sekedar memberikan bantuan beras ataupun makanan tambahan,
akses terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan juga perlu dipermudah. Gizi buruk
bukanlah masalah yang terjadi secara mendadak, melainkan disebabkan oleh
sulitnya akses terhadap nutrisi. Terlebih lagi, ketika ada 14 dari 34 provinsi
dengan proporsi gizi buruk lebih tinggi dari rata-rata seluruh Indonesia, artinya
ada yang keliru secara sistemik terkait ketersediaan pangan dan kesehatan.
Pemerintah seharusnya sadar bahwa alarm berbunyi ketika ada kasus gizi buruk
yang mencuat dan mencari solusi yang bisa menyelesaikannya secara sistemik
pula. Bukan sekadar menunjuk "pola hidup" sebagai akar masalah dari persoalan
gizi buruk.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181228120411-255-356988/gizi-
buruk-dan-penyakit-tidak-menular-hantui-2019

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/25/177-balita-indonesia-
masih-mengalami-masalah-gizi

https://tirto.id/gizi-buruk-di-berbagai-wilayah-indonesia-cDLi

http://www.neraca.co.id/article/111097/masalah-gizi-buruk-dan-penyakit-tidak-
menular-hantui-2019

11

Anda mungkin juga menyukai