Anda di halaman 1dari 2

DAMPAK EKONOMI AKIBAT KEKURANGAN GIZI

Dea Nanda Fadila, Ratu Valya Khoirunnisa, Nanda Kuntum Nirwana, Yonida Salsabila,
Melinda Rahmadhani, Wahyu Retno Puspitaningrum

JurusanTeknologiPangan, FakultasPertanian, Universitas Sultan AgengTirtayasa-Serang


Jl. Raya Jkt KM. 4, Penancangan, Kec. Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten

ABSTRAK

Kata kunci:

PENDAHULUAN
Stunting dan malnutrisi bersama dengan kegagalan tumbuh 19 intrauterin
menyebabkan kematian sebanyak 2,1 juta anak di seluruh dunia yang berusia kurang dari 5
tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menunjukkan prevalensi gizi kurang dan
buruk di Indonesia telah mengalami penurunan dari 18,4% tahun 2007 menjadi 17,9% tahun
2010 dan sekitar 35,6% balita stunting. Prevalensi balita stunting terdiri dari sangat pendek
18,5% dan pendek 17,1%. Penurunan terjadi pada balita pendek dari 18,0% menjadi 17,1%
dan balita sangat pendek dari 18,8% menjadi 18,5%.1
Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki angka
prevalensi gizi buruk pada balita diatas prevalensi nasional yaitu 14.1%. Sekitar 14.0% gizi
buruk diderita oleh balita laki-laki dan 13.8% perempuan. Prevalensi stunting di Sumatera
Utara sekitar 42.5% melebihi prevalensi stunting nasional yaitu 37.2%. Angka stunting batas
non public health yang ditetapkan WHO, 2005 adalah 20%, sedangkan saat ini prevalensi
balita stunting di Sumatera Utara masih di atas 20%. Artinya Sumatera Utara masih dalam
kondisi bermasalah kesehatan masyarakat.1
Mengacu pada Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, sasaran
pembangunan pangan dan gizi pada tahun 2015 yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang
pada balita menjadi 15,5% dan prevalensi balita stunting menjadi 32%, artinya sampai tahun
2015 kita masih harus menurunkan 3,6%. Walaupun secara nasional belum mencapai target
prevalensi balita stunting, namun sudah ada 11 propinsi yang sudah berhasil mencapai target
yaitu Jambi (30,2%), Bangka Belitung (29,0%), Bengkulu (31,6%), Kepulauan Riau (26,9%),
DKI Jakarta (26,6%), DI. Yogyakarta (22,5%), Bali (29,3%), Kalimantan Timur (29,1%),
Sulawesi Utara (27,8%), Maluku Utara (29,4%) dan Papua (28,3%). Guna membantu
Propinsi Sumatera Utara untuk mencapai angka prevalensi stunting sesuai standar nasional
maka diperlakukan berbagai usaha dari multisektor. Berdasarkan data diatas peneliti tertarik
untuk meneliti difisiensi zinc sebagai faktor risiko stunting pada anak dibawah usia lima
tahun di wilayah kerja Puskesmas Teladan, Kota Medan.
Pemilihan kota Medan didasarkan pada pertimbangan bahwa setengah dari angka
prevalensi stunting di Sumatera Utara terdapat di Kota Medan. Prevalensi stunting di Kota
Medan tercatat sekitar 17.4%. Anak stunting bila tidak dipantau pertumbuhannya dapat
menderita gizi buruk. Sebagai ibu kota propinsi terbesar ke tiga di Indonesia, stunting
memberikan double burden bagi pertumbuhan dan kemajuan pembangunan. Masalah
sebenarnya bukan tubuh pendek, tetapi jika seseorang menderita stunting proses-proses lain
didalam tubuh juga terhambat seperti pertumbuhan otak yang berdampak pada kecerdasan.
Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan individu, ekonomi juga terkena
dampaknya. Kerugian akibat stunting dan malnutrisi diperkirakan setara dengan 2-3% PBD
(Produk Domestik Bruto) Indonesia.2

PEMBAHASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan R.I. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta:
Depkes RI;2010
2. World Bank. World Bank Data.[online], 2016. Diunduh tanggal: 3 Maret 2016. Diakses
dari: www.worldbank.org/. Diunduh tanggal: 3 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai