Anda di halaman 1dari 61

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIARE”

DISUSUN OLEH:

KETUA: N1A120151 YOSEF RAY ROHARDI SINAGA

ANGGOTA: N1A120031 MAI MONA SULASTRI


N1A120040 ALFIA OKTAFIANI
N1A120055 GALUH DYAH RATNANINGRUM
N1A120082 ICU MARINI SITANGGANG
N1A120098 FUAD AJRUL MUKHDI
N1A120114 NISA PATRICIA
N1A120126 ADINDA SALSA EGIDEA
N1A120127 AGAVE REGINA
N1A120145 PRITY SHINTA
N1A120215 BELLA YUMANIA SARI

PROGRAM STUDI LMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN AJARAN 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas anugerahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Epidemiologi Penyakit
Diare”.

Makalah “Epidemiologi Penyakit Diare” disusun guna memenuhi tugas


pada mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular di Universitas Jambi. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu


selaku dosen Epidemiologi Penyakit Menular. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditulis. Penulis
juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.

Jambi, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian...........................................................................................2
BAB II PEMBAHSAN.....................................................................................................3

2.1 Definisi Penyakit Diare....................................................................................3


2.2 Diagnosis Penyakit Diare.................................................................................5
2.3 Faktor Risiko Penyakit Diare..........................................................................6
2.4 Riwayat Alamiah Penyakit Diare....................................................................7
2.5 Cara Penularan Penyakit Diare......................................................................8
2.6 Epidemiologi Penyakit Diare.........................................................................10
2.7 Upaya Pencegahan Penyakit Diare dan Penanggulangannya.....................11
BAB III PENUTUP........................................................................................................16

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................16
3.2 Saran...............................................................................................................16
LAMPIRAN...................................................................................................................17

LAMPIRAN 1.............................................................................................................17
LAMPIRAN 2.............................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................54

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 17

Lampiran 2 43

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat Indonesia berada di
daerah yang berbeda-beda dengan kondisi lingkungan yang berbeda juga. Sasaran
dalam pembangunan kesehatan di Indonesia yaitu meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal.

Diare merupakan salah satu penyakit yang berkaitan dengan tingkatan dalam
derajat kesehatan(Rahman et al., 2016). Diare merupakan suatu penyakit yang
ditandai oleh berubahnya suatu bentuk dan konsistensi tinja, dari lembek hingga
cair, meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya, yaitu tiga kali
atau lebih dalam satu hari. Menurut WHO (2013) diare merupakan salah satu
penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di negara yang sedang
berkembang dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, persediaan air yang
tidak adekuat, kemiskinan, dan pendidikan yang terbatas (Rahman et al., 2016).
Survei morbiditas yang dilakukan Kementerian Kesehatan di Indonesia dari tahun
2000-2010 menunjukkan adanya insiden penyakit diare yang cenderung naik.
Pada tahun 2000, penduduk yang terserang penyakit diare merupakan 301 per
1000 penduduk dan tahun 2010 naik menjadi 411 per 1000 penduduk. Kejadian
Luar Biasa (KLB) pada diare juga masih sering terjadi, dengan CFR (Case
Fatality Rate) yang masih tinggi (Kemenkes RI, 2011)(Hutasoit, 2020). Faktor
terjadinya diare dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu faktor lingkungan,
faktor individu, dan faktor perilaku. Faktor lingkungan seperti kualitas air yang
tidak bersih, lingkungan yang padat dan kurangnya ketersediaan sarana air bersih.
Faktor individu seperti malnutrisi dan faktor perilaku seperti sanitasi dan hygiene
makanan, buang air besar sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum makan dan
tidak mencuci peralatan makan sebelum digunakan.

1
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran
atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan, beserta faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kejadian tersebut. Dengan mempelajari epidemiologi
penyakit diare kita dapat mengetahui langkah-langkah yang dapat diambil untuk
mencegah dan menanggulangi penyakit diare tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi penyakit diare?
2. Bagaimana diagnosis penyakit diare?
3. Apa faktor risiko penyakit diare?
4. Bagaimana riwayat alamiah penyakit diare?
5. Bagaimana penularan penyakit diare?
6. Bagaimana epidemiologi penyakit diare?
7. Bagaimana upaya pencegahan penyakit diare dan penanggulangannya?
8. Lampirkan dua jurnal terkait materi!

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui definisi penyakit diare
2. Mengetahui diagnosis penyakit diare
3. Mengetahui faktor risiko penyakit diare
4. Mengetahui riwayat alamiah penyakit diare
5. Mengetahui penularan penyakit diare
6. Mengetahui epidemiologi penyakit diare
7. Mengetahui upaya pencegahan penyakit diare dan penanggulangannya
8. Mengetahui lampirkan dua jurnal terkait diare

1.4 Manfaat Penelitian


Mahasiswa mampu mengerti dan memahami definisi penyakit diare, diagnosis
penyakit diare, faktor risiko penyakit diare, riwayat alamiah penyakit diare,
penularan penyakit diare, epidemiologi penyakit diare, upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit diare serta jurnal terkait diare.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Penyakit Diare


Diare merupakan penyakit yang masih menjadi permasalahan besar di negara-
negara kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Data yang diperoleh dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam tabel pola 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia tahun 2009
menunjukkan bahwa diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu
(kolitis infeksi) memiliki jumlah kasus terbanyak yaitu 143.696 kasus (Depkes RI,
2010: 241). Pada tahun 2010, diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi
tertentu (kolitis infeksi) masih menjadi penyakit terbanyak pada pasien rawat inap
di rumah sakit meskipun jumlahnya menurun menjadi 71.889 kasus dengan 1.289
kasus berakhir pada kematian (Depkes RI, 2011: 57) (Irawan, 2013).

Penyakit diare sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian utama
didunia, terhitung 5-10 juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat
dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia dan 2,2 juta
diantaranyameninggal, dan sebagian besar anak-anak dibawah umur 5 tahun.
Menurut data di Amerika, setiap anak mengalami 7- 15 episode diare dengan rata-
rata usia 5 tahun. Menurut data di Negara berkembang rata-rata tiap anak dibawah
usia 5 tahun mengalami episode diare tiga sampai empat kali pertahun (WHO,
2009) (Kosasih et al., 2018).

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga


merupakan penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai
dengan kematian.

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya

3
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.

Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri, dan Parasit.

Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat.

Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi


masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1
dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi.
Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter
jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).

Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta


penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3
kali setiap tahun.

Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp,

4
V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01,
dan Salmonella paratyphi A.

2.2 Diagnosis Penyakit Diare


Pemeriksaan diagnostisk penyakit diare, terdiri dari (Paramita, 2017):

1) Pemeriksaan laboratrium

a) Pemeriksaan AGD, elektrolit, kalium, kadar natrium serum

Biasanya penderita diare memiliki natrium plasma > 150 mmol/L,kalium


> 5 mEq/L

b) Pemeriksaan urin

Diperiksa berat jenis dan albuminurin. Eletrolit urin yang diperiksa adalah
Na+ K+ dan Cl. Asetonuri menunjukkan adanya ketosis (Suharyono,
2008).

c) Pemeriksaan tinja

Biasanya tinja pasien diare ini mengandung sejumlah ion natrium, klorida,
dan bikarbonat.

d) Pemeriksaan pH, leukosit, glukosa

Biasanya pada pemeriksaan ini terjadi peningkatan kadar protein leukosit


dalam feses atau darah makroskopik (Longo, 2013). pH menurun
disebabkan akumulasi asama atau kehilangan basa (Suharyono, 2008).

e) Pemeriksaan biakan empedu bila demam tinggi dan dicurigai infeksi


sistemik (Betz, 2009).

2) Pemeriksaan Penunjang

a) Endoskopi

5
o Endoskopi gastrointestinal bagian atas dan biopsi D2,jika dicurigai
mengalami penyakit seliak atau Giardia. Dilakukan jika pasien
mengalami mual dan muntah.

o Sigmoidoskopi lentur, jika diare berhubungan dengan perdarahan segar


melalui rektum.

o Kolonoskopi dan ileoskopi dengan biopsi, untuk semua pasien jika


pada pemeriksaan feses dan darah hasilnya normal, yang bertujuan
untuk menyingkirkan kanker.

b) Radiologi

o CT kolonografi, jika pasien tidak bisa atau tidak cocok menjalani


kolonoskopi

o Ultrasonografi abdomen atau CT scan, jika di curigai mengalami


penyakit bilier atau prankeas

c) Pemeriksaan lanjutan

o Osmolalitas dan volume feses setelah 48 jam berpuasa akan


mengidentifikasi penyebab sekretorik dan osmotik dari diare.

o Pemeriksaan laksatif pada pasien-pasien yang dicurigai


membutuhkan sampel feses dan serologi (Emmanuel, 2014).

o Tes darah, untuk mendeteksi komplikasi yang mungkin terjadi akibat


diare dan mendeteksi penyakit lain yang dapat menyebabkan diare.

2.3 Faktor Risiko Penyakit Diare


 Faktor Risiko Diare

Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang


terserang diare, seperti:

 Jarang mencuci tangan setelah ke toilet.


 Penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak bersih.

6
 Jarang membersihkan dapur dan toilet.
 Sumber air yang tidak bersih.
 Makan makanan sisa yang sudah dingin.
 Tidak mencuci tangan dengan sabun.

Faktor Risiko Diare Kronis

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan seseorang mengidap diare kronis yang
disebabkan penyakit tertentu. meliputi:

1. Kondisi imunitas tubuh rendah, seperti pada orang-orang dengan penyakit


autoimun, penyakit kekurangan antibodi Imunoglobulin, dan AIDS. Jika
daya tahan tubuh rendah, maka bakteri, virus, dan parasit mudah menyerang,
sedangkan tubuh sendiri tidak mampu memerangi infeksi karena daya tahan
tubuh yang rendah sehingga menyebabkan diare kronis.
2. Gangguan kesehatan mental, seperti panik, cemas, dan stress yang
merupakan faktor risiko untuk terjadinya Irritable Bowel Syndrome (IBS)
sehingga menyebabkan diare kronis.

Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit diare adalah

 Faktor lingkungan, faktor perilaku pada masyarakat, rendahnya pengetahuan


masyarakat tentang diare serta malnutrisi. Contoh dari faktor-faktor
lingkungan yang buruk misalnya kondisi sanitasi yang tidak memenuhi
syarat maupun fasilitas sarana prasarana air bersih yang tidak memadai
(Saputri & Astuti, 2019).
 Faktor-faktor perilaku masyarakat seperti jarang mencuci tangan ketika akan
makan dan setelah buang air besar serta melakukan pembuangan tinja
dengan cara yang salah. Tanpa pemberian air susu ibu secara eksklusif
terutama selama 4 sampai 6 bulan pertama dapat meningkatkan risiko
terjangkit penyakit diare lebih besar. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya
kemampuan ibu untuk mencari tahu tentang penyakit diare yang biasa terjadi
pada anak-anak.

7
2.4 Riwayat Alamiah Penyakit Diare
1) Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini disebabkan oleh mikroorganisme baik bakteri, parasit, maupun
virus diantaranya rotavirus, E.coli, dan shigella. Penyebaran mikroorganisme
ini dapat terjadi melalui jalan fecal dan oral. Pada tahap ini belum di temukan
tanda tanda penyakit bila daya tahan tubuh penjamu baik maka tubuh tidak
terserang penyakit dan apabila daya tubuh penjamu lemah maka sangat mudah
bagi virus masuk dalam tubuh.
2) Tahap Patogenesis
a. Tahap inkubasi
Virus (salmonella, shigella, E,coli, V.cholerae,) masuk kedalam tubuh
dengan menginfeksi usus baik pada jejenum,ileum dan colon. Setelah
virus menginfeki usus virus menembus sel dan mengadakan lisis
kemudian virus berkembang dan memproduksi enterotoksin. Masa
inkubasi biasanya sekitar 2-4 hari, pasien sudah buang air bessar lebih
dari 4x tetapi belum tanpa gejala gejala lain.
b. Tahap Penyakit Dini
Kehilangan cairan 5% berat badan & Kesadaran baik (somnolen), Mata
agak cekung, Turgor kulit kurang dan kekenyalan kulit normal, Berak cair
1-2 kali perhari, Lemah dan haus, Ubun-ubun besar agak cekung.
3) Tahap Postpatogenesis
a. Tahap Penyakit Lanjut
Kehilangan cairan lebih dari 5-10% berat badan, Keadaan umum gelisah,
Rasa haus bertambah, Denyut nadi cepat dan pernapasan agak cepat, Mata
cekung, Turgor dan tonus otot agak berkurang, Ubun ubun besar cekung,
Kekenyalan kulit sedikit kurang dan elastisitas kembali sekitar 1-2 detik,
Selaput lendir agak kering.
b. Tahap Akhir
Kehilangan cairan lebih dari 10% berat badan, kesadaran koma atau
apatis, Denyut nadi cepat sekali, Pernapasan kusmaull (cepat dan dalam),
Ubun ubun besar cekung sekali, Mata cekung sekali, Turgor/tonus kurang

8
sekali Selaput lendir kurang/asidosis. Pada tahap ini bila mendapat
penanganan yang baik maka pasien dapat sembuh sempurna tetapi bila
tahap ini tidak mendapat penanganan yang baik maka bisa mengancam
jiwa (kematian)m

2.5 Cara Penularan Penyakit Diare


Diare bisa menular melalui beberapa cara, di antaranya:

1) Makanan dan minuman, makanan yang sudah terkontaminasi oleh udara dan
kuman yang berada pada suatu tempat atau sudah dihinggapi serangga dan
tangan yang kotor, akan menjadi penyebab penularan diare dari kuman yang
menempel pada makanan tersebut.
2)Mainan Bermain dengan mainan yang sudah terkontaminasi kuman penyebab
diare, terutama anak yang sering memasukkan mainan ke dalam mulutnya.
Virus ini juga bisa bertahan hingga beberapa hari di permukaan.
3)Air penularan lainnya terjadi ketika Anda menggunakan air yang sudah
tercemar oleh kuman penyebab diare, atau meminum air yang kurang matang.
4)Tidak mencuci tangan dengan bersih cuci tangan dengan bersih ketika sudah
membersihkan feses anak yang terinfeksi diare. Karena ditakutkan dapat
mengontaminasi barang-barang lainnya yang Anda pegang.

Menurut Bambang dan Nurtjahyo (2011), cara penularan diare pada umumnya
melalui cara fekal oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang
yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat (melalui 4f =
finger, files, fluid, field). Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh kuman
seperti virus dan bakteri. Kuman atau bakteri penyakit diare (Escherichia coli)
biasanya akan menyebar melalui fekal-oral atau orofekal. Air merupakan media
penularan utama diare dapat terjadi bila seseorang menggunakan air minum yang
tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke
rumah-rumah atau tercemar saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah terjadi
bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar

9
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan (Notoatmodjo,
2007) (Neni & Iseu, 2019).

Menurut Wahyuni (2016) pengasuh dapat menjadi perantara penularan diare


pada balita karena PHBS yang masih kurang yaitu kebiasaan mencuci tangan
sebelum merawat dan mempersiapkan segala keperluan balita. Penyebaran kuman
menyebabkan diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan dan minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja
penderita. Jalur masuknya virus, bakteri atau kuman penyebab diare ketubuh
manusia dapat mudah dihafal dengan istilah 4F. 4F adalah singkatan dari fluids
(air ), fields (tanah), flies (lalat), fingers (tangan). Tahapannya dimulai dari
cemaran yang berasal dari kotoran manusia (feces) yang mencemari 4F, lalu
cemaran itu berpindah kemakanan yang kemudian disantap manusia.( 済 無 No
Title No Title No Title, n.d.)

2.6 Epidemiologi Penyakit Diare


Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis
dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi penyakit
berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka
kematian akibat diare di Indonesia mencapai 23 orang per 100 ribu penduduk
untuk dewasa dan 75 per 100 ribu balita.

Penyakit menular menjadi salah satu masalah kesehatan yang besar di hampir
semua negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit menular menjadi
masalah kesehatan global karena menimbulkan angka kesakitan dan kematian
yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular
merupakan perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Faktor tersebut
terdiri dari lingkungan (environment), agen penyebab penyakit (agent), dan
pejamu (host). Ketiga faktor tersebut disebut sebagai segitiga epidemiologi
(Widoyono, 2008).

10
Salah satu penyakit menular adalah diare. Penyakit diare dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lainkeadaan lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan
masyarakat, gizi, kependudukan, pendidikan yang meliputi pengetahuan, dan
keadaan sosial ekonomi (Widoyono, 2008). Sementara itu penyebab dari penyakit
diare itu sendiri antara lain virus yaitu Rotavirus (40-60%), bakteri Escherichia
coli (20- 30%), Shigella sp. (1-2%) dan parasit Entamoeba hystolitica (<1%)
Diare dapat terjadi karena higiene dan sanitasi yang buruk, malnutrisi, lingkungan
padat dan sumber daya medis yang buruk (Widoyono, 2008).

Diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian


hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia dapat
terserang. Diare menjadi salah satu penyebab utama mordibitas dan mortalitas
pada anak di negara berkembang. Di negara berkembang, anak-anak balita
mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di beberapa tempat
terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun hampir 15- 20% waktu hidup
dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008).

Penyakit diare di Indonesia masih menjadi salah satu masalah kesehatan


masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka
kesakitan dan kematian terutama pada balita. Diperkirakan lebih dari 1,3 miliar
serangan dan 3,2 juta kematian per tahun pada balita disebabkan oleh

diare. Setiap anak mengalami episode serangan diare rata-rata 3,3 kali setiap tahun
dan lebih dari 80% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari dua tahun
(Widoyono, 2005).

2.7 Upaya Pencegahan Penyakit Diare dan Penanggulangannya


Berdasarkan WHO South East Asia Region tahun 1986 pencegahan dan
penanggulangan penyakit ada tiga yaitu:

3) Eliminasi sumber penyakit


4) Melindungi kelompok rentang sakit seperti balita, anak serta dengan memutus
mata rantai penularan melalui peningkatan sanitasi lingkungan dan
5) Hygiene perorangan

11
Usaha memutus mata rantai penularan penyakit secara umum dan penyakit
diare khususnya seperti yang tercantum pada UNICEF-WHO tahun 2009, maka
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan tahun 2006 melakukan kegiatan promosi kesehatan
spesifik pada lingkungan dan ekosistem tempat hidup manusia, antara lain
(Rasyidah, 2019):

1) Membudayakan penggunaan air bersih


Risiko menderita diare lebih kecil jika mengonsumsi air bersih, jika
dibandingkan dengan masyarakat yang mengonsumsi air yang tercemar atau
kotor. Tindakan preventif yaitu dengan cara melindungi air dari kontaminasi
atau pencemaran, yang dimulai dari sumbernya sampai penyimpanan di
rumah. Penting diingat untuk minum air yang sudah matang dan mencuci
semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air bersih. Black dan
rekan menyatakan bahwa penularan kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui fekal oral, artinya kuman tersebut dapat ditularkan melalui
makanan yang tercemar dengan tinja (melalui jari tangan), wadah makanan
dan tempat minum yang dicuci dengan air tercemar.
2) Mencuci tangan
Lee dan rekan menyatakan bahwa kebersihan perorangan dapat dilakukan
dengan mencuci tangan dengan sabun, terutama setelah buang air besar dan
sebelum menyiapkan makanan dapat menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%.
3) Menggunakan jamban
Keterangan dari WHO bahwa penggunaan jamban mempunyai dampak yang
besar dalam menurunkan risiko terhadap penyakit diare. Setiap keluarga wajib
mempunyai jamban untuk buang air besar dan melakukan pembersihan
jamban secara teratur, serta gunakan alas kaki jika akan buang air besar
sehingga dapat memutuskan siklus rantai diare.
4) Penyediaan air bersih
Penyediaan air bersih secara kualitas dan kuantitas harus dijaga, serta menjaga
kebersihan diri dan lingkungan mutlak diperlukan, karena beberapa penyakit

12
dapat ditularkan melalui air, antara lain diare, kolera, disentri, hepatitis,
penyakit kulit, penyakit mata dan penyakit lainnya. Untuk mencegah
terjadinya penyakit tersebut, penyediaan air bersih yang cukup di setiap rumah
tangga harus tersedia, di samping itu perilaku hidup bersih harus tetap
dilaksanakan.
5) Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor
penyakit, seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa. Sampah yang mencemari tanah
menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika, seperti bau tidak sedap dan
pemandangan yang tidak nyaman untuk dilihat. Pengelolaan sampah sangat
penting, tempat sampah harus disediakan dan dibuang ke tempat
penampungan sementara. Bila tidak terjangkau oleh pelayanan pembuangan
sampah ke tempat pembuangan akhir, maka dapat dilakukan pemusnahan
sampah dengan cara ditimbun atau dibakar.
6) Sarana pembuangan air limbah
Potensi penularan penyakit bisa melalui air limbah pabrik atau limbah rumah
tangga yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk dan sarang tikus, maka
limbah harus dikelola seefisien mungkin, agar tidak menjadi sumber penularan
penyakit diare. Namun, sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi
syarat akan menimbulkan bau, mengganggu lingkungan.

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah


tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia
berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat
ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang
rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan
yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila
penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk
mendapat pertolongan cairan melalui infus. Derajat dehidrasi dibagi dalam 3
klasifikasi (Kementerian Kesehatan RI, 2011):

13
a. Diare tanpa dehidrasi Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di
bawah ini atau lebih:
 Keadaan Umum : Baik
 Mata : Normal
 Rasa Haus : Normal, minum biasa
 Turgor Kulit : Kembali cepat

Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sebagai berikut:

 Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret


 Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
 Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret
b. Diare dehidrasi Ringan/Sedang
Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih:
 Keadaan Umum : Gelisah, rewel
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
 Turgor kulit : Kembali lambat

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.

c. Diare dehidrasi berat Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini
atau lebih:
 Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
 Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas
untuk di infus.

14
Untuk menanggulangi kejadian diare perlu dilakukan upaya promotif
misalnya dengan penyuluhan misalnya tentang pengertian, gejala, cara mencegah,
serta cara menanggulangi Diare, termasuk di dalamnya cara mencegah
kekurangan cairan tubuh (dehidrasi), cara mengobati dehidrasi, cara pemberian
makanan bagi penderita Diare, serta informasi rujukan bagi penderita Diare.

Penyuluhan dapat dilakukan secara perorangan yaitu kunjungan rumah,


pada saat melakukan pendataan kasus, maupun pada saat warga berkunjung ke
Puskesmas; penyuluhan kelompok, seperti pada saat pertemuan desa, forum
pengajian atau majelis taklim, khotbah jumat, kunjungan Posyandu, pertemuan
PKK, atau pertemuan Karang Taruna; penyuluhan massa, dapat dilakukan pada
saat digelarnya pesta rakyat, kesenian tradisional, pemutaran film, ceramah
umum, tablig akbar. Selain itu, penyuluhan massa juga dapat dilakukan melalui
pemasangan media massa seperti poster dan spanduk di tempat-tempat keramaian
yang sesuai dengan kelompok sasaran (balai desa, Posyandu, Poskesdes,
Puskesmas dan lain-lain). Selain penyuluhan dapat dilakukan pula pemberdayaan
dan penggerakan masyarakat misalnya dengan mengajak masyarakat untuk
melakukan PHBS, gerakan masyarakat untuk kesehatan lingkungan, Gerakan
Cuci Tangan di tatanan rumah tangga dan tatanan sekolah, melakukan Usaha
Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM), misalnya dengan cara arisan jamban
bila di wilayah tersebut banyak masyarakat yang belum memiliki jamban atau
membentuk Kelompok Pemakai Air (Pokmair) bila di wilayah tersebut sulit air
bersih, menjadikan anak sekolah sebagai agent of change untuk menyampaikan
pesan-pesan ke teman sebaya dan orang tuanya, melakukan mobilisasi massa
untuk bersama-sama mencegah dan menanggulangi Diare. Upaya promotif yang
lain berupa pembinaan dengan melakukan pertemuan rutin dengan kader untuk
membahas permasalahan kesehatan terkait Diare, membina kader untuk
melakukan pemantauan di setiap wilayah, terutama di wilayah potensial KLB
Diare, pembinaan kesehatan di tingkat tatanan rumah tangga dan tatanan sekolah
dengan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait (Pundong, n.d.).

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Diare merupakan penyakit yang masih menjadi permasalahan besar di negara-


negara kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Data yang diperoleh dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam tabel pola 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia tahun 2009
menunjukkan bahwa diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu
(kolitis infeksi) memiliki jumlah kasus terbanyak yaitu 143.696 kasus (Depkes RI,
2010: 241).

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga


merupakan penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai
dengan kematian. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk
cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam.

Pemeriksaan diagnostisk penyakit diare, terdiri dari (Paramita, 2017),

1) Pemeriksaan laboratrium, Pemeriksaan AGD, elektrolit, kalium, kadar


natrium serum. Pemeriksaan urin. Pemeriksaan tinja. Pemeriksaan pH,
leukosit, glukosa.
2) Pemeriksaan Penunjang, Endoskopi, Radiologi dan Pemeriksaan lanjutan

Faktor Risiko Diare, Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan
risiko seseorang terserang diare, seperti:

 Jarang mencuci tangan setelah ke toilet.


 Penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak bersih.
 Jarang membersihkan dapur dan toilet.

16
 Sumber air yang tidak bersih.
 Makan makanan sisa yang sudah dingin.
 Tidak mencuci tangan dengan sabun

3.2 Saran

Sebagai penulis saya menyadari, bahwa makalah ini masih banyak


memiliki kesalahan dalam penulisannya dan jauh dari kesempurnaan. Penulis
tetap terus berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki makalah ini
dengan mengacu pada sumber-sumber yang terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya nantinya. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca tentang pembahasan
makalah diatas agar nantinya makalah ini bisa lebih layak digunakan oleh
banyak orang dan bisa menambah wawasan para pembaca.

17
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1

Diare Akut Disebabkan Bakteri

Umar Zein Khalid Huda Sagala

Josia Ginting

Fakultas Kedokteran

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari
200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang
air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2

Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang
dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang
terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan
Parasit.3

Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering

18
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat.4,5

Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi


masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1
dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi.
Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter
jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).

Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta


penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3
kali setiap tahun.6

Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp,
V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01,
dan Salmonella paratyphi A.7

EPIDEMIOLOGI

Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika


Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada
ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data
menunjukkan diare akut karena

infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang
berobat ke rumah sakit.dikutip dari 8

19
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan
di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta
diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. 5
WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan
mortalitas 3-4 juta pertahun.9

Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare
pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah
kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada
penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli,
dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella
dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri,
Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).11

Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare


akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

PATOFISIOLOGI1,3,9,10

Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.

Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen
biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi

20
cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada
pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.

Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik
terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam
lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.

Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal
seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan
diare sekretorik.

Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri
atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel
disease (IBD) atau akibat radiasi.

Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu


tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan
absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin
yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan
perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.

Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi


penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat

21
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus. Adhesi

Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria

atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria
terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen
(CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E.
Coli (ETEC)

Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli


(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.

Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.

Invasi

Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di

dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi
serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator
seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan
gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.

Sitotoksin

22
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin
adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus.

Enterotoksin

Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi
inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida
dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.

ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.

Peranan Enteric Nervous System (ENS)

Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor


neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.

Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1
VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT,
neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat
antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

23
DIAGNOSIS

Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri

Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan


pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan
riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian
obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1,3,13 Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik
diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1.

Diarrhea, Nausea
or Vomitting

AR = 2-15 illnesses/person-yr

SYMPTOMATIC THERAPY ORAL


REHYDRATION THERAPY
Resolution
Assess
-Duration ( > 1 day) NO
-Severity (dehydration, fever, Continued or
blood, wt.loss) Recurrent
Illness
YES

Explore History of : OBTAIN STOOL FOR


Fever, tenesmus Blood Travel Otbreak WBC
Seafood Antibiotic use Sexual exp. (or Fecal Lactoferrin)
Wt. loss Abd.pain
Immunosupp.

NONINFLAMMATORY INFLAMMATORY
(No WBC) ( WBC or Lactoferrin or continued
Ex: Vibrio (cholerae et al) E.coli (LT, illnesses)
ST) C.perfringens S.aureus Ex: Shigella
B.cereus Salmonella C.jejuni E.coli (EIEC)
Cytotoxic C.difficile

Culture for :

Shigella, Salmonella, C.jejuni

24
Continue sypmtomatic
therapy : consider
further evaluation

Consider :

Empiric Antimicrobial Therapy


Gambar1. Pendekatan umum Diare infeksi Bakteri. Dikutip dari 1

25
Manifestasi Klinis8,14,15

Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah


dan/atau demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.

Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis


yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan
yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi
berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering,
tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan
dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang,
yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang
pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam
(kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas
agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang
tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base
excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun
sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung
ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare
akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun
dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul
penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut
kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi
lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan
yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena

26
dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan
intravena tanpa alkali.

Pemeriksaan Laboratorium

Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari


pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung
leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi
maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa
sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen
(Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses
bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita
diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau
latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata
harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan
cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin,
analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan
lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6
Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16

27
a. Infeksi non-invasif.

Stafilococcus aureus

Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan


yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang
tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap
panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang
terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat
pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik
dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.

Bacillus cereus

B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk


spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare,
dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala
akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10
jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan
muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens

C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk

28
spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari
enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24
jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan
nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang
terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari
105 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan
C perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Vibrio cholerae

V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan


menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat
terjadi setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan
air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat
menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit
dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.

Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.


Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg

29
sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif
pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin
kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin
parenteral.

Escherichia coli patogen

E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong.


Mekanisme patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada
beberapa agen penting, yaitu :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami
gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare
berat jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang
dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul
pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel
darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC,
EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala
sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit
feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan
EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus
untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari
pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-
sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian
antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC
dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan

30
dengan EHEC.

2. Infeksi Invasif

Shigella

Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.


Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam,
nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3
– 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari,
pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis
kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah
merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan
sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,
tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi
antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan
penyebaran bakteri. Trimetoprim- sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua
kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid

Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di


Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium
merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan

31
diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang
terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.

Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se.
Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada
pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi
adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat
meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi
salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia
> 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole
atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari
selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada
pasien yang tidak dapat diberi oral.

Salmonella typhi

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam


tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang,
splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya.
Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini
biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem
retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer
pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat
menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14
hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash.

32
Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru- biruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif
pada 90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses
positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka
waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung
empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit
akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2
minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan
karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin
generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus
diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali
sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status
karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.

Campylobakter

Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C.


Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari
penyakit toksin dan invasi pada mukosa.

Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari


asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam
setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan
nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin
timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya
penyakit ini 7 hari.

33
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses
dapat ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap
eritromisin dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi.
Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata
terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg
2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare
lainnya, penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera

Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya


gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual,
berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses
yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan.
Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien
dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan
tetrasiklin.

Yersinia

Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan


sesuai dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut
menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal
ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat
juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang
dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema
multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,
mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.
Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan

34
pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan
Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)

EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini
terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10
hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan
penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease
Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab
diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin
shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan
kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga
10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi
berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah
timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan
nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien.
Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering
terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya
lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%),
trombositopenia (<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah
diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena
diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5
tahun) dan penggunaan anti

diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60%


pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan
berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala
sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih

35
jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe
biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko
komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan
antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti
diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun,
studi lanjutan masih diperlukan.

Aeromonas

Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.


Aeromonas

menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.


Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan
kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau
kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk
malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan
antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.

Plesiomonas

Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.


Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air
tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah
nyeri abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri
kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik
adalah tritoprim sulfametoksazole.

36
PENATALAKSANAAN

A. Penggantian Cairan dan elektrolit


Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi
yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan
dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang
tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi
intavena yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus
terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium
klorida, dan 20 g glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara
komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan
dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok
teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1
cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline
normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium
sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik
dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi
oral sesegera mungkin.

Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan


yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan
memakai cara : dikutip dari 8
BD plasma, dengan memakai rumus :

Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml

37
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor
(tabel 1) Tabel 1. Skor Daldiyono dikutip dari 8
- rasa haus/muntah 1
- Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1
- Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
- Frekwensi Nadi > 120 x/menit 1
- kesadaran apatis 1
- Kesadaran somnolen, sopor atau koma 2
- Frekwensi nafas > 30 x/menit 1
- Facies cholerica 2
- Vox cholerica 2
- Turgor kulit menurun 1
- Washer’s woman’s hand 1
- Ekstremitas dingin 1
- Sianosis 2
- Umur 50-60 tahun -1
- Umur > 60 tahun -2

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter


15
Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan
:dikutip dari 18
Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi
lainnya, maka kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada
waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6%
dari berat badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas,
perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka defisit
cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa
dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :

38
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg
pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :

Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :

Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan normal,
biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na2 =
Kadar natrium plasma sekarang ; BW2
= volume air badan sekarang

Anti biotik

Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare


akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari
tanpa pemberian anti biotik.

Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda


diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi
antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

Tabel 2. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri dikutip dari 1


Organisme Pilihan pertama Pilihan kedua

Campylobacter, Ciprofloksasin 500mg Salmonella/Shigella


oral
Shigella atau 2x sehari, 3 – 5 hari Ceftriaxon 1gr IM/IV sehari
Salmonella spp TMP-SMX DS oral 2x sehari, 3 hari

39
Campilobakter spp
Azithromycin, 500 mg oral 2x sehari
Eritromisin 500 mg oral 2x sehari, 5hr
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg Resisten Tetrasiklin
oral 4x sehari, 3 hari Ciprofloksacin 1gr oral 1x
Doksisiklin 300mg Eritromisin 250 mg oral
Oral, dosis tunggal 4x sehari 3 hari
Traveler diarrhea Ciprofloksacin 500mg TMP-SMX DS oral 2x sehari, 3 hari
Clostridium difficile Metronidazole 250-500 Vancomycin, 125 mg oral 4x sehari
mg
4x sehari, 7-14 hari, 7-14 hari
oral atau IV

C. Obat anti diare

Kelompok antisekresi selektif

Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara


luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti
diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.14

Kelompok opiat

Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta


kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah
15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x
sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,

40
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini
cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare
akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10

Kelompok absorbent

Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau


smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan
infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus
terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi
elektrolit.

Zat Hidrofilik

Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,


Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan

dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi
tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah
5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul
atau tablet.9

Probiotik

Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria


atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di
saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang
adekuat.3,7,19

41
KOMPLIKASI

Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi


utama, terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia
dan asidosis metabolik.1,8
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga
syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat
timbul Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi
organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan
tidak adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang
disebabkan terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal,
anemia hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS
akan meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare,
tetapi penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya
setelah infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya
menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien
menderita kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk
mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan
Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena
Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

PROGNOSIS

Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang


mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare

42
infeksius hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal.
Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-
anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan
diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan
mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.1

PENCEGAHAN1,3,13,16

Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral,


penularannya dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini
termasuk sering mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya
selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah
pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk
membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus
disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang

keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air,
harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di
danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air
yang bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah
manusia atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk
pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus
dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh
dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel
yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh
dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin
yang tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera

43
parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk
digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya
lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan
sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi
70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang
lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul
setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan
dua vaksin lainnya.

KESIMPULAN

Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara


berkembang maupun negara maju. Sebagian besar bersifat self limiting
sehingga hanya perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila
ada tanda dan gejala diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi
antimikrobial secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi
spesifik sesuai dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan
karena efektif dan cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan. Prognosis
diare akut infeksi bakteri baik, dengan morbiditas dan mortalitas yang
minimal. Dengan higiene dan sanitasi yang baik merupakan pencegahan untuk
penularan diare infeksi bakteri.

44
LAMPIRAN 2
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG DIARE DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN DIARE
PADA BALITA

The Correlation Between Mother’s Knowledge On Diarrhea Prevention Behaviors Of Diarrhea In Chindren
Under Five

Uswatun Khasanah1 Galuh Kartika Sari1


STIKes Yogyakarta

ABSTRAK
Latar Belakang : Kematian balita di Indonesia yang disebabkan oleh diare sering mengalami kenaikan. Oleh sebab
itu perlu adanya pencegahan dan penanganan yang cepat dan tepat untuk mengurangi angka kejadian diare pada
balita dan mewujudkan salah satu tujuan MDG’s pada tahun 2015. Dari hasil wawancara pada 11 ibu yang memiliki
balita masih ada 3 ibu yang tidak mengetahui cara penularan diare dan pencegahan diare.Tujuanpenelitian ini
diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang diare dengan perilaku pencegahan diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Kotagede II Yogyakarta.
Metode : Jenis penelitian ini meupakan Kuantitatif Korelasionaldengan pendekaan Cross Sectional. Instrumen
penelitian berupa kuesioner tertutup yang sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Populasi penelitian sebanyak
72 ibu, sampel sejumlah 61 ibu dengan metode Total Sampling. Teknik analisa data menggunakan analisa univariat
dan bivariat uji korelasi Kendal Tau.
Hasil : Tingkat pengetahuan ibu tentang diare sebagian besar berada dalam kategori cukup (54,1 %) dan perilaku
pencegahan diare dalam kategori positif (77%). Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang diare
dengan perilaku pencegahan diare pada ibu di wilayah kerja Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta dengan nilai korelasi
Kendall Tau sebesar 0,416 dengan p value 0,000.
Kesimpulan : Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang diare dengan perilaku pencegahan diare
pada ibu di wilayah kerja Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta.

Kata Kunci : Pengetahuan, Perilaku, Diare Balita

ABSTRACT
Background : The infant mortality in Indonesia's caused by diarrhea is often increased . Therefore, the need for
prevention and quick and precise handling to reduce the incidence of diarrhea in infants and realizing one of the MDG
's by 2015. Interviews from 11 mothers who have children there are three mothers don’t know the mode of transmission
of diarrhea and prevention of diarrhea. Objectivethe research is knowing the correlation between mother’s knowledge
on diarrhea prevention behaviors of diarrhea in children under five health centers in the region of Kotagede II
Yogyakarta.
Methode : The research type was a survey analytic with cross sectional approach. The research instrument was a close
questionnaire which was done the validity and reliability test. The research population was 72 mothers, the sample
numbered 61 mothers taken by a purposive sampling. The data analysis technique used an univariat and bivariat with
the Kendall Tau.
Result : The level of knowledge of mothers about diarrhea mostly in the category fairly (54,1 %) and behavioral
prevention of diarrhea in the positive category (77%). There is a significant correlation between knowledge about the
prevention of diarrhea with diarrhea in maternal behavior in Puskesmas Kotagede II Yogyakarta shown from Kendall
Tau correlation value calculated 0,416 with p value 0,000.
Conclusion : There was a significant correlation between mother’s knowledge on diarrhea prevention behaviors of
diarrhea in chindren under five health centers in the region of Kotagede II Yogyakarta.

Key Words : Knowledge, Behaviors, Diarrhea children under five

PENDAHULUAN memelihara kelangsungan hidup anak bisa


Anak-anak merupakan kekayaan paling menentukan nasib bangsa dimasa mendatang.
berharga yang menentukan masa depan suatu Dapat dicermati dari berbagai indikator
bangsa. Oleh karena itu, menjaga dan kesehatan anak yang dilaporkan oleh

45
kelahiran hidup menjadi 29 per 1.000 kelahiran
beragam sumber. Adapun salah satu indikator
hidup. Namun, Indonesia masih menghadapi
yang menetukan derajat kesehatan anak
tantangan, apalagi secara keseluruhan upaya
adalah angka kematiannya8.
pengurangan angka kematian ibu dan anak
Penyebab kematian untuk semua umur
telah melambat, bahkan mencapai titik
telah terjadi pergeseran, dari penyakit
stagnasi selama 5-10 tahun terakhir. Angka
menuluar ke penyakit tidak menular. Penyebab
kematian anak cukup tinggi di Indonesia
kematian perinatal (0-7 hari) yang terbanyak
disebabkan karena beberapa hal, antara lain
adalah respiratory disorders (35,9%) dan
buang air besar (BAB) tidak pada tempatnya. Di
premature (32,3%), sedangkanuntuk usia (7-28
Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi
hari) penyebab kematian yang terbanyak
di dunia (63 juta orang) dan sepertiga anak
adalah sepsisneonatorum (20,5%) dan
Indonesia tidak punya akses air bersih. Tidak
congenital malformations (18,1%). Penyebab
adanyasanitasi dan kebersihan, serta air yang
kematian bayi yang terbanyak adalah diare
tercemar menyebabkan diare dan penyakit
(31,4%) dan pnemounia (23,8%). Sedangkan
mematikan lainnya. Sementara itu, sepertiga
untuk penyebab kematian anak balita sama
dari jumlah kematian anak di bawah satu tahun
dengan bayi, yaitu terbanyak adalah diare
disebabkan oleh diare. Diare yang berulang
(25,2%) dan pnemounia (15,5%). Sedangkan
juga menyebabkan gizi buruk11.
untuk usia >5tahun, penyebab kematian yang
Diare adalah pengeluaran feses yang
terbanyak stroke, baik di perkotaan maupun
tidak normal dan cair. Bisa juga didefinisikan
perdesaan22.
sebagai buang air besar yang tidak normal dan
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
berbentuk cair dengan frekuensi lebih banyak
United Nations Children Fund (UNICEF)
dari biasanya. Bayi dikatakan diare bila sudah
menyebutkan bahwa setiap tiga menit, satu
lebih dari 3 kali buangair besar, sedangkan
balita meninggal di Indonesia sekitar 150.000
neonatus dikatakan diare bila sudah lebih dari
anak setiap tahun. Meskipun, UNICEF
4 kali buang air besar(Dewi, 2010:91). Menurut
mengumumkan bahwa angka kematian anak
Hanum Marimbi (2010)16 Balita yaitu bayi dan
dibawah lima tahun telah berkurang lebih dari
anak yang berusia 5 tahun ke bawah.
setengah dalam periode antara 1990 dan
Diare menyebar dan menginfeksi anakmelalui
2013. empat faktor, yaitu food(makanan), feces(tinja), fly
Menurut Kepala Perwakilan UNICEF di (udara), dan finger(tangan).
Indonesia Gunilla Olsson, penurunan angka
kematian terjadi dari 84 kematian per 1.000

46
penyakit menular paling berbahaya dan
Oleh karena itu, untuk mencegah agar
mengurangi dua pertiga angka kematian anak
penyakit ini tidak menyebar dan menular, cara
dibawah usia lima tahun.
yang paling praktis adalah memutuskan rantai
Diare kebanyakan disebabkan oleh
penularan tersebut. Faktor kebersihan menjadi
beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali
faktor yang penting untuk menghindari anak
akibat dari racun bakteria. Dalam kondisihidup
dari penyakit diare8.
yang bersih dan dengan makanan mencukupi
Survei morbiditas yang dilakukan oleh
dan air tersedia, pasien yang sehat biasanya
Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari
sembuh dari infeksi virus umum dalam
tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan
beberapa hari dan paling lama satu minggu.
insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit
Namun untuk individu yang sakit atau kurang
Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik
gizi, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang
menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik
parah dan dapat mengancam jiwa bila tanpa
menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010
perawatan. Diare dapat menjadi gejala
menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar
penyakit yang lebih serius, seperti disentri,
Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi,
kolera atau botulisme, dan juga dapat menjadi
dengan Care Fertility Rate(CFR) yang masih
indikasi sindrom kronis seperti penyakit Crohn.
tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah
Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang,
dalam menurunkan angka kesakitan dan
kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009
kematian karena diare mengikuti manajemen
terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah
utama diare yang disosialisasikan oleh
kasus 5.756 orang, dengan kematian
DepKes dan IDAI, yaitu “Lima Langkah
100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun
Tuntaskan Diare” (LINTAS DIARE) yang
2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatandengan
mencakup: (1) Oralit formula baru (2)
jumlah penderita 4204 dengan kematian 73
Pemberian zink selama 10 hari (3)Melanjutkan
orang (CFR 1,74 %) (Depkes, 2011:1). Dari
pemberian ASI dan makanan (4) Pemberian
data tersebut dapat disimpulkan bahwa
antibiotik selektif sesuai indikasi dan (5)
kematian balita di Indonesia yang disebabkan
Konseling ibu. Untuk diare yang disebabkan
oleh diare sering mengalami kenaikan. Oleh
oleh rotavirus (tinja tanpa darah, muntah dan
sebab itu perlu adanya pencegahan dan
dehidrasi berat, diare berat, demam), tentu saja
penanganan yang cepat dan tepat untuk
antibiotik tidak diberikan. Tatalaksana tersebut
mengurangi angka kejadian diare pada balita
berhasil menurunkan
dan mewujudkan salah satu tujuan MDG’s
pada tahun 2015 yaitu, menangani

47
kematian anak balita usia (12-59 bulan)
angka kematian, namun belum bisa
adalah diare (28,57%), Demam Berdarah
menurunkan angka kejadian diare. Karena
Dengue (14,8%) dan penyebab lain seperti
diare rotavirus tidak dapat diatasi dengan
Pneumonia, Campak, TB, Tenggelam, dan
upaya preventif standar saja. Maka menuntut
Malaria (57,14%). Dari data tersebut dapat
adanya terobosan baru dalam mengatasi
disimpulkan angka kematian balita di
masalah kesehatan akibat rotavirus, yaitu
Yogyakarta yang disebabkan diare masih
dengan vaksin. Tahun 2006 Vaksin Rotavirus
termasuk tinggi, padahal seharusnya angka
mulai diedarkan setelah penelitian-penelitian
kejadian diare di Yogyakarta sudah menurun
yang membuktikan efikasi dan keamanannya di
karena banyak masyarakat yang
negara-negara menengah ke atas dan negara
berpendidikan tinggi dan kemungkinan
Asia Afrika. Pada bulan April 2009, WHO
memiliki pengetahuan yang tinggi pula, maka
merekomendasikan semua lembaga
dari itu perlu adanya suatu tindakan atau suatu
kesehatan di dunia untuk memberikan
program untuk mengurangi angka kejadian
vaksinasi rotaviruspada program imunisasi
diare dengan langkah preventif atau
nasional. WHO menyatakan bahwa
pencegahan.
pengembangan vaksin rotavirus yang aman
Dari studi pendahuluan di Puskesmas
dan terjangkau harusmenjadi prioritas
Kotagede II Yogyakarta didapatkan jumlah
internasional dan WHO mendukung penuh
kasus diare pada tahun 2014 sebanyak 80
kolaborasi Australia dan Indonesia dalam
kasus dari jumlah balita usia 1-5 tahun ada 731
pengembangan vaksin RV3 (Depkes, RI
balita. Dari hasil wawancara pada 11 ibu yang
2011:37).
memiliki balita 2015 di Posyandu Empu Kunir
Menurut data Dinas Kesehatan Kota
Kota Gede Yogyakarta (Wilayah kerja
Yogyakarta tahun 2014, penyebab kematian
Puskesmas Kotagede II Yogyakarta) terdapat
bayi (0-28 hari) yang terbanyak adalah Berat
2 ibu yang sudah mengetahui penularan diare
Badan Lahir Rendah (36,58%) dan Asfiksia
melalui feses, udara, tangan, dan makanan
(26,82%), sedangkan balita (29 hari-11 bulan)
serta mengetahui pencegahan diare seperti
penyebab kematian adalah diare (19,04%),
membuang tinja dengan benar, menggunakan
pnemounia (14,28%), dan penyebab lain
air yang bersih, dan cuci tangan sebelum
sepertiMeningitis, kelainan saluran
makan, 6 ibu yang mengetahui penularan diare
pencernaan, kelainan jantung kongenital dan
melalui udara saja serta mengetahui
Hidrosefalus, Sepsis, Tetanus, Campak, TB,
pencegahan diare dengan mencuci tangan
mal nutrisi, dan penyakit komplikasi lain
sebelum makan, dan 3 ibu yang tidak
(66,66%). Sedangkan untuk penyebab

48
ini adalah kuesioner. Dalam menguji korelasi
mengetahui cara penularan diare dan
dua variabel ini digunakan Korelasi Kendal
pencegahan diare. Berdasarkan latar belakang
Tau.
tersebut, maka penulis ingin mengetahui
bagaimana “Hubungan Tingkat Pengetahuan
HASIL PENELITIAN
Ibu tentang Diare Dengan Perilaku
1. Pengetahuan Ibu tentang Diare
Pencegahan Diare Pada Balita.
Gambaran pengetahuan ibu tentang diare
METODE PENELITIAN
dapat dilihat pada Tabel 1.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian
Tabel 1: Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu
kuantitatif korelasional, dengan pendekatan tentang Diare

waktu cross sectional. Populasi dalam Kategori Frekuensi Presentase

Pengetahuan (n) (%)


penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki Baik 12 19,7
Cukup 33 54,1
balita usia 1-5 tahun di wilayah kerja Kurang 16 26,2
Puskesmas Kotagede II Yogyakarta dibatasi Jumlah 61 100
pada Posyandu Empu Kunir. Sampel pada
penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui

usia 1-5 tahun baik yang sudah pernah sebagian besar responden mempunyai

mengalami diare maupun belum mengalami pengetahuan tentang diare dalam kategori

diare yang berkunjung di Posyandu Empu Kunir cukup sebanyak 33 orang (54,1 %). Ibu

wilayah kerja Puskesmas Kotagede II balita yang mempunyai pengetahuan

Yogyakarta sejumlah 61 ibu. Teknik tentang diare dalam kategori baik hanya

pengambilan sampel dalam penelitian ini ada 12 orang (19,7%)

menggunakan Total Sampling. Variabel bebas 2. Perilaku Pencegahan Diare


dalam penelitian ini adalah tingkat Gambaran perilaku pencegahan diare
pengetahuan ibu tentang diare. Variabel bebas dapat dilihat pada Tabel 2
da;am penelitian ini adalah tingkat Tabel 2: Distribusi Frekuensi Perilaku Pencegahan
Diare.
pengetahuan ibu tentang diare (X). Variabel Kategori

Perilaku
terikat dalam penelitian ini adalah perilaku Pencegahan
Frekuensi (n) Presentase (%)

49
1. Hubungan Pengetahuan tentang Diare dengan Perilaku Pencegahan Diare
Tabel 3: Tabulasi Silang Pengetahuan tentang Ibu Diare dengan Perilaku Pencegahan Diare

Perilaku Pencegahan
Pengetahuan tentang Juml Diare
%
Diare ah Negatif Positif

N % n %
Baik 12 0 0 12 19,7 19,7
Cukup 33 3 4,90 30 49,2 54,1
Kurang 16 11 18,0 5 8,2 26,2
Total 61 14 23,0 47 77,0 100

Berdasarkan pada tabel 3 diketahui Berdasarkan pada tabel 4 diketahui nilai


bahwa dari 16 ibu balita berpengetahuan korelasi Kendall Tau hitung > korelasi tabel
kurang, sebagian besar berperilaku negatif (0,416 > 0,252) dengan p value 0,000 < α =
dalam dalam perilaku pencegahan diare yaitu
11 orang (18 %). Untuk 23 ibu balita
berpengetahan cukup terdapat 30 orang (49,2 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada
%) beperilaku positif. Untuk 12 ibu balita hubungan yang signifikan antara pengetahuan
berpengetahuan baik, semuanya berperilaku tentang diare dengan perilaku pencegahan
positif dalam pencegahan diare. diare pada ibu balita di wilayah kerja
Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta.
Analisa Data
Tabel 4: Hubungan Pengetahuan Ibu tentang
PEMBAHASAN
Diare dengan Perilaku Pencegahan
1. Pengetahuan Ibu Balita tentang Diare
Diare pada Balita di wilayah kerja
Hasil analisa univariat pengetahuan
Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta
tentang diare pada ibu balita menunjukkan
tahun 2015
bahwa ada 16 orang (26,2 %)

Korelasi Korelasi P Hasil


Variabel
Hitung Tabel Value berpengetahuan kurang, 33 orang (54,1
Pengetahuan

te nta n g D ia re – %) berpengetahuan cukup dan 12 orang


Ho
P e rila k u 0,416 0,252 0,000
Ditolak (19,7 %) berpengetahuan baik. Hal ini
P encegahan

50
Hasil penelitian juga menunjukkan
balita di wilayah kerja Puskesmas Kota
bahwa masih terdapat ibu balita di wilayah
Gede II Yogyakarta mempunyai
kerja Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta
pengetahuan tentang diare dalam kategori
yang berpengetahuan kurang sebanyak 16
cukup. Hasil penelitian ini mendukung
orang (26,2 %). Ibu balita yang mempunyai
penelitian yang dilakukan Rahma, N (2014),
pengetahuan kurang tentang diare
sebagian besar ibu balita di wilayah kerja
sebagian besar berasal dari ibu yang
Puskesmas Umbulharjo I Yogyakarta
berpendidikan dasar yaitu sebanyak 17
dalam kategori cukup.
orang (27,9 %). Hal ini sesuai dengan
Menurut Notoatmodjo (2012:10),
pendapat Notoatmodjo (2010),
pengetahuan atau kognitif merupakan
pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
domain yang sangat penting untuk
tingkat pendidikan formal yang ditempuh.
terbentuknya tindakan seseorang, karena
Semakin tinggi pendidikan formal yang
dari pengalaman dan penelitian ternyata
ditempuh maka semakin baik pula
sikap dan perilaku yang didasari
pengetahuannya. Ibu balita yang
pengetahuan akan lebih langgengdaripada
berpendidikan tinggi mempunyai akses
yang tidak didasari oleh pengetahuan.
informasi yang lebih luas dibandingkan ibu
Pengetahuan tentang diare pada ibu balita
balita yang berpendidikan lebih rendah.
menunjukkan kemampuan ibu balita untuk
Selain itu, ibu yang berpendidikan tinggi
mengetahui segala sesuatu yang berkaitan
akan lebih mudah menyerap informasi
dengan diare yang meliputi pengertian,
kesehatan.
gejala dan tanda- tanda diare, cara
Masih terdapatnya ibu balita yang
penularan diare, penyebab diare,
berpengetahuan tentang diare dalam
pengobatan diare dan pencegahan
kategori kurang menuntut peran serta
penyakit diare.
petugas kesehatan, khususnya bidanuntuk
Menurut pendapat Fida dan Maya
memberikan penyuluhan kesehatan
(2013), diare merupakan buang air besar
tentang diare kepada ibu balita. Dengan
(defekasi) dengan tinja berbentuk cairan
memberikan informasi kesehatan tentang
atau setengah cairan. Kandungan air
cara-cara mencapai hidup sehat, cara
dalam tinja lebih banyak daripada biasanya
pemeliharaan kesehatan, cara
(normal 100-200 ml per jam tinja) atau
menghindari penyakit, dan sebagainya
frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali
akan meningkatkan pengetahuan
pada bayi dan 3 kali pada anak.
masyarakat tentang hal tersebut.

51
menyediakan air minum yang bersih,
Selanjutnya dengan pengetahuan itu akan
menjaga kebersihan perorangan,
menimbulkan kesadaran yang akhirnya
membiasakan mencuci tangan sebelum
akan menyebabkan orang berperilaku
makan, buang air besar pada tempatnya,
sesuai dengan pengetahuan yang
menyediakan tempat pembungan sampah
dimilikinya.
yang memadai, memberantas lalat dan
1. Perilaku Pencegahan Diare pada Balita
menjaga kebersihan lingkungan.
Hasil analisa univariat variabel
Pencegahan diare pada balita juga
perilaku pencegahan diare pada balita
dapat dilakukan dengan memberikan ASI
menunjukkan bahwa terdapat 14 orang (23
eksklusif pada balita dan menghindari
%) berperilaku negatif dan 47 orang (77
penggunaan botol susu. Ibu balita jugaperlu
%) berperilaku positif. Hasil ini
menyimpan dan menyiapkan MPASI
menunjukkan bahwa sebagian besar ibu
dengan baik, menggunakan air bersih dan
balita di wilayah kerja Puskesmas Kota
melakukan cuci tangan dengan sabun,
Gede II Yogyakarta telah berperilaku positif
serta membuang tinja dengan benar
dalam melakukan pencegahan diare pada
(Wahyudi, 2009).
balita.
Hasil penelitian ini menunjukkan
Diare dapat menyebar dan
bahwa masih terdapat ibu balita di wilayah
menginfeksi anak melalui empat faktor,
kerja Puskesmas Kota Gede II Yogyakarta
yaitu food (makanan), feces (tinja), fly
yang berperilaku negatif dalam
(udara), dan finger (tangan).Oleh karenaitu,
pencegahan diare yaitu sebanyak 14 orang
untuk mencegah agar penyakit ini tidak
(23 %) yang sebagian besar berasal dari ibu
menyebar dan menular, cara yang paling
balita yang tidak bekerja. Hal ini sesuai
praktis adalah memutuskan rantai
dengan pendapat Notoatmodjo (2010), ibu
penularan tersebut. Faktor kebersihan
yang bekerja di luar rumah pada umumnya
menjadi faktor yang penting untuk
mempunyai pengetahuan dan perilaku
menghindari anak dari penyakit diare (Fida
kesehatan yang lebih baik. Hal ini
dan Maya (2012: 318).
disebabkan karena ibu yang bekerja dapat
Perilaku pencegahan diare
belajar dari pengalaman temannya dalam
merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pencegahan diare. Ada kecenderugan
ibu balita untuk mencegah terjadinya diare
pengalaman yang baik seseorang akan
pada balita. Perilaku ibu yang positif dalam
berusaha untuk melupakan, namun jika
pencegahan diare ditandai dengan
pengalaman
pemberian makanan yang higienis,

52
segera ditangani maka akanmenyebabkan
tersebut menyenangkan mereka secara
kematian.
psikologis akan timbul kesan yang sangat
medalam dan membekas dalam emosi
1. Hubungan PengetahuanIbutentang Diare
kejiwaan, dan akhirnya dapat pula
dengan Perilaku Pencegahan Diare Balita
membentuk sikap positif dalam
Hasil analisa bivariate menunjukkan
keidupannya.
bahwa dari 16 ibu balita berpengetahuan
Menurut Lawrence Green dalam
kurang, sebagian besar berperilaku negatif
Notoatmodjo (2010: 76) faktor-faktor yang
dalam dalam perilaku pencegahan diare
mempengaruhi perilaku salah satunya
yaitu 11 orang (18 %). Untuk 23 ibu balita
adalah pengetahuan, sebelum seseorang
berpengetahan cukup terdapat 30 orang
mengadopsi perilaku baru, ia harus tahu
(49,2 %) beperilaku positif. Untuk 12 ibu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat
balita berpengetahuan baik, semuanya
perilaku tersebut bagi dirinya atau
berperilaku positif dalam pencegahandiare.
keluarganya. Pengetahuan tersebut antara
Hasil ini mengindikasikan bahwa sebagian
lain pengetahuan tentang sakit dan
besar ibu balita yang melakukan perilaku
penyakit, pengetahuan tenanga cara
pencegahan diare negatif berasal dari ibu
pemeliharaan kesehatan dan cara hidup
yang berpengetahuan kurang tentang
sehat, serta pengetahuan tentang
diare, sedangkan yang berperilaku positif
kesehatan lingkungan. Setelah seseorang
berasal dari ibu yang berpengetahuan baik.
sudah tahu, maka mereka akan
Hasil penelitian diperoleh nilaikorelasi
mengaplikasikan kedalam kehidupannya
Kendall Tau hitung > korelasi tabel (0,416 >
dan sadar akan kesehatan.
0,252) dengan p value 0,000 < α
Perilaku negatif dapat menjadi
= 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada
penyebab terjadinya diare pada balita.Diare
hubungan yang signifikan antara
membutuhkan penanganan yang cepat
pengetahuan tentang diare dengan
agar tidak terjadi dehidrasi. Pengetahuan
perilaku pencegahan diare pada ibu balita
mengenai pencegahan dan penanganan
di wilayah kerja Puskesmas Kota Gede II
diare sangat penting untuk diketahui oleh
Yogyakarta. Hal ini mempunyai arti bahwa
ibu yang dapat dijadikan sebagai upaya
ibu balita yang mempunyai pengetahuan
untuk mencegah terjadinya dehidrasi baik
baik tentang diare cenderung untuk
ringan, sedang, maupun berat. Jika terjadi
berperilaku positif dalam pencegahan
dehidrasi dan tidak

53
menyiapkan makanan sendiri, kualitas
diare. Sedangkan ibu balita yang
makanan dan minuman tergantung padaibu
berpengetahuan kurang, cenderung untuk
sebagai pengasuh utama. Perilaku ibu
berperilaku negatif dalam penanganan
dalam menjaga kebersihan dan mengolah
diare.
makanan sangat dipengaruhi oleh
Hasil penelitian ini sesuai dengan
pengetahuan ibu tentang cara pengolahan
pendapat Notoatmodjo (2010 : 76),
dan penyiapan makanan yang sehat dan
pengetahuan merupakan faktor
bersih. Sehingga dengan pengetahuan ibu
predeposisi dari perilaku. Sebelum
yang baik diharapkan dapat mengurangi
seseorang mengadopsi perilaku
angka kejadian diare pada anak balitanya.
(berperilaku baru) terlebih dahulu apa arti
Selain pencegahan terjadinya diare,
atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya
ibu balita juga perlu mempunyai
atau keluarganya. Pengetahuan atau
kemampuan untuk melakukan
kognitif merupakan domain yang sangat
penanganan awal diare pada balita. Hasil
penting untuk terbentuknya tindakan
penelitian Rahma, N (2014) menunjukkan
seseorang (overt behaviour). Penerimaan
bahwa ada hubungan antara pengetahuan
perilaku baru atau adopsi perilaku didasari
tentang diare dengan penanganan awal
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap
diare. Untuk meningkatkan pengetahuan
yang positif, maka perilaku tersebut akan
diare, perilaku pencegahan diare dan
bersifat langgeng (long lasting).
penanganan awal diare diperlukan peran
Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak
serta petugas kesehatan untuk
didasari oleh pengetahuan dan
memberikan penyuluhan. Pendidikan
kesadaranakan tidak berlangsung lama.
kesehatan yang dilakukan oleh petugas
Jadi pentingnya pengetahuan disini adalah
kesehatan mampu meningkatkan dan
dapat menjadi dasar dalam merubah
mengubah perilaku ibu balita dalam
perilaku sehingga perilaku itu langgeng.
pencegahan dan penanggulangan diare7.
Pengetahuan sebagai parameter
Hasil penelitian menunjukkan adanya
keadaan sosial dapat sangat menentukan
hubungan antara pengetahuan dengan
kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat
perilaku pencegahan diare pada balita.
terhindar dari penyakit asalkan
Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan
pengetahuan tentang kesehatan dapat
tentang diare juga harus disertai dengan
ditingkatkan, sehingga sikap dan perilaku
proses praktek pencegahan dan
menjadi sehat. Pada balita yang belum
dapat menjaga kebersihan dan

54
media promosi seperti brosur, leaflet, dan
penanganan yang dilaksanakan dalam
lain-lain.
bentuk penyuluhan dan pelatihan.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi penelitian sejenis yang berkaitan
KESIMPULAN
dengan diare pada balita, sebaiknya
1. Pengetahuan ibu balita tentang diare di
mengambil lokasi penelitian yang
wilayah kerja Puskesmas Kota Gede II
berbeda dan menambahkan variabel
Yogyakarta sebagian besar berada dalam
bebas lain di luar pengetahuan ibu
kategori cukup.
tentang diare.
2. Pencegahan diare pada balita diwilayah
kerja Puskesmas Kota Gede II
Yogyakarta sebagian besar termasuk
dalam kategori positif.
3. Ada hubungan yang signifikan
pengetahuan tentang diare dengan
pencegahan diare pada ibu balita di
wilayah kerja Puskesmas Kota Gede II
Yogyakarta dengan nilai korelasi Kendall
Tau hitung = 0,416 dengan p value
0,000.Hal ini mempunyai arti bahwa
semakin baik pengetahuan tentang diare,
maka semakin positif pencegahan diare
yang dilakukan ibu balita. Sebaliknya,
semakin kurang pengetahuan tentang
diare, maka semakin negatif pencegahan
diare yang dilakukan oleh ibu balita.

SARAN
1. Bagi Tenaga Kesehatan Puskesmas
Kotagede II
Diharapkan bagi tenaga kesehatan di
Puskesmas Kotagede II agar lebih
meningkatkan upaya promosi kesehatan
khususnya tentang diare seperti
penyuluhan pada warga ataupun dengan

55
DAFTAR PUSTAKA

Hutasoit, D. P. (2020). Pengaruh Sanitasi Makanan dan Kontaminasi Bakteri


Escherichia coli Terhadap Penyakit Diare. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 12(2), 779–786. https://doi.org/10.35816/jiskh.v12i2.399

Irawan, A. Y. (2013). Hubungan Antara Aspek Kesehatan Lingkungan Dalam


Phbs Rumah Tangga Dengan Kejadian Penyakit Diare Di Kecamatan
Karangreja Tahun 2012. Unnes Journal of Public Health, 2(4).

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Situasi diare di Indonesia. Jurnal Buletin


Jendela Data & Informasi Kesehatan, 2, 1–44.
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
buletin/buletin-diare.pdf

Khasanah, U., & Sari, G. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang
Diare Dengan Perilaku Pencegahan Diare Pada Balita. Jurnal Kesehatan
Samodra Ilmu, 7(2), 137570.

Kosasih, C., Sulastri, A., Suparto, T. A., & Sumartini, S. (2018). Gambaran
Pengetahuan Ibu Tentang Diare Pada Anak Usia Balita Di Kelurahan
Padasuka. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 1(2), 86.
https://doi.org/10.17509/jpki.v1i2.9746

Neni, N., & Iseu, S. A. (2019). Hubungan Perilaku Higenis terhadap Kejadian
Penyakit Diare di Dusun Jagabaya Desa Radjatu Kecamatan Cineam.
Kesehatan Komunitas Indonesia, 15(2), 105–110.
http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jkki/article/download/1258/920

Paramita, L. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Diare Di Ruang 2


Ibu Dan Anak Rs Reksodiwiryo Padang. Jurnal Keperawatan.
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/KTI_LIDIA_PARAMITA.pdf

Pundong, P. (n.d.). Penanggulangan Penyakit.

56
https://puskesmas.bantulkab.go.id/pundong/penanggulangan-penyakit/

Rahman, H. F., Widoyo, S., Siswanto, H., & Biantoro, B. (2016). Factors Related
To Diarrhea in Solor Village Cermee District Bondowoso. NurseLine
Journal, 1(1), 24–35.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/NLJ/article/download/3826/2982/

Rasyidah, U. M. (2019). Diare sebagai Konsekuensi Buruknya Sanitasi


Lingkungan. KELUWIH: Jurnal Kesehatan Dan Kedokteran, 1(1), 30–35.
https://doi.org/10.24123/kesdok.v1i1.2485

Saputri, N., & Astuti, Y. P. (2019). Hubungan Faktor Lingkungan Dengan


Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Bernung. Jurnal Ilmu
Keperawatan Dan Kebidanan, 10(1), 101–110.
https://doi.org/10.26751/jikk.v10i1.619

Zein, U., Sagala, K. H., & Ginting, J. (2004). Diare Akut Disebabkan Bakteri.
Universitas Stuttgart, January 2004, 1–15.

済 無 No Title No Title No Title. (n.d.).


http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4074/3/bab 2.pdf

57

Anda mungkin juga menyukai