Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang

ditularkan lewat perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penularan penyakit

Demam Berdarah Dengue semakin mudah saat ini karena berbagai faktor seperti

tingginya mobilitas penduduk, faktor perilaku, dan lingkungan. Menurut WHO,

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain faktor host,

lingkungan (environment), dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu

kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment)

yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan air laut, curah hujan,

kecepatan angin, kelembaban udara, musim), kondisi geografis ini juga

dipengaruhi oleh kondisi demografis (kepadatan penduduk, mobilitas penduduk,

perilaku, adat istiadat, dan sosial ekonomi penduduk) (Iswari, 2008: 79). Demam

Berdarah Dengue merupakan penyakit menular yang berakibat fatal. Dalam waktu

yang relatif singkat penyakit DBD dapat merenggut nyawa penderitanya jika tidak

ditangani secepatnya. Kejadian Demam Berdarah Dengue juga banyak terjadi

pada masyarakat di Kecamatan Tambakrejo, dimana penyebab terjadinya Demam

Berdarah Dengue yang paling sering adalah akibat kondisi lingkungan yang

kurang terjaga kebersihannya dan akibat perilaku masyarakat yang kurang

menjaga kebersihan lingkungannya. Fenomena yang terjadi pada masyarakat Desa

Bakalan Kecamatan Tambakrejo yaitu masih banyak dijumpai genangan-

genangan air pada area pemukiman warga dan juga masih banyaknya warga yang

tidak menaburkan obat pembunuh jentik nyamuk (ABATE) pada bak mandi.

1
2

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar setengah dari

populasi manusia di dunia berisiko terkena penyakit ini. Indonesia sendiri pun

termasuk negara rawan Demam Berdarah Dengue dengan catatan kasus yang

cukup tinggi. Data terbaru Kemenkes RI per Februari 2019 melaporkan jumlah

kasus DBD skala nasional mencapai 13.683 jiwa dan 133 orang di antaranya

meninggal dunia (Savitri, 2019). Kementerian Kesehatan mencatat sedikitnya ada

110.921 kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia pada Januari hingga

31 Oktober 2019. Angka ini meningkat cukup drastis dari 2018 dengan jumlah

kasus berada pada angka 65.602 kasus. Kejadian DBD tertinggi ditemukan di

Provinsi Jawa Barat dengan total 19.240 kasus. Kemudian, Jawa Timur 16.699

kasus, Jawa Tengah 8.501 kasus, Jakarta 8.408 kasus, Sumatera Utara 5.721 kasus

dan Lampung 5.369 kasus (Tarmizi, 2019). Berdasarkan data Dinas Kesehatan

Bojonegoro, angka kejadian DBD di Kabupaten Bojonegoro Tahun 2018

sebanyak 589 kasus. Dan angka kejadian DBD tertinggi berada di Kecamatan

Tambakrejo tahun 2018 sebanyak 68 kasus (Dinkes Bojonegoro, 2019).

Sedangkan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bojonegoro hingga

Oktober 2019, kasus demam berdarah sudah terjadi sebanyak 404 kasus dengan

jumlah korban meninggal sebanyak 7 kasus. Sedangkan pada 2018, jumlah kasus

demam berdarah sebanyak 589 kasus dengan kasus kematian sebanyak 12

penderita (Adarma, 2019). Berdasarkan data dari Puskesmas Tambakrejo,

diketahui bahwa jumlah kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja

Puskesmas Tambakrejo hingga November tahun 2019, yaitu sebanyak 160 kasus.

Dimana kejadian DBD terbanyak yaitu Desa Bakalan sebanyak 26 kasus, Desa

Napis sebanyak 20 kasus, dan Desa Malingmati sebanyak 18 kasus. Kemudian

dari survey awal yang dilakukan peneliti pada hari minggu 15 Desember 2019
3

terhadap kondisi lingkungan di Desa Bakalan terlihat banyak terdapat genangan

air pada area pemukiman warga. Sedangkan dari hasil wawancara terhadap 10

warga Desa Bakalan, diketahui bahwa sebanyak 8 orang mengatakan tidak pernah

menaburkan obat pembunuh jentik nyamuk (ABATE) pada bak mandi, dan hanya

2 orang mengatakan rutin menaburkan ABATE tiap sebulan sekali.

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus dengue

akut disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti

dan nyamuk Aedes Albocpictus, yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitannya

(Wijaya dan Putri, 2013: 197). Faktor yang mendorong adanya kejadian Demam

Berdarah Dengue, salah satunya adalah faktor lingkungan yaitu kondisi

lingkungan yang memungkinkan nyamuk Aedes aegypti hidup. Selain itu perilaku

masyarakat juga dapat berpengaruh terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue

(Iswari, 2008: 79). Virus Dengue ditemukan di daerah tropik dan sub tropik yang

kebanyakan di wilayah perkotaan dan pinggiran kota di dunia. Indonesia adalah

negara yang beriklim tropis yang sangat cocok untuk pertumbuhan hewan ataupun

tumbuhan serta tempat berkembangnya beragam penyakit, terutama penyakit yang

dibawa oleh vector seperti nyamuk yang banyak menularkan penyakit. Penyakit

Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia yang jumlah penderitanya semakin meningkat dan penyebarannya

semakin luas. Penyakit Demam Berdarah Dengue pada umumnya menyerang

pada anak-anak umur kurang dari 15 tahun dan juga bias menyerang pada orang

dewasa (Kemenkes RI, 2018: 1). Gejala penyakit Demam Berdarah Dengue yang

akan muncul seperti ditandai dengan demam mendadak, sakir kepala, nyeri

belakang bola mata, mual dan menifestasi perdarahan seperti mimisan atau gusi

berdarah serta adanya kemerahan di bagian permukaan tubuh pada penderita. Pada
4

umumnya penderita Demam Berdarah Dengue akan mengalami fase demam

selama 2-7 hari, fase pertama: 1-3 hari ini penderita akan merasakan demam yang

cukup tinggi 400C, kemudian pada fase ke-dua penderita mengalami fase kritis

pada hari ke 4-5, pada fase ini penderita akan mengalami turunnya demam hingga

370C dan penderita akan merasa dapat melakukan aktivitas kembali (merasa

sembuh kembali) pada fase ini jika tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat

dapat terjadi keadaan fatal, akan terjadi penurunan trombosit secara drastis akibat

pemecahan pembuluh darah (pendarahan). Di fase yang ketiga ini akan terjadi

pada hari ke 6-7 ini, penderita akan merasakan demam kembali, fase ini

dinamakan fase pemulihan, di fase inilah trombosit akan perlahan naik kembali

normal kembali (Kemenkes RI, 2017). Sampai saai ini penyakit Demam Berdarah

Dengue masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dan menimbulkan

dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena

menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga dan

berkurang usia harapan dalam keluarga, kematian anggota keluarga dan

berkurangnya usia harapan hidup msyarakat. Dampak ekonomi langsung adalah

biaya pengobatan yang cukup mahal, sedangkan dampak tidak langsung adalah

kehilangan waktu kerja dan biaya lain yang dikeluarkan selain pengobatan seperti

transportasi dan akomodasi selama perawatan sakit (Kemenkes RI, 2017).

Upaya yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah kejadian penyakit

Demam Berdarah Dengue yaitu dengan memberikan informasi atau pendidikan

kesehatan tentang pencegahan DBD dan memberikan obat pembunuh jentik

nyamuk (ABATE) pada masyarakat. Pencegahan DBD yang paling efektif dan

efisien adalah kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M

Plus, yaitu: Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat
5

penampungan air seperti bak mandi, tempat penampungan air minum, penampung

air lemari es, tempat minum burung, vas bunga, dan lain-lain sekurang-kurangnya

7 hari sekali; Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air

seperti drum, toren air, dan sebagainya; Memanfaatkan kembali atau mendaur

ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan

nyamuk atau kalau tidak memungkinkan dibuang dengan cara menguburnya.

Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan

seperti: menggunakan kelambu saat tidur, mengatur cahaya dan ventilasi dalam

rumah, menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah,

mengoleskan obat anti nyamuk (repellent) pada daerah kulit terbuka, kecuali

muka, menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk, menaburkan bubuk larvasida

pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan, serta memelihara ikan

pemangsa jentik nyamuk; dan lain-lain (IDAI, 2019).

Maka dengan uraian masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan

kejadian demam berdarah dengue”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

“Apakah ada hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian

demam berdarah dengue?”


6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisa adanya perbandingan jurnal penelitian ”hubungan faktor

lingkungan dan perilaku dengan kejadian demam berdarah dengue diwilayah kerja

kerja puskesmas klangenserut” dengan “hubungan antara lingkungan fisik dan

perilaku dengan kejadian demam berdarah dengue diwilayah kerja puskesmas

sekaran,kota semarang “.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang hubungan

penggunaan media sosial dengan interaksi sosial pada remaja, serta dapat

menjadi sarana bagi peneliti untuk menerapkan teori keperawatan jiwa yang

diperoleh dari bangku perkuliahan kepada masyarakat secara langsung. Hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber bagi pengembangan penelitian

lanjutan yang berkaitan dengan masalah penyakit Demam Berdarah Dengue.

2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan informasi dan sebagai

bahan referensi bagi Mahasiswa Keperawatan dalam melakukan penelitian

keperawatan yang akan datang dalam ruang lingkup yang sama yaitu berkaitan

dengan masalah penyakit Demam Berdarah Dengue.


7

3. Bagi Dinas Kesehatan

Untuk memberikan masukan bagi pengambil keputusan dan pengelola

program pada Dinas Kesehatan dalam melakukan intervensi yang tepat untuk

program pencegahan dan penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue.

4. Bagi Puskesmas

Untuk meningkatkan kinerja dan intervensi dalam program pencegahan

dan penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue melalui Puskesmas.

5. Bagi Desa/Kelurahan

Untuk memberikan masukan sebagai upaya peningkatan peran serta

masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit Demam

Berdarah Dengue.

6. Bagi Program Kesehatan Lingkungan

Untuk memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang faktor-

faktor yang berhubungan dengan faktor lingkungan dan perilaku terhadap

kejadian Demam Berdarah Dengue.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan diuraikan tentang konsep dari penelitian tentang hubungan

faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian demam berdarah dengue.

Penjelasan konsep-konsep tersebut mencakup: konsep lingkungan, konsep

perilaku, konsep demam berdarah dengue, kerangka konseptual, dan hipotesis.

2.1 Konsep Lingkungan

2.1.1 Pengertian

Menurut Dorothy Orem, lingkungan dapat diartikan sebagai tempat, situasi

maupun hal-hal yang berinteraksi dengan individu, baik secara aktif maupun

pasif. Lingkungan dan individu akan sama-sama berpikir, menganalisis dan

membuat kesimpulan selama interaksi. Sifat lingkungan yang mungkin saja

berupa lingkungan hidup, seperti adanya individu lain dapat memengaruhi

lingkungan internal seseorang. Menurut Betty Neuman, lingkungan adalah seluruh

faktor internal dan eksternal yang berada di sekitar klien, dan memiliki hubungan

yang harmonis dan seimbang (Kholifah dan Waidagdo, 2016: 63-64).

Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan adalah

suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar

dapat menjamin keadaan sehat dari manusia (Purnama, 2017: 7).

8
9

Lingkungan sehat menurut WHO adalah “keadaan yg meliputi kesehatan

fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya berarti suatu keadaan yg bebas dari

penyakit dan kecacatan” (Surahman dan Supardi, 2016: 87).

Perumahan, menurut Mukono, adalah tempat tinggal sekelompok

masyarakat dalam melakukan hidup dan kehidupan manusia, oleh sementara

orang disebut pemukiman, sangat berkaitan dengan dengan kondisi ekonomi,

sosial, pendidikan, budaya, tradisi dan kebiasaan, suku, keadaan geografi dan

kondisi lokal (Surahman dan Supardi, 2016: 88).

2.1.2 Jenis lingkungan

Surahman dan Supardi (2016: 75), menjelaskan bahwa faktor lingkungan

merupakan faktor yang mempengaruhi status kesehatan, terdiri atas lingkungan

fisik, biologis, dan sosial ekonomi. Faktor ini disebut dengan faktor ekstrinsik.

Lingkungan memegang peran dalam penyebaran penyakit menular.

1. Lingkungan fisik, seperti suhu, cuaca, polusi udara, sanitasi umum, dan

kualitas air, merupakan faktor yang memengaruhi semua tahap dalam rantai

infeksi.

2. Lingkungan biologis misalnya wilayah dengan flora yang berbeda akan

memiliki pola penyakit yang berbeda.

3. Lingkungan sosial ekonomi seperti pekerjaan yang berhubungan dengan zat

kimia akan mudah terpapar oleh zat kimia tersebut, urbanisasi dapat

menimbulkan masalah sosial seperti daerah menjadi kumuh akibatnya sampah

dan tinja akan mencemari lingkungan, perkembangan ekonomi akan

mengubah pola konsumsi masyarakat yang cenderung memakan makanan


10

yang tinggi kolesterol, gula, dan garam. Keadaan ini memudahkan timbulnya

penyakit, seperti jantung, hipertensi, dan diabetes.

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi lingkungan perumahan

Lingkungan perumahan atau pemukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang dapat menentukan kualitas lingkungan pemukiman tersebut, antara lain

fasilitas pelayanan, perlengkapan, peralatan yang dapat menunjang

terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan mental, kesejahteraan sosial bagi

individu dan keluarganya (Surahman dan Supardi, 2016: 88).

2.1.4 Ruang lingkup kesehatan lingkungan

Terdapat 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut WHO, yaitu :

1. Penyediaan air minum, khususnya yang menyangkut persediaan jumlah air

2. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran, termasuk masalah

pengumpulan, pembersihan dan pembuangan

3. Pembuangan sampah padat

4. Pengendalian vektor, termasuk anthropoda, binatang mengerat

5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh perbuatan manusia

6. Higiene makanan, termasuk hygiene susu

7. Pengendalian pencemaran udara

8. Pengendalian radiasi

9. Kesehatan Kerja, terutama pengaruh buruk dari faktor fisik, kimia dan

biologis

10. Pengendalian kebisingan

11. Perumahan dan pemukiman


11

12. Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara

13. Perencanaan daerah dan perkotaan

14. Pencegahan kecelakaan

15. Rekreasi umum dan pariwisata

16. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan

epidemik/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk

17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkunganTujuan

Kesehatan Lingkungan, yaitu terciptanya keadaan yang serasi sempurna dari

semua faktor yang ada di lingkungan fisik manusia, sehingga perkembangan

fisik manusia dapat diuntungkan, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia

dapat dipelihara dan ditingkatkan (Purnama, 2017: 7).

2.1.5 Peran lingkungan sebagai penyebab penyakit

Peran Lingkungan dalam menimbulkan penyakit:

1. Lingkungan sebagai faktor predisposisi (faktor kecenderungan)

2. Lingkungan sebagai penyebab penyakit (penyebab langsung penyakit)

3. Lingkungan sebagai media transmisi penyakit (sebagai perantara penularan

penyakit)

4. Lingkungan sebagai faktor mempengaruhi perjalanan suatu penyakit (faktor

penunjang) (Purnama, 2017: 8).

2.1.6 Sanitasi lingkungan

Sanitasi merupakan salah satu komponen kesehatan lingkungan yaitu

perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah

manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya


12

lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.

Dalam penerapannya di masyarakat, sanitasi meliputi penyediaan air, penelolaan

limbah, pengelolaan sampah, control vector, pencegahan dan pengontrolan

pencemaran tanah, sanitasi makanan, serta pencemaran udara.

Gambaran tentang aktivitas-aktivitas untuk menciptakan sanitasi

lingkungan yang baik yaitu salah satunya dengan menguras, menutup, menimbun

dan memantau bak atau tempat penampungan air menjadi tempat yang sangat baik

bagi perkembangbiakan nyamuk. Karena itu, bak dan penampungan air harus

dibersihkan dan dikuras secara rutin minimal satu minggu sekali. Tempat

penampungan air diupayakan selalu tertutup. Menutup tempat penampungan air

dapat mencegah perkembangbiakan nyamuk, juga mencegah masuknya organisme

lainnya seperti kecoa dan tikus. Aktivitas menimbun dilakukan agar barang-

barang dilingkungan tidak dijadikan sarang atau tempat perkembangbiakan

organisme yang merugikan kesehatan seperti kaleng bekas, plastik dan lain-lain.

Tidak membiarkan adanya air yang tergenang. Genangan air seringkali

dianggap tidak membahayakan. Padahal genangan air yang dibiarkan lama,

terutama musim hujan dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.

Membersihkan saluran pembuangan air juga akan membantu dalam memutus

rantai perkembangbiakan vector penyakit, jika dibiarkan akan menjadi sumber

berbagai jenis penyakit (Purnama, 2017: 10).


13

2.1.7 Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Terkait Dengan

Lingkungan

Purnama (2017: 10-12), menjelaskan bahwa kejadian demam berdarah

dengue (DBD) terkait dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah

lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak dengan agent, yaitu sebagai

berikut:

1. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik ada bermacam-macam misalnya tata rumah, ketinggian

tempat dan iklim.

a. Jarak antara rumah

Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah

lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar

dari satu rumah ke rumah lainnya. Bahan-bahan pembuat rumah,

konstruksi rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam

rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh

nyamuk.

b. Ketinggian tempat

Pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat ekologis

yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia nyamuk Aedes aegypti

dapat hidup pada daerah dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan

laut.
14

c. Iklim

Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang terdiri

dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin.

1) Suhu udara

Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi

metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun

sampai dibawah suhu kritis. Rata-rata suhu optimum untuk

pertumbuhan nyamuk adalah 25ºC - 27ºC. Pertumbuhan nyamuk akan

terhenti sama sekali bila suhu kurang 10ºC atau lebih dari 40ºC.

2) Kelembaban udara

Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan

rumah menjadi basah dan lembab yang memungkinkan

berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit.

3) Curah hujan

Hujan berpengaruh terhadap kelembaban udara dan tempat perindukan

nyamuk juga bertambah banyak.

4) Kecepatan angin

Kecepatan angin secara tidak langsung berpengaruh pada kelembaban

dan suhu udara, disamping itu angin berpengaruh terhadap arah

penerbangan nyamuk.

2. Lingkungan Sosial

a. Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang

memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung


15

baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan Tempat Pembuangan

Air (TPA), kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi

masyarakat khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka

akan menimbulkan resiko terjadinya

b. Sikap dan Perilaku

Sikap dan Perilaku manusia yang menyebabkan terjangkitnya dan

menyebarnya DBD khususnya diantaranya adalah:

1) Mobilitas dan kebiasaan masyarakat itu sendiri. Mobilitas, saat ini

dengan semakin tingginya kegiatan manusia membuat masyarakat

untuk melakukan mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Dan hal

ini yang mempercepat penularan DBD.

2) Kebiasaan, kebiasaan yang dimaksud adalah sebagaimana masyarakat

di Indonesia cenderung memiliki kebiasaan menampung air untuk

keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, menampung air di

bak mandi dan keperluan lainnya, yang menjadi tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Kebiasaan lainnya adalah

mengumpulkan barang-barang bekas dan kurang melaksanakan

kebersihan dan kurang menerapkan pelaksanaan 4M PLUS (Menguras,

menutup, memanfaatkan, memantau plus menaburkan bubuk abate

pada tempat tempat penampungan air, menghindari gigitan nyamuk

dengan pemakaian anti nyamuk lotion maupun obat nyamuk bakar,

dan obat nyamuk elektrik, tidur memakai kelambu, dan tidak

menggantung pakaian dikamar).


16

2.2 Konsep Perilaku

2.2.1 Pengertian Perilaku

Perilaku merupakan perbuatan atau tindakan dan perkataan seseorang yang

sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun oleh

orang yang melakukannya (Surahman dan Supardi : 2016 : 35).

Perilaku manusia merupakan proses interaksi individu dengan lingkungan

sebagai manivestasi bahwa dia adalah makhluk hidup (Donsu, 2017 : 175).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2014: 118),

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses

adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut

merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organism

-Respon.

2.2.2 Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2014: 119) :

1. Perilaku tertutup (convert behavior)

Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap

stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran,

dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan

belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.


17

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan

atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.2.3 Klasifikasi Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makan, dan

lingkungannya (Surahman dan Supardi, 2016 : 35).

Perilaku kesehatan (health behavior) menurut Surahman dan Supardi

(2016 : 35), mencakup 4 (empat) hal yaitu sebagai berikut :

1. Perilaku sakit (illness behavior), yaitu segala tindakan atau kegiatan yang

dilakukan oleh orang sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan

kesehatannya, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi penyakit,

penyebab penyakit, serta usaha pencegahannya.

2. Perilaku terhadap pelayanan kesehatan (health service behavior), yaitu

perilaku terhadap fasilitas pelayanan kesehatan tradisional maupun modern,

yang terwujud dalam pengetahuan, sikap dan penggunaan fasilitas pelayanan,

petugas dan obat.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yaitu perilaku seseorang

terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, meliputi

pengetahuan, sikap dan praktik terhadap makanan, unsur-unsur gizi yang

terkandung di dalamnya, pengelolaan makanan, dan sebagainya.


18

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior),

yaitu perilaku seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan

manusia yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan terkait air bersih,

pembuangan air limbah, rumah sehat, pembersihan sarang nyamuk (vector),

dan sebagainya.

2.2.4 Proses Pembentukan Perilaku

Donsu (2017: 177), menjelaskan bahwa perilaku merupakan hasil interaksi

antara rangsangan yang diterima dengan tanggapan yang diberikan. Tanggapan

tersebut dibagi menjadi dua yaitu respondent response dan operant response.

1. Respondent response

Tanggapan jenis ini disebabkan oleh adanya rangsangan (stimulus)

tertentu atau rangsangan tertentu yang menimbulkan tanggapan yang relative

tetap. Misalnya, keluarnya air liur saat melihat orang yang sedang makan

rujak.

2. Operant response

Tanggapan ini timbul akibat perangsang tertentu yang memperkuat

tanggapan atau perilaku tertentu yang telah dilakukan misalnya, seorang

mahasiswa karena ketekunannya dalam belajar memperoleh IPK diatas 3.

kemudian karena prestasi tersebut, ia diberi hadis oleh orangtuanya. Maka

selanjutnya, ia akan lebih giat belajar agar kelak memperoleh hadiah lagi.

Operant response merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia yang

memiliki kemungkinan untuk memodifikasi secara tidak terbatas. Untuk


19

membentuk jenis tanggapan atau perilku, perlu diciptakan kondisi tertentu

yang disebut operant conditioning.

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning adalah

sebagai berikut :

1) Pertama, melakukan pengenalan terhadap sesuatu yang merupakan

penguat, yaitu berupa hadiah.

2) Kedua, melakukan analisis dipergunakan untuk mengenal bagian-bagian

kecil pembentuk perilaku sesuai yang diinginkan. Selanjutnya bagian-

bagian tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju pada

terbentuknya perilaku yang diinginkan.

3) Ketiga, menggunakan bagian-bagian kecil perilaku, seperti :

a. Bagian-bagian perilaku ini disusun secara urut dan dipakai untuk

tujuan sementara.

b. Mengenal penguat atau hadiah untuk masing-masing bagian tadi.

c. Membentuk perilaku dengan bagian-bagian yang telah tersusun

tersebut.

d. Apabila bagian perilaku pertama telah dilakukan hadiahnya akan

diberikan, yang mengakibatkan tindakan tersebut akan sering

dilakukan.

e. Akhirnya akan dibentuk perilaku kedua dan seterusnya sampai

terbentuk perilaku yang diharapkan.


20

2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2013: 142), faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku seseorang dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Faktor intern, mencakup: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, dan

motivasi.

2. Faktor ekstern, meliputi: lingkungan sekitar baik fisik maupun nonfisik seperti

iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.

Sedangkan menurut Donsu (2017: 178-180) Perilaku manusia pada

dasarnya dipengaruhi oleh faktor genetik individu dan faktor eksternal.

1. Faktor genetik

Faktor genetik merupakan konsepsi dasar atau modal awal untuk

perkembangan perilaku lebih lanjut dari makhluk hidup itu sendiri. Faktor

genetik ini terdiri dari jenis ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian,

bakat pembawaan, dan intelegensi.

a. Jenis RAS

Setiap RAS di dunia memiliki perilaku yang spesifik dan berbeda

satu dengan lainnya. Tiga kelompok RAS terbesar di dunia ini, antara

lain :

1) RAS kulit putih (Kaukasia).

Ciri fisik RAS ini adalah berkulit putih, bermata biru, dan

berambut pirang. Sedangkan perilaku yang dominan antara lin

terbuka, senang akan kemajuan dan menjunjung tinggi hak asasi

manusia.
21

2) RAS kulit hitam (Negroid)

RAS ini memiliki ciri fisik, berkulit hitam, berambut keriting,

dan bermata hitam. Sedangkan perilaku yang dominan adalah

memiliki tabiat yang keras, tahan menderita, dan menonjol dalam

jenis olahraga keras.

3) RAS kulit kuning (Mongoloid)

Ciri-ciri fisik RAS ini antara lain, berkulit kuning, berambut

lurus dan bermata coklat. Perilaku yang dominan meliputi keramah-

tamahan, suka bergotong royong, tertutup, dan senang dengan

upacara ritual.

b. Jenis kelamin

Perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara

berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas

dasar pertimbangan rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar

pertimbangan emosional atau perasaan. Perilaku pada pria disebut

maskulin, sedangkan perilaku wanita disebut feminin.

c. Sifat fisik

Jika kita amati, perilaku individu akan berbeda-beda tergantung

pada sifat fisiknya. Misalnya, perilaku individu yang pendek dan gemuk

berbeda dengan individu yang tinggi dan kurus. Berdasarkan sifat

fisiknya, maka pasti kita mengenal tipe kepribadian piknis atau stenis dan

tipe atletis.
22

d. Sifat kepribadian

Sifat kepribadian merupakan keseluruhan pola pikiran, perasaan

dan perilaku yang sering digunakan oleh seseorang dalam usaha adaptasi

yang terus menerus terhadap hidupnya. Misalnya, pemalu, pemarah,

ramah, pengecut, dan sebagainya.

e. Bakat pembawaan

Bakat merupakan kemampuan individu untuk melakukan sesuatu

tanpa harus bergantung pada intensitas latihan mengenai hal tersebut.

Misalnya : individu yang berbakat seni lukis, perilaku seni lukisnya akan

cepat menonjol apabila mendapat latihan dan kesempatan dibandingkan

individu lain yang tidak berbakat.

f. Intelegensi

Intelegensi merupakan kemampuan seseorang untuk berpikir

abstrak. Dengan demikian, individu intelegen adalah individu yang

mampu mengambil keputusa secara tepat dan mudah, serta bertindak

dengan tepat.

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku individu meliputi :

lingkungan, pendidikan, agama, sosial ekonomi, kebudayaan dan faktor-

faktor lain.

a. Faktor lingkungan

Lingkungan disini menyangkut segala sesuatu yang ada di dalam

individu, baik fisik, biologis, maupun sosial. Contoh, mahasiswa yang


23

hidup dilingkungan kampus perilakunya akan dipengaruhi oleh

pemikiran ilmiah, rasional, dan intelektual.

b. Pendidikan

Secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan sejak

dalam ayunan hingga liang lahat, yakni berupa interaksi individu dengan

lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Contoh, individu

yang berpendidikan S1, perilakunya akan berbeda dengan yang

berpendidikan SLTP.

c. Agama

Agama merupakan tempat mencari makna hidup yang terakhir

atau penghabisan. Sebagai suatu keyakinan hidup agama akan masuk ke

dalam konstruksi kepribadian seseorang. Misalnya, perilaku orang Islam

dalam memilih atau mengolah makanan akan berbeda dengan orang

kristen.

d. Sosial ekonomi

Lingkungan sosial (budaya dan ekonomi) merupakan salah satu

lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Misalnya,

keluarga yang status ekonominya berkecukupan, akan mampu

menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, perilaku mereka akan berbeda

dengan keluarga yang berpenghasilan pas-pasan.


24

e. Kebudayaan

Kebudayaan diartikan sebagai kesenian, adat istiadat atau

peradaban manusia. Hasil kebudayaan manusia tersebut akan

mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri. Misalnya kebudayaan Jawa

akan mempengaruhi perilaku masyarakat Jawa pada umumnya dan orang

Jawa pada khususnya.

2.2.6 Domain Perilaku

Hartono (2016: 15), menjelaskan bahwa domain perilaku menurut

Benyamin Bloom ada tiga yaitu, kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek

tersebut saling berkaitan dan ini menentukan untuk terbentuknya perilaku baru.

Secara umum, timbulnya perilaku diawali dari adanya domain kognitif. Individu

tahu adanya stimulus, sehingga terbentuk pengetahuan baru. Selanjutnya, timbul

respon batin dalam bentuk sikap individu terhadap obyek yang diketahuinya. Pada

akhirnya, obyek yang telah diketahui dan disadari secara penuh akan

menimbulkan respon berupa tindakan (psikomotor). Jadi urutan terbentuknya

perilaku baru adalah sebagai berikut :

1. Kognitif atau Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari rasa ingin tahu yang terjadi melalui

proses sensoris panca indera, khususnya mata dan telinga terhadap obyek

tertentu. Pengetahuan adalah informasi yang terorganisasi, sehingga dapat

diterapkan untuk pemecahan masalah. Pengetahuan dapat dimaknai sebagai

informasi yang dapat ditindaklanjuti atau informasi yang dapat digunakan


25

sebagai dasar bertindak, untuk mengambil keputusan dan menempuh arah

atau strategi baru.

Pengetahuan diperoleh melalui dua cara, yaitu cara tradisional

(ilmiah) dan cara modern (non ilmiah). Cara tradisional (ilmiah) meliputi cara

coba dan salah (trial and error), cara kekerasan (otoriter), berdasarkan

pengalaman pribadi, dan melalui jalan pikiran. Cara modern (non ilmiah),

yaitu dengan cara mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala

alam atau kemasyarakatan, kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan

dan diklasifikasikan, dan akhirnya diambil kesimpulan.

Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif menurut Bloom dalam

Notoatmodjo (2013) terdapat enam tingkatan, yaitu: tahu, memahami,

aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Tahu artinya mampu mengingat

tentang apa yang telah dipelajarinya, memahami artinya suatu kemampuan

untuk menjelaskan secara benar obyek yang diketahuinya. Aplikasi artinya

kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajarinya ke kondisi

sebenarnya, analisis artinya kemampuan untuk menjabarkan suatu obyek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan

masih ada kaitan satu sama lainnya, sintesis menunjuk pada suatu

kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam

satu bentuk keseluruhan yang baru, evaluasi yaitu kemampuan melakukan

penilaian terhadap suatu obyek.


26

2. Sikap

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek,

baik yang bersifat intern maupun ekstern, sehinggga manifestasinya tidak

terlihat secara langsung. Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan

seseorang mengenai obyek atau situasi yang realistis ajeg, disertai adanya

perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk

berespon atau berperilaku dengan cara tertentu yang dipilihnya.

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek

tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan (senang – tidak senang, setuju – tidak setuju, baik- tidak baik).

Ada dua kecenderungan terhadap obyek sikap yaitu positif dan negatif.

Kecenderungan tindakan pada sikap positif adalah mendekati, menyenangi,

dan mengharapkan obyek tertentu. Pada sikap negatif terdapat kecenderungan

untuk menjauhi, menghindar, membenci, dan tidak sama sekali menyukai

obyek tertentu.

3. Psikomotor

Domain psikomotorik dikenal sebagai domain keterampilan, yaitu

penguasaan terhadap kemampuan motorik halus dan kasar dengan tingkat

kompleksitas koordinasi neuromuskular. Domain psikomotorik mencakup

tujuan yang berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual atau

motorik. Keterampilan atau psikomotorik mudah diidentifikasi dan diukur,

karena keterampilan itu pada dasarnya mencakup kegiatan yang berorientasi


27

pada gerakan. Gerak (motor) ialah kegiatan badani yang disebabkan oleh

adanya stimulus dan respon.

Tingkatan psikomotorik atau praktik diawali dengan persepsi, yaitu

mengenal dan memilih berbagai obyek sesuai dengan tindakan yang akan

dilakukan. Kedua, respon terpimpin, yaitu individu dapat melakukan sesuatu

dengan urutan yang benar sesuai contoh. Ketiga, mekanisme, yaitu individu

dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sudah terbiasa.

Terakhir, adaptasi, adalah tindakan yang sudah berkembang dan dimodifikasi

tanpa mengurangi kebenaran.

2.2.7 Asumsi Determinan Perilaku

Menurut Spranger membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai

kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang

dominan pada diri orang tersebut. Secara rinci perilaku manusia sebenarnya

merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan,

kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.

Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu

yang dapat mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan, antara lain :

1. Teori Lawrence Green

Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat

kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu

faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior

causes).
28

Faktor perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :

a. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat steril dan

sebagainya.

c. Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

2. Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa

perilaku merupakan fungsi dari :

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau

perawatan kesehatannya (behavior itention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).

c. Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas

kesehatan (accesebility of information).

d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan

atau keputusan (personal autonomy).

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).


29

3. Teori WHO)

WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku

tertentu adalah :

a. Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk

pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang

terhadap objek (objek kesehatan).

b. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang

lain.

c. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek.

Seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa

adanya pembuktian terlebih dahulu.

d. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek.

Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling

dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau

objek lain. Sikap positif terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu

terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap

akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman orang lain, sikap

diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau

sedikitnya pengalaman seseorang.

e. Tokoh penting sebagai Panutan. Apabila seseorang itu penting untuknya,

maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.

f. Sumber-sumber daya (resources), mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga

dan sebagainya.
30

g. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber

didalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of

life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk

dalam waktu yang lama dan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat

sesuai dengan peradapan umat manusia (Notoatmodjo, 2014).

2.2.8 Proses Adopsi Perilaku

Donsu (2017: 182), menjelaskan bahwa proses adopsi perilaku adalah

sebelum seseorang mengadopsi perilaku, sesungguhnya di dalam diri orang

tersebut terjadi suatu proses yang berurutan, yaitu Awareness, Interest,

Evaluation, Trial, Adoption (AIETA).

1. Awareness (kesadaran), pada tahap ini individu menyadari bahwa ada

rangsangan (stimulus) yang datang padanya.

2. Interest (ketertarikan), individu mulai tertarik terhadap stimulus tersebut.

3. Evaluation (pertimbangan), individu mulai menimbang-nimbang dan

berpikira tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

4. Trial (percobaan), individu sudah mencoba perilaku baru.

5. Adaption (pengangkatan), individu telah memiliki perilaku baru sesuai

dengan pengetahuan, sikap dan kesadarannya terhadap stimulus.

2.2.9 Pengukuran Perilaku

Pengukuran terhadap perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni

dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa

jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara
31

langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden

(Notoatmodjo, 2013: 154).

Pengukuran perilaku dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

menggunakan kuesioner terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Hasil

kuesioner tersebut kemudian dilakukan penyekoran, dimana hasil skoring jawaban

kemudian dikategorikan sebagai berikut:

1. Nilai ≤ 55% : Perilaku kurang

2. Nilai 56-75% : Perilaku cukup

3. Nilai 76-100% : Perilaku baik (Nursalam, 2016: 200).

2.3 Konsep Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.3.1 Pengertian

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue. Virus dengue merupakan anggota genus Flavivirus dan terdiri dari 4

serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus tersebut ditularkan

oleh gigitan vektor nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albocpictus (Tanto, C. et al,

2014: 716).

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus dengue

akut disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti

dan nyamuk Aedes Albocpictus, yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitannya

(Wijaya dan Putri, 2013: 197).


32

2.3.2 Etiologi

Penyakit Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)

disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthopod Borne Virus

(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviviricae, dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3,

DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe

yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap 9 serotipe lain

sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai

terhadap serotipe lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan

diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Wijaya dan

Putri, 2013: 198).

2.3.3 Klasifikasi

Derajat keparahan penyakit DBD berbeda-beda menurut tingkat

keparahannya. Menurut WHO tingkat keparahan penyakit DBD terbagi menjadi:

1. Derajat 1 (ringan): badan panas selama 5-7 hari, gejala umum tidak khas.

2. Derajat 2 (sedang): seperti derajat 1, disertai pendarahan spontan pada kulit

berupa ptekiae dan ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah

(hematemesis), buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena),

perdarahan gusi, perdarahan rahim (uterus), telinga dan sebagainya.

3. Derajat 3 : ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti denyut nadi

teraba lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi (selisih antara tekanan

darah sistolik dan diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat 3

merupakan peringatan awal yang mengarah pada terjadinya renjatan (syok).


33

4. Derajat 4 : denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut

jantung >140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh

berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan manifestasi syok, yang

sering kali berakhir (Wijaya dan Putri, 2013: 198, 201).

2.3.4 Patofisiologi

Virus dengue yang pertama kali masaauk ke dalam tubuh manusia melalui

gigitan nyamuk aedes dan menginfeksi pertama kali memberi gejala DF. Pasien

akan mengalami gejala viremia seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,

pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kejadian

mungkin terjadi pada RES seperti pembesaran kelenjar getah bening, hati, dan

limfa. Reaksi yang berbeda nampak bila seseorang mendapatkan infeksi berulang

dengan tipe virus yang berlainan. Berdasarkan hal itu timbulah the secondary

heterologous infection atau the sequental infection of hypothesis. Re-infeksi akan

menyebabkan suatu reaksi anamnetik antibodi, sehingga menimbulkan

konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi.

Terdapatnya kompleks virus antibody dalam sirkulasi darah

mengakibatkan hal sebagai berikut:

1. Kompleks virus antibody akan mengaktivasi system komplemen, yang

berakibat dilepasnya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya

plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang sangat berperan

terjadinya renjatan.
34

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepas ADP akan mengalami

metamorphosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorphosis akan

dimusnahkan oleh system retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia

hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan

vasokoaktif (histamine dan serotonin) yang bersifat meningkatkan

permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit factor III yang merangsang

koagulasi intravascular.

3. Terjadinya aktivasi factor hegamen (factor XII) dengan akibat kahir

terjadinya pembentukan plasmin yang berperan dalam pembentukan

anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrinogen degradation

product. Disamping itu aktivasi akan merangsang system kinin yang berperan

dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.

(Wijaya dan Putri, 2013: 198).

2.3.5 Patogenesis

Patogenesis DD/DBD belum diketahui dengan pasti. Namun, ada beberapa

teori yang diperkirakan berperan dalam munculnya tanda dan gejala pada penyakit

ini. Terdapat 3 sistem organ yang diperkirakan berperan penting dalam

patogenesis DD/DBD, yaitu sistem imun, hati, dan sel endotel pembuluh darah.

Selain itu, respon imun pejamu yang diturunkan (faktor genetik) juga berperan

dalam manifestasi klinis yang ditimbulkan. Virus dengue diinjeksikan oleh

nyamun Aedes ke aliran darah. Virus ini secara tidak langsung juga mengenai sel

epidermis dan dermis sehingga menyebabkan sel Langerhans dan keratinosit

terinfeksi. Sel-sel yang terinfeksi ini bermigrasi ke nodus limfe, dimana makrofag
35

dan monosit kemudian direkrut dan menjadi target infeksi berikutnya.

Selanjutnya, terjadi amplifikasi infeksi dan virus tersebar melalui darah (viremia

primer). Viremia primer ini menginfeksi makrofag jaringan berupa organ seperti

limpa, sel hati, sel stromal, sel endotel, dan sumsum tulang. Infeksi makrofag,

hepatosit, dan sel endotel mempengaruhi hemostasis dan respon imun pejamu

terhadap virus dengue (Tanto, C. et al, 2014: 717).

Sel-sel yang terinfeksi kebanyakan mati melalui apoptosis dan

hanya sedikit yang melalui nekrosis. Nekrosis mengakibatkan pelepasan produk

toksik yang mengaktivasi sistem fibrinolitik dan koagulasi. Bergantung kepada

luasnya infeksi pada sumsum tulang dan kadar IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-18,

hemopoiesis ditekan sehingga menyebabkan penurunan trombogenisitas darah.

Produk toksik juga menyebabkan peningkatan koagulasi dan konsumsi trombosit

sehingga terjadi trombositopenia. Trombositopenia juga terjadi akibat supresi

sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit akibat

pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody, dan sekuestrasi di perifer (Tanto,

C. et al, 2014: 717).

Trombosit mempunyai interaksi yang dekat dengan sel endotel. Sejumlah

trombosit fungsional diperlukan untuk mempertahankan stabilitas vaskular.

Gangguan fungsi trombosit menjadi mekanisme gangguan pelepasan ADP,

peningkatan kadar b-tromboglobulin, dan PF4 (trombosit factor 4). Koagulopati

terjadi karena interaksi virus dengan endotel yang memicu disfungsi endotel.

Namun sel endotel memiliki tropisme tersendiri terhadap virus dengue bersamaan

dengan tingginya kadar virus dalam darah, trombositopenia, serta disfungsi


36

trombosit, keempat faktor ini menyebabkan peningkatan kerapuhan kapiler yang

bermanifestasi sebagai petekie, memar, dan perdarahan mukosa saluran cerna

(Tanto, C. et al, 2014: 717).

Infeksi sekunder oleh serotype yang berbeda memicu peningkatan

aktivitas antibodi spesifik terhadap infeksi pertama. Antibody ini memediasi

serotype virus dengue lain untuk berikatan dengan reseptor Fc-gamma pada

makrofag sehingga saat virus berada dalam makrofag tidak dapat dicerna dengan

baik. Akibatnya, virus semakin bereplikasi dan infeksi berlanjut. Infeksi makrofag

dalam ini mengkativasi sel Th dan Tc untuk memproduksi limfokin dan interferon

gamma. Interferon gamma kemudian mengaktivasi monosit sehingga mediator

inflamasi tersekresi seperti TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamine. Akibatnya

terjadi disfungsi sel endotel dan kebocoran plasma yang diperberat dengan

peningkatan C3a dan C5a oleh aktivitas kompleks virus-antibodi (Tanto, C. et al,

2014: 718).

Gambar 2.1 Patogenesis DBD


37

2.3.6 Manifestasi klinis

Diagnosa penyakit DBD dapat dilihat berdasarkan kriteria diagnosa klinis

dan laboratoris. Berikut ini tanda dan gejala penyakit DBD dengan diagnosa klinis

dan laboratoris:

1. Diagnosa klinis

a. Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, antara 2-7 hari,

yang dapat mencapai 40oC. Demam sering disertai gejala tidak spesifik,

seperti tidak nafsu makan (anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi

dan tulang serta rasa sakit di daerah bola mata (retro orbita) dan wajah

yang kemerah-merahan (flusing).

b. Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi,

perdarahan pada kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan ekimosis,

serta buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena).

c. Pembesaran organ hati (hepatomegali).

d. Kegagalan sirkulasi darah yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba

lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai

penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat menyebabkan

kematian.

2. Diagnosa Laboratoris

Diagnosis penyakit DBD ditegakkan berdasarkan adanya dua kriteria

klinis atau lebih, ditambah dengan adanya minimal satu kriteria laboratoris.
38

Kriteria laboratoris meliputi:

a. Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) pada hari ke-3 sampai ke-7

hingga 100.000/mmHg.

b. Peningkatan kadar hematokrit >20% dari normal.

(Wijaya dan Putri, 2013: 200).

2.3.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya DBD

Menurut WHO, faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD,

antara lain faktor host, lingkungan (environment), dan faktor virusnya sendiri.

Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan

(environment) yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan air laut, curah

hujan, kecepatan angin, kelembaban udara, musim), kondisi geografis ini juga

dipengaruhi oleh kondisi demografis (kepadatan penduduk, mobilitas penduduk,

perilaku, adat istiadat, dan sosial ekonomi penduduk) (Iswari, 2008: E-79).

1. Faktor Agent (Penyebab)

Agent (penyebab penyakit) yaitu semua unsur atau elemen hidup dan

mati yang kehadiran atau ketidakhadirannya, apabila di ikuti dengan kontak

yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan

menjadi stimulus untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses

penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran penyakit

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah virus Dengue.

2. Faktor Host (Penjamu)

Host (Penjamu) yang dimaksud adalah penderita penyakit DBD.

Faktor host (penjamu) antara lain umur, ras, sosial ekonomi, cara hidup, status
39

perkawian, hereditas, nutrisi dan imunitas. Beberapa penyebab faktor

penjamu:

a. Kelompok umur akan berpengaruh terhadap penularan penyakit. Beberapa

penelitian yang telah dilakuakn menunjukan bahwa kelompok umur yang

paling banyak diserang DBD adalah kelompok <15 tahun, yang sebagian

besar merupakan usia sekolah.

b. Kondisi sosial ekonomi akan mempengaruhi perilaku manusia dalam

mempercepat penularan penyakit DBD, seperti kurangnya pendingin

ruangan (AC) di daerah tropis membuat masyarakat duduk-duduk diluar

rumah pada pagi dan sore hari. Waktu pagi dan sore tersebut merupakan

saat nyamuk Aedes aegypti mencari mangsanya.

c. Tingkat kepadatan penduduk. Penduduk yang padat akan memudahkan

penularan DBD karena berkaitan dengan jarak terbang nyamuk sebagai

vektornya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian

epidemi DBD banyak terjadi pada daerah yang berpenduduk padat.

d. Imunitas adalah daya tahan tubuh terhadap benda asing atau sistem

kekebalan. Jika sistem kekebalan tubuh rendah atau menurun, maka

dengan mudah tubuh akan terserang penyakit.

e. Status gizi diperoleh dari nutrisi yang diberikan. Secara umum kekurangan

gizi akan berpengaruh terhadap daya tahan dan respons imunologis

terhadap penyakit.
40

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang diklasifikasikan atas empat komponen yaitu

lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologi dan lingkungan sosial.

a. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim yang terdiri dari curah hujan,

kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, sinar matahari, dan

ketinggian tempat. Lingkungan fisik berpengaruh langsung terhadap

komposisi spesies vektor habitat perkembangan nyamuk sebagai vektor,

populasi, longivitas dan penularannya.

1) Curah Hujan

Curah hujan mempunyai kontribusi dalam tersedianya habitat vektor.

Curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan

nyamuk. Pengaruh curah hujan terhadap vektor bervariasi, tergantung

pada jumlah curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, frekuensi hari

hujan, keadaan geografis dan tempat penampunan air yang merupakan

sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk. Di Asia Tenggara Di

temukan hubungan yang kuat antara curah hujan dan insident dengue.

Biasanya puncak transmisi diketahui pada bulan-bulan dengan curah

hujan tinggi dengan temperatur tinggi, karena pada prinsipnya habitat

laarva Aedes aegypti adalah tersedianya water storage container. Pada

beberapa tempat penyakit Dengue datang sebelum tiba musim hujan

dan meningkat saat peralihan musim.


41

2) Kelembaban Udara

Kelembaban nisbi merupakan faktor yang membatasi bagi

pertumbuhan, penyebaran dan umur nyamuk. Hal ini erat kaitannya

dengan sistem pernafasan trakea, sehingga nyamuk sangat rentan

terhadap kelembaban rendah. Spesies nyamuk yang mempunyai

habitat hutan lebih rentan terhadap perubahan kelembaban dari pada

spesies yang mempunyai habitat iklim kering.

3) Temperatur Udara

Temperatur udara merupakan salah satu pembatas antara penyebaran

hewan. Suhu berpengaruh pada daur hidup, kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan perkembangannya. Adaptasi suatu spesies terhadap

keadaan suhu udara yang tinggi dan rendah akan mempengaruhi

sebaraan geografis spesies tersebut. Siklus gonotropik atau

perkembangan telur, umur dan proses pencemaran nyamuk

dipengaruhi oleh temperatur. Kondisi lingkungan dengan temperatur

27o-30oC dalam waktu yang lama akan mengurangi populsi vektor.

4) Kecepatan Angin

Kecepatan angin secara tidak langsung mempengaruhi suhu udara dan

kelembaban udara. Pengaruh langsung dari kecepatan angin yaitu

kemampuan terbang. Apabila kecepatan angin 11-14 m/detik akan

menghambat aktivitas terbang nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti

mempunyai jarak terbang paling efektif 50-100 mil atau 81-161 km.
42

5) Sinar Matahari

Pada umumnya sinar matahari berpengaruh terhadap aktivitas nyamuk

dalam mencari makan dan beristirahat. Spesies nyamuk mempunyai

variasi dalam pilihan intensitas cahaya untuk aktivitas terbang,

aktivitas mengigit dan pilihan tempat istirahat.

6) Ketinggian Tempat

Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD hidup pada

ketinggian 0-500 meter dari permukaan dengan daya hidup yang

tinggi, sedangkan pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut

nyamuk Aedes aegypti idealnya masih bisa bertahan hidup. Ketinggian

1000-1500 meter dari permukaan laut pada daerah Asia Tenggara

merupakan batas penyebaran nyamuk Aedes aegypti. Namun di daerah

Amerika Latin nyamuk masih bisa bertahan pada ketinggian 2200

meter dari permukaan laut dengan suhu 17oC.

b. Lingkungan Kimia

Air adalah materi yang sangat penting dalam kehidupan. Tidak ada

satupun makhluk hidup yang dapat hidup tanpa air. Air merupakan habitat

nyamuk pradewasa. Air berperan penting terhadap perkembangbiakan

nyamuk. Penyakit dapat dipengaruhi oleh perubahan penyediaan air. Salah

satu diantaranya adalah infeksi yang ditularkan oleh serangga yang

bergantung pada air (water related insect vector) seperti Aedes aegypti

dapat berkembangbiak pada air dengan pH normal 6,5-9.


43

c. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi berpengaruh terhadap resiko penularan

penyakit menular. Hal yang berpengaruh antara lain jenis parasit, status

kekebalan tubuh penduduk, jenis dan populasi serta potensi vektor dan

adanya predator dan populasi hewan yang ada.

d. Lingkungan Sosial Ekonomi

Secara umum faktor berkaitan dengan lingkungan sosial ekonomi adalah:

1) Kepadatan penduduk, akan mempengaruhi ketersedian makanan dan

kemudahan dalam penyebaran penyakit.

2) Kehidupan sosial seperti perkumpulan olahraga, fasilitas kesehatan,

fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah dan lain sebagainya.

3) Stratifikasi sosial berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, etnis dan

sebagainya.

4) Kemiskinan, biasanya berkaitan dengan malnutrisi, fasilitas yang tidak

memadai, secara tidak langsung merupakan faktor penunjang dalam

proses penyebaran penyakit menular.

5) Keberadaan dan ketersediaan fasilitas kesehatan.

2.3.8 Gambaran Klinis DBD

Demam merupakan gejala klinis dari penyakit DBD yang mempunyai ciri

khas seperti pelana kuda. Gambaran klinis penderita demam berdarah dengue

terdiri atas 3 fase yaitu:

1. Fase febris. Pada fase febris, biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari,

disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia
44

dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi

farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula

ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun

jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan

gastrointestinal.

2. Fase kritis. Fase kritis terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan

penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya

kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran

plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung

trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

3. Fase pemulihan. Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan

dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam

setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali,

hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Kemenkes RI, 2010: 22).

Gambar 2.2 Fase penyakit demam berdarah dengue


45

2.3.9 Tempat perkembangbiakan nyamuk

Tempat perkembangbiakan nyamuk ialah tempat penampungan air di

dalam atau di sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi

jarak 500 meter dari rumah.

Jenis tempat berkembangbiak nyamuk Aedes aegypti dapat dibedakan

beberapa jenis yaitu sebagai berikut :

1. Tempat penampung air sementara untuk keperluan sehari-hari, seperti drum,

tangki, reservoir, bak mandi/WC dan ember.

2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat

minum burung, vas bunga dan barang bekas (ban, kaleng, botol dan plastik).

3. Tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon , lubang batu, pelepah

daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

Berdasarkan berbagai tempat perkembangbiakan, baak mandi merupakan

tempat penampungan air yang paling banyak mengandung larva nyamuk Aedes

aegypti. Hal ini dikarenakan kamar mandi masyarakat Indonesia pada umumnya

lembab, kurang sinar matahari,, daan sanitasi atau kebersihannya kurang terjaga.

(Wijaya dan Putri, 2013: 201).

2.3.10 Ciri-ciri nyamuk demam berdarah

Menurut Nadezul (dalam Wijaya dan Putri, 2013: 202), adapun ciri – ciri

nyamuk Aedes aegypti sebagai berikut:

1. Badan kecil berwarna hitam dengan bintik – bintik putih.

2. Jarak terbang nyamuk ssekitar 100 meter.

3. Umur nyamuk dapat mencapai sekitar 1 bulan.


46

4. Menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00 – 10.00 dan sore hari

pukul 16.00 – 17.00.

5. Nyamuk betina menghisap darah untuk pematangan sel telur, sedangkan

nyamuk jantan memakan sari – sari tumbuhan.

6. Hidup di genangan air bersih bukan di got atau comberan.

7. Di dalam rumah dapat hidup di bak mandi, tempayan, vas bunga, dan tempat

air minum burung.

8. Di luar rumah dapat hidup di tampungan air yang ada di dalam seperti drum,

ban bekas, dan lain – lain.

2.3.11 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan langkah 3M plus:

1. Menguras bak air dan tempat – tempat penampungan air

2. Menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak

nyamuk

3. Mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.

Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida

yang membunuh larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah

perkembangbiakan nyamuk selama beberapa minggu, tapi pemberiannya

harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. Di tempat yang sudah terjangkit

DHF dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging, tapi efeknya hanya

bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. Di

samping itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat

ditemukannya nyamuk dewasa. Untuk perlindungan yang lebih intensif,


47

orang-orang yang tidur di siang hari sebaiknya menggunakan kelambu,

memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela, menggunakan semprotan

nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan (IDAI, 2019).

2.3.12 Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip

utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian

dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan

cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral

pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui

intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Seorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:

1. Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien

dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik

dalam waktu 24 jam

2. berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam) atau bila

keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD.

3. Hb, Ht, normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

4. Hb, Ht, dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

(Wijaya dan Putri, 2013: 203).


48

2.4 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti) (Nursalam,

2016: 49). Perilaku tentang DBD:


Faktor yang 1. Kebiasaan menguras
mempengaruhi TPA
perilaku: 2. Kebiasaan
1. Faktor genetik menggantung
1) Jenis RAS pakaian
2) Jenis kelamin 3. Kebiasaan memakai
3) Sifat fisik Faktor yang mempengaruhi lotion anti nyamuk
4) Sifat kepribadian kejadian penyakit DBD: 4. Kebiasaan
5) Bakat pembawaan 1. Faktor host (pejamu) menyingkirkan
6) Intelegensi 1) Umur barang bekas
2. Faktor eksternal 2) Sosial ekonomi 5. Kebiasaan
1) Faktor lingkungan 3) Perilaku menggunakan
2) Pendidikan 4) Tingkat kepadatan kelambu
3) Agama penduduk
4) Sosial ekonomi 5) Imunitas Keadaan lingkungan:
5) Kebudayaan 6) Status gizi 1. Keberadaan kawat
2. Faktor lingkungan kasa
Faktor yang 1) Lingkungan fisik 2. Keberadaan tempat
mempengaruhi 2) Lingkungan biologi perindukan
lingkungan: 3) Lingkungan sosial 3. Keberadaan barang
1. Ketersediaan 3. Faktor Agent (penyebab): bekas
fasilitas Virus Dengue 4. Pencahayaan
pelayanan
2. Perlengkapan Pernah mengalami
3. Peralatan Kejadian Demam
Berdarah Dengue Tidak pernah
Keterangan : mengalami

: Variabel yang diteliti : Mempengaruhi


: Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.3 Kerangka konsep hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan
kejadian demam berdarah dengue.
49

2.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2016: 64).

Hipotesis penelitian ini adalah:

H1 : Ada hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian demam

berdarah dengue.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang

dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa

diterapkan (Nursalam, 2016: 157).

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu

serangkaian penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,

atau penelitian yang obyek penelitiannya digali melalui beragam informasi

kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen)

(Syaodih, 2018: 52).

Penelitian ini menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR),

yaitu sebuah studi literatur secara sistematik, jelas, menyeluruh dengan

mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengumpulkan data-data penelitian yang

sudah ada. Tujuan dari metode ini adalah untuk membantu peneliti lebih

memahami latar belakang dari penelitian yang menjadi subyek topik yang dicari

serta memahami kenapa dan bagaimana hasil dari penelitian tersebut sehingga

dapat menjadi acuan untuk penelitian baru yang akan dilakukan, Okoli (2010).

Pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan faktor lingkungan dan

perilaku dengan kejadian demam berdarah dengue.

50
51

3.2 Tahapan Systematic Literature Review

Menurut Okoli (2010) dalam penelitian yang menggunakan metode SLR,

ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sehingga hasil dari studi literatur

tersebut dapat diakui kredibilitasnya. Berikut beberapa tahapan yang dapat

dilakukan dalam SLR:

1. Tujuan Studi Literatur

Tujuan dari dilakukanya penelitian ini adalah untuk melihat adanya hubungan

faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian demam berdarah dengue

melalui beberapa sumber penelitian yang sudah ada.

2. Pencarian Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan mencakup kata kunci lingkungan,

perilaku dan demam berdarah dengue pada sumber penyedia jurnal penelitian

terkait yakni GOOGLE scholar yang dapat diakses secara bebas.

3. Screening

Kreteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal kesehatan

dengan kata kunci lingkungan, perilaku dan demam berdarah dengue, serta

rentang tahun terbit jurnal mulai dari tahun 2015-2019. Data didapatkan dari

penyedia laman jurnal yang dapat diakses secara bebas dengan menggunakan

mesin pencari GOOGLE Scholar.

4. Penilaian Kualitas

Dalam penilaian kualitas pada metode SLR yang dimaksud adalah kriteria

eksklusi yang dapat membatalkan data atau jurnal yang sudah didapat untuk

dianalisa lebih lanjut. Pada penelitian ini kriteria eksklusi yang digunakan
52

yakni jurnal penelitian dengan topik permasalahan tidak berhubungan dengan

kejadian demam berdarah dengue, serta jurnal penelitian yang terbitnya

sebelum tahun 2015.

5. Ekstraksi Data

Ekstraksi data dapat dilakukan jika semua data yang telah memenuhi syarat

telah diklasifikasikan untuk semua data yang ada. Setelah proses screening

dilakukan maka hasil dari ekstraksi data ini dapat diketahui pasti dari jumlah

awal data yang dimiliki berapa yang masih memenuhi syarat untuk

selanjutnya di analisa lebih jauh.

6. Analisa Data

Dalam penelitian ini setelah melewati tahapan screening sampai dengan

ekstraksi data maka analisa dapat dilakukan dengan menggabungkan semua

data yang memenuhi persyaratan inklusi menggunakan teknik baik secara

kuantitatif, kualitatif atau keduanya. Pada penelitian ini peneliti akan

menggunakan kedua teknik analisa data yakni secara kuantitatif dan kualitatif.

7. Penulisan Hasil Studi Literatur

Hasil dari analisa data selanjutnya akan diketahui PICO (population,

intervention, comparison, outcome) sehingga dapat dilihat apakah dari data

yang sudah dikumpulkan membuktikan bahwa ada hubungan secara signifikan

antara faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian demam berdarah

dengue.
53

3.3 Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah pentahapan (langkah-langkah dalam aktivitas ilmiah)

mulai dari pentahapan populasinya sampel dan seterusnya yaitu kegiatan sejak

awal penelitian akan dilaksanakan (Nursalam, 2016: 60).

Pencarian jurnal di mesin pencari


Google Scholar

Jurnal yang telah diseleksi karena memiliki


judul yang sama

Screning jurnal yang diperoleh yaitu jurnal kesehatan dengan


kata kunci lingkungan, perilaku dan demam berdarah dengue,
serta rentang tahun terbit jurnal mulai dari tahun 2015-2019

Jurnal yang dapat diakses penuh pada hasil


penelitiannya sebanyak 2 jurnal

Jurnal dianalisa sesuai dengan


rumusan masalah

Penyajian hasil analisa

Gambar 3.1 Kerangka kerja hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan
kejadian demam berdarah dengue: Systematic Literature Review
54

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016: 80).

Pada penelitian Luluk Lidya Ayun (2015) dengan populasi penelitian

adalah seluruh penderita DBD pada bulan Januari-Maret Tahun 2015, berdasarkan

rekam medik Puskesmas Sekaran berjumlah 29 orang.

Pada penelitian Ulis Wahyu Purnama Sari (2018) dengan populasi adalah

seluruh penderita DBD periode 1 Januari 2017- Juni 2018 di wilayah kerja

Puskesmas Klagenserut berjumlah 60 orang.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2016: 81).

Pada penelitian Luluk Lidya Ayun (2015) dengan sampel terdiri dari

sampel kasus dan sampel kontrol dengan perbandingan 1:1 yaitu sejumlah 26

sampel kasus dan 26 sampel kontrol. Teknik pengambilan sampel simple random

sampling menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.

Pada penelitian Ulis Wahyu Purnama Sari (2018) dengan sampel terdiri

dari total populasi yang diambil 30 responden untuk kelompok kasus dan 30

responden kelompok pembanding atau kontrol adalah keluarga yang anggotanya

tidak/ belum pernah ada yang menderita kasus DBD dengan perbandingan 1:1.

Sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah 60 responden.


55

3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2016: 38). Variabel penelitian ini yaitu:

1. Variabel independen atau variabel bebas adalah merupakan variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2016: 39). Variabel independen

penelitian ini yaitu faktor lingkungan dan perilaku.

2. Variabel Dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2016: 39).

Variabel independen penelitian ini yaitu kejadian demam berdarah dengue.

Anda mungkin juga menyukai