Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit berbasis lingkungan yang salah satunya Demam Berdarah Dengue

(DBD). Penyakit DBD yakni termasuk dalam golongan penyakit tropis yang dapat

menularkan virusnya dari penderita ke orang sehat yang hingga kini penyakit ini

digolongkan pada penyakit dengan KLB atau kejadian luar biasa, hal ini karena proses

penularan dan pewabahan penyakit tergolong cepat dan mampu mengakibatkan kematian

bagi penderita yang terjangkit. Penyakit DBD sendiri ialah suatu penyakit yang disebabkan

oleh infeksi mikroorganisme jenis virus yang termasuk satu dari 4 virus dengue yang

berbeda dengan virus Dengue yang ditularkan dari orang ke orang lainnya melalui gigitan

nyamuk Aedes (Ae). Ae. aegypti ialah hewan yang menjadi vektor dari virus dengue, akan

tetapi nyamuk dengan spesies lain seperti Ae. albopictus juga mampu menjadi salah satu

vektor lain dari virus dengue (Vinet and Zhedanov, 2011).

Berdasarkan klasifikasi WHO terdiri tiga kategori infeksi virus dengue mengacu dari

berbagai tanda penyebab infeksi diantaranya yakni demam yang tak dapat dikenal,

demam dengue (DD), dan DBD, kemudian DBD sendiri terbagi pada 4 stadium tahapan

keparahan penyakit, stadium III dan IV diartikan sebagai sindrom syok dengue Dengue

Shock Syndrome (DSS) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2021). Penyakit DBD

diawali dengan tanda-tanda seperti munculnya demam mendadak yang langsung pada

temperature tinggi sepanjang hari, dan disertai dengan pusing yang berat, nyeri sendi di

sekujur tubuh, selain itu muncul pendarahan pada tubuh penderita. Pada penderita

dengan stadium lanjut dapat mengalami nyeri di sekitar ulu hati, perdarahan saluran

cerna, syok, dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan tepat.

Masa inkubasi penyakit DBD ini berkisar diantara 3-14 hari, akan tetapu secara general

berkisar diantara 4-7 hari. Hingga saat ini, di Indonesia belum ditemukan adanya obat bagi

1
kesembuhan virus ini, baik dalam bentuk vaksin sekalipun. Perawatan pada penderita

DBD di rumah sakit saat ini berpusat pada perawatan simtomatis dan suportif untuk

mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh penyakit (Menteri Kesehatan Republik

Indonesia., 2021).

Kejadian kasus DBD ini diakibatkan oleh beberapa trigger atau pemicu seperti

tingkat edukasi yang berpengaruh terhadap pengetahuan terhadap pengendalian penyakit

tropis, keadaan sosial ekonomi suatu individu, ketahanan tubuh atau sistem imun

sehingga menjadi salah satu faktor kerentanan infeksi virus, keadaan abiotik dalam

lingkungan sekitar seperti sanitasi pada kawasan yang ditempati, kelembaban udara,

serta tingkat curah hujan. Penyakit DBD ialah penyakit dengan tingkat penularan tinggi

dan disebabkan oleh faktor lingkungan yang meliputi lingkungan fisik, kimia dan biologi.

Lingkungan suatu individu memiliki peranan dalam penyebaran dan keberadaan nyamuk

yang memiliki fungsi sebagai vektor dari penyakit demam berdarah.

Lingkungan alamiah yang berpengaruh terhadap penyebaran kasus DBD ialah

disebut dengan lingkungan fisik dimana lingkungan fisik (seringa tau tidaknya bak air

dikuras, ada tidaknya penutup pada bak air, dan kerapatan antar rumah), lingkungan

biologi (banyaknya vektor atau nyamuk, ada tidaknya jentik atau telur vektor pada bak air),

lingkungan sosial (kerapatan hunian rumah, peran petugas lingkungan di sekitar rumah,

edukasi terkait penyebaran dan pencegahan penyakit, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan,

serta ada tidaknya riwayat sakit Demam Berdarah Dengue, selain itu kebiasaan

menggantung pakaian di dalam kamar juga berpengaruh) (Ariani, 2016).

Berdasarkan jejak riset terdahulu diperoleh gambaran bahwa terdapat adanya nilai

signifikan antara kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian demam berdarah dengue

di wilayah kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman. Hal ini dibuktikan dengan

adanya suatu interaksi diantara hubungan ventilasi berkasa dengan kejadian demam

berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman dan Ada

hubungan antara pencahayaan dengan kejadian demam berdarah dengue di wilayah

2
kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman. Akan tetapi lingkungan fisik yang tidak ada

hubungan dengan kejadian demam berdarah dengue yakni kelembaban di wilayah kerja

Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman (Wijirahayu and Sukesi, 2019).

Hasil penelitian sebelumnya, ada nilai yang signifikan artinya hubungan yang

bermakna keberadaan kawat kasa dengan kejadian DBD dengan p-value = 0,024 dan

Odds Ratio = 4,545, menunjukkan bahwa dengan tidak memasang kawat kasa di ventilasi

berisiko 4,545 kali lebih besar mengisap DBD daripada memasang kawat kasa di ventilasi

(Ayun, Eram, 2017). Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan

bahwa terindikasi adanya korelasi antara membersihkan bak air dengan populasi telur

Aedes aegypti. Mengosongkan bak air satu minggu satu kali mampu mereduksi populasi

telur nyamuk Aedes aegypti. Mengacu pada life cyrcle nyamuk, larva Aedes aegypti ialah

nyamuk yang dapat bereproduksi selama 6 - 8 hari (Irawan et al., 2020).

Kasus kematian pada penyakit DBD terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2022

mencapai kasus 45.387 kasus dan kematian sebesar 432 orang(Kementrian Kesehatan

RI, 2022). Provinsi Jawa Barat menempati posisi ke 1 (satu) dari yaitu dengan kasus

kematian sebanyak 18.608 kasus (Kemenkes, 2021). Berdasarkan data Dinas Kesehatan

Kabupaten Kuningan, dilaporkan banyaknya penderita penyakit tropis, khususnya

penyakit DBD pada tahun 2022 berjumlah 1513 kasus Kelurahan Tinggi Cirendang.

Kabupaten kuningan terdiri dari 32 kecamatan, kecamatan yang memiliki kasus DBD

tertinggi yakni kecamatan kuningan termasuk wilayah kerja Puskesmas Kuningan dengan

jumlah kasus DBD 201 kasus. Kondisi lingkungan di wilahyah kerja Puskesmas Kuningan

3 tahun kemarin memiliki temperatur antara 230C – 340C dengan rata-rata 28 0C serta

curah hujan anatara 0,10 – 16,48 mm(Dinkes Kab. Kuningan, 2019). Berdasarkan hasil

wawancara dengan dinas kesehatan wilayah kerja puskesmas kuningan memiliki kasus

tertinggi DBD. Penyakit DBD ini terjadi salah satunya disebabkan karena faktor lingkungan

diantaranya wilayah tersebut ialah wilayah perkotaan yang padat penduduk sehingga

terdapat kemungkinan pertumbuhan sarang nyamuk dapat muncul, mobilisasi masyarakat

3
yang tinggi dengan meningkatkan pemukiman baru, kesadaran akan pentingnya

pengendalian sarang nyamuk (PSN) masih rendah serta curah hujannya relatif tinggi dan

membuat suhu rendah kemudian kelembaban semakin tinggi. Maka dari itu perlu

dilakukannya pencegahan dengan meninjau faktor fisik rumah yang mempengaruhi

tingginya kasus DBD di wilayah puskesmas kuningan. Oleh karena itu, berdasarkan

penjabaran di atas peneliti berminat untuk menganalisa hubungan lingkungan fisik dengan

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kuningan.

B. Rumusan masalah

Puskesmas Kuningan memiliki jumlah kasus tertinggi pada penyakit DBD di

Kabupaten Kuningan yakni 201 kasus. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut ialah wilayah

perkotaan yang padat penduduk dengan mobilisasi masyarakat yang tinggi, kurang

kesadaran pengendalian sarang nyamuk (PSN) serta kondisi curah hujannya relatif tinggi.

Maka dari itu peneliti ingin mengetahui, bagaimana kondisi lingkungan fisik dengan

kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

Kabupaten Kuningan tahun 2023?.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kondisi lingkungan fisik dengan kejadian demam berdarah

dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan Kabupaten Kuningan tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja

Puskesmas Kuningan

b. Mendeskripsikan lingkungan fisik rumah (kepadatan rumah, suhu, kelembaban,

pencahayaan, iklim dan ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

c. Menganalisis hubungan kepadatan rumah dengan kejadian Demam Berdarah

Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

4
d. Menganalisis hubungan suhu dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di

wilayah kerja Puskesmas Kuningan

e. Menganalisis hubungan kelembaban dengan kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

f. Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

g. Menganalisis hubungan curah hujan / iklim dengan kejadian Demam Berdarah

Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

h. Menganalisis hubungan angka kejadian bebas jentik dengan kejadian Demam

Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Kuningan

i. Menganalisis hubungan lingkungan fisik rumah (kepadatan, suhu, kelembaban,

pencahayaan, iklim dan ABJ) dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di

wilayah kerja Puskesmas Kuningan

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Sebagai tolak ukur, mengasah kemampuan diri, menambah relasi dan pengalaman

serta memperluas wawasan dalam penulisan proposal skripsi

2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang hubungan kondisi lingkungan fisik dengan kejadian

demam berdarah dengue (DBD) di wilayah masyarakat.

3. Bagi Puskesmas

Menjadi bahan masukan dan dorongan bagi puskesmas setempat dalam upaya

pengendalian vektor khsusnya penyakit DBD.

4. Bagi Institusi

Menambah referensi dalam bidang pengendalian vektor dan memberikan informasi

sebagai tolak ukur kualitas mahasiswanya.

5. Bagi Peneliti Lain

5
Sebagai referensi penelitian selanjutnya agar dapat dikembangan dengan materi-

materi lainya yang meningkatkan kualitas pembelajaran.

E. Penelitian Sejenis

Tabel 1.1 Penelitian Sejenis

No Nama Judul Metode Hasil


1. Devi Farah Hubungan Metode Berdasarkan
Ghina dan Faktor penelitian ini
penelitian didapatkan
Choiroel Anwar Lingkungan Fisik mengguankan hasil Tidak ada
Rumah dengan studi analitik
hubungan
Kejadian observasional
menggantung
Penyakit Demam desain studi
pakaian, suhu dan
Berdarah kasus kontrol
kelembaban dengan
Dengue (DBD) di kejadian DBD dan
Wilayah ialah faktor risiko.
Puskesmas Suhu rumah
Cilacap Selatan berhubungan tetapi
II Kabupaten nilai batas bawah
Cilacap Tahun kurang dari 1 dan
2016 dianggap tidak ada
hubungan.
Sedangkan curah
hujan berhubungan
dengan kejadian DBD
dengan curah hujan
tinggi meningkatkan
jumlah kasus DBD
2. Erna Sari, Nur Hubungan Metode yang Hasil penelitian ini
Endah Lingkungan Fisik digunakan ialah Tidak terdapat
Wahyuningsih, Rumah dengan dalam hubungan yang
Retno Murwani Kejadian penelitian ialah bermakna antara
Demam metode keberadaan ventilasi
Berdarah analitik. berkassa,
Dengue di kelembaban dengan
Semarang kejadian DBD
Terdapat hubungan
yang bermakna antara
intensitas cahaya
dalam rumah dan
kejadian demam
berdarah.
3 Sucinah Hubungan Metode yang Menurut penelitiann
Wijirahayu Kondisi digunakan ini ada hubungan
dan Tri Lingkungan Fisik bersifat analitik yang signifikan antara
Wahyuni dengan Kejadian observasional ventilasi berkasa dan
Sukesi Demam dengan pencahayaan,
Berdarah menggunakan sedangkan tidak ada
Dengue di rancangan hubungan yang
Wilayah Kerja penelitian studi signifikan antara
Puskesmas kasus kontrol kelembaban dengan
Kalasan kejadian demam

6
Kabupaten Berdarah dengue di
Sleman . wilayah kerja
Puskesmas Kalasan
Kabupaten Sleman

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kuningan. Penelitian ini akan
menganalisis kondisi fisik lingkungan diantaranya kepadatan rumah, suhu, kelembaban,
pencahayaan, iklim dan ABJ dengan kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan metode kasus
kontrol dan dianalisis multivariat.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

1. Pengertian virus

Virus dapat dikatakan juga tergolong mahluk parasite pada tubuh manusia.

Dikatakan parasite dikarenakan virus merugikan tubuh inang yang dihinggapinya.

Selain itu virus dapat menyebabkan kerugian pada tubuh manusia tergantung dengan

jenis virusnya. Beberapa kerugian adanya virus yaitu : virus merusak tubuh yang

dihinggapinya, dapat menyebar ke seluruh tubuh yang dihinggapinya dan dapat

menguasai tubuh tersebut. Oleh karena itu virus harus segera dibasmi sebelum

menyebar lebih luas ke dalam anggota tubuh yang dihinggapinya. (dr.Handrawan

Nadesul, 1996).

2. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam berdarah dengue ialah kelainan yang diakibatkan oleh virus dengue,

virus ini menularkan penyakit dari individu yang satu ke individu yang lain melalui

injeksi nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini sangat sering dijumpai dan mencapai di

tiap wilayah di Indonesia. Akan tetapi nyamuk ini sangat sulit bertahan di wilayah

dengan altitude lebih dari 1000 m serta hanya sering terjadi pada daerah-daerah tropis

di Indonesia. Bila sudah ada penyebaran penyakit ini, maka daerah tersebut sudah

dikatakan sebagai kasus kejadian luar biasa (KLB).

Penyebab terjadinya demam berdarah ini dikarenakan daya tahan masyarakat

yang sangat rendah, populasi nyamuk yang tinggi. Hal ini biasa terjadi karena di musim

penghujan banyak sekali genangan air yang dipergunakan guna lokasi reproduksi

nyamuk (Kementerian Kesehatan RI, 2015). (Febrianita, 2021)

3. Etiologi Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue diakibatkan oleh spesies virus yang ditempatkan

dalam Genus Flavivirus dan keluarga Flaviviridae. Virus ini memiliki kemampuan untuk
masuk dan singgah di dalam tubuh inangnya, seperti nyamuk dan manusia. Demam

berdarah dengue ialah salah satu jenis dari penyakit Arbovirus. Virus ini ditularkan

melalui nyamuk. Ada empat serotipe virus yang ada, yaitu :

a. DENV-1

b. DENV-2

c. DENV-3

Ialah jenis yang dapat menyebabkan kasus menjadi lebih bahaya. Infeksi

ini dapat menimbulkan kekebalan pada serotipe yang bersangkutan.

d. DENV-4

Keempat virus tersebut paling sering di jumpai Indonesia. Bila terjadi endemik, semua

serotipe virus dapat menginfeksi seseorang dengan mudah pada waktu yang

bersamaan. (dr.Wiyono, 2011). (Ii and Pustaka, 2002)

4. Gejala dan Tanda Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah ditinjau dengan mengacu pada kriteria diagnosa klinis

dan laboratoris. Adapun gejala dan tanda-tanda yang terjadi pada penyakit demam

berdarah pada penderita dengan diagnosa klinis dan laboratoris (Ayu Putri Ariani,

2016) :

a. Diagnosa Klinis

1) Demam tinggi secara tiba-tiba dalam waktu 2 - 7 hari (38 - 40°C)

2) Adanya spot atau bintik merah pada kulit yang tidak memudar ketika ditekan,

pendarahan pada gusi, mimisan atau keluarnya darah dari hidung dan

pendarahan sulit dihentikan

3) Pembengkakan pada hati dan limfa

4) Renjatan

5) Tekanan darah 20 mmHg dan tekanan sistolik ≤ 80 mmHg

6) Hilang nafsu makan, lesu, diare, kondisi perut tidak nyaman, nyeri pada bagian

abdomen, mengalami diare dan pusing


b. Diagnosa Laboratoris

1) Reduksi trombosit secara drastis hingga 100.000 /mmHg

2) Reduksi Konsentrasi darah sebanyak ≥20 % (Departemen Kesehatan RI, 2005)

Bila ditemukan ada diagnose tersebut, sudah dipastikan orang tersebut menderita

demam berdarah.

Jika dilihat berdasarkan hal tersebut penyakit demam berdarah digolongkan dalam

empat spesifikasi disesuaikan pada kondisi badan orang yang terjangkit (Mumpuni

dan Widiawati, 2015) :

1) Demam berdarah derajat I : ditunjukkan dengan inflamasi yang timbul dan uji

torniqet menunjukkan hasil positif

2) Demam berdarah derajat II : bintik-bintik pada kulit dan mimisan

3) Demam berdarah derajat III :

Bisa dikatakan juga kejadian sebelum renjatan. Semua yang ada pada Demam

berdarah derajat II dialami pada fase Demam berdarah derajat III. Gejalanya

disertai dengan syok, ujung tangan dan kaki mendingin, nadi lemah, kesadaran

menurun, dan tubuh lemah

4) DBD derajat IV (Syok)

Kondisi penderita syok dengan penurunan kesadaran dan lebih parahnya lagi

penderita akan koma, kaki dan tangan mati rasa disertai dingin dan pucat. Denyut

nadi tidak dapat diraba dan tidak dapat diukur. Pada fase ini jika segera dirawat

dapat menyebabkan kematian. (Ii and Pustaka, 2002)


B. Vektor Penular Demam Berdarah Dengue

1. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti dewasa jantan berukuran lebih kecil apabila dibandingkan

dengan nyamuk betina, perawakan nyamuk ini ialah mempunyai warna bintik-bintik

hitam putih pada bagian tubuh terutama pada bagian kaki. Sehingga nyamuk ini sangat

mudah dikenal.

Kebanyakan nyamuk ini berukuran 4 – 13 mm, dengan kepala memiliki

proboscis yang digunakan nyamuk sebagai menghisap darah manusia. Pada nyamuk

jantan proboscis ini digunakan untuk menghisap sari buah dan tumbuh-tumbuhan.

Pada bagian samping proboscis terdapat palpus dan sepasang antenna. Antenna pada

nyamuk jantan memiliki bulu yang lebat sedangkan betina tidak.

Nyamuk memiliki sayap panjang dan ramping dan terdapat vena yang

ditumbuhi sayap bersisik (wing scales). Letak sisik ini mengikuti vena yang berada

pada sayap.

Terdapat 2 garis melengkng bagian sisi kiri dan sisi kanan pada bagian

punggung nyamuk (dorsal). Hal ini yang menjadikan ciri khas pada nyamuk jenis ini.

Pada dasarnya sisik pada tubuh nyamuk mudah jatuh, sehingga tidak bisa

membedakan proses identifikasi antara nyamuk berdasarkan umurnya.

Setiap populasi nyamuk memiliki warna dan ukuran yang berbeda. Hal ini

dikarenakan tergantung kondisi lingkungan tempat tinggal nyamuk dan makanan yang

diperoleh nyamuk tersebut. Perbedaan antara nyamuk jantan dan betina cukup dilihat

berdasarkan ukurannya saja. Nyamuk jantan lebih kecil dan berambut tebal pada

antenanya sedangkan nyamuk betina ukurannya lebih besar dan rambut pada antenna

lebih sedikit. Ciri-ciri ini dapat kita lihat dengan mata tanpa menggunakan alat bantu

seperti lup atau mikroskop. (Ayu Putri Ariani, 2016).


2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Pertumbuhan nyamuk digolongkan pada jenis metamorphosis sempurna. Siklus

hidup nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu :

a. Telur

Telur nyamuk ini berukuran ±50 mikron, berwarna hitam, ukuran bulat panjang

dan berbentuk oval. Aedes aegypti dalam satu siklus waktu yang diperlukan dari

nyamuk betina menghisap darah hingga menjadi telur, telur tersebut diletakkan pada

tempat-tempat perindukan tertentu. Lama perkembangan nyamuk setelah telur keluar

yaitu selama 2 hari jika lingkungan memungkinkan untuk berkembangnya telur

nyamuk.

Walaupun tidak menetas, telur dapat bertahan selama setahun jika lingkungan

kering. Telur akan menetas jika tempat perindukan tergenang air, akan tetapi tidak

semua telur akan menetas secara bersamaan. Lama telur bertahan di lingkungan yang

kering memungkinkan untuk telur dapat menguntungkan kehidupan spesies tersebut.

b. Jentik Nyamuk (Larva Nyamuk)

Karakteristik larva nyamuk Aedes aegypti yaitu terdapat siphone pendek, besar

dan berwarna hitam. Jentik nyamuk bergerak sangat cepat di dalam air. Bila dalam

kondisi istirahat larva ini akan memposisikan tubuhnya tegak lurus dengan air. Saat

berenang air dalam waktu kira-kira setiap 0,5 s/d 1 menit larva akan muncul ke

permukaan air denan tujuan memperoleh oksigen. Jentik nyamuk atau larva

membutuhkan watu enam sampai delapan hari sebelum untuk berkembang.

Data Departemen Kesehatan pada tahun 2005, ada 4 tingkatan jentik nyamuk

berdasarkan lama pertumbuhannya yaitu :

1) Instar I : pada tingkatan ini ukuran jentik paling kecil yaitu 1 - 2 mm

2) Instar II : pada tingkatan ini ukuran jentik berkisaran antara 2,5 sampai dengan 3,8

mm

3) Instar III : ukuran pada tingkatan ini tidak jauh berbeda dengan Instar II
4) Instar IV : pada tingkatan ini ukuran jentik nyamuk terbesar yaitu sekitar 5 mm

c. Pupa

Pupa memiliki ciri-ciri tubuh yang seperti tanda baca “,” (koma) atau bengkok.

Pada bagian kepala hingga torax (cephalothorax) lebih besar dan pada bagian perut

lebih kecil. Fase pupa pada nyamuk Aedes aegypti secara umum berangsur selama 2

- 4 hari. Sebelum nyamuk dewasa menyempurnakan dirinya pada tubuh pupa, dia

terlebih dahulu dia akan naik ke permukaan air hingga pupa menjadi nyamuk dewasa.

d. Nyamuk Dewasa

Setelah perubahan dari pupa menjadi nyamuk dewasa, nyamuk terlebih dahulu

akan beristirahat pada periode tertentu hingga badan dan sayap nyamuk kering

sehingga nyamuk dapat terbang dengan kokoh. Banyaknya jumlah nyamuk jantan

dan betina yang muncul sama akan tetapi nyamuk jantan akan keluar 1 hari seblum

nyamuk betina keluar. Hal ini dikarenakan nyamuk jantan menetap didekat tempat

perkembang biakan yang dekat dengan makanan dan sari buah tumbuhan. Tidak

lama setelah perubahan dari pupa ke nyamuk dewasa nyamuk jantan dan nyamuk

betina akan kawin dan akan dibuahi selama 2 – 2,5 hari kemudian. Lama nyamuk

betina hidup yaitu selama dua sampai tiga bulan. (Diktat Pengendalian Vektor Tahun

2017).

3. Perilaku Nyamuk Aedes aegypti

Keberlangsungan hidup nyamuk berdasarkan habitatnya dibagi menjadi 3,

perilaku ini diketahui sebagai penunjang program pemberantasan vektor yaitu :

(Sumantri Tahun 2010)

a. Tempat berkembangbiak vektor

Nyamuk Aedes aegypti sangat suka dengan tempat-tempat bersih yang

dapat menampung air seperti ember, bak mandi, guci, vas bunga dan yang

lainnya. Pada lingkungan luar rumah nyamuk ini juga dapat berkembang biak pada

sarang burung, tempurung kelapa, kaleng-kaleng bekas dan wadah yang dapat
menampung air hujan. Akan tetapi nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang

biak pada genangan air yang langsung ke tanah. (Departemen Kesehatan RI

Tahun 2005)

Berdasarkan dokumen Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan tahun 2005, tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes

aegypti dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu :

i. Tempat penampungan air (TPA) yang berada dalam rumah seperti : bak kamar

mandi, drum air, tandon reservoar, dan ember yang terbuka.

ii. Tempat penampungan air (TPA) yang berada di luar rumah, seperti wadah

minum hewan ternak, vas bunga, barang yang sudah tidak dapat digunakan

dan dapat menampung air hujan seperti: botol-botol terbuka, ban bekas,

kaleng-kaleng yang sudah terbuka, dan yang lainnya

iii. Tempat penampungan air (TPA) alami atau yang biasa dikatakan tempat yang

dapat menampung air hujan dikarenakan yang sudah alami dari alam, seperti :

lubang pepohonan, lubang pada kayu, tempurung kelapa, buluh/bambu yang

sudah terpotong, dan lain-lain.

b. Tempat mencari makan vektor

Kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yaitu berakifitas di pagi dan sore hari yaitu

berkisar antara pukul 09.00 s/d 10.00 WIB dan pukul 16.00 s/d 17.00 WIB

(Ginanjar tahun 2008). Nyamuk yang menghisap darah ialah nyamuk betina yang

digunakan untuk mematangkan telurnya dengan tujuan sebagai nutrisi dan protein

untuk perkembangan dan prodksi telur. Pada saat inilah terjadinya penularan

penyakit dari nyamuk ke tubuh manusia. Penularan penyakit tidak disebabkan oleh

namuk jantan dikarenakan nyamuk jantan tidak menghisap darah melainkan

memakan nektar bunga dan tumbuhan.

c. Tempat istirahat vektor


Setelah nyamuk betina menghisap darah, nyamuk akan istirahat selama 48

– 72 jam untuk proses pematangan telur. Nyamuk Aedes aegypti lebih suka

beristirahat dan tinggal di dalam rumah. Tempat dengan kelembaban tinggi dan

pencahayaan kurang paling disukai nyamuk seperti kamar mandi, tempat

memasak dan kloset. Selain itu nyamuk dapat dijumpai pada baju yang

tergantung, gorden, kelambu, hiasan rumah yang terbat dari kain, dan lain-lain

(Departemen kesehatan RI tahun 2005).

4. Kepadatan Vektor Demam Berdarah Dengue

Kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti dapat diukur dengan menggunakan

parameter ABJ atau Angka Bebas Jentik. Pada kasus kejadian luar biasa (KLB) di

suatu daerah parameter ini sangat digunakan untuk melihat sebera banyak peran

vektor penyakit demam berdarah.

Jika kepadatan nyamuk Aedes aegypti dalam suatu wilayah tinggi maka

kemungkinan penularan ke seluruh masyarakat juga tinggi hingga daerah tersebut

dapat dikatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Bila terjadi satu kasus demam

berdarah pada masyarakat maka kemungkinan masyarakat akan ikut tertular demam

berdarah (Kusumawardani, 2012) (Agustin, 2018).

5. Pencegahan dan Pemberantasan DBD

Memberantas penyakit demam berdarah dapat dilakukan dengan cara

memberantas nyamuk Aedes aegypti dimana nyamuk ini berperan sebagai vektor

pembawa virus dengue. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan

banyak cara yang efektif dan tepat. Pengendalian yang dilakukan dapat berupa

pengendalian terhadap lingkungan, pengendalian fisik, pengendalian biologi, dan

pengendalian kimia (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan cara mengendalikan

berkembangnya jentik nyamuk. Hal ini dilakukan karena pengendalian ini dinilai

paling efektif dan mudah. Cara yang dapat dilaksanakan yaitu dengan menutup
semua tempat penampungan air yang ada, memanfaatkan kembali wadah atau

kaleng-kaleng bekas yang masih bisa di daur ulang (recycle). Pengendalian lain yang

bisa dilakukan yaitu pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan selalu

menerapkan 3M+ seperti : menutup tempat pengampungan air, menguras bak mandi

atau ember, mendaur ulang barang-barang bekas, menggunakan tumbuh-tumbuhan

pengusir nyamuk, menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan kembali barang

yang masih layak guna, dan lain-lain. Selalu lakukan PSN 3M+ setidaknya setiap

seminggu sekali guna memutus pertumbahan nyamuk pada fase larva. Penerapan

3M+ yang rutin dapat memperoleh hasil yang baik.

Pada saat penerapan 3M plus utamakan pada setiap lokasi yang dicurigai

tempat berkembangbiaknya nyamuk seperti tempat atau wadah yang dapat

menampung air (TPA), wadah penampungan air yang biasa digunakan di rumah

tangga (non-TPA) dan tempat penampungan air alamiah (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2021). Upaya pemberantasan sarang-sarang nyamuk dapat

dilalui dengan penerapan 3M Plus dimana tindakan ini mengupayakan dampak yang

positif bagi individu serta lingkungannya. Secara tidak langsung adanya edukasi

tentang pembangunan ovitrap yang berasal dari bekas bahan tak terpakai dan

mampu memotivasi kebiasaan mengelola sampah, khususnya pada 3M dan 3R.

Berbagai dampak krusial akan didapat dengan satu capaian melenyapkan siklus

hidup nyamuk yang bersifat ramah pada lingkungan, dapat diterapkan oleh siapapun,

serta biaya yang efisien (Kurniawati et al., 2020)(Febrianita, 2021)

C. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik terdiri dari semua faktor alam yang berbeda, termasuk udara,

pepohonan, tumbuh-tumbuhan alami, danau, dan lautan. Kualitas lingkungan fisik

masyarakat sangat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan penduduk (Noor, 2008).

Yang termasuk dalam lingkungan fisik diantaranya ialah kondisi geografis, lapisan tanah,

kondisi cuaca (intensitas hujan, intensitas paparan sinar, suhu dan kelembaban udara),
kehidupan vektor, tempat berkembangbiak nyamuk, semua hal ini dapat mempengaruhi

penularan penyakit demam berdarah (Ariani tahun 2016).

Pada umumnya faktor lingkungan fisik yang sangat mempengaruhi kejadian demam

berdarah ialah suhu udara. Nyamuk dapat bertahan pada suhu rendah dengan kerugian

sistem metabolisme menjadi turun dan bahkan dapat berhenti jika suhu menjadi lebih

rendah lagi. Selain itu pada suhu tinggi ( ≥35°C ) juga memperlambat sistim metaolisme

pada tubuh nyamuk dan bahkan bila suhu sudah melebihi 40 °C dapat menghentikan sistim

metabolisme pada tubuh nyamuk. Nyamuk dapat hidup pada suhu ruang yaitu berkisar

antara 25 °C s/d 30 °C. (Departeme kesehatan RI, 2008) (Pranata, 2016).

Kejadian kepadatan nyamuk vektor Aedes aegypti disuatu wilayah dapat

meningkatkan risiko penularan demam berdarah. Ditambah dengan kondisi lingkungan

yang sangat mendukung untuk perkembang biakan nyamuk. Bila virus dengue sudah

masuk kedalam tubuh nyamuk, maka nyamuk tersebut bisa dikatakan sudah terinfeksi virus

demam berdarah seumur hidupnya. Nyamuk yang sudah terinfeksi virus inilah yang pada

akhirnya akan menularkan penyakit eke dalam tubuh manusia (host) selanjutnya

(Suwandono, 2019).

Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak pada wadah penampungan air untuk

kebutuhan hidup atau barang lain yang dapat menjadi wadah untuk air seperti :

a. Bak kamar mandi / kloset, ember terbuka, drum air

b. Wadah minum hewan ternak

c. Vas bunga, lemari pendingin, dispenser

d. Ban bekas, kaleng bekas yang sudah terbuka, botol yang sudah terbuka, tempurung

kelapa, sampah plastik, dan sampah lain yang dibuang sembarang tempat yang dapat

menampung air hujan..

e. Tempurung/batok kelapa, bambu yang sudah memiliki lubang, ataupun pelepah daun

(Kementerian kesehatan RI, 2012).


Adanya keberadaan tempat penampungan air (TPA)/breeding place membuat

nyamuk Aedes aegypti mudah untuk berkembangbiak. Sebagian besar siklus hidup

nyamuk (telur, jenting, pupa) terjadi di genangan air atau wadah yang bersi air. Tempat

istirahat yang berada di sekitar rumah memungkinkan nyamuk untuk mudah menularkan

virus ke manusia (host). Nyamuk yang berkembang biak di sekitar rumah akan lebih mudah

dalam menjangkau manusia (host), oleh karena itu wadah penampung air harus segera

dihilangkan karena akan meningkatkan angka kejadian demam berdarah. (Rahman, 2012)

(Pranata, 2016).

Berdasarkan pendapat Brunkard, dkk (2004), faktor risiko keberadaan tempat tinggal

larva/jentik nyamuk sangat mempengaruhi kejadian demam berdarah dalam suatu daerah.

Lokasi dan letak tempat atau wadah yang dapat menampung air sangat berkemungkinan

sebagi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk dalam kontak dengan manusia seabgai

hospest. Selain itu faktor risiko keberadaan tempat tinggal larva/jentik nyamuk juga

mempengaruhi endemi penyakit demam berdarah khususnya pada wadah yang biasa

digunakan sehari-hariyang dapat menampung air untuk perkembangbiakan jentik nyamuk

(Barrera, dkk, 2011) (Pranata, 2016).

Faktor lingkungan fisik terdiri dari :

1. Kepadatan rumah

Banyaknya penghuni rumah menjadi salah satu faktor perkembangbiakan jentik

nyamuk. Jumlah padatan hunian harus sesuai dengan luas rumah yang dihuni. Jika tidak

akan menyebabkan kepadatan hunian yang berlebih atau over crowding. Semakin

banyak penghuni rumah maka keadaan rumah dan kondisi rumah semakin berpengaruh

karena akan mempengaruhi keadaan rumah, keadaan lingkungan, pola hidup serta

kepadatan hunian tersebut. Hal ini sangat memungkinkan untuk meningkatkan kejadian

penyakit deman berdarah. (Lingkungan et al., 2013)

Semakin padat hunian makan semakin muda juga terjadinya penularan penyakit

karena penularan dapat terjadi melalui kontak dari satu orang ke orang lain yang tinggal
dalam suatu rumah. Kebersihan udara dalam rumah juga mempengaruhi perubahan

struktur yang tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis tubuh. Itulah sebabnya jumlah

padatan hunian harus sesuai dengan luas rumah yaitu minimal 8 m2 untuk setiap orang.

(Adiatmaka, 2011). Kamar tidur juga harus disesuaikan yaitu hanya bisa dihuni oleh 2

orang pada setiap 8 m² luas kamar (Ratna dan Alamsyah, 2013).

Nyamuk betina selama proses pematangan telur akan beristirahat di sekitar rumah.

Nyamuk yang telah terinfeksi virus demam berdarah akan sangat mudah menggigit

orang yang berada didalam rumah. Kemudian orang yang sudah terinfeksi virus tersebut

juga akan muda menularkan kepada orang yang berada didekatnya terutama dengan

orang yang berada satu rumah dengan penderita tersebut. Dikarenakan penularan

dalam satu rumah maka waktu yang diperlukan untuk menularkan virus dengue ini juga

sangat cepat ditambah lagi nyamuk tidak akan menggigit satu orang saja melainkan

semua orang yang berada dalam rumah juga kemungkinan akan digigit nyamuk dalam

kurun waktu yang singkat (Hasyimi tahun 2011).

2. Angka Bebas Jentik Nyamuk (ABJ)

Letak kontainer atau tempat penampung air sebagai tempat breeding place akan

menciptakan peluang perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dikarenakan

kebanyakan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti berada pada air yaitu pada stadium

telur, stadium larva, dan stadium pupa. Keberadaan nyamuk yang lebih dekat rumah

akan lebih mudahnya menularkan atau menggigit manusia yang berada dalam rumah

tersebut (host). Oleh karena itu kontainer atau tempat penampung air dapat

mempengaruhi angka kejadian demam berdarah.

Angka Bebas Jentik (ABJ) ialah kondisi rumah yang bebas jentik. Angka bebas

jentik dapat dihitung dengan melihat persentase bangunan rumah yang bebas jentik

dibagi dengan jumlah keseluruhan rumah yang diperiksa dalam suatu daerah kemudian

dikalikan dengan 100 %. Untuk lebih mudahnya ditulis dengan rumus sebagai berikut :
Jumlah rumah bebas jentik x 100 %
Angka Bebas Jentik =
Jumlah seluruh rumah yang diperiksa
Semua bangunan dapat dikategorikan atau dihitung saat pemeriksaan angka bebas

jentik seperti, sekolah, musholla, rumah, kantor, dan tempat-tempat umum lainnya

berdasarkan bangunan / unit pengelola. (Peraturan Menteri Kesehatan, 2017).

3. Suhu

Kondisi udara dalam tempat dan waktu tertentu disebut dengan suhu. Pada suhu

tertentu nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan hidup. Akan tetapi bila suhu sudah

dibawah 18 °C atau lebih tinggi dari 30 °C metabolisme nyamuk menjadi terganggu dan

proses perkembangannya menjadi terhenti. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan

tumbuh dengan baik pada suhu antara 18 °C - 30 °C (Permenkes, 2011)

4. Kelembaban Udara

Kelembaban udara ialah banyaknya kandungan uap air dalam udara dan dapat

dinyatakan dengan persentase (%). Semakin tinggi kelembaban dalam rumah atau

daearah maka nyamuk Aedes aegypti akan lebih mudah berkembangbiak. Nyamuk

Aedes aegypti dapat bertahan hidup dan berkembang pada kelembaban udara antara

40 – 60 % (Permenkes, 2011).

Kelembaban udara juga mempngaruhi kebiasaan nyamuk dalam memposisikan

telur. Bila kelembaban rendah maka tubuh nyamuk mengalami penguapan air karena

spiracle yang ada pada pipa udara sistim pernapasan nyamuk terbuka lebar. Nyamuk

tidak akan bertahan hidup jika kelembaban ≤40% sehingga umur nyamuk menjadi

pendek dan kemungkinan nyamuk menularkan penyakit ke manusia (host) tidak akan

terjadi. Nyamuk dapat tumbuh dengan baik pada kelembaban 40 – 60 % dan akan buruk

pada kelembaban ≤40% dan ≥60% (Riansyah tahun 2019).

5. Pencahayaan

Nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang biak dengan baik pada tempat yang

menampung air bersih yang terletak pada ruangan gelap dan lembab, baik di dalam

maupun dekat rumah. Cahaya yang cukup baik untuk siang dan malam hari bagi
ruangan adalah 60 lux dan tidak menyilaukan (>100 lux)(Keputusan Menteri Kesehatan

RI, 1999).

6. Curah hujan

Hujan akan meningkatkan kelembapan udara dan menciptakan lebih banyak

genangan air yang berfungsi sebagai tempat bersarang. Suhu dan kelembaban musim

hujan sangat ideal untuk kelangsungan hidup nyamuk. Pada musim penghujan tempat

perindukan Aedes aegypti akan muncul kembali, kontainer yang terletak diluar rumah

akan terisi oleh air hujan. Air hujan yang turun dapat membentuk genangan-genangan

air, genangan tersebut dapat menjadi tempat perindukan nyamuk yang baru. Selain itu

banyaknya hari hujan pada musim penghujan dapat mempengaruhi kelembapan udara

terutama di daerah pantai (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Digunakan untuk

memperkirakan kepadatan nyamuk/waktu survei nyamuk, sampai saat ini kita belum

menggunakannya, hanya menjalin data yang ada dari Dinas Pertanian dan

Meteorolog(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

D. Penelitian Terkait

1. Penelitian Angki Irawan pada tahun 2021, hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara pemasangan kawat kasa dengan kejadian demam berdarah di Puskesmas Payug

Sekaki dengan p value = 0,001 sedangkan hubungan antara menguras TPA dengan

kejadian demam berdarah pada Puskesmas Payung Sekaki tidak ada hubungan dengan

p value = 0,288.

2. Penelitian yang dilakukan Purwaningsih pada tahun 2017 menunjukkan adanya

hubungan yang bermakna antara kegiatan pengurasan tempat penampungan air

dengan kejadian demam berdarah dengan p value 0,000 hal ini berbanding terbalik

dengan yang dilakukan Angki Irawan pada tahun 2021 di wilayah kerja Puskesmas

Payung Sekaki, didapatkan hasil adanya hubungan antara menguras TPA dengan

kejadian demam berdarah dengan nilai p value sebesar 0,288.


3. Penelitian yang dilakukan Adinda Nurniatul Lutfi pada tahun 2021 didapatkan hasil tidak

ditemukan adanya korelasi antara kejadian demam berdarah dengan sering atau

tidaknya pembersihan bak dengan nilai p value = 0,117 dan OR = 2,255 dan adanya

hubungan antara keberadaan kawat kasa dengan kejadian demam berdarah di wilayah

kerja Puskesmas Rusunawa dengan nilai p value =0,042 dan OR = 2,852.

4. Penelitian yang dilakukan Sucinah dan Wijirahayu dan Tri Wahyuni Sukesi tahun 2019

didapatkan hasil ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian demam berdarah

dengan nilai p value = 0,039, OR = 0,072 , CI = 0,006 - 0,849, hasil lain menunjukkan

tidak terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian demam berdarah

dengan nilai p value = 0,642, OR = 0,347 dan CI = 0,036 -3,367 kemudian terdapat

hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p

value = 0,039, OR = 0,072 dan CI = 0,006 - 0,849. Semua penelitian ini dilakukan di

wilayah kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman tahun 2019.


E. Kerangka Teori

Kerangka teoritis ialah tinjauan mendasar dari teori-teori yang ada yang berfungsi sebagai peta jalan untuk mengembangkan argumen

yang akan digunakan dalam penelitian. Teori dikembangkan oleh para peneliti untuk menjelaskan fenomena, menarik hubungan, dan membuat

prediksi (Sutriyawan, 2021).

Angka Bebas Jentik

Lingkungan Fisik
\\ Keberadaan Kejadian Demam
1. Suhu tempat Nyamuk Ae. aegypti Virus Dengue Berdarah Dengue
2. Kelembaban perindukan (DBD)
3. Pencahayaan
4. Curah hujan

Host (Manusia)

1. Kepadatan Hunian
2. Kurang perilaku hidup bersih dan sehat
3. Buang sampah sehingga tersedianya
kontainer

Gambar 2.1 Kerangka Teori


F. Hipotesis

Ho : tidak ada hubungan kondisi lingkungan fisik dengan kejadian DBD di wilayah

kerja Puskesmas Kuningan Kabupaten Kuningan

Ha : ada hubungan kondisi lingkungan fisik dengan kejadian demam berdarah DBD di

wilayah kerja Puskesmas Kuningan Kabupaten Kuningan


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

1. Variabel Penelitian

a. Struktur Hubungan Variabel

Variabel Bebas Variabel Terikat

Faktor Lingkungan

1. Kejadian Demam
Kejadian Demam
Berdarah Dengue
Berdarah Dengue
2. Kepadatan
(DBD)
Rumah
3. Angka Bebas
Jentik
4. Suhu
5. Kelembaban
6. Pencahayaan
7. Curah hujan

Gambar 3.1 Struktur Hubungan Variabel

B. Definisi Operasional

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional

Kejadian Demam Berdarah Penyakit menular tropis oleh virus dengue dengan vektor
Dengue (DBD) Aedes aegypti, data berasal dari puskemas Kuningan
Kepadatan Rumah Salah satu faktor yang meningkatkan resiko dan tingkat
kejadian DBD dengan syarat minimal menempati luas
rumah 9m2 sesuai Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah Republik Indonesia No. :403/2002
tentang pedoman teknik pembangunan rumah sederhana
sehat
Angka bebas jentik Upaya pencegahan pertama DBD ialah memastikan
ada/tidaknya larva Aedes sp. di tiap rumah. Nilai ABJ ≥
95%
Suhu Hasil dari ukur temperature rumah panelis yang dilakukan
dengan mengukur suhu ruangan di rumah panelis.
Kelembaban hasil pengkuruan yang dilakukan di rumah responden
denga menggunakan alat ukur kelembaban ruangan.
Pencahayaan Pencahayaan alami atau buatan, langsung maupun tidak
langsung yang dapat menerangi ruangan dengan
instensitas 60 luxmeter
Curah Hujan Keadaan udara (panas atau dingin) yang diperoleh dari
hasil pengukuran harian dan dirata-rata setiap bulan di
tahun 2015-2017

C. Ruang Lingkup
1. Waktu

a. Persiapan : Januari 2023- Februari 2023

b. Penelitian : Februari 2023 – Maret 2023

c. Penyelesaian : Maret 2023 – April 2023

2. Lokasi

Riset ini di laksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kuningan Kabupaten Kuningan

D. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini ialah analitik observasional dengan desain kasus kontrol. Penelitan

ini digunakan Kontrol, yaitu suatu rancangan penelitian yang membandingkan antara

kelompok kasus dengan kelompok kontrol untuk mengetahui proporsi kejadian

berdasarkan riwayat ada tidaknya paparan. Pada penelitian ini rumah dengan kasus DBD

di Puskesmas Kuningan Kab.Kuningan menjadi sampel kasus dan rumah yang tidak

dengan kasus dijadikan sampel kontrol.

E. Populasi Sampel

1. Populasi

Populasi ialah seluruh kelompok yang ingin ditarik kesimpulannya. Populasi untuk studi

penelitian dapat terdiri dari kelompok orang yang didefinisikan dalam berbagai cara.

Populasi sasaran sangat penting karena tiga alasan utama : Menetapkan arah yang jelas

tentang ruang lingkup dan tujuan penelitian dan tipe data. Mendefinisikan variabel

karakteristik individu yang memenuhi syarat untuk penelitian. Menyediakan ruang lingkup

total populasi atau semesta untuk menentukan ukuran sampel (Sugiyono, 2010). Populasi

dalam penelitian ini ialah rumah dengan riwayat penyakit DBD di Kelurahan Cirendang
dengan kelurahan yang memiliki penderita demam berdarah yang tertinggi di wilayah kerja

Puskesmas Kuningan Kabupaten Kuningan berdasarkan data tahun 2022 yakni sebanyak

1.513 rumah.

2. Sampel penelitian

Sampel ialah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan purposive sampling. Untuk

mengukur berapa minimal sampel yang dibutuhkan peneliti menggunakan rumus

Slovin dengan derajat kesalahan 10%, seperti berikut :

Keterangan :
n = sampel
N = populasi
d = batas toleransi kesalahan (0,1)
1513
n=
1+1513(0,1)2

n= 93,8 = 94
a. Sampel kasus

Sampel kasus pada penelitian ini adalah 94 kasus dengan penderita DBD yang

tercatat di Puskesmas Kuningan pada tahun 2022.

b. Sampel kontrol

Sampel kontrol pada penelitian ini menggunakan perbandingan 1:1, maka besar

sampel kontrol adalah 94 kontrol.

Jadi total sampel dari sampel kasus dan kontrol dalam penelitian ini yang akan

dilakukan yakni 188 orang. Teknik yang dilakukan yakni dengan purposive sampling

dengan kriteria diantaranya :

1) kriteria inklusi

a) bukan penderita DBD


b) Bersedia menjadi responden

2) kriteria ekslusi

a) responden yang sudah meninggal

b) responden yang berpindah tempat tinggal

c. Pengumpulan Data

No. Data Metode dan instrumen Kategori Skala Data


1. Kejadian Data dari dinas kesehatan 0 = Ada Kasus Nominal
Demam 1 = tidak ada
Berdarah kasus
Dengue
(DBD)
2. Kepadatan Pengukuran dengan 0 : < 9 m2 = tidak Nominal
Rumah meteran dan wawancara memenuhi syarat
1 : ≥ 9 m2 =
memenuhi syarat
3. Angka bebas Pengukuran 0 = Nilai ABJ < Nominal
jentik 95%
1 = Nilai ABJ ≥
95%
4. Suhu Pengukuran 0 = Tidak Nominal
menggunakan memenuhi syarat,
thermometer jika hasil
pengukuran 26⁰C-
30⁰C
1 = Memenuhi
syarat, jika hasil
pengukuran 30oC
5. Kelembaban Pengukuran 0 = Tidak Nominal
menggunakan hygrometer memenuhi syarat,
jika hasil
pengukuran ≥60%
1 = Memenuhi
syarat, jika hasil
pengukuran <60%
6. Pencahayaan Pengukuran 0 = Tidak Nominal
menggunakan luxmeter memenuhi syarat,
jika hasil
pengukuran ≥60
lux
1 = Memenuhi
syarat, jika hasil
pengukuran <60
lux
7. Curah Hujan Data dari BMKG Angka (curah Rasio
hujan dalam mm)
d. Pengolahan data

a) Editing

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil wawancara atau kuesioner

dengan instrument yakni lembar kuesioner dan perlu diperbaiki terlebih dahulu

(Sutriyawan, 2021)

b) Coding Steet (Lembaran Kode)

Semua lembar kuisioner yang telah diisi panelis kemudian diperbaiki, dan diberi

tindakan “kodean” atau “coding” yang memiki arti yakni mengolah data yang berbentuk

rangkaian kata dan huruf menjadi data berbentuk nominal atau angka (Sutriyawan, 2021).

Variabel yang digunakan diantaranya :

1) Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)

0 = Ada Kasus

1 = tidak ada kasus

2) Kepadatan Rumah

0 : < 9 m2 = tidak memenuhi syarat

1 : ≥ 9 m2 = memenuhi syarat

3) Angka Bebas Jentik

0 = Nilai ABJ < 95%

1 = Besar nilai ABJ < 95%

4) Suhu

0 = Tidak memenuhi syarat, jika hasil pengukuran 26oC-30oC

1 = Memenuhi syarat, jika hasil pengukuran 30oC

5) Kelembaban

0 = Tidak memenuhi syarat, jika hasil pengukuran ≥60%

1 = Memenuhi syarat, jika hasil pengukuran

6) Pencahayaan

0 = Tidak memenuhi syarat, jika hasil pengukuran ≥60 lux

1 = Memenuhi syarat, jika hasil pengukuran <60 lux


c) Data Entry atau processing (memasukkan data)

Setelah data terkumpul dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode”

dimasukan kedalam program atau “software” computer (Sutriyawan, 2021)

e. Analisis data

Penelitian ini dilakukan melalui dua analisis yaitu

a) Analisis univariat bertujuan untuk menganalisa dengan membuat tabel distribusi

frekuensi sehingga dihasilkan distribusi frekuensi dan presentase untuk

mendeksripsikan masing-masing variabel penelitian. Variabel di antaranya bebas

(kepadatan rumah, ABJ, suhu dan kelembaban) dan terikat (kejadian demam

berdarah dengue (DBD).

b) Analisis bivariat melakukan analisa terhadap dua variabel yang diprediksi memiliki

korelasi (Notoatmodjo, 2012:182). Sebagai bukti ada tidaknya pengaruh lingkungan

fisik pada perkembangan nyamuk DBD di Puskesmas Kuningan, maka Uji Chi Square

digunakan sebagai proses analisa. Menurut Sabri dan Hastono (2006) uji chi square

ialah suatu bentuk uji dalam membuktikan suatu praduga terkait perbandingan antara

frekuensi observasi dan frekuensi harapan yang mengacu pada dugaan tertentu,

signifikansi uji chi square menggunakan derajat kepercayaan 95% (α=5%). Dalam

pembuktian ada tidaknya pengaruh dapat ditinjau berdasarkan hasil dari nilai

signifikan dan besarnya hubungan korelasi tersebut dapat ditinjau dari nilai r pengujian

hipotesis terkait perbandingan antara frekuensi observasi dan frekuensi harapan yang

didasarkan atas dugaan tertentu.

c) Analisis Multivariat

Analisis multivariat bertujuan unutk melihat kekuatan hubungan anatara variabel

independent yang diteliti dengan kejadi DBD agar dapat mengetahui variabel yang

paling dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD dengan menggunakan uji

statistik regresi logistik berganda.


f. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menekankan adanya etika penelitian yang meliputi :

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Informed consent ialah proses di mana penyedia layanan kesehatan mendidik

pasien tentang risiko, manfaat, dan alternatif dari prosedur atau intervensi yang

diberikan. Pasien harus kompeten untuk membuat keputusan sukarela tentang apakah

akan menjalani prosedur atau intervensi. Informed consent ialah kewajiban etis dan

hukum praktisi medis yang berasal dari hak pasien untuk mengarahkan apa yang

terjadi pada tubuh mereka. Tersirat dalam memberikan informed consent ialah

penilaian pemahaman pasien, pemberian rekomendasi aktual, dan dokumentasi

proses.

2. Confidentiality (kerahasiaan)

Informasi yang didapatkan dari responden akan menjadi kerahasiaan dan dijamin

oleh peneliti dan hanya digunakan untuk mendukung penelitian yang dilakukan oleh

peneliti.
DAFTAR PUSTAKA

Adyatma, Ishak H, Ibrahim E. 2011. Hubungan Antara Lingkungan Fisik Rumah, Tempat

Penampungan Air dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian DBD di Kelurahan Tidung

Kecamatan Rappocini Kota Makassar, Bagian Kesehatan Lingkungan, FKM, Universitas

Hasanuddin. Makasar

Alamsyah, Dedi dan Muliawati, Ratna. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Nuha

Medika : Yogyakarta

Ariani, A. P. (2016). DBD; Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Nuha Medika.

Ayun, Luluk L. 2016. Hubungan Antara Faktor Lingkungan Fisik dan Perilaku dengan Kejadian

Demam Berdarah Dangue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran, Kecamatan

Gunungpati, Kota Semarang Tahun 2015. Universitas Negeri Semarang. Skripsi.

Barrera R, et al. 2011. Population Dynamics of Aedes aegypti and Dengue as Influenced by

Weather ang Human Behaviour in San Jua, Puerto Rico

Brunkard, Joan Marie, et al. 2004. Dengue Fever Seroprevalence and risk factors. Texas

Mexico BorderDepkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah

Dengue di Indonesia. Jakarta:Depkes RI

Depkes RI.2008. Modul Pelatihan Bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD Dengan

Pendekatan Komunikasi Perubahan Tindakan (Communication For Behavioral

Impact).Jakarta:Direktorat Jenderal PP &PLDepkes RI.2010. Penemuan dan

Tatalaksana Penderita DBD. Jakarta:Depkes RI.

Febrianita, D. (2021). Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Bhakti Kencana 2021. 1–67.

Ginanjar, Genis. 2008. Demam Berdarah. Perpustakaan Stikes Nani Hasanuddin

Hasyimi, M. dan M. Soekirno. 2004. Pengamatan tempat Perindukan Aedes aegypti pada

Tempat Penampungan Air Rumah Tangga pada Masyarakat Pengguna Air Olahan.

Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol 3 No 1, April 2004: 37-42.


Hendrawan Nadesul. 1998. Penyebab, Pencegahan, dan Pengobatan Demam Berdarah.

Jakarta : Puspa swara

Ii, B. A. B., & Pustaka, T. (2002). BAB II Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

1–64.

Irawan, A., Arifin, Z., & puspita sari, N. (2021). Faktor Meteorologi dan Kejadian Demam

Berdarah Dengue. Wellness and Healthy Magazine, 2(February), 124–137.

https://wellness.journalpress.id/wellness/article/view/3102

Kemenkes RI.2012.Peraturan Menteri Kesehatan No.035 tahun 2012. Tentang Pedoman

Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim.

Kemenkes RI.2015.Demam Berdarah Biasanya Mulai Meningkat di

Januari.http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demamberdar ah-biasanya-

mulai-meningkat-di-januari.htmlDi akses 27-12-2022

Kemenkes RI.2017.Peraturan Menteri Kesehatan No.50 tahun 2017 Tentang Standar Baku

Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor dan Binatang

Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya.

Kemenkes. (2021). Data DBD Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 30.

Kemenkes Republik Indonesia. (2022). Kasus DBD Meningkat, Kemenkes Galakkan

Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220615/0240172/kasus-dbd-

meningkat-kemenkes-galakkan-gerakan-1-rumah-1-jumantik-g1r1j/

Kementerian Kesehatan RI. (2016). Infodatin Situasi Gizi. In Kementerian Kesehatan RI (Vol.

7, Issue 1, pp. 37–72).

https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/548173

090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil

wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-

asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana

Infeksi Dengue Anak dan Remaja. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, 1–


67.Ariani, A.P., 2016. DBD; Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Nuha Medika.

Dinkes Kab. Kuningan, 2019. Profil Kesehatan Kab. Kuningan. Angew. Chemie Int. Ed.

6(11), 951–952.

Febrianita, D., 2021. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Bhakti Kencana 2021 1–67.

Ii, B.A.B., Pustaka, T., 2002. BAB II Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 1–

64.

Irawan, A., Arifin, Z., puspita sari, N., 2020. Wellness and Healthy Magazine (Faktor

Meteorologi dan Kejadian Demam Berdarah Dengue). Parq. los afectos. Jóvenes que

cuentan 2, 124–137.

Kemenkes, 2021. Data DBD Indonesia. Kementeri. Kesehat. Republik Indones. 30.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. PERMENKES NO. 50 1–14.

Kementrian Kesehatan RI, 2022. Kasus DBD Meningkat, Kemenkes Galakkan Gerakan 1

Rumah 1 Jumantik (G1R1J) – Sehat Negeriku [WWW Document]. Sehat Negeriku

Kemenkes RI. URL

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220615/0240172/kasus-dbd-

meningkat-kemenkes-galakkan-gerakan-1-rumah-1-jumantik-g1r1j/

Keputusan Menteri Kesehatan RI, 1999. Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun 1999

Tentang : Persyaratan Kesehatan Perumahan 1–4.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia., 2021. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Tata Laksana Infeksi Dengue Anak dan Remaja. Pedoman Nas. pelayanan Kedokt. 1–

67.

Vinet, L., Zhedanov, A., 2011. A “missing” family of classical orthogonal polynomials. J.

Phys. A Math. Theor. https://doi.org/10.1088/1751-8113/44/8/085201

Wijirahayu, S., Sukesi, T.W., 2019. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik dengan Kejadian

Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kalasan Kabupaten Sleman. J.

Kesehat. Lingkung. Indones. 18, 19. https://doi.org/10.14710/jkli.18.1.19-24


LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN DEMAM


BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KUNINGAN KABUPATEN KUNINGAN
TAHUN 2023

Petunjuk pengisian kuesioner


Sebelum saudara menjawab pertanyaan yang saya ajukan, terlebih dahulu isilah
identitas saudara.
No. Responden :
Hari/Tanggal :

I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama Responden :
2. Usia :.... tahun
3. Alamat :
4. Jumlah anggota keluarga :

II. LINGKUNGAN FISIK


Suhu :

Kelembaban :

Pencahayaan:

Curah Hujan :

ABJ : Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa : ........ rumah/bangunan

Keberadaan jentik ditemukan pada ............ rumah/bangunan

Berilah tanda ceklist (√) pada pertanyaan yang sesuai dengan kejadian di rumah
anda:
Alternatif
No. Pertanyaan Ket
Pilihan
Ya Tidak
Apakah anda atau anggota keluarga anda pernah
1. mengalami penyakit DBD? (dalam waktu satu
tahun)
Apakah anggota keluarga memakai kelambu saat
2.
tidur ?
Apakah anggota keluarga memakai lotion nyamuk
3.
sebelum tidur ?
Apakah dilakukan pengurasan bak penampung air
4.
setiap satu kali seminggu?
Apakah ibu/bapak pernah memberikan bubuk
5.
abate pada bak penampung air
6. Tidak ada baju kotor tergantung
Tidak ada jentik pada tempat penampungan air
- bak mandi
7. - ember
- kaleng
- kontainer lainnya
8. Luas kamar <8 m2 per orang

9. Jika menggunakan bak besar, apakah terdapat


ikan pemakan jentik ?
Apakah Anda ditunjuk sebagai juru pemantau
10. jentik dalam pelaksanaan program pencegahan
penyakit DBD?
11. Apakah pernah diadakan fogging di wilayah
sekitar rumah ?
12. Apakah saluran pembuangan air limbah tertutup?
13. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan daur ulang
sampah ?
14. Apakah ventilasi dilengkapi dengan kawat kasa?
15. Apakah terdapat sampah yang berserakan di
lingkungan rumah ?
16. Apakah pengaturan cahaya dalam rumah sudah
cukup ?
17. Apakah terdapat tanaman pengusir nyamuk?

Anda mungkin juga menyukai