Anda di halaman 1dari 4

Penyelidikan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Demam berdarah merupakan penyakit yang disebabkan virus dengue dan ditularkan

melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Penyakit ini sebagian besar menyerang anak-anak dan dapat berakibat fatal bila tidak ditangani secara cepat tepat, akurat dan benar. Keberhasilan penanganan penyakit demam berdarah sangat tergantung pencegahan, pengobatan, ketepatan dan kecepatan diagnosa penyakit demam berdarah. Sampai sekarang pemberantasan infeksi dengue di dasarkan pada kontrol terhadap nyamuk penyebar dengue yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pemutusan siklus penularan penyakit demam berdarah dengue dilakukan dengan penyemprotan nyamuk dewasa khususnya pada wilayah dengan indikasi adanya kasus. Menurut CDC (2003), beberapa negara berhasi mengendalikan penyakit ini, sebagaimana pemberlakuan destruction of disease bearing insect act di Singapura sejak tahun 1966. Dengan undang-undang ini dilakukan inspeksi jentik dari rumah ke rumah, dengan sanksi akan diterapkan pada rumah positif jentik.

Penyelidikan Epidemiologi DBD Kemampuan deteksi dini, baik pada penderita maupun lingkungan menjadi salah satu kunci keberhasilan pemberantasan demam berdarah. Sebagai tenaga kesehatan masyarakat kita dituntut lebih profesional pada aspek proses pencegahan penyakit dan surveillance. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini sebagian besar menyerang anak-anak dan dapat berakibat fatal bila tidak ditangani secara cepat tepat, akurat dan benar. Keberhasilan penanganan penyakit ini sangat tergantung pencegahan, pengobatan, ketepatan dan kecepatan diagnosa penyakit demam berdarah. Sampai sekarang pemberantasan infeksi dengue di dasarkan pada kontrol terhadap nyamuk penyebar dengue yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah Virus Dengue yang termasuk group B Arthropod Borne Viruses (Arbovirosis), terdiri dari 4 tipe (tipe 1, 2, 3, 4). Serotipe virus dominan di Indonesia adalah tipe 3 yang tersebar di berbagai daerah dan menyebabkan kasus yang berat Daerah yang terdapat lebih dari satu serotipe berkosirkulasi atau daerah mengalami epidemi secara berurutan yang disebabkan oleh serotipe yang berbeda maka akan ditemukan infeksi yang berat dan dikenal sebagai dengue shock sindrome (DSS). Studi epidemiologis menunjukkan DHF/DSS sebagian besar terjadi pada penderita yang terinfeksi untuk ke dua kalinya oleh virus dengan serotipe berbeda dari infeksi virus yang pertama kalinya. Infeksi virus DBD dapat asimtomatis dan simptomatis.

Kriteria diagnosis klinik DBD menurut WHO berupa panas mendadak 2-7 hari tanpa sebab jelas, tanda-tanda perdarahan atau pembesaran hati, jumlah trombosit < 100.000/mm3 (modifikasi Depkes < 150.000/mm3) dan hematokrit meningkat lebih atau sama dengan 20 %. Menurut Depkes RI, kasus DBD adalah semua penderita DBD dan tersangka DBD. Penderita penyakit DBD adalah penderita dengan tanda-tanda yang memenuhi kreteria WHO dan tersangka DBD yang hasil pemeriksaan serologis (haemaglutination inhibition test atau dengue blot) positip. Fogging dan Usaha Pencegahan Pemberantasan DBD. Usah pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan pemerintah, antara lain dengan metode pengasapan (fogging) dan abatisasi. Pelaksanaan pengabutan dengan aplikasi ultra low volume (ULV) masih merupakan metode yang paling diandalkan dalam pengendalian vector. Namun metode aplikasi penggunaan bahan kimia jika tidak terkontrol dapat berakibat pada terjadinya pencemaran lingkungan, serta berpotensi pada terjadinya resistensi vector. Sementara secara teknis, beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas pengkabutan antara lain: Faktor alamiah seperti cuaca yang meliputi faktor angin, suhu, kelembaban, hujan. Faktor sosial seperti masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam melakukan pemberantasan sarang nyamuk. Faktor teknis seperti peralatan yang digunakan dan pengetahuan petugas dalam melaksanakan pengendalian vektor DBD. Metode pengasapan menurut WHO (2000), merupakan metode utama pemberantasan demam berdarah dengue yang telah dilakukan hampir selama 25 tahun di banyak Negara. Penyemprotan sebaiknya tidak dipergunakan, kecuali keadaan genting selama terjadi KLB atau wabah. Penyemprotan di masyarakat akan menimbulkan rasa aman semu, walaupun erdasarkan aspek politis metode ini lebih disukai karena terlihat lebih nyata dan pemerintah terkesan sudah melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan DBD. Penyelidikan Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue Sesuai rekomendasi Depkes RI, setiap kasus DBD harus segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan lainnya untuk mencegah penyebarluasan atau mencegah terjadinya KLB. Penyelidikan epidemiologi demam berdarah dengue merupakan kegiatan pencarian penderita atau tersangka lainnya, serta pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD dirumah penderita atau tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius sekurangkurangnya 100 meter. Juga pada tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan penyakit. Tujuannya utama kegiatan ini untuk mengetahui ada tidaknya kasus DBD tambahan serta terjadinya potensi meluasnya penyebaran penyakit padad wilayah tersebut Sedangkan pengertian pengamatan penyakit DBD merupakan kegiatan pencatatan jumlah kasus DBD dan kasus tersangka DBD menurut waktu dan tempat kejadian, yang dilaksanakan secara teratur dan menyebarkan informasinya sesuai kebutuhan program pemberantasan penyakit DBD. Laporan kewaspadaan DBD merupakan laporan secepatnya kasus DBD agar dapat segera dilakukan tindakan atau langkahlangkah untuk membatasi penularan penyakit DBD.

Komponen kegiatan diatas antara lain dengan melakukan pengamatan jentik. Pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan indikator ukuran kepadatan jentik yaitu: angka bebas jentik (ABJ), house index (HI), container index (CI) dan bruteau index (BI). HI lebih menggambarkan penyebaran nyamuk di suatu wilayah tertentu (Depkes, 1990). Apabila HI kurang dari 5% menunjukkan kecepatan penularan DBD cukup, sedangkan bila lebih 5% berarti potensial terjadi penularan DBD. Hasil penyelidikan epidemiologi akan menentukan langkah selanjutnya dalam pemberantasan penyakit DBD. Dinas Kesehatan akan melakukan tindakan seperti fogging atau tidak fogging, dan pokja DBD serta masyarakat melakukan PSN-DBD dengan gerakan 3 M. Tindakan penanggulangan KLB dilakukan bersama kegiatan penyelidikan epidemiologi, penggerakan PSN DBD dengan abatisasi, fogging focus dan fogging massal. Refference, antara lain : Suroso T., Umar, A.I. 2000. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit DBD, FK UI. Jakarta Suroso T, dkk,. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Depkes RI WHO. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengua dan Demam Berdarah Dengue, Depkes RI 1992. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue. CDC. 2003. Dengue Fever. Division of Vector-Borne Infectious Diseases http://www.indonesian-publichealth.com/2013/02/surveilans-epidemiologi-dbd.html

Waspadai Demam Chikungunya


Kejadian Luar Biasa (KLB) demam yang disertai nyeri sendi yaitu Provinsi Jawa Barat di Desa Mandalamukti dan Ciptagumati Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Timur di Desa Balung Lor Kab. Jember dan Provinsi Sulawesi Utara di Kab.Bolaang Mongondow. Meskipun belum dipastikan lewat pemeriksaan contoh darah (serologi), dari gejala klinis yang dialami penderita hampir dipastikan penyakit yang dianggap misterius oleh masyarakat itu adalah demam Chikungunya.

Demikian penegasan Dr. Thomas Suroso, MPH Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan menanggapi pemberitaan di berbagai media massa di Jakarta tanggal 13 Februari 2003. Menurut Dr. Thomas Suroso, gejala klinis yang dimaksud mirip dengan gejala demam berdarah dengue yaitudemam mendadak, menggigil, muka kemerahan, mual, muntah, nyeri punggung, nyeri kepala, Fotofobia, dan timbul bintik-bintik kemerahan terutama di daerah badan. Nyeri sendi terutama di sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil di pergelangan tangan dan kaki yang berlangsung beberapa hari sampai satu minggu. Ini gejala yang sangat spesifik untuk penyakit Chikungunya. Untuk memastikan penyakit yang menimbulkan ketakutan masyarakat tersebut, Depkes telah mengirimkan Tim yang terdiri dari unsur Ditjen PPM dan PL, Badan Litbangkes dan NAMRU (Naval Military Research Unit = Unit Peneliti dari Angkatan Laut AS bekerja sama dengan Depkes) ke Bolaang Mongondow. Sedangkan contoh darah penderita dari Kec. Cikalongwetan Bandung dan Jember akan diperiksa di laboratorium Badan Litbangkes Depkes. Dr. Rita Kusriastuti, M.Sc., Kepala Sub Direktorat Arbovirosis Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ditjen PPM dan PL menambahkan sampai saat ini di Kecamatan Cikalongwetan, Kab. Bandung sudah tercatat 218 penderita, di desa Balung Lor Kab. Jember tercatat 149 penderita dan

Kabupaten Bolaang Mongondow sudah tercatat 608 penderita. Meskipun tidak menimbulkan kematian, serangan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dapat menimbulkan kepanikan dan ketakutan masyarakat. Masa inkubasi demam Chikungunya 3-11 hari, terbanyak 2-4 hari. Karena penderita seolah-olah menjadi lumpuh dan sakit ketika bergerak. Menurut Dr. Rita, vaksin untuk pencegahan dan obat untuk membasmi virus Chikungunya belum ada, sehingga cara yang paling efektif adalah dengan pencegahan. Cara pencegahan umumnya sama dengan cara pencegahan terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk yaitu melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan menggunakan repelen, obat nyamuk coil, penggunaan kelambu, melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan tindakan tiga M (menutup, menguras dan mengubur barang bekas yang bisa menampung air atau menaburkan bubuk abate pada penampungan air sebagaimana mencegah demam berdarah), penyemprotan untuk membunuh nyamuk dewasa yang terinfeksi dan memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya KLB.

Tidak ada pengobatan spesifik bagi penderita demam Chikungunya, cukup minum obat penurun panas dan penghilang rasa sakit yang bisa dibeli di toko obat, apotik bahkan di warung-warung. Berikan waktu istirahat yang cukup, minum dan makanan bergizi. Selain itu masyarakat dapat berperan dalam penanganan kasus demam Chikungunya yakni dengan melaporkan kepada Puskesmas/Dinas Kesehatan setempat. Isolasi/hindari penderita dari kemungkinan digigit nyamuk, agar tidak menyebarkan ke orang lain. Demam Chikungunya telah dikenal ratusan tahun yang lalu. Dari sejarah diduga KLB Chikungunya terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Cairo; 1823 di Zanzibar ; 1824 di India ; 1870 di Zanzibar ; 1871 di India; 1901 di Hongkong, Burma dan Madras; 1923 di Calcuta dan pada tahun 1928 di Cuba yang untuk pertama kalinya digunakan istilah "dengue". Dari tahun 1952 virus Chikungunya telah menyebar luas di daerah Afrika dan menyebar ke Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara. Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam, Manila dan Birma. Pada tahun 1965 menimbulkan KLB di Srilanka. Tidak ada kematian karena Chikungunya. KLB Chikungunya di Indonesia pernah dilaporkan pada tahun 1973 yang terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Tahun 1980 di Kuala Tungkal, Jambi dan pada tahun 1983 di Yogyakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya. Laporan KLB Chikungunya mulai terjadi lagi di Muara Enim pada tahun 1999, Aceh pada tahun 2000, Jawa Barat (Bogor, Bekasi, Depok) pada tahun 2001. KLB terjadi secara bersamaan pada penduduk satu kesatuan wilayah (RW/Desa). Oleh karena itu masyarakat tidak perlu takut lagi, ini bukan penyakit "misterius dan menakutkan". Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Jawa Barat dan Sulawesi Utara.Pada awalnya terjadi kebingungan untuk membedakan DEN (Dengue) dengan Chik (Chikungunya), tetapi sejak dapat dilakukan isolasi virus maka kedua penyakit ini dapat dibedakan, demikian juga gejala klinisnya yaitu Chikungunya lebih dominan pada nyeri di sendi-sendi. Berita ini disiarkan oleh Bagian Humas Biro Umum dan Humas Setjen Depkes. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi telp./fax. 5223002.

Anda mungkin juga menyukai