Anda di halaman 1dari 79

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang

saling berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar kesehatan itu sendiri.

Menurut Hendrik. L. Blum dalam Notoadmodjo (2003) ada 4 faktor yang

mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan

masyarakat yaitu lingkungan, prilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.

Dari keempat faktor tersebut faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang

besar terhadap kesehatan, maka dari itu kesehatan lingkungan perlu

ditingkatkan. Sehingga nantinya diharapkan masyarakat mampu menciptakan

suatu kondisi lingkungan yang sehat guna mewujudkan kualitas hidup yang

lebih baik.

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah umum yang

semakin membesar di negara-negara subtropik. Penyakit ini merupakan

penyakit yang endemik di lebih 100 negara termasuklah Afrika, Amerika,

Mediteranian timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat. WHO menyatakan

terdapat 50 - 100 juta kasus penyakit dengue diseluruh dunia setiap tahun,

Setiap tahunnya 250.000 – 500.000 kasus adalah demam berdarah dengue

dengan 24.000 kematian tiap tahunnya (WHO, 2006).

1
2

Hampir setiap tahun terjadi DBD di beberapa daerah. Penyebab

meningkatnya jumlah kasus dan semakin bertambahnya wilayah terjangkit

antara lain karna semakin baiknya transportasi penduduk dari suatu daerah

kedaerah lain dalam waktu singkat, adanya pemukiman – pemukiman baru,

penyimpanan – penyimpanan air tradisional masih dipertahankan, prilaku

masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang

(Depkes RI, 2004).

Demam Berdarah Dengue pertama kali di Asia Tenggara ditemukan di

Filiphina pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara di

Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia di temukan

pertama kali pada tahun 1968 di Surabaya dan menyebar keseluruh provinsi

di Indonesia (Susanto, 2007).

DBD bisa terjadi pada musim penghujan, namun bisa juga terjadi pada

musim panas (tropis) dengan suhu ektrim mengakibatkan kenaikan kasus.

Jumlah kasus DBD pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah

kematian akibat DBD sebesar 1.358 orang. Dengan demikian, IR DBD pada

tahun 2010 adalah 65,7 per 100.000 penduduk. Dimana IR tertinggi pada

Propinsi Bali 337,00, DKI Jakarta 227,44 juga Kalimantan Timur sebesar

167,31 per 100.000 penduduk dan terendah pada Propinsi Maluku sebesar

0,42, Jambi 5,99 dan kalimantan barat 13,86 per 100.000 penduduk.

sedangkan CFR sebesar 0,8%, dimana tertinggi terdapat di daerah Maluku

16.67%, Kepulauan Bangka Belitung 4,39% dan Maluku utara 3.46%.

Sedangkan yang terendah terdapat pada daerah Papua Barat, Sulawesi Barat
3

dan tidak ada kasus meninggal. DKI Jakarta sebesar 0,17% ini mengalami

penurunan dibandingkan dengan kasus DBD pada tahun 2009 dimana IR

sebesar 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0.89 % (profil

kesehatan RI, 2010).

Propinsi Riau merupakan wilayah endemis penyakit DBD dengan

jumlah kasus sebagai berikut :

Tabel 1.1
Jumlah kasus DBD di Provinsi Riau Tahun 2009-2011

NO Tahun Jumlah kasus Inciden rite (IR) per Case fatality rate
100.000 penduduk (CFR)
1 2009 1563 29,3 1,7 %
2 2010 991 18,3 2,6%
3 2011 2955 40,0 2,4%
Sumber : Dinas Kesehatan Propinsi Riau 2011

Jumlah kasus dari tahun 2009-2011 mengalami fase naik turun

(frukfuatif). IR tertinggi pada tahun 2011 40,0 per 100.000 penduduk ,CFR

tertinngi pada tahun 2010 2,6 % dan Kabupaten/Kota yang mempunyai kasus

DBD tertinggi di Pekanbaru (Profil Dinas Kesehatan Propinsi Riau tahun

2011).

Kabupaten Siak merupakan daerah endemis DBD. dari seluruh

Kabupaten, Siak menempati posisi ke-lima. hal ini ditandai dengan adanya

peningkatan kasus DBD dari tahun ke tahun. Seperti yang dijelaskan pada

tabel 1.2
4

Tabel 1.2
Jumlah kasus DBD di Kabupaten siak tahun 2009-2011

NO Tahun Jumlah kasus Inciden rate (IR) per Case fatality


100.000 penduduk rate (CFR)
1 2009 188 50,3 1,27 %
2 2010 78 23,7 2,56 %
3 2011 245 72,7 0,8 %
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Siak tahun 2011

Jumlah kasus dari tahun 2009-2011 mengalami fase naik turun

(frukfuatif). IR tertinggi pada tahun 2011 72,7 per 100.000 penduduk ,CFR

tertinggi pada tahun 2010 2,56 % (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Siak

tahun 2011).

Puskesmas merupakan ujung tombak yang paling depan diwilayah

kerjanya. Salah satu fungsi Puskesmas yang penting adalah mengembangkan

dan membina kemandirian masyarakat, pada dasarnya mengembangkan dan

membina proses pemecahan masalah yang ada di masyarakat. Salah satunya

untuk mengatasi masalah kesehatan berbasis lingkungan adalah program

DBD.

Puskesmas untuk penanganan kasus DBD memiliki enam program

yaitu penyelidikan epidemiologi, dengan tujuan melihat adanya penderita dan

tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular

DBD, menentukan jenis tindakan yang akan dilakukan. Pemantauan jentik

berkala, dengan tujuan melihat keberadaan jentik nyamuk kerumah warga

dan melakukan penyuluhan. Pemberantasan sarang nyamuk, dengan tujuan

mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegipty, sehingga penularan DBD

dapat dicegah atau dikurangi. Abatesasi, dengan tujuan membunuh jentik-


5

jentik nyamuk Aedes aegipty. Fogging fokus namun ini lebih digalakkan oleh

pemerintah, dengan tujuan membrantas nyamuk dewasa Aedes aegipti.

Kemudian peran serta masyarakat itu sendiri.

Upaya yang dilakukan oleh Puskesmas dalam Pemberantasan DBD

dititik beratkan pada penggerakan potensi masyarakat untuk berperan dalam

pemberantasan sarang nyamuk dengan gerakan 3M Plus (menguras, menutup

dan mengubur), penyebaran ikan pada tempat penampungan air serta kegiatan

lain yang mencegah atau memberantas nyamuk Aedes Aegypti

berkembangbiak, Upaya lain yang dilakukan adalah penyelidikan

epidemiologi dengan ditemukan positif jentik lebih dari 3 rumah dan

ditemukan 3 penderita DBD lainnya. Selain itu juga dilakukan PJB oleh

Puskesmas yang dilaksanakan 3 bulan sekali beserta pemberian bubuk abate

kepada warga.

Pelaksanaan program pemberantasan penyakit DBD diharapakan dapat

menurunkan insiden DBD, kematian, mencegah terjadinya KLB dan

meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap penyakit DBD.Berdasarkan

permasalahan yang ada tersebut , penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Pelaksanaan Program DBD di Puskesmas Se- Kabupaten Siak

Terhadap Perbandingan Insiden DBD Tahun 2012 ”.


6

B. Rumusan Masalah

Peningkatan kasus DBD merupakan masalah kesehatan yang

mengakibatkan angka kesakitan dan kematian. berbagai upaya pencegahan

dan pembrantasan telah dilakukan melalui program pemberantasan dan

pencegahan penyakit. namun ternyata upaya itu masih belum dapat

menunjukkan hasil yang optimal. walau angka kematian DBD telah ditekan

seminimal mungkin tapi penderita kasus DBD masih tinggi tiap tahunnya.

disetiap daerah yang terkena penyakit DBD sangat dipengaruhi oleh

bertambahnya jumlah penduduk dan berbagai aktifitas yang dilakukan oleh

manusia. Untuk itu penulis ingin mengetahui permasalahan yang ada tersebut

penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pelaksanaan Program

DBD Di Puskesmas Se- Kabupaten Siak Terhadap Perbandingan Insiden

DBD Tahun 2012”.

C. Pertanyaan penelitian

1. Apakah ada hubungan antara kegiatan penyelidikan epidemiologi dengan

perbandingan insiden DBD ?

2. Apakah ada hubungan antara kegiatan pemantauan jentik berkala dengan

perbandingan insiden DBD ?

3. Apakah ada hubungan antara kegiatan pemberantasan sarang nyamuk

dengan perbandingan insiden DBD ?

4. Apakah ada hubungan antara kegiatan abatesasi dengan perbandingan

insiden DBD ?
7

D. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Diketahui Pelaksanaan Program DBD Di Puskesmas Se- Kabupaten

Siak Terhadap Perbandingan Insiden DBD Tahun 2012

2. Tujuan khusus

1. Diketahui hubungan kegiatan penyelidikan epidemiologi dengan

perbandingan insiden DBD di Puskesmas se-Kabupaten Siak tahun

2012.

2. Diketahuinya hubungan kegiatan pemantauan jentik berkala dengan

perbandingan insiden DBD di Puskesmas se- Kabupaten Siak tahun

2012.

3. Diketahuinya hubungan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan

perbandingan insiden DBD di Puskesmas Se-Kabupaten Siak tahun

2012.

4. Diketahuinya hubungan kegiatan abatesasi dengan perbandingan insiden

DBD di Puskesmas se- kabupaten Siak tahun 2012.

E. Manfaat penelitian

1. Bagi Dinas Kabupaten Siak

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan perencanaan

untuk lebih meningkatkan upaya pemberantasan penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas se-Kabupaten Siak.


8

2. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi

pengelola program pencegahan dan pemberantasan penyakit di wilayah

kerja Puskesmas se-Kabupaten Siak

3. Bagi STIKes Hang Tuah Pekanbaru

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan informasi

bagi peneliti penyakit DBD selanjutnya.

4. Bagi Peneliti

Dapat memberikan pengalaman langsung bagi penulis dalam

mengaplikasi ilmu pengetahuan yang telah di peroleh selama perkuliahan

diprogram Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat.

F. Ruang lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini peneliti membahas pada variabel

penyelidikan epidemiologi, pemantauan jentik berkala, pemberantasan sarang

nyamuk dan abetesasi yang dilakukan di Puskesmas se- Kabupaten Siak tahun

2012. waktu pelaksanaan penelitian ini direncanakan pada bulan mei sampai

juni.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TELAAH PUSTAKA

1. Demam Berdarah Dengue

Menurut Depkes RI (2008) yang dikutip oleh Indrayuda (2011)

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

merupakan masalah kesehatan masyarakat di Propinsi Riau yang

memerlukan perhatian serius dari semua pihak, mengingat penyakit ini

sangat potensial untuk terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan merupakan

ancaman bagi masyarakat luas. untuk mengantisipasi munculnya masalah

DBD perlu direncanakan tindakan-tindakan antisipatif yang lebih rasional

dan berani serta terus mendorong semua pihak agar terbeban terhadap

ancaman DBD tersebut.

a. Pengertian Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes

aegypty Ditandai dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari disertai

dengan muka kemerahan. keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri

otot, tulang, sendi, mual dan muntah darah (Hadinegoro, S et al, 2001).

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue.virus ini termasuk

famili flaviviviridae, genus flavivirus, terdiri dari empat serotip yaitu

DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.keempat virus ini terdapat di

9
10

Indonesia dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering

menimbulkan wabah, sedangkan di Thailand penyebab wabah yang

dominan adalah virus DEN-2. virus DEN termasuk dalam kelompok

virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta mas

viremia yang pendek, sehingga keberhasilan isolasi dan identifikasi

virus sangat bergantung kepada kecepatan dan ketepatan (soegijanto,

2004).

Penyakit ini belum ada obatnya, pertolongan pertama yang dapat

dilakukan adalah memberi minum sebanyak mungkin atau infus

(memasukkan cairan melalui pembuluh darah yang jumlahnya

disesuaikan dengan keadaan penderita). Selain itu dapat juga diberi obat

penurun panas atau di kompres ( DinKes provinsi Riau, 2005).

b. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18,

seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter

berkebangsaan Belanda. infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya

merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.

Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit

dengan manifestasi klinis berat yaitu DBD yang ditemukan di Manila

dan Fhilipina. Kemudian menyebar ke negara lain seperti Thailand,

Vietnam, Malaysia dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD

dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang

sangat tinggi (Hadinegoro, S et al, 2001).


11

Menurut Hadinegoro, S et al (2005) Faktor-faktor yang

mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat

komplek yaitu :

1) Geografi dan meteorologi

a) Kondisi geografis

Luas wilayah kabupaten Siak 8.556,09 km2 terdiri dari

empat belas kecamatan dan 113 desa. secara geografis terletak

antara garis 1016’30” lintang utara sampai 0020’49 lintang utara

dan 100054’21” bujur timur sampai dengan102010’59” bujur

timur. Dengan batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan

Kabupaten Bengkalis, sebelah Selatan berbatasan dengan

Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan, sebelah Barat

berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Kota Pekanbaru

dan juga sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis

dan Kabupaten Pelalawan.

b) Suhu

Nyamuk adalah binatang berdarah dingin sehingga proses

metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu

lingkungan,tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap

perubahan – perubahan di luar tubuhnya. Nyamuk dapat

bertahan hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismenya

menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai suhu kritis.

Pada suhu yang lebih tinggi dari 35oC juga mengalami


12

perubahan. Suhu rata- rata optimum untuk pertumbuhan nyamuk

25o – 27oC. toleransi suhu tergantung pada spesies nyamuknya,

spesies nyamuk tidak tahan pada suhu 5o – 6oC.

Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan

metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu seperti lamanya

masa pra dewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap,

pematangan dari indung telur, frekuensi mengambil makanan

atau menggigit berbeda-beda menurut suhu. Suhu juga

mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang

optimum berkisar antara 20 dan 30oC. Makin tinggi (sampai

batas tertentu) suhu makin pendek masa inkubasi ekstrinsik

(siklus sporogoni dalam tubuh nyamuk) dan sebaliknya makin

rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.

c) Kelembaban nisbi udara

Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya kandungan uap

air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%).

kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk,

meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban

60 % merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan

hidupnya nyamuk. Kelembaban juga berpengaruh terhadap

kemampuan terbang nyamuk. badan nyamuk yang kecil

mempunyai permukaan yang besar oleh karena sistem

pernapasan dengan trachea. Pada waktu terbang nyamuk


13

memerlukan oksigen lebih banyak sehingga trachea terbuka.

Dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi

lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh

dari penguapan, maka jarak terbang nyamuk terbatas.

Kelembaban udara menjadi faktor yang mengatur cara hidup

nyamuk, beradaptasi pada keadaan kelembaban yang tinggi dan

pada suatu ekosistem kepulauan atau ekosistem hutan. Pada

kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan

lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan DBD.

d) Hujan

Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan

menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places)

dan terjadinya epidemi DBD. Besar kecilnya pengaruh

tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor juga jenis

tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan

memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Aedes

aegypti.

e) Ketinggian

Setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih udara dengan

tempat semula 1/2oC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka

perbedaan suhu udara juga cukup banyakdan mempengaruhi

faktor – faktor yang lain. Termasuk penyebaran nyamuk, siklus

pertumbuhan parasit dalam tubuh nyanuk dan musim


14

penularan.secara umum Aedes aegypti akan berkurang pada

ketinggian diatas 1000 meter. Ini dikarenakan adanya pengaruh

angin, kecepatan angin 11- 14 m/det atau 25- 31 mil/jam akan

menghambat penerbangan nyamuk.

2) Demografi

Jumlah penduduk Kabupaten Siak tercatat sebesar + 376.742

jiwa. Sex ratio antara laaki-laki dan perempuan ditemukan lebih

besar laki- laki dari pada perempuan yaitu laki – laki sebanyak

196.450 orang dan perempuan 180.292 orang. Faktor demografi

antara lain :

a) Pertumbuhan penduduk yang tinggi

b) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali

c) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif didaerah

endemis

d) Peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi oleh

berbagai faktor antara lain :

a) Imunitas penjamu

b) Kepadatan vektor nyamuk

c) Tranmisi virus dengue

d) Keganasan virus dengue

e) Kondisi geografis setempat


15

c. Siklus Penularan dan Penyebaran Penyakit DBD

menurut Surtiretna (2008) ada tiga syarat penularan dan

penyebaran penyakit DBD disuatu daerah yaitu :

1) Harus ada orang yang terinfeksi oleh virus dengue di daerah yang

bersangkutan. Dengan adanya orang yang terinfeksi oleh virus

dengue berarti virus tersebut ada. Namun tidak semua orang di

dalam darahnya terdapat virus dengue menunjukkan gejala.

2) Harus ada nyamuk Aedes aegypti yang menggigit orang yang

terinfeksi oleh virus dengue.

3) Nyamuk Aedes aegypti yang di dalam kelenjar ludahnya

mengandung virus dengue kemudian menggigit orang lain.

Penyebaran dan penularan virus dengue dipengaruhi oleh sistem

ketahanan tubuh dan faktor lingkungan. Jika seseorang memiliki daya

tahan yang bagus maka orang tersebut tidak akan mudah terserang

DBD. Faktor lingkungan meliputi kondisi geografis dan kependudukan.

Kondisi geografis yang mempengaruhi penyebaran DBD misalnya

ketinggian suatu daerah dari permukaan laut, curah hujan, angin,

kelembaban, dan musim. Sedangkan faktor kependudukan yang

mempengaruhi penyebaran DBD, misalnya kepadatan penduduk,

perilaku, adat-istiadat, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kasus

penyebarab dan penularan DBD semakin meningkat. meningkatnya

jumlah kasus dan wilayah yang terjangkit disebabkan semakin

mudahnya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru,


16

kurangnya kepedulian masyarakat terhadap pembrantasan sarang

nyamuk, dan terdapatnya vektor nyamuk (Susanto, 2007).

d. Vektor Penyebar Virus dengue

Aedes aegypti merupakan vektor utama (95%) bagi penyebaran

penyakit DBD. Nyamuk jenis ini hidup dan ditemukan di negara-negara

yang terletak antara 35o Lintang Utara dan 35o Lintang Selatan.nyanuk

ini hidup pada temperatur udara paling rendah sekitar 10 oC. Pada

musim panas, jenis nyamuk ini kadang-kadang ditemukan didaerah

yang terletak sampai sekitar 45o Lintang Selatan. Ketahanan hidup

nyamuk tergantung pada ketinggian daerah daripermukaan laut

(susanto, 2007).

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan hidup di dekat

manusia dan menyukai tempat yang gelap tersembunyi di dalam rumah

sebagai tempat beristirahatnya. Nyamuk ini juga menyukai benda –

benda tergantung di dalam rumah seperti gorden, kelambu, baju atau

pakaian yang tergantung dikamar yang gelap dan lembab (Susanto,

2007).

Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mencari makan menggigit

manusia untuk dihisap darahnya sepanjang hari, terutama antara jam

08.00 – 13.00 dan antara jam 15.00 – 17.00. Nyamuk betina menghisap

darah agar bisa memperoleh protein untuk mematangkan telurnya

sampai dibuahi oleh nyamuk jantan. jarak terbang nyamuk betina

sekitar 30 – 50 meter perhari. Telur Aedes aegypty mampu bertahan


17

hidup dalam keadaan kering selama beberapa bulan. Nyamuk Aedes

aegypt bertelur di dalam air tenang, jernih dan tidak bersentuhan

dengan tanah. Contohnya pada vas bunga, kaleng bekas, dan barang –

barang lain yang bisa menampung air hujan (Anggraini, 2010).

e. Klasifikasi DBD

Menurut WHO (1986) dalam Anggraeni (2010), penyakit DBD

dibagi atau diklasifikasikan menurut berat ringannya penyakit sebagai

berikut :

1) DBD derajat I

DBD derajat I memiliki tanda - tanda demam disertai gejala –

gejala yang lain,seperti mual, muntah, sakit pada ulu hati, pusing,

nyeri otot dan lain – lain tanpa adanya pendarahan spontan dan bila

dilakukan uji tourniquet menunjukkkan hasil yang positif terdapat

bintik-bintik merah. Selain itu, pada pemeriksaan laboratorium

menunjukkan tanda-tanda hemokonsentrasi dan trombositopenia.

2) DBD derajat II

DBD derajat II memiliki tanda-tanda dan gejala seperti yang

terdapat pada DBD derajat I yang disertai dengan adanya

pendarahan spontan pada kulit ataupun tempat lain (gusi, mimisan,

dan sebagainya).
18

3) DBD derajat III

DBD derajat III memiliki tanda-tanda yang lebih parah

dibandingkan dengan DBD derajat I dan derajat II. Pada DBD

derajat III telah terdapat tanda-tanda terjadinya shock yang disebut

dengue shock syndrome. penderita mengalami gejala shock, yaitu

denyut nadi cepatdan lemah, tekanan darah menurun, penderita

mengalami kegelisahan, dan pada tubuh penderita mulai tampak

kebiru-biruan, terutama disekitar mulut, hidung, dan ujung-ujung

jari.

4) DBD derajat IV

DBD derajat IV memiliki tanda-tanda yang lebih parah

dibandingkan dengan DBD derajat I, DBD derajat II, DBDderajat

III. pada DBD derajat IV , penderita tengah mengalami shock yang

disebut dengue shock syndrome. Pada tahap ini, penderita

kehilangan kesadaran dengan denyut nadi yang tidak dapat teraba

dan tekanan darah yang tidak teratur. pada tahap ini, penderita

berada dalam keadaan kritis dan memerlukan perawatan yang

intensif dirumah sakit.

f. Metamorfosa Aedes aegypti

Menurut WHO (2004) Masa pertumbuhan dan perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu :

telur – larva – pupa – nyamuk dewasa


19

1) Stadium Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval

memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan

poligonal, tidak memiliki pelampung, dan diletakan satu per satu

pada benda- benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam

tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan

permukaan air.

2) Larva

Larva nyamuk Aedes Aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki

dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva

ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali

pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut – turut

disebut larva instar I,II,III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat

kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada

dada (thorax), belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon)

belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9

mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna

hitam. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva

instar II. Larva instar IV telah lengkap struktur antonimya dan jelas

tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax),

dan perut (abdomen).

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang

antena tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah


20

(chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu

yang simetris, Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat

untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan

tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tuft).

Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush)

di bagian ventral dan gigi- gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19

gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan

yang jelas membek gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan

bergerak sangat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk

sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.

3) Pupa

pupa nyamuk Aedes Aegypti bentuk tubuhnya bengkok,

dengan bagian kepala-dada (cephalothorax) lebih besar bila

dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti

tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat

alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat

sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat

pengayuh terebut berjumbai panjang dan bulu di nomer 7 pada ruas

perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidakmakan,

tampak gerakanya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva.

Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.


21

4) Dewasa

Nyamuk Ae. Aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu

kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata

majemuk dan antenna yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe

penusuk-pengisap (pirevcing-sucking) dan termasuk lebih

menyukai manusia (anthropophapus), sedangkan nyamuk jantan

bagian mulut lebih lemahsehingga tidak mampu menembus kulit

manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan

(phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose,

sedangkan nyamuk jantan tipe-plumose.

Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, porothorax, mesothorax

dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri

dari femur (paha), tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas

kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki kaki

belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat

sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung

(mosentum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai

untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung

nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih

(bentuk lyre) pada tepinya dan sepasang garis submedian di

tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut

terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk aegypti

ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.


22

g. Pemberantasan demam berdarah dengue

Menurut Anggraeni (2010), pencegahan penyakit DBD dikenal

dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dapat

dilakukan dengan beberapa teknik yaitu kimia, Biologi dan fisika.

1) Pemberantasan Secara Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi dapat ditempuh dengan 2 teknik,

yaitu :

a) Pengasapan (fogging), yaitu suatu teknik yang digunakan

untuk mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa

kimia malathion.

b) Pemberantasan larva nyamuk dengan zat kimia. Namun,

mengingat tempat perkembangbiakan larva vektor DBD

banyak terdapat pada penampungan air yang airnya digunakan

bagi kebutuhan sehari – hari terutama untuk minum dan

masak, maka larvasida yang digunakan harus mempunyai sifat

– sifat sebagai berikut : efektif pada dosis rendah, tidak

bersifat racun bagi manusia, tidak menjadikan perubahan rasa,

warna dan bau pada air yang diperlukan. Larvasida dengan

kriteria tersebut adalah temephos yang lebih dikenal dengan

sebutan abate. Larvasida ini terbukti efektif terhadap larva

Aedes aegypti dan daya racunnya rendah. Dosis yang

digunakan 1 ppm atau 10 gram (+ 1 sendok makan rata )

untuk setiap 100 liter air.


23

2) Pemberantasan Secara Hayati

Pengendalian larva Aedes aegypti secara hayati tidak

sepopuler cara kimiawi oleh karena penurunan padat populasi

yang diakibatkannya terjadi perlahan – lahan. Beberapa agen

hayati adalah ikan cupang dan larva ikan nila yang mangsanya

adalah larva nyamuk. Ada juga beberapa agen hayati yang belum

begitu dikenal oleh umum namun telah diuji caba di laboratorium

dan di lapangan pada skala kecil efektifitasnya untuk

memberantas larva nyamuk Aedes aegypti.

3) Pemberantasan Secara Fisika

Cara yang saat ini masih dianggap paling tepat untuk

mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah

dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor DBD.

Cara pemberantasannya adalah dengan melakukan kegiatan 3M

yaitu :

a) Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva

nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur

yang melekat pada dinding bak mandi.

b) Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk

yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.

c) Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air

hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur


24

h. Kepadatan Populasi Nyamuk

Menurut Depkes RI (2006) yang dikutip oleh Indrayuda (2011)

untuk antisipasi kemungkinan ancaman penyakit DBD disetiap kota

perlu diadakan evaluasi melalui pengawasan dan pemeriksaan

kepadatan nyamuk sekaligus untuk merencanakan tindakan

pemberantasanya. Kegiatan yang dilakukan pengawasan dan

pemeriksaan nyamuk di suatu wilayah atau kawasan yaitu dengan

melakukan survei nyamuk dewasa, survei jentik atau pemeriksaan

jentik.

1) survei nyamuk dewasa

survei nyamuk dewasa dilakukan dengan menangkap nyamuk

tersebut menggunakan umpan manusia baik di dalam atau di luar

rumah,dan juga yang hinggap di dinding rumah dalam kurun waktu

20 menit/rumah. Nyamuk ditangkap menggunakan aspirator. Dari

survei nyamuk dewasa ini akan dapat diketahui kepadatan nyamuk

dengan indeks nyamuk dewasa, sebagai berikut

a) Bitting atau Landing Rate

Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap dengan umpan orang


Jumlah penangkapan x jumlah jam penangkapan

b) Resting Per rumah

Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap pada penangkap


nyamuk
Jumlah rumah yang dilakukan penangapan
25

Untuk mengetahui rata-rata nyamuk disuatu wilayah,

dilakukan pembedahan perut nyamuk - nyamuk yang ditangkap

untuk memeriksa keadaan ovariumnya ovariumnya di bawah

mikroskop. Jika ujung pipa-pipa ovarium masih menggulung,

berarti nyamuk itu belum pernah bertelur. Jika ujung pipa-pipa

udara terurai terlepas gulunganya, maka nyamuk itu sudah pernah

bertelur.

2) survei jentik atau pemeriksaan jentik

survei jentik dilakukan pada semua tempat atau bejana yang

menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Ada 2 (dua) cara atau

metode survei yang dilakukan :

a) Cara Single Larva

Survei ini dilakukan dengan mengambil satu jentik pada setiap

genangan air yang di temukan jentik untuk di definisikan lebih

lanjut.

b) Cara Visual

ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik pada

setiap genangan air tanpa mengambil jentiknya. Cara seperti

ini sering dilakukan dalam program pemberantasan penyakit

demam berdarah dengue (DBD). Indikator yang dipakai untuk

mengetahui kepadatan jentik aedes aegypti adalah :


26

1. Angka Bebas Jentik (ABJ)

Adalah jumlah rumah atau bangunan yang tidak

ditemukan jentik dibagi dengan jumlah rumah atau

bangunan yang diperiksa, dikali 100%.

2. House Index (HI)

Adalah jumlah rumah atau bangunan yang

ditemukan jentik dibagi dengan jumlah rumah atau

bangunan yang diperiksa, dikali 100%.

3. Countainer Index (CI)

Adalah jumlah countainer yang ditemukan jentik di

bagi dengan jumlah countainer yang diperikasa, dikali

100%.

4. Breteau Index (BI)

Adalah jumlah countainer yang mengandung jentik

dalam 100 rumah.

2. Puskesmas

a. Pengertian Puskesmas

Puskesmas adalah satuan organisasi fungsional yang

menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyuluh, terpadu,

merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat. Puskesmas

dengan peran serta aktif masyarakat menggunakan hasil

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan


27

biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat ( Profil

Kesehatan Siak, 2010).

Menurut Kepmenkes RI no : 128/menkes/sk/ii/2004 Puskesmas

adalah unit pelaksanaan teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di

suatu wilayah kerja. Visi Puskesmas tercapainya Kecamatan sehat

menuju terwujudnya Indonesia sehat. Kecamatan sehat adalah

gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai

melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam

lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk

menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata

serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Sedangkan

misi Puskesmas adalah menggerakkan pembangunan berwawasan

kesehatan diwilayah kerjanya, mendorong kemandirian hidup sehat

bagi keluarga dan masyarakat diwilayah kerjanya, memelihara dan

meningkatkan mutu pemerataan dan keterjangkauan pelayanan

kesehatan yang diselenggarakan serta memelihara dan meningkatkan

kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat berserta

lingkungannya.

b. Azas Puskesmas

Sebagai unit pelaksana teknis daerah yang selanjutnya disebut

UPTD, yakni unit organisasi di lingkungan dinas Kabupaten/Kota


28

yang melaksanakan tugas teknis oprasional, maka ada empat azas

yang harus di ikuti oleh puskesmas yaitu :

1) Azas pertanggung – jawaban wilayah

Puskesmas harus bertanggung jawab atas pembangunan

kesehatan di wilayah kerjanya. Artinya bila terjadi masalah

kesehatan diwilayah kerjanya, maka puskesmas harus bertanggung

jawab untuk mengatasinya.

2) Azas peran serta masyarakat

Dalam melaksanakan kegiatanya, puskesmas harus

memendang masyarakat sebagai subyek pembangunan kesehatan,

sehingga puskesmas bukan hanya bekerja untuk mereka, tetapi

jugabekerja bersama masyarakat. Oleh karena itu puskesmas harus

bekerja dengan masyarakat mulai dari tahap identifikasi masalah,

merumuskan, dan merencanakan kegiatan penanggulanganya,

melaksanakan program kesehatan tersebut, dan mengevaluasinya.

3. Azas keterpaduan

Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan pembangunan

kesehatan di wilayah kerjanya harus melakukan kerja sama dengan

berbagai pihak, berkoordinasi dengan lintas sektor, agar terjadi

perpaduan kegiatan di lapangan, sehingga lebih berhasil guna dan

berdayaguna.
29

4. Azas rujukan

Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

pertama, yang bila tidak mampu mengatasi masalah karena

berbagai keterbatasan, bisa melakukan rujukan baik secara vertikal

ketingkat yang lebih tinggi, atau secara horizontal kepuskesmas

lainya.

c. Program – program di puskesmas

Sebagai sarana kesehatan tingkat pertama di Indonesia,

Puskesmas mumpunyai program kerja yang merupakan wujud dari

pelaksanaan fungsi Puskesmas, yang dikelompokan menjadi dua

program yaitu :

1) Program kesehatan dasar

Merupakan program yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan

sebagai besar masyarakat di indonesia serta mempunyai

kemampuan yang tinggi dalam mengatasi permasalahan kesehatan

nasional dan internasional yang berkaitan dengan kesakitan,

kecacatan dan kematian, yang terdiri dari:

a) Promosi kesehatan

b) Kesehatan lingkungan termasuk kegiatan Klinik sanitasi

c) Kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana

d) Perbaikan gizi

e) Pembrantasan penyakit menular

f) Pengobatan
30

2) Program kesehatan pengembangan

Merupakan program yang sesuai dengan permasalahan

kesehatan masyarakat setempat dan atau sesuai dengan tuntutan

masyarakat sebagai progam inovatif dengan mempertimbangkan

kemampuan sumber daya yang tersendiri dan dukungan dari

masyarakat,yang terdiri dari :

a) Kesehatan kerja masyarakat

b) Kesehatan manula

c) Kesehatan olahraga

d) Pengembangan puskesmas dengan rawat inap,puskesmas

dengan tempat bersalin,dengan pengobatan tradisional,dan

lain-lain.

Program - program pokok puskesmas yang terkait dengan

kesehatan lingkungan yang dikaitkan dengan rencana kerja

Puskesmas yang mengacu pada penyakit yang berbasis lingkungan

seperti ISPA, Diare, DBD, Malaria, Penyakit infeksi, Cacingan, TB

paru, Penyakit kulit.

3) Program DBD

Menurut Siagian (1996) dalam Riyanti (2008), Program

merupakan suatu bentuk keseluruhan usaha, cara, teknik, dan

metode demi tercapainya tujuan organisasi dengan efesien, efektif

dan ekonomis. Program terdiri atas tiga komponen yaitu :


31

a) Sasaran (objectives) merupakan situasi atau kondisi seseorang

atau lingkungan dimana personil program yang ditanggung

jawabkan untuk mencapai seperti yang diinginkan.

b) Kegiatan yaitu merupakan suatu pekerjaan yang ditampilkan

oleh personil program dan peralatan program dalam pencapaian

sasaran.

c) Sumber daya yaitu merupakan tenaga kesehatan, anggaran,

bahan, dan fasiltasi yang dapat mendukung penampilan

kegiatan.

Program DBD yang ada di Puskesmas antara lain :

1. Penyelidikan epidemiologi (PE)

Penyelidikan Epidemiologi adalah pencarian penderita DBD

lainnya dan pemeriksaan jentik di rumah penderita dalam radius

sekurang – kurangnya 100 meter dari rumah penderita dan 20

rumah disekitarnya depan,belakang, samping kanan dan kirinya

serta tempat – tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber

penularan.

PE dilakukan 1x 24 jam setelah diterima surat X0. Surat X0

adalah surat yang dikeluarkan dari rumah sakit tempat suspect

DBD yang dirawat dan dinyatakan pasien tersebut terkena penyakit

DBD. Surat ini diberikan kepada Puskesmas yang mempunyai

wilayah kerja di tempat tinggal suspect DBD. Pelaksanaan PE

dilakukan dengan melihat jumlah trombosit suspect DBD yang


32

kurang dari 100.000/m3, gejala yang mirip dengan penyakit DBD

kemudian langsung turun kelapangan mencari alamat rumah

penderita DBD.

Ada laporan
penderita/tersangka DBD

Penyelidikan
epidemiologi

- Pemeriksaan jentik di 20 rumah

- Pencarian penderita panas sekitar penderita

Bila dijumpai penderita/tersangka DBD lain

Atau

Ditemukan jentik dan penderita baru > 3 0rang

- Fogging radius + 200 m - PSN


- PSN - Penyuluhan
- penyuluhan

penderita panas pada hari itu / seminggunya sebelumnya

kegiatan menutup, menguras tempat penampungan air, mengubur barang bekas atau

abatesasi, memelihara ikan dan lain-lain

Gambar 2.1 bagan penanggulangan kasus Dbd di lapangan.


33

2. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN )

Menurut Anggraeni (2010) pemberantasan terhadap jentik

nyamuk Aedes Aegypti dikenal dengan istilah pemberantasan

sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan

dengan cara kimia (larvasida), fisika (melakukan 3M plus) dan

biologi (memberikan ikan pemakan jentik). Adapun kegiatan yang

dilakukan umtuk mencegah DBD dengan melaksanakan

pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yaitu :

a. 3M

1) Menutup tempat penampunganair bersih

2) Menguras bak mandi dua kali semimnggu secara berkala

3) Mengubur segala barang – barang bekas yang bisa

menampung air

b. Plus

1) Tidur menggunakan kelambu

2) Tidur memasang obat anti nyamuk

3) Memasang kawat kasa untuk ventilasi

4) Tidak menggantungkan pakaian di dalam kamar atau di

dalam ruangan gelap

5) Menjaga kebersihan lingkungan sekitar

6) Menggalakkan gotong royong rutin


34

3. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

Pemantauan jentik berkala (PJB) adalah upaya yang dilakukan

kader dalam pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD dengan

cara melakukan kunjungan kerumah warga untuk pemeriksaan

jentik dan melakukan penyuluhan. PJB dilaksanakan setiap tiga

bulan sekali atau empat kali dalam satu tahun yang biasanya

bersamaan dengan penberian bubuk abate.

4. Pemberian Bubuk Abate

Salah satu cara untuk memutuskan rantai penyebaran dan

penularan DBD adalah memberikan bubuk abate. Pemberian bubuk

abate dilaksanakan tiga bulan sekali bersamaan dengan PJB.

Takaran untuk menggunakan bubuk abate dalam 100 liter air

digunakan satu gram bubuk abate.

5. Fogging fokus

Fogging yaitu suatu teknik yang digunakan untuk

mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa kimia

malathion dan fenthion yang berguna untuk mengurangi penularan

(Anggraeni, 2010). Fogging dilaksanakan jika ada terjadi kasus

DBD dengan radius 200 m dari lokasi pasien kasus DBD. Namun

fogging tidak dilaksanakan oleh pihak Puskesmas melainkan

dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan.


35

4.Kegiatan PSM (peran serta masyarakat)

Peran serta masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota

masyarakat dalam memecahkan permasalahan – permasalahan

masyarakat, seperti di bidang kesehatan berarti keikut sertaan

seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah

kesehatan. Dalam hal ini masyarakat yang aktif memikirkan,

merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasikan program –

program kesehatan masyarakat. Institusi kesehatan hanya sekedar

memotivasi dan membimbingnya (Notoadmojo, 2007).

Peran serta masyarakat sangat dipengaruhi oleh perilaku.

Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar organisme (orang). Menurut Benyamin Bloom

(1908) seorang ahli psikologi pendidikan dalam Notoatmojo (2007)

membagi perilaku manusia menjadi tiga domain, ranah, kawasan

yakni kognitif (cognitive), efektif ( affective), dan psikomotor

(psychomotor).

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) adalah hasil

“tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indra manusia : indra penglihatan , pendengaran , penciuman , rasa

dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga.


36

Pengetahuan atau kongnitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).

Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang

didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Roger (1974)

dalam Notoatmojo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi prilaku baru (berprilaku baru), dalam diri orang

tersebut terjadi proses berurutan, yakni :

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam

arti pengetahuan terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.

Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden

sudah lebih baik lagi.

4) Trial (mencoba), dimana subjek sudah mulai mencoba

melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

stimulus.

5) Adoption (mengadopsi), dimana subjek telah berprilaku baru

dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Roger (1947)

dalam Notoatmojo (2003), menyimpulkan bahwa perubahan

prilaku tidak selalu melalui tahap-tahap tersebut. Apabila


37

penerimaan prilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses

seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan,kesadaran dan

sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng

(long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh

pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama.

Menurut Notoatmodjo (2007), tingkatan pengetahuan di dalam

domain Kognitif yaitu :

a) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali sesuatu tang spesifik dari seluruh

bahan yang di pelajari dan yang telah diterima.

b) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan

dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c) Aplikasi (application)

Adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

d) Analisis (analisys)

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek kedalam suatu stuktur organisasi dan masih ada

kaitannya antara satu dengan lainnya.


38

e) Sintesis (sintesys)

Adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari

formasi yang ada.

f) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara

atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur

dari subjek penelitian atau responden kedalam pengetahuan yang

ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan

tingkatan-tingkatan diatas.

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau responden yang masih tertutup

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang

bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Swistantoro, 2004).

Menurut Newcomb dalam Swistantoro (2004) sikap itu merupakan

kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan

pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan

atau aktivitas, akan tetapi merupakan perdisposisi tindakan sutau

prilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan

merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap


39

merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Komponen pokok sikap Menurut Allpot (1954) dalam

Notoatmojo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3

komponen sikap:

1) Kepercayaan (Keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu

objek

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

3) Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama – sama membentuk sikap

yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini

pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan

penting.

1) Tingkatan sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari berbagai

tingkat berdasarkan intensitasnya,sebagai berikut :

a) Menerima (receiving) artinya bahwa orang (subjek) mau

dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

b) Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila

ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang

diberikan.

c) Menghargai (valuing) yaitu bila seseorang mengajak orang

lain untuk mengerjakan ataumidiskusikan suatu masalah.


40

d) Bertanggungjawab (responsible) yaitu bertanggungjawab

atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko,ini adalah tingkatan sikap yang paling tinggi.

2) Pengukuran sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran sikap dapat

dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengukuran.

sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan – pertanyaan tentang stimulus atau objek yang

bersangkutan.

c. Tindakan/praktek

suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan

(over behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan

nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo,2007).

Tingkat – tingkat praktek:

1) Persepsi (perseption)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat

pertama.misalnya : seorang ibu dapat memilih makanan yang

bergizi tinggi bagi anak balitanya.


41

2) Respon terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang

benarsesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek

penting tingkat dua. Misalnya seorang ibu dapat memasak sayur

dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotongnya, lama

memasaknya, dan sebagainya.

d. Mekanisme (mechanisme)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis atau sudah merupakan kebiasaan maka ia

sudah mencapai praktek tingkat tiga.misalnya seorang ibu sudah

bisa mengimunisasikan bayi pada umur-umur tertentu, tanpa

menunggu perintah atau ajakan orang lain.

e. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah

dimodifikasinya sen diri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya

tersebut.misalnya ibu dapat memilih dan memasak makanan yang

bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana.


42

B. KERANGKA TEORI

Puskesmas 1. PE(penyelidikan epidemiologi)


2. PJB (pemantauan jentik berkala)
3. PSN (pembrantasan sarang
nyamuk)
4. ABATESASI
5. Fogging fokus
Program
DBD

kegiatan PSM (Peran serta


masyarakat) :

- Perilaku
 pengetahuan
 sikap
 tindakan

Sumber : berbagai sumber

Gambar 2.2 variabel kerangka teori

C. KERANGKA KONSEP

Variabel independen variabel Dependen

Kegiatan pemberantasan penyakit


DBD :
- Penyelidikan epidemiologi (PE) Insiden DBD
- Pemantauan jentik berkala (PJB)
- Pemberantasan sarang nyamuk
(PSN )
- Abatesasi

Gambar 2.3 variabel kerangka konsep


43

D. HIPOTESIS

1. Ada hubungan kegiatan penyelidikan epidemiologi dengan

perbandingan insiden DBD di Puskesmas se- Kabupaten Siak tahun

2012

2. Ada hubungan kegiatan pemantauan jentik berkala dengan perbandingan

insiden DBD di Puskesmas se- Kabupaten Siak tahun 2012

3. Ada hubungan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan

perbandingan insiden DBD di Puskesmas se- Kabupaten Siak tahun

2012

4. Ada hubungan kegiatan abatesasi dengan perbandingan insiden DBD di

Puskesmas Se- Kabupaten Siak tahun 2012


44

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan desain penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian bersifat deskriptif dengan studi korelasi yaitu hanya

memberikan gambaran umum untuk mengetahui pelaksanaan program

DBD di Puskesmas Kabupaten Siak dengan perbandingan angka kejadian

DBD.

2. Desain penelitian

Desain penelitian merupakan desain penelitian cross sectional study

disebut cross sectional dikarenakan penelitian ini sebagai penelitian

penelusuran dan survay, dengan melihat dokumen program DBD dan data

DBD tahun 2011 sehingga penelitian dapat termasuk kedalam jenis

penelitian deskriptif.

B. Lokasi dan waktu penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan diwilayah Puskesmas yang ada di kabupaten

Siak, dengan pertimbangan bahwa kabupaten Siak merupakan daerah

endemis penyakit DBD dan disetiap kecamatan yang ada di kabupaten

Siak memiliki jumlah kasus yang berbeda - beda juga mengalami kenaikan

dan penurunan kasus.

44
45

2. Waktu penelitian

Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan februari sampai dengan

maret 2012, pengolahan data dan penyusunan laporan atau hasil penelitian

dilakukan pada bulan marer sampai dengan april 2012.

C. Populasi dan subjek penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh puskesmas yang ada di

Kabupaten Siak yang menjadi sasaran pelaksanaan kegiatan program DBD.

2. Subjek penelitian

Subjek adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian yang

dianggap dapat mewakili populasi. subjek dalam penelitian ini adalah

Kepala Puskesmas dan salah satu staf pemegang program DBD yang ada di

Puskesmas.

D. Besar sampel

Jumlah dari sampel yang ditinjau hanya sebatas Kepala Puskesmas dan

pemegang program kegiatan DBD yang ada diseluruh puskesmas kabupaten

Siak.
46

E. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan total sampling yaitu Kepala Puskesmas

dan salah satu pemegang Program DBD di puskesmas seluruh Kabupaten Siak.

Dengan jumlah 14 Kepala Puskesmas dan 14 Pemegang Program DBD.

F. Variabel penelitian dan devenisi operasional


47
48

G. Jenis dan cara pengumpulan data

1. Jenis pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang

diperoleh dengan cara menyebarkan kuisioner berbentuk angket yang diisi

langsung oleh responden dan hasil pengamatan langsung oleh peneliti, dan

juga data sekunder yang meliputi data bulanan P2DBD yang diperoleh dari

subdin P2P dinas kesehatan Kabupaten Siak mulai tahun 2009 sampai 2011.

2. Cara pengumpulan data

Cara pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan cara membagikan kuisioner kepada Kepala Puskesmas dan

pemegang program DBD di Puskesmas Kabupaten Siak serta observasi

(pengamatan) pelaksanaan kegiatan program pemberantasan penyakit

H. Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dilakukan editing, coding, processing dan

cleaning dengan pembobotan dalam 2 kategori. Masing-masing variabel yang

diteliti dikelompokan, kemudian diolah dengan analisis univariat dan bivariat.

a. Editing

Setelah instrumen dikembalikan oleh responden maka setiap instrumen

diperiksa apakah sudah di isi responden dengan benar, semua item sudah

dijawab oleh responden.


49

b. Coding

Data yang sudah dikumpulkan diklasifikasi dan diberi kode untuk

masing-masing kelas dan klasifikasi.

c. Entry data

Memasukkan data yang telah di coding yang berasal dari kuesioner ke

komputer.

d. Proccesing

Setelah kuesioner diisi maka langkah selanjutnya adalah memproses

data dapat dilakukan dengan mengentri data menggunakan program SPSS

versi 13.0.

e. Cleaning

Merupakan program pembersihan data berupa pengecekan kembali data

yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak.

I. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan sistem komputerisasi dengan

menggunakan program SPSS versi 13.0. data akan dianalisis dengan 2 cara:

a. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel penelitian berdasarkan tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menganalisis hubungan variabel

dependen dan independen, untuk menganalisis variabel tersebut dilakukan

pengujian statistik dengan uji Chi square.


50

J. Jadwal Penelitian

No Kegiatan Feb Maret April Mei Juni Juli

1 Pembuatan proposal
2 Seminar proposal
3 Perbaikan proposal
4 Pengumpulan data
5 Pengolahan data
analisis
6 Penulisan skripsi
7 Ujian skripsi
51

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keterbatasan

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu sebagai berikut :

1. Mobilisasi yang membutuhkan waktu cukup lama dalam membagikan

kuisioner karena harus mencapai antar lokasi Puskesmas di tiap

Kecamatanyang terdapat di Kabupaten Siak.

2. Kesulitan dalam membagikan kuisioner, karena dengan waktu yang terbatas

untuk membagikan kuisioner ke tiap Puskesmas mengalami penundaan

sesaat dikarenakan para petugas kesehatan hanya bisa mengisi kuisioner

pada waktu istirahat.

Dengan beberapa keterbatasan yang dialami penulis, tetapi pada akhirnya

penelitian ini harus tetap dilanjutkan dan segala keterbatasan tersebut bisa

diatasi dengan bantuan beberapa pihak lainnya.

B. Hasil

1. Analisa Univariat

a. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Siak

1) Geografis

Siak merupakan salah satu Kabupaten pemekaran dari Kabupaten

Bengkalis dengan luas wilayah 8.556,09 km2 yang terdiri dari 14

kecamatan dan 113 desa. Kabupaten Siak terletak pada posisi


52

1016’30” Lintang Utara sampai dengan 0020’49” Lintang Utara dan

1000 54’21” Bujur Timur sampai dengan 1020 10’59” Bujur Timur

dengan batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten

Bengkalis, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan

Kabupaten Pelalawan, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Bengkalis dan Kota Pekanbaru dan juga sebelah Timur berbatasan

dengan Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pelalawan.

Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah di

bagian timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada

umumnya struktur tanah terdiri dari tanah podsolik merah kuning dari

batuan dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam

bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Daerah ini beriklim tropis dengan

suhu udara berkisar antara 250 – 320 C. Selain dikenal dengan Sungai

Siak yang membelah wilayah Kabupaten Siak, daerah ini juga terdapat

banyak tasik atau danau yang tersebar di beberapa wilayah kecamatan.

Tasik atau danau ini merupakan salah satu potensi daerahyang belum

dikelola dengan baik disamping sumber daya alam lainnya, terutama

dari minyak bumi, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertanian yang

didukung oleh kegiatan industri skala besar dan industri kecil

menengah (Profil Kesehatan Kabupaten Siak, 2011).


53

2) Kependudukan

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, jumlah penduduk

Kabupaten Siak sebesar 388.506 orang, yang terdiri dari 203.394

laki-laki dan 185.112 perempuan. Jumlah rumah tangga 94.509 KK,

dengan rata-rata 4,11 jiwa/kk. penyebaran penduduk di Kabupaten

Siak sangat tidak merata. Kecamatan Tualang dengan luas wilayah

343,6 km2 jumlah penduduknya sebanyak 102.763 orang sementara

Kecamatan Sungai Mandau dengan luas wilayah 1.705 km2 jumlah

penduduknya hanya 5.486 orang.

Jumlah penduduk menurut golongan umur di Kabupaten Siak

tahun 2009-2011dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1
Jumlah penduduk menurut golongan Umur Kabupaten Siak
tahun 2009-2011

No Tahun Golongan umur jumlah

0-4 5-14 15-44 45-64 >65

1 2009 43.995 82.729 199.912 46.996 7.986 381.618

2 2010 44.932 82.960 200.193 47.853 8.808 384.746

3 2011 45.304 83.370 201.125 48.752 9.855 388.506

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Komposisi penduduk Kabupaten Siak menurut kelompok umur,

menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda (0-14 tahun)

sebesar 35,23%, yang berusia produktif (15-64 tahun) sebesar 64,34%

dan yang berusia tua (≥ 65 tahun) sebesar 1,43%. Dengan demikian


54

maka angka beban tanggungan (Dependency Ratio) penduduk

Kabupaten Siak pada tahun 2011 sebesar 57,88%.

Untuk mengetahui persebaran dan kepadatan penduduk di

Kabupaten Siak dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2
Luas Daerah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk Dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kecamatan Kabupaten Siak Tahun 2011

No Kecamatan Luas Jumlah Jumlah Jumlah Kepadatan

wilayah desa kelurahan penduduk penduduk

(km2) (jiwa/km2)

1 Siak 894,17 6 2 21.522 24,07

2 Sungai apit 1.346,33 14 1 27.885 20,71

3 Minas 346,35 4 1 23.943 69.13

4 Tualang 343,60 7 1 102.763 299,08

5 Sungai mandau 1.705 9 0 5.486 3,22

6 Dayun 232,24 11 0 28.673 123,46

7 Kerinci Kanan 128,66 12 0 23.315 181,21

8 Bunga Raya 151,00 10 0 22.412 148,42

9 Koto Gasib 704,70 10 0 18.247 25,89

10 Kandis 4493,657 3 65.257 43,69

11 Lubuk Dalam 155,09 6 0 17.782 114,66

12 Sabak Auh 73,38 8 0 11.323 154,31

13 Mempura 437,45 7 0 13.986 31,97

14 Pusako 544 7 0 5.912 10,86

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Siak

Tingkat kepadatan penduduk tahun 2011 sebesar 45,41 jiwa per

km2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan


55

Tualang yakni 299,08 jiwa per km2 dan terendah di Kecamatan

Sungai Mandau yakni 3.22 jiwa per km2.

3) Sosial Ekonomi

Menurut situs Riau Online, Produk Domestik Bruto (PDB) per

kapita Kabupaten Siak tahun 2011 sebesar Rp 156,35 juta dan

Kabupaten Siak tercatat sebagai enam Kabupaten terkaya di

Indonesia. Sementara untuk dana bagi hasil, kabupaten Siak

menempati peringkat keempat terbesar atau mencapai Rp 993,2 miliar.

Penerimaan dana bagi hasil Kabupaten Siak ini hanya kalah dari Kutai

Kartanegara, Kalimantan Timur sebesar Rp 2,56 triliun, Bengkalis

(Riau) Rp 1,51 triliun, dan Kutai Timur (Kaltim) Rp 1,05 triliun.

Berdasarkan Keputusan Bupati Kabupaten Siak Nomor

319a/HK/KPTS/2009, masih terdapat 27 desa dengan kriteria terpencil

dan 2 (dua) desa dengan kriteria sangat terpencil. Penetapan kriteria

terpencil dan sangat terpencil berdasarkan pada Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VIII/2007 tentang Kriteria

Sarana Pelayanan Kesehatan Terpencil dan Sangat Terpencil dengan

memperhitungkan letak geografis, sarana transportasi dan sosial

ekonomi masyarakat.

Tingkat pendidikan tahun 2011 di Kabupaten Siak jumlah

terbesar adalah tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Oleh karena itu,


56

banyak penduduk setempat yang bermata pencaharian sebagai petani

atau berkebun.

Tabel 4.3
Tingkat Pendidikan di Kabupaten Siak Tahun 2011

NO Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Sekolah Dasar 4.215

2 SLTP/MTS 1.822

3 SMA/MA 1.520

4 Akademi/Diploma 1.4 70

5 Universitas 1.400

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Siak,2011

4) Sarana Kesehatan

Sarana Kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, serta sarana

kesehatan lainnya telah menjangkau sebagaian masyarakat dengan

semua pelayanan terbaiknya.Jumlah sarana Kesehatan di Kabupaten

Siak untuk memenuhi pelayanan Kesehatan masyarakat pada tahun

2011 tercatat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4
Jumlah Sarana Kesehatan di Kabupaten Siak Tahun 2011

NO Sarana Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit Umum Daerah 1

2 Puskesmas 14

3 Sarana Kesehatan Lainnya/Balai Pengobatan 44

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel 4.4 dapat dilihat, bahwa Puskesmas yang terdapat di

Kabupaten Siak sebanyak 14 Puskesmas.


57

b. Informasi tentang Epidemiologi Penyakit DBD

a) Distribusi Penderita DBD Menurut Umur

Tabel 4.5
Distribusi Jumlah Penderita Penyakit DBD Menurut Golongan Umur di
Kabupaten Siak Tahun 2009-2011

Gol. Umur 2009 2010 2011

(th)

Penderita Penderita penderita

0-4 17 5 29

5-14 48 28 73

15-44 59 30 85

45-64 29 4 23

>65 35 11 35

Sumber : laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penderita penyakit DBD

tertinggi tiap tahunnya adalah pada golongan umur 15 – 44 tahun dan

terendah pada golongan umur 0 – 4 tahun.

Tabel 4.6
Distribusi Jumlah Penderita dan Angka Insiden Penyakit DBD
Menurut Golongan Umur di Kabupaten Siak Tahun 2009-2011

Gol. 2009 2010 2011

Umur

(th)

J.penduduk P AI J.penduduk P AI J.penduduk P AI

0-4 43.995 17 3,8 44.932 5 1,1 45.304 29 6,4

5-14 82.729 48 5,8 82.960 28 3,4 83.370 73 8,7

15-44 199.912 59 2,9 200.193 30 1,5 201.125 85 4,2


58

45-64 46.996 29 6,1 47.853 4 0,8 48.752 23 4,7

>65 7.986 35 43,8 8.808 11 12,4 9.885 35 35,4

Sumber : laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel dapat diketahui bahwa angka insiden DBD selama tiga

tahun berfluktuasi, untuk tahun 2009 angka insiden tertinggi pada

golongan > 65 tahun (43,8 per 10000 penduduk) dan terendah

golongan 15-44 tahun (2,9 per 10000 penduduk). Tahun 2010 angka

insiden tertinggi pada golongan > 65 tahun (12,4 per 10000 penduduk)

dan terendah pada golongan 45 – 64 tahun (0,8 per 10000 penduduk).

Tahun 2011 angka insiden tertinggi pada golongan > 65 tahun ( 35,4

per 10000 penduduk) dan yang terendah pada golongan 15 – 44 (4,2

per 10000 penduduk).hal ini berarti kasus penyakit DBD di Kabupaten

Siak sudah menyerang pada semua golongan umur.

b) Distribusi Penderita DBD Menurut Jenis kelamin

Tabel 4.7
Jumlah Penderita DBD Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Siak Tahun
2009-2011

Jenis Kelamin

Tahun Laki-laki Perempuan

penderita Penderita

2009 118 70

2010 53 25

2011 107 138

Sumber : laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011


59

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kejadian DBD menurut jenis

kelamin dari tahun 2009- 2010 tertinggi pada laki-laki dan pada tahun

2011 tertinggi terjadi pada perempuan.

c) Distribusi Penderita DBD Menurut Tempat

Distribusi penderita DBD menurut Kecamatan di Kabupaten Siak

dari tahun 2009-2011Kecamatan Perawang merupakan Kecamatan

tertinggi angka insiden DBD kecuali pada tahun 2011.

Tabel 4.8
Distribusi Jumlah Penderita dan Angka Insiden Penyakit DBD Menurut
Kecamatan dan Puskesmas di Kabupaten Siak Tahun 2009-2011

2009 2010 2011

Kecamatan Puskesmas JP P AI JP P AI JP P AI

Siak Siak 21.330 13 6,0 21.421 9 4,2 21.522 24 11.1

Sungai Apit Sungai Apit 27.668 8 2,8 27.725 8 2,8 27.885 27 9,6

Minas Minas 23.665 20 8,4 23.715 8 3,3 23.943 33 13,7

Tualang Tualang 102.598 9 0,8 102.675 3 0,2 102.763 8 0,7

Perawang 47 4,5 21 2,0 42 4,0

Sungai Sungai 5.376 2 3,7 5.425 0 - 5.486 0 -

Mandau Mandau

Dayun Dayun 28.512 15 5,2 28.597 6 2,0 28.673 19 6,6

Kerinci Kerinci 23.283 5 2,1 23.265 2 0,8 23.315 13 5,5

Kanan Kanan

Bunga Raya Bunga Raya 22.277 2 0,8 22.353 0 - 22.412 0 -

Koto Gasib Koto Gasib 18.061 4 2,2 18.134 10 5,5 18.247 5 2,7

Kandis Kandis 65.052 37 5,6 65.119 11 1,6 65.257 45 6,8

Lubuk Dalam Lubuk Dalam 17. 542 20 11,4 17.655 0 - 17.782 13 7,3
60

Sabak Auh Sabak Auh 11.139 3 2,6 11.212 0 - 11.323 2 1,7

Mempura Mempura 13.756 3 2,1 13.823 1 0,7 13.986 14 10,0

Pusako - 5.775 - - 5.854 - - 5.912 - -

Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel di atas angka insiden tertinggi pada tahun 2009 terdapat

pada Kecamatan Lubuk Dalam Khususnya di Puskesmas Lubuk

Dalam (11,4 per 10000 penduduk), terendah pada Kecamatan

Tualang khususnya Puskesmas Tualang dan Kecamatan Bunga Raya

di Puskesmas Bunga Raya (0,8 per 10000 penduduk). Pada tahun

2010 tertinggi pada di Kecamatan Siak khususnya di Puskesmas Siak

(4,2 per 10000 penduduk), terendah di Kecamatan Lubuk Dalam,

Sabak Auh, Bunga Raya dan Sungai Mandau (0 per 10000 penduduk).

Sedangka pada tahun 2011 tertinggi di Kecamatan Minas khususnya

Puskesmas Minas (13,7 per 10000 penduduk) dan terendah di

Kecamatan Bunga Raya, Sungai Mandau (0 per 10000 penduduk).

d) Distribusi Penderita Menurut Waktu.

Jumlah penderita DBD selama tiga tahun dapat dilihat pada tabel

4.9 dibawah ini.


61

Tabel 4.9
Distribusi Jumlah Penderita Penyakit DBD Per Bulan di Kabupaten Siak
Tahun 2009-2011

Jumlah penderita

perbulan

Bulan 2009 2010 2011

Januari 17 4 27

Februari 14 4 14

Maret 13 5 23

April 14 3 14

Mei 12 3 23

Juni 15 6 15

Juli 10 5 20

Agustus 21 9 21

September 16 9 16

Oktober 20 14 26

November 26 9 26

Desember 10 7 20

Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penderita penyakit

DBD di Kabupaten Siak selama tahun 2009-2011 terjadi setiap

bulannya dari bulan januari sampai bulan desember. Kasus tertinggi

pada tahun2009 terjadi pada bulan november, tahun 2010 pada bulan

oktober dan pada tahun 2011 bulan oktober, november.


62

e) Kecendrungan Wilayah Endemis di Kabupaten Siak.

Berdasarkan hasil pengamatan daerah rawan DBD di Kabupaten

Siak selama tahun 2009-2011 dari Kecamatan yang ada di wilayah

Kabupaten Siak tidak seluruhnya merupakan Kecamatan Endemis,

seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.10.

Tabel 4.10
Jumlah Kecamatan Endemis, Sporadis, Dan Potensial Penyakit DBD di
Kabupaten Siak Tahun 2009-2011

Penderita

NO Kecamatan 2009 2010 2011 Keterangan

1 Siak 13 9 24 Endemis

2 Sungai Apit 8 8 27 Endemis

3 Minas 20 8 33 Endemis

4 Tualang 56 24 50 Endemis

5 Sungai Mandau 2 0 0 Potensial

6 Dayun 15 6 19 Endemis

7 Kerinci Kanan 5 2 13 Endemis

8 Bunga Raya 2 0 0 Potensial

9 Koto Gasib 4 10 5 Endemis

10 Kandis 37 11 45 Endemis

11 Lubuk Dalam 20 0 13 Sporadis

12 Sabak Auh 3 0 2 Sporadis

13 Mempura 3 1 14 Endemis

14 Pusako - - - -

Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tidak semua kecamatan yang

ada di Kabupaten Siak yang endemis terhadap penyakit DBD. Daerah


63

endemis tertinggi adalah kecamatan Tualang dan kecamatan terendah

endemis DBD adalah Kecamatan Mempura.

c. Pelaksanaan Kegiatan Program P2DBD

1) Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi

Kegiatan penyelidikan epidemiologi dilaksanakan pada 20 rumah

disekitar rumah penderita dan dilakukan pemeriksaan jentik, kemudian hasil

pemeriksaan tersebut dicatat pada formulir penyelidikan epidemiologi (PE)

dan diketahui oleh ketua puskesmas yang selanjutkan dilaporkan ke Dinas

Kesehatan Kabupaten Siak dalam waktu secepatnya.

Pelaksanaan kegiatan penyelidikan epidemioligi di Kabupaten Siak

selama 3 tahun dapat dilihat pada tabel 4.11

Tabel 4.11.

Hasil Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi

di Kabupaten Siak Tahun 2009 – 2011

Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi


Tahun
Jumlah Kasus Jumlah PE %

2009 188 183 91,80

2010 78 73 93,51

2011 245 172 70,24

Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa rata-rata pelaksanaan

kegiatan penyelidikan epidemiologi di Kabupaten Siak yang

dilaksanakan pada tahun 2009 sebesar 91,80% kemudian terjadi


64

peningkatan pada tahun 2010 sebesar 93,51% dan pada tahun 2011

terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 70,24% dari jumlah

kasus.

2) Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala

Pemantauan jentik berkala (PJB) yang dilaksanakan di

Kabupaten Siak bertujuan untuk memantau pelaksanan

Pemberantasan sarang nyamuk oleh masyarakat. Kegiatan

pemantauan jentik berkala yaitu pemeriksaan terhadap

penampungan air pada 100 rumah yang diambil secara rondom

sampling disetiap kecamatan dan tempat umum yang dilaksanakan

secara rutin empat kali setahun. Kegiatan tersebut dilaksanakan

oleh petugas Puskesmas (kesling). Pelaksanaan kegiatan PJB di

Kabupaten Siak tahun2009-2011 dapat dilihat pada tabel 4.12.

dibawah ini.

Tabel 4.12
Hasil Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala di Kabupaten Siak
Tahun 2009-2011

Angka Bebas Jentik

Tahun Triwulan I Triwulan II Triwulan Triwulan

III IV

2009 84,25 86,42 88,17 88,85

2010 74,83 86,58 89,25 95,58

2011 80,75 87,59 85, 35 89,22

Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011


65

Dari tabel diatas dapat dilihat bawa rata- rata dari angka bebas

jentik pada masing- masing tahun tidak memenuhi syarat angka bebas

jentik target nasional > 95 %.

3) Pelaksanaan Kegiatan Abatesasi

Kegiatan abatesasi oleh kader didampingi oleh petugas

Puskesmas, sambil pelaksanaan abatesasi oleh kader juga

dilaksanakan penyuluhan tentang pemberantasan sarang nyamuk

(PSN) dan cara menaburkan bubuk abate. Waktu untuk

melaksanakan kegiatan abatesasi dibutuhkan dua hari, biasanya

dilakukan pada awal triwulan dengan mengunjungi rumah-rumah

pada pagi hari dan sore hari.

4) Pelaksanaan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Gerakan PSN DBD dilaksanakan oleh masyarakat bersama

pemerintah. Pelaksanaannya dilaksanakan melalui kerjasama lintas

program dan lintas sektoral yang dikoordinir oleh kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten Siak . gerakan PSN DBD dilaksanakan

dengan pendekatan edukatif dan persuasif oleh petugas melalui

berbagai kegiatan penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat.

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan pelaksanaan kegiatan program P2DBD dengan aangka

Insiden DBD
66

Tujuan pelaksanaan program pemberantasan penyakit DBD salah satunya

adalah untuk menurunkan anka Insiden DBD. Untuk mengetahui ada

tidaknya hubungan antara pelaksanaan program dengan angaka Insiden

DBD dilakukan uji korelasi pearson dengan menggunakan program

komputer.

1.) Hubungan antara penyelidikan Epidemiologi dengan angka

Insiden DBD

Tabel 4.13

Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi

Dengan Angka Insiden DBD Tahun 2009-2011

Tahun pelaksanaan Kegiatan A.I. per 10000 r p.value

Penyelidikan Epidemiologi (%) Penduduk

2009 91.80 1.5 -0,436 0,456

2010 93.51 1,9

2011 70,24 1,3

Sumber : laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, 2011

Dari hasil perhitumham didapatkan angka kofisien korelasi (r)=-0,436 dan

p value= 0,456 karena p value >0,05, maka tidak terdapat hubungan

segnifikan antara penyelidikan Epidemiologi dengan Angka Insiden DBD,

serta nilai korelasi bernilai negatif berarti antara angka hasil penyelidikan

Epidemiologi (PE) yang makin tinggi belum tentu menyebabkan angka

Insiden semakin rendah.


67

2) Hubungan Antara Angka bebas Jentik dengan Angka Insiden DBD

Tabel 4.14

Pelaksanaan Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

Dengan Angka Insiden DBD Tahun 2009– 2011

Tahun Angka Bebas Jentik A.I. per 10000 r p.value

Penduduk

2008 95.02 1,5 -211 0,425

2009 95,08 1,9

2010 95,12 1,3

Sumber : laporan tahunan Dinas kesehatan Kabupaten Siak 2011

Dari hasil perhitungan di dapatkan angka koefisien korelasi (r)=-.211

dengan demikian hubungan antara pelaksanaan pemeriksaan jentik berkala

dengan angka Insiden menunjukan hubungan yang baik dan berpola

negatif artinya semakin tinggi pelaksanaan kegiatan pemeriksaan jentik

berkala semakin rendah angka Insidenya. Dari hasil uji statistik di peroleh

p value 0,425 karena p value >0,05 maka tidak ada hubungan yang

segnifikan antara pemeriksaan jentik berkala dengan angka insiden DBD.

3) Hubungan antara Abatisasi Selektif dengan angka Insiden DBD

Hubungan antara abatisasi Selektif dengan angka Insiden DBD

menunjukan hubungan yang tetap hal ini bisa di lihat dari aangka Insiden

DBD yang relatif tetap dikarenakan masih kurang nya mpemahaman

masyarakant dalam pentingnya pemberian bubuk abate untuk mencegah

penyakit DBD. Kegiatan penyuluhan Abatisasi harus ditingkatkan lagi


68

mengingat belum adanya penurunan yang signifikan terhadap angka

Insiden yang ada.

4). Hubungan Antara Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Angka

Insiden DBD

Hubungan antara Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Angka

Insiden DBD menunjukan hubungan yang tetap. Hal ini bisa dilihat dari

angka Insiden DBD yang relatif tetap dikarenakan masih kurangnya

pemahaman masyarakat dalam pentingnya pemberantasan Nyamuk untuk

mencegah penyakit DBD. Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk harus

di tingkatkan lagi seperti mengingat belum adanya penurunan yang

signifikan terhadap angka Insiden yang ada.

5) Hasil Kuisioner

tabel 4.15

hasil Kuisioner Hubungan Pelaksanaan P2DBD dengan

Angka kejadian DBD di kabupaten Siak 2011

Pernyataan Frekuensi Persentase


(%)

Ya 24 6,72

Tidak 4 1,12

Jumlah 28 100

Sumber : Hasil kuisioner di Kabupaten siak,2011

Pemberian kuisioner dilaksanakan pada 14 puskesmas yang ada di

Kabupaten Siak, untuk 1 puskesmas diberikan 2 lembar kuisioner yang

akan di isi oleh petugas yang bersangkutan dengan penanganan DBD.


69

Pemberian nomor pada puskesmas sama dengan urutan puskesmas tiap

Kecamatan yang ada di lampiran. Aspek – aspek penilaian yang diberikan

dari kuisioner adalah seberapa besar jawaban ya dan tidak yang diberikan

oleh puskesmas yang bersangkutan. Semakin besar persentasi jawaban ya

yang diberikan oleh salah satu puskesmas berarti penanganan terhadap

DBD yang diberikan oleh puskesmas tersebut telah menunjukan upaya

maksimal dalam menangani kasus DBD yang ada di lingkunganya.

C. pembahasan

Program pemberantasn penyakit DBD menurut Depkes tahun 1991 yaitu :

penyelidikan epidemiologi, fogging focus, pemeriksaan jentik berkala,

abatesasi dan fogging massal sebelum musim penularan (FM-SMP).

Berdasarkan surat dari Dit.Jend PPM & PL tanggal 20 agustus 1998 dan surat

dari Dit.Jend PPM &PL tanggal 13 september 2002, sejak tahun 1998 FM-

SMP sudah tidak dilaksanakanlagi, tetapi diganti dengan bulan kewaspadaan

DBD sebelum musim penularan (yang dulu dikenal dengan bulan bakti gerakan

3M) yang dilanjutkan dengan kegiatan 3M atau PSN DBD yang

berkesinambungan.

1. Proses Pelaksanaan Kegiatan Program P2DBD Serta Hubungan

Dengan Angka Insiden DBD.

a. Penyelidikan Epidemiologi

1) Proses dan Hasil Kegiatan


70

Penyelidikan epidemiologi adalah suatu kegiatan pencarian

kasus/tersangka kasus panas yang tidak diketahui penyebabnya

atau penyakit DBD lainnya, pemeriksaan jentik di 20 rumah

sekitar rumah penderita, termasuk mencari sumber penularan.

Penyakit DBD biasanya membentuk pola aktivitas epidemik

setiap 2-5 tahun. Selain itu DBD secara khas menyerang pada

anak - anak, dengan usia saat dirawat 4-6 tahun. Pola kedua

terlihat diarea endemisitas rendah. Serotype dengue multiple

dapat ditularkan pada laju infeksiyang secara relatif (dibawah 5%

populasi pertahun). Pada area ini, orang dewasa yang sebelumnya

terinfeksi rentan terhadap infeksi dengue, dan anak-anak serta

dewasa muda, dengan usia 6-8 tahun juga mudah terkena

(Hadinegoro, S et al, 2006).

Kegiatan penyelidikan epidemiologi di Kabupaten Siak

dilaksanakan oleh petugas Puskesmas, berdasarkan kasus yang

dilaporkan. Pada tahun 2009-2011 tidak semua kasus dilakukan

penyelidikan epidemiologi, tetapi terjadi peningkatan dan

penurunan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan

epidemiologi tiap tahunnya. pada tahun 2009 sebesar 91,80%

kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2010 sebesar 93,51%

dan pada tahun 2011 terjadi penurunan dari tahun sebelumnya

yaitu 70,24%. ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain

keterlambatan penerimaan laporan kasus DBD dari rumah sakit,


71

seringkali alamat kasus yang tidak jelas sehingga kasus tidak

dapat ditemukan dan adanya tugas rangkap dari Puskesmas.

Selain itu kurangnya kepedulian petugas Puskesmas untuk

melaporkan hasil kegiatan penelidikan epidemiologi, sehingga

mempengaruhi cakupan hasil penyelidikan epidemiologi yang

telah dilaksanakan.

2) Hubungan Penyelidikan Epidemiologi dengan Angka Insiden

DBD

Dari hasil perhitungan statistik dengan menggunakan

metode korelasi pearson ( (r)= -0,456 dan p value = 0,436) dapat

diketahui bahwa maka tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara penyelidikan Epidemiologi dengan angka Insiden DBD,

serta nilai korelasi bernilai negatif berarti antara angka hasil

penyidikan Epidemiologi (PE) yang makin tinggi belum tentu

menyebabkan angka Insiden semakin rendah.

Salah satu faktor yang menyebabkan hubungan antara pelaksanaan

PE dengan angka Insiden adalah ketepatan waktu dalam

pelaksanaan PE dan kualitas pelaksanaan PE. Waktu yang tepat

akan mengakibatkan berkurangnya penyebaran penyakit,dan

pelaksanaan PE yang sesuai dengan petunjuk teknis dari depkes

akan mempengaruhi interpretasi dari PE. Hasil pelaksanaan PE

positif langsung dilaporkan dan akan dilaksanakan Fogging Focus.

Pada akhirnya kasus dapat ditemukan sedini mungkin sehingga


72

kasus tidak terus menyebar luas dan angka Insiden cenderung

menurun.

b. Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

1) Proses dan Hasil Kegiatan

Kegiatan PJB yang dilaksanakan dikabupaten siak dari tahun 2009-2011

dalam 1 tahun sekali. Tujuan PJB adalah untuk memantau hasil kegiatan

PSN oleh masyarakat. Hasil PJB yaitu presentase rumah atau bangunan

yang tidak ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti. Hal ini telah sesuai

dengan petunjuk teknis dari Dit.jend PPM & PL depkes yang

mengharuskan pemantau jentik berkala harus dilakukan secara teratur

sekurang-kurangnya 3 bulan untuk mengetahui keadaan populasi jentik

nyamuk penular penyakit demam berdarah.

Angka bebas jentik di kabupaten siak pada tahun 2009- 2011 telah

mencapai target ABJ nasional yaitu telah melebihi 95% yang disyaratkan.

Tetapi walaupun telah mencakupi harus dilakukan peningkatan dalam

penyuluhan dan penggerakan masyarakat untuk PSN dan juga waktu

pelaksanaan dalam program tersebut.

2) Hubungan angka bebas Jentik dengan Angka Insiden DBD

dari hasil perhitungan statistik dengan menggunakan metode korelasi

pearson ( (r) =-0,211 dan p value = 0,425) dapat diketahui bahwa antara

hasil ABJ ada hubungan yang baik dengan Angka Insiden penyakit DBD).
73

Berpola negatif artinya semakin tinggi pelaksanaan kegiatan pemeriksaan

jentik Berkala semakin rendah Angka Insidenya.

Tidak adanya hubungan antara angka bebas jentik dengan angka insiden

DBD diduga karena terjadinya insiden DBD tidak hanya tergantung pada

keberadaan jentik nyamuk, tetapi masih banyak faktor lainya yang

berperan seperti peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan

sarang nyamuk. Walaupun demikian angka bebas jentik tetap perlu

sebagai salah satu komponen penting terjadinya penularan dan alat

pemantau atau kewaspadaan akan terjadinya kasus DBD.

c. Kegiatan Abatisasi

1) Proses dan Hasil Kegiatan

Kegiatan Abatisasi adalah menaburkan bubuk abate ke dalam

container yang berisi air untuk membunuh Jentik nyamuk Aedes

aegypti agar jentik tersebut tidak berkembang biak menjadi dewasa.

Bubuk abate yang digunakan abate SG 1% dengan dosis 10gr/100 liter

air. Abatisasi dilakukan 4 kali dalam setahun yaitu berulang setiap 3

bulan sesuai dengan cara kerja abate. Abatisasi juga dilaksanakan di

desa atau kelurahan rawan untuk setiap tempat yang temukan jentik

(Depkes RI,2009).

Kegiatan abatisasi oleh kader didampingi oleh petugas puskesmas,

sambil pelaksanaan abatisasi oleh kader juga dilaksanakan penyuluhan

tentang pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan cara


74

menanganibejana yang di bubuhi abate. Pelaksanaan dibagi atas

kelompok kader per RT, waktu untuk melaksanakan kegiatan abatisasi

dibutuhkan dua hari, biasanya dilakukan pada awal triwulan dengan

mengunjungi rumah-rumah pada pagi hari atau sore hari.

2) Hubungan antara Abatisasi Selektif dengan Angka Insisen DBD

Hubungan antara Abatisasi dengan angka Insiden DBD menunjukan

hubungan yang tetap. Hal ini bisa di liahat dari Angka Insiden DBD

yang relatif tetap dikarenakan masih kurangnya pemahaman

masyarakat dalam pentingnya pemberian bubuk abate untuk mencegah

penyakit DBD. Kegiatan penyuluhan Abatisasi harus ditingkatkan lagi

mengingat belum adanya penurunan yang segnifikan terhadap Angka

Insiden yang ada.

d. Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

1) Proses dan Hasil Kegiatan

Gerakan PSN DBD adalah seluruh kegiatan masyarakat bersama

pemerintah yang dilakukan secara berkesinambungan untuk mencegah

menanggulangi penyakit DBD. Gerakan PSN DBD ini merupakan

bagian yang terpentingdari keseluruhan upaya mewujudkan kebersihan

lingkungan dan perilaku hidup sehat.

Gerakan PSN DBD yang dilakukan oleh masing- masing rumah

meliputi :
75

(a) Menguras tempat penampungan air minimal 1 minggu sekali atau

bagi daerah yang sulit air dapat membubuhi bubuk abate.

(b) Mengubur baarang – barang bekas yang kemungkinan untuk dapat

bersarang nyamuk.

(c) Menutup rapat-rapat tempat air untuk keperluan rumah tangga.

Pemberantasan sarang nyamuk(PSN) menjadi cara pemberantasan

vektor nyamuk DBD yang diprioritaskan dengan pertimbangan sebagai

berikut :

2. Biaya murah

3. Mudah dilaksanakan

4. Melibatkan masyarakat secara langsung

5. Untuk jangka waktu panjang lebih efektif

Pelaksanaan kegiatan PSN dilakukan memulai kerjasama lintas

program dan lintas sektoral yang dikoordinasi oleh Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten Siak. Gerakan PSN DBD dilaksanakan dengan

pendekatan edukatif dan persuasif oleh petugas melalui berbagai kegiatan

penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat.

2) Hubungan Antara Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan

Angka Insiden DBD

Hubungan antara pemberantasan sarang nyamuk dengan angka

Insiden DBD menunjukan hubungan yang tepat. Hal ini bisa diliahat

dari Angka Insiden DBD yang relatif tetap dikarenakan masih

kurangnya pemahaman masyarakat dalam pentingnya pemberantasan


76

sarang nyamuk untuk mencegah penyakit DBD. Kegiatan

pemberantasan sarang nyamuk harus ditingkatkan lagi seperti gotong

royong mengingat belum adanya penurunan yang signifikan terhadan

angka Insiden yang ada.

e. Hasil kuisioner

Dapat dilihat dari tabel 4.15, bahwa nilai persentase jawaban yang

tertinggi adalah jawaban iya. Hal ini dikarenakan hampir seluruh

Puskesmas Kecamatan merupakan daerah endemis DBD sehingga

perlu adanya upaya maksimal dalam penanganan terhadap DBD.

Sedangkan nilai terkecil terdapat pada jawaban tidak. Hal ini

dikarenakan hanya sedikit terdapat kasus DBD di beberapa

Puksesmas Kecamatan, sehingga upaya – upaya dalam

penanggulangan DBD tidak terlalu di utamakan serta hanya sebatas

dalam upaya pencegahan saja.


77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hubungan plaksanaan kegiatan program pemberantasan penyakit DBD

adalah:

a. Kegiatan penyelidik Epidemoilogi yang dilaksanakan di Kabupaten

Siak pada tahun 2009-2011 tidak sesuai dengan petunjuk Teknis

dari Dirjend PPM dan PL Depkers RI, karena pelaksanaan

penyelidikan Epidemiologi sebagian besar dilaksanakan dalam

kurun waktu >24 jam. Sedangkan hasil kegiatan penyelidikan

Epidemiologi masih belum mencapai target.

b. Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kabupaten siak pada tahun 2009-

2011 belum mencapai target ABJ nasional.

c. Kegiatan penyuluhan Abatisasi harus di tingkatkan lagi mengingat

belum adanya penurunan yang signifikan terhadan angka insoden

yang ada.

d. Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk harus ditingkatkan lagi

seperti gotong royong belum adanya penurunan yang signifikan

terhadap angka insiden yang ada.

2. Berdasarkan hasil kuisioner terlihat bahwa nilai persentase jawaban

yang tertinggi adalah jawaban ya. Hal ini dikarenakan hanpir seluruh

puskesmas Kecamatan merupakan daerah Endemis DBD sehingga

perlu adanya upaya maksimal dalam penanganan terhadap DBD.


78

Sedangkan nilai terkecil terdapat pada jawaban tidak hal ini di

karenakan hanya sedikit terdapat kasus DBD di beberapa puskesmas

Kecamatan, sehingga upaya –upaya dalam penanggulangan DBD tidak

terlalu di utamakan serta hanya sebatas dalam upaya pencegahan saja.

B. Saran

Beberapa saran yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Bagi dinas kesehatan kabupaten Siak sebagai berikut :

a. Mengingat penyakit DBD masih berpotensi untuk menjadi masalah

kesehatan masyaraka di kabupaten siak, maka untuk setiap

kegiatan program (Penyelidikan Epidemiologi, Abatisasi ,Angka

Bebas Jentik dan Pemberantasan Sarang Nyamuk) harus

dilaksanakan dalm waktu yang tepat dan dengan teknik benar

sesuai dengan petunjuk teknis dari Dirjend PPM dan PL Depkes RI

tahun 2006

b. Dengan mengetahui hampir seluruh kecamatan yang ada di

kabupaten siak merupakan daerah endemis DBD, maka perlu

melakukan upaya pencegahan penyakit DBD,dengan cara

meningkatkan peran serta masyarakat dalam memasyarakatkan

gerakan 3M
79

2. Bagi STIKes Hangtuah Pekanbaru dan Penelitian lain :

Sebaiknya dilakukan jenis penelitian lain secara metodologis lebih

kuat untuk melihat hubungan pelaksanaan kegiatan pemberantasan

penyakit DBD dengan angka Insiden DBD seperti studi Kroseksional,

kasus kontrol atau kohort.

Anda mungkin juga menyukai