Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Massa dalam nasofaring seringkali tenang sampai massa ini mencapai ukuran yang cukup mengganggu struktur sekitarnya. Gejala-gejala terdiri dari epistaksis posterior, keluarnya cairan postnasal, sumbatan hidung, dan tuli. Paralisis saraf kranial III, VI, IX, X dan XI dapat terjadi tapi biasanya merupakan gejala terakhir. Otitis media serosa timbul karena obstruksi tuba eustakius. Pada setiap orang dewasa yang timbul otitis media serosa unilateral, massa nasofaring sebaiknya diduga dan nasofaring di periksa.1 Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM, namun Friedberg pertama kali menggunakan istilah angiofibroma pada tahun 1940. Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Biasanya terjadi selama pubertas, paling sering pada anak laki-laki. Tumor ini ditandai oleh obstruksi hidung yang dapat menjadi total, hyponasality, rasa tidak enak sewaktu menelan, obstruksi tuba auditiva dan epistaksis masif.1,2,3 Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat laun membesar. Angiofibroma nasofaring belia juga dikenal dengan beberapa nama, antara lain: nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of aolescence, fibroangioma. Tumor ini dapat menekan jaringan otak sekitarnya dan terjadi perdarahan intraserebral atau ke dalam ruang subaraknoid sedangkan fibroma merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan fibrosa atau jaringan penyambung yang berkembang secara sempurna. Sehingga angiofibroma dapat diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang ditandai oleh proliferasi jaringan fibrosa dan vaskuler.2,3 1.2. Batasan Masalah Refrat ini membahas tentang anatomi nasofaring, definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis dari angiofibroma nasofaring belia

1.3. Tujuan Penulisan Refrat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai angiofibroma nasofaring belia serta gambaran radiologi yang akan ditemui. 1.4. Metode Penulisan Metode yang dipakai dalam penulisan refrat ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk kepada berbagai literature dan makalah ilmiah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang dewasa panjangnya 10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis sphenoid sampai ke vertebra servikal VI pada batas bawah dari kartilago krikoid.1 Faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu sepertiga bagian proksimal, dibatasi oleh palatum mole disebut nasofaring dan dua per tiga bagian distal dibagi secara imaginer menjadi orofaring (mesofaring) dan laringofaring (hipofaring). Nasofaring merupakan saluran yang berfungsi untuk respirasi, berupa rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral, tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah.7

Gambar 1. Anatomi faring

Nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu :7 1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah yaitu jaringan adenoid 2. Pada dinding faringeal lateral dan resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal dengan fossa Rosenmuller 3. Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas kartilago saluran tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang, tampak tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan palatum mole. 4. Koana posterior rongga hidung 5. Foramen kranial yang letaknya berdekatan dan foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glosofaringeus, vagus dan assesorius spinalis 6. Pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, arteri faringeal asenden dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus 7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring 8. Ostium dari sinus sinus sphenoid 2.2. Definisi Angiofibroma nasofaring belia adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1 2.3. Insiden Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05% dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada lakilaki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia di atas 25 tahun.1,2 2.4. Etiologi Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya

teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori ketidakseimbangan hormonal. 1 Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. 1,16 Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.1,16 2.5. Patofisiologi Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah. Tumor ini diperkirakan berasal dari tempat perlekatan spesifik angiofibroma yang terletak di dinding posterolateral atas rongga hidung. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atas nasofaring, dekat dengan margin utama foramen sphenopalatina. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang tepi atas nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa di atas rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari bagian bawah selaput lendir nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior ruang postnasal. Akhirnya, rongga hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan menyimpang ke sisi lain. Pertumbuhan superior diarahkan melalui sinus sphenoid, yang mungkin juga akan terkikis. Sinus cavernosus dapat diserang jika terjadi penyebaran tumor yang lebih lanjut.1,2,4

Gambar 2. Lokasi tumor nasofaring Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri rahang atas bagian belakang masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan businator yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor akan mendorong salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya proptosis (tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut muka kodok) dan atrofi N. optikus.1,2 Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.1 Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan otitis media. Bila tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan penyumbatan pada ostium sinus sehingga terjadi sinusitis. Perluasan tumor ke arah orofaring dapat menekan palatum molle sehingga menimbulkan disfagia yang lambat laun juga akan menyebabkan sumbatan jalan napas.5,6 2.6. Manifestasi Klinis Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya epistaksis masif yang berulang. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman.
6

Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang lanjut datang dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan, sefalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial, dan gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal dengan wajah kodok.1,7 Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:1,7,8,9,10
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling

sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal discharge).

Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat biasanya

menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial.


4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%. 5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius. 6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga

kranial dan tekanan pada kiasma optik.


7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan sekret saat

rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum nasi.
8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain) 9. Nyeri telinga (otalgia) 10. Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), 11. Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke lateral.

Gambar 3. Muka kodok pada penderita angiofibroma nasofaring. 2.7. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan persiapan untuk operasi pengangkatan tumor.10,11 Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan dan kelelahan.11,12 Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.1

2.8. Radioanatomi
8

Gambar 4. Gambaran normal nasofaring, sinus maksilaris dan fossa infratemporal. A. CT scan aksial melalui porsi tengah dari sinus maksilaris (M) dan bagian atas dari prosesus odontoid (13) menunjukan septum nasal, turbinate inferior (1), nasofaring (NP), otot temporalis (2), prosesus coronoid (3), zigoma (4), otot masseter (5), glandula parotis (6), prosesus styloid (7), otot longus kapitis (8), tonus tubarius (9), otot tensor veli palatini (10), plate pterygoid lateral (11), dan otot pterygoid lateral (12). Densitas yang terlihat di belakang torus sebagian besar disebabkan oleh otot levator veli palatini. Tensor veli palatini jarang terlihat sebagai muscle bundle yang berbeda. Sebagian dari densitas yang terlihat dari medial ke lateral pterygoid plate disebabkan oleh otot tensor veli palatini. (10). Dari medial ke lobus dalam glandula parotid (6), ruang simetris densitas rendah parafaring terlihat. Pada posterior prosesus styloid terlihat densitas stuktur neurovascular petrostyloid. B. Scan axial proton-weighed magnetic resonance menunjukan otot quadratus labii superior (open arrow), otot orbicularis oculi dan zigomatikus (white and black arrows), vena angularis (white arrows), tulang zigomatikum (Z), antrum maksilaris (*), turbinasi nasal (N), otot masseter (M), otot pterygoid (P), mandibular (curved arrow), vena retromadibular (arrowhead), arteri veterbra (white and black arrows), otot longus colli (L), eksterna(e) and interna (I), arteri carotis, vena jugularis (J) dan otot temporalis (T).10

2.9. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Polos


9

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.1 Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring belia.12

Gambar 5. Foto polos lateral menunjukkan adanya massa besar di nasofaring yang menggeser diding antral posterior ke anterior (tanda panah). Massa tersebut juga meluas ke sinus sphenoid.22 2. CT Scan Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. 1,12

10

Gambar 6. CT scan non kontras angiofibroma nasofaring belia. A. CT scan axial non kontras memperlihatkan suatu massa jaringan lunak homogen yang membesar di aperture nasal kanan. Suatu komponen yang besar dari tumor terproyeksi secara posterior ke nasofaring dan orofaring. C. CT scan koronal non kontras juga memperlihatkan opasifikasi yang sempurna dan perluasan massa jaringan lunak di aperture nasal kanan. Tumor meluas ke dalam dan memperlebar celah infraorbital kanan (tanda panah). Tumor tersebut (tanda asterisk) telah mendestruksi dasar tulang, terlihat di sinus sphenoid.16

Gambar 7. CT scan axial dengan kontras memperlihatkan massa di nasofaring kiri dan fossa nasal yang telah meluas ke antrum kiri, melebar ke fossa pterigopalatina kiri, dan meluas ke fossa infratemporal kiri (tanda panah). Pasien ini menderita angiofibroma.22

11

Gambar 8. Angiofibroma nasofaring belia meluas ke fossa pterigopalatina. CT scan memperlihatkan pembesaran dari fossa pterigopalatina (small black arrowheads) oleh massa yang meluas. Terdapat perubahan bentuk yang mendorong dinding posterior sinus maksilaris ke anterior. Plat pterigoid terdorong sedikit ke posterior.22 3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna, dan sinus kavernosus).12 Magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan dan menentukan luasnya tumor, terutama dalam kasus keterlibatan intrakranial. Koronal MRI scan menunjukkan perluasan lesi ke sinus kavernosus terlihat pada gambar di bawah.2

12

Gambar 9. Foto koronal MRI angiofibroma nasofaring belia menunjukkan perluasan dari lesi ke sinus kavernosus2

Gambar 10. Gambaran MRI dari seorang laki-laki dengan angofibroma nasofaring belia. Metalic dental braces menyebabkan struktur facial anterior mengalami distorsi pada gambaran T1-weighted yang mengisi kavum nasi (tanda panah) dan nasofaring. Maksilaris anterior dan sebagian dari hidung telah terdistorsi.14

13

Gambar 11. Angiofibroma. Proton-weighted (A) dan T2-weighted (B) axial scans. Tumor tersebut tidak jelas dengan area sinyal yang rendah, mewakili pembuluh darah (tanda panah). C. GRASS (gradient-recalled acquisition in the steady state) gambaran sagital menunjukkan area dengan hiperintensitas (tanda panah) mengindikasikan massa vaskular yang tinggi. Tampak perubahan inflamasi yang nyata pada sinus maksilaris.10 MRI dapat menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik dibandingkan CT scan dan sangat membantu dalam mendeteksi kekambuhan setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan terjadi karena reseksi lengkap dari tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena kekambuhan mungkin terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan tindak lanjut awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis sisa tetapi tidak ada gejala atau massa klinis jelas. 4. Angiografi Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah pemasok utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa pterigomaksila.1
14

Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari arteri bilateral yang berdekatan. Oleh karena itu, arteriografi bilateral arteri karotis interna dan externa diindikasikan pada kebanyakan pasien.20 Kadang dapat dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravascular sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor. Embolisasi preoperatif bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor, tapi mengurangi tejadinya komplikasi perdarahan massif. Seringkali angiografi dan embolisasi dilakukan bersamaan kurang dari 24 jam sebelum operasi karena pada angiofibroma nasofaring dapat terjadi revaskularisasi.20

Gambar 12. A. Angiografi arteri karotis dextra memperlihatkan tumor blush yang mensupplai darah ke tumor (feeding artery). B. Gambaran angiografi postembolisasi.21

15

Gambar 13. A. Angiografi pada arteri maksilaris interna memperlihatkan tumor blush. B. Gambaran angiografi post-embolisasi.21 2.10. Stadium Sistem staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada dua sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut: 1,13 Stage IA Stage IB meluas sedikitnya 1 sinus paranasal. Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila Stage IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita. Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke intrakranial Stage IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus kavernosus. Klasifikasi menurut Fisch: 1,13 Stage I Stage II Stage III : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang. : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau regio parasellar.
16

: Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan

Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan atau fossa pituitari.

2.11. Diagnosis Banding15


1. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

Gambar 14. CT scan axial menunjukkan suatu massa polipoid pada kavum nasi kanan yang meluas ke dalam nasofaring. Massa tersebut tidak meluas ke dalam fossa pterigopalatina atau sinus sphenoid.22 2. Polip koanal (choanal polyp).

Gambar 15. CT scan axial memperlihatkan massa densitas soft tissue di sinus maksilaris kiri yang meluas ke dalam kavum nasi kiri.22

3. Kordoma (chordoma).
17

Gambar 16. Gambaran aksial T2 weighted menunjukkan sinyal tinggi dari kordoma.22 4. Karsinoma nasofaring.

Gambar 17. CT Scan axial karsinoma nasofaring, terlihat massa jaringan lunak (T) di nasofaring sinistra dan meluas hingga ke cavum nasi sinistra.10

18

Gambar 18. Gambaran karsinoma nasofaring pada MRI memperlihatkan lesi infiltratif di fossa Rosenmuller kiri.10 2.12. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien angiofibroma nasofaring dapat berupa tindakan operasi, terapi hormonal dan radioterapi 1. Operasi Operasi merupakan tindakan utama untuk menentukan secara pasti dimana lokasi tumor, perluasannya dan cara pembedahannya. Teknik operasi yang digunakan harus memperhitungkan secara matang efek dari operasi tersebut terutama pada rangka kraniofasial dewasa muda, dimana pertumbuhan tulang tersebut berlanjut hingga usia 20 tahun. Selain itu, operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena risiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser.1,7,14 Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor, selain embolisasi untuk mengurangi perdarahan yang banyak, dapat juga dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan teknik hipotensi.1 2. Radioterapi Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi angiofibroma nasofaring yang rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan.
19

Biasanya dosis sebesar 30 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan Angiofibroma nasofaring yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27 pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak, dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap angiofibroma nasofaring.17 3. Hormonal Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan dalam pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil. Berdasarkan hasil penelitian Gates et al anti-androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide) dapat mengurangi pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor hingga 44 %.2,18 Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler. Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atropi testis. Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari selama sebulan. Menurut hasil penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan stilbestrol.18 2.13. Prognosis

20

Prognosis angiofibroma pada penderita dimana angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 6 % hingga 57%.Salah satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-40 penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami kekambuhan sampai 12 kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar 3%.11,19

BAB III KESIMPULAN

21

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini paling sering terjadi pada anak laki-laki sehingga tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia. Untuk menentukan derajat atau stadium angiofibroma nasofaring saat ini menggunakan klasifikasi Session dan Fisch. Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah. Etiologi dari penyakit ini belum jelas, tapi ada beberapa teori yang diajukan. Teori tersebut antara lain: teori ketidak-seimbangan hormonal, teori genetik ataupun akibat dari jaringan asal. Pemeriksaan penunjang pada angiofibroma nasofaring dapat dilakukan secara konvensional, CT scan, MRI, maupun angiografi. Cara pengobatan termasuk radiasi, operasi, dan terapi hormonal. Sekarang ini pengobatan yang disukai, jika dapat dilakukan, adalah reseksi bedah. Operasi merupakan terapi utama untuk angiofibroma nasofaring juvenil. Selain tindakan operasi, ada juga pilihan terapi lain seperti terapi hormonal dan radioterapi.

DAFTAR PUSTAKA
22

1. Soepardi EA, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala & Leher. Edisi Ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal. 188-90.
2. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Journal [serial on the Internet]. 2011

Date

[cited

2012

November

15th]:

Available

from:

http://www.emedicine.medscape.com/article/872580-overview. 3. Anderson D. Kamus Kedokteran Dorland. 29 ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 100-1, 829. 4. Dhingra, PL. Tumours of Nasopharynx. In: Disease of Ear, Nose, and Throat, Edisi 4. Elsevier. p230-2 5. Tandon, Kackeer. Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of Laryngology and Otology. 1988. 6. Antonelli, Capiello. Diagnosis, Staging and Treatment of Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope, 1987.
7. Adams GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku Ajar

Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997. Hal. 324.


8. Sjahril, Munir. Angiofibroma Nasofaring dalam Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan

Telinga, Hidung Tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1992. 9. Toomey, JM. Cysts and Tumors of the Pharynx in Paparella Otolaryngology. Philadelphia: Saunders, 1973.
10. RH, Miller. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinus. In Disease of the Nose, Throat,

Ear, Head and Neck. Ed. Ballenger, 14th ed, 1993.


11. PS, Pandi. Angifibroma Nasofaring Juvenil dengan Pertumbuhan ke Pipi. Bandung:

Konas Perhati I, 1969.


12. Nicolai P, Berlucci M, Tomenzoli D, et al. Endoscopic Surgery for Juvenille

Angiofibroma: When and How. Laryngoscope. 2003. 13. Gleeson M, Scott-Brown WG. Juvenille Angiofibroma. Head and Neck Tumours. 6th Edition. 1997. p 2437 44.
14. Cummings CW. Angiofibroma. In: Phelps T, editor. Cummings: Otolaryngology: Head &

Neck Surgery. 4th ed: Elsavier Mosby; 2005. 15. Sillers M,.Lay K. Endoscopic Management of Benign Sinonasal Tumors. In: Kountakis S, nerci M, editors. Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. Berlin: SpringerVerlag; 2007. p. 125-37.
23

16. Bull, Kerr. Shacheen Rhinology Scott-Browns Otolaryngology.. London: Butterworth,

1987
17. Green, Mierrau. Tumors of the Head and Neck in Children. New York: 1983.

18. Nongrum HB, Thakar A, Gupta G, Gupta SD. Current Concepts in Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck Surgery. Journal of Ent Master Class. Year Book 2009. Vol 2 Num 1. p 88 95 19. Scholtz AW, Apperonth E, Kammen-Jolly K, et al. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Management and Therapy. Laryngoscope: 2001. 20. Atalar. Mehmet. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma : Radiologic Evaluation and Pre-Operative Embolization. Turkey : 2006
21. Carrau, Ricardo. Juvenile Angiofibroma [serial on the Internet]. 2009 Date [cited 2012

November

15th]:

Available

from

http://www.expertconsultbook.com/expertconsult/b/book.do?method=g.
22. Imaging consult. 2009. Date [cited 2012 November 13th] Available from

http://www.imaging.consult.com/image/topic/dx/Head and Neck?title=Angiofibroma (Head and Neck)&image

24

Anda mungkin juga menyukai