Pembimbing :
dr.Tutik Ida R, M.Kes
KELOMPOK 1
Herlando Junanta K1A006005
Yosefin R K1A006015
Diny Rachma PH K1A006034
Novi Rostikasari K1A006047
Edi Wibowo K1A006059
Eldora Maresaning N K1A006072
Filly Ulfa K K1A006084
Tiarasari Nurjuni Evi K1A006096
Dwi Purnamasari K1A006108
Febry Laurino K1A006120
Octaria Tutut A K1A006134
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis merupakan salah satu penyakit infeksi SSP yang akut dan memiliki angka
kematian dan kecacatan yang tinggi. Diagnosis meningitis sering mengalami keterlambatan
karena gejala dan tanda klinis meningitis tidak spesifik terutama pada bayi. Usia terbanyak
yang menderita meningitis yaitu pada usia 1 4 tahun. Terdapat distribusi kasus yang sama
pada musim kemarau maupun hujan. Penderita dibawa ke RS terutama setelah > 72 jam
setelah sakit dengan penurunan kesadaran apatis hingga koma. Meningitis bakteri dapat
menyebabkan kecacatan pada anak. Kecacatan terutama adalah perkembangan motorik
yang abnormal. Gejala dan tanda klinis meningitis bakteri sangat tidak spesifik terutama pada
bayi dan hal tersebut menimbulkan tingginya angka kecacatan dan kematian (Japardi, 2002).
Meningitis merupakan infeksi dan inflamasi yang mengenai meningens (selaput
otak), yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur. Meningitis berdasarkan
penyebabnya dapat dibagi menjadi :
a. Meningitis bakterial, disebabkan oleh bakteri yang bersifat akut dan sangat berbahaya.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu
Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus,
Streptokokus dan Salmonella typhi.
b. Meningitis virus yaitu meningitis yang disebabkan oleh virus, contohnya yaitu herpes
virus, arbovirus, measles dan varicella.
c. Meningits yang disebabkan oleh bakteri bersifat akut dan sangat berbahaya, penyakit
yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu
Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus,
Streptokokus dan Salmonella typhi.
d. Meningitis karena parasit disebabkan oleh Nigleria fowleri ataupun Acanthamoeba.
Angka kejadian dari bakteri tersebut berbeda menurut umur penderita. Pada
neonatus (0-30 hari) meningitis sering disebabkan oleh E.coli diikuti oleh Streptococcus B
hemoliticcus, Listeria monocytogenes, Staphilococcus aureus dan Streptococcus pneumoni.
Pada bayi (31-60 hari) meningitis disebabkan oleh Streptococcus B hemoliticus diikuti oleh
Haemophilus influenza, Neisseria meningitidis dan gram negatif Enterobacilli. Pada anak 2
bulan sampai 4 tahun meningitis sering disebabkan oleh haemophillus influenza diikuti oleh
Neisseria meningitidis, Staphilococcus aureus, dan pada anak lebih besar dan dewasa sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia diikuti oleh Neisseria meningitidis,
Staphilococcus aureus dan Haemophillus influenza. Angka kejadian dari meningitis
mengalami penurunan di dunia Barat terutama disebabkan oleh meningkatnya derajat sosial
dan higienis personal. Setelah antibiotika mulai digunakan, angka kematian kemudian
mengalami penurunan. Di Amerika menurut survey epidemiologi pada 27 negara bagian dari
tahun 1978-1981 angka kematian untuk meningitis akibat Haemophillus influenza adalah 6%,
untuk Neisseria meningitidis sebesar 10% dan untuk Septrococcus pneumonia 26,3% (Beek
et al, 2006).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif yaitu
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, kuman tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
manusi melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman. Selama terjadi infeksi, kuman
tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan
ke aliran darah. Meningitis typhosa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang
mengenai meningens yang diakibatkan karena keadaaan toksemia berat, kelemahan umum
dan bila perawatan pasien kurang sempurna (Parry et al, 2002).
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada
iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis.
Beberapa negara yang merupakan endemic untuk kejadian demam tifoid yaitu Afrika dan
Asia, Eropa bagian selatan dan timur, Amerika bagian selatan. Di Indonesia demam tifoid
jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di
suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Hal
ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu
yang kurang baik. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi
didapatkan pada anak-anak (Parry, 2005).
Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau
demam tifoid sepanjang tahun, demam ini terutama muncul di musim kemarau. Demam tifoid
dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak yang berusia 5- 9
tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1. Penularan
dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi
makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih.
Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1
minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring
pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Insidensi
demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berkaitan dengan sanitasi lingkungan. Di
daerah rural (Jawa Barat) terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memadai syarat kesehatan
lingkungan.
Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka golongan umur
yang berisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak
umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok khusus di masyarakat yaitu
kelompok anak sekolah, yang kemungkinan besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain
di luar rumah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penularan kemungkinan besar
terjadi di luar rumah. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun
pelacakan demam tifoid di Kompleks Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada
2 orang menderita demam tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa
pengawasan kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan
bimbingan dari para petugas kesehatan terkait (Simanjuntak, 1998).
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga terdapat beberapa
penyakit tropis yang prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Meningitis typhosa merupakan salah satu penyakit infeksi yang terdapat di Indonesia
diakibatkan karena infeksi dari Salmonella typhi yang menginfeksi selaput otak. Referat ini
merupakan salah satu media belajar mahasiswa kedokteran untuk lebih memahami
mengenai suatu penyakit. Tujuan dari referat kali ini yaitu untuk mengetahui :
i. Definisi meningitis typhosa
ii. Etiologi meningitis typhosa
iii. Faktor predisposisi meningitis typhosa
iv. Tanda dan gejala meningitis typhosa
v. Patogenesis meningitis typhosa
vi. Diagnosis meningitis typhosa
vii. Pemeriksaan penunjang dan interpretasi hasil dari pemeriksaan penunjang
meningitis typhosa
viii. Penatalaksanaan meningitis typhosa
ix. Komplikasi meningitis typhosa
x. Prognosis meningitis typhosa
Pada referat kali ini mahasiswa diharapkan dapat lebih mengetahui dan memahami
mengenai penyakit infeksi yang sering terjadi terutama di negara tropis, salah satunya yaitu
meningitis typhosa, sehingga dapat mengurangi terjadinya komplikasi ataupun angka
kematian yang disebabkan karenan meningitis typhosa. Mahasiswa juga dapat mengetahui
mengenai gejala dan tanda yang khas pada pasien meningitis typhosa, serta pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada penyakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Meningitis thyposa adalah radang akut pada selaput otak yang disebabkan oleh
salmonella tertentu yaitu S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, dan kadang-kadang jenis
salmonella yang lain. Infeksi karena s. thypi cenderung lebih berat daripada bentuk
infeksi salmonella yang lain (Swarga, 2008).
2. Struktur Antigen
Meski pada awalnya salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya,
golongan, dan spesiesnya harus diidentifikasi dengan analisis antigen. Seperti
Enterobacteriaceae lain, salmonella memiliki beberapa antigen O dan antigen H.
Beberapa salmonella juga memiliki antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat
menggangu aglutinasi melalui antiserum O dan protein membran terluar/outer
membrane protein yang juga bersifat sebagai antigen . Penjelasan masing-masing
antigen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100C selama 25 jam, alkohol dan asam yang encer.
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi
dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal
yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.
c. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1
jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan
untuk mengetahui adanya karier.
d. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk
difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan
denaturasi pada suhu 85100C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Wardani
et al., 2005)
Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda
merupakan dasar untuk klasifikasi salmonella secara serologik.
3. Klasifikasi
Klasifikasi kelompok Salmonella-Arizona cukup rumit karena organisme ini lebih
merupakan suatu rangkaian kesatuan dibanding dengan spesies tertentu. Sistem
klasifikasi Salmonella terdiri dari tiga spesies utama yaitu : Salmonella typhi (satu
serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih
dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktifitas antigen O dan
antigen H bifasik. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada
manusia dan dapat diisolasi dari hewan berdarah panas adalah golongan Salmonella
cholerasuis, sementara yang lainnya terutama diisolasi dari hewan berdarah dingin
dan lingkungan. Salmonella yang secara rutin diidentifikasi karena penting dalam
klinik adalah S.thypi, S.cholaraesuis, S.parathypi A, dan S.parathypi B. Salmonella ini
dapat diidentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogroup, diikuti
dengan penentuan serotype (Prasetyo et al., 2005).
C. Faktor Predisposisi
Beberapa kondisi pasien dengan otitis media, pneumonia, sinusitis
akut, dan sickle sell anemia dapat meningkatkan kemungkinan terjadi
meningitis. Fraktur tulang tengkorak atau pembedahan spinal dapat
juga menyebabkan meningitis. Selain itu meningitis juga dapat terjadi
pada individu dengan gangguan sistem imun, seperti AIDS dan
defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat.
Meningitis thyposa lebih sering ditemukan pada anak-anak mungkin
disebabkan oleh sistem imun anak-anak yang belum matang dan
masih rentan terhadap penyakit infeksi (Arisandi, 2008).
D. Manifestasi Awal Demam Tifoid
Infeksi awal meningitis thyposa dimulai dengan gejala-gejala demam tifoid. Masa
inkubasinya rata-rata bervariasi antara 7-20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3 hari
dan terlama adalah 60 hari. Lamanya masa inkubasi berhubungan dengan jumlah kuman
yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien. Walaupun
gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan, antara
lain :
- Demam satu minggu atau lebih;
- Gangguan pencernaan; dan
- Gangguan kesadaran (Rampengan et al., 1997).
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Demam yang
terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang
mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
remiten (39-41C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid
kongenital. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin
disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat (Rampengan
et al., 1997; Darmowandowo, 2002).
Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih
pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan
terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (Rampengan et al., 1997).
Gambar 2.3. Lidah Tifoid
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat, serta
hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya
mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan
kadang-kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas. Limpa pada umumnya
juga sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama. Pembesaran
ini harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada
tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak (Darmowandowo, 2002).
Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan
menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah
dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis
neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa,
serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada
tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala
tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila
terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya
sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan tanda-tanda
perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis (20.000-
25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan fisiknya lebih
pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka kematian yang tinggi (12,5%)
(Rampengan et al., 1997).
Gambar 2.2. Pasien Demam tifoid
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Demam tifoid
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
1) Uji widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi
tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
5) Pemeriksaan Dipstik
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (Prasetyo et
al., 2005).
2. Meningitis Thyposa
5. Lumbal Pungsi
Dengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah menginfeksi
meningens, apabila meningitis typhoid akan diperoleh Salmonella typhi pada lumbal
pungsi tersebut (Beek et al, 2006).
Hasil pada pemeriksaan cerebro spinal fluid (CSF) yaitu sebagai berikut:
Tipe Meningitis Glukosa Protein Sel
Bakteri (akut) Rendah Tinggi PMN > 300/mm3
Virus (akut) Normal Normal atau tinggi Mononuklear < 300/mm3
Tuberculous Rendah Tinggi PMN dan Mononuklear <
300/mm3
Jamur Rendah Tinggi Hanya ditemukan
mononuklear
Sumber : Beek et al, 2006.
BAB III
PEMBAHASAN
Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S. Parathypi) masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. HCL di dalam
lambung akan berperan sebagai penghambat awal masuknya bakteri ini ke dalam usus.
Salmonella yang masuk bersama-sama dengan cairan akan menyebabkan terjadinya
pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme yang
masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung,
sehingga Salmonella sp akan lebih mudah masuk ke dalam usus penderita. Bila respon
imunitas humoral mukosa kurang baik (IgA) usus kurang baik, maka kuman kemudian
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propria Salmonella akan bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih
banyak Salmonella (Widodo, 2006).
terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus
terbentuk eksudat
(pada lapisan luar berisi leukosit PMN, lapisan dalam berisi makrofag)
D. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan umumnya adalah seperti pada penatalaksanaan demam
tifoid yaitu sebagai berikut :
1. Pengobatan kausal dapat menggunakan obat pilihan sebagai berikut :
a. kloramfenikol dengan dosis 4x500 mg per hari dapat diberikan secara oral atau
intravena sampai dengan 7 hari bebas panas
b. tiamfenikol dengan dosis yang hampir sama dengan kloramfenikol dengan efek
samping hematologi yang lebih rendah
c. kotrimoksasol dengan dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet
mengandung 80 mg trimetropin dan 400 mg sulfametoksasol selama 2 minggu
d. ampisilin dan amoksisilin dengan dosis 50-150mg/kgBB/hari selama 2 minggu
e. seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan perinfus
sekali sehari selama 3-5 hari.
f. golongan fluorokuinolon dengan beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberian adalah sebagai berikut :
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
2. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi, hipoglikemi
3. Pengobatan dietetik tergantung pada kondisi penderita, bila perlu makanan
lunak/cair yang mudah dicerna dan tinggi kalori
4. Tirah baring bila perlu isolasi penderita
5. Pada kasus berat dapat diberikan deksametason 3x5 mg dengan antibiotik yang
sesuai
6. Transfusi darah sesuai keperluan (Widodo, 2006).
Pada kasus meningitis diperlukan pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi yang
dapat diberikan langsung melalui pembuluh darah vena. Penderita meningitis
memerlukan observasi ketat di rumah sakit untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah
vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid
secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan untuk
pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang
yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium (Harijanto, 2006).
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-
anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu
haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua
tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit (Harijanto, 2006).
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan
untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum
bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan
diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit
(Harijanto, 2006).
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah
orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka
ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami
reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis
lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan
vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara
mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas,
orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi
sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan
orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin
tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian
antibiotik (Harijanto, 2006).
G. Prognosis
Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain:
1. Jenis kuman dan hebatnya penyakit pada permulaannya
2. Umur penderita
Pada pasien anak anak dan > 50 tahun memiliki lebih banyak resiko kematian
karena penyakit ini.
3. Lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat
Gejala yang muncul seperti kejag yang lebih dari 24 jam akan memperbesar resiko
terjaninya kematian.
4. Kecepatan ditegakkannya diagnosis
5. Antibiotika yang diberikan
6. Kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis (Harrison, 2005).
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella sp.
2. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul
3. Meningitis thyposa adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh salmonella
tertentu
4. Meningitis thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam
tifoid yang dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian bila tidak
segera diobati
5. Penatalaksanaan demam tifoid dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik, terapi
suportif, dietetik, tirah baring dan memperbaiki keadaan umum pasien, khususnya
untuk meningitis diberikan antibiotika dosis tinggi.
B. Saran
1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering terjadi di masyarakat
dengan komplikasi di antaranya adalah meningitis thyposa, sehingga perlu perhatian
khusus dari semua pihak untuk bekerja sama menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit ini
2. Dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan baik dalam cara
penulisan maupun isi tulisan sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk
perbaikan penyusunan referat selanjutnya dengan topik yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Meningitis. Pontianak :
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan
Beek, Diederik., Gans, Jan., Tunkel, Allan., Wijdicks, Eelco. 2006. Community acquired
bacterial meningitis in adults with bacterial meningitis. New England Journal of
Medicine. Hal : 1849
Darmowandowo, W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI,
2002:367-75.
Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders. 1991. Kapita Selekta Kedokteran FKUI.
Jakarta : EGC
Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Harijanto. 2006. Malaria. Dalam : Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III
Edisi IV. Jakarta : BP FKUI; 1754-5
Mardjono, Mahar, dan Priguna Sidharta. 1994. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat;
318-9
Parry, Christopher. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever.
Cambridge University Press. Hal : 3.
Parry, Christopher., Hien, Tor., Dougan, Gordon., White, Nicholas., Farrar, Teremy. 2002.
Typhoid fever. New England Journal of Medicine. 347 (22). Hal : 1770.
Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. 2005. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
[5 pages, cited October 6 th 2009 : 01.25 pm) Available at :
http://74.125.153.132/search?
q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis
+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC; 53-
72.
Swarga, Tirta. 2008. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.
Simanjuntak, Cyrus. (1998). Demam tifoid, epidemiologi, dan perkembangan penelitiannya.
Cermin Dunia Kedokteran, 83. Hal : 2.
Widodo, Djoko. 2006. Dalam : Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 :
1774.