Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

BLOK TROPICAL MEDICINE


MENINGITIS TYPHOSA

Pembimbing :
dr.Tutik Ida R, M.Kes

KELOMPOK 1
Herlando Junanta K1A006005
Yosefin R K1A006015
Diny Rachma PH K1A006034
Novi Rostikasari K1A006047
Edi Wibowo K1A006059
Eldora Maresaning N K1A006072
Filly Ulfa K K1A006084
Tiarasari Nurjuni Evi K1A006096
Dwi Purnamasari K1A006108
Febry Laurino K1A006120
Octaria Tutut A K1A006134

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2009
BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan salah satu penyakit infeksi SSP yang akut dan memiliki angka
kematian dan kecacatan yang tinggi. Diagnosis meningitis sering mengalami keterlambatan
karena gejala dan tanda klinis meningitis tidak spesifik terutama pada bayi. Usia terbanyak
yang menderita meningitis yaitu pada usia 1 – 4 tahun. Terdapat distribusi kasus yang sama
pada musim kemarau maupun hujan. Penderita dibawa ke RS terutama setelah > 72 jam
setelah sakit dengan penurunan kesadaran apatis hingga koma. Meningitis bakteri dapat
menyebabkan kecacatan pada anak. Kecacatan terutama adalah perkembangan motorik
yang abnormal. Gejala dan tanda klinis meningitis bakteri sangat tidak spesifik terutama pada
bayi dan hal tersebut menimbulkan tingginya angka kecacatan dan kematian (Japardi, 2002).
Meningitis merupakan infeksi dan inflamasi yang mengenai meningens (selaput
otak), yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur. Meningitis berdasarkan
penyebabnya dapat dibagi menjadi :
a. Meningitis bakterial, disebabkan oleh bakteri yang bersifat akut dan sangat berbahaya.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu
Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus,
Streptokokus dan Salmonella typhi.
b. Meningitis virus yaitu meningitis yang disebabkan oleh virus, contohnya yaitu herpes
virus, arbovirus, measles dan varicella.
c. Meningits yang disebabkan oleh bakteri bersifat akut dan sangat berbahaya, penyakit
yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu
Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus,
Streptokokus dan Salmonella typhi.
d. Meningitis karena parasit disebabkan oleh Nigleria fowleri ataupun Acanthamoeba.
Angka kejadian dari bakteri tersebut berbeda menurut umur penderita. Pada
neonatus (0-30 hari) meningitis sering disebabkan oleh E.coli diikuti oleh Streptococcus B
hemoliticcus, Listeria monocytogenes, Staphilococcus aureus dan Streptococcus pneumoni.
Pada bayi (31-60 hari) meningitis disebabkan oleh Streptococcus B hemoliticus diikuti oleh
Haemophilus influenza, Neisseria meningitidis dan gram negatif Enterobacilli. Pada anak 2
bulan sampai 4 tahun meningitis sering disebabkan oleh haemophillus influenza diikuti oleh
Neisseria meningitidis, Staphilococcus aureus, dan pada anak lebih besar dan dewasa sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia diikuti oleh Neisseria meningitidis,
Staphilococcus aureus dan Haemophillus influenza. Angka kejadian dari meningitis
mengalami penurunan di dunia Barat terutama disebabkan oleh meningkatnya derajat sosial
dan higienis personal. Setelah antibiotika mulai digunakan, angka kematian kemudian
mengalami penurunan. Di Amerika menurut survey epidemiologi pada 27 negara bagian dari
tahun 1978-1981 angka kematian untuk meningitis akibat Haemophillus influenza adalah 6%,
untuk Neisseria meningitidis sebesar 10% dan untuk Septrococcus pneumonia 26,3% (Beek
et al, 2006).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif yaitu
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, kuman tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
manusi melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman. Selama terjadi infeksi, kuman
tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan
ke aliran darah. Meningitis typhosa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang
mengenai meningens yang diakibatkan karena keadaaan toksemia berat, kelemahan umum
dan bila perawatan pasien kurang sempurna (Parry et al, 2002).
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada
iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis.
Beberapa negara yang merupakan endemic untuk kejadian demam tifoid yaitu Afrika dan
Asia, Eropa bagian selatan dan timur, Amerika bagian selatan. Di Indonesia demam tifoid
jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di
suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Hal
ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu
yang kurang baik. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi
didapatkan pada anak-anak (Parry, 2005).
Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau
demam tifoid sepanjang tahun, demam ini terutama muncul di musim kemarau. Demam tifoid
dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak yang berusia 5- 9
tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1. Penularan
dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi
makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih.
Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1
minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring
pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Insidensi
demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berkaitan dengan sanitasi lingkungan. Di
daerah rural (Jawa Barat) terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memadai syarat kesehatan
lingkungan.
Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka golongan umur
yang berisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak
umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok khusus di masyarakat yaitu
kelompok anak sekolah, yang kemungkinan besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain
di luar rumah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penularan kemungkinan besar
terjadi di luar rumah. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun
pelacakan demam tifoid di Kompleks Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada
2 orang menderita demam tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa
pengawasan kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan
bimbingan dari para petugas kesehatan terkait (Simanjuntak, 1998).
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga terdapat beberapa
penyakit tropis yang prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Meningitis typhosa merupakan salah satu penyakit infeksi yang terdapat di Indonesia
diakibatkan karena infeksi dari Salmonella typhi yang menginfeksi selaput otak. Referat ini
merupakan salah satu media belajar mahasiswa kedokteran untuk lebih memahami
mengenai suatu penyakit. Tujuan dari referat kali ini yaitu untuk mengetahui :
i. Definisi meningitis typhosa
ii. Etiologi meningitis typhosa
iii. Faktor predisposisi meningitis typhosa
iv. Tanda dan gejala meningitis typhosa
v. Patogenesis meningitis typhosa
vi. Diagnosis meningitis typhosa
vii. Pemeriksaan penunjang dan interpretasi hasil dari pemeriksaan penunjang
meningitis typhosa
viii. Penatalaksanaan meningitis typhosa
ix. Komplikasi meningitis typhosa
x. Prognosis meningitis typhosa
Pada referat kali ini mahasiswa diharapkan dapat lebih mengetahui dan memahami
mengenai penyakit infeksi yang sering terjadi terutama di negara tropis, salah satunya yaitu
meningitis typhosa, sehingga dapat mengurangi terjadinya komplikasi ataupun angka
kematian yang disebabkan karenan meningitis typhosa. Mahasiswa juga dapat mengetahui
mengenai gejala dan tanda yang khas pada pasien meningitis typhosa, serta pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada penyakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Meningitis thyposa adalah radang akut pada selaput otak yang disebabkan oleh
salmonella tertentu yaitu S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, dan kadang-kadang
jenis salmonella yang lain. Infeksi karena s. thypi cenderung lebih berat daripada bentuk
infeksi salmonella yang lain (Swarga, 2008).

B. Mikrobiologi Salmonella typhi


1. Morfologi dan Identifikasi
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Salmonella typhi sering bersifat patogen
untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Bakteri ini ditularkan dari
hewan atau produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi
sistemik, dan demam enterik. Panjang Salmonella bervariasi. Kebanyakan spesies,
kecuali salmonella pullorum-gallinarum dapat bergerak dengan flagella peritrica.
Bakteri ini mudah tumbuh pada kultur biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan
laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari
glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H 2S. Bakteri ini dapat tetap dapat
hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat
bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering,
dan bahan tinja. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau
brilliant, natrium tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang umumnya digunakan
untuk menghambat bakteri enteric lainnya sehingga senyawa tersebut bermanfaat
untuk mengisolasi salmonella dari tinja pada kultur biakan (Swarga, 2008).
Gambar 2.1. Strukur Salmonella Typhi

2. Struktur Antigen
Meski pada awalnya salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya,
golongan, dan spesiesnya harus diidentifikasi dengan analisis antigen. Seperti
Enterobacteriaceae lain, salmonella memiliki beberapa antigen O dan antigen H.
Beberapa salmonella juga memiliki antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat
menggangu aglutinasi melalui antiserum O dan protein membran terluar/outer
membrane protein yang juga bersifat sebagai antigen . Penjelasan masing-masing
antigen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi
dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal
yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
c. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1
jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan
untuk mengetahui adanya karier.
d. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk
difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan
denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Wardani
et al., 2005)
Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda
merupakan dasar untuk klasifikasi salmonella secara serologik.
3. Klasifikasi
Klasifikasi kelompok Salmonella-Arizona cukup rumit karena organisme ini lebih
merupakan suatu rangkaian kesatuan dibanding dengan spesies tertentu. Sistem
klasifikasi Salmonella terdiri dari tiga spesies utama yaitu : Salmonella typhi (satu
serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih
dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktifitas antigen O dan
antigen H bifasik. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada
manusia dan dapat diisolasi dari hewan berdarah panas adalah golongan Salmonella
cholerasuis, sementara yang lainnya terutama diisolasi dari hewan berdarah dingin
dan lingkungan. Salmonella yang secara rutin diidentifikasi karena penting dalam
klinik adalah S.thypi, S.cholaraesuis, S.parathypi A, dan S.parathypi B. Salmonella
ini dapat diidentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogroup, diikuti
dengan penentuan serotype (Prasetyo et al., 2005).

C. Faktor Predisposisi
Beberapa kondisi pasien dengan otitis media, pneumonia, sinusitis akut, dan sickle
sell anemia dapat meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang
tengkorak atau pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis. Selain itu
meningitis juga dapat terjadi pada individu dengan gangguan sistem imun, seperti AIDS
dan defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat. Meningitis thyposa
lebih sering ditemukan pada anak-anak mungkin disebabkan oleh sistem imun anak-
anak yang belum matang dan masih rentan terhadap penyakit infeksi (Arisandi, 2008).
D. Manifestasi Awal Demam Tifoid
Infeksi awal meningitis thyposa dimulai dengan gejala-gejala demam tifoid. Masa
inkubasinya rata-rata bervariasi antara 7-20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3 hari
dan terlama adalah 60 hari. Lamanya masa inkubasi berhubungan dengan jumlah kuman
yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien. Walaupun
gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan, antara
lain :
- Demam satu minggu atau lebih;
- Gangguan pencernaan; dan
- Gangguan kesadaran (Rampengan et al., 1997).
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Demam yang
terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang
mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
remiten (39-41◦C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid
kongenital. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin
disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat (Rampengan
et al., 1997; Darmowandowo, 2002).
Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih
pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan
terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (Rampengan et al., 1997).
Gambar 2.3. Lidah Tifoid

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat, serta
hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya
mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan
kadang-kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas. Limpa pada umumnya
juga sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama. Pembesaran
ini harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada
tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak (Darmowandowo, 2002).
Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan
menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah
dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis
neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa,
serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada
tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala
tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila
terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar.
Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan
tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis
(20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan fisiknya
lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka kematian yang tinggi
(12,5%) (Rampengan et al., 1997).
Gambar 2.2. Pasien Demam tifoid

E. Komplikasi Demam Tifoid Anak


Pada akhir minggu ke-2 sampai masuk minggu ke-3 merupakan masa yang
berbahaya. Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai
dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Dengan terapi yang tepat, banyak
penderita yang sembuh dari demam tifoid. Namun tanpa terapi yang tepat, beberapa
penderita mungkin tidak selamat dari komplikasi demam tifoid (Darmowandowo, 2002).
Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan
perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid yang
muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam tifoid mengalami
komplikasi ini. Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar,
nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya
syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang
keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga
membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut
(peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera
(Darmowandowo, 2002).
Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :
1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga
dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.
2. Kejang Demam
3. Gangguan Kesadaran
4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
5. Pneumonia.
6. Peradangan pankreas (pankreatitis).
7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.
8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis

F. Manifestasi Klinis Meningitis Thyposa


Meningitis Thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang harus
diwaspadai karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian bila tidak segera
diobati. Beberapa gejala yang harus diperhatikan pada meningitis thyposa antara lain :
a. Kaku pada tengkuk
b. Menghindari cahaya
c. Demam
d. Terlihat sakit keras
e. Bercak bercak merah pada kulit
f. Nadi cepat
g. Cengeng (terutama pada anak-anak)
h. Lemah dan lesu
i. Kejang
Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis karena bakterial adalah kaku kuduk
dan likuor yang memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut :
1. Pleitosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik
2. Kadar glukosa yang rendah
3. Protein dalam likuor meninggi
4. Preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri, khususnya dalam penyakit ini
adalah bakteri Salmonella (Mardjono et al.,1994)

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Demam tifoid
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta
laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Prasetyo et al., 2005).
b. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang
positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil,
perbandingan volume darah dari media empedu, dan waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga
(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah
satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur
darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,
pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (Prasetyo et
al., 2005).
c. Identifikasi kuman melalui uji serologis 
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid
ini meliputi : uji Widal, tes Tubext, metode enzyme immunoassay (EIA), metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Prasetyo et al.,
2005).
1) Uji widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara
cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk
konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti
status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis
atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-
anak sehat.
2) Tes Tubext
Tes Tubext merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel
yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat  dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubext ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian
oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas
100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.
3) Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi
tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
4) Metode Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel
urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.
5) Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.
d. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (Prasetyo et
al., 2005).
2. Meningitis Thyposa
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan
otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan
tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi
glukosa. Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya
meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk
mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.Kadar
glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar
glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis
kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal. Pemeriksaan Radiografi CT-
Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf
lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah
(Prasetyo et al., 2005).

H. Penegakkan Diagnosis Meningitis Thyposa


1. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis
2. Pemeriksaan darah tepi :
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis, relatif dan aneosinofillia, pada
permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan trombositpenia ringan.
3. Pemeriksaan sumsum tulang :
Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel
makrofag,sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis
berkurang.
4. Pemeriksaan widal :
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi, untuk membuat
diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.titer yang bernilai
1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk
membuat diagnosis.
5. Lumbal Pungsi
Dengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah menginfeksi
meningens, apabila meningitis typhoid akan diperoleh Salmonella typhi pada lumbal
pungsi tersebut (Beek et al, 2006).

Hasil pada pemeriksaan cerebro spinal fluid (CSF) yaitu sebagai berikut:
Tipe Meningitis Glukosa Protein Sel
Bakteri (akut) Rendah Tinggi PMN > 300/mm3
Virus (akut) Normal Normal atau tinggi Mononuklear <
3
300/mm
Tuberculous Rendah Tinggi PMN dan
Mononuklear <
300/mm3
Jamur Rendah Tinggi Hanya ditemukan
mononuklear
Sumber : Beek et al, 2006.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Patogenesis Demam Tifoid


Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S. Parathypi) masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. HCL di dalam
lambung akan berperan sebagai penghambat awal masuknya bakteri ini ke dalam usus.
Salmonella yang masuk bersama-sama dengan cairan akan menyebabkan terjadinya
pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme yang
masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung,
sehingga Salmonella sp akan lebih mudah masuk ke dalam usus penderita. Bila respon
imunitas humoral mukosa kurang baik (IgA) usus kurang baik, maka kuman kemudian
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propria Salmonella akan bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih
banyak Salmonella (Widodo, 2006).
Salmonella difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag sebagai perlawanan
imun tubuh terhadap kuman ini. Namun kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke Plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar limfe mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan terjadinya
bakteremia pertama yang asimtomatik pada penderita) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendoteal tubuh, terutama hati dan limpa. Di dalam hati, dengan melewati kapiler-
kapiler yang terdapat dalam dinding empedu atau secara tidak langsung melalui kapiler-
kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu yang larut
disana. Melalui empedu yang infektif sebagian kuman dapat dikeluarkan melalui feses,
namun sebagian lain mengakibatkan terjadinya invasi ke dalam usus untuk kedua
kalinya yang lebih berat daripada invasi tahap pertama. Invasi tahap kedua ini
menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil sehingga gejala-gejala klinik
menjadi jelas. Terlebih makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif pada saat fagositosis
kuman sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Berbagai macam organ
juga mengalami kelainan, misalnya sistem hematopoietik yang membentuk darah,
terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang.
Selanjutnya kuman ini dapat memasuki berbagai macam organ secara hematogen yang
dapat mengakibatkan berbagai komplikasi lanjutan (Widodo, 2006).
B. Patofisiologi Meningitis Thyposa
Seperti pada meningitis bakterial lainnya, pada umumnya meningitis bakterial akut
selalu bersifat purulenta. Meningitis ini timbul sebagai komplikasi dari septikemia dimana
dalam hal ini dari bakteremia kuman salmonella di dalam darah. Terjadinya meningitis
thyposa yang bermula dari demam tifoid dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen
setelah mengalami demam tifoid

terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus

pembuluh darah mengalami hiperemi

penyebaran sel – sel leukosit PMN ke dalam ruang subarachnoid

terbentuk eksudat
(pada lapisan luar berisi leukosit PMN, lapisan dalam berisi makrofag)

Dalam beberapa hari terbentuk limfosit dan histosit

Setelah 2 minggu terbentuk sel – sel plasma


Sumber : Jameson, 2006
Salmonella yang masuk menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan
bawah korteks dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral.
Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis, dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan
medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barrier otak), edema
serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri
sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini menyebabkan kerusakan
adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindrom
Waterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis
pembuluh darah yang disebabkan oleh bakteri. (Arisandi, 2008).

C. Komplikasi Meningitis Thyposa


Komplikasi meningitis thyposa antara lain :
1. Hidrosefalus obstruktif
2. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
3. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
4. Efusi subdural
5. Kejang
6. Edema dan herniasi serebral
7. Cerebral palsy
8. Gangguan mental
9. Gangguan belajar
10. Attention deficit disorder (Harsono, 2005).

D. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan umumnya adalah seperti pada penatalaksanaan demam
tifoid yaitu sebagai berikut :
1. Pengobatan kausal dapat menggunakan obat pilihan sebagai berikut :
a. kloramfenikol dengan dosis 4x500 mg per hari dapat diberikan secara oral atau
intravena sampai dengan 7 hari bebas panas
b. tiamfenikol dengan dosis yang hampir sama dengan kloramfenikol dengan efek
samping hematologi yang lebih rendah
c. kotrimoksasol dengan dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet
mengandung 80 mg trimetropin dan 400 mg sulfametoksasol selama 2 minggu
d. ampisilin dan amoksisilin dengan dosis 50-150mg/kgBB/hari selama 2 minggu
e. seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan perinfus
sekali sehari selama 3-5 hari.
f. golongan fluorokuinolon dengan beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberian adalah sebagai berikut :
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
2. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi, hipoglikemi
3. Pengobatan dietetik tergantung pada kondisi penderita, bila perlu makanan
lunak/cair yang mudah dicerna dan tinggi kalori
4. Tirah baring bila perlu isolasi penderita
5. Pada kasus berat dapat diberikan deksametason 3x5 mg dengan antibiotik yang
sesuai
6. Transfusi darah sesuai keperluan (Widodo, 2006).
Pada kasus meningitis diperlukan pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi yang
dapat diberikan langsung melalui pembuluh darah vena. Penderita meningitis
memerlukan observasi ketat di rumah sakit untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

E. Upaya Rehabilitatif Pada Penderita Demam Tifoid Anak


1. Pisahkan anak penderita demam tifoid dari saudara-saudaranya untuk menghindari
penularan. Bahkan bila ibu menemani, tidak disarankan untuk tidur bersama dengan
anak yang sakit. Sebaiknya tempatkan anak yang sakit di kamar tersendiri, tentunya
dengan perhatian penuh dari kedua orang tua untuk menghindari perasaan
terisolir/kesepian pada anak tersebut.
2. Upayakan klien dengan demam tifoid beristirahat total di tempat tidur sampai
demamnya turun. Demam bisa berlangsung selama dua minggu. Setelah demam
turun, teruskan istirahat sampai suhu normal kembali. Jelaskan pada anak bahwa
untuk mandi, buang air besar dan kecil harus meminta pertolongan kepada ibu atau
orang dewasa lainnya yang ada di rumah.
3. Ingatkan kepada siapa saja yang membantu untuk selalu mencuci tangan dengan
desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan anak yang sakit.
4. Seperti halnya di rumah sakit, orang tua perlu mengukur suhu tubuh anak dan
mencatatnya. Catatan suhu tubuh ini sangat penting untuk dikonsultasikan ke dokter
dan bila ada peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
5. Biasanya dokter memberikan obat yang sudah diperhitungkan sampai suhu tubuh
turun. Jika obat hampir habis, sementara suhu tubuh makin tinggi, konsultasikanlah
ke pelayanan medis atau dokter karena mungkin membutuhkan perawatan yang
lebih intensif di rumah sakit.
6. Untuk membantu mempercepat penurunan suhu tubuh, upayakan agar anak banyak
minum air putih, dikompres dengan air hangat, dan jangan menutupinya dengan
selimut agar penguapan suhu lebih lancer.
7. Berikan makanan yang mengandung banyak cairan dan bergizi seperti sop dan sari
buah, juga makanan lunak, seperti bubur
8. Pembuangan feses dan urine harus dipastikan dibuang ke dalam WC dan disiram
dengan air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya pun harus bersih agar tidak
ada lalat yang akan membawa kuman ke mana-mana. Bila anak menggunakan pot
atau urinal untuk BAK dan BAB, jangan lupa untuk merendamnya dengan cairan
desinfektan setelah dipakai.
9. Rendam pakaian anak dengan desinfektan sebelum dicuci, dan jangan
mencampurnya dengan pakaian yang lain ( Darmowandowo, 2002).

F. Upaya Pencegahan Demam Tifoid Anak


Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam
tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga
kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak
tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan
terhadap penjual (keliling) minuman/makanan (Harijanto, 2006).
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah
vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid
secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan untuk
pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang
yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium (Harijanto, 2006).
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-
anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu
haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua
tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit (Harijanto, 2006).
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-
anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah
diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu
minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.
Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko
terjangkit (Harijanto, 2006).
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah
orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka
ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami
reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis
lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan
vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara
mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas,
orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi
sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan
orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin
tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian
antibiotik (Harijanto, 2006).
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya
serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin
tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)
kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada
vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit
kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam
(jarang terjadi) (Harijanto, 2006).

G. Prognosis
Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain:
1. Jenis kuman dan hebatnya penyakit pada permulaannya
2. Umur penderita
Pada pasien anak – anak dan > 50 tahun memiliki lebih banyak resiko kematian
karena penyakit ini.
3. Lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat
Gejala yang muncul seperti kejag yang lebih dari 24 jam akan memperbesar resiko
terjaninya kematian.
4. Kecepatan ditegakkannya diagnosis
5. Antibiotika yang diberikan
6. Kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis (Harrison, 2005).
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella sp.
2. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul
3. Meningitis thyposa adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh salmonella
tertentu
4. Meningitis thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang dapat

mengakibatkan kecacatan dan kematian bila tidak segera diobati


5. Penatalaksanaan demam tifoid dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik, terapi
suportif, dietetik, tirah baring dan memperbaiki keadaan umum pasien, khususnya
untuk meningitis diberikan antibiotika dosis tinggi.

B. Saran
1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering terjadi di masyarakat
dengan komplikasi di antaranya adalah meningitis thyposa, sehingga perlu perhatian
khusus dari semua pihak untuk bekerja sama menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit ini
2. Dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan baik dalam cara
penulisan maupun isi tulisan sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk
perbaikan penyusunan referat selanjutnya dengan topik yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Meningitis. Pontianak :
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Beek, Diederik., Gans, Jan., Tunkel, Allan., Wijdicks, Eelco. 2006. Community acquired
bacterial meningitis in adults with bacterial meningitis. New England Journal of
Medicine. Hal : 1849

Darmowandowo, W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI,
2002:367-75.

Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders. 1991. Kapita Selekta Kedokteran FKUI.
Jakarta : EGC

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Harijanto. 2006. Malaria. Dalam : Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III
Edisi IV. Jakarta : BP FKUI; 1754-5

Jameson, L. J. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. McGraw-Hill Companies.


USA

Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Hemophilus Influenza Type B. Universitas Sumatra


Utara. Hal : 1.

Mardjono, Mahar, dan Priguna Sidharta. 1994. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat;
318-9

Parry, Christopher. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever.
Cambridge University Press. Hal : 3.

Parry, Christopher., Hien, Tor., Dougan, Gordon., White, Nicholas., Farrar, Teremy. 2002.
Typhoid fever. New England Journal of Medicine. 347 (22). Hal : 1770.

Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. 2005. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
[5 pages, cited October 6th 2009 : 01.25 pm) Available at :
http://74.125.153.132/search?
q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis
+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC;
53-72.

Swarga, Tirta. 2008. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.

Simanjuntak, Cyrus. (1998). Demam tifoid, epidemiologi, dan perkembangan penelitiannya.


Cermin Dunia Kedokteran, 83. Hal : 2.
Wardani, Puspa, Prihartini, Probohusodo. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal
Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical and
Medical Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7

Widodo, Djoko. 2006. Dalam : Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 :
1774.

Anda mungkin juga menyukai