Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN PENYAKIT THYPOID

DISUSUN OLEH :
1. Heriyadi (01.19.0087)
2. Mezy Meilina (01.20.0083)
3. Ulfa Audia (01.20.0101)

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Lindesi Yanti, S.Pd., S.Kep., M.Kes., M.Kep.

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


AKPER KESDAM II SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Usia bayi, balita, dan anak remaja merupakan usia yang rentan untuk menderita suatu
infeksi. Hal ini disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang masih belum matang,
sehingga anak mudah menderita dan tertular penyakit tropis. Angka kejadian pada anak
yang mengalami penyakit tropis cukup tinggi, terutama di negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia. Hal ini ditunjang oleh kelembaban daerah yang cukup
tinggi serta masyarakat yang heterogen dalam hal tingkat sosial ekonomi, maupun
pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang masih relatif rendah. Penyakit
tropis ini umumnya merupakan penyakit infeksi yang mudah menular. Salah satu
penyakit yang sering dialami pada masa balita yaitu Demam Tifoid (Ambarwati, 2012).
Menurut Ngastiyah (2005) menyatakan demam tifoid (typhus abdominalis, typhoid fever,
enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, Penyebab
penyakit ini adalah Salmonella typhosa. Umumnya prognosis penyakit ini pada anak baik,
asal pasien cepat berobat. Jika penyakit ini tidak segera diobati bisa menjadi tidak baik
dengan gambaran klinis yang berat seperti demam tinggi (hiperpireksia) atau febris
kontinua, kesadaran menurun (sopor, koma, atau delirium), bisa juga terdapat komplikasi
yang lebih berat, misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi. Besarnya angka pasti kasus
demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai
gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO)
tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Pramitasari, 2013). Berdasarkan
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau paratifoid menempati urutan
ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu
sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang dengan Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 1,25%. Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 Demam
Tifoid atau paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274
orang dengan CFR sebesar 0,67 %.11 menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun
2007, prevalensi Tifoid klinis nasional sebesar 1,6%. Sedang prevalensi hasil analisa
lanjut ini sebesar 1,5% yang artinya ada kasus Tifoid 1.500 per 100.000 penduduk
Indonesia (Pramitasari, 2013). Penyakit tifoid termasuk penyakit yang mengalami angka
kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi di Jawa Tengah, pada tahun 2006 menempati
urutan ke-16 dari 22 (4,6%) penyakit yang tercatat. Meskipun hanya menempati urutan ke
-16, penyakit tifoid memerlukan perawatan yang komprehensif, mengingat penularan
salmonella thypi ada dua sumber yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien dengan
carier. Pasien carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan terus mengekskresi
salmonella thypi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun (Depkes RI dalam
Sartono, 2011). Kejadian demam tifoid berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Kejadian demam tifoid temasuk urutan 3
besar epidemiologi dengan penderita paling banyak yaitu 27,87% (600 pasien rawat inap)
dan tahun 2001 sebanyak 715 pasien rawat inap di RSUD Brebes (Nugrahini, 2002)
Ruang Cempaka Puskesmas Kluwut Brebes merupakan ruang bangsal perawatan anak.
Berdasarkan data dari Rekam Medis Puskesmas kluwut pada tahun 2012, demam tifoid
menempati urutan ke -2 dari 10 penyakit yang tercatat yaitu 35 kasus , sedangkan dalam 2
bulan terakhir yaitu bulan Januari 2013 sampai Februari 2013 tercatat 12 kasus demam
tifoid pada anak dengan berbagai usia. Dari data di atas penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut tentang demam tifoid sehingga diharapkan dapat memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan klien dan
masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini :
1. Bagaimana konsep demam thypoid ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan Demam Thypoid ?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang Konsep teori dan asuhan
keperawatan Demam Thypoid
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Pengkajian Terhadap Pasien Typoid
b. Untuk Mengetahui Diagnosa Terhadap Pasien Typoid
c. Untuk Mengetahui Intervensi Terhadap Pasien Typoid
d. Untuk Mengetahui Implementasi Terhadap Pasien Typoid
e. Untuk Mengetahui EvaluasiTerhadap Pasien Typoid
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. PENGERTIAN
Demam tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever) merupakan
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala
demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bebrsifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,
ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan
invasi bbakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari
hati,limpa,kelenjar limfe usus dan peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain
melalui makanan yang terkontaminasi (Sumarno,2002).

2. ETIOLOGI
Salmonella Typhi sama dengan salmonela yang lain adalah bakteri Gram-
negatif,mempunyai flagella,tidak berkapsul,tidak membentuk spora,fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida ,flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.mempunyai
maktomolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella thyphi juga dapat memperoleh plasmid factor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic.

3. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat,kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok,stupor dan koma
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari
5. Nyeri kepala,nyeri perut
6. Kembung,mual,muntah,diare,konstipasi
7. Pusing,bradikardi,nyeri oto
8. Batuk
9. Epitaksis
10. Lidah yang berselaput (kotor ditengahh,tepidan ujung merah serta tremor)
11. Hepatomegali,Splenomegali,Meteroismus
12. Gangguan mental berupa samnolen
13. Delirium atau psikosis
14. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermia.
(Sudoyono Aru,dkk 2009)
Berdasarkan masa dapat diambil kesimpulan :
1.Massa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12
hari. pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti gejala influenza,
berupa : anoreksia,rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri
perut. (Parry et al, 2002)

2.Minggu pertama (awal terinfeksi)


Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itupada awalnya sama
dengan penyakit infeksi akut yang lain, sepertidemam tinggi yang berpanjangan yaitu
setinggi '39◦C hingga 40◦C,sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual , muntah,
batuk,dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat
dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak, sedangkan diare
dan sembelit dapat terjadi bergantian. pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau
tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan
beradang. jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan
gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. ruam kulit (rash)
umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak
merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna
(brusch, 2011).
Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putihyaitu berupa makula
merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas
atau dada bagian bawah,kelihatan memucat bila ditekan (Soedarmo et al, 2010).

3.Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari.karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi/demam
(Kemenkes, 2010). Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. gejala toksemia (adanya
protein dalam urin) semakin beratyang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami
delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. lidah tampak kering,merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,sedangkan diare menjadi lebih sering
yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. pembesaran hati dan limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi. gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai
kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono,2011).

4.Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan
pengurangan berat badan yang signifikan.konjungtiva terinfeksi, dan pasien mengalami
takipnea dengan suara crakcles di basis paru. jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa
individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan
bahkan psikosis. Bekrosis pada Peyer’Cs patch mungkin dapat menyebabkan perforasi
saluran cerna dan peritonitis(Brusch, 2011). Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Asdie,
2005).

5.Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis,kecuali jika fokus infeksi
terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunakmaka demam akan menetap (Soedarmo et al,
2010). pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam
waktu yang pendek. kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. sepuluh persen dari demam
tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps (Supriyono, 2011). Gejala
klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa.
masa inkubasi rata-rata 10-20 hari.setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal,
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.(Sudoyo,
2010)
4. KLASIFIKASI
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan
gejala klinis:
a. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak),
sakit kepala, malaise, dan anoksia.+entuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal
penyakit selama periodedemam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya resespot
pada dada, abdomen dan punggung.
b. Demam tifoid dengan komplikasi
Dada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi
parah. tergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10%
pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan
peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
c. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. karier
tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.(WHO, 2003)

5. PATOFISIOLOGI
Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus.
Melalui pembuluh limfe halus masuk kedalam pembuluh darah sampai di organ-organ
terutama hati dan limfa, basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan
limfa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Kemudian basil diserap masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar ke
seluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak
berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak peyeri. Tukak tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan endotoksin,
sedangkan gejala pada saluran disebabkan oleh kelainan pada usus (Ngastiyah, 2005).
6. PATHWAY

Salmonella thyposa Basil masuk bersama makanan / minuman yang terkontaminasi


Terjadi infeksi pada saluran pencernaaan Anoreksia, mual, muntah diserap usus halus
Kehilangan volume cairan Secara aktif Melalui pembuluh limfe masuk ke dalam
pembuluh darah Nyeri pada perabaan Masuk ke organ tubuh terutama hati dan limfa
kurang informasi basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limfa
akan membesar masuk kembali ke dalam darah (endotoksin) (bakterimia) dan menyebar
ke seluruh seluruh tubuh Basil ke dalam kelenjar limfoid usus halus timbul tukak
berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak peyeri perdarahan dan perforasi Sumber :
Ngastiyah (2005) Hipertermia Kurang pengetahuan Defisit volume cairan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan Nyeri Aku

7. KOMPLIKASI
 Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus dan ilius paralitik.
 Komplikasi extra intestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia dan syndroma uremia
hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, dan kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meninggiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia. (Lestari
Titik, 2016).
 Komplikasi demam tifoid termasuk kejang, ensefalopati, perdarahan dan perforasi
usus, peritonitis, koma, diare, dehidrasi, syok septik, miokarditis, pneumonia,
osteomielitis dan anemia. Pada bayi muda, dapat pula terjadi syok dan hipotermia

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Ngastiyah (2005) menyebutkan pemeriksaan diagnostik yang diperlukan
antara lain :
1. Darah tepi Terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia
pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trimbositopenia ringan.
2. Darah untuk kultur (biakan empedu) dan Widal Biakan empedu untuk
menemukan Salmonella typhosa dan pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan
yang dapat menentukan diagnosis demam tifoid secara pasti.

9. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


 PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Ngastiyah (2005) menjelaskan pasien yang dirawat dengan diagnosis
typhus abdominalis harus dianggap dan diperlakukan sebagai pasien typhus
abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai berikut:
1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.
2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama.
3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minngu setelah suhu normal kembali
(istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh berdiri
kemudian berjalan di ruangan.
4. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan gas. Susu 2 gelas sehari. Bila kesadaran menurun diberikan makan
cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik dapat
juga diberikan makanan lunak.
5. Obat pilihan ialah kloramfenikol, keculai jika pasien tidak cocok dapat diberikan
obat lainnya seperti kotrimoksasol. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi,
yaitu 100 mg/kg/BB/hari (maksimal 2 mg perhari), diberikan 4 kali sehari per oral
atau intravena. Pemberian klorampenikol dengan dosis tinggi tersebut
mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek negatifnya adalah
mungkin pembentukan zat anti kurang karena basil terlalu cepat dimusnahkan.
6. Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan penyakitnya. Bila terjadi dehidrasi
dan asidosis diberikan cairan secara intravena dan sebagainya

 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penyakit typhus abdominalis adalah penyakit menular yang sumber infeksinya
berasal dari faeses dan urine, sedangkan lalat sebagai pembawa atau penyebar dari
kuman tersebut. Pasien tifoid harus dirawat di ruang isolasi yang dilengkapi dengan
peralatan untuk merawat pasien yang menderita penyakit menular, seperti desinfektan
untuk mencuci tangan, merendam pakaian kotor dan pot atau urinal bekas pakaian
pasien. Yang merawat atau sedang menolong pasien agar memakai celemek
(Ngastiyah, 2005)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses pertama dalam proses keperawatan.
Tahap pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis untuk
menentukan status kesehatan dan fungsional kerja serta respon klien pada saat ini dan
sebelumnya. Tujuan dari pengkajian keperawatan adalah untuk menyusun database
atau dasar mengenai kebutuhan, masalah kesehatan, dan respon klien terhadap
masalah. (Harmoko,2016)

1. Identitas
a. Identitas Klien
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, suku
bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis.
b. Identitas Penanggung Jawab.
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama,
alamat, hubungan dengan klien.
2. Keluhan utama
Keluhan yang menonjol pada pasien piliomyelitis untuk datang ke Rumah Sakit
adalah demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri pada
anggota badan
3. Riwayat penyakit
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas

2. PEMERIKSAAN FISIK
Menurut (Harmilah, 2020) pemeriksaan fisik pada pasien penyakit Demam tifoid
meliputi :
1) Keadaan umum hasil pemeriksaan tanda-tanda vital yang didapat pada klien
demam tifoid adalah badan terasa lemah disertai mual muntah
2) Kepala
Kulit kepala : untuk mengetahui turgor kulit serta tekstur kulit kepala dan
untuk mengetahui adanya lesi atau bekas luka.
3) Rambut
Untuk mengetahui tekstur, warna dan percabangan rambut serta mengetahui
rontok dan kotornya.
4) Kuku
Untuk mengetahui warna, keadaan kuku panjang atau tidak, serta mengetahui
kapiler refil.
5) Mata
Untuk mengetahui bentuk serta fungsi mata (penglihatan dan visus otot-otot
mata), serta mengetahui adanya kelainan pandangan pada mata atau tidak.
6) Hidung
Untuk mengetahui bentuk serta fungsi dari hidung dan mengetahui ada atau
tidaknya implamasi atau sinusitis.
7) Telinga
Untuk mengetahui keadaan telinga, kedalaman telinga luar, saluran telinga,
gendang telinga.
8) Mulut dan faring
Untuk mengetahui kelainan dan bentuk pada mulut dan mengetahui
kebersihan mulut.
9) Leher
Untuk menemukan struktur intregitas leher, bentuk serta organ yang berkaitan
untuk memeriksa system limfatik.
10) Dada
Untuk mengetahui kesimetrisan, irama nafas, frekuensi, ada atau tidaknya
nyeri tekan dan untuk mendengarkan bunyi paru.
11) Abdomen
Untuk mengetahui gerakan dan bentuk perut, mendengarkan bunyi pristaltik
usus dan mengetahui ada atau tidaknya nyeri tekan pada bagian dalam
abdomen.
12) Muskulokeletal
Untuk mengetahui mobilitas kekuatan dari otot dan gangguan-gangguan di
daerah tertentu
3. PERSIAPAN LABORATORIUM
1. Tes Widal

a. Tes widal adalah tes yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis
tifus. Pertama, dokter akan bertanya seputar riwayat penyakit. Kemudian,
dilanjutkan dengan pertanyaan seputar kebersihan makanan dan tempat
tinggal, serta keluhan yang dialami. Setelah itu, dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik, seperti memeriksa suhu tubuh, melihat tampilan
permukaan lidah, memeriksa bagian perut mana yang nyeri, dan
mendengarkan bunyi usus dengan stetoskop.

b. Dalam pemeriksaan widal, pengidap akan diambil darah sebagai sampel.


Setelah itu, sampel darah akan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Di
laboratorium, sampel darah akan ditetesi dengan bakteri Salmonella yang
sudah dimatikan dalam bentuk antigen O (badan bakteri) dan antigen H
(ekor atau flagel bakteri).

c. Kedua antigen tersebut diperlukan karena antibodi untuk badan bakteri dan
flagel bakteri dapat berbeda. Selanjutnya, sampel darah diencerkan sampai
puluhan atau ratusan kali. Bila setelah berulang kali diencerkan antibodi
tetap terbukti positif, maka individu tersebut dianggap mengidap tipes.

2.Tes Tubex

1. Tubex merupakan alat uji yang berfungsi untuk mendeteksi keberadaan


antibodi IgM anti-O9 dalam darah. Antibodi tersebut dihasilkan secara
otomatis oleh sistem imun saat tubuh terinfeksi oleh bakteri Salmonella
typhi. Jadi, apabila tes Tubex mendeteksi antibodi IgM anti-O9 dalam
sampel darah menandakan seseorang tersebut positif mengidap tipes.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respon seseorang,
keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan
rencana tindakan asuhan keperawatan.
Menurut ( Mutaqqin,2015) diagnosa yang muncul yaitu :
1. Hipertermia berhuungan dengan proses penyakit (mis onfeksi,kanker)
2. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan adalah Suatu rangkaian kegiatan penentuan langkah-langkah
pemecahan masalah dan prioritasnya, perumusan tujuan, rencanan tindakan dan penilaian
asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisis data dan diagnosa keperawatan
(Harmoko,2016).
No Diagnosa Luaran Intervensi Keperawatan
Keperawatan Keperawatan

1. Hipertermia b.d Setelah dilakukan Intervensi utama : Manajemen Hipertermia


proses penyakit tindakan Observasi
(infeksi, kanker) keperawatan  Identifikasi penyebab hipertermia
... x 24 jam  Monitor suhu tubuh
diharapkan  Monitor kadar elektrolit
Termogulasi  Monitor haluaran urine
membaik dengan  Monitor komplikasi akibat
kriteria hasil: hipertermia
1. Menggigil
menurun Teraupeutik
2. Suhu  Sediakan lingkungan yang dingin
tubuh
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
membaik
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
3. Suhu kulit
 Berikan cairan oral
membaik  Ganti lien setiap hari atau lebih
sering jika mengalami hiperhiclrosis
 Lakukan pendinginan eksternal
 Indarin pemberian antipiratik /
aspirin
 Berikan oksigen , jika perlu

Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena , jika perlu
2. Hipovolemia Setelah dilakukan Intervensi Utama : Manajemen
berhubungan tindakan Hipovolemia
dengan keperawatan
Observasi
kehilangan ... 3 x 24 jam
cairan aktif diharapkan Status  Pemeriksa tanda dan gejala
Cairan Membaik hipovolemia (mis. frekuensi nadi
dengan kriteria meningkat, nadi teraba lemah,
hasil: tekanan darah menurun,tekanan nadi
1. Frekuensi Nadi menyempit, turgo kulit menurun,
Membaik membran mukosa kering, volume
2. Tekanan Darah urin menurun, hematokrit ,
Membaik meningkat,haus,lemah)
3. Tekanan Nadi  Monitor intake dan output cairan
membaik
Terapeutik
4. Membran
Mukosa Membaik  Hitung kebutuhan cairan
5. Jugular Venous  Berikan posisi modified
Pressure (JVP) trendelenburg
Membaik  Berikan asupan cairan oral
Edukasi

 Anjurkan memperbanyak asupan


cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan
posisi mendadak

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian cairan IV


isotonis (mis.NaCI,RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis (mis.glukosa 2,5%,NaCI
0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid
(mis.albumin,plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah

3.Intoleransi Setelah dilakukan Intervensi Utama : Manajemen Energi


aktivitas tindakan
Observasi
berhubungan keperawatan
dengan ... 3 x 24 jam  Identifikasi gangguan fungsi tubuh
kelemahan diharapkan yang mengakibatkan kelelahan
Toleransi  Monitor kesalahan fisik dan
Aktivitas emosional
meningkat dengan  Monitor pola dan jam tidur
kriteria hasil:  Monitir lokasi dan ketidak
1. Frekuensi Nadi nyamanan selama melakukan
Meningkat aktivitas
2. Keluhan Lelah
Terapeutik
Menurun
3. Dispnea Saat  Sediakan lingkungan nyaman dan
Aktivitas rendah stimulus
Menurun (mis.cahaya,suara,kunjungan)
4. Dispnea  Lakukan latihan rentang gerak pasif
Setelah Aktivitas dan/atau aktif
Menurun  Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
 Fasilitasi duduk disisi tempat
tidur,jika tidak dapat berpindah atau
berjalan

Edukasi

 Anjurkan tirah baring


 Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
 Anjarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan ahli giji tentang


cara meningkatkan asupan makanan

4. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Intervensi Utama : Manajemen Nutrisi


berhubungan tindakan
Observasi
dengan keperawatan
ketidakmampua ... 3 x 24 jam  Identifikasi status nutrisi
n mengabsorbsi diharapkan Status  Ifentifikasi alergi dan intoleransi
nutrien Nutrisi Membaik makanan
dengan kriteria  Identifikasi makanan yang disukai
hasil:  Identifikasi kebutuhan kalori dan
1. Porsi makanan jenis nutrien
yang dihabiskan  Monitor asuopan makanan
meningkat  Monitor berat bedan
2. Berat badan  Monitor hasil pemeriksaaan
membaik laboratorium
3. Indeks masa
Terapeutik
tubuh (IMT)
membaik  Lakukan oral hygiene sebelum
mkan,jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis.piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
 Berikan suplemen makanan,jika
perlu
 Hentikan pemeberian makanan
melalui selang nasogatrik jika
asupan oral dapat di toleransi

Edukasi

 Anjurkan posisi duduk,jika mampu


 Ajarkan diet yang di program

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian medikasi


sebelum makan (mis.pereda nyeri,
antiemetik),jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dasn jenis
nutriet yang dibutuhkan. jika perlu
D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan pelaksanaan tindakan keperawatan
terhadap klien yang di dasarkan pada rencana keperawatan yang telah disusun untuk
mencapai tujuan yang diinginkan meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemukihan penyakit dan memfasilitasi koping. Implementasi keperawatan
akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila klien mempunyai keinginan untuk
berpatisipasi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan selama tahap implementasi
keperawatan (Harmoko,2016).

E. EVALUASI
Evaluasi adalah sebagai langkah akhir dari proses keperawatan, adalah upaya
untuk menentukan apakah seluruh proses keperawatan sudah berjalan dengan naik dan
apakah tindakan berhasil dengan baik (Harmoko,2016).

Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana:


 S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh
keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
 O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif.
 A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
 P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mecapai tujuan.
Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat
mengambil keputusan:
1. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang
ditetapkan)
2. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan
untuk mencapai tujuan)
3. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mencapai tujuan)
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/96843886/MAKALAH-TIFOID, diakses pada tanggal 22 Oktober


2021, pukul 16.00 WIB.

http://r2kn.litbang.kemkes.go.id:8080/handle/123456789/66063, diakses pada tanggal 22


Oktober 2021, pukul 16.30 WIB.

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Definisi dan Tindakan
Keperawtan. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai