DISUSUN OLEH :
1. Heriyadi (01.19.0087)
2. Mezy Meilina (01.20.0083)
3. Ulfa Audia (01.20.0101)
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Lindesi Yanti, S.Pd., S.Kep., M.Kes., M.Kep.
A. LATAR BELAKANG
Usia bayi, balita, dan anak remaja merupakan usia yang rentan untuk menderita suatu
infeksi. Hal ini disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang masih belum matang,
sehingga anak mudah menderita dan tertular penyakit tropis. Angka kejadian pada anak
yang mengalami penyakit tropis cukup tinggi, terutama di negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia. Hal ini ditunjang oleh kelembaban daerah yang cukup
tinggi serta masyarakat yang heterogen dalam hal tingkat sosial ekonomi, maupun
pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang masih relatif rendah. Penyakit
tropis ini umumnya merupakan penyakit infeksi yang mudah menular. Salah satu
penyakit yang sering dialami pada masa balita yaitu Demam Tifoid (Ambarwati, 2012).
Menurut Ngastiyah (2005) menyatakan demam tifoid (typhus abdominalis, typhoid fever,
enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, Penyebab
penyakit ini adalah Salmonella typhosa. Umumnya prognosis penyakit ini pada anak baik,
asal pasien cepat berobat. Jika penyakit ini tidak segera diobati bisa menjadi tidak baik
dengan gambaran klinis yang berat seperti demam tinggi (hiperpireksia) atau febris
kontinua, kesadaran menurun (sopor, koma, atau delirium), bisa juga terdapat komplikasi
yang lebih berat, misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi. Besarnya angka pasti kasus
demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai
gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO)
tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Pramitasari, 2013). Berdasarkan
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau paratifoid menempati urutan
ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu
sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang dengan Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 1,25%. Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 Demam
Tifoid atau paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274
orang dengan CFR sebesar 0,67 %.11 menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun
2007, prevalensi Tifoid klinis nasional sebesar 1,6%. Sedang prevalensi hasil analisa
lanjut ini sebesar 1,5% yang artinya ada kasus Tifoid 1.500 per 100.000 penduduk
Indonesia (Pramitasari, 2013). Penyakit tifoid termasuk penyakit yang mengalami angka
kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi di Jawa Tengah, pada tahun 2006 menempati
urutan ke-16 dari 22 (4,6%) penyakit yang tercatat. Meskipun hanya menempati urutan ke
-16, penyakit tifoid memerlukan perawatan yang komprehensif, mengingat penularan
salmonella thypi ada dua sumber yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien dengan
carier. Pasien carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan terus mengekskresi
salmonella thypi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun (Depkes RI dalam
Sartono, 2011). Kejadian demam tifoid berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Kejadian demam tifoid temasuk urutan 3
besar epidemiologi dengan penderita paling banyak yaitu 27,87% (600 pasien rawat inap)
dan tahun 2001 sebanyak 715 pasien rawat inap di RSUD Brebes (Nugrahini, 2002)
Ruang Cempaka Puskesmas Kluwut Brebes merupakan ruang bangsal perawatan anak.
Berdasarkan data dari Rekam Medis Puskesmas kluwut pada tahun 2012, demam tifoid
menempati urutan ke -2 dari 10 penyakit yang tercatat yaitu 35 kasus , sedangkan dalam 2
bulan terakhir yaitu bulan Januari 2013 sampai Februari 2013 tercatat 12 kasus demam
tifoid pada anak dengan berbagai usia. Dari data di atas penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut tentang demam tifoid sehingga diharapkan dapat memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan klien dan
masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini :
1. Bagaimana konsep demam thypoid ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan Demam Thypoid ?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang Konsep teori dan asuhan
keperawatan Demam Thypoid
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Pengkajian Terhadap Pasien Typoid
b. Untuk Mengetahui Diagnosa Terhadap Pasien Typoid
c. Untuk Mengetahui Intervensi Terhadap Pasien Typoid
d. Untuk Mengetahui Implementasi Terhadap Pasien Typoid
e. Untuk Mengetahui EvaluasiTerhadap Pasien Typoid
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. PENGERTIAN
Demam tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever) merupakan
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala
demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bebrsifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,
ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan
invasi bbakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari
hati,limpa,kelenjar limfe usus dan peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain
melalui makanan yang terkontaminasi (Sumarno,2002).
2. ETIOLOGI
Salmonella Typhi sama dengan salmonela yang lain adalah bakteri Gram-
negatif,mempunyai flagella,tidak berkapsul,tidak membentuk spora,fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida ,flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.mempunyai
maktomolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella thyphi juga dapat memperoleh plasmid factor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic.
3. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat,kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok,stupor dan koma
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari
5. Nyeri kepala,nyeri perut
6. Kembung,mual,muntah,diare,konstipasi
7. Pusing,bradikardi,nyeri oto
8. Batuk
9. Epitaksis
10. Lidah yang berselaput (kotor ditengahh,tepidan ujung merah serta tremor)
11. Hepatomegali,Splenomegali,Meteroismus
12. Gangguan mental berupa samnolen
13. Delirium atau psikosis
14. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermia.
(Sudoyono Aru,dkk 2009)
Berdasarkan masa dapat diambil kesimpulan :
1.Massa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12
hari. pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti gejala influenza,
berupa : anoreksia,rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri
perut. (Parry et al, 2002)
3.Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari.karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi/demam
(Kemenkes, 2010). Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. gejala toksemia (adanya
protein dalam urin) semakin beratyang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami
delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. lidah tampak kering,merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,sedangkan diare menjadi lebih sering
yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. pembesaran hati dan limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi. gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai
kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono,2011).
4.Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan
pengurangan berat badan yang signifikan.konjungtiva terinfeksi, dan pasien mengalami
takipnea dengan suara crakcles di basis paru. jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa
individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan
bahkan psikosis. Bekrosis pada Peyer’Cs patch mungkin dapat menyebabkan perforasi
saluran cerna dan peritonitis(Brusch, 2011). Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Asdie,
2005).
5.Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis,kecuali jika fokus infeksi
terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunakmaka demam akan menetap (Soedarmo et al,
2010). pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam
waktu yang pendek. kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. sepuluh persen dari demam
tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps (Supriyono, 2011). Gejala
klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa.
masa inkubasi rata-rata 10-20 hari.setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal,
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.(Sudoyo,
2010)
4. KLASIFIKASI
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan
gejala klinis:
a. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak),
sakit kepala, malaise, dan anoksia.+entuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal
penyakit selama periodedemam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya resespot
pada dada, abdomen dan punggung.
b. Demam tifoid dengan komplikasi
Dada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi
parah. tergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10%
pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan
peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
c. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. karier
tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.(WHO, 2003)
5. PATOFISIOLOGI
Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus.
Melalui pembuluh limfe halus masuk kedalam pembuluh darah sampai di organ-organ
terutama hati dan limfa, basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan
limfa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Kemudian basil diserap masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar ke
seluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak
berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak peyeri. Tukak tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan endotoksin,
sedangkan gejala pada saluran disebabkan oleh kelainan pada usus (Ngastiyah, 2005).
6. PATHWAY
7. KOMPLIKASI
Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus dan ilius paralitik.
Komplikasi extra intestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia dan syndroma uremia
hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, dan kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meninggiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia. (Lestari
Titik, 2016).
Komplikasi demam tifoid termasuk kejang, ensefalopati, perdarahan dan perforasi
usus, peritonitis, koma, diare, dehidrasi, syok septik, miokarditis, pneumonia,
osteomielitis dan anemia. Pada bayi muda, dapat pula terjadi syok dan hipotermia
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Ngastiyah (2005) menyebutkan pemeriksaan diagnostik yang diperlukan
antara lain :
1. Darah tepi Terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia
pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trimbositopenia ringan.
2. Darah untuk kultur (biakan empedu) dan Widal Biakan empedu untuk
menemukan Salmonella typhosa dan pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan
yang dapat menentukan diagnosis demam tifoid secara pasti.
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penyakit typhus abdominalis adalah penyakit menular yang sumber infeksinya
berasal dari faeses dan urine, sedangkan lalat sebagai pembawa atau penyebar dari
kuman tersebut. Pasien tifoid harus dirawat di ruang isolasi yang dilengkapi dengan
peralatan untuk merawat pasien yang menderita penyakit menular, seperti desinfektan
untuk mencuci tangan, merendam pakaian kotor dan pot atau urinal bekas pakaian
pasien. Yang merawat atau sedang menolong pasien agar memakai celemek
(Ngastiyah, 2005)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses pertama dalam proses keperawatan.
Tahap pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis untuk
menentukan status kesehatan dan fungsional kerja serta respon klien pada saat ini dan
sebelumnya. Tujuan dari pengkajian keperawatan adalah untuk menyusun database
atau dasar mengenai kebutuhan, masalah kesehatan, dan respon klien terhadap
masalah. (Harmoko,2016)
1. Identitas
a. Identitas Klien
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, suku
bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis.
b. Identitas Penanggung Jawab.
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama,
alamat, hubungan dengan klien.
2. Keluhan utama
Keluhan yang menonjol pada pasien piliomyelitis untuk datang ke Rumah Sakit
adalah demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan di leher dan nyeri pada
anggota badan
3. Riwayat penyakit
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas
2. PEMERIKSAAN FISIK
Menurut (Harmilah, 2020) pemeriksaan fisik pada pasien penyakit Demam tifoid
meliputi :
1) Keadaan umum hasil pemeriksaan tanda-tanda vital yang didapat pada klien
demam tifoid adalah badan terasa lemah disertai mual muntah
2) Kepala
Kulit kepala : untuk mengetahui turgor kulit serta tekstur kulit kepala dan
untuk mengetahui adanya lesi atau bekas luka.
3) Rambut
Untuk mengetahui tekstur, warna dan percabangan rambut serta mengetahui
rontok dan kotornya.
4) Kuku
Untuk mengetahui warna, keadaan kuku panjang atau tidak, serta mengetahui
kapiler refil.
5) Mata
Untuk mengetahui bentuk serta fungsi mata (penglihatan dan visus otot-otot
mata), serta mengetahui adanya kelainan pandangan pada mata atau tidak.
6) Hidung
Untuk mengetahui bentuk serta fungsi dari hidung dan mengetahui ada atau
tidaknya implamasi atau sinusitis.
7) Telinga
Untuk mengetahui keadaan telinga, kedalaman telinga luar, saluran telinga,
gendang telinga.
8) Mulut dan faring
Untuk mengetahui kelainan dan bentuk pada mulut dan mengetahui
kebersihan mulut.
9) Leher
Untuk menemukan struktur intregitas leher, bentuk serta organ yang berkaitan
untuk memeriksa system limfatik.
10) Dada
Untuk mengetahui kesimetrisan, irama nafas, frekuensi, ada atau tidaknya
nyeri tekan dan untuk mendengarkan bunyi paru.
11) Abdomen
Untuk mengetahui gerakan dan bentuk perut, mendengarkan bunyi pristaltik
usus dan mengetahui ada atau tidaknya nyeri tekan pada bagian dalam
abdomen.
12) Muskulokeletal
Untuk mengetahui mobilitas kekuatan dari otot dan gangguan-gangguan di
daerah tertentu
3. PERSIAPAN LABORATORIUM
1. Tes Widal
a. Tes widal adalah tes yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis
tifus. Pertama, dokter akan bertanya seputar riwayat penyakit. Kemudian,
dilanjutkan dengan pertanyaan seputar kebersihan makanan dan tempat
tinggal, serta keluhan yang dialami. Setelah itu, dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik, seperti memeriksa suhu tubuh, melihat tampilan
permukaan lidah, memeriksa bagian perut mana yang nyeri, dan
mendengarkan bunyi usus dengan stetoskop.
c. Kedua antigen tersebut diperlukan karena antibodi untuk badan bakteri dan
flagel bakteri dapat berbeda. Selanjutnya, sampel darah diencerkan sampai
puluhan atau ratusan kali. Bila setelah berulang kali diencerkan antibodi
tetap terbukti positif, maka individu tersebut dianggap mengidap tipes.
2.Tes Tubex
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Keperawatan adalah Suatu rangkaian kegiatan penentuan langkah-langkah
pemecahan masalah dan prioritasnya, perumusan tujuan, rencanan tindakan dan penilaian
asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisis data dan diagnosa keperawatan
(Harmoko,2016).
No Diagnosa Luaran Intervensi Keperawatan
Keperawatan Keperawatan
Edukasi
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena , jika perlu
2. Hipovolemia Setelah dilakukan Intervensi Utama : Manajemen
berhubungan tindakan Hipovolemia
dengan keperawatan
Observasi
kehilangan ... 3 x 24 jam
cairan aktif diharapkan Status Pemeriksa tanda dan gejala
Cairan Membaik hipovolemia (mis. frekuensi nadi
dengan kriteria meningkat, nadi teraba lemah,
hasil: tekanan darah menurun,tekanan nadi
1. Frekuensi Nadi menyempit, turgo kulit menurun,
Membaik membran mukosa kering, volume
2. Tekanan Darah urin menurun, hematokrit ,
Membaik meningkat,haus,lemah)
3. Tekanan Nadi Monitor intake dan output cairan
membaik
Terapeutik
4. Membran
Mukosa Membaik Hitung kebutuhan cairan
5. Jugular Venous Berikan posisi modified
Pressure (JVP) trendelenburg
Membaik Berikan asupan cairan oral
Edukasi
Kolaborasi
Edukasi
Kolaborasi
Edukasi
Kolaborasi
E. EVALUASI
Evaluasi adalah sebagai langkah akhir dari proses keperawatan, adalah upaya
untuk menentukan apakah seluruh proses keperawatan sudah berjalan dengan naik dan
apakah tindakan berhasil dengan baik (Harmoko,2016).
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mecapai tujuan.
Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat
mengambil keputusan:
1. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang
ditetapkan)
2. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan
untuk mencapai tujuan)
3. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mencapai tujuan)
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Definisi dan Tindakan
Keperawtan. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.