Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Defisiensi Zat Besi dalam Perkembangan dan Fungsi Otak John Beard ABSTRAK : Anemia defisiensi besi

dalam awal kehidupan sejauh ini dihubungkan dengan adanya perubahan perkembangan perilaku dan saraf seseorang. Beberapa studi yang dilakukan pada bayi manusia menunjukkan bahwa perubahan perkembangan tersebut merupakan efek ireversibel yang berhubungan dengan perubahan kimia neurotransmiter, organisasi dan morfologi jaringan saraf, dan neurobiologi mielinasi. Penyerapan zat besi di dalam otak merupakan proses yang berkaitan dengan usia serta bergantung kepada daerah otak yang mengontrol pergerakan zat besi saat melewati sawar darah otak. Reseptor dan transporter dopamin juga diubah di dalam tubuh. Hingga saat ini telah muncul berbagai bukti yang menunjukkan bahwa otak yang kekurangan zat besi pada awal kehidupan memiliki banyak akibat bagi tubuh seseorang baik secara neurokimia maupun secara neurobiologi. J. Nutr. 133: 1468S-1472S, 2003. KATA KUNCI : defisiensi zat besi, perkembangan otak, perilaku, tikus, manusia, neurotransmiter Defisiensi zat besi saat ini dilaporkan sebagai masalah gizi yang paling sering ditemui di dunia dengan perkiraan penderita sebanyak 2,5 5 juta orang (1,2). Selain efek biologis yang dihasilkan dari zat besi, terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa zat besi juga memiliki peran yang penting dalam perkembangan dan fungsi saraf (3-7). Mekanisme dasar terjadinya keterlambatan perkembangan kognitif dan perilaku pada bayi hingga saat ini belum dapat dipahami seutuhnya, akan tetapi terdapat hipotesis kemungkinan-kemungkinan penyebab yang meliputi : i) adanya kelainan dalam metabolisme neurotransmitter (3,6,8,9); ii) adanya penurunan pembentukan mielin (10); dan iii) adanya perubahan metabolisme energi di dalam otak (11). Meskipun bukti terbaru dari studi ini tidak membedakan antara tiga kemungkinan tersebut, namun studi tersebut mengarah kepada melambatnya

pengolahan sistem saraf pusat sebagai komponen kunci pada terjadinya disfungsi saraf anak-anak yang menderita kekurangan zat besi (5,12). Artikel ini akan membahas mengenai peranan zat besi dalam fungsi saraf dan hubungannya dengan kognisi dan perilaku. Bagaimana otak mendapatkan zat besi dan bagaimana metabolismenya? Di dalam otak, terdapat sistem yang berperan dalam penyerapan zat besi dari plasma (melalui reseptor transferin (Tf)), transportasi (Tf), serta penyimpanan zat besi dan cadangan besi dalam masing-masing sel otak (H dan isoform L feritin) (3,13,14). Sawar darah otak mengatur pergerakan zat besi secara efektif dari plasma darah ke dalam cairan cerebrospinal dimana di sini terdapat pleksus choroids yang juga mengatur pengeluaran zat besi dan masuknya ke dalam otak. Tidak semua daerah otak mengandung jumlah zat besi yang sama. Ganglia basalis, substansia nigra dan nucleus cerebellar merupakan daerah otak yang kaya akan zat besi (14,15). Magnetic Resonance Imaging (MRI) baru-baru ini telah digunakan untuk memetakan distribusi zat besi pada otak anak-anak dan remaja (15,16). Konsentrasi tertinggi ditemukan pada globus pallidus, nucleus caudatus, putamen dan substansia nigra. Seperti tercantum dalam Gambar 1, terdapat variasi konsentrasi zat besi di dalam otak tikus. Area otak tikus tidak akan kaya akan zat besi sampai dengan berusia 60 hari (17). Menariknya, hal ini juga berlaku pada manusia dimana substansia nigra tidak menjadi kaya zat besi sampai dengan usia 12-15 tahun (16). Konsentrasi zat besi tertinggi di otak pada saat lahir akan menurun pada masa menyapih, dan kemudian meningkat kembali bertepatan dengan proses mielinasi saraf dan meningkatnya ekspresi Tf mRNA (5,17,18). Otak memperoleh zat besi terutama melalui Tf dan reseptor Tf dalam sel endotel pembuluh darah otak (2,19). Terdapat peran astrosit dalam regulasi penyerapan zat besi ini saat melalui sawar darah otak (Gambar 2). Kami telah mempelajari proses ini sebagai fungsi dari keberadaan zat besi dalam otak dan peranan potensial saturasi plasma Tf dalam proses penyerapan ini (20-22). Tingkat penyerapan zat besi dipengaruhi oleh ketersediaan zat besi dalam otak;

penyerapannya akan meningkat saat ketersediaan zat besi rendah dan menurun saat konsentrasinya tinggi (23). Selain itu, proses penyerapan ini sangat selektif dan tidak mencerminkan permeabilitas sawar darah otak secara keseluruhan (24,25). Upaya kolaboratif kami dengan Laboratorium Dr James Connor menunjukkan hilangnya zat besi yang berbeda-beda pada keadaan defisiensi zat besi serta pemulihan yang berbeda-beda juga dengan terapi besi (20 - 22). Distribusi zat besi yang heterogen dalam otak ini sangat mungkin merupakan akibat dari regulasi penyerapan yang berbeda dan juga bergantung pada distribusi reseptor Tf dan transportasi protein endosomal DMT1 (transporter mineral divalen), eksportir selular besi, serta ferroportin (MTP1 atau FPN1) (26). Distribusi regional protein Tf dan kadar mRNA juga mendukung gagasan bahwa sebagian besar protein Tf otak terlokalisir pada lokasi yang berbeda-beda (27) (Gbr. 3).

Gambar 2. Protein transport besi dan sawar darah otak berperan penting dalam mobilisasi besi ke dalam otak meliputi : DMT1 (divalent metal transporter 1), Tf (transferrin), TfR (transferrin receptor), MTP (metal transport protein atau ferroportin).

Gambar 3. Efek dari intake yang kurang dan cukup zat besi pada distribusi Tf dan TfR mRNA pada otak tikus kelompok dewasa muda dan kelompok kontrol dengan matching usia (Han et al. (26)) Pentingkah onset waktu terjadinya defisiensi zat besi? Studi konduksi saraf pada bayi manusia memberikan bukti bahwa keadaan defisiensi zat besi pada saraf akan menimbulkan efek yang ireversibel (5,12). Oleh karena itu, onset waktu terjadinya defisiensi zat besi adalah hal yang penting. Data pengukuran yang pertama secara langsung mendukung pendapat bahwa balita dengan anemia defisiensi besi dapat mengalami keterlambatan perkembangan karena adanya kelainan biologis. Mengingat fakta bahwa hampir semua intervensi percobaan pada bayi manusia gagal menunjukkan normalisasi lengkap dalam normalisasi status zat besi, para peneliti kemudian didorong untuk mencari 'periode kritis'' masa perkembangan yang benar-benar membutuhkan zat besi yang memadai untuk perkembangan normal. Sejumlah penelitian pada hewan telah dilakukan dalam upaya untuk meniru kondisi dan waktu kekurangan gizi yang bertepatan dengan waktu puncak risiko kekurangan zat besi pada bayi manusia (28). Tidak ada data otopsi pada bayi yang menderita kekurangan zat besi, sehingga kami mengandalkan hewan sebagai model dan metode pencitraan untuk mengetahui masa kritis tersebut. Terdapat kesamaan urutan migrasi sel, mielinasi yang signifikan, diferensiasi seluler, dan peningkatan ekspresi neuropeptida pada tikus dan manusia. Apa yang terjadi pada usia 3-16 bulan postnatal pada manusia terjadi pada usia 7-25 hari postnatal pada tikus (28). Kekurangan zat besi selama menyusui pada tikus menghasilkan

kehilangan yang signifikan pada otak, berbeda dengan kekurangan zat besi yang intakenya dibatasi (22). Pemulihan zat besi otak melalui intake besi yang agresif setelahnya menghasilkan pemulihan yang tidak lengkap pada metabolisme dopamin (DA) dan perilaku (22,29,30). Sensitivitas area otak terhadap kehilangan zat besi selama masa perkembangan berhubungan dengan ketersediaan besi selama periode tersebut. Berlawanan dengan pendapat bahwa zat besi dalam otak tidak mengalami deplesi, percobaan ini menunjukkan cukup jelas bahwa pada hewan pengerat, pengobatan melalui intake besi dapat menurunkan zat besi otak dalam waktu 10 hari dan kemudian terpenuhi kembali dalam waktu 14 hari. Belum ada data perbandingan pada bayi dengan model primata mengenai hal ini sehingga masih terdapat ketidakpastian mengenai kelengkapan pemulihan zat besi pada otak meskipun status besi dalam indeks hematologi telah terpenuhi (berada dalam batas normal) (5,12). Perdebatan muncul mengenai studi efek ireversibel dari defisiensi zat besi pada bayi ini dengan dasar sebagai berikut : i) sebagian besar studi pada manusia difokuskan pada studi defisiensi besi pada bayi usia 12-24 bulan tanpa pemeriksaan yang sama pada anak-anak yang lebih tua. ii) model hewan menunjukkan kelainan ireversibel yang sangat jelas akibat defisiensi besi pada masa kehamilan dan awal menyusui. iii) Laporan mengenai defisiensi zat besi dan hubungannya dengan fungsi otak pada remaja dan dewasa umumnya menunjukkan perilaku yang normal setelah defisiensi besi dikoreksi (31). Kondisi klinis yang baru-baru ini disebut sebagai Restless Leg Syndrome (RLS) tampaknya berhubungan dengan deficit kadar dan metabolisme zat besi dalam otak (32). MRI menunjukkan adanya penurunan kadar besi pada substansia nigra dan nucleus. Tingkat keparahan gejalanya berkorelasi dengan tingkat penurunan zat besi dalam otak. Sejumlah pasien cukup dikoreksi dengan intake zat besi untuk memenuhi kekurangannya, akan tetapi pada sebagian besar kasus gejala diatasi dengan dosis tinggi dekstran besi secara intravena. Cukup menarik ketika banyak pasien dengan RLS berespon terhadap terapi agonis dopamin atau L-dopa. Pada bagian selanjutnya, terpadat bukti yang jelas yang mengkorelasikan antara metabolisme dopamine dengan metabolisme besi.

Besi dan neurotransmiter Sistem dopamin berkembang pesat selama awal kehidupan postnatal sejalan dengan peningkatan pesat jumlah dan kepadatan transporter dopamin dan reseptornya sampai dengan awal pubertas. Transporter monoamina lain dan reseptornya juga secara aktif diekspresikan dalam pengembangan saraf selama periode waktu ini. Proyeksi monoamina ini memainkan peran penting dalam pertumbuhan aksonal dan pembentukan sinaps selama tahap awal pertumbuhan otak. Peran dari zat besi atau mikronutrien lainnya dalam hal ini tidak diketahui secara umum. Peran zat besi dalam metabolisme neurotransmitter telah diteliti oleh sejumlah kelompok penelitian selama empat dekade terakhir. Sebagai hasilnya, kita saat ini mengetahui bahwa zat besi sangatlah penting untuk sejumlah enzim yang terlibat dalam sintesis neurotransmitter (3,14) termasuk triptofan hidroksilase (serotonin) dan hidroksilase tirosin (norepinefrin (NE) dan dopamine). Selain itu, zat besi merupakan kofaktor untuk ribonucleotide reduktase, dan sangat penting untuk reaksi transfer elektron pada metabolisme lipid maupun metabolisme energi dalam otak (14). Besi berkaitan dengan aktivitas monoamine oksidase, yaitu suatu enzim yang penting untuk degradasi neurotransmitter. Selain dari peran biokimia ini, ada beberapa pengamatan mendasar mengenai besi meliputi : i) besi terlokalisasi pada saraf dopaminergik di seluruh otak (6,14); ii) dopamine ekstraseluler dan norepinefrin meningkat pada otak tikus yang kekurangan zat besi, namun neurotransmiter lainnya tidak (8,30,33); iii) kadar zat besi otak turun akibat pembatasan intake zat besi, terdapat penurunan kepadatan reseptor D2 dan D1 dan transporter dopamine di striatum (8,29,35); iv) hilangnya zat besi otak adalah spesifik pada daerah tertentu dan merupakan efek heterogen dari neurobiologi dopamin, pada daerah di mana kadarnya tidak turun, tidak ada perubahan pada biologi dopamine (8,9), dan v) dampak dari kekurangan zat besi pada dopamin otak tidak terjadi karena anemia, pada anemia hemolitik dimana tidak terjadi defisiensi zat besi tidak ditemukan adanya kelainan pada neurobiologi dopamin (6,8,35). Meskipun sebagian besar penelitian mengenai zat besi otak dan neurotransmiter telah difokuskan pada dopamin, terdapat bukti bahwa metabolisme

serotonin dan norepinefrin juga berubah pada otak yang kekurangan besi. Kepadatan transporter serotonin secara signifikan lebih rendah pada otak tikus yang kekurangan zat besi (34) sedangkan pada microdialysis vivo pada tikus memberikan bukti mengenai penurunan penyerapan norepinefrin (33). Studi kami mengenai toleransi dingin dan termoregulasi menunjukkan bahwa pada tikus dan wanita dengan anemia defisiensi besi, keduanya memiliki peningkatan kadar norepinefrin plasma (36). Hasil ini sejalan dengan kehilangan norepinefrin yang lebih cepat pada sistem saraf simpatik perifer dan diduga merupakan efek defisiensi zat besi pada mekanisme penyerapan monoamina. Penting untuk mengingat bahwa transporter serotonin, norepinefrin, dan dopamin,merupakan bagian yang sama dari cotransporters Na1 sehingga menunjukkan karakteristik yang serupa sehubungan dengan regulasi dan translokasi transporter tersebut (37). Satu-satunya neurotransmiter lain yang dipelajari berkaitan dengan status besi dalam otak adalah asam g-aminobutyric (38). Mekanisme langsung dari efek seluler status besi pada metabolisme monoamina belum diketahui meskipun telah dilakukan percobaan kultur sel pada laboratorium kami (39). Percobaan dengan sel pheochromocytoma (PC12) dan sel neuroblastoma menunjukkan hubungan respon dosis antara khelasi besi dan ekspresi transporter dopamine dan norepinefrin. Percobaan ini menunjukkan untuk pertama kalinya bukti langsung hubungan seluler pada metabolisme besi dan monoamina.

Bagaimana perilaku berhubungan dengan besi dalam otak dan biologi neurotransmiter? Kekurangan zat besi pada hewan dan bayi manusia mengakibatkan perubahan perilaku yang resisten terhadap terapi zat besi (2-5,40). Kami mendemonstrasikan pada model binatang, bahwa perubahan perilaku berhubungan dengan perubahan pada pusat dopamine dan konsentrasi besi (8,22,29). Analisis terakhir kami mengenai perilaku, dopamine, dan daerah otak yang kaya besi, bagaimanapun, mengungkapkan beberapa hubungan yang relevan:

Analisis regresi multivariat terhadap aktivitas spontan menunjukkan 65 % variabilitas perilaku mencari lingkungan baru yang dihubungkan dengan besi

otak tengah bagian ventral, dan kepadatan reseptor dopamine D1 di otak tengah dan putamen caudatus (41).

Analisis multivariat perilaku kecemasan menunjukkan hampir 45% varian kecenderungan untuk pindah ke lingkungan yang lebih aman. Hal ini dapat dikaitkan dengan variasi transporter dopamine nukleus accumbens dan kepadatan reseptor D2 (40).

Defisiensi besi sebelum dan sesudah masa menyapih pada tikus menghasilkan perilaku kurang aktif (41,42). Pemenuhan besi menghasilkan normalisasi pada sebagian besar perubahan dalam biologi dopamine tersebut.

Defisiensi zat besi dan fungsi kognitif pada orang dewasa Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah kekurangan zat besi selama periode nondevelopmental berhubungan dengan perubahan perilaku, kognisi dan fungsi otak (31,43). Studi pada remaja yang kekurangan zat besi, tetapi tidak anemia, mengungkapkan perubahan dalam fungsi kognitif yang dapat dikaitkan dengan deplesi besi tetapi bukan anemia (31). Saat tes khusus dilakukan, remaja dengan anemia defisiensi zat besi anemia memberikan hasil yang kurang baik dari pada remaja yang kebutuhan besinya tercukupi Artikel singkat ini telah menyoroti beberapa peran biologis besi pada fungsi metabolisme otak dan saraf. Meskipun banyak penelitian telah difokuskan pada awal perkembangan sebagai periode kritis, namun belum ada kepastian bahwa periode kritis telah ditentukan atau dibatasi pada bayi yang usianya kurang dari 2 tahun. Bukti terbaru terhadap orang dewasa dengan RLS, penyakit ginjal maupun pada kondisi postpartum juga menunjukkan adanya perubahan fungsi saraf dan perilaku akibat defisit besi otak yang tidak terbatas hanya pada bayi.

Anda mungkin juga menyukai