Anda di halaman 1dari 15

2.

2 Gastritis
2.2.1 Pengertian Gastritis
Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang
berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis bukan merupakan
penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan
peradangan pada lambung. Biasanya, peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh
bakteri yang sama dengan bakteri yang dapat mengakibatkan borok di lambung yaitu
Helicobacter pylori. Tetapi faktor-faktor lain seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus
menerus beberapa obat penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis.
Secara histologis dapat dibuktikan dengan inflamasi sel-sel radang pada daerah tersebut
didasarkan pada manifestasi klinis dapat dibagi menjadi akut dan kronik (Hirlan, 2001 : 127).
Pada beberapa kasus, gastritis dapat menyebabkan terjadinya borok (ulcer) dan dapat
meningkatkan resiko dari kanker lambung. Akan tetapi bagi banyak orang, gastritis bukanlah
penyakit yang serius dan dapat segera membaik dengan pengobatan.
Gastritis merupakan gangguan yang sering terjadi dengan karakteristik adanya anorexia,
rasa penuh, dan tidak enak pada epigastrium, nausea, muntah.
Secara umum definisi gastritis ialah inflamasi pada dinding lambung terutama pada
mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan yang paling sering ditemui
diklinik karena diagnosisnya hanya berdasarkan gejala klinis
Bila mukosa lambung sering kali atau dalam waktu cukup lama bersentuhan dengan
aliran balik getah duodenum yang bersifat alkalis, peradangan sangat mungkin terjadi dan
akhirnya malah berubah menjadi tukak lambung. Hal ini disebabkan karena mekanisme
penutupan pylorus tidak bekerja dengan sempurna, sehingga terjadi refluks tersebut. Mukosa
lambung dikikis oleh garam-garam empedu dan lysolesitin (dengan kerja detergens). Akibatnya
timbul luka-luka mikro, sehingga getah lambung dapat meresap ke jaringan-jaringan dalam dan
menyebabkan keluhan-keluhan (Obat-obat Penting hlm 262).
Gastritis menurut jenisnya terbagi menjadi 2, yaitu (David Ovedorf 2002) :
1. Gastritis akut
Disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat yang dapat menyebabkan mukosa
menjadi gangren atau perforasi. Gastritis akut dibagi menjadi dua garis besar yaitu :
 Gastritis Eksogen akut ( biasanya disebabkan oleh faktor-faktor dari luar, seperti bahan
kimia misal : lisol, alkohol, merokok, kafein lada, steroid , mekanis iritasi bakterial, obat
analgetik, anti inflamasi terutama aspirin (aspirin yang dosis rendah sudah dapat
menyebabkan erosi mukosa lambung) ).
 Gastritis Endogen akut (adalah gastritis yang disebabkan oleh kelainan badan).
2. Gastritis Kronik
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari
lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylory (H. Pylory). Gastritis kronik dikelompokkan lagi
dalam 2 tipe yaitu tipe A dan tipe B. Dikatakan gastritis kronik tipe A jika mampu menghasilkan
imun sendiri. Tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar lambung dan penurunan mukosa.
Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi produksi antibodi. Anemia pernisiosa
berkembang pada proses ini. Gastritis kronik tipe B lebih lazim. Tipe ini dikaitkan dengan
infeksi Helicobacter pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.

2.2.2 Epidemiologi
Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap delapan negara dunia
dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian gastritis di dunia, dimulai dari
negara yang angka kejadian gastritisnya paling tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai
47% kemudian diikuti oleh India dengan persentase 43%, lalu beberapa negara lainnya seperti
Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5% dan Indonesia 40,8%.
Penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Depertemen Kesehatan RI angka kejadian
gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6% yaitu di kota Medan, lalu
di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%,
Palembang 35,3%, Aceh 31,7% dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan
yang kurang sehat (Karwati, 2013). Berdasarkan laporan SP2TP tahun 2012 dengan kelengkapan
laporan sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang melaporkan gastritis berada pada urutan
kedua dengan jumlah kasus 134.989 jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014) .
Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding mukosa lambung
semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih mudah untuk terinfeksi Helicobacter
pylori atau penyakit autoimun daripada usia muda. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua
mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri (Jackson,
2006).
Prevalensi gastritis pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria, hal ini
berkaitan dengan tingkat stres. Secara teori psikologis juga disebutkan bahwa perempuan lebih
banyak menggunakan perasaan dan emosi sehingga mudah atau rentan untuk mengalami stres
psikologis (Gupta, 2008).
2.2.3 Etiologi
Secara garis besar penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu adanya kondisi
yang memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan, dan zat eksternal yang menyebabkan
iritasi dan infeksi. Gastritis biasanya terjadi ketika mekanisme perlindungan dalam lambung
mulai berkurang sehingga menimbulkan peradangan (inflamasi). Kerusakan ini bisa disebabkan
oleh gangguan kerja fungsi lambung, gangguan struktur anatomi yang bisa berupa luka atau
tumor, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi alkohol atau kopi yang berlebih, gangguan
stres, merokok, pemakaian obat penghilang nyeri dalam jangka panjang dan secara terus
menerus, stres fisik, infeksi bakteri Helicobacter pylori (Suryono, 2016).
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor-faktor
defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung dan duodenum menyebabkan terjadinya
gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif
dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan
kerusakan mukosa lambung-duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam empedu,
obat-obat ulserogenik (aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya, kortikosteroid dosis tinggi),
merokok, etanol, bakteri, leukotrien B4 dan lain-lain (Katzung, 2004).
Pemakaian obat-obatan tertentu dalam jangka panjang beresiko mengakibatkan penyakit
gastritis karena obat-obat tersebut mengiritasi dinding lambung dan menyebabkan mukosa
pelindung lambung menjadi tipis sehingga lebih mudah terluka. Selain itu, dapat pula disebabkan
faktor sosial, yaitu situasi yang penuh stres psikologis. Suatu pengamatan terhadap seorang
pasien yang menderita fistula pada lambungnya sehingga perubahan-perubahan pada lambung
dapat diamati, ternyata mengalami peningkatan produksi asam lambung saat dihadapkan pada
situasi yang menegangkan yang menimbulkan perasaan cemas. Timbulnya penyakit gastritis dan
tukak lambung dipicu oleh stres yang berkepanjangan. Stres yang berkepanjangan ini muncul
karena gaya hidup saat ini yang serba cepat akibat tuntutan hidup dan tuntutan kerja, misalnya
mobilitas yang tinggi maupun beban kerja yang dirasakan berat. Gaya hidup tersebut membuat
individu selalu berada dalam ketegangan sehingga berakibat pada munculnya stres. Selain itu
pola makan yang tidak teratur dan mengkonsumsi makanan instan sebagai akibat pola hidup
serba cepat juga merupakan salah satu pencetus penyakit gastritis (Subekti, 2011).
Helicobacter pylori merupakan penyebab utama penyakit gastritis. Menurut penelitian,
gastritis yang dipicu bakteri ini bisa menjadi gastritis menahun karena Helicobacter pylori dapat
hidup dalam waktu yang lama dilambung manusia dan memiliki kemampuan mengubah kondisi
lingkungan yang sesuai dengan lingkungannya sehingga Helicobacter pylori akan mengiritasi
mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di sekitar epigastrium. Komplikasi yang dapat
timbul dari gastritis, yaitu gangguan penyerapan vitamin B12, menyebabkan anemia pernesiosa,
penyerapan besi terganggu dan penyempitan daerah antrum pylorus. Gastritis kronis jika
dibiarkan tidak terawat, akan menyebabkan ulkus peptik dan pendarahan pada lambung. Serta
dapat meningkatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus
pada dinding lambung dan perubahan pada sel-sel di dinding lambung. Adapun kasus dengan
penyakit gastritis merupakan salah satu jenis kasus yang umumnya diderita oleh kalangan
masyarakat sehingga harus berupaya untuk mencegah agar tidak terjadi kekambuhan (Suryono,
2016).

2.2.4 Patofisiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan
merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Patofisiologi terjadinya
gastritis dan tukak peptik ialah bila terdapat ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan
faktor pertahanan (defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan
atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung,
pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-negatif,
OAINS, alkohol dan radikal bebas. Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa
gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial
(Pangestu, 2003).
Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan mucus
bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk
ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas
pertahanannya meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan pH,
dan membuat ikatan antar sel (Kumar, 2005).
Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan leukosit. Komponen terpenting lapis
pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat (Pangestu, 2003).
Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein, alkohol dan aspirin
merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab
gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan
mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya
OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu,
enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila alkohol
diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak dibandingkan dengan efek
masing-masing agen tersebut bila diminum secara terpisah (Price dan Wilson, 2005).

2.2.5 Gejala Gastritis


Gejala gastritis atau maag diantarnya yaitu tidak nyaman sampai nyeri pada saluran
pencernaan terutama bagian atas, mual, muntah, lambung terasa penuh, kembung, bersendawa,
merasa cepat kenyang, perut keroncongan dan sering kentut serta timbulnya luka pada dinding
lambung. Gejala ini bisa menjadi akut, berulang dan kronis. Disebut kronis bila gejala itu
berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus dan gastritis ini dapat ditangani sejak awal yaitu:
mengkonsumsi makanan lunak dalam porsi kecil, berhenti mengkonsumsi makanan pedas dan
asam, berhenti merokok serta minuman beralkohol dan jika memang diperlukan dapat minum
antasida sekitar setengah jam sebelum makan atau sewaktu makan (Misnadiarly, 2009).
Tanda dan Gejala Penyebab
Mual HCl meningkat
Adanya penekanan terhadap saraf vagus, dan memberikan
Muntah reflek ingin muntah
Karena lambung banyak terisi HCl maka lambung akan
terasa penuh, selain itu rasa mual juga dapat menyebabkan
Tidak Nafsu Makan tidak nafsu makan
Nyeri Peradangan oleh agen iritasi lambung terhadap lambung
Perdarahan lambung akibat erosi oleh agen iritasi lambung
Hematesis yang mengenai pembuluh darah di lambung
Dalam tinja terdapat Perdarahan lambung akibat erosi oleh agen iritasi lambung
darah yang mengenai pembuluh darah di lambung
Lambung yang terisi HCl yang penuh dapat menyebabkan
Mulut terasa asam HCl terasa sampai di rongga mulut

2.2.6 Komplikasi
Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastristis
akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas berupa hematemesis dan
melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok hemoragik. Gastritis kronik komplikasinya adalah
perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001).

2.2.7 Terapi Farmakologi


1. Antagonis reseptor H2 histamin
Obat golongan ini akan cepat diabsorbsi secara oral dan akan memblok kerja dari
histamin pada sel parietal dan mengurangi sekresi asam. Obat ini akan mengurangi nyeri akibat
gastritis dan meningkatkan kecepatan penyembuhan gastritis (Neal,2005 )
Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin.
Simetidin dan antagonis H2 lainya diberikan secara per-oral, didistribusikan secara luas ke
seluruh tubuh dan diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat. Ranitidin
memiliki masa kerja yang panjang dan lima sampai sepuluh kali lebih kuat. Efek farmakologi
famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50 kali lebih kuat dibandingkan dengan simetidin
dan 3−20 kali lebih kuat dibandingkan ranitidin. Efek farmakologi nizatidin sama seperti
ranitidin, nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi metabolisme (Mycek,
2001)
Contoh obat:
a. Simetidin
Simetidin mempunyai efek antiandrogen, namun jarang menyebabkan ginekomastia.
simetidin juga terikat pada sitokrom P-450 dan bisa menurunkan metabolisme dalam hati
(misalnya : warfarin, fenitoin dan teofilin) (Neal, 2005).
Indikasi : ulserasi gaster dan duodenum jinak, tukak stomal, refluks oesofagitis, kondisi lain
dimana pengurangan asam lambung bermanfaat (BNF, ed.68, hlm 52)
Kontraindikasi : hipersensitivitas (ISO vol.46, 2011-2012)
Efek samping : jarang terjadi dan berupa diare (sementara), nyeri otot, pusing-pusing dan reaksi
kulit. Pada penggunaan lama dengan dosis tinggi dapat terjadi impotensi dan gynecomatia
ringan, yaitu buah dada yang membesar (Tjay, 2015)
Farmakokinetik : Simetidin mudah diserap dari saluran gastrointestinal dan konsentrasi
plasma puncak diperoleh setelah sekitar satu jam saat diberi perut kosong; Puncak kedua bisa
terlihat setelah sekitar 3 jam. Makanan menunda laju dan mungkin sedikit mengurangi tingkat
penyerapan, dengan konsentrasi plasma puncak terjadi setelah sekitar 2 jam. Ketersediaan hayati
simetidin setelah dosis oral adalah sekitar 60 sampai 70%. Simetidine didistribusikan secara luas
dan memiliki volume distribusi sekitar 1 liter/kg dan lemah terikat, sekitar 20%, untuk protein
plasma. Itu Waktu paruh eliminasi dari plasma sekitar 2 jam dan meningkat pada gangguan
ginjal (Martindale ed.36, 2009)
Dosis : Gastritis, 1 dd 800 mg setelah makan malam. Ulkus peptikus 2 dd 400 mg pada waktu
makan atau 1 dd 800 mg selama 4 minggu dan maksimal 8 minggu. Dosis pemeliharaan guna
mencegah kambuh, malam hari 400 mg selama 3-6 bulan. Intravena 4-6 dd 200 mg (Tjay, 2015)
b. Ranitidin
Daya menghambat senyawa ini lebih kuat dibandingkan dengan simetidin. Tidak
merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak mengakibatkan interaksi
yang tidak diinginkan (Tjay, 2015)
Indikasi : pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif, tukak lambung aktif, mengurangi
gejala refluks esofagitis.
Interaksi Obat : ranitidine tampaknya tidak mempengaruhi sitokrom P450 untuk sebagian
besar, dan karena itu dianggap memiliki sedikit efek pada metabolisme obat lain. Namun, seperti
halnya antagonis H2 lainnya, efeknya pada pH lambung bisa mengubah penyerapan dari
beberapa obat lain (Martindale Ed.36, 2009 )
Efek samping : penglihatan kabur; juga dilaporkan pankreatitis, gerakan disengaja gangguan,
nefritis interstisial, alopesia (BNF, ed.68 hlm 53).
Farmakokinetik : Ranitidin mudah diserap dari saluran gastrointestinal dengan konsentrasi
puncak dalam plasma terjadi sekitar 2 sampai 3 jam setelah dosis oral. Ranitidine melintasi
penghalang plasenta dan disebarkan ke ASI (Martindale ed.36, 2009)
Dosis : 1 dd 300 mg sesudah makan malam selama 4-8 minggu, sebagai pencegah 1 dd 150 mg,
i.v 50 mg sekali (Tjay, 2015)
c. Famotidin
Indikasi : tukak usus 12 jari, hipersekresi patologis seperti sindrom zollinger Ellison dan
edenoma endokrin berganda (ISO Vol.46, 2011-2012).
Efek samping : sembelit; mulut kering, mual, muntah, perut kembung, anoreksia, kelelahan,
sesak, pneumonia interstisial, kejang, parestesia (BNF, ed.68 hlm 53).
Dosis : Ulserasi gaster dan duodenum jinak, pengobatan 40 mg di malam hari selama 4-8
minggu; pemeliharaan (duodenal ulserasi), 20 mg di malam hari, Refluks oesofagitis, 20-40 mg
dua kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg dua kali sehari Antasida (BNF, ed.68
hlm 53)
Farmakokinetik : Famotidine mudah diserap di saluran gastrointestinal namun tidak sempurna
dengan konsentrasi puncak di plasma terjadi 1 sampai 3 jam setelah dosis oral. Ketersediaan
hayati famotidine oral sekitar 40- 45% dan tidak terpengaruh secara signifikan dengan adanya
makanan. Waktu paruh eliminasi dari plasma dilaporkan terjadi sekitar 3 jam dan
berkepanjangan pada gangguan ginjal. Famotidine lemah terikat, sekitar 15 sampai 20%, ke
plasma protein. Sebagian kecil famotidin adalah dimetabolisme di hati menjadi famotidin S-
oksida. Tentang 25 sampai 30% dosis oral, dan 65 sampai 70% dari intravena Dosis,
diekskresikan tidak berubah dalam air kencing dalam 24 jam, terutama dengan sekresi tubular
aktif (Martindale Ed.36, )
d. Nizatidin
Efek samping : sembelit; mulut kering, mual, muntah, perut kembung, anoreksia, kelelahan,
sesak, pneumonia interstisial, kejang, parestesia (BNF, ed.68 hlm 53). Dosis dan indikasi :
Ulserasi gaster, duodenum atau terkait NSAID, Pengobatannya, 300 mg di malam hari atau 150
mg dua kali sehari selama 4-8 minggu; pemeliharaan, 150mg dimalam hari. Penyakit refluks
gastroesofagus, 150-300 mg dua kali setiap hari sampai 12 minggu
2. Antasida
Antasida meningkatkan pH lumen lambung. Peningkatan tersebut meningkatkan
kecepatan pengosongan lambung. Sehingga efek antasida menjadi pendek. Pelepasan gastrin
meningkat dan karena hal ini menstimulasi pelepasan asam, maka antasida dibutuhkan lebih
banyak (Neal, 2015).
Antasida tidak mengurangi volume HCL yang dikeluarkan lambung tetapi peningkatkan
pH dapat menurunkan aktivitas pepsin. Mula kerja antasida sangat bergantung pada kelarutan
dan kecepatan netralisasi asam, sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan
masa kerjanya. Antasida digolongkan menjadi 2 macam yaitu antasida sistemik dan nonsistemik.
Antasida sistemik yang diabsorbsi melalui usus halus sehingga urin akan bersifat alkalis dan
menyebabkan alkalosis metabolik dan antasida nonsistemik yang tidak diabsorbsi melalui usus
halus sehingga tidak akan menyebabkan alkalosis metabolik (Ganiswara, 2015 )
Senyawa antasida :
 Natrium bikarbonat merupakan satu-satunya antasida yang larut air dan sangat berguna.
Natrium bikarbonat bekerja cepat tetapi mempunyai efek sementara dan bikarbonat yang
diabsorbsi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan alkalosis sistemik.
 Magnesium hidroksida dan magnesium trisilikat tidak larut dalam air dan bekerja cukup
cepat. Magnesium mempunyai efek laksatif dan bisa menyebabkan diare.
 Alumunium hidroksida bekerja relatif lambat. Ion Al3+ membentuk kompleks dengan
obat-obatn tertentu (misalnya tetrasiklin) dan cenderung menyebabkan konstipasi.
Campuran senyawa magnesium dan alumunium bisa digunakan untuk meminimalkan
efek pada motilitas (Tjay, 2015)
Efek samping dari obat antasida bervariasi tergantung zat komposisinya.
Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, sedangkan magnesium hidroksida dapat
menyebabkan diare. Kombinasi keduanya dapat membantu menormalkan fungsi usus. Selain
menyebabkan alkalosis sistemik, natrium bikarbonat melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan
sendawa dan kembung (Mycek, 2001).
Contoh obat:
Antasida DOEN
Indikasi : mengurangi gejala kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak usus 12
jari
Kontraindikasi : disfungsi ginjal berat
Efek samping : sembelit, diare, mal,muntah
Interaksi obat : simetidin dan tetrasiklin mengurangi absorbsi obat
Dosis : dewasa sehari 3-4x 1-2 tab atau 1-2 sdt suspensi. Anak 6-12 tahun sehari 3-4x ½ - 1 tab
atau ½ (ISO Vol.46, 2011-2012).

3. Penguat Mukosa Lambung


a. Sukralfat
Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip lem dalam suasana
asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara selektif. Sukralfat hampir tidak diabsorpsi
secara sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan pepsin ini terutama efektif
terhadap tukak duodenum. Karena suasana asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, pemberian
bersama Antagonis H2 atau antasid menurunkan bioavailabilitas (FKUI).
Indikasi : Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk pengobatan tukak lambung dan
tukak duodenum. Data terbatas menunjukkan bahwa derajat kekambuhan ulkus lebih rendah
etelah pemberian sukralfat (FKUI).
Farmakokinetik : Sukralfat hanya sedikit diserap di gastrointestinal traktus setelah pemberian
oral. Namun, bisa ada beberapa pelepasan ion aluminium dan sukrosa sulfat; sejumlah kecil
sukrosa sulfat mungkin akan diserap dan diekskresikan, terutama dalam urin (Martindale 36th
ed. Hal 1772).
Dosis : Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1g, 4 kali sehari dalam keadaan
lambung kosong (1 jam sebelum makan), selama 4-8 minggu. Pemberian antasid untuk
mengurangi nyeri dapat diberikan dengan interval 1 jam setelah sukralfat. Untuk pencegahan
stress ulcer diberikan 1g, 6 kali sehari sebagai suspensi oral (FKUI).
Efek Samping : Konstipasi adalah yang paling sering dilaporkan merugikan. Meskipun diare,
mual, muntah, perut kembung, atau ketidaknyamanan lambung juga bisa terjadi. Efek samping
lainnya ialah mulut kering, pusing, mengantuk, sakit kepala, vertigo, sakit punggung, dan kulit
ruam. Reaksi hipersensitivitas seperti pruritus, edema, urtikaria, kesulitan pernafasan, rhinitis,
laringospasme, dan pembengkakan wajah telah dilaporkan (Martindale 36th ed. Hal 1772).
Karena sukralfat mengandung alumunium, penggunaannya pada pasien gagal ginjal harus hati-
hati. Data keamanannya pada wanita hamil belum ada, jadi sebiknya tidak digunakan (FKUI).
Interaksi : Sukralfat bisa mengganggu penyerapan obat-obatan lain dan sudah dianjurkan bahwa
pemberian selang 2 jam antara sukralfat dan obat non-antasid. Beberapa obat yang dipengaruhi
absorbsinya oleh sukralfat antara lain simetidin, ranitidin, digoksin, antibakteri fluoroquinolon,
ketokonazol, levothyroxine, phenytoin, tetrasiklin, quinidine, teofilin dan warfarin. Interval
pemberian antara sukralfat dan antasida adalah 30 menit. Selang waktu 1 jam untuk pemberian
sukralfat dan makanan enteral (Martindale 36th ed. Hal 1772).
b. Misoprostol
Suatu analog metilester prostaglandin E1. Obat ini berefek menghambat sekresi HCl dan
bersifat sitoprotektif untuk mencegah tukak saluran cerna yang diinduksi obat-obat AINS.
Misoprostol adalah prostaglandin sintetik pertama yang efektif secara oral. Obat ini
menyembuhkan tukak lambung dan duodenum, efeknya berbeda bermakna dibanding plasebo
dan sebanding dengan simetidin. Misoprostol menyembuhkan tukak duodenum yang telah
refrakter terhadap AH2. Pada penelitian klinis, misoprostol sama efektif dengan simetidin untuk
pengobatan jangka pendek tukak duodenum dan jelas efektif untuk menyembuhkan tukak
lambung. Tetapi AH2 atau tukak sukralfat lebih sering dipilih untuk pengobatan tukak bukan
karena obat AINS, karena efek sampingnya ringan (FKUI)
Indikasi : Menstimulasi mekanisme perlindungan mukosa lambung dan menghambat sekresi
asam lambung. Berdasarkan ini membantu pengobatan tukak lambung dan juga ditambahkan
dengan NSAIDs (Tjay dan Kirana, 2015).
Farmakokinetik : Misoprostol dilaporkan cepat diserap dan dimetabolisme menjadi bentuk
aktifnya (misoprostol acid; SC-30695) setelah dosis oral; konsentrasi plasma puncak asam
misoprostol terjadi sekitar 15-30 menit. Makanan mengurangi peningkatan tetapi tidak tingkat
penyerapannya. Asam misoprostol dimetabolisme lebih lanjut dengan oksidasi sejumlah organ
tubuh dan diekskresikan terutama di dalam urine. Waktu paruh eliminasi plasma dilaporkan
terjadi antara 20 dan 40 menit. Asam misoprostol terdistribusi ke dalam ASI (Martindale 36th ed.
Hal 1772).
Dosis : Oral, dewasa 200mg 4 kali/ hari atau 400 mg 2 kali/ hari.
obat ini diindikasikan untuk profilaksis tukak lambung pada pasien berisiko tinggi (usia lanjut
dan pasien yang pernah menderita tukak lambung atau perdarahan saluran cerna yang
memerlukan AINS) (FKUI).
Efek Samping : Diare (kadang kala bisa parah dan membutuhkan penarikan, dikurangi dengan
memberi dosis tunggal tidak melebihi 200 mikrogram dan dengan menghindari antasida yang
mengandung magnesium), dan juga sakit perut, dispepsia, perut kembung, mual dan muntah-
muntah, pendarahan vagina abnormal (termasuk perdarahan intermenstruasi, menorrhagia dan
pasca menopause perdarahan), ruam dan pusing (BNF 68 Hal. 55). Misoprostol sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil. Dalam suatu penelitian dilaporkan timbulnya pendarahan 50%
wanita hamil trisemester I, dan 7% mengalami keguguran (FKUI).

4. Inhibitor Pompa Proton


Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dari
AH2. Obat ini bekerja di proses terakhir produksi asam lambung, lebih distal dari AMP (FKUI).
a. Esomeprazol
Indikasi : Esomeprazol adalah S-isomer penghambat pompa proton omeprazol dan digunakan
sama dengan pengobatan penyakit maag peptik dan terkait NSAID ulserasi, pada refluks
gastroesofagus penyakit dan sindrom Zollinger-Ellison (Martindale 36th ed. Hal 1729).
Farmakokinetik : Esomeprazol cepat diserap setelah dosis oral, dengan t ½ terjadi setelah
sekitar 1-2 jam. Esomeprazol terikat pada protein plasma sekitar 97%. Ini dimetabolisme secara
luas di hati oleh isoenzim sitokrom P450 CYP2C19 terhadap metabolit hidroksi dan desmethyl,
yang tidak berpengaruh pada sekresi asam lambung. Pengingat dimetabolisme oleh isoenzim
sitokrom P450 CYP3A4 sampai esomeprazol sulfon. Dengan diulang dosis, ada penurunan first-
pass metabolism dan pembersihan sistemik, mungkin disebabkan oleh penghambatan dari
isoenzim CYP2C19. Namun, tidak ada akumulasi sekali pakai sehari-hari. Penghapusan plasma
waktu paruh sekitar 1,3 jam. Hampir 80% dari Dosis oral dieliminasi sebagai metabolit dalam
urin (Martindale 36th ed. Hal 1729).
Dosis : Dosis oral 20 mg setiap hari, selama 4-8 minggu, digunakan dipengobatan ulserasi terkait
NSAID; dosis 20 mg/ hari juga dapat digunakan untuk profilaksis pada pasien berisiko lesi
semacam itu yang membutuhkan terus pengobatan NSAID. Untuk pengobatan sindroma
Zollinger-Ellison, dianjurkan dosis oral esomeprazol awal 40 mg/ 2x sehari, yang kemudian
disesuaikan sesuai kebutuhan. Mayoritas pasien dapat dikontrol pada dosis antara 80 dan 160 mg
setiap hari, meski dosis 240 mg telah diberikan. Dosis di atas 80 mg setiap hari seharusnya
diberikan dalam 2 dosis terbagi. Dosis Parenteral, dosis serupa di atas bisa diberikan secara
intravena untuk penyakit refluks gastroesofagus dan NSAID. Esomeprazol diberikan sebagai
garam natrium dengan injeksi intravena lambat setidaknya 3 menit atau infus intravena selama
10 sampai 30 menit. Dosis esomeprazol mungkin perlu dikurangi pada pasien dengan gangguan
hati (Martindale 36th ed. Hal 1729).
Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah, tremor, impotensi, petechiae, dan
purpura; Sangat jarang kolitis, diangkat
kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68 hlm. 56).
b. Lansoprazol
Indikasi : Pengobatan jangka pendek tukak usus, tukak lambung dan refluks esofagus (ISO Vol.
45, 2010-2011).
Farmakokinetik : Lansoprazol cepat diserap setelah dosis oral, dengan konsentrasi plasma
puncak dicapai setelah sekitar 1,5-2 jam. Bioavailabilitas dilaporkan 80% atau lebih bahkan
dengan dosis pertama, meski obatnya harus diberikan dalam bentuk lapisan enterik karena
lansoprazol tidak stabil pada pH asam. Makanan dapat memperlambat penyerapan lansoprazole
dan mengurangi bioavailabilitas sekitar 50%. Ini banyak dimetabolisme di hati, terutama dengan
sitokrom P450 isoenzim CYP2C19 untuk membentuk 5-hydroxyl-lansoprazole dan oleh
CYP3A4 untuk membentuk lansoprazole sulfon. Metabolit diekskresikan terutama di kotoran
melalui empedu; hanya sekitar 15 sampai 30% dari dosis diekskresikan dalam urin. Waktu paruh
eliminasi plasma adalah sekitar 1-2 jam tapi durasi tindakannya banyak lebih lama Lansoprazol
sekitar 97% terikat pada plasma protein.
Dosis : Ulkus gastrik jinak, 30mg setiap hari di pagi hari selama 8 minggu. Ulkus duodenum,
30mg setiap hari di pagi hari selama 4 minggu; perawatan 15mg/ hari.
Ulkus duodenum atau gastrik terkait NSAID, 30mg/ hari selama 4 minggu, dilanjutkan 4 minggu
lagi jika tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis, 15-30mg/ hari.
Sindrom Zollinger-Ellison (dan hypersecretory lainnya kondisi), awalnya 60mg/; dosis harian
120 mg atau lebih diberikan dalam dua dosis terbagi. Penyakit refluks gastroesofagus, 30mg/
hari di pagi selama 4 minggu, lanjutkan untuk 4 minggu lagi jika tidak sepenuhnya sembuh;
pemeliharaan 15-30 mg perhari.
Dispepsia terkait asam, 15-30mg/ hari di pagi hari selama 2-4 minggu (BNF Ed. 68 hlm. 56).
Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah, tremor, impotensi, petechiae, dan
purpura; Sangat jarang kolitis, diangkat kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68 hlm. 56).
c. Omeprazole
Indikasi : Tukak duodenal, tukak gastrik, tukak peptik, refluks esofagitis erosif/ ulseratif,
sindrom Zollinger-Ellison (ISO Vol. 45, 2010-2011).
Farmakokinetik : Omeprazol cepat tapi diserap dalam pemberian oral dosis. Penyerapan tidak
dipengaruhi secara signifikan oleh makanan. Omeprazol adalah asam labil dan farmakokinetik
berbagai formulasi dikembangkan untuk meningkatkan bioavailabilitas oral yang beragam.
Penyerapan omeprazol juga tampaknya bergantung pada dosis; meningkatkan dosis diatas 40mg
telah dilaporkan meningkat. Konsentrasi plasma secara non linier karena metabolisme hepatik
pertama yang jenuh. Sebagai tambahan, ketersediaan hayati lebih tinggi setelah penggunaan
jangka panjang. Ketersediaan hayati omeprazol dapat meningkat pada pasien lansia Pada
penyerapan, omeprazol hampir seluruhnya dimetabolisme di hati, terutama oleh sitokrom P450
isoenzim CYP2C19 membentuk hidroksi omeprazol, dan sebagian kecil oleh CYP3A4 untuk
membentuk omeprazole sulfon. Metabolitnya tidak aktif, dan sebagian besar diekskresikan
dalam urin dan pada tingkat yang lebih rendah di dalam empedu. Waktu paruh eliminasi dari
plasma sekitar 0,5-3 jam (Martindale 36th ed. Hal 1755).
Dosis : Dewasa sehari 1 x 20-40mg. Lama terapi : tukak usus 2-4 minggu. Tukak lambung dan
refluks esofagitis yang erosif 4-8 minggu. Sindrom Zollinger-Ellison: sehari 1x 60mg. Maksimal
120mg/ hari. Dosis 80mg harus diminum dalam dua dosis terbagi (ISO Vol. 45, 2010-2011).
Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah, tremor, impotensi, petechiae, dan
purpura; Sangat jarang kolitis, diangkat kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68 hlm. 56)

2.2.8 Terapi Non-Farmakologi


Berikut ini adalah gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya
gangguan pada lambung, antara lain:
 Atur pola makan
 Olah raga teratur
 Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat,
keju, dan lain-lain)
 Hindari mengkonsumsi makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang,
melon, semangka, dan lain-lain)
 Hindari mengkonsumsi makanan yang terlalu pedas
 Hindari minuman dengan kadar caffein, alkohol, dan kurangi rokok
 Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
 Kelola stres psikologi seefisien mungkin

Anda mungkin juga menyukai