PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Anak adalah masa depan bangsa dan untuk menjadi bangsa yang besar diperlukan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi
kualitas SDM adalah faktor nutrisi. Status gizi anak Indonesia masih menjadi salah satu
masalah kesehatan, khususnya status gizi pada balita. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia 2017, didapatkan 6,7% balita dengan status gizi buruk (BB/TB < -3 SD, WHO
2006) dan 2,8% balita dengan status gizi kurang (BB/TB < -2 SD, WHO 2006) di
Indonesia. Data tersebut menunjukkan adanya perbaikan status gizi dibanding tahun 2016
dimana didapatkan 7,99% balita dengan status gizi kurang dan 3,11% balita dengan status
gizi buruk. Wilayah NTT sendiri menempati urutan kedua wilayah dengan jumlah anak
gizi buruk terbanyak, mencapai 6% dan jumlah anak gizi kurang sebanyak 9,8%. Untuk
wilayah kota Kupang, menempati urutan 6 dengan satus gizi buruk terbanyak dari 22
kabupaten/kota sebanyak 240 balita. Untuk Kecamatan Alak sendiri, berdasarkan laporan
gizi pada bulan Desember 2018 didapatkan sebanyak 36 anak dengan gizi kurang dan 1
anak dengan gizi buruk. 1,2,3,4
Asupan nutrisi yang baik berperan dalam meningkatkan sistem imun, menurunkan
tingkat keparahan suatu penyakit, serta mempercepat penyembuhan terhadap suatu
penyakit. Selain itu, nutrisi juga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam
perkembangan otak dan perilaku balita. Perkembangan otak misalnya memerlukan asupan
nutrisi tertentu seperti zat besi, asam folat, zinc, choline, vitamin A dan lemak tertentu.
Makanan yang kurang baik secara kualitas dan kuantitas dapat mempengaruhi tumbuh-
kembang balita. 1
Keadaan gizi kurang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
khusususnya dapat mempengaruhi perubahan struktur dan fungsi otak. Dalam sebuah
studi, dijelaskan bahwa usia 1-5 tahun (balita pra sekolah) merupakan usia dengan
perubahan perkembangan otak yang cepat. Sehingga diperlukan nutrisi yang cukup untuk
perkembangan otak yang baik. 5
Faktor penentu kualitas tumbuh kembang anak adalah potensi genetik-heredo
konstitusional (intrinsik) dan peran lingkungan (ekstrinsik). Gangguan tumbuh kembang
dapat terjadi bila ada faktor genetik dan atau karena faktor lingkungan yang tidak mampu
1
mencukupi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Peran lingkungan seperti, kebutuhan
nutrisi, imunisasi, pengobatan, dan lain-lain serta kebutuhan psikososial (kasih sayang,
komunikasi, stimulasi bicara, intelegensi, dan lain-lain).4
Pertumbuhan dapat dinilai dengan mengukur tinggi badan. Sedangkan mengetahui
gangguan perkembangan balita dapat dinilai dengan skrining menggunakan Denver II
yang melihat aspek gerak kasar, gerak halus, berbahasa serta personal sosial. Namun,
skrining menggunakan Denver II dilakukan bila anak dicurigai ada gangguan
perkembangan setelah menjalani skrining menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) yang telah diterjemahkan dan dimodifikasi dari Denver
Prescreening Developmental Questionnaire (PDQ).4
1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu
bagaimana pengaruh status gizi kurang dan buruk terhadap tumbuh kembang balita di
wilayah kerja Puskesmas Alak
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asupan makanan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk
memenuhi makronutrien dan mikronutrien yang dibutuhkan untuk mempertahankan
fungsi-fungsi vital tubuh. Defisiensi makanan dapat menghambat pertumbuhan,
mengganggu fungsi imun, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Beban global
signifikan yang dapat terjadi akibat gizi kurang dan malnutrisi yaitu imunodefisiensi yang
didapat serta penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas pada anak berusia < 5 tahun. 7
bentuk energi. Keseimbangan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor: 8
3
Faktor yang mempengaruhi penggunaan energi
Aktivitas fisik serta adanya penyakit, akut maupun kronik, dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang menyerap nutrisi secara adekuat, juga penggunaan energi
yang diperoleh dari nutrisi tersebut.
Status gizi seorang anak dinilai melalui tinggi badan, berat badan, indeks massa
tubuh, lingkar lengan serta lingkar kepalanya. Data-data diatas didapatkan melalui
pengukuran tubuh yang disebut antropometri. Hasil antropometri berupa tinggi badan,
berat badan disajikan dalam bentuk ploting ke dalam kurva pertumbuhan yang
terstandardidasi yang telah dihubungkan dengan usia.
Pengukuran pada anak dilakukan berulang secara berkala untuk mengkaji
pertumbuhan jangka pendek, jangka panjang dan status nutrisi. Pemeriksaan yang lebih
canggih seperti, dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) dapat digunakan untuk
mengkaji komposisi tubuh (persen lemak tubuh, massa tubuh tanpa lemak dan massa
lemak) dan densitas mineral tulang secara lebih menyeluruh. Pengukuran antropometri dan
komposisi tubuh yang akurat, sahih dan dapat dipercaya memerlukan peralatan dan teknik
yang sesuai. 6
Penilaian status gizi meliputi penentuan status gizi, masalah yang berhubungan
dengan proses pemberian makanan dan diagnosis klinis pasien. Anamnesis meliputi
asupan makan, pola makan, toleransi makan, perkembangan oromotor, motorik halus dan
motorik kasar, perubahan berat badan, faktor sosial, budaya dan agama serta kondisi klinis
yang mempengaruhi asupan. Penimbangan berat badan dan pengukuran panjang/tinggi
badan dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan timbangan yang telah
dikalibrasi secara berkala. Pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum dan tanda spesifik
Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang
badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang
digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan
grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Penentuan status gizi menggunakan cut
off Z score WHO 2006 untuk usia 0-5 tahun. Namun bila ditemukan anak dengan status
gizi lebih/ obesitas, maka untuk usia < 2 tahun dapat menggunakan grafik IMT WHO 2006
dengan kriteria overweight Z score > +2, obesitas > +3, sedangkan untuk anak usia 2-18
tahun menggunakan grafik IMT CDC 2000. Ambang batas yang digunakan untuk
4
overweight ialah diatas P85 hingga P95 sedangkan untuk obesitas ialah lebih dari P95 grafik
CDC 2000. 1
Standar pertumbuhan baku WHO menjelaskan pertumbuhan normal anak dari lahir
hingga usia 5 tahun dengan kondisi lingkungan yang optimal. Standar ini dapat digunakan
untuk semua anak di seluruh dunia tanpa melihat etnis, status sosioekonomi dan pola
pemberian makan. Cut off Z score WHO merupakan unit standar deviasi dari median.
Sebagai contoh seorang anak yang nilai z-score hasil pengukuran tingginya bernilai <-2
SD (standar deviasi) dikatakan bertubuh pendek, sementara seorang anak dengan z-score
5
2.1.1. Gizi Kurang6
Risiko terbesar gizi kurang (kurus, stunting, wasting, dan defisiensi
mikronutrien) dapat terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan tumbuh-kembang di kemudian hari, kemampuan
intelektual, prestasi sekolah, serta produktivitas kerja.
Status nutrisi dinilai berdasarkan antropometri, dengan menggunakan ploting
dari WHO untuk anak berusia <5 tahun. Dilakukan ploting terhadap TB/U untuk
melihat kejadian stunting, umumnya akibat malnutrisi kronik. Rendahnya TB/U
umumnya didapatkan pada keluarga dengan sosial ekonomi rendah. Ploting lainnya
yaitu BB/TB yaitu antara -3 s/d < -2 SD, yang menunjukkan wasting. Ploting lainnya
yang juga digunakan yaitu BB/U, lebih umum digunakan untuk menilai status gizi,
namun memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah, karena tidak membedakan
wasting dan stunting.
Risiko kematian pada anak akibat penyakit infeksi meningkat bahkan dengan
mild undernutrition. Gizi kurang mengakibatkan gangguan fungsi imun, pertahanan
host sehingga menyebabkan infeksi pada anak menjadi lebih berat dan lama serta
berakibat fatal dibanding pada anak dengan gizi tercukupi. Selain itu, infeksi dapat
menjadi timbal balik gizi kurang, dimana memperburuk keadaan gizi kurang
menjadi gizi buruk.
Stunting yang terjadi pada anak usia < 3 tahun berhubungan dengan buruknya
fungsi motorik, perkembangan kognitif dan gangguan perilaku di kemudian hari.
Selain itu, defisiensi mikronutrien seperti iodin dan zat besi dapat menurunkan IQ
hingga 12-13,5 poin.
6
median WHO child growth standard atau didapatkan edema nutrisional, dan pada
anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) < 11,5 cm. Marasmus dan
kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi buruk.
Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda
ikutannya, sedangkan kwashiorkor ditandai dengan edema, diawali edema pada
punggung kaki yang dapat menyebar ke seluruh tubuh. Jika skrining yang digunakan
hanya dengan LILA dan atau BB/TB maka yang terjaring hanyalah penderita dengan
marasmus, sementara penderita kwashiorkor hanya sedikit terjaring. Oleh karena itu
skrining penderita gizi buruk juga harus menggunakan tanda klinis seperti sangat
kurus (marasmus) dan edema (kwashiorkor) serta pemeriksaan LILA dan atau
BB/TB.
Anak dengan malnutrisi aku berat memiliki defisiensi energi dan nutrisi
terhadap kebutuhannya. Defisit berbeda-beda berdasarkan kuantitas dan
keberagaman makanan yang dikonsumsi, variasi kebutuhan individu, sejumlah co-
infeksi yang diderita dan durasi defisit. Infeksi dapat mendukung defisit nutrisi dan
imbalans.
7
Tulang Deformitas akibat defisiensi kalsium, vitamin D atau vitamin C
Abdomen Distensi, hepatomegali, ataupun asites
Cardiovascular Bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung, vaskulopati
pembuluh darah kecil
Neurologi Keterlambatan tumbuh kembang, hilangnya refleks patela-
achiles, gangguan memori
Hematologi Pucat, ptechiae
Perilaku Letargi, apatis, iritabel
lingkungan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. 4
Ibu merupakan lingkungan pertama dan paling erat sejak janin di dalam kandungan
oleh karena itu disebut lingkungan mikro. Ayah, kakak, adik, saudara, status sosial
ekonomi berupa sarana di dalam rumah, sanitasi, sarana bermain, nilai-nilai, aturan-aturan
dan lain-lain merupakan lingkungan berikutnya dan dinamakan lingkungan mini. Hal-hal
di luar rumah, sanitasi lingkungan, polusi, tetangga, teman bermain, sarana pelayanan
kesehatan, sarana pendidikan formal dan non-formal, sarana bermain, adat-budaya dan
lain-lain merupakan lingkungan meso yang secara langsung atau tak langsung dapat
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sedangkan program pemerintah, organisasi
8
profesi, perguruan tinggi, LSM, WHO, merupakan lingkungan makro yang secara tidak
Gangguan tumbuh kembang sering terjadi pada balita, bila tidak diterapi, maka dapat
mempengaruhi prestasi sekolah serta dapat menimbulkan kesehatan mental. Dari semua
tipe gangguan tumbuh kembang, gangguan berbahasa adalah yang paling sering.
Gangguan lainnya yaitu gangguan sosial-emosional, defisit atensi atau kelainan
hiperaktivitas, gangguan pembelajaran dan intelektual, serta autis.
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat, sederhana dan
murah untuk meilai tumbuh kembang balita. Skrining perkembangan yang banyak
digunakan adalah Denver II, yang mencakup semua aspek perkembangan dengan
realibility cukup tinggi. Uji Denver ini menilai aspek gerak kasar, gerak halus (didalamnya
terdapat aspek koordinasi mata dan tangan, manipulasi benda-benda kecil, pemecahan
masalah), berbahasa (didalamnya terdapat juga aspek pendengaran, penglihatan dan
pemahaman, komunikasi verbal), personal sosial (didalamnya terdapat juga aspek
penglihatan, pendengaran, komunikasi, gerak halus dan kemandirian). Namun uji Denver
ini membutuhkan waktu cukup lama sekitar 30-45 menit.
Kuesioner lain yang dapat digunakan yaitu Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
(KPSP) yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari Denver Prescreening Developmental
Questionnaire (PDQ) oleh tim Depkes RI. Kuesioner ini merupakan skrining pendahuluan
yang terdiri atas 10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan anak dan hanya
membutuhkan waktu 10-15 menit. Jika jawaban ya sebanyak 6 atau kurang maka anak
dicurigai ada gangguan perkembangan dan perlu dirujuk atau dilakukan skrining dengan
Denver II. Jika jawaban ya sebanyak 7-8, perlu diperiksa ulang 2 minggu kemudian setelah
dilakukan stimulasi intensif oleh ibu. Jika jawaban ya 9-10, anak tidak ada gangguan.
Kuesioner ini sering dipakai untuk skrining awal gangguan tumbuh kembang di tingkat
2.3. Hubungan Gizi Kurang dan Gizi Buruk dengan Tumbuh Kembang 4,12, 13
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak memerlukan zat gizi agar proses
pertumbuhan dan perkembangan berjalan dengan baik. Zat-zat gizi yang dikonsumsi akan
berpengaruh pada status gizi seorang anak. Apabila gizi seimbang yang dikonsumsi tidak
terpenuhi, pencapaian pertumbuhan dan perkembangan anak terutama perkembangan
motorik yang baik akan terhambat.
9
Pada anak-anak diatas usia 6 bulan, ASI eksklusif tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan mikronutrien, sehingga makanan tambahan penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan optimal bagi seorang anak. Bila anak tidak mendapat kebutuhan gizi yang
sesuai, tidak hanya berpengaruh pada status gizi, namun juga mempengaruhi tumbuh
kembang anak tersebut. Mikronutrien seperti asam folat, zat besi dan zink berperan
penting dalam perkembangan otak, serta umumnya ditemukan pada makanan-makanan
hewani.
Sebuah studi mengatakan bahwa kebutuhan nutrisi pada 1000 hari pertama
kehidupan memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan otak. Gangguan proses
perkembangan otak terhadap defisit nutrisi pada awal kehidupan berdasarkan atas 2 faktor,
yaitu waktu defisit nutrisi dan kebutuhan nutrisi pada area otak tersebut pada waktu
tertentu. Sebagai contoh risiko defisiensi zat besi berbeda-beda pada rentang umur.
Studi juga mengatakan bahwa, semua nutrisi penting untuk perkembangan otak dan
fungsinya, namun nutrisi tertentu berdampak signifikan terhadap perkembangan otak
awal. Efek dari defisit nutrisi tertentu pada saat perkembangan otak dipengaruhi oleh
metabolik dari nutrisi tersebut dimana akan mempengaruhi proses perkembangan otak
tertentu saat terjadinya defisit.
Studi menemukan bahwa pertumbuhan awal yang terhambat akan menyebabkan
menurunnya skor kognitif. Pada kondisi stunting dan hubungannya dengan perkembangan
terdapat 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu gangguan biologis yang menyebabkan
gangguan perkembangan otak pada awal kehidupan, serta keterlambatan motorik yang
dapat menganggu eksplorasi anak sehingga berhubungan dengan perkembangan kognitif.
Dampak jangka panjang dari kondisi stunting yaitu perawakan pendek saat dewasa,
prestasi sekolah yang buruk dan menurunnya produktifitas ekonomi.
Adanya hubungan antara status gizi dan perkembangan anak juga didukung oleh
studi yang dilakukan pada 106 balita di Puskesmas Lapai Padang tahun 2014, dimana
ditemukan hubungan yang bermakna antara status gizi dengan perkembangan
psikomotorik balita. Studi lainnya yang dilakukan di Bantul, Yogyakarta pada tahun 2007,
untuk mengetahui faktor risiko gangguan tumbuh kembang pada anak, mendapatkan
10
berdampak terhadap defisiensi makro dan mikronutrien. Makronutrien termasuk energi,
karbohidrat, lemak sedangkan mikronutrien yaitu vitamin dan mineral seperti zat besi,
zink, dan vitamin B12. 4 mikronutrien penting untuk neurodevelopmental yaitu iodin,
zink, vitamin B12 dan zat besi.
Iodin berperan dalam produksi hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodothyronine
(T3) yang berperan dalam neurogenesis, migrasi neuronal, synaptogenesis dan mielinisasi.
Defisiensi berat dapat menyebabkan goiter dan gangguan intelektual, sehingga berdampak
pada akademis. Zink berperan penting dalam perkembangan sistem saraf pusat terutama
pembentukan neuron, migrasi dan sinaps. Konsentrasi tinggi zink dapat ditemukan pada
hipokampus, cerebellum, korteks pre-frontal, dan sistem limbik. Sebuah penelitian yang
dilakukan pada anak usia sekolah di China ditemukan efek yang baik untuk fungsi
neuropsychological pada pemberian suplementasi zink bila dikombinasi dengan
mikronutrien lainnya.
Vitamin B12 berperan dalam neurodevelopmental melalui sintesis epinefrin,
methionin serta metilasi DNA. Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan demielinisasi
sehinnga dapat mengakibatkan keterlambatan kognitif. Studi lain juga menyebutkan
bahwa ada hubungan antara vitamin B12 dengan fungsi lobus frontal dan lobus temporal.
Zat besi berperan dalam sintesis hemoglobin, yang berperan dalam transfer oksigen ke
seluruh jaringan tubuh terutama otak. Selain itu, juga berperan dalam mielinisasi, korteks
frontal dan perkembangan ganglia basalis. Pada balita, defisiensi zat besi dapat
memberikan dampak pada gangguan perilaku sosial-emosional, yaitu perasaan malu,
responsivitas yang rendah dan kewaspadaan. Anemia defisiensi besi pada masa awal bayi
dapat menjadi faktor risiko gangguan mental dan perkembangan motorik yang berdampak
panjang pada fungsi kehidupannya.
Selain kecukupan nutrisi, neurodevelopmental juga dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan, seperti pengasuhan dan pembelajaran awal. Sehingga gangguan atau
keterlambatan tumbuh kembang seorang anak, tidak hanya bergantung pada status nutrisi
dari anak tersebut melainkan multifaktorial.
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
11
3.1 Kerangka Teori
Tumbuh Kembang
Balita
Gangguan Tumbuh
Kembang Balita
3.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara status gizi kurang dan gizi buruk dengan gangguan
tumbuh kembang pada balita.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
12
4.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, subbagian
gizi dan tumbuh-kembang.
13
4.4.5. Besar Sampel
Besar sampel minimal dihitung dengan rumus besar sampel menggunakan uji
hipotesis untuk penelitian analitik kategorik berpasangan:31
(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽) 2 𝜋
𝑛=
(P 1 – P 2 ) 2
Keterangan:
n = besar sampel
Zɑ = kesalahan tipe I
Zβ = kesalahan tipe II
π = besarnya ketidaksesuaian
P1-P2 = perbedaan proporsi yang dianggap bermakna
Perhitungan:
Peneliti menetapkan sesuai kepustakaan bahwa proporsi diskordan yang dianggap
bermakna = 0,30 dengan perbedaan proporsi yang dianggap bermakna adalah 40%.
Peneliti menetapkan kesalahan tipe I sebesar 5 % (Zɑ=1,960) dan kesalahan tipe II
sebesar 5% (Zβ=1,645) dengan hipotesis positif dua arah. Sehingga dapat dilakukan
perhitungan sebagai berikut:
(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽) 2 𝜋
𝑛=
(P 1 – P 2 ) 2
(1, ,96 + 1,645) 2 0,3
𝑛=
(0,4) 2
3,899
𝑛=
0,16
𝑛 = 24,368
𝑛 ≈ 25
Apabila dibulatkan ke atas maka besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk
penelitian adalah 25 orang. Dengan perkiraan drop out 10 % (3 orang), maka jumlah
sampel minimal yang dibutuhkan adalah sejumlah 28 orang.
14
4.5.2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah tumbuh kembang balita yang dilihat
dengan menggunakan skor KPSP
15
4.7.2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Alat ukur
Alat ukur berat badan dan tinggi badan menggunakan timbangan dan meteran
yang tersedia di posyandu
2. Kuisioner
Kuisioner yang digunakan merupakan kuisioner skrining KPSP untuk menilai
tumbuh kembang balita. Kuisioner terdiri atas 9-10 pertanyaan mengenai
kemampuan perkembangan yang telah dicapai balita, dengan jawaban ya (bila
pernah, kadang, sering melakukan) dan tidak (belum pernah, belum bisa
melakukan). Lama waktu pengisian kuisioner ± 10 menit. Dengan penilaian
skor:
Sesuai = 9-10
Ragu-ragu: 7-8
Penyimpagan: <6
4.7.3. Cara Kerja
Pengambilan data dilakukan pada beberapa posyandu di Puskesmas Alak.
Peneliti terlebih dulu melakukan pengukuran antropometri pada setiap balita yang
datang ke posyandu. Kemudian dilakukan plotting dengan menggunakan plotting
WHO, 2006, untuk menilai status gizi balita. Bila didapatkan balita dengan status
gizi kurang dan buruk, maka peneliti melakukan wawancara dan pengisian kuisioner
KPSP. Pencarian data dihentikan setelah jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.
16
Identifikasi subjek penelitian yang memenuhi
kriteria (inklusi dan eksklusi) penelitian: balita
dengan gizi kurang dan gizi buruk
Informed consent
Pengolahan data
17
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
18
5.2.1. Gambaran Status Gizi
Status gizi pada anak usia 12-60 bulan di Kecamatan Alak ditentukan dengan
plotting WHO menggunakan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
yang disesuaikan dengan usia pasien. Dikatakan status gizi kurang bila didapatkan
BB/TB berada pada -3 s/d -2 SD, sedangkan gizi buruk bila BB/TB < -3 SD.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Status Gizi Kurang dan Buruk
Status Gizi (BB/TB) Frekuensi Persentase (%)
Gizi Kurang 25 83,3%
Gizi Buruk 5 16,7%
Total 30 100%
Dari tabel 5, didapatkan sebaran data balita dengan status gizi kurang sebanyak
25 orang (83,3%) dan balita dengan status gizi buruk sebanyak 5 orang (16,7%).
Tabel 6. Distribusi Status Gizi Kurang dan Buruk terhadap Jenis Kelamin
Status Gizi (BB/TB)
Jenis Kelamin
Gizi Kurang Gizi Buruk
Laki-laki 10 1
Perempuan 15 4
Total 25 5
Dari sebaran data penelitian yang didapat, ditemukan kasus gizi kurang dan gizi
buruk lebih banyak ditemukan pada balita perempuan dibanding laki-laki, dengan
frekuensi 15 balita perempuan dengan gizi kurang, 10 balita laki-laki dengan gizi
kurang, 4 balita perempuan dengan gizi buruk serta 1 balita laki-laki dengan gizi
buruk.
19
Tabel 7. Distribusi Hasil KPSP
KPSP Frekuensi Persentase (%)
Sesuai 18 60%
Meragukan 9 30%
Penyimpangan 3 10%
Total 30 100%
Dari data di tabel 7, didapatkan 18 balita (60%) dengan perkembangan sesuai
usia, 9 balita (30%) dengan perkembangan meragukan dan 3 balita (10%) dengan
perkembangan yang meyimpang dari usia. Pada perkembangan yang meragukan,
maka evaluasi KPSP dapat diulang 2 minggu setelah ibu diajarkan stimulasi
perkembangan anak setiap saat. Sedangkan pada perkembangan yang menyimpang,
balita dievaluasi lebih lanjut dengan menggunakan uji Denver.
20
Tabel 9. Analisis Hubungan Status Gizi Kurang dan Buruk dengan Tumbuh Kembang
Balita
Skor KPSP
Status
Nilai p
Gizi Sesuai % Ragu-ragu % Menyimpang %
Kurang 14 46,7% 9 30% 2 6,7%
Buruk 4 13,3% 0 0% 1 3,3% 0,97
Total 18 60% 9 30% 3 10%
Berdasarkan data deskriptif pada tabel, didapatkan 14 balita (46,7%) gizi kurang dan
4 balita (13,3%) gizi buruk dengan perkembangan sesuai KPSP, 9 balita (30%) gizi kurang
dengan perkembangan yang meragukan, serta 2 balita (6,7%) gizi kurang dan 1 balita gizi
buruk (3,3%) dengan perkembangan yang menyimpang dari KPSP.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 2017, dimana dilakukan
penelitian pada 212 balita berusia 12 – 60 bulan di daerah Magelang, didapatkan tidak
terdapat hubungan antara status gizi dengan tumbuh kembang anak (p= 0,633). Penelitian
lain yang dilakukan pada tahun 2011, dimana diteliti hubungan perkembangan dengan
status gizi balita usia 1-2 tahun, juga didapatkan tidak terdapat hubungan (p= 0,394). 5,16
21
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Tidak terdapat hubungan antara status gizi kurang/buruk dengan tumbuh kembang
pada balita berusia 12 – 60 bulan yang berada di wilayah kerja Kecamatan Alak.
6.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor risiko lainnya yang dapat
mengganggu tumbuh kembang balita seperti pendidikan ibu dan status ekonomi
Perlu dilakukan stimulasi pada balita dengan hasil KPSP meragukan serta
pemeriksaan lebih lanjut pada balita dengan hasil KPSP menyimpang
Perlu dilakukan promosi kesehatan mengenai stimulasi tumbuh kembang anak, yang
dapat diadakan saat kelas ibu atau melalui para kader posyandu.
Perlu penjaringan lebih luas pada balita-balita yang tidak datang saat posyandu
sehingga dapat mengetahui status gizi dan tumbuh kembang serta dapat dilakukan
intervensi dini
Perlu penelitian lanjutan pada balita dengan hasil KPSP meragukan setelah
diberikan stimulasi oleh ibu.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
16. Entie R. Hubungan Status Gizi dengan Perkembangan Anak Usia 1 sampai 5 Tahun di
Kelurahan Tidar Utara, Kota Magelang. J Keperawatan Soedirman. 2017;12(1):31.
24
25
26
27
28
Lampiran 2: Kuesioner Penelitian
KUISIONER
Nama Ibu :
Usia Ibu :
Nama Anak :
Usia Anak :
Anak ke- :
BB :
PB/TB :
Status Gizi :
Tgl:
------------------------------
29