Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defisini

Demam Tifoid disebut juga dengan Typusabdominalisatau typhoidfever. Demam


tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran

pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

Demam Tifoid adalah infeksi dengan sistemik akut yang nyata pada fagosit
mononuklear dan tumbuh membutuhkan tatnama yang terpisah tetapi karena tifoid secara
mendasar bukanlah penyakit usus, dipakailah istilah untuk menggambarkan sindroma
tertentu.2

B. Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonellatyphi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B
(S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).Salmonellatyphi sama dengan
Salmonella yang lain adalah bakteri Gram- negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang
terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonellatyphi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

C. Epidemioloi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
HealthOrganization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam
tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.2

Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S.typhi, sisanya
disebabkan oleh S. Paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati
lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga
mencapai folikel limfoid usus halus (PlaquePeyeri). Kuman ikut aliran
limfemesentrialkedalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar,
lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteremia sekunder, kuman
mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa
inkubasi 10-14 hari.3

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti


ingestiorganism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada PeyerPatch, 2) bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofagPeyerPatch, nodus limfatikusmesenterica,
dan organ- organ extraintestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, 4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke dalam lumen intestinal.

Masuknya kuman Salmonellatyphi dan Salmonellaparatyphi ke dalam tubuh manusia


terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH< 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyerpatch dalam usus. Untuk diketahui,

jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 10 5 dan
jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti
aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejunum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus
sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi PeyerPatch,
merupakan portdeentry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyerpatchdi
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductusthoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini


masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi
sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala
infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.

Dalam PeyerPatchmakrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.


typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar peyerpatch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel
mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonellatyphi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar,
lien, folikel usus halus dan kelenjar limfemesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti
nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,2,4

E. ManifestasiKlinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada
penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa
inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan
terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,2,4

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul dapat dikelompokkan

 Demam satu minggu atau lebih

 Gangguan saluran pencernaan


 Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai
berat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwisepattern, dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang
tifoid kongenital.
Lidah tifoid (Tifoidtongue) biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan.Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas. Limpa umumnya membesar dan sering
ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena
malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada
hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,2,4

F. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan


gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini
maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi S. Thypi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi S. Thypi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya.
Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan
spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil
positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Uji serologi widal suatu metode serologi yang memeriksa
antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), Flagela (H), banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid.

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis, dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular
seperti TB, infeksi jamur sistemik, bruselosis, shigelosis dan malaria. Pada demam tifoid
yang berat dapat terjadi sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit Hodgkin.1

G. PemeriksaanPenunjang

Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhimaupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting


dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhioleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit) 6

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

 Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji
Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu;

- Aglutinin O (dari tubuh kuman)


- Aglutinin H (flagel kuman)

- Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi
H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan
antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya
tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widalslideaglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit
demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi
widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti biakan darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
denganpenderita dan faktor teknis.

Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu :

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.


2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

Faktor teknik, yaitu:

1. Akibat aglutinin silang.


2. StrainSalmonellayang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

Negatif Palsu

1. pem.terlaludiniàa.b. Belum terbentuk


2. gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
3. Th/ a.b. Diniàantiboditdk terbentuk

Positif Palsu

1. Salmonella grup D e.g. Enteritidis


2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda

H. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian:

Komplikasi pada usus halus

 Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika
perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.

 Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian distal ileum.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada
foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

 Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala akut,
yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan. Komplikasi diluar
usus halus

 Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis,
pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut
lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.

 Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan gejala dan
tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi
seorang karier.

 Typhoidensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun,
kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai
kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala
sesuai dengan lokasi yang terkena.

 Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonellatyphi yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus/bayi
dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering
terlambat. Ternyata peyebabnyaadalah Salmonellahavanadan Salmonellaoranemburg.
 Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas.
Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu
kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi
segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikulartakikardi.

 Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonellatyphi melalui urin pada saat
sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit
demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidromnefrotik mempunyai prognosis yang bu

 Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi
mengandung kuman Salmonellatyphosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhipada
feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-
10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi
kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis,
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

I. Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5

Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling
membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet
untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan
nasi biasa.

Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran
serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

Kompres air hangat


Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas
dihipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan
vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada
medullaoblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga
terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan
energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu
tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali.Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, makapusat pengaturan suhu
berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya. 7

Medika Mentosa

Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis
10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu
intakeperoral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang
mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

 Antibiotik

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoidfever


terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama
10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa
nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang
sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau
kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis
yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek
samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem
hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada
beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan


dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat ini
cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan


ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonellatyphi. Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari)
selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10
hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit
perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

J. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang

adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya

karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti

perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali.

Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier

kronis. Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier

kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

K. Pencegahan

Secara lebih detail, strategi pencegahan demamtifoid mencakup hal-hal berikut : 5

 Penyediaan Sumber air minum yang baik


 Penyediaan jamban yang sehat
 Sosialisasi budaya cuci tangan
 Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum 5.
Pemberantasan lalat
 Pengawasan kepada penjual makanan dan minuman
 osialisasi pemberian ASI kepada ibu menyusui
 munisasi

Vaksin Demam Tifoid

Ada 3 macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang
dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari Salmonellathypi. Vaksin yang berisi kuman
Salmonellathyphi, S. ParathypiA, S. ParathypiB yang dimatikan (TAB vaccine) telah
puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya
memberikan kekebalan daya kekebalan yang terbatas. Vaksin yang berisi kuman
Salmonellathyphi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan secara peroral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari, memberi perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan
pada anak yang berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari

Salmonellathypi diberikan secara suntikan IM memberi perlindungan 60-70%.1

Anda mungkin juga menyukai