Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

GLAUKOMA SEKUNDER EC HIFEMA

PEMBIMBING:
dr. Rety Sugiarti Sp.M

Disusun Oleh:
Dwiana Rosida
2015730032

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat

menyelesaikan laporan kasus mengenai “Glaukoma sekunder ec hifema OD” ini tepat pada

waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terimah kasih kepada dr. Rety Sugiarti Sp.M

yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan

laporan kasus ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi

penulis pada khususnya.

Banjar, 17 September 2019

Dwiana Rosida

i
DAFTAR ISI

Contents
.................................................................................................................................................... 0

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

STATUS PASIEN ..................................................................................................................... 1

1.2 Anamnesis ................................................................................................................... 1

1.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................................................... 2

1.4 Resume ........................................................................................................................ 4

1.5 Diagnosis Kerja ........................................................................................................... 4

1.6 Tatalaksana .................................................................................................................. 4

1.7 Rencana Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 5

1.8 Prognosis ..................................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 6

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 6

2.1 Hifema ......................................................................................................................... 6

BAB III .................................................................................................................................... 18

KESIMPULAN ........................................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

ii
BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. K
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 09 September 2019
Tanggal Pemeriksaan : 10 September 2019

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan metode alloanamnesis dan autoanamnesis pada keluarga
pasien di Ruang rawat inap Raflesia Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banjar.
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan terdapat darah pada bola mata sebelah kanan sejak ± 1 hari
SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan terdapat darah pada bola mata sebelah kanan sejak ± 1 hari
sebelum masuk rumah sakit dan disertai nyeri dan perih sejak ± 2 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan penurunan penglihatan pada mata
sebelah kanan sejak ± 5 bulan SMRS, dan tidak bisa melihat sejak ±2 bulan
SMRS. Pasien menyangkal adanya nyeri kepala, riwayat trauma seperti terbentur,
atau terkena benda tajam.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi, atau diabetes melitus. Pasien
tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien tidak
menggunakan kacamata, dan pasien tidak memiliki riwayat operasi mata
sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa. Penyakit hipertensi, diabetes
mellitus di keluarga disangkal.
e. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat maupun makanan.

1
f. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pernah mendapat pengobatan timolol maleat pada kontrol pertama.
g. Riwayat Personal Sosial
Pekerjaan pasien sebagai petan. Pasien merokok dan meminum kopi.

1.3 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/60 mmHg
 Suhu : 36,60C
 Nadi : 88x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
 Nafas : 20 x/menit, reguler
d. Status Generalis
 Kepala : Normochepal
 Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-)
 Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
 Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid (-)
 Thoraks :
Paru
a) Inspeksi : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
b) Palpasi : Simetris (+/+) tidak ada yang tertinggal
c) Perkusi : Sonor (+/+)
d) Auskultasi : Rhonki kiri = kanan, wheezing (-/-)
Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat
b) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Batas kanan bawah, SIC IV linea parasternalis dextra
o Batas kiri Atas, SIC II linea parasternalis sinistra
o Batas kiri bawah, SIC V linea axillaris anterior sinistra
c) Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
a) Inspeksi : Permukaan rata

2
b) Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
c) Palpasi : Hepatosplenomegaly (-)
d) Perkusi : Timpani
 Ekstremitas
a) Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
b) Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
e. Status Oftalmologis
Ocular Dextra Ocular Siistra
NLP
Visus 6/20
(Non Light Preception)
- Pinhole 6/6
Ortoforia Kedudukan Bola Mata Ortoforia
Normal ke segala arah Gerak Bola Mata Normal ke segala arah
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Palpebra Superior
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Massa (-) Massa (-)
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Palpebra Inferior
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Massa (-) Massa (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konjungtiva Tarsalis
Massa (-) Massa (-)
Superior
Folikel (-) Folikel (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Konjungtiva Tarsalis
Massa (-) Massa (-)
Inferior
Folikel (-) Folikel (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Injeksi siliar (+) Injeksi siliar (-)
Konjungtiva Bulbi
Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Keruh Jernih
Kornea
Infiltrat (-) Infiltrat (-)

3
Edema (-) Edema (-)

Dangkal
Hipopion (-)
Dalam
Hifema (+)
COA Hipopion (-)
Grade I
Hifema (-)

Bulat ± 3 mm Bulat ± 3 mm
Terletak ditengah Pupil Terletak ditengah
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Jernih Lensa Jernih
37 TIO 22

1.4 Resume
Tn. K berusia 59 tahun datang ke poli mata RSUD kota Banjar dengan keluhan bola
mata kanan terdapat darah sejak ±1 hari SMRS dan disertai dengan nyeri sejak ± 2
bulan SMRS. Pasien juga mengeluhkan penglihatan mata kanan menurun sejak ± 5
bulan SMRS, dan mulai penglihatan gelap sejak ±2 bulan SMRS.
Dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan visus OD Non Light Perception, konjungtiva
tarsalis inferior hiperemis, dan konjungtiva bulbi hiperemis dengan injeksi
konjungtiva, pada camera oculi anterior (COA) terdapat hifema.

1.5 Diagnosis Kerja


Glaukoma sekunder ec hifema OD

1.6 Diagnosis Sekunder


Hipermetropia OS

1.7 Tatalaksana
a. Non Medikamentosa
1) Tirah baring
2) Tidak meminum air dalam jumlah banyak sekaligus

4
b. Medikamentosa
1) Acetazolamide 3 x 1 tab pc
2) Polidemicin 6 gtt x 1 ed OD

1.8 Rencana Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan slit lamp biomicroscopy
b. Pemeriksaan oftalmoskopi
c. Koreksi kacamata OS

1.9 Prognosis
a. Ocular dextra
1) Ad Vitam : ad bonam
2) Ad Functionam : ad malam
3) Ad Sanationam : ad bonam
b. Ocular sinistra
1) Ad Vitam : ad bonam
2) Ad Functionam : ad bonam
3) Ad Sanationam : ad bonam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hifema
2.1.1 Definisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu
daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek
pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus (cairan mata)
yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata
telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat
menurunkan penglihatan.
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien duduk hifema akan terlihat
terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan
iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh darah di iris dan merusak sudut bilik mata
depan. Darah di dalam aqueous dapat membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat
(hifema). Glaukoma akut terjadi bila anyaman trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel
atau bila pembentukan bekuan darah menimbulkan bokade pupil.

2.1.2 Klasifikasi
a. Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi :
1) Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen
anterior bola mata.
2) Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).
3) Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga pembuluh
darah pecah.

6
4) Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).
5) Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).
b. Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu :
1) Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2) Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
c. Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard):
1) Grade I: darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)
2) Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)
3) Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%)
4) Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)

7
2.1.3 Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu,
peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan
prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang
terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh
darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan
jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus
siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan
menimbulkan perdarahan. Pendarahan yang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri
utama dan cabang dari badan ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris
pada sisi pupil. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan
tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.

2.1.4 Patofisiologi
a. Patofisiologi terjadinya Hifema
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus, dan
perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intraokuler
secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan
biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama
dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar.
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa
menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris
atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak
sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler.
Darah ini dapat bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan dalam kornea.
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme hemostasis
dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan
pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan menghentikan
perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang.
Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan

8
terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka plasminogen akan
diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin,
sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi
bekuan darah, bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik
mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral.
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer.
Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul
pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer.
Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan
perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi daribekuan darah terjadi terlalu cepat
sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah
melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui
permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di
daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila
terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea,
menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi
kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat
terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma.
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang berhubungan.
Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini menunjukkan
terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata dapat terjadi
pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di
kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat
ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun
darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel
kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat
ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis,
iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada
segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan

9
robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan
intraokular.

b. Patofisiologi terjadinya Glaukoma Sekunder akibat Hifema


Cedera konstusio bola mata dapat disertai dengan peningkatan dini tekanan intraokular
akibat perdarahan kedalam bilik mata depan (hifema). Darah bebas menyumbat anyaman
trabekular, yang juga mengalami edema akibat cedera. Terapi awal dilakukan dengan
obat-obatan, tetapi mungkin diperlukan tindakan bedah bila tekanannya tetap tinggi, yang
kemungkinan besar terjadi bila ada episode perdarahan kedua.
Cedera kontusio berefek lambat pada tekanan intraokular; efek ini timbul akibat
kerusakan langsung pada sudut. Selang waktu antara cedera dan timbulnya glaukoma
mungkin menyamarkan hubungan tersebut. Secara klinis, bilik mata depan tampak lebih
dalam daripada mata yang satunya, dan gonioskopi memperlihatkan resesi sudut. Terapi
medis biasanya efektif, tetapi mungkin diperlukan tindakan bedah.
Laserasi atau robek akibat kontusio pada segmen anterior sering disertai dengan
hilangnya bilik mata depan. Apabila bilik mata tidak segera dibentuk kembali setelah
cedera – baik secara spontan, dengan inkarserasi iris kedalam luka, atau secara bedah –
akan terbentuk sinekia anterior perifer dan menyebabkan penutupan sudut yang
ireversibel

2.1.3 Penegakan Diagnosis


Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan adanya hifema.
Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat diperiksa dengan
flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda
iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan
ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan
disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen.
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair. Penglihatan
pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata
telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat
terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot

10
sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi
pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor pupil.
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu
media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat
mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior
oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma
sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum
yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu
akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah
pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.
Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti :
a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat
menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
b. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glaukoma.
c. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal
contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
e. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau
meningkat ringan.

2.1.4 Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak berjalan demikian
maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan penderita hifema traumatik ini
masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya adalah :
a. Menghentikan perdarahan.
b. Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
c. Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat absorbsi.
d. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
e. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.

11
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatik
hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan cara
konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi
a. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi
alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45° (posisi semi fowler). Hal ini akan
mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli
mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan
bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan
bahwa dengan tirah baring kesempurnaan absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat
mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus
dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini
sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus
diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
b. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara
para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu untuk
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
c. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak, tapi
cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan
menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan
seperti :
1) Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona
AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema yang baru dan terisi
darah segar diberi obat anti fibrinolitik (di pasaran obat ini dikenal sebagai
transamine/ transamic acid) sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap

12
dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu sampai
sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya perdarahan sekunder dapat
dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan
melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan gangguan transportasi cairan
COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya
jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
2) Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian
sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan
kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Pemberian
midriatika dianjurkan bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya
beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika
bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja.
3) Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral
sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea,
manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun
ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin. Pada hifema yang penuh dengan kenaikan
tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai selama 24 jam. Bila tekanan
intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal, lakukan
parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea Bila tekanan intra
okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap hari.
Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari
ke 5-9 lakukan juga parasentesa.
4) Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis
dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.

13
d. Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder, tanda
imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada pengurangan dari
tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari. Untuk mencegah
atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50
mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari.
Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-
rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer bila
hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari.
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan
indikasinya adalah sebagai berikut :
1) Empat hari setelah onset hifema total
2) Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3) Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari
(untuk mencegah atrofi optic)
4) Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari dengan
tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5) Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
6) Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika Tekanan
Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan
tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien
dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi
pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi
jika tekanan intra ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.
e. Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1) Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut : dibuat

14
insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan
iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari
bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik
mata depan dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada
parasentesis tidak perlu dijahut. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun
dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2) Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah perdarahan
sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping komplikasi dari traumanya
sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan iridodialysis. Besarnya
komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hifema.
a. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan insidensinya
sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada
iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya.
Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer. Terjadi pada 1/3
pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7
hari post-trauma.
b. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh tersumbatnya
trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Insidensinya 20% , sedang di
RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran
cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi sudut COA dan trabekula
sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi
badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan
pengaliran cairan mata.
c. Hemosiderosis kornea

15
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah
merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke
dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut
hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.
Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai
glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder
disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karenahemosiderosis tidak
selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama
(2 tahun). Insidensinya ± 10%. Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan
siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan
kebutaan.
d. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini akibat
dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat terapi
medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi bedah
pada hifema.Peripheral anterior synechiae anterior synechiae terjadi pada pasien
dengan hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau
lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis yang lama
akibat trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian
bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata
tertutup.
e. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea, uveitis. Selain
dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang mungkin juga masuk
ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada funduskopi gambaran fundus
tak tampak dan ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak.Hifema dapat
sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik
dan tekanan intraokular masih normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA

16
dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intra okular sehingga mata
terasa sakit oleh karena glaukoma. Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit
bertambah karena tekanan intra okular lebih meninggi dan penglihatan lebih
menurun lagi.
2.1.6 Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior.
Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya
baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa
hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada
seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila
tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah
buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.

17
BAB III

KESIMPULAN

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di
antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah
iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus yang jernih.
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu, peluru
senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan prosedur
operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya
tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).
Penegakan diagnosis hifema berdsarkan adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya
dapat memastikan adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada
COA, kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari
conjunctiva dan pericorneal, fotofobia, penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra,
midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic,
disorientasi atau somnolen.
Penatalaksanaan hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan
cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi. Tindakan
ini bertujuan untuk : menghentikan perdarahan, menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder,
mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat absorbsi, mengontrol
glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain, dan berusaha mengobati kelainan
yang menyertainya

18
DAFTAR PUSTAKA

Gehard K.Lang.2000. Ophthalmology : a short textbook. New York : Library of Congress

Cataloging in Publication Data

James, B., Benjamin, L. Ophthalmology Investigation and Examination Techniques.

Butterworth Heinemann Elsevier. United Kingdom

Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata: Hifema pada

Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair, Surabaya

Perhimpunan dokter spesialis mata Indonesia, 2002, Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum

dan mahasiswa kedokteran: edisi ke-2, Sagung Seto, Jakart

Riordan, paul et.al. 2010. Vaughan and Asbury Oftalmologi Umum Ed.17. Jakarta : EGC

Schlote, T. et.al. 2006. Pocket Atlas of Ophthalmology. New York : Library of Congress

Cataloging in Publication Data

Sidarta, Ilyas et.al 2017. Ilmu Penyakit Mata Ed. Kelima. Jakarta : FKUI

Suhardjo et. Al. 2007. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Supiandi, S. Cara Pemeriksaan dan Jenis Glaukoma. FKUI. Jakarta. 1986

Sylvia A. Price dan Lorraine M.2012. Wilson. Patofisiologi vol 1 Ed.6 Jakarta : ECG

Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradita EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. IV Jilid I.

Jakarta : Media Aesculapius

Widodo D. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta : Interna Publishing

19

Anda mungkin juga menyukai